Anda di halaman 1dari 24

TAFSIR AHKAM MUA II

IJARAH

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Oom Mukarromah, M. Hum

Disusun Oleh :

 Neneng Masitoh 201130116


 Pelita Puspita JMK 201130117

HUKUM EKONOMI SYARIAH C


UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
Jl. Jendral Sudirman No. 30 Panancangan Cipocok Jaya, sumur Pecung Kec.
Serang, Kota Serang, Banten 42118
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan kami limpahan rahmat sehingga kami mampu
menyelesaikan makalah tentang “ Ijarah ” ini untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Tafsir Ahkam MUA II.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah menuntun kita dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang
terang benderang yakni agama islam.
Makalah ini disusun dengan tujuan pertama memahami dan mendalami materi
tentang Ijarah dan dasar hukum Ijarah. Kedua untuk memenuhi tugas diskusi dan
pembuatan makalah secara kelompok. Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai
wahana pembelajaran mata kuliah Tafsir Ahkam MUA II agar dapat dipelajari oleh
seluruh mahasiswa/mahasiswi khususnya jurusan Hukum Ekonomi Syariah.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh dari sempurna,
karena itulah kritik dan saran yang membangun dari dosen dan teman-teman sangat kami
harapkan.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................iv

A. Latar Belakang.................................................................................................iv

B. Rumusan Masalah............................................................................................iv

C. Tujuan Masalah...............................................................................................iv

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................1

A. Pengertian Ijarah..............................................................................................1

B. Dasar Hukum Ijarah........................................................................................4

C. Rukun dan Syarat Ijarah.................................................................................8

D. Asbabun Nuzul................................................................................................12

E. Berakhirnya Akad Ijarah...............................................................................16

BAB III PENUTUP..........................................................................................................18

A. Kesimpulan......................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan mu‟amalah ialah Ijarah. Menurut
bahasa, Ijarah berarti “upah” atau “ganti” atau “imbalan”. Karena itu lafaz Ijarah mempunyai
pengertian umum yang meliputi upah atas Pemanfaatan sesuatu benda atau imbalan sesuatu
kegiatan, atau upah karena melakukan sesuatu aktivitas. Kalau sekiranya kitab – kitab fikih
selalu menerjemahkan kata Ijarah dengan “sewa – menyewa”, maka hal tersebut janganlah di
artikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus di pahami
dalam arti yang luas.

Sewa menyewa itu di artikan sebagai “Suatu jenis akad untuk mengambil manfaat
dengan jalan penggantian”. Dari pengertian di atas terlihat bahwa yang dimaksud dengan
sewa – menyewa itu adalah mengambil manfaat sesuatu benda, jadi dalam hal ini bendanya
tidak berkurang sama sekali, dengan perkataan lain dengan terjadinya peristiwa sewa –
menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang di sewakan tersebut. Jadi, dalam
arti luas, Ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan
memberikan imbalan dalam jumlah tertentu.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ijarah?
2. Apa yang menjadi dasar hukum Ijarah?
3. Apa rukun dan syarat Ijarah?
4. Jelaskan Asbabun Nuzul dari dasar hukum (Al-Qur’an) ijarah!
5. Kapan berakhirnya akad Ijarah?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian Ijarah.
2. Mengetahui apa saja dasar hukum Ijarah.
3. Mengetahui rukun dan syarat Ijarah.
4. Mengetahui dasar hukum (Al-Qur’an) Ijarah.
5. Mengetahui kapan berakhirnya akad Ijarah.

iv
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah
Menurut bahasa kata ijarah berasal dari kata “al-ajru”yang berarti “al-iwadu” (ganti)
dan oleh sebab itu “ath-thawab”atau (pahala) dinamakan ajru (upah). 1 Lafal al-ijarah dalam
bahasa arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk
muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-meyewa, kontrak, atau
menjual jasa perhotelan dan lain-lain. 2

Ijarah menurut arti lughat adalah balasan, tebusan, atau pahala. Menurut syara’ berarti


melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain dengan jalan
membayar sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan dengan syarat-syarat tertentu pula.3

Secara terminology, ada beberapa definisi al-ijarah yang dikemukakan para ulama


fiqh. Menurut ulama Syafi‟iyah, ijarah adalah akad atas suatu kemanfaatan dengan
pengganti. Menurut Hanafiyah bahwa ijarah adalah akad untuk membolehkan pemilikan
manfaat yang di ketahui dan di sengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan. 4

Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanabilah, ijarah adalah menjadikan milik suatu


kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti. Selain itu ada yang
menerjemahkan ijarah sebagai jual beli jasa (upahmengupah), yakni mengambil mengambil
manfaat tenaga manusia, yang ada manfaat dari barang.5

Menurut Syafi‟i Antonio, ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau
jasa, melalui sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.6

Menurut Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya wakaf, alijarah syirkah


mengemukakan, ijarah secara bahasa berarti balasan atau timbangan yang diberikan sebagai
upah atas pekerjaan. Secara istilah ijarah berarti suatu perjanjian tentang pemakaian atau
pemungutan hasil suatu benda, binatang atau tenaga manusia.

