Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

FIQIH MUAMALAH
“IJARAH DAN ARIYAH”
Dosen Pengampu : Ainil Fadhilah, M.E

Disusun oleh Kelompok 9:


1. Dea Ananda : ES.03.221.0606
2. Tuti Rahayu : ES.03.221.0635

YAYASAN NURUL ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM ( IAI ) YASNI BUNGO

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PRODI EKONOMI SYARIAH

TAHUN AJARAN

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Allah Subhanahu


Wa Ta’ala Tuhan seluruh alam yang maha rahman dan rahim karena atas berkat
rahmat dan kasih sayang-Nya makalah yang berjudul “Ijarah dan Ariyah“
terselesaikan. Dan terimakasih penulis sampaikan kepada dosen pengampu mata
kuliah Fiqih Muamalah, ibu Ainil Fadhilah, M.E yang telah mengarahkan dan
membimbing pembuatan makalah yang baik dan benar.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat


banyak kekurangan, walaupun penulis telah berusaha menyajikan yang terbaik
bagi pembaca. Oleh karena itu, kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah
ini dengan senang hati penulis terima. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca. Aamiin.

Kelompok 9, 05 Desember 2022

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................i


DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................2

A. Definisi Ariyah dan Ijarah............................................................................2


B. Landasan Hukum Ijarah dan Ariyah............................................................4
C. Syarat dan Rukun Ijarah dan Ariyah............................................................7
D. Ketentuan Ijarah dan Ariyah........................................................................13
E. Macam-macam Ijarah dan Ariyah................................................................14
BAB III PENUTUP.............................................................................................16
A. Kesimpulan .................................................................................................16
B. Penutup........................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.


Islam adalah agama yang kompeks. Tidak sebatas memuat hal-hal yang
bersifat transenden (hablum minallah). Islam juga memuat tentang tata perilaku
dengan sesama manusia (hablum minannas). Dalam interaksi antara sesama
manusia (bermu'amalah) diperlukan hukum untuk mengatur hubungan sesama
manusia. Dan di antara permasalahan yang paling banyak terjadi dalam
bermu'amalah adalah permasalahan harta kekayaan (mu‟amalah maliyah).
Harta di dalam Islam merupakan amanah yang harus dipelihara yang
padanya ada hak Allah. Maka pengelolaannya haruslah disesuaikan dengan
ketentuan pemberi amanah yaitu Allah SWT. Dalam permasalahan harta erat
kaitannya dengan ketentuan akad atau jenis perjanjian yang sering kita sebut
dengan contract.
B. Rumusan masalah.
Dari latar belakang masalah di atas dapat kita ketahui bahwa rumusan
masalah yang akan di bahas dalam makalah ini adalah:
1. Apa itu definisi Ariyah dan Ijarah?
2. Apa saja landasan hukum Ijarah dan Ariyah?
3. Apa saja syarat dan rukun Ijarah dan Ariyah?
4. Apa saja ketentuan Ijarah dan Ariyah?
5. Apa saja macam-macam Ijarah dan Ariyah?
C. Tujuan.
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Agar dapat mengetahui definisi Ariyah dan Ijarah.
2. Agar dapat mengetahui landasan hukum Ijarah dan Ariyah.
3. Agar dapat mengetahui syarat dan rukun Ijarah dan Ariyah.
4. Agar dapat mengetahui ketentuan Ijarah dan Ariyah.
5. Agar dapat mengetahui macam-macam Ijarah dan Ariyah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI ARIYAH DAN IJARAH.


