Anda di halaman 1dari 17

SEWA-MENYEWA (IJARAH), UPAH-MENGUPAH DAN

PERMASALAHANNYA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada Mata kuliah
fiqih Muamalah Prodi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Islam

Oleh kelompok 7 :

MUH. FAJRIL
742352021021

FAHRUL ANDIKA
742352021018

Dosen pengajar :

HJ.ANDI DARNA, S.HI.,M.H

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH


DAN HUKUM ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-

Nya lah kami bisa menyelesaikan makalah yang membahas tentang “Sewa-

menyewa, Upah-mengupah Dan Permasalahannya” ini dalam rangka memenuhi

salah satu tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah. Sholawat serta salam semoga tetap

tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan

syafaatnya kelak di yaumul qiyamat.

Kami sadar bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan. Hal ini

disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki.

Oleh karena itu, semua kritik dan saran pembaca akan penulis terima dengan

senang hati demi perbaikan naskah lebih lanjut.

Semoga makalah ini memberikan informasi yang bermanfaat untuk

pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Amin Ya Rabbal’Alamin…

Watampone, 13 Mei 2023

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 3

A. Pengertian Sewa-Menyewa (Ijarah) dan Permasalahannya .......................... 3

B. Pengertian Upah-Mengupah dan Permasalahannya ...................................... 9

C. BAB III PENUTUP............................................................................ ..........13

A. Kesimpulan .................................................................................................... 13
B. Saran ............................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, dimana satu sama lain saling
membutuhkan. Dinamika kehidupan tidak memungkinkan manusia selalu berada
dalam kondisi yang berkecukupan untuk memenuhi kebutuhannya, kadang ketika
mendapat kebutuhan seseorang sedang berada dalam kondisi ekonomi yang tidak
baik sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhannya, disinilah Islam menganjurkan
kepada umatnya untuk saling tolong meolong dalam kebaikan.

Salah satu yang termasuk dalam kategori tolong menolong dalam


bermu’amalah adalah sewa menyewa atau dalam istilah ekonomi syariah dikenal
dengan istilah Ijārah. Secara sederhana Ijārah dapat diartikan dengan transaksi sewa-
menyewa baik barang ataupun jasa. Bila yang menjadi objek transaksi itu adalah
manfaat atau jasa dari suatu benda disebut al-Ijārah al-‘ain, seperti menyewa rumah
untuk ditempati, bila yang menjadi objek transaksi berupa manfaat atau jasa dari
tenaga seseorang disebut dengan al-Ijārah ad-dzimah atau upah mengupah. Ijārah
dalam bentuk sewa menyewa atau upah mengupah merupakan muamalah yang telah
disyariatkan dalam islam. Hukum asalnya menurut jumhur ulama adalah mubah atau
boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syariat
berdasarkan Al-Qur’an, Hadis Nabi dan ketetapan ijma’ ulama. alam kenyataan
hidup sehari-hari tidak semua orang mampu melaksanakan sendiri semua urusannya
sehingga diperlukan seseorang yang bisa mewakili dalam menyelesaikan urusannya
dengan diberikan upah (Ujrah).

Upah mengupah merupakan salah satu pembahasan Fiqh Muamalah pada


Ijarah, yakni Ijarah atas pekerjaan. Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru, yang arti
menurut bahasanya ialah al-iwadh, arti dalam Bahasa Indonesianya ialah ganti dan
upah. Al-Ijarah dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah
merupakan muamalah yang telah disyariatkan dalam Islam.

1
A. RUMUSANMASALAH
1. Apa Yang Dimaksud Sewa-Menyewa (Ijarah) dan Permasalahannya?

2. Apa yang Dimaksud Upah-Mengupah dan Permasalahannya ?

B. TUJUANMASALAH

1. Mengetahui Yang Dimaksud Sewa-Menyewa (Ijarah) dan Permasalahannya


2. Mengetahui Yang Dimaksud Upah-Mengupah dan Permasalahannya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sewa-Menyewa (Ijarah) Dan Permasalahannya