1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, h .203
2
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, h. 228
3
Syaifullah Aziz, Fiqih Islam Lengkap, Asy-syifa, Surabaya, 2005, h .377
4
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001, h. 121
5
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001, h. 121
6
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press, Jakarta, h. 177

1
Misalnya menyewa rumah untuk tinggal, menyewa kerbau untuk membajak sawah, menyewa
manusia untuk mengerjakan suatu pekerjaan dan sebagainya.7

Menurut Gufron A. Mas‟adi dalam bukunya Fiqh muamalah kontekstual


mengemukakan, ijarah secara bahasa berarti upah dan sewa jasa atau imbalan. Sesungguhnya
merupakan transaksi yang memperjualbelikan suatu harta benda.8

Ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa arab ke bahasa Indonesia, antara
sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional. Sewa biasanya digunakan untuk
benda, seperti seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah,
sedangkah upah digunakan untuk tenaga, seperti karyawan yang berkerja di pabrik di bayar
gajinya (upahnya.) satu kali dalam dua minggu, atau sekali dalam sebulan, dalam bahasa arab
upah dan sewa disebut ijarah. Dalam konteks substansi pembahasan ini yang dimaksud
dengan ijarah adalah upah. Definisi upah menurut Undang-undang No 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan tercantum pada Pasal 1 ayat 30 yang berbunyi :

“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada perkerja/buruh yang ditetapkan
dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-
undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.9

Manurut Dewan Peneliti Perubahan Nasional, upah adalah suatu penerimaan sebagai
imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan
akan di lakukan, befungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup layak bagi kemanusiaan dan
produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu
persetujuan, undang-undang dan peraturan yang di bayarkan atas suatu perjanjian kerja antara
pemberi dan penerima.

7
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah Syirkah, Al-ma‟rif, Bandung, 1995, h. 24
8
Gufron A.Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, h. 181
9
Undang-undang Ketenagakerjaan Lengkap, cet 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2007,h. 5

2
Menurut PP No. 5 tahun 2003 upah memiliki hak pekerja yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja atas suatu
pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan ,atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja dan
keluarganya.10

Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa upah adalah suatu bentuk hak
pekerja untuk mendapatkan imbalan yang bernilai dalam bentuk uang yang dibayarkan oleh
pengusaha kepada pekerja atau jasa yang telah ditetapkan menurut persetujuan dan
kesepakatan atas dasar perjanjian kerja.

Jenis-jenis Ijarah:

Dari ulasan di atas, definisi tata cara ijarah berbeda tergantung apakah berhubungan dengan
sewa aset dan properti atau berhubungan dengan jasa. Karena itu, jenis ijarah dibagi menjadi
dua jenis:

a. Ijarah Murni

Praktik tata cara ijarah murni ini sama dengan perjanjian sewa menyewa biasa. Dalamtata cara
ijarah yang berkaitan dengan jasa ini kedua belah pihak berkedudukan sama. Artinya jika
perjanjian telah selesai, maka pihak penyewa dan pihak yang menyewakan akan kembali ke
kedudukannya masing-masing.

Dalam skema tata cara ijarah murni, yang dititikberatkan adalah jasa pemborongan suatu
pekerjaan. Misalnya jasa borongan pembangunan gedung, jasa borongan renovasi rumah dan
lain sebagainya. Yang diijarahkan bukan tenaga atau jasanya, namun hasil dari pekerjaan
pemborongan.

b. Ijarah Muntahia Bi Al-Tamlik

tata cara ijarah muntahia bi al-tamlik merupakan jenis ijarah yang memiliki dua akad yang
saling berangkaian. Dua akad tersebut yaitu akad al-ba’i dan akad al-ijarah muntahia bi al-
10
Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2003 tentang UMR Pasal 1. Poin b

3
tamlik. Pertama adalah akad al-ba’i yang merupakan akad jual beli. Kedua adalah akad al-
ijarah muntahia bi al-tamlik, yaitu akad ijarah (sewa menyewa) yang dikombinasikan dengan
akad jual beli di akhir masa sewa.

Secara sederhana, tata cara ijarah muntahia bi al-tamlik adalah transaksi sewa menyewa yang
memiliki dua akad, yaitu perjanjian menyewa dalam periode tertentu, dan ketika masa sewa
berakhir objek sewa akan dijual atau dihibahkan kepada penyewa.

Praktik tata cara ijarah muntahia bi al-tamlik ini seringkali kita jumpai dalam transaksi jual
beli rumah. Dalam praktik tata cara ijarah, uang sewa diwujudkan sebagai uang muka (DP)
dan cicilan atau angsuran tiap bulannya. Masa mencicil ini biasanya ditetapkan dalam periode
tertentu, misalnya selama 10 tahun. Kemudian jika masa sewa sudah mencapai 10 tahun,
maka rumah tersebut menjadi milik penyewa.