1. Ariyah (pinjam pakai)
Ariyah menurut bahasa ialah pinjaman, pergi dan kembali atau
beredar. Asal katanya adalah ?‫ ع?ب?س‬yang berarti datang dan pergi, ada juga
yang berpendapat berasal dari kata ?‫?س? ز?ع?بٌ?ا‬ٚ yang berarti saling menukar dan
mengganti.. Perbuatan seseorang yang membolehkan/mengizinkan orang
lain untuk mengambil manfaat barang miliknya tanpa ganti rugi.
Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat: 1
a. Ibn Rifa‟i berpendapat, bahwa yang dimaksud „ariyah adalah
kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap
zatnya, supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
b. Menurut pendapat Malikiyah sebagaimana yang ditulis oleh
Wahbah alJuhaili, ‟ariyah adalah pemilikan atas manfaat suatu barang
tanpa adanya imbalan. Adapun menurut Syafi‟iyah dan Hanabilah, „ariyah
adalah pembolehan untuk mengambil manfaat suatu barang tanpa adanya
imbalan, Amir Syarifuddin berpendapat, bahwa „ariyah adalah transaksi
atas manfaat suatu barang tanpa imbalan, atau ariyah adalah menyerahkan
suatu wujud barang untuk dimanfaatkan orang lain tanpa adanya imbalan.
Ariyah adalah sarana tolong menolong, antara orang yang mampu dan
yang tidak mampu. Ulama fikih membedakan pengertian „ariyah dan
hibah, sekalipun keduanya mengandung pengertian kebebasan
memanfaatkan barang. Menurut mereka, dalam „ariyah unsur yang
dipinjam hanya manfaatnya, serta dalam waktu yang terbatas, sedangkan
hibah terkait dengan materi barang yang diserahkan dan tidak memiliki
batas waktu. Menurut al-Juhaili, „ariyah hanya untuk mengambil manfaat

1
Novi Indriyani Sitepu, Al-Ariyah, Al-Qordh dan Al-Hibah, Universitas Syiah Kuala :
jurnal.uinsu.ac.id 2015, hlm 129.

2
dari suatu barang, sedangkan hibah mengambil zat dan manfaat sekaligus.
„Ariyah berbeda pula dengan ijarah, sebab pada ijarah, barang yang
dimanfaatkan itu harus diganti dengan imbalan tertentu.
2. Ijarah
Menurut bahasa kata ijarah berasal dari kata “alajru”yang berarti “al-
iwadu” (ganti) dan oleh sebab itu “ath-thawab”atau (pahala) dinamakan
ajru (upah). Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa, jasa,
atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk muamalah dalam
memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-meyewa, kontrak, atau
menjual jasa perhotelan dan lain-lain. 2
Ijarah menurut arti lughat adalah balasan, tebusan, atau pahala.
Menurut syara’ berarti melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang
diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan perjanjian
yang telah ditentukan dengan syarat-syarat tertentu pula.
Secara terminology, ada beberapa definisi al-ijarah yang
dikemukakan para ulama fiqh. Menurut ulama Syafi‟iyah, ijarah adalah
akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti. Menurut Hanafiyah bahwa
ijarah adalah akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang di ketahui
dan di sengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.
Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanabilah, ijarah adalah menjadikan
milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan
pengganti. Selain itu ada yang menerjemahkan ijarah sebagai jual beli jasa
(upahmengupah), yakni mengambil mengambil manfaat tenaga manusia,
yang ada manfaat dari barang.
Menurut Syafi‟i Antonio, ijarah adalah akad pemindahan hak guna
atas barang atau jasa, melalui sewa tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri.
Menurut Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya wakaf, alijarah syirkah
mengemukakan, ijarah secara bahasa berarti balasan atau timbangan yang
diberikan sebagai upah atas pekerjaan. Secara istilah ijarah berarti suatu

2
S Yuliana, Pengertian Ijarah, repository.radenintan.ac.id 2017, hlm 13.

3
perjanjian tentang pemakaian atau pemungutan hasil suatu benda, binatang
atau tenaga manusia. Misalnya menyewa rumah untuk tinggal, menyewa
kerbau untuk membajak sawah, menyewa manusia untuk mengerjakan
suatu pekerjaan dan sebagainya.
Menurut Gufron A. Mas‟adi dalam bukunya Fiqh muamalah
kontekstual mengemukakan, ijarah secara bahasa berarti upah dan sewa
jasa atau imbalan. Sesungguhnya merupakan transaksi yang
memperjualbelikan suatu harta benda.
Menurut Helmi Karim, ijarah secara bahasa berarti upah atau ganti
atau imbalan, karena itu lafadz ijarah mempunyai pengertian umum yang
meliputi upah atas kemanfaatan suatu benda atau imbalan suatu kegiatan
atau upah karena melakukan aktifitas. Dalam arti luas, ijarah bermakna
suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan
memberikan imbalan dalam jumlah tertentu, hal ini sama artinya dengan
menjual manfaat suatu benda, bukan menjual „ain dari suatu benda itu
sendiri.

B. LANDASAN HUKUM IJARAH DAN ARIYAH.


1. Landasan Hukum Ijarah.
Hukum ijarah dapat diketahui dengan mendasarkan pada teks-teks al-Qur‟an,
hadist-hadist Rasulullah, dan Ijma‟ ulama fikih sebagai berikut:
a. Berdasarkan Al-quran
Dalam al-Qur‟an ketentuan tentang upah tidak tercantum secara terperinci.
Akan tetapi pemahaman upah dicantumkan dalam bentuk pemaknaan tersirat,
seperti ditemukan dalam QS al-Baqarah: 233, an-Nahl: 97, al-Kahfi: 30, az-
Zukhruf: 32, at-Thalaq: 6 dan al-Qasas: 26 yang memiliki arti seperti di bawah ini
:
Artinya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi
Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani

4
melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa
yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah:(2) :233)
Ayat tersebut menerangkan bahwa setelah seseorang memperkerjakan orang
lain hendaknya memberikan upahnya. Dalam hal ini menyusui adalah
pengambilan manfaat dari orang yang dikerjakan. Jadi, yang dibayar bukan harga
air susunya melainkan orang yang dipekerjakannya. Dalam ayat Al-Quran lainnya
disebutkan dalam Q.S. An-Nahl:97 :
Artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS an-Nahl:(16) :97)
Di dalam ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam
Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama, dan Allah akan
memberikan imbalan yang setimpal dan lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.
Sementara itu di dalam Qs-Al-Kahfi:30 dijelaskan:
Artinya :
“Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak
akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan
yang baik.” (Q.S. Al-Kahfi:(18) :30).
Ayat di atas menegaskan bahwa balasan terhadap pekerjaan yang telah
dilakukan manusia pasti Allah akan membalasnya dengan adil. Allah tidak akan
berlaku dzalim dengan menyia-nyiakan amal hambanya.

5
b. Berdasarkan Hadist
Hadist-hadist Rasulullah Saw yang membahas tentang ijarah atau upah
mengupah di antaranya diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa
Nabi bersabda : “Ðari Abdullah bin „Umar ia berkata: telah bersabda Rasulullah
“berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah)
c. Berdasarkan Ijma‟
Para ulama sepakat bahwa ijarah itu dibolehkan dan tidak ada seorang ulama
pun yang membantah kesepakatan (ijma‟) ini. Jelaslah bahwa Allah SWT telah
mensyariatkanijarah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan umat, dan tidak ada
larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.Jadi, berdasarkan nash al-Qur‟an,
Sunnah (hadis) dan ijma‟ tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa hukum ijarah
atau upah mengupah boleh dilakukan dalam islam asalkan kegiatan tersebut sesuai
dengan syara‟.
2. Landasan Hukum Ariyah.
a. Al-Qur'an.
Artinya : dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.(Q.S.
Al-Maidah (5) : 2).
Artinya : Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Q.S. Al-Ma‟un
(107) : 7)
Ayat di atas menerangkan bahwa orang munafikmemiliki sifat enggan
tolong-menolong terhadap orang lain dengan barang berguna. Al-Qurthubi
menjelaskan mengenai sebagian pendapat ulama bahwa kalimat sebagaimana
terdapat dalam ayat di atasmaknanya adalah ‘Ariyah (Peminjaman).
b. Hadits.
Artinya : Hisyam bin „Amar beliau berkata : Isma‟il bin „Ayyasy beliau
berkata : Syurohbiil bin Muslim menuturkan kepadaku, Beliau berkata “saya
mendengar dari abi umamah” beliau berkata: saya mendengar dari Rasulullah Saw

6
bahwa beliau bersabda : Al-‘Ariyah (pinjaman) itu harus dikembalikan, Al-
Minhah (Barang yang diambil manfaatnya).3
Artinya : Telah menceritakan Hiban bin Hilal, beliau berkata : bahwa telah
menceritakan Hamam bin Yahya, beliau berkata: bahwa telah menceritakan
Qotadah, dari Shofwan bin Ya‟la bin Umayyah, dari bapaknya, beliau berkata:
bahwa Rasulullah Saw bersabda kepadaku, “Apabila utusan-utusanku datang
kepadamu, maka berilah mereka tiga puluh baju perang dan tiga puluh unta.” Lalu
saya berkata: “Ya Rasulullah, apakah ini pinjaman yang dijamin atau pinjaman
yang dikembalikan?, Rasul menjawab : “tentu itu pinjaman yang dikembalikan”

