Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FIQIH

“IJARAH”

NAMA KELOMPOK JESIKA :


1. GHALIA HANIFATUNNISA
2. ARFINA FIRSALINA INAYAH
3. INTAN SIFA AZZAHRA
4. JESIKA INDRIYANI
5. SITI ZUBAEDAH
6. VINA FARHANA

MTs ASH-SHIDDIQIYYAH
CEMPAKA – PLUMBON
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan
dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materi.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

Cempaka, Februari 2023


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3
A. Pengertian Ijarah.............................................................................................................3
B. Dasar Hukum Ijarah........................................................................................................4
C. Rukun Ijarah dan Syarat-Syaratnya................................................................................5
D. Pembayaran Upah dan Sewa...........................................................................................6
E. Menyewakan Barang Sewaan.........................................................................................6
F. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah................................................................................7
G. Pengembalian Sewaan.....................................................................................................7
H. Contoh Al-Ijarah dalam masyarakat...............................................................................7
BAB III PENUTUP....................................................................................................................9
A. Kesimpulan.....................................................................................................................9
B. Penutup............................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna. Seluruh aktifitas di dalamnya telah diatur
dengan hukum Islam, baik itu dalam hal ibadah, munkahat, muamalah maupun jinayat.
Dalam karya ilmiah ini, penulis akan mendeskribsikan kajian tentang bab Ijarah (sewa-
menyewa / upah-mengupah). Ijarah merupakan salah satu pokok pembahasan yang
masuk dalam wilayah fiqh muamalah. Muamalah sendiri berarti “saling berbuat” atau
berbuat secara timbal balik. Sederhananya dapat diartikan dengan “hubungan antar orang
dengan orang”. Maka, dalam kajian fiqh mengandung arti aturan yang mengatur
hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup di dunia (dalam
bagian ini berkaitan dengan harta).
Hubungan antara sesama manusia berkaitan dengan harta ini dibicarakan dan
diatur dalam kitab-kitab fiqh karena kecenderungan manusia kepada harta itu begitu
besar dan sering menimbukan persengketaan sesamanya, sehingga jika tidak diatur, dapat
menimbulkan ketidak stabilan dalam pergaulan hidup sesama manusia. Di samping itu
penggunaan harta dapat bernilai ibadah bila digunakan sesuai dengan kehendak Allah,
yang berkaitan dengan harta itu(garis-garis besar fiqh: Amir Syarifuddin).
Hal ini adalah yang mendorong penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai
muamalah, khususnya bab Ijarah. Keterangan lebih lanjut akan penulis paparkan pada
bab pembahasan.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Ijarah?
2. Bagaimana hukum Ijarah dalam Islam?
3. Apa saja yang menjadi rukun dan syarat dalam Ijarah?
4. Bagaimana proses pembayaran upah dan sewa?
5. Bagaimana hukumnya menyewakan barang sewaan?
6. Kapan akad Ijarah berakhir?
7. Apa hukumnya mengembalikan barang sewaan?

1
C. Tujuan Penulisan
Dengan memahami ilmu pengelolaan harta, dalam hal ini pembahasan Ijarah,
semoga senantiasa dapat menjadikan kita lebih berhati-hati dalam menggunakan harta
yang kita miliki. Sehingga ilmu tersebut dapat menuntun kita agar tidak jatuh pada hal
yang syubhat, terlebih pada yang haram.
Tujuan disyariatkannya ijarah sendiri adalah untuk memberikan keringanan
kepada umat dalam pergaulan hidup. Seseorang mempunyai uang tetapi tidak dapat
bekerja, dan di lain pihak ada yang mempunyai tenaga dan membutuhkan uang. Dengan
adanya ijarah keduanya saling mendapat keuntungan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijarah
Secara sederhana, ijarah diartikan sebagai transaksi manfaat atau jasa dengan
imbalan tertentu. Dalam Bahasa Arab ijarah berasal dari kata ‫َأ َج َر‬, yang memiliki sinonim
dengan: ‫ َأ ْك َري‬yang artinya: menyewakan, seperti dalam kalimah ‫( َأجْ َرال َّشىء‬menyewakan
sesuatu).
Ali Fikri mengartikan ijarah menurut bahasa dengan: ‫ ال َك َرا ُءَأوْ بَ ْي ُع ال َم ْنفَ َع ِة‬yang artinya:
sewa-menyewa atau jual beli manfaat. Bila yang menjadi objek adalah transaksi manfaat
atau jasa dari suatu benda, disebut ijarah al-‘ain atau sewa menyewa. Seperti menyewa
rumah untuk ditempati. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari
tenaga seseorang, disebut ijarah al-zimmah atau upah mengupah, seperti upah menjahit
pakaian.
Pendapat yang sama juga juga disampaikan oleh Idris Ahmad dalam bukunya yang
berjudul Fiqh Syafi’i, bahwa ijarah berarti upah-mengupah. Sedangkan Sayyid Sabiq
dalam Fiqh Sunnahnya, menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa. Ijarah baik
dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah itu merupakan
muamalah yang telah disyari’atkan dalam Islam.
Dalam pengertian istilah, para ulama berbeda pendapat akan hal ini:
a. Ulama Hanafiyah
Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta.
b. Ulama Malikiyah
Ijarah adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang
mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.
c. Ulama Syafi’iyah
Definisi akad ijarah adalah suatu akad akan manfaat yang dimaksud dan tertentu yang
bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.
d. Ulama Hanabilah
Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan
semacamnya.

3
B. Dasar Hukum Ijarah
Hukum asal ijarah adalah mubah atau boleh, yaitu apabila dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan Islam. Berikut adalah beberapa dasar hukum yang
membolehkan ijarah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis Nabi.
1. QS. Ath-Thalaq ayat 6:

َ ‫ض ْعنَ لَ ُك ْم فَئاَتُوْ هُ َّن ُأج‬


‫ُورهُ َّن‬ َ ْ‫فَِإ ْن َأر‬

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada


mereka upahnya.

2. QS. Al-Qashash ayat 26 dan 27:

‫) قَا َل إنِّ ْي ُأ ِر ْي ُد َأ ْن‬26( ‫ت ا ْستَْئ ِجرْ هُ ِإ َّن خَ ي َْر َمنِ ْستَْأ َجرْ تَ ْالقَ ِويُّ اَأْل ِمي ُْن‬ِ َ‫ت ِإحْ دَاهُ َمايََأب‬ ْ َ‫قَال‬
َ ‫ج فَِإ ْن َأ ْت َم ْمتَ َع ْشرًا فَ ِم ْن ِع ْن ِد‬ ‫ْأ‬ َّ َ‫ُأ ْن ِك َحكَ ِإحْ دَى ا ْبنَت‬
‫ك‬ ِ ‫ى هَا تَ ْي ِن َعلَى َأ ْن تَ ُج َرنِى ثَ َمانِ َي ِح َج‬
)27( َ‫ق َعلَ ْيكَ َستَ ِج ُدنِ ْى ِإ ْن َشا َءهّللا ُ ِمنَ الصَّالِ ِح ْين‬ َّ ‫َو َما ُأ ِر ْي ُد َأ ْن َأ ُش‬

Salah seorang di antara kedua anak perempuan itu berkata: “Hai bapakku upahlah dia,
sesungguhnya orang yang engkau upah itu adalah kuat dan terpercaya”. Si bapak ber-
kata: “Saya bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang anak perempuanku
dengan ketentuan kamu menjadi orang upahan saya selama delapan musim haji”.

3. Hadis Ibnu Abbas:

‫صلَّى هّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوَأ ْعطَى‬ َ َ‫ض َي هّللا ُ َع ْنهُ َما ق‬
َ ‫ اِحْ ت ََج َم النَّبِ ُّي‬:‫ال‬ ِ ‫س َر‬
ٍ ‫َع ِن اب ِْن َعبَّا‬
ُ‫ْال ُحجَّا َم َأجْ َره‬

Dari Ibnu Abbas r.a. Nabi saw. Berbekam dan beliau memberikan kepada tukang
bekam itu upahnya. (HR. Al-Bukhari)

4. Hadis Ibnu ‘Umar

:‫صلَّى هّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


َ ِ ‫ال َرسُوْ ُل هّللا‬ َ َ‫ض َي هّللا ُ َع ْنهُ َما ق‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬ ِ ‫َوع َِن ا ْب ِن ُع َم َر َر‬
َّ ‫َأ ْعطُوْ اَأَأْل ِجي َْرَأجْ َرهُ قَب َْل َأن يَ ِج‬.
ُ‫ف َع َرقُه‬

Dari Ibnu ‘Umar r.a. ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: berikanlah kepada tenaga
kerja itu upahnya sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu Majah).

4
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis tersebut sudah jelas bahwa akad ijarah
diperbolehkan dalam Islam, karena hal seperti ini juga dibutuhkan dalam masyarakat.

Tujuan disyariatkannya ijarah adalah untuk memberikan keringanan kepada umat


dalam pergaulan hidup. Seseorang mempunyai uang tetapi tidak dapat bekerja, dan di
lain pihak ada yang mempunyai tenaga dan membutuhkan uang. Dengan adanya ijarah
keduanya saling mendapat keuntungan.

C. Rukun Ijarah dan Syarat-Syaratnya


Transaksi Ijarah dalam kedua bentuknya akan sah apabila terpenuhi rukun dan
syaratnya. Berikut adalah rukun-rukun dan syarat ijarah:
1. Mu’jir dan musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau upah-
mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan, musta’jir
adalah orang yang orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang
menyewa sesuatu. Syarat bagi keduanya ialah baligh, berakal, cakap melakukan
tasharruf (mengendalikan harta), dan saling meridhai.
Allah Swt. berfirman:
‫ْأ‬
ٍ ‫يَأيهاالذ ْينَ أمنوْ االتَ ُكلُوْ اَأ ْموال ُك ْم بَ ْينَ ُكم بالباطل إالأن تَكوْ نَ تِ َجا َرةً ع َْن تَ َر‬
‫اض‬
)29:‫منك ْم (النساء‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan bathil, kecuali dengan perniagaan secara suka sama suka. (An-Nisa’: 29)
Bagi orang yang berakad ijarah juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang
diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.
2. Shighat ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir, ijab Kabul sewa-menyewa dan upah-
mengupah, ijab Kabul sewa-menyewa misalnya: “Aku sewakan mobil ini kepadamu
setiap hari Rp. 5.000,00”, maka musta’jir menjawab “Aku menerima sewa mobil
tersebut dengan dengan harga demikian setiap hari”. Ijab Kabul upah-mengupah
misalnya seseorang berkata, “Kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli
dengan upah setiap hari Rp. 5.000,00”, kemudian musta’jir menjawab “Aku akan
kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”.
3. Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-
menyewa maupun dalam upah-mengupah.

5
4. Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah,
disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat berikut ini.
• Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah
dapat dimanfaatkan kegunaannya.
• Hendaklah barang yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat
iserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-
menyewa).
• Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut
Syara’ bukan hal yang dilarang (diharamkan).
• Benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zat)-nya hingga waktu yang
ditentukan menurut perjanjian dalam akad.

D. Pembayaran Upah dan Sewa


Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, jika mu’jir menyerahkan zat benda yang
disewa kepada musta’jir, ia berhak menerima bayarannya, karena penyewa (musta’jir)
sudah menerima kegunaan.
Hak menerima upah bagi musta’jir adalah sebagai berikut:
• Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, beralasan kepada hadis Rasulullah yang
diriwayatka oleh Ibnu Majah dengan arti sebagai berikut: “Berikanlah upah sebelum
keringat pekerja itu kering”.
• Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad
ditentukan lain, manfaat barang yang di-ijarah-kan mengalir selama penyewaan
berlangsung.

E. Menyewakan Barang Sewaan


Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain, dengan
syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad.
Seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk
membajak di sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir
kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula. Harga penyewaan
yang kedua ini bebas, boleh lebih besar, lebih kecil, atau seimbang.
Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah
pemilik barang (mu’jir), dengan syarat kerusakan itu bukan akibat dari kelalaian
musta’jir.
6
F. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila terdapat hal-hal sebagai berikut:
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa,
2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya.
3. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk
dijahitkan.
4. Terpenuhinya manfaat yang diadakan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan
selesainya pekerjaan.
5. Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak seperti yang menyewa
toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan
mem-fasakh-kan sewaan itu.

G. Pengembalian Sewaan
Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan.
Jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya, dan jika
bentuk barang sewaan adalah benda tetap atau (‘iqar), ia wajib menyerahkan kembali
dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada
pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk
menghilangkannya.
Mazhab Hanbali berpendapat, bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus
melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk
menyerahterimakannya, seperti barang titipan.

H. Contoh Al-Ijarah dalam masyarakat


Dalam hal ini banayk hal yang bisa disebut Ijarah akan tetapi kami pemakalah
hanya menebutkan beberapa saja:

1. Sewa rumah, toko dan semacamnya


Jika seseorang menyewa rumah dibolehkan untuk memanfaatkannya sesuai
kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang orang lain, bahkan boleh
disewakan lagi atau dipinjamkan pada orang lain.

7
2. Sewa Tanah
Sewa tanah diharuskan untuk tujaunya, apakah untuk pertanian dan disebutkan pula
jenis tanamannya, dan apabila tujuannya tidak dijelaskan, maka Ijarah akan fasid atau
rusak.

3. Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan maupun kendaraan lainya, harus dijelaskan
salah satu dari dua hal, yaitu waktu dan tempat. Demikian pula barang yang akan
dibawa, dan benda atau orang yang akan diangkut harus dijelaskan.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan.
Adapun istilah-istilah dalam Al-Ijarah pemilik yang menyewakan manfaat
disebut Mu’ajjir (orang yang menyawakan). Pihak lain yang memberikan sewa
disebut Musta’jir ( orang yang menyawa = Penyewa). Dan, sesuatu yang di akadkan
untuk diambil manfaatnya disebut Ma’jur ( Sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan
sebagai imbalan manfaat disebut  Ajran atau Ujrah (upah), Ijarah di bagi menjadi
dua al-Ain dan ad-dzimmah.
Hukum asalnya menurut Jumhur Ulama adalah Mubah atau boleh bila
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara’. Adapun Rukun
Ijarah adanya dua orang yang berakad, Sighat (Ijab dan kabul, Sewa atau imbalan,
Manfaat. Ijarah merupakan akad yang tidak membolehkan adanya pembatalan pada
salah satu pihak, kecuali jika adanya faktor yang mewajibkan terjadinya pembatalan.

B. Penutup
Demikianlah yang dapat kelompok kami paparkan dari makalah yang berjudul
Al-Ijarah. Kami masih menyadari dalam penyusunan makalah yang kami susun
masih terdapat banyak kesalahan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari
saudara untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat untuk kita semua.

9
DAFTAR PUSTAKA

Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.


Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Bogor: Prenada Media.
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sahrani, Sohari., Ru’fah Abdullah. 2011. FIKIH MUAMALAH. Bogor: agahalia Indonesia.
Pasaribu, Chairuman., Suhrawardi K. Lubis. 1996. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta:
Sinar Grafika.

10

Anda mungkin juga menyukai