B. Dasar Hukum Ijarah

Hukum ijarah dapat diketahui dengan mendasarkan pada teks-teks al-Qur‟an, hadist-
hadist Rasulullah, dan Ijma‟ ulama fikih sebagai berikut:

1. Al-quran

Dalam al-Qur‟an ketentuan tentang upah tidak tercantum secara terperinci. Akan
tetapi pemahaman upah dicantumkan dalam bentuk pemaknaan tersirat, seperti ditemukan
dalam Al-Qur’an.

- Surah Al-Baqarah ayat 233

َّ‫ه ِر ْزقُ ُهن‬DDD ْ ُ‫ا َعةَ ۗ َو َعلَى ا ْل َم ْول‬DDD‫ض‬


ٗ َ‫و ِد ل‬DDD َ ‫ا ِملَ ْي ِن لِ َمنْ اَ َرا َد اَنْ يُّتِ َّم ال َّر‬DDD‫ ْولَ ْي ِن َك‬DDD‫عْنَ اَ ْواَل َدهُنَّ َح‬DDD‫ض‬ ِ ‫دتُ يُ ْر‬DDD ٰ ِ‫َوا ْل َوال‬
‫ث‬ ْ ُ‫ض ۤا َّر َوالِ َدةٌ ۢبِ َولَ ِدهَا َواَل َم ْول‬
ِ ‫ َوا ِر‬D‫ ِد ٖه َو َعلَى ا ْل‬Dَ‫و ٌد لَّ ٗه بِ َول‬D َ ُ‫س َع َها ۚ اَل ت‬ ْ ‫س اِاَّل ُو‬ ٌ ‫ف اَل تُ َكلَّفُ نَ ْف‬ ِ ۗ ‫س َوتُ ُهنَّ بِا ْل َم ْع ُر ْو‬
ْ ‫َو ِك‬
‫ ُع ْٓوا اَ ْواَل َد ُك ْم‬D ‫ض‬
ِ ‫ست َْر‬ َ َ‫ض ِّم ْن ُه َما َوتَشَا ُو ٍر فَاَل ُجن‬
ْ َ‫ا َۗواِنْ اَ َر ْدتُّ ْم اَنْ ت‬DD‫اح َعلَ ْي ِه َم‬ ٍ ‫صااًل عَنْ ت ََرا‬ َ ِ‫ِم ْث ُل ٰذلِكَ ۚ فَاِنْ اَ َرادَا ف‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
‫ص ْي ٌر‬ ِ َ‫ف َواتَّقُوا َ َوا ْعلَ ُم ْٓوا اَنَّ َ بِ َما تَ ْع َملُ ْونَ ب‬ ِ ۗ ‫سلَّ ْمتُ ْم َّمٓا ٰاتَ ْيتُ ْم بِا ْل َم ْع ُر ْو‬َ ‫اح َعلَ ْي ُك ْم اِ َذا‬
َ َ‫فَاَل ُجن‬

Artinya : Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh,
bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan
pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita)
karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin
menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa
atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. {233}

Ayat tersebut menerangkan bahwa setelah seseorang memperkerjakan orang lain


hendaknya memberikan upahnya. Dalam hal ini menyusui adalah pengambilan manfaat dari
orang yang dikerjakan. Jadi, yang dibayar bukan harga air susunya melainkan orang yang
dipekerjakannya.11

- Surah At-Talaq Ayat 6

ۗ
َّ‫ َعلَ ْي ِهن‬D‫ا َ ْنفِقُ ْوا‬DDَ‫ت َح ْم ٍل ف‬ِ ‫ضيِّقُ ْوا َعلَ ْي ِهنَّ َواِنْ ُكنَّ اُواَل‬ َ ُ‫ُض ۤا ُّر ْوهُنَّ لِت‬
َ ‫س َك ْنتُ ْم ِّمنْ ُّو ْج ِد ُك ْم َواَل ت‬
َ ‫ث‬ ُ ‫س ِكنُ ْوهُنَّ ِمنْ َح ْي‬
ْ َ‫ا‬
ۚ ۚ
ٓ ٗ َ‫ض ُع ل‬
‫ه‬DD ِ ‫ست ُْر‬َ َ‫س ْرتُ ْم ف‬ ٍ ۚ ‫ضعْنَ لَ ُك ْم فَ ٰات ُْوهُنَّ اُ ُج ْو َرهُنَّ َوْأتَ ِم ُر ْوا بَ ْينَ ُك ْم بِ َم ْع ُر ْو‬
َ ‫ف َواِنْ تَ َعا‬ َ ‫ضعْنَ َح ْملَ ُهنَّ فَاِنْ اَ ْر‬ َ َ‫َح ٰتّى ي‬
‫اُ ْخ ٰر ۗى‬