C. SYARAT DAN RUKUN IJARAH DAN ARIYAH.


1. Ijarah.
Menurut Hanafiyah, rukan dan syarat ijarah hanya ada satu, yaitu ijab dan
qabul, yaitu pernyataan dari orang yang menyewa dan meyewakan. Sedangkan
menurut jumhur ulama, Rukun-rukun dan syarat ijarah ada empat, yaitu Aqid
(orang yang berakad), sighat, upah, dan manfaat. Ada beberapa rukun ijarah di
atas akan di uraikan sebagai berikut:
a. Aqid (Orang yang berakad)
Orang yang melakukan akad ijarah ada dua orang yaitu mu’jir dan
mustajir.Mu’jir adalah orang yang memberikan upah atau yang
menyewakan. Sedangkan Musta’jir adalah orang yang menerima upah
untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu. Bagi yang berakad
ijarah di syaratkan mengetahui manfaat barang yang di jadikan akad
sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.
Untuk kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan
berkemampuan, yaitu kedua-duanya berakal dan dapat membedakan. Jika
salah seorang yang berakal itu gila atau anak kecil yang belum dapat
membedakan baik ataupun buruk , maka akad menjadi tidak sah.

3
Eko Firmanto, Tinjauan Hukum Islam Tentang Akad 'Ariyah Bersyarat, Lampung :
repository.radenintan.ac.id 2020, hlm 22.

7
b. Sighat Akad
Yaitu suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan
qabul adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang
berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad ijarah.
Dalam Hukum Perikatan Islam, ijab diartikan dengan suatu pernyataan
janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Sedangkan qobul adalah suatu pernyataan yang
diucapkan dari pihak yang berakad pula (musta’jir) untuk penerimaan
kehendak dari pihak pertama yaitu setelah adanya ijab.
Syarat-syaratnya sama dengan syarat ijab-qabul pada jual beli, hanya saja
ijab dan qabul dalam ijarahharus menyebutkan masa atau waktu yang
ditentukan.
c. Ujroh (upah)
Ujroh yaitu sesuatu yang diberikan kepada musta’jir atas jasa yang telah
diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu’jir. Dengan syarat hendaknya
:
 Sudah jelas/sudah diketahui jumlahnya. Karena ijarah akad timbal
balik, karena itu iijarah tidak sah dengan upah yang belum diketahui.
 Pegawai khusus seperti hakim tidk boleh mengambil uang dari
pekerjaannya, karena dia sudah mendapatkan gaji khusus dari
pemerintah. Jika dia mengambil gaji dari pekerjaannya berarti dia
mendapat gaji dua kali dengan hanya mengerjakan satu pekerjaan
saja.
 Uang yang harus diserahkan bersamaan dengan penerimaan barang
yang disewa. Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya
harus lengkap.
d. Manfaat
Di antara cara untuk mengetahui ma’qud alaih (barang) adalah dengan
menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis
pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.

8
Semua harta benda boleh diakadkan ijarah diatasnya, kecuali yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
 Manfaat dari objek akad sewa-menyewa harus diketahui secara jelas.
Hal ini dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa atau pemilik
memberika informasi secara transparan tentang kualitas manfaat
barang.
 Objek ijarah dapat diserahterimakan dan dimanfaatkan secara
langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya.
Tidak dibenarkan transaksi ijarah atas harta benda yang masih dalam
penguasaan pihak ketiga.
 Objek ijarah dan manfaatnya tidak bertentangan dengan Hukum
Syara‟. Misalnya menyewakan VCD porno dan menyewakan rumah
untuk kegiatan maksiat tidak sah.
 Objek yang disewakan manfaat langsung dari sebuah benda.
Misalnya, sewa rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, dan
sebagainya. Tidak dibenarkan sewa-menyewa manfaat suatu benda
yang sifatnya tidak langsung. Seperti, sewa pohon mangga untuk
diambil buahnya, atau sewa-menyewa ternak untuk diambil
keturunannya, telurnya, bulunya ataupun susunya.
 Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslah harta benda yang
bersifat isty’mali, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan
berulangkali tanpa mengakibatkan kerusakan zat dan pengurusan
sifatnya. Sedangkan harta benda yang bersifat istihlaki adalah harta
benda yang rusak atau berkurang sifatnya karna pemakaian. Seperti
makanan, buku tulis, tidak sah ijarah diatasnya.
2. Syarat Ijarah
Menurut M. Ali Hasan syarat-syarat ijarah adalah :
a. Syarat bagi kedua orang yang berakad adalah telah baligh dan berakal
(Mazhab Syafi‟i Dan Hambali). Dengan demikian apabila orang itu
belum atau tidak berakal seperti anak kecil atau orang gila menyewa
hartanya, atau diri mereka sebagai buruh (tenaga dan ilmu boleh disewa),

9
maka Ijarah nya tidak sah. Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan maliki
bahwa orang yang melakukan akad, tidak harus mencapai usia baligh ,
tetapi anak yang telah mumayiz pun boleh melakukan akad Ijarah dengan
ketentuan disetujui oleh walinya.
b. Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya untuk
melakukan akad Ijarah itu, apabila salah seorang keduanya terpaksa
melakukan akad maka akadnya tidak sah.
c. Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara jelas, sehingga
tidak terjadi perselisihan dibelakang hari jika manfaatnya tidak jelas.
Maka, akad itu tidak sah.
d. Objek Ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan
tidak ada cacatnya. Oleh sebab itu, ulama fiqih sepakat mengatakan
bahwa tidak boleh menyewa sesuatu yang tidak dapat diserahkan,
dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Umpamanya rumah atau took
harus siap pakai atau tentu saja sangat bergantung kepada penyewa
apakah dia mau melanjutkan akad itu atau tidak, sekiranya rumah itu atau
toko itu disewa oleh orang lain maka setelah itu habis sewanya baru
dapat disewakan oleh orang lain.
e. Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara. Oleh sebab itu ulama
fikih sependapat bahwa tidak boleh menggaji tukang sihir, tidak boleh
menyewa orang untuk membunuh (pembunuh bayaran), tidak boleh
menyewakan rumah untuk tempat berjudi atau tempat prostitusi
(pelacuran).
3. Rukun Ariyah.
Menurut mayoritas ulama Hanafiyah rukun ‘ariyah hanya membutuhkan
ungkapan ijab dari peminjam saja, sedangkan Kabul dari orang yang
meminjamkan tidak termasuk rukun karena cukup dengan mennyerahkan barang
kepada peminjam barang hal tersebut berdasarkan dari istihsan (perbuatan yang
dianggap baik oleh syara‟ dan adat kebiasaan). Menurut ulama mazhab
Syafi‟iyah, di dalam ‘ariyah mensyaratkan adanya lafazh shighat akad, yakni
ucapan serah terima atau sering disebut ijab kabul dari peminjam dan yang

10
meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang
tergantung pada adanya izin dari satu pihak.
Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ‘ariyah ada
empat, yaitu :
a. Mu’ir (yang meminjamkan)
b. Musta’ir (peminjam)
c. Mu’ar (barang yang dipinjam)
d. Shighat (ungkapan ijab Kabul/serah-terima).
4. Syarat Ariyah.
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ‘ariyah sebagai berikut :
a. Syarat yang berhubungan dengan mu’ir (yang meminjamkan) di
antaranya adalah sebagai berikut :
 Berakal dan mumayyiz. Baligh tidak menjadi syarat sah. Oleh karena
itu, hukumnya sah anak kecil melaksanakan ‘ariyah asalkan ada izin
dari orang tuanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyah.
Sedangkan menurut Mazhab Syafi‟i selain keduanya (berakal dan
mumayyiz) juga ditambah dengan baligh. Sehingga „ariyah tidak sah
apabila dilakukan oleh orang gila atau anak kecil yang belum
mumayyiz.
 Orang tersebut tidak di-mahjur (di bawahperlindungan/pengawasan).
Maka tidak sah ‘ariyah yang dilaksanakan di bawah perlindungan,
seperti pemboros dan pailit.
 Orang yang meminjamkan merupakan pemilik manfaat barang yang
akan dipinjamkan, maka sah meminjamkan barang, sewaan dan
barang wasiat karena mereka memiliki hak atas kepemilikan manfaat
barang tersebut.
b. Syarat yang berhubungan dengan Musta’ir(peminjam) diantaranya
sebagai berikut:4

4
Eko Firmanto, Tinjauan Hukum Islam Tentang Akad 'Ariyah Bersyarat, Lampung :
repository.radenintan.ac.id 2020, hlm 25.

11
 Orang yang meminjam harus jelas. maka tidak boleh apabila
peminjam tersebut samarsamar.
 Peminjam harus orang yang mengerti dan cakap dalam
mempergunakan barang yang dipinjam. Maka tidak boleh
meminjamkan barang seperti mobil kepada anak kecil atau orang gila
karena ketidak cakapan mereka dalam mempergunakan barang
tersebut.
c. Syarat yang berhubungan dengan mu’ar (barang yang dipinjam)
diantaranya sebagai berikut:
 Dapat dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisiknya (zatnya).
Oleh karena itu meminjamkan makanan hukumnya tidak sah. Karena
makanan tidak bisa dimanfaatkan tanpa merusak zatnya. Pendapat ini
dikemukakan oleh Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah.
 Mempunyai manfaat dan diperbolehkan oleh syara‟ untuk
memanfaatkannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Malikiyah dan
Syafi‟iyah. Malikiyah menambahkan sekalipun tidak diperbolehkan
memperjualbelikannya, seperti anjing untuk berburu dan kulit
binatang sembelihan.
d. Syarat yang berhubungan dengan Shighat (ungkapan ijab Kabul/serah-
terima).
 Setiap ungkapan yang menunjukan keridhaan pemilik dan kebolehan
memanfaatkan barang tanpa adanya pengganti, baik dengan ucapan,
perbuatan, isyarat, atau saling memberi. Pendapat ini dikemukakan
oleh Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Sedangkan menurut
Syafi‟iyah harus mutlak berbentuk ucapan, tidak boleh yang
selainnya. Adapun tulisan yang disertai niat dan isyaratnya orang
yang tidak bisa berbicara hukumnya sah.

12
D. KETENTUAN IJARAH DAN ARIYAH.
1. Ijarah.
KHES menyebutkan tentang syarat-syarat dan ketentuan pelaksanaan
ijarahdalam pasal 257-262. Pasal menyebutkan:5
“Untuk menyelesaikan suatu akad ijarah, pihak pihak yang melakukan akad
harus mempunyai kecakapan melakukan perbuatan hukun.”
Pasal 258:
“Akad ijarah dapat dilakukan dengan tatap muka maupun jarak jauh.”
Pasal 259:
“Pihak yang menyewakan benda haruslah pemilik, wakilnya, atau
pengampunya.”
Pasal 260:
 Penggunaan benda ijarahan harus dicantumkan dalam akad ijarah.
 Jika penggunaan benda ijarahan tidak dinyatakan secara pasti dalam
akad, maka benda ijarahan digunakan berdasarkan aturan umum dan
kebiasaan .
Pasal 261:
“Jika salah satu syarat dalam akad ijarah tidak ada, maka akad itu batal.”
Pasal 262:
 Uang ijarah tidak harus dibayar apabila akad ijarahnya batal.
 Harga ijarah yang wajar/ ujrah-al-mitsli adalah harga ijarah yang
ditentukan oleh ahli yang berpengalaman dan jujur.
Terkait barang yang disewakan, KHES memberikan ketentuan sebagai
berikut:
Pasal 274:
 Benda yang menjadi objek ijarah harus benda yang halal atau mubah.
 Benda yang diijarah harus digunakan untuk hal-hal yang dibenarkan
menurut syariat.

5
Meila Suryanti, Ketentuan Akad Ijarah, Metro : academia.edu 2017, hlm 2.

13
 Setiap benda yang dapat dijadikan objek jual beli dapat di jadikan objek
ijarah.
Pasal 275:
 Benda yang diijarahkan boleh keseluruhannya dan boleh pula
sebagiannya yang ditetapkan dalam akad.
 Hak-hak tambahan penyewa yang berkaitan dengan objek ijarah
ditetapkan dalam akad ijarah.
 Apabila hak-hak tambahan penyewa sebagaimana dalam ayat tidak
ditetapkan dalam akad, maka hak-hak tambahan tersebut ditentukan
berdasarkan kebiasaan.
2. Ariyah.
Suatu barang menjadi sah untuk dipinjamkan sebagai ‘ariyah, jika memenuhi dua syarat
berikut:
Pertama, barang tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa harus memusnahkan atau
menghabiskannya. Tidak sah disebut sebagai ‘ariyah jika yang dipinjamkan adalah barang
yang habis pakai seperti makanan, sabun, lilin dan sebagainya. Meminjamkan barang yang
habis pakai disebut dengan qardh.
Kedua, barang yang dipinjamkan merupakan barang yang halal untuk dimanfaatkan dan
tidak digunakan untuk tujuan yang diharamkan.

E. MACAM-MACAM IJARAH DAN ARIYAH.


1. Ijarah.
Ijarah terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :
a. Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa.
Dalam ijarah bagian pertama ini, objek akadnya adalah manfaat dari
suatu benda.
b. Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah .
Dalam ijarah bagian kedua ini, objek akadnya adalah amal atau pekerjaan
seseorang. Al-ijarah yang bersifat manfaat, umpamanya adalah sewa menyewa
rumah, kendaraan, pakaian, dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan
manfaat yang dibolehkan syara‟ untuk dipergunakan, maka para ulama fiqh
sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa.

14
Al-ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara memperkerjakan
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-ijarah seperti ini, hukumnya
boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh
pabrik, tukang salon, dan tukang sepatu. Al-ijarah seperti ini biasanya bersifat
pribadi, seperti menggaji seorang pembantu rumah tangga, dan yang bersifat
serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya untuk
kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik, dan tukang jahit.
Kedua bentuk ijarah terhadap pekerjaan ini menurut ulama fiqh hukumnya boleh.
2. Ariyah.
Secara umum macam-macam „Ariyah terbagi menjadi dua yaitu sebagai
berikut:
a. Al-Ariyah Mutlak
Al-ariyah mutlak adalah bentuk peminjaman barang yang di dalamnya
tidak ada syarat apapun, sehinggapeminjam bebas mempergunkannya
dikarenakan tidak jelas apakah hanya boleh dimanfaatkan oleh peminjam
saja atau boleh untuk orang lain.
b. Al-Ariyah Muqayyad (pinjaman Terbatas)
Al-ariyah muqayyad adalah meminjamkan sesuatu barang yang dibatasi
dari segi penggunaannya, waktu, dan tempat. Hukumnya, peminjam
diwajibkan unutk menaati batasan tersebut dan dilarang untuk
melanggarnya, kecuali adanya kesusahan yang menyebabkan peminjam
tidak dapat mengambil manfaat barang tersebut. Dengan demikian
peminjam dibolehkan melanggar batasan tersebut.

15
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN.
Kesimpulan yang dapat saya sampaikan adalah :
Ariyah menurut bahasa ialah pinjaman, pergi dan kembali atau beredar. Asal
katanya adalah ‫ عبس‬yang berarti datang dan pergi, ada juga yang berpendapat
berasal dari kata ‫ زعبٌا‬ٚ‫ س‬yang berarti saling menukar dan mengganti.. Perbuatan
seseorang yang membolehkan/mengizinkan orang lain untuk mengambil manfaat
barang miliknya tanpa ganti rugi. Menurut bahasa kata ijarah berasal dari kata
“alajru”yang berarti “al-iwadu” (ganti) dan oleh sebab itu “ath-thawab”atau
(pahala) dinamakan ajru (upah). Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah,
sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk muamalah dalam
memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-meyewa, kontrak, atau menjual
jasa perhotelan dan lain-lain.
B. SARAN.
Saran yang dapat pemakalah sampaikan adalah ada baiknya kita sebagai
umat muslim mengikuti segala syarat, hukum, ketentuan Ariyah dan Ijarah.
Demikianlah makalah ini dibuat, tentunya masih banyak kekurangan dan
kesalahan di dalam penulisan maupun pengambilan referensi, oleh sebab itu
selaku penyusun makalah ini menerima kritik dan saran agar untuk pembuatan
makalah kami ke depan menjadi lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua. Aamiin.

16
DAFTAR PUSTAKA

Eko Firmanto, 2020, Tinjauan Hukum Islam Tentang Akad 'Ariyah


Bersyarat, Lampung : repository.radenintan.ac.id
Meila Suryanti, 2017, Ketentuan Akad Ijarah, Metro : academia.edu
Novi Indriyani Sitepu, 2015, Al-Ariyah, Al-Qordh dan Al-Hibah, Universitas
Syiah Kuala : jurnal.uinsu.ac.id
S Yuliana, 2017, Pengertian Ijarah, repository.radenintan.ac.id

17

Anda mungkin juga menyukai