Anda di halaman 1dari 12

Wadiah dan Ariyah menurut Ustadz M Abduh Tuasikal

Diajukan untuk memenuhi tugas Fiqh Al- Dakwah


Dosen Pengampu : H., Asmaji., Ph.D.

Disusun oleh :
Daffa Idzfi A ( 2021050033)

PROGAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS KOMUNIKASI DAN SOSIAL POLITIK
UNIVERSITAS SAINS DAN AL QUR’AN JAWA TENGAH DI WONOSOBO
TAHUN 2022
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya,
sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan judul “ Wadiah dan Ariyah menurut
Ustadz M Abduh Tuasikal “ Yang mana penulisan makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas
Fiqh Al-Dakwah yang diampu oleh H., Asmaji., Ph.D.
Dalam penulisan makalah ini, saya telah berusaha agar dapat menyajikan dengan sebaik baiknya,
karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang saya miliki, maka mungkin penyusunan
makalah ini masih banyak sekali kekuranganya. Untuk itu kritik dan saran mendukung akan kami
terima dengan sebaik mungkin
Pada kesempatan kali ini, dengan kerendahan hati kami mengucapkan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu melancarkan dalam penulisan makalah ini. Saya harap makalah
ini dapat memberi manfaat bagi saya sendiri, maupun bagi orang lain. Untuk itu penulisan makalah ini
dibuat dengan Bahasa yang mudah dipahami.

Wonosobo, 11 November 2022


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pinjam meminjam ( ariyah ) merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dalam
kehidupan bermasyarakat, karena tidak semua orang dapat memenuhi kebutuhanya secara
mandiri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seringkali seseorang melakukan akad
muamalah dalam bentuk pinjam meminjam ( ariyah ). Ariyah sendiri artinya ganti mengganti
pemanfaatan sesuatu kepada orang lain. Ada juga yang menyatakan bahwa ariyah berasal dari
kata Ura yang berarti kosong. Dinamakan ariyah karena kosongnya/tidak ada ganti rugi.
Sedangakan ariyah menurut istilah adalah akad berupa pemberian manfaat suatu benda halal
dari seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak
benda itu ( menjaga keutuhan barang ) dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya,
sedangkan wadi’ah sendiri menurut Bahasa berarti titipan. Kata wadi’ah berasal dari kata
Wada’a Yada’u Wad’an yang berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu.
Agama islam adalah risalah (pesan-pesan) yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW. Sebagai petunjuk dan pedoman yang mengandung hukum-hukum
sempurna untuk di pergunakan dalam menyelengarakan tata cara kehidupan manusia. Islam
hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global (khuthuuth ‘ariidhah), yakni makan-makan
tekstual yang umum, yang mampu memecahkan problematika kehidupan manusia baik aspek
ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah).
Kegiatan ekonomi yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari bahkan tanpa kita
sadari, pinjam-meminjam sering kita lakukan. Berbicara mengenai pinjaman (‘Ariyah), dan
penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk
dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan) dalam bahasa fiqihnya Al-Wadi’ah.
Disini penulis akan memfokuskan untuk membahas ‘Ariyah dan Wadi’ah.

B. Rumusan Masalah
- Apa defisini Ariyah, Wadiah dan Dasar Hukumnya?
- Apakah syarat dan rukun Ariyah dan Wadiah?
- Bagaimana hukum menerima wadiah?
- Bagaimana meminjam pinjaman?
- Bagaimanakah pembayaran pinjaman?
- Bagaimnanakah tatakrama berhutang?