Artinya : Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara

11
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Diponogoro, Bandung, 2006

5
kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain
boleh menyusukan (anak itu) untuknya.12

- Qur’an Surah An-Nahl Ayat 97

ۚ
َ ‫ َر ُه ْم بِا َ ْح‬D‫ ِزيَنَّ ُه ْم اَ ْج‬D‫ةً َولَنَ ْج‬Dَ‫وةً طَيِّب‬D‫ْؤ ِمنٌ فَلَنُ ْحيِيَنَّ ٗه َح ٰي‬D‫صالِ ًحا ِّمنْ َذ َك ٍر اَ ْو اُ ْن ٰثى َو ُه َو ُم‬
‫انُ ْوا‬D‫ا َك‬D‫ ِن َم‬D‫س‬ َ ‫َمنْ َع ِم َل‬
َ‫يَ ْع َملُ ْون‬

Artinya : Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam


keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan
Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Di dalam ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam Islam, jika
mereka mengerjakan pekerjaan yang sama, dan Allah akan memberikan imbalan yang
setimpal dan lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.13

2. Hadits

Hadist-hadist Rasulullah Saw yang membahas tentang ijarah atau upah mengupah di
antaranya diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda :

Artinya :

“Ðari Abdullah bin Umar ia berkata: telah bersabda Rasulullah “berikanlah upah pekerja
sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah)14

12
Departemen Agama RI, Op.cit.,h.446
13
Ibid.

6
14
Muhammad bin Yazid Abu „Abdullah al-Qazwiniy, Sunan Ibnu Majah Jilid II, Dar al- Fikr, Beirut, 2004, h. 20
Terdapat juga pada Hadist riwayat Abd Razaq dari Abu Hurairah Rasulullah Saw bersabda:

Artinya:

“Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya”.(HR.Abd Razaq
dari Abu Hurairah).15

Dalam hadist riwayat Bukhari :

Artinya :

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Rasulullah SAW, pernah


berbekam,kemudiaan memberikan kepada tukang bekam tersebut upahnya”. (HR Bukhari)16

3. Ijma

Para ulama sepakat bahwa ijarah itu dibolehkan dan tidak ada seorang ulama pun
yang membantah kesepakatan (ijma‟) ini. Jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyariatkan
ijarah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan umat, dan tidak ada larangan untuk melakukan
kegiatan ijarah. Jadi, berdasarkan nash al-Qur‟an, Sunnah (hadis) dan ijma‟ tersebut di atas

15
Ibid.,h.124
16
Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah alJa'fai, Shahih Bukhori, Juz VIII, Maktabah
Syamilah Isdaar, Beirut, 2004

7
dapat ditegaskan bahwa hukum ijarah atau upah mengupah boleh dilakukan dalam islam
asalkan kegiatan tersebut sesuai dengan syara‟. 17

Umat Islam pada masa sahabat telah berijma' bahwa Ijarah dibolehkan sebab
bermanfaat bagi manusia. Selain bermanfaat bagi sesama manusia sebagian masyarakat sangat
membutuhkan akad ini, karena termasuk salah satu akad tolong-menolong. Pakar-pakar
keilmuan dan cendekiawan sepanjang sejarah di seluruh negeri telah sepakat akan legitimasi
ijarah. Dari beberapa nash yang ada, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah itu disyari'atkan
dalam Islam, karena pada dasarnya manusia senantiasa terbentur pada keterbatasan dan
kekurangan. Oleh karena itu, manusia antara yang satu dengan yang lain selalu terikat dan
saling membutuhkan.

4. Fatwa
Menurut fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000, ijarah adalah akad pemindahan
hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran
sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Hukum
ijarah adalah mubah atau diperbolehkan.

C. Rukun dan Syarat Ijarah

a. Rukun Ijarah

Menurut Hanafiyah, rukan dan syarat ijarah hanya ada satu, yaitu ijab dan qabul, yaitu
pernyataan dari orang yang menyewa dan meyewakan.

Sedangkan menurut jumhur ulama, Rukun-rukun dan syarat ijarah ada empat, yaitu
Aqid (orang yang berakad), sighat, upah, dan manfaat. Ada beberapa rukun ijarah di atas akan
di uraikan sebagai berikut:

1. Aqid (Orang yang berakad)


Orang yang melakukan akad ijarah ada dua orang yaitu mu’jir dan mustajir.
Mu’jir adalah orang yang memberikan upah atau yang menyewakan. Sedangkan

17
Hendi Suhendi, Op.cit.,h.117
8
Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang
menyewa sesuatu.

Bagi yang berakad ijarah di syaratkan mengetahui manfaat barang yang di


jadikan akad sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan. Untuk kedua belah
pihak yang melakukan akad disyaratkan berkemampuan, yaitu kedua-duanya
berakal dan dapat membedakan. Jika salah seorang yang berakal itu gila atau anak
kecil yang belum dapat membedakan baik ataupun buruk , maka akad menjadi tidak
sah.

