Disusun oleh :
Daffa Idzfi A ( 2021050033)
Pinjam meminjam ( ariyah ) merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dalam
kehidupan bermasyarakat, karena tidak semua orang dapat memenuhi kebutuhanya secara
mandiri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seringkali seseorang melakukan akad
muamalah dalam bentuk pinjam meminjam ( ariyah ). Ariyah sendiri artinya ganti mengganti
pemanfaatan sesuatu kepada orang lain. Ada juga yang menyatakan bahwa ariyah berasal dari
kata Ura yang berarti kosong. Dinamakan ariyah karena kosongnya/tidak ada ganti rugi.
Sedangakan ariyah menurut istilah adalah akad berupa pemberian manfaat suatu benda halal
dari seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak
benda itu ( menjaga keutuhan barang ) dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya,
sedangkan wadi’ah sendiri menurut Bahasa berarti titipan. Kata wadi’ah berasal dari kata
Wada’a Yada’u Wad’an yang berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu.
Agama islam adalah risalah (pesan-pesan) yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW. Sebagai petunjuk dan pedoman yang mengandung hukum-hukum
sempurna untuk di pergunakan dalam menyelengarakan tata cara kehidupan manusia. Islam
hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global (khuthuuth ‘ariidhah), yakni makan-makan
tekstual yang umum, yang mampu memecahkan problematika kehidupan manusia baik aspek
ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah).
Kegiatan ekonomi yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari bahkan tanpa kita
sadari, pinjam-meminjam sering kita lakukan. Berbicara mengenai pinjaman (‘Ariyah), dan
penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk
dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan) dalam bahasa fiqihnya Al-Wadi’ah.
Disini penulis akan memfokuskan untuk membahas ‘Ariyah dan Wadi’ah.
B. Rumusan Masalah
- Apa defisini Ariyah, Wadiah dan Dasar Hukumnya?
- Apakah syarat dan rukun Ariyah dan Wadiah?
- Bagaimana hukum menerima wadiah?
- Bagaimana meminjam pinjaman?
- Bagaimanakah pembayaran pinjaman?
- Bagaimnanakah tatakrama berhutang?
C. Tujuan Penelitian
- Mengetahui definisi Ariyah, Wadiah dan Dasar Hukumnya.
- Mengetahui syarat dan rukun Ariyah dan Wadiah.
- Mengetahui hukum menerima waduah.
- Mengetahui pinjam meminjam.
- Mengetahui pembayaran pinjaman.
- Mengetahui tatakrama berhutang.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Ariyah (Peminjaman)
A. Pengertian ‘ariyah
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Ariyah secara istilah ialah memberikan
manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan
zatnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan, sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa
pendapat :
1. Menurut Hanafiyah, ‘ariyah ialah : “memiliki manfaat secara cuma-cuma”
2. Menurut Malikiyah, ‘ariyah ialah : “memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan
tanpa imbalan”
3. Menurut Syafi’iyah ‘ariyah ialah : “kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang
membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya
supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya”
4. Menurut Hambaliyah ‘ariyah ialah : “kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa
imbalan dari peminjan atau yang lainnya”
5. Ibnu rif’ah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘ariyah ialah : “kebolehan
mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat
dikembalikan”
6. Menurut al-Mawardi, yang dimaksud dengan ‘ariyah ialah : “memberi manfaat-manfaat”
Secara operasional, Al-jazairi mengemukakan bahwa al-‘ariyah ialah sesuatu yang diberikan kepada
orang yang bisa memanfaatkannya hingga waktu tertentu kemudian dikembalikan kepada pemilik.
Menurut analisa kami bahwa ‘ariyah adalah meminjamkan sesuatu benda atau barang kepada orang
lain agar bisa memberikan manfaat kepada orang yang meminjam dalam waktu yang telah disepakati
barang tersebut akan dikembalikan kepada orang yang meminjamkan.
B. Dasar Hukum ‘ariyah
Pinjaman (Al-‘ariyah) itu disyariatkan berdasarkan pada dalil-dalil berikut :
َٰٓيَأُّيَه ا ٱَّل ِذ يَن َء اَم ُن وْا اَل ُتِح ُّل وْا َش َٰٓعِئَر ٱِهَّلل َو اَل ٱلَّش ۡه َر ٱۡل َح َر اَم َو اَل ٱۡل َه ۡد َي َو اَل ٱۡل َقَٰٓلِئ َد َو ٓاَل َء ٓاِّم يَن ٱۡل َبۡي َت ٱۡل َح َر اَم َيۡب َتُغ وَن َفۡض اٗل ِّم ن َّرِّبِهۡم
َوِرۡض َٰو ٗن ۚا َوِإَذ ا َح َلۡل ُتۡم َفٱۡص َطاُدوْۚا َو اَل َيۡج ِرَم َّنُك ۡم َش ََٔناُن َقۡو ٍم َأن َص ُّدوُك ۡم َع ِن ٱۡل َم ۡس ِج ِد ٱۡل َح َر اِم َأن َتۡع َت ُدوْۘا َو َتَع اَو ُنوْا َع َلى ٱۡل ِب ِّر َو ٱلَّتۡق َو ٰۖى َو اَل
٢ َتَعاَو ُنوْا َع َلى ٱِإۡل ۡث ِم َو ٱۡل ُعۡد َٰو ِۚن َو ٱَّتُقوْا ٱَۖهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل َش ِد يُد ٱۡل ِع َقاِب
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi´ar-syi´ar Allah, dan jangan
melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan
binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi
Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada
sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (Qs. Al-Maidah {5}: 2)
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘ariyah) adalah sunnah.[4] Sedangkan menurut al-Ruyani,
sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ’ariyah hukumnya wajib ketika awal Islam. Adapun
landasan hukumnya dari nash al-Qur’an ialah.
۞ِإَّن ٱَهَّلل َيۡأ ُم ُر ُك ۡم َأن ُتَؤُّدوْا ٱَأۡلَٰم َٰن ِت ِإَلٰٓى َأۡه ِلَها
Artinya ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya” (Qs. An-Nisa’: 58)
Sebagaimana halnya bidang-bidang lain, selain dari al-Qur’an, landasan hukum yang kedua ialah al-
Hadis. Dalam landasan ini, ‘ariyah dinyatakan sebagai berikut:
َ َو اَل َتُخ ْن َم ْن َخ اَن َك ) َر َو اُه,لم ( َأِّد َاَأْلَم اَن َة ِإَلى َم ْن ِاْئَتَم َن َك++ َقاَل َرُس وُل ِهَّللَا صلى هللا عليه وس: َو َعْن َأِبي ُهَرْيَر َة رضي هللا عنه َقاَل
َو اْس َتْنَك َرُه َأُبو َح اِتٍم َالَّر اِزُّي, َو َص َّح َح ُه َاْلَح اِكُم, َو َالِّتْر ِمِذُّي َو َح َّس َنُه,َأُبو َداُو َد
Artinya:”Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan janganlah kamu
khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (HR. Abu Dawud)
Dasar dari ijma’ adalah bahwa Fuqoha sepakat disyari’atkannya ‘ariyah. ‘Ariyah disunnahkan
berdasarkan ijma’ kaum muslimin.
Dari al-Qur’an dan Hadis diatas kami menyimpulkan bahwa hukum ‘ariyah adalah boleh,
asal ‘ariyah tersebut bernilai kebaikan, tidak keburukan.
1. Benda yang diutangkan. Pada rukun ini disyaratkan dua hal, yaitu:
Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan.
Pemanfaatan itu dibolehkan.
Menurut mayoritas ulama (Jumhur), rukun ‘ariyah sebagaimana yang dikemukakan Zuhaily terdiri
atas pihak-pihak sebagai berikut :
1. Yang meminjamkan (mu’ir)
2. Peminjam (musta’ir)
3. Ucapan serah terima (Ijab qabul)
Ulama fiqih menetapkan bahwa akad ‘ariyah diperbolehkan atas barang-barang biasa yang
dimanfaatkan tanpa harus merusak zatnya (barang istimal’i) atau barang yang dugunakan, seperti
rumah, pakaian, kendaraan, dan barang lain yang sejenis.
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarati peminjam berarti peminjam memiliki
utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang
tidak mau membayar hutang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan
aniaya merupakan salah satu berbuatan dosa. Rasulullah SAW bersabda.