C. Tujuan Penelitian
- Mengetahui definisi Ariyah, Wadiah dan Dasar Hukumnya.
- Mengetahui syarat dan rukun Ariyah dan Wadiah.
- Mengetahui hukum menerima waduah.
- Mengetahui pinjam meminjam.
- Mengetahui pembayaran pinjaman.
- Mengetahui tatakrama berhutang.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Ariyah (Peminjaman)
A. Pengertian ‘ariyah
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Ariyah secara istilah ialah memberikan
manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan
zatnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan, sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa
pendapat :
1. Menurut Hanafiyah, ‘ariyah ialah : “memiliki manfaat secara cuma-cuma”
2. Menurut Malikiyah, ‘ariyah ialah : “memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan
tanpa imbalan”
3. Menurut Syafi’iyah ‘ariyah ialah : “kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang
membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya
supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya”
4. Menurut Hambaliyah ‘ariyah ialah : “kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa
imbalan dari peminjan atau yang lainnya”
5. Ibnu rif’ah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘ariyah ialah : “kebolehan
mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat
dikembalikan”
6. Menurut al-Mawardi, yang dimaksud dengan ‘ariyah ialah : “memberi manfaat-manfaat”
Secara operasional, Al-jazairi mengemukakan bahwa al-‘ariyah ialah sesuatu yang diberikan kepada
orang yang bisa memanfaatkannya hingga waktu tertentu kemudian dikembalikan kepada pemilik.
Menurut analisa kami bahwa ‘ariyah adalah meminjamkan sesuatu benda atau barang kepada orang
lain agar bisa memberikan manfaat kepada orang yang meminjam dalam waktu yang telah disepakati
barang tersebut akan dikembalikan kepada orang yang meminjamkan.
B. Dasar Hukum ‘ariyah
Pinjaman (Al-‘ariyah) itu disyariatkan berdasarkan pada dalil-dalil berikut :

‫َٰٓيَأُّيَه ا ٱَّل ِذ يَن َء اَم ُن وْا اَل ُتِح ُّل وْا َش َٰٓعِئَر ٱِهَّلل َو اَل ٱلَّش ۡه َر ٱۡل َح َر اَم َو اَل ٱۡل َه ۡد َي َو اَل ٱۡل َقَٰٓلِئ َد َو ٓاَل َء ٓاِّم يَن ٱۡل َبۡي َت ٱۡل َح َر اَم َيۡب َتُغ وَن َفۡض اٗل ِّم ن َّرِّبِهۡم‬
‫َوِرۡض َٰو ٗن ۚا َوِإَذ ا َح َلۡل ُتۡم َفٱۡص َطاُدوْۚا َو اَل َيۡج ِرَم َّنُك ۡم َش َٔ‍َناُن َقۡو ٍم َأن َص ُّدوُك ۡم َع ِن ٱۡل َم ۡس ِج ِد ٱۡل َح َر اِم َأن َتۡع َت ُدوْۘا َو َتَع اَو ُنوْا َع َلى ٱۡل ِب ِّر َو ٱلَّتۡق َو ٰۖى َو اَل‬
٢ ‫َتَعاَو ُنوْا َع َلى ٱِإۡل ۡث ِم َو ٱۡل ُعۡد َٰو ِۚن َو ٱَّتُقوْا ٱَۖهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل َش ِد يُد ٱۡل ِع َقاِب‬

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi´ar-syi´ar Allah, dan jangan
melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan
binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi
Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada
sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (Qs. Al-Maidah {5}: 2)
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘ariyah) adalah sunnah.[4] Sedangkan menurut al-Ruyani,
sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ’ariyah hukumnya wajib ketika awal Islam. Adapun
landasan hukumnya dari nash al-Qur’an ialah.

۞‫ِإَّن ٱَهَّلل َيۡأ ُم ُر ُك ۡم َأن ُتَؤُّدوْا ٱَأۡلَٰم َٰن ِت ِإَلٰٓى َأۡه ِلَها‬

Artinya ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya” (Qs. An-Nisa’: 58)