2. Sighat Akad
Yaitu suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan
qabul adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad
sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad ijarah.

Dalam Hukum Perikatan Islam, ijab diartikan dengan suatu pernyataan janji
atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Sedangkan qobul adalah suatu pernyataan yang diucapkan dari pihak yang berakad
pula (musta’jir) untuk penerimaan kehendak dari pihak pertama yaitu setelah
adanya ijab.

Syarat-syaratnya sama dengan syarat ijab-qabul pada jual beli, hanya saja
ijab dan qabul dalam ijarah harus menyebutkan masa atau waktu yang ditentukan.

3. Ujroh (upah)

Ujroh yaitu sesuatu yang diberikan kepada musta’jir atas jasa yang telah diberikan
atau diambil manfaatnya oleh mu’jir. Dengan syarat hendaknya :

9
a. Sudah jelas/sudah diketahui jumlahnya. Karena ijarah akad timbal balik, karena itu
iijarah tidak sah dengan upah yang belum diketahui.
b. Pegawai khusus seperti hakim tidk boleh mengambil uang dari pekerjaannya,
karena dia sudah mendapatkan gaji khusus dari pemerintah. Jika dia mengambil gaji
dari pekerjaannya berarti dia mendapat gaji dua kali dengan hanya mengerjakan satu
pekerjaan saja.
c. Uang yang harus diserahkan bersamaan dengan penerimaan barang yang disewa.
Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya harus lengkap.

4. Manfaat

Di antara cara untuk mengetahui ma’qud alaih (barang) adalah dengan menjelaskan
manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan
atau jasa seseorang.

Semua harta benda boleh diakadkan ijarah di atasnya, kecuali yang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:

a. Manfaat dari objek akad sewa-menyewa harus diketahui secara jelas. Hal ini
dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa atau pemilik memberika
informasi secara transparan tentang kualitas manfaat barang.
b. Objek ijarah dapat diserahterimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan
tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. Tidak dibenarkan
transaksi ijarah atas harta benda yang masih dalam penguasaan pihak ketiga.
c. Objek ijarah dan manfaatnya tidak bertentangan dengan Hukum Syara‟.
Misalnya menyewakan VCD porno dan menyewakan rumah untuk kegiatan
maksiat tidak sah.
d. Objek yang disewakan manfaat langsung dari sebuah benda. Misalnya, sewa
rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, dan sebagainya. Tidak
dibenarkan sewa-menyewa manfaat suatu benda yang sifatnya tidak langsung.
Seperti, sewa pohon mangga untuk diambil buahnya, atau sewa- menyewa ternak
untuk diambil keturunannya, telurnya, bulunya ataupun susunya.

10
e. Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslah harta benda yang bersifat
isty’mali, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan berulangkali tanpa
mengakibatkan kerusakan zat dan pengurusan sifatnya. Sedangkan harta benda
yang bersifat istihlaki adalah harta benda yang rusak atau berkurang sifatnya
karna pemakaian. Seperti makanan, buku tulis, tidak sah ijarah diatasnya.18
18
Ibid.,h.127
b. Syarat Ijarah

Menurut M. Ali Hasan syarat-syarat ijarah adalah:

1. Syarat bagi kedua orang yang berakad adalah telah baligh dan berakal (Mazhab Syafi‟i
Dan Hambali). Dengan demikian apabila orang itu belum atau tidak berakal seperti anak
kecil atau orang gila menyewa hartanya, atau diri mereka sebagai buruh (tenaga dan ilmu
boleh disewa), maka Ijarah nya tidak sah. Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan maliki
bahwa orang yang melakukan akad, tidak harus mencapai usia baligh , tetapi anak yang
telah mumayiz pun boleh melakukan akad Ijarah dengan ketentuan disetujui oleh walinya.

2. Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya untuk melakukan
akad Ijarah itu, apabila salah seorang keduanya terpaksa melakukan akad maka akadnya
tidak sah.

3. Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara jelas, sehingga tidak terjadi
perselisihan dibelakang hari jika manfaatnya tidak jelas. Maka, akad itu tidak sah.

4. Objek Ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada
cacatnya. Oleh sebab itu, ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa tidak boleh menyewa
sesuatu yang tidak dapat diserahkan, dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Umpamanya
rumah atau took harus siap pakai atau tentu saja sangat bergantung kepada penyewa apakah
dia mau melanjutkan akad itu atau tidak, sekiranya rumah itu atau toko itu disewa oleh
orang lain maka setelah itu habis sewanya baru dapat disewakan oleh orang lain.

5. Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara. Oleh sebab itu ulama fikih
sependapat bahwa tidak boleh menggaji tukang sihir, tidak boleh menyewa orang untuk
membunuh (pembunuh bayaran), tidak boleh menyewakan rumah untuk tempat berjudi atau
tempat prostitusi (pelacuran). Demikian juga tidak boleh menyewakan rumah kepada non-
muslim untuk tempat mereka beribadat.19

D. Asbabun Nuzul

11
19
M. Ali Hasan, Op.,Cit, h. 231

12
Firman-Nya (‫املين‬DD‫ولين ك‬DD‫عن أوالدهن ح‬DD‫دات يرض‬DD‫ )والوال‬ini adalah bimbingan dari Allah
Ta’ala bagi para ibu supaya mereka menyusui anak-anaknya dengan sempuma, yaitu dua
tahun penuh. Dan setelah itu tidak ada lagi penyusuan.

Firman-Nya (‫ )لمن أراد أن يتم الرضاعة‬maksudnya, kebanyakan para imam berpendapat


bahwa tidak diharamkan penyusuan yang kurang dari dua tahun. Jadi, apabila ada bayi yang
berusia lebih dari dua tahun masih menyusui, maka yang demikian itu tidak diharamkan.
Hal itu diperkuat dengan apa yang diriwayatkan Ad-Daruquthni, dari Ibnu Abbas,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"‫اع ِإاَّل َما َكانَ فِي ا ْل َح ْولَ ْي ِن‬


ِ ‫ض‬َ ‫"ال يُ َح ِّر ُم ِمنَ ال َّر‬

Artinya: “Tidak menjadikan mahram karena penyusuan, kecuali yang dilakukan kurang dari
dua tahun.” (HR. Ad-Daruquthni 4/174. Kemudian Ad-Daruquthni mengatakan: “Hadis
tersebut tidak disandarkan pada Ibnu Uyainah kecuali oleh Al-Haitsam bin Jamil, dan ia
adalah seorang yang dapat dipercaya dan seorang hafiz.”)

Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Katsir katakan: “Hadis ini terdapat dalam Kitab Al-
Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid, dari Ibnu Abbas, secara
marfu’. Juga diriwayatkan oleh Ad-Darawardi dari Tsaur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas,
dan ia menambahkan: “Dan penyusuan setelah dua tahun itu tidak mempunyai pengaruh
apa pun.” Makna yang terkandung dalam hadis ini menjadi lebih sempurna dengan adanya
firman Allah Ta’ala dalam Surah Luqman ayat 14 yang artinya: “Dan menyapihnya dalam
dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku.” Dan dalam Surah Al-Ahqaaf ayat 15 yang artinya:
“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”

Pendapat yang menyatakan bahwa penyusuan setelah dua tahun tidak menjadikan
mahram diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Jabir, Abu
Hurairah, Ibnu Umar, Ummu Salamah, Sa’id Musayyab, Atha’ dan jumhur ulama. Ini juga
merupakan pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, Ats-Tsauri, Abu Yusuf,
Muhammad, dan Malik. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan, “Yaitu dua tahun enam
bulan.”

Imam Malik berpendapat, jika seorang bayi disapih kurang dari dua tahun, lalu ada
wanita lain menyusuinya, maka yang demikian itu tidak menjadikan mahram, karena
penyusuan itu berkedudukan sama dengan makanan. Hal ini diriwayatkan dari Al-Auza’i.
Dan diriwayatkan pula dari Umar bin Al-Khaththab dan Ali bin Abi Thalib, keduanya
mengatakan: “Tidak ada penyusuan setelah penyapihan.” Kemungkinan yang dimaksudkan
oleh keduanya adalah setelah dua tahun.

Hal itu sama seperti pendapat jumhur ulama, baik bagi anak yang disapih ataupun
tidak. Dan mungkin yang dimaksud oleh Umar bin Al-Khaththab dan Ali bin Abi Thalib
radiallahu anhuma adalah perbuatannya, seperti yang menjadi pendapat Imam Malik.

Dalam Kitab Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) juga telah diriwayatkan sebuah
hadis, dari Aisyah radiallahu’anha, ia berpendapat bahwasanya penyusuan anak yang sudah
besar berpengaruh dalam kemahraman. Yang demikian itu juga merupakan pendapat Atha’
bin Abi Ribah, Al-Laits dan Aisyah radiallahu’anha memerintahkan beberapa wanita untuk
menyusui laki-laki. Dalam hal itu Aisyah berlandaskan pada hadis Salim, budak Abu
Hudzaifah, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan istri Abu
Hudzaifah untuk menyusui Salim, padahal ia sudah besar. Salim masuk rumah istri Abu
Hudzaifah untuk menetek. Namun para istri Nabi menolak hal itu, dan mereka berpendapat
bahwa hal itu termasuk pengecualian. Yang demikian itu merupakan pendapat jumhur
ulama. Dan yang menjadi landasan jumhur ulama, yaitu empat imam madzhab, tujuh orang
ahli fiqih, para sahabat utama dan seluruh istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
kecuali Aisyah, adalah hadis yang telah ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari Aisyah
radiallahu’anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"‫ضا َعةُ ِمنَ ا ْل َم َجا َع ِة‬


َ ‫ فَِإنَّ َما ال َّر‬، َّ‫’’انظرنَ ِمنْ ِإ ْخ َوانِ ُكن‬
ْ

13

Artinya: “Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita) saudara-saudara kalian itu!