a. Pengertian
Kata ijarah diambil dari suatu kata ajru dimana memiliki arti pengganti.
Dalam syariat ijarah merupakan suatu akad pengambilan manfaat disertai
kompensasi upah. Ijarah atau sewa-menyewa merupakan salah satu akad atau
suatu perjanjian dalam pengambilan manfaat dengan adanya imbalan yang diatur
syarat-syarat tertentu.
Secara istilah syariah definisi sewa- menyewa juga dijelaskan salah
satunya menurut ulama fikih. Seperti yang dikemukakan oleh AlJazairi yang
memberikan definisi bahwa sewa (ijarah) merupakan salah satu akad dalam
mengambil suatu manfaat dengan masa tertentu atau masa yang telah ditentukan.
Ijarah sendiri banyak sekali yang mengartikan, dimana ijarah diartikan
pula sebagai suatu kegiatan jual beli dalam hal jual beli jasa atau lebih dikenal
dengan kata upah-mengupah yaitu perbuatan pengambilan manfaat baik manfaat
itu didapatkan dari tenaga yang dikeluarkan oleh manusia ataupun manfaat yang
diambil ditimbulkan dari suatu barang tertentu.
Mengenai ijarah Syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah pula
mengemukakan perihal ijarah yang dimana merupakan suatu Akad atas suatu
manfaat dimana manfaat yang dimaksud telah diketahui serta disengaja untuk
membolehkan atau bahkan memberikan yang diiringi dengan suatu imbalan
dimana imbalan yang dimaksud telah diketahui pada saat itu juga. Jumhur ulam
fiqih juga memberikan pendapatnya mengenai ijarah, dimana menurut jumhur
ulama sewa-menyewa merupakan suatu penjualan manfaat dimana dikatakan
bahwa yang diperbolehkan disewakan adalah berupa manfaatnya bukan berupa
bendanya. Oleh sebab itu jumhur ulama fiqih tidak memperbolehkan menyewakan

3
suatu pohon untuk diambil buahnya, sumur untuk diambil airnya, serta hal lain
karena itu semua bukan manfaatnya melainkan bendanya.
Para Ulama memiliki perbedaan dalam mengartikan ijarah (sewa-
menyewa), tak terkecuali dengan ulama empat mazhab yang dikenal saat ini,
adapun definisi dari ijarah menurut ulama empat imam mazhab adalah sebagai
berikut :
1) Menurut Hanafiyah ijarah merupakan:
“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan
disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.”
2) Menurut Malikiyah ijarah merupakan:
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan
untuk sebagian yang dapat dipindahkan.”
3) Menurut Syaf’iyah ijarah merupakan
“Akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan
dibolehkan dengan imbalan tertentu.”
Dalam Ensiklopedia Fikih Muamalah dijelaskan bahwa ijarah adalah jenis
transaksi terhadap manfaat tertentu yang mubah, dari suatu barang tertentu yang
telah dijelaskan baik berupa sifat maupun waktunya atau dapat dikatakan sebagai
suatu jenis transaksi atas sesuatu misalnya berupa pekerjaan yang upahnya serta
pekerjaanya telah diketahui. Oleh karena itu dapat dikatakana bahwa yang
dimaksud dari sewa-menyewa merupakan salah satu perjanjian yang berkaitan
dengan pemanfaatan ataupun pengambilan suatu manfaat dari benda, baik itu
berupa yang berkaitan dengan manusia ataupun tidak seperti binatang.
Dari definisi-definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada
dasarnya tidak ada perbedaan prinsip dari para ulama terkait ijarah atau sewa-
menyewa dalam hal definisi. Oleh karena itu bisa dipahami jika ijarah merupakan
suatu akad atas manfaat dengan imbalan atau dapat dikatakan sebagai suatu
kegiatan transaksi yang memperbolehkan penggunanya mengambil manfaat

4
dengan waktu tertentu serta imbalan tertentu yang sudah disepakati oleh kedua
belah pihak, atau juga dapat diartikan sebagai menukarkan sesuatu diiringi dengan
imbalan. Manfaat yang dimaksud dalam hal ini dapat berupa manfaat suatu benda
atau manfaat pekerjaan seperti manfaat yang didapatkan dari pekerjaan atau dapat
juga berupa manfaat yang diperoleh dari kerja keras seperti buruh dan lain
sebagainya.
b. Dasar hukum Sewa-Menyewa (Ijarah)
Ulama sepakat perihal diperbolehkannya ijarah (sewamenyewa) hal
tersebut didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma yaitu sebagai
berikut :

1) QS. An-Nisa ayat 29

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-
Nisa : 29)

2) Al-Baqarah ayat 233

“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa
yang kamu kerjakan”.(Q.S Al Baqarah : 233).