“orang kaya yang melalaikan kewajiban utang adalah aniaya” (HR. Bukhori dan Muslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan
kemauan dari yang berpiutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar hutang.
Rasulullah SAW berdabda: “sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang
yang sebaik-baiknya dalam membayar hutang” (HR. Mutafaqun ‘alih).
Rasulullah SAW pernah berhutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih
besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh
orang yang berhutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu tidak
halal untuk mengambilnya. Rasullah SAW bersabda: “tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat,
maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba” (HR. Baihaqi).
G. Tatakrama Berhutang
H. Contoh Ariyah
1. Menurut Hanafiyah bahwa al–wadi’ah ialah berarti al-ida’ yaitu: “ibarah seseorang
menyempurnakan harta kepada yang lain untuk dijaga secara jelas atau dilalah” Makna
yang kedua al–wadi’ah ialah sesuatu yang dititipkan (al-Syai’i al-Maudi’), “sesuatu yang
ditinggalkan pada orang terpercaya supaya dijaganya”
2. Menurut syafi’iyah yang dimaksud dengan al–wadi’ah ialah: “akad yang dilaksanakan
untuk menjaga sesuatu yang dititipkan”
3. Menurut Hanabilah yang dimaksud dengan al–wadi’ah ialah: “titipan perwakilan dalam
pemeliharaan sesuatu secara bebas (tabaru)”
4. Menurut Hasbi Ash-shidiqie al–wadi’ah ialah: “akad yang intinya minta pertolongan
kepada seseorang dalam memelihara harta penitip”
5. Menurut Syaikh al-din al-Qalyubi wa syaikh ‘Umairah al–wadi’ah ialah: “benda yang
diletakan pada orang lain untuk dipeliharanya”
6. Syeikh ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa yang dimaksud al–wadi’ah ialah: “akad
yang dilakukan untuk penjagaan”
7. Menurut idris ahmad bahwa titipan artinya barang yang diserahkan (diamannahkan)
kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik-baik.
Setelah diketahui definisi-definisi al–wadi’ah yang dijelaskan oleh para ahlinya, maka kiranya dapat
dipahami bahwa yang dimaksud dengan al–wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada
yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana halnya
kebiasaan).
ة َف ِإۡن َأِم َن َبۡع ُض ُك م َبۡع ٗض ا َفۡل ُي َؤِّد ٱَّل ِذ ي ٱۡؤ ُتِم َن َأَٰم َنَت ۥُه َو ۡل َيَّت ِق ٱَهَّلل َر ۗۥٞۖ ن َّم ۡق ُبوَضٞ َوِإن ُك نُتۡم َع َلٰى َس َفٖر َو َلۡم َتِج ُدوْا َكاِتٗب ا َفِرَٰه
۞َّبُه َو اَل َتۡك ُتُم وْا
م َقۡل ۗۥٞٱلَّش َٰه َد َۚة َوَم ن َيۡك ُتۡم َها َفِإَّن ٓۥُه َء اِث
٢٨٣ مُٞبُه َو ٱُهَّلل ِبَم ا َتۡع َم ُلوَن َع ِلي
Artinya:” Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Baqarah: 283)
Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak melakukan
kerja dengan sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang titipan. Berdasarkan
sabda Nabi yang diriwayatkan oleh imam Dar al-Quthni dan riwayat Arar bin Syu’aib dari bapaknya,
dari kakeknya bahwa Nabi SAW. Bersabda:
ََ َفَلْيَس َع َلْيِه َض َم اٌن ) َأْخ َر َج ُه, ( َم ْن ُأوِد َع َوِد يَعًة: َع ِن الَّنِبِّي صلى هللا عليه وسلم َقاَل, َعْن َج ِّد ِه, َعْن َأِبيِه, َعْن َع ْمِر و ْبِن ُش َعْيٍب
َوِإْس َناُدُه َضِع يٌف, ِاْبُن َم اَج ْه
haram. Hal ini berdasarkan al-qur’an dan al-hadis. Penjelasan masing-masing hukum adalah sebagai
berikut.