Sesungguhnya penyusuan itu karena kelaparan (pada masa bayi).” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim).

Mengenai masalah penyusuan dan hal-hal yang berkenaan dengan penyusuan orang besar
akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan Surah An-Nisaa’ ayat 23 yang artinya: “Dan
ibu-ibu kalian yang menyusui kalian.”
Firman-Nya (‫المعروف‬DD‫وتهن ب‬DD‫ه رزقهن وكس‬DD‫ود ل‬DD‫ )وعلى المول‬maksudnya, seorang bapak
berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada ibu bayi yang menyusui dengan cara
yang ma’ruf, yaitu yang sesuai dengan kebiasaan yang berlaku bagi mereka di negeri
mereka masing-masing dengan tidak berlebih-lebihan atau juga terlampau kurang, sesuai
dengan kemampuan dan kemudahan yang dimiliki oleh bapak si bayi. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala dalam Surah Ath-Thalaq ayat 7 yang artinya: “Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekedar apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak
akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” Adh-Dhahhak mengatakan: “Jika
seseorang menceraikan istrinya, dan ia memperoleh anak dari istrinya tersebut, lalu mantan
istrinya itu menyusui anaknya, maka sebagai bapak ia berkewajiban memberikan nafkah
dan pakaian kepada mantan istrinya tersebut dengan cara yang ma’ruf.”

Firman-Nya (‫ )ال تضار والدة بولدها‬yaitu si ibu memberikan anaknya kepada bapaknya
dengan maksud untuk menyusahkan bapaknya dalam mengasuhnya. Tetapi si ibu tadi tidak
boleh menyerahkan bayinya itu ketika baru melahirkannya hingga ia menyusuinya karena
seringkali bayi yang tidak dapat bertahan hidup bila tidak menyusunya. Kemudian setelah
masa penyusuan itu, ia boleh menyerahkan bayi tersebut, jika ia menghendaki. Tetapi jika
hal itu menyusahkan bapaknya, maka ia tidak boleh menyerahkan bayi itu kepadanya,
sebagaimana si bapak tidak boleh merebut bayi tersebut dari ibunya dengan tujuan untuk
membuatnya sengsara.

Firman-Nya (‫ )وال مولود له بولده‬oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman dalam ayat ini
karena si bapak berkeinginan untuk merebut anaknya dari istrinya dengan tujuan untuk
menyakitinya. Demikianlah yang dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, Adh-Dahhak, Az-
Zuhri, As-Suddi, Ats-Tsauri, serta Ibnu Zaid, dan yang lainnya.

14

Firman-Nya (‫ل ذلك‬DD‫وارث مث‬DD‫ )وعلى ال‬ada yang mengatakan, tidak boleh menimpakan
mudlarat kepada kerabatnya. Demikian dikatakan oleh Mujahid, Asy-Sya’bi dan Adh-
Dhahhak. Ada juga yang mengatakan, kepada ahli waris diwajibkan pula seperti yang
diwajibkan kepada bapak anak itu. Yaitu memberi nafkah kepada ibu si bayi serta
memenuhi semua hak-haknya serta tidak mencelakakannya.
Demikan pendapat jumhur ulama. Yang demikian itu telah dibahas panjang lebar
oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Ayat itu juga dijadikan dalil oleh para pengikut mazhab
Hanafi dan Hambali yang mewajibkan pemberian nafkah kepada kaum kerabat, sebagian
atas sebagian yang lain. Dan pendapat ini juga diriwayatkan, dari Umar bin Al-Khaththab
dan jumhur ulama salaf. Dan disebutkan pula bahwa penyusuan setelah dua tahun
mungkinkan membahayakan si anak, baik terhadap badan maupun otaknya.

Firman-Nya (‫ )فإن أراد فصاال عن تراض منهما وتشاور فال جناح عليمها‬maksudnya, jika kedua
orang tua itu, baik bapak maupun ibu telah sepakat untuk menyapihnya sebelum masa dua
tahun dan keduanya melihat adanya kebaikan dalam hal itu bagi si bayi lalu keduanya
bermusyawarah dan mengambil kesepakatan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Tetapi
keputusan itu tidak cukup jika hanya berasal salah satu pihak saja (bapak ataupun ibu), dan
salah satu pihak tidak boleh memaksakan hal itu tanpa adanya musyawarah dengan pihak
lainnya. Demikian dikatakan oleh Ats-Tsauri dan ulama lainnya. Hal ini merupakan
tindakan kehati-hatian terhadap anak dan keharusan memperhatikan masalah anak. Anak
merupakan rahmat dari Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya, di mana Dia mengingatkan
kedua orang tua untuk senantiasa memperhatikan pemeliharaan anak-anak mereka serta
membimbing keduanya kepada kebaikan mereka berdua dan juga anak-anaknya.
Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam Surah Ath-Thalaq ayat 6 yang artinya:
“Dan jika mereka menyusui (anak-anakmu untukmu, maka berikanlah kepada mereka
upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik. Dan jika
kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”