3) Al-Qashash ayat 26

“Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata “wahai ayahku!
jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik
yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat
dipercaya.” (Al-Qashash : 26).

5
Dari beberapa Ayat diatas dapat dipahami bahwa ijarah merupakan salah
satu transaksi yang diperbolehkan untuk dilakukan. Hal tersebut dilatarbelakangi
karena manusia pada dasarnya akan saling membutuhkan satu sama lain baik itu
membutuhkan manfaat yang bersumber dari barang maupun manfaat yang
bersumber dari tenaga orang lain. Dari ayat diatas juga dapat dipahami bahwa
ketika mengambil manfaat dari suatu barang atau menggunakan jasa
seseorang/pekerja maka ada keharusan untuk membayar imbalannya sesuai
dengan apa yang telah dikerjakan.

c. Rukun dan syarat sewa-menyewa(ijarah)


Pada dasarnya kitab fikih menyebutkan beberapa rukun terjadinya ijarah,
dimana rukun tersebut yaitu musta’jir dan mu’jir (penyewa atau pihak yang
menyewa dan pihak yang menyewakan), sigah (ijab dan kabul), serta manfaat dari
barang yang dipersewakan dan yang terakhir adalah upah. Musta’jir dan mu’jir
dapat dikatakan sebagai orang yang melaksanakan akad sewa menyewa tersebut
atau akad upah mengupah.
Menurut Ulama Hanafiyah rukun yang harus dipenuhi dalam sewa-
menyewa atau ijarah hanya ada satu yaitu ijab dan kabul. Hal tersebut dapat
terlaksana dari mereka penyewa dan yang menyewakan. Sedangkan rukun ijarah
menurut mayotitas ulama itu ada empat yaitu:
a. Dua pelaku akad (pemilik dan penyewa)
b. Shighah (ijab dan qabul)
c. manfaat barang
d. upah

Seperti halnya dalam praktik muamalah yang lain dalam praktik sewa-
menyewa (Ijarah) pun terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar praktik
sewa menyewa-tersebut dapat dikatakan sah atau boleh dilakukan. Adapun syarat
sah Ijarah adalah sebagai berikut :

6
a. Syarat Wujud (al-in’iqad)
Syarat wujud dapat terpenuhi apabila pelaku sewa menyewa balig dan
berakal oleh karenanya ijarah tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila.
Namun ulama malikiyah memberikan pendapat bahwa mencapai usia
mumayiz asalah syarat terjadinya ijarah oleh karenanya jika ada anak yang
telah mumayiz dan melakukan sewa maka akad tersebut dianggap sah
dengan izin dari walinya.
b. Syarat berlaku (an-nafadz)
Syarat berlaku dapat terpenuhi apabila adanya hak kepemilikan atau
hak kekuasaan.
c. Syarat sah (ash-shihhah)
1) Kerelaan kedua pelaku akad
2) Hendaknya objek akad (yaitu manfaat) diketahui sifatnya guna
menghindari perselisihan.
3) Hendaknya yang menjadi objek dalam akad ijarah dapat diserahkan,
baik diserahkan tersebut secara nyata (Hakiki) ataupun diserahkan
secara syara.
4) Manfaat yang dijadikan objek dalam ijarah hendaknya harus
diperbolehkan syara.
d. Syarat objek akad
Apabila objek dalam akad termasuk barang yang bergerak maka di
syaratkan terjadinyapenerimaan.
e. Syarat upah (ujrah)
1) Hendaknya upah tersebut harta yang bernilai dan diketahui.
2) Upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dengan objek akad
f. Syarat kelaziman (al-luzum)
Syarat ini dapat terpenuhi apabila terbebasnya barang yang disewakan
dari cacat yang merusak pemanfaatannya.