Sebagaimana halnya bidang-bidang lain, selain dari al-Qur’an, landasan hukum yang kedua ialah al-
Hadis. Dalam landasan ini, ‘ariyah dinyatakan sebagai berikut:
َ‫ َو اَل َتُخ ْن َم ْن َخ اَن َك ) َر َو اُه‬,‫لم ( َأِّد َاَأْلَم اَن َة ِإَلى َم ْن ِاْئَتَم َن َك‬++‫ َقاَل َرُس وُل ِهَّللَا صلى هللا عليه وس‬: ‫َو َعْن َأِبي ُهَرْيَر َة رضي هللا عنه َقاَل‬
‫ َو اْس َتْنَك َرُه َأُبو َح اِتٍم َالَّر اِزُّي‬, ‫ َو َص َّح َح ُه َاْلَح اِكُم‬,‫ َو َالِّتْر ِمِذُّي َو َح َّس َنُه‬,‫َأُبو َداُو َد‬

Artinya:”Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan janganlah kamu
khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (HR. Abu Dawud)
Dasar dari ijma’ adalah bahwa Fuqoha sepakat disyari’atkannya ‘ariyah. ‘Ariyah disunnahkan
berdasarkan ijma’ kaum muslimin.
Dari al-Qur’an dan Hadis diatas kami menyimpulkan bahwa hukum ‘ariyah adalah boleh,
asal ‘ariyah tersebut bernilai kebaikan, tidak keburukan.

C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah


Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan qabul, tidak wajib diucapkan, tetapi
cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab
qabul dengan ucapan.
Menurut Syafi’iyah. Rukun ‘ariyah dalah sebagai berikut:
1. Kalimat menguntangkan (Lafadz), seperti seorang berkata, “saya utangkan benda ini
kepadamu” dan yang menerima berkata “saya mengaku menghutang benda ini
kepadamu”. Syarat bendanya ialah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang menguntangkan (berpiutang) dan musta’ir yaitu orang yang
menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilikyang berhak menyerahkannya,

sedangkan syarat-syarat bagi mu’ir dan musta’ir adalah:


 Baligh
 Berakal
 Orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curratelle), maka tidak sah apabila dilakukan
oleh orang yang berada dibawah perlindungan, seperti pembiros.

1. Benda yang diutangkan. Pada rukun ini disyaratkan dua hal, yaitu:
 Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan.
 Pemanfaatan itu dibolehkan.
Menurut mayoritas ulama (Jumhur), rukun ‘ariyah sebagaimana yang dikemukakan Zuhaily terdiri
atas pihak-pihak sebagai berikut :
1. Yang meminjamkan (mu’ir)
2. Peminjam (musta’ir)
3. Ucapan serah terima (Ijab qabul)
Ulama fiqih menetapkan bahwa akad ‘ariyah diperbolehkan atas barang-barang biasa yang
dimanfaatkan tanpa harus merusak zatnya (barang istimal’i) atau barang yang dugunakan, seperti
rumah, pakaian, kendaraan, dan barang lain yang sejenis.

D. Pembayaran Pinjaman

Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarati peminjam berarti peminjam memiliki
utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang
tidak mau membayar hutang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan
aniaya merupakan salah satu berbuatan dosa. Rasulullah SAW bersabda.

“orang kaya yang melalaikan kewajiban utang adalah aniaya” (HR. Bukhori dan Muslim).

Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan
kemauan dari yang berpiutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar hutang.
Rasulullah SAW berdabda: “sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang
yang sebaik-baiknya dalam membayar hutang” (HR. Mutafaqun ‘alih).
Rasulullah SAW pernah berhutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih
besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh
orang yang berhutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu tidak
halal untuk mengambilnya. Rasullah SAW bersabda: “tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat,
maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba” (HR. Baihaqi).

E. Meminjam pinjaman dan Menyewakannya


Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman
kepada orang lain, sekalipun pemiliknya belum menginzinkannya jika penggunaan untuk hal-hal yang
tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Hambali, peminjam boleh
memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjam
berlangsung, kecuali barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hambaliyah
menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian
rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang di antara
keduanya. Dalam kedaan seperti ini, lebih baik pemilik barang meminta jaminankepada pihak kedua
karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.

F. Tanggung Jawab Peminjam


Jika peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia
berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya.
Rasulullah SAW bersabda: “Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia
mengembalikannya”.
Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa, peminjam tidak berkewajiban
menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakannya yang berlebihan, karena Rasulullah SAW
bersabda: “Peminjam yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang
dititipi yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan” (HR. Al-Daruquthni).

G. Tatakrama Berhutang

a. Sesuai dengan QS. Al-Baqarah: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan


tulisan dari pihak berhutang dan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau
dengan seorang saksi laki-laki dengan dua orang saksi perempuan.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak
disertai niat dalam hati akan membayarkannya.
c. Pihak berhutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak
berhutang. bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang
berpiutang hendaknya memberikannya.
d. Pihak yang berhutang bila sudah mampu membayar pinjaman hendaknya
dipercepat pembayarannya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti
berbuat dzalim.

H. Contoh Ariyah

Si A telah meminjamkan kepada si B dan menyebutkan bahwa si B berhak memanfaatkan barang


pinjamannya, yaitu sebuah rumah dengan ketentuan bahwa si B berhak menempati rumah tersebut
hingga waktu tertentu sebagai sebuah pinjaman yang benar, diperbolehkan, wajib diganti jika rumah
mengalami kerusakan, dan dikembalikan pada waktu yang telah disepakati. Mu’ir (orang yang
meminjamkan) dan musta’ir menerimanya dengan penerimaan yang syar’i kemudian rumah tersebut
berada dalam pemanfaatannya. Dan masing-masing dari dua belah pihak menerima kesepakatan ini
dari pihak satunya dengan penerimaan yang syar’i dan ini terjadi pada tanggal sekian (disebutkan
tanggalnya).
2. Al-Wadi’ah (Barang Titipan)
A. Pengertian al–Wadi’ah
Barang titipan dikenal dalam bahasa fiqh dengan al–wadi’ah, menurut bahasa al–wadi’ah berartikan
titipan (amanah). Kata Al-Wadiah berasal dari kata wada’a (wada’a – yada’u – wad’an) juga berarti
membiarkan atau meninggalkan sesuatu.
Menurut istilah al–wadi’ah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
1. Menurut Malikiyah bahwa al–wadi’ah memiliki dua arti, arti yang pertama ialah:
“ibadah perwakilan untuk pemeliharaan harta secara mujarad”
Arti yang kedua ialah: “ibarah pemindahan pemeliharaan sesuatu yang dimiliki secara mujarad yang
sah dipindahkan kepada penerima titipan”

1. Menurut Hanafiyah bahwa al–wadi’ah ialah berarti al-ida’ yaitu: “ibarah seseorang
menyempurnakan harta kepada yang lain untuk dijaga secara jelas atau dilalah” Makna
yang kedua al–wadi’ah ialah sesuatu yang dititipkan (al-Syai’i al-Maudi’), “sesuatu yang
ditinggalkan pada orang terpercaya supaya dijaganya”
2. Menurut syafi’iyah yang dimaksud dengan al–wadi’ah ialah: “akad yang dilaksanakan
untuk menjaga sesuatu yang dititipkan”
3. Menurut Hanabilah yang dimaksud dengan al–wadi’ah ialah: “titipan perwakilan dalam
pemeliharaan sesuatu secara bebas (tabaru)”
4. Menurut Hasbi Ash-shidiqie al–wadi’ah ialah: “akad yang intinya minta pertolongan
kepada seseorang dalam memelihara harta penitip”
5. Menurut Syaikh al-din al-Qalyubi wa syaikh ‘Umairah al–wadi’ah ialah: “benda yang
diletakan pada orang lain untuk dipeliharanya”
6. Syeikh ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa yang dimaksud al–wadi’ah ialah: “akad
yang dilakukan untuk penjagaan”
7. Menurut idris ahmad bahwa titipan artinya barang yang diserahkan (diamannahkan)
kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik-baik.
Setelah diketahui definisi-definisi al–wadi’ah yang dijelaskan oleh para ahlinya, maka kiranya dapat
dipahami bahwa yang dimaksud dengan al–wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada
yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana halnya
kebiasaan).

B. Dasar hukum al–wadi’ah


Al-wadi’ah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikan pada waktu
pemilik meminta kembali firman Allah SWT.

‫ة َف ِإۡن َأِم َن َبۡع ُض ُك م َبۡع ٗض ا َفۡل ُي َؤِّد ٱَّل ِذ ي ٱۡؤ ُتِم َن َأَٰم َنَت ۥُه َو ۡل َيَّت ِق ٱَهَّلل َر ۗۥ‬ٞۖ ‫ن َّم ۡق ُبوَض‬ٞ ‫َوِإن ُك نُتۡم َع َلٰى َس َفٖر َو َلۡم َتِج ُدوْا َكاِتٗب ا َفِرَٰه‬
۞‫َّبُه َو اَل َتۡك ُتُم وْا‬
‫م َقۡل ۗۥ‬ٞ‫ٱلَّش َٰه َد َۚة َوَم ن َيۡك ُتۡم َها َفِإَّن ٓۥُه َء اِث‬
٢٨٣ ‫م‬ٞ‫ُبُه َو ٱُهَّلل ِبَم ا َتۡع َم ُلوَن َع ِلي‬

Artinya:” Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Baqarah: 283)

Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak melakukan
kerja dengan sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang titipan. Berdasarkan
sabda Nabi yang diriwayatkan oleh imam Dar al-Quthni dan riwayat Arar bin Syu’aib dari bapaknya,
dari kakeknya bahwa Nabi SAW. Bersabda:
ََ‫ َفَلْيَس َع َلْيِه َض َم اٌن ) َأْخ َر َج ُه‬, ‫ ( َم ْن ُأوِد َع َوِد يَعًة‬: ‫ َع ِن الَّنِبِّي صلى هللا عليه وسلم َقاَل‬, ‫ َعْن َج ِّد ِه‬, ‫ َعْن َأِبيِه‬, ‫َعْن َع ْمِر و ْبِن ُش َعْيٍب‬
‫ َوِإْس َناُدُه َضِع يٌف‬, ‫ِاْبُن َم اَج ْه‬

Artinya:“siapa saja yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin” (Riwayat Daruquthni).

C. Rukun dan syarat al–wadi’ah


Menurut syafi’iyah al–wadi’ah memiliki tiga rukun, yaitu:
1. Barang yang dititipkan, syarat barang yang dititipkan adalah barang atau benda itu
merupakan sesuatu yang dapat dimiliki menurut syara’.
2. Orang yang menitipkan yang menerima titipan, disyaratkan bagi penitip dan penerima
titipan sudah baligh, berakal, serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan syarat-syarat
berwakil.
3. Shigt ijab dan kabul al-wadhi’ah di syaratkan pada ijab kabul ini dimengertikan oleh
kedua belah pihak, baik dengan jelas maupun samar.
Menurut Hanafiyah rukun al–wadi’ah ada satu, yaitu ijab dan qabul, sedangkan yang lainnya
termasuk syarat dan tidak termasuk rukun. Menurut Hanafiyah dalam shigat ijab dianggap sah apabila
ijab tersebut dilakukan dengan perkataan yang jelas (sharih) maupun dengan perkataan
semaran (kinayah). Hal ini berlaku juga untuk kabul, disyaratkan bagi yang menitipkan dan yang
dititip barang dengan mukalaf. Tidak sah apabila yang mrnitipkan dan yang menerima benda titipan
adalah orang gila atau anak yang belum dewasa (shabiy).
D. Hukum Menerima Wadi’ah
Terdapat empat hukum wadi’ah, yaitu sunnah, makruh, wajib dan

haram. Hal ini berdasarkan al-qur’an dan al-hadis. Penjelasan masing-masing hukum adalah sebagai
berikut.

1. Sunnah
Dihukumkan sebagai sunnat, karena wadi’ah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong-menolong
sesama insan, disyari’atkan dan dianjurkan dalam Islam

Dari alasan tersebut di atas, wadi’ah (barang titipan) adalah amanat dan disunnahkan menerimanya
bagi orang yang bisa memenuhi kewajiban terhadap titipan tersebut, yaitu memelihara dan
mengembalikan titipan apabila pemiliknya meminta kembali barangnya. Akan tetapi hokum sunnat
tersebut akan berubah menjadi wajib terutama dalam hal-hal penitipan barang yang disebabkan karena
keadaan terpaksa, misalnya: banjir, kebakaran, perampokan, kecelakaan lalu lintas dan
peristiwaperistiwa lainnya yang tidak diduga sebelumnya.

1. Makruh
Dihukumkan sebagai makruh yaitu dalam hal si penerima titipan mempunyai keyakinan bahwa
sebenarnya dia dapat menjaga barang titipan itu sebagaimana mestinya, akan tetapi dia sangsi dengan
adanya barang titipan itu dalam penjagaannya akan mengakibatkan dia tidak berlaku amanah atau
khianat.

2. Wajib
Diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup
menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain tidak ada seorangpun yang dapa
dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut

3. Haram
Dihukumkan menjadi haram, apabila orang yang menerima barang titipan tidak mampu
memeliharanya.46 Sebagian ulama’ ada yang berpendapat tentang wajibnya menerima barang titipan
jika pemilik barang itu tidak mendapatkan orang yang bisa dititipi. Ulama’ tersebut juga berpendapat
bahwa orang yang dititipi itu tidak menerima upah atas pemeliharaannya, sedangkan kebutuhan-
kebutuhan yang terkait dengan barang seperti tempat tinggal atau biaya, menjadi tanggungan
pemiliknya. Sedangkan dalam menanggung resiko barang titipan, orang yang menerimanya tidak
wajib menanggungnya, kecuali karena kelengahan.

D. Contoh Wadiah
Amir seorang yang tinggal di Jakarta ingin pergi ke Bandung dengan menggunakan kereta api. Untuk
menuju stasiun Gambir Jakarta ia menggunakan sepeda motor. Sesampainya di stasiun Gambir Amir
kemudian menitipkan sepeda motor pada tukang parker dan atas penitipan sepeda motor pada tukang
parkir dan atas penitipan tersebut Amir membayar biaya parkir. Tukang perkir harus menjaga amanah
dan tidak diperkenankan untuk menggunakan sepeda motor Amir.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Menurut analisa kami bahwa ‘ariyah adalah meminjamkan sesuatu benda atau barang kepada orang
lain agar bisa memberikan manfaat kepada orang yang meminjam dalam waktu yang telah disepakati
barang tersebut akan dikembalikan kepada orang yang meminjamkan. Dasar hukumnya adalah al-
Qur’an surah Al-Maidah ayat 2 dan hadis. Syarat dan Hukum ‘Ariyah adalah Peminjam, orang yang
akan meminjam, barang yang dipinjamkan dan ijab qabul. Pembayaran pinjaman diwajibkan bagi
orang yang sudah mempunyai barang yang akan dipinjamkan.
Sedangkan Wadiah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu
benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana halnya kebiasaan). Dasar hukum wadiah terdapat
dalam al-Qur’an surah al-Baqarah:283 dan juga terdapat di hadis yang diriwayatkan Daruqunthi.
Syarat dan rukun wadiah adalah ada barang yang dititipkan, ada orang yang mentipkan, yang
menerima titipan, dan sighot ijab qabul.

DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Sinar Baru Algensido, 2003), hlm. 322.
Hendi suhendi, Fiqh muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), hlm. 91-92
Ismail Nawawi, Fikih muamalah klasik dan kontemporer, (Anggota IKAPI: Ghalia Indonesia: 2002),
hlm.177
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah opo. cit., hlm. 93.
Ibid.,
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam Pandangan 4
Mazhab, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2014) hlm. 343.
Ismail Nawawi, Fikih muamalah klasik dan kontemporer opo.cit., hlm. 176.
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah opo. cit., hlm. 97.
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 2005) hlm. 495.

Anda mungkin juga menyukai