15

Firman-Nya (‫ ماآتيتم بالمعروف‬... ‫ )وإن أردتم أن تسترضعوا‬maksudnya bapak dan ibu si bayi
itu telah sepakat untuk menyusukan anaknya kepada orang lain karena suatu alasan, baik
dari pihak si bapak maupun si ibu, maka tidak ada dosa bagi keduanya atas penyerahan bayi
mereka. Dan bukan suatu kewajiban bagi pihak bapak untuk memenuhi permintan
penyerahan itu (untuk disusui wanita lain) apabila ia telah menyerahkan upahnya yang
terdahulu dengan cara yang paling baik, lalu si bayi disusukan wanita dengan upah tersebut
dengan cara yang ma’ruf.

Demikian yang dikatakan oleh banyak ulama Firman-Nya (‫ )واتقوا هللا‬yaitu dalam
segala hal dan keadaan kalian. Firman-Nya (‫ )واعلموا أن هللا بما تعملون بصير‬maksudnya, tidak
ada sesuatupun yang tersembunyi dari-Nya, baik yang berupa keadaan maupun ucapan
kalian20

E. Berakhirnya Akad Ijarah

Para ulama fiqh meyatakan bahwa akad al-ijarah akan berakhir apabila:

a. Objek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang di jahitkan
hilang.
b. Tenggang waktu yang di sepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila
yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan
apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang maka ia berhak menerima upahnya.
Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh.
c. Menurut ulama hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad. Karena akad al-
ijarah menurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama,
akad al-ijarah tidak batal dengan afatnya salah seorang yang berakad. Karena
manfaat, menurut mereka boleh diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual beli, yaitu
mengikat kedua belah pihak yang berakad.

d. Menurut ulama hanafiyah, apabila uzur dari salah satu pihak. Seperti rumah yang
disewakan disita Negara karena terkait utang yang banyak, maka al-ijarah batal.
Uzur-uzur yang dapat mebatalkan akad al-ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah

20
http://baitsyariah.blogspot.com/2021/07/tafsir-surah-al-baqarah-ayat-233.html

16
adalah salah satu pihak muflis, dan berpindah tempat penyewa. Misalnya, seseorang
digaji untuk menggali sumur di suatu desa, sebelum sumur itu selesai penduduk desa
itu pindah ke desa lain. Akan tetapi menurut jumhur ulama, uzur yang boleh
membatalkan akad al-ijarah itu hanyalah apabila objeknya mengandung cacat atas
manfaat yang dituju dalam akal itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.21

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

21
Nasrun Haroen, Op.cit.,h.237-238
17
Menurut bahasa kata ijarah berasal dari kata “al-ajru”yang berarti “al-iwadu” (ganti)
dan oleh sebab itu “ath-thawab”atau (pahala) dinamakan ajru (upah). Lafal al-ijarah  dalam
bahasa arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk
muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-meyewa, kontrak, atau
menjual jasa perhotelan dan lain-lain.

Ijarah menurut arti lughat adalah balasan, tebusan, atau pahala. Menurut syara’ berarti


melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain dengan jalan
membayar sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan dengan syarat-syarat tertentu pula.

Secara terminology, ada beberapa definisi al-ijarah yang dikemukakan para ulama fiqh.


Menurut ulama Syafi‟iyah, ijarah adalah akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.
Menurut Hanafiyah bahwa ijarah  adalah akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang
di ketahui dan di sengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.

 Dasar hukum ijarah ada 3, yaitu :

1. Al-qur’an

2. Hadits

3. Ijma’

 Rukun Ijarah ada 4, yaitu :

1. Aqid (Orang yang berakad)

2. Sighat Akad

3. Ujroh (upah)
4. Manfaat

 Syarat Ijarah ada 5, yaitu :

1. Syarat bagi kedua orang yang berakad adalah telah baligh dan berakal (Mazhab Syafi‟i
Dan Hambali).

18

2. Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya untuk melakukan
akad Ijarah.

3. Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara jelas.


4. Objek Ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada
cacatnya.

5. Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara.

19

DAFTAR PUSTAKA

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
Syaifullah Aziz, Fiqih Islam Lengkap, Asy-syifa, Surabaya, 2005

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah Syirkah, Al-ma‟rif, Bandung,
1995

Gufron A.Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,


2002

Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah alJa'fai, Shahih Bukhori, Juz
VIII, Maktabah Syamilah Isdaar, Beirut, 2004

20

Anda mungkin juga menyukai