7
d. Batalnya Sewa-Menyewa ( Ijarah)

Sewa-menyewa atau ijarah akan batal dan berakhir apabila terjadi hal-hal
sebagai berikut:

a. Adanya Kecacatan di Barang Sewaan


Maksud dari cacat disini adalah cacat pada barang yang dijadikan
sebagai objek pada praktik sewa ini, kerusakan tersebut dapat disebabkan
oleh lalainya penyewa dalam memanfaatkan atau menggunakan barang
sewaan, atau penggunanaan barang yang disewakan tidak sesuai dengan
apa yang seharusnya diperuntukan. Maka dalam hal ini sewa dapat
dibatalkan.
b. Barang yang disewakan rusak
Rusak yang dimaksud disini adalah rusak barang yang digunakan
sebagai objek dalam sewa atau musnahnya barang yang dijadikan objek
dalam sewa tersebut yang mengakibatkan barang tersebut tidak bisa
digunakan kembali sesuai dengan perjanjian di awal akad. Contohnya sewa
menyewa yang memperjanjikan rumah sebagai objeknya dan rumah
tersebut terbakar.
c. Barang yang digunakan untuk upah rusak atau cacat.
d. Sudah terpenuhinya dan sudah didapatkan manfaat yang disebutkan di akad
atau Berakhirnya masa sewa menyewa atau telah selesainya pekerjaan.
e. Adanya pengguguran akad oleh kedua belah pihak yang melaksanakan
sewa-menyewa.

Dalam hal ijarah batal (fasakh) ulama Hanafi memberikan tambahan


tentang batalnya sewa-menyewa tersebut yaitu :

a. Ijarah boleh fasakh dari salah satu pihak atau pihak penyewa dapat akad
ijarah misalnya karena ada uzur tersebut bisa berasal dari dirinya.
b. Sewa menyewa dapat batal dengan alasan meninggalnya salah satu dari
pelaku akad tersebut.

8
B. Upah-Mengupah dan Permasalahannya
a. Pengertian
Upah dalam Islam dikenal dengan istilah ijarah. Secara Etimologi kata Al-
Ijarah berasal dari kata al-ajru’ yang berarti al-‘iwad yang dalam bahasa Indonesia
berarti ganti atau upah. Sedangkan secara istilahi ijarah adalah akad pemindahan
hak guna (manfaat) suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan adanya
pembayaran upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu
sendiri. Oleh karenanya, Hanafiyah mengatakan bahwa ijarah adalah akad atas
manfaat disertai imbalan.
Upah adalah sejumlah uang yang dibayar oleh orang yang memberi
pekerjaan kepada seorang pekerja atas jasanya sesuai perjanjian. Dari pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa upah adalah harga yang dibayarkan kepada
pekerja atas jasanya dalam bidang produksi atau faktor produksi lainnya, tenaga
kerja diberikan imbalan atas jasanya dengan kata lain upah adalah harga dari
tenaga yang dibayarkan atas jasa dalam produksi. Jika pekerja tidak menerima
upah akan mempengaruhi standar penghidupan bagi para pekerja.
Upah dapat dinisbatkan pada penghasilan yang diperoleh tenaga kerja,
yang dalam hal ini dapat dipandang sebagai jumlah uang yang diperoleh dari
seorang pekerja selama suatu jangka waktu tertentu, sepertilahnya sebulan,
seminggu, atau sehari, mengacu pada upah nominal tenaga kerja.. Pengertian upah
dalam kamus bahasa Indonesia adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan
sebagai pembalasan jasa atau sebagai pembayaran tenaga yang sudah dilakukan
untuk mengerjakan sesuatu.
Afzalurrahaman juga mengatakan bahwa upah adalah harga yang
dibayarkan pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan, seperti factor produksi
lainnya, tenaga kerja diberi imbalan atas jasanya, dengan kata lain, upah adalah
harga dari tenaga yang dibayar atas jasanya dalam produksi.
Upah yang wajar atau dalam artian tidak seorang pun yang dirugikan
adalah apa yang dibutuhkan oleh seorang pekerja, yaitu biaya hidup dengan batas
minimum. Penentuan upah tidak boleh didasarkan perkiraan batas taraf hidup
yang paling rendah atau tingginya tarif tertentu. Menetapkan upah yang adil bagi

9
pekerja sesuai dengan syari’ah bukanlah pekerjaan mudah. Mawardi dalam Al-
Ahkam al-Sulthaniyah berpendapat, dasar penetapan upah pekerja adalah standar
yang cukup artinya gaji atau upah pekerja dapat menutupi kebutuhan minimum.

b. Prinsip-Prinsip Upah-Mengupah dalam Islam

Dalam perspektif Ekonomi Islam, prinsip pengupahan terbagi atas dua


bagian, yakni sebagai berikut :

a. Adil
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, keadilan merupakan kata
sifat yang menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat sebelah,
tidak berpihak, berpegang kepada kebenaran, proporsional. Sedangkan
kata keadilan dalam bahasa arab berasal dari kata "'adala", yang dalam
Al-Quran terkadang disebutkan dalam bentuk perintah ataupun dalam
bentuk kalimat berita. Kata ‘adl di dalam al-Qur’an memiliki aspek dan
objek yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut
mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan).
b. Layak
Jika adil berbicara tentang kejelasan, transparansi serta
proposionalitas ditinjau dari berat bekerjanya, makaUpah yang layak
merupakan upah yang harus sesuai dengan harga pasar tenaga kerja
sehingga pekerja tidak tereksploitasi sepihak. Sebagaimana yang terdapat
dalam al-qur’an sebagai berikut:
“Dan janganlah kamu merugikan manusia akan hak-haknya dan
janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.”(QS.
AsySyua’ra 26 : 183).

Ayat di atas bermakna janganlah seseorang merugikan orang lain, dengan


cara mengurangi hakhak yang seharusnya diperoleh. Dalam pengertian yang lebih
jauh, hak-hak dalam upah berarti janganlah mempekerjakan upah seseorang
hingga jauh dibawah upah yang biasanya diberikan. Jadi, upah yang adil harus

10
diberikan secara jelas, transparan dan proporsional. Layak bermakna bahwa upah
yang diberikan harus mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan serta
tidak jauh berada dibawah pasaran. Aturan upah ini perlu didudukkan pada
posisinya, agar memudahkan bagi kaum muslimin atau pengusaha muslim dalam
mengimplementasikan manajemen syariah dalam pengupahan para karyawannya
di perusahan.3

c. Tingkat Upah dalam Ekononmi Islam


Tingkat upah yang ditetapkan haruslah berdasarkan pada rasa keadilan,
upah ditetapkan melalui negosiasi antara pekerja, majikan dan negara. Dalam
pengambilan keputusan tentang upah maka kepentingan mencari nafkah dan
majikan akan dipertimbangkan secara adil. Untuk itu menjadi tanggung jawab
negara untuk mempertimbangkan tingkat upah yang ditetapkan agar tidak terlalu
rendah sehingga tidak mencukupi biaya kebutuhan pokok para pekerja juga tidak
terlalu tinggi sehingga majikan kehilangan bagiannya yang sesungguhnya dari
hasil kerjasama itu.
Agar dapat menetapkan suatu tingkatan upah yang cukup, negara perlu
menetapkan terlebih dahulu tingkat upah minimum dengan mempertimbangkan
perubahan kebutuhan dari pekerja golongan bawah dan dalam keadaan apapun
tingkat upah ini akan jatuh. Tingkat minimum ini sewaktu-waktu harus ditinjau
kembali untuk melakukan penyesuaian berdasarkan perubahan tingkat harga dan
biaya hidup. Tingkat maksimumnya tentunya akan ditetapkan berdasarkan
sumbangan tenaganya dan akan sangat bervariasi.

Penetapan tingkatan upah dalam ekonomi Islam antara lain sebagai berikut:

a. Penetapan Upah Minimum. Tingkat upah minimum merupakan ketetapan


yang harus disepakati sebagai dasar pemberlakukan bagi para pekerja dan
majikan. Ini diperlukan karena pekerja dalam hubungannya dengan
majikan berada dalam posisi yang sangat lemah yang selalu ada

11
kemungkinan kepentingannya tidak akan terlindungi dan terjaga dengan
sebaik-baiknya. Mengingat posisinya yang lemah, Islam memberikan
perhatian yang besar untuk melindungi hakhak nya dari pelangaran yang
dilakukan oleh majikan.
b. Upah Tertinggi Islam tidak membiarkan upah berada dibawah tingkat
minimum yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan pokok kelompok
pekerja, dan Islam juga tidak membiarkan adanya kenaikan upah melebihi
tingkat tertentu yang ditentukan berdasarkan sumbangsihnya terhadap
produksi. Sebagaimana diketahui betapa pentingnya menyediakan upah
bagi mereka yang setidaktidaknya dapat memenuhi kebutuhan pokok
mereka agar tercipta keadilan dan pemerataan, disamping itu
untukmenunjang efisiensi kerja mereka, juga perlu menjaga upah agar tetap
berada pada batas-batas kewajaran agar mereka tidak menjadi
pengkonsumsi semua barang produksi.
c. Tingkat Upah Sesungguhnya Dalam penetapan upah ekonomi Islam
menyediakan ruang untuk memberi perlindungan bagi hak-hak para
majikan dan pekerja. Jatuhnya upah di bawah tingkat terendah tidak
seharusnya terjadi untuk melindugi hak-hak pekerja, sebaliknya menaikan
upah yang melebihi batas tertinggi tidak seharusnya terjadi demi
menyalamatkan kepentingan majikan. Upah yang sesungguhnya
merupakan kesepakatan yang terjadi antara majikan dan pekerja yang naik
dan turunnya akan tetap berada di antara kedua batas-batas ini berdasarkan
undang-undang persediaan dan permintaan ketenagakerjaan yang tentunya
akan dipengaruhi oleh standar hidup sehari-hari dari kelompok pekerja.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata ijarah diambil dari suatu kata ajru dimana memiliki arti pengganti.
Dalam syariat ijarah merupakan suatu akad pengambilan manfaat disertai
kompensasi upah. Ijarah atau sewa-menyewa merupakan salah satu akad atau
suatu perjanjian dalam pengambilan manfaat dengan adanya imbalan yang diatur
syarat-syarat tertentu.
Secara istilah syariah definisi sewa- menyewa juga dijelaskan salah
satunya menurut ulama fikih. Seperti yang dikemukakan oleh AlJazairi yang
memberikan definisi bahwa sewa (ijarah) merupakan salah satu akad dalam
mengambil suatu manfaat dengan masa tertentu atau masa yang telah ditentukan.
Upah dalam Islam dikenal dengan istilah ijarah. Secara Etimologi kata Al-
Ijarah berasal dari kata al-ajru’ yang berarti al-‘iwad yang dalam bahasa Indonesia
berarti ganti atau upah. Sedangkan secara istilahi ijarah adalah akad pemindahan
hak guna (manfaat) suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan adanya
pembayaran upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu
sendiri. Oleh karenanya, Hanafiyah mengatakan bahwa ijarah adalah akad atas
manfaat disertai imbalan.
B. Saran
Tulisan ini hanyalah pendahuluan. Untuk itu perlu dilakukan
pemyempurnaan oleh pihak dalam bidang akademik. Demikian pula
penyempurnaan dari segala aspek demi kesempurnaan tulisan ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ghofur, Ruslan Abdul. Konsep Upah Dalam Ekonomi Islam, (Cet. I; Bandar
Lampung: Arjasa Pratama, 2020).

Helmi Karim, Fiqh Mu’amalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Terjemahan Mahyudin Syaf, Bandung: PT Al-


Ma‟arif, 1994.

Muhammad Sulaiman dan Aizuddinur Zakaria, Jejak Bisnis Rasul, (Jakarta: Cet.
1, PT Mizan Publika, 2010).

Rustam Effendi, Produksi Dalam Islam, Magistra Insani Pres, Yogayakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai