Anda di halaman 1dari 38

PRAKBIN

(PRAKTEK MEMBINA)

Oleh : NURUL ISLAH AZZAHRA


Tempat Membina : Rakit 08-150

GUGUS DEPAN GERAKAN PRAMUKA


PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR PUTRI KAMPUS 3
KARANGBANYU WIDODAREN NGAWI INDONESIA
DAFTAR ISI

DaftarIsi............................................................................................................i
Biodata..............................................................................................................ii
Pembukaan........................................................................................................1
Materi................................................................................................................3
Evaluasi.............................................................................................................32
Penutup ............................................................................................................33

i
BIODATA

Nama : Nurul Islah Azzahra


No Stb : 39255
Tempat /Tanggal Lahir : Cirebon, 19 Mei 2007
Kelas : 4H
Gudep : 08-150
Alamat : Desa Lurah Blok Jatiwates Rt 003 Rw 001
Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon
Wali : Muhamad Gandi S.H.
Pekerjaan Wali : Kepolisian Negara Republik Indonesia(POLRI)
Judul : Jendral Sudirman
Metode : Ceramah, Diskusi, Tanya jawab
Alat Peraga : Foto
Tujuan Umum : Mengetahui Biografi dan Filosofi Jendral Sudirman
Tujuan Khusus :
1. Andika dapat mengetahui Profil Tokoh Bangsa
2. Andika mengetahui Prinsip Jendral Sudirman
3. Andika mampu mengimplementasikan beberapa
prinsip dari seorang Jendral Sudirman sebagai
seorang Santri Gontor Putri 3
4. Setelah lulus dari Gontor Andika dapat
mendaftarkan diri sebagai Anggota TNI sebagai
Taruni maupun Bintara untuk meneruskan cita-cita
Jendral Sudirman membangun NKRI bersama
dengan Rakyat
Tempat Membina : Rakit 08-150

ii
PEMBUKAAN

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarokatuh


Tahiyyah Kasyafah
Greeting Scout !
Salam Pramuka !

Andika –Andika sekalian marilah kita panjatkan puja dan puji syukur
kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga hari ini kita
dapat berkumpul di tempat yang Barokah ini. Sebelum menuju ke materi inti kita
siang hari ini, Kakak ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu.

Nama : Nurul Islah Azzahra


Kelas : 4H
Asal : Cirebon
Gudep : 08-150

Baiklah untuk mempersingkat waktu Kakak akan berbicara sekilas tentang


materi yang akan kita pelajari pada siang hari ini. Dalam perkembangan sejarah
Republik di Indonesia di era masa perjuangan sekitar tahun 1928-1945 banyak
sekali Pejuang-pejuang bangsa yang rela mengorbankan harta benda bahkan
nyawanya. Salah satunya adalah Jendral besar Sudirman sebagai Panglima
TKR/TNI yang dipilih secara langsung oleh perwakilan Divisi ataupun oleh
Kepala-kepala pasukan seluruh Indonesia sebagai salah satu acuan Komando
Terpusat Perjuangan Kemiliteran yang saat itu masih sangat terbatas. Sebelum
memasuki materi, Kakak akan memberikan Andika-andika sebuah pertanyaan.
Kakak memiliki sandi yang pernah Andika-andika pelajari. Nah, siapa yang bisa
menjawab boleh maju kedepan.

1
SANDI AN
Rumus :
A B C D E F G H I J K L M

N O P Q R S T U V W X Y Z

Soal :
W R A Q E N Y F H Q V E Z N A

Jawaban :

Jendral Sudirman

Baiklah andika sekalian siapa saja yang tahu jawabannya, silahkan angkat tangan

“Apa jawabannya ?”

Andika : JendralSudirman

“ Ya, bagus sekali. Ok, materi kita Siang ini adalah

“JENDRAL SUDIRMAN “

2
MATERI
JENDRAL SUDIRMAN

Jenderal Besar TNI (Anumerta) Raden Soedirman 24 Januari adalah


seorang perwira tinggi indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia.
Sebagai Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia adalah sosok
yang dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat
biasa di Purbalingga, Hindia Belanda. Soedirman diadopsi oleh pamannya yang
seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916,
Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa yang rajin, ia sangat aktif dalam
kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan
oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman
mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi.
Soedirman sangat dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam.
Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang
guru, dan kemudian menjadi Kepala Sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah ia
juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin
Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang menduduki
Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia
bergabung dengan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang,
menjabat sebagai Komandan Batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman
bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, hingga kemudian
diasingkan ke Bogor.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17


Agustus 1945, Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke
Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi
proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah
mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan
bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh Panglima sementara Oerip
Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas Divisi tersebut. Pada
tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan Panglima

3
Besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar,
sedangkan Oerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi
Kepala Staff. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan
serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Pertempuran ini
dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat
terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai Panglima Besar pada
tanggal 18 Desember. Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi
kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah
Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati, yang turut disusun oleh
Soedirman dan yang kedua adalah Perjanjian Renville yang menyebabkan
Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer
I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia. Ia juga menghadapi
pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian
menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab
penyakit tuberkulosis-nya karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya
dikempeskan pada bulan November 1948.

Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar


dari rumah sakit, Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki
Yogyakarta. Pada saat pemimpin-pemimpin politik berlindung di Kraton Sultan,
Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan
perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan.
Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya
berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu.
Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa,
termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman
dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus
melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden
Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh, ia pensiun dan pindah ke
Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui
Kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki,
4
Yogyakarta. Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk
menyaksikan prosesi upacara pemakaman. Soedirman terus dihormati oleh rakyat
Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai sarana pengembangan esprit
de corps bagi Tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-kilometer (62 mi)
yang ditempuhnya harus diikuti oleh Taruna Indonesia sebelum lulus
dari Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran
1968, dan namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas,
museum, dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Kehidupan awal
Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem saat
pasangan ini tinggal di rumah saudari Siyem yang bernama Tarsem
di Bodaskarangdjati, Rembang, Purbalingga. Tarsem sendiri bersuamikan seorang
camat bernama Raden Cokrosunaryo. Menurut catatan keluarga, Soedirman –
dinamai oleh pamannya – lahir pada Minggu pon di bulan Maulud
dalam penanggalan Jawa; pemerintah Indonesia kemudian menetapkan 24 Januari
1916 sebagai hari ulang tahun Soedirman. Karena kondisi keuangan
Cokrosunaryo yang lebih baik, ia mengadopsi Soedirman dan memberinya gelar
Raden, gelar kebangsawanan pada suku Jawa. Soedirman tidak diberitahu bahwa
Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai ia berusia 18 tahun. Setelah
Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman ikut dengan
keluarganya ke Manggisan, Cilacap. Di tempat inilah ia tumbuh besar. Di Cilacap,
Karsid dan Siyem memiliki seorang putra lain bernama Muhammad Samingan.
Karsid meninggal dunia saat Soedirman berusia enam tahun, dan Siyem
menitipkan kedua putranya pada saudara iparnya dan kembali ke kampung
halamannya di Parakan Onje, Ajibarang.

Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan


etika dan tata krama priyayi, serta etos kerja dan kesederhanaan wong cilik, atau
rakyat jelata. Untuk pendidikan agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di

5
bawah bimbingan Kyai Haji Qahar. Soedirman adalah anak yang taat agama dan
selalu shalat tepat waktu.

Ia dipercaya untuk mengumandangkan adzan dan iqamat. Saat berusia


tujuh tahun, Soedirman terdaftar di sekolah pribumi (hollandsch inlandsche
school). Meskipun hidup berkecukupan, keluarga Soedirman bukanlah keluarga
kaya. Selama menjabat sebagai Camat, Cokrosunaryo tidak mengumpulkan
banyak kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin jahit Singer.

Pada tahun kelimanya bersekolah, Soedirman diminta untuk berhenti


sekolah sehubungan dengan ejekan yang diterimanya di sekolah milik
pemerintah. Permintaan ini awalnya ditolak, namun Soedirman dipindahkan ke
sekolah menengah milik Taman Siswa pada tahun ketujuh sekolah. Pada tahun
kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo setelah Sekolah
Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar karena diketahui tidak
terdaftar. Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah Nasionalis Indonesia,
yang turut mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda. Soedirman
belajar dengan tekun di sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan
bahwa Soedirman sudah mempelajari pelajaran tingkat dua pada saat kelas masih
mempelajari pelajaran tingkat satu. Meskipun lemah dalam pelajaran kaligrafi
Jawa, Soedirman sangat pintar dalam pelajaran matematika, ilmu alam, dan
menulis, baik bahasa Belanda maupun Indonesia. Soedirman juga menjadi
semakin taat agama di bawah bimbingan gurunya, Raden Muhammad Kholil.
Teman-teman sekelasnya memanggilnya "haji" karena ketaatannya dalam
beribadah, dan Soedirman juga memberikan ceramah agama kepada siswa
lain. Selain belajar dan beribadah, Soedirman juga berpartisipasi dalam kelompok
musik sekolah dan bergabung dengan tim sepak bola sebagai bek. Kematian
Cokrosunaryo pada tahun 1934 menyebabkan keluarganya jatuh miskin, namun ia
tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolahnya tanpa membayar sampai ia lulus
pada akhir tahun. Setelah kepergian ayah tirinya, Soedirman mencurahkan lebih
banyak waktunya untuk mempelajari Sunnah dan doa. Pada usia 19 tahun,
Soedirman menjadi guru praktik di Wirotomo.

6
Saat bersekolah di Wirotomo, Soedirman adalah anggota Perkumpulan
Siswa Wirotomo, klub drama, dan kelompok musik. Ia membantu mendirikan
cabang Hizboel Wathan, sebuah organisasi Kepanduan
Putra milik Muhammadiyah. Soedirman menjadi pemimpin Hizboel Wathan
cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo tugasnya adalah menentukan dan
merencanakan kegiatan kelompoknya. Soedirman menekankan perlunya
pendidikan agama, bersikeras bahwa kontingen dari Cilacap harus menghadiri
konferensi Muhammadiyah di seluruh Jawa. Ia mengajari para anggota muda
Hizboel Wathan tentang sejarah Islam dan pentingnya moralitas, sedangkan pada
anggota yang lebih tua ia berlakukan disiplin militer.

Mengajar

Setelah lulus dari Wirotomo, Soedirman belajar selama satu tahun


di Kweekschool (sekolah guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta,
tetapi berhenti karena kekurangan biaya. Pada 1936, ia kembali ke Cilacap untuk
mengajar di sebuah sekolah dasar Muhammadiyah, setelah dilatih oleh guru-
gurunya di Wirotomo. Pada tahun yang sama, Soedirman menikahi Alfiah,
mantan teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha batik kaya bernama Raden
Sastroatmojo. Setelah menikah, Soedirman tinggal di rumah mertuanya di Cilacap
agar ia bisa menabung untuk membangun rumah sendiri. Pasangan ini kemudian
dikaruniai tiga orang putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad Teguh Bambang
Tjahjadi, dan Taufik Effendi, serta empat orang putri; Didi Praptiastuti, Didi
Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjuti Satyaningrum.

Sebagai guru, Soedirman mengajarkan murid-muridnya pelajaran moral


dengan menggunakan contoh dari kehidupan para rasul dan
kisah wayang tradisional.Salah seorang muridnya menyatakan bahwa Soedirman
adalah guru yang adil dan sabar yang akan mencampurkan humor dan
nasionalisme dalam pelajarannya; hal ini membuatnya populer di kalangan
muridnya. Meskipun bergaji kecil, Soedirman tetap mengajar dengan giat.
Akibatnya, dalam beberapa tahun Soedirman diangkat menjadi kepala sekolah
meskipun tidak memiliki ijazah guru. Sebagai hasilnya, gaji bulanannya
7
meningkat empat kali lipat dari tiga gulden menjadi dua belas setengah gulden.
Sebagai kepala sekolah, Soedirman mengerjakan berbagai tugas-tugas
administrasi, termasuk mencari jalan tengah di antara guru yang berseteru.