1. Sunnah
Dihukumkan sebagai sunnat, karena wadi’ah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong-menolong
sesama insan, disyari’atkan dan dianjurkan dalam Islam
Dari alasan tersebut di atas, wadi’ah (barang titipan) adalah amanat dan disunnahkan menerimanya
bagi orang yang bisa memenuhi kewajiban terhadap titipan tersebut, yaitu memelihara dan
mengembalikan titipan apabila pemiliknya meminta kembali barangnya. Akan tetapi hokum sunnat
tersebut akan berubah menjadi wajib terutama dalam hal-hal penitipan barang yang disebabkan karena
keadaan terpaksa, misalnya: banjir, kebakaran, perampokan, kecelakaan lalu lintas dan
peristiwaperistiwa lainnya yang tidak diduga sebelumnya.
1. Makruh
Dihukumkan sebagai makruh yaitu dalam hal si penerima titipan mempunyai keyakinan bahwa
sebenarnya dia dapat menjaga barang titipan itu sebagaimana mestinya, akan tetapi dia sangsi dengan
adanya barang titipan itu dalam penjagaannya akan mengakibatkan dia tidak berlaku amanah atau
khianat.
2. Wajib
Diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup
menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain tidak ada seorangpun yang dapa
dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut
3. Haram
Dihukumkan menjadi haram, apabila orang yang menerima barang titipan tidak mampu
memeliharanya.46 Sebagian ulama’ ada yang berpendapat tentang wajibnya menerima barang titipan
jika pemilik barang itu tidak mendapatkan orang yang bisa dititipi. Ulama’ tersebut juga berpendapat
bahwa orang yang dititipi itu tidak menerima upah atas pemeliharaannya, sedangkan kebutuhan-
kebutuhan yang terkait dengan barang seperti tempat tinggal atau biaya, menjadi tanggungan
pemiliknya. Sedangkan dalam menanggung resiko barang titipan, orang yang menerimanya tidak
wajib menanggungnya, kecuali karena kelengahan.
D. Contoh Wadiah
Amir seorang yang tinggal di Jakarta ingin pergi ke Bandung dengan menggunakan kereta api. Untuk
menuju stasiun Gambir Jakarta ia menggunakan sepeda motor. Sesampainya di stasiun Gambir Amir
kemudian menitipkan sepeda motor pada tukang parker dan atas penitipan sepeda motor pada tukang
parkir dan atas penitipan tersebut Amir membayar biaya parkir. Tukang perkir harus menjaga amanah
dan tidak diperkenankan untuk menggunakan sepeda motor Amir.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Menurut analisa kami bahwa ‘ariyah adalah meminjamkan sesuatu benda atau barang kepada orang
lain agar bisa memberikan manfaat kepada orang yang meminjam dalam waktu yang telah disepakati
barang tersebut akan dikembalikan kepada orang yang meminjamkan. Dasar hukumnya adalah al-
Qur’an surah Al-Maidah ayat 2 dan hadis. Syarat dan Hukum ‘Ariyah adalah Peminjam, orang yang
akan meminjam, barang yang dipinjamkan dan ijab qabul. Pembayaran pinjaman diwajibkan bagi
orang yang sudah mempunyai barang yang akan dipinjamkan.
Sedangkan Wadiah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu
benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana halnya kebiasaan). Dasar hukum wadiah terdapat
dalam al-Qur’an surah al-Baqarah:283 dan juga terdapat di hadis yang diriwayatkan Daruqunthi.
Syarat dan rukun wadiah adalah ada barang yang dititipkan, ada orang yang mentipkan, yang
menerima titipan, dan sighot ijab qabul.
DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Sinar Baru Algensido, 2003), hlm. 322.
Hendi suhendi, Fiqh muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), hlm. 91-92
Ismail Nawawi, Fikih muamalah klasik dan kontemporer, (Anggota IKAPI: Ghalia Indonesia: 2002),
hlm.177
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah opo. cit., hlm. 93.
Ibid.,
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam Pandangan 4
Mazhab, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2014) hlm. 343.
Ismail Nawawi, Fikih muamalah klasik dan kontemporer opo.cit., hlm. 176.
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah opo. cit., hlm. 97.
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 2005) hlm. 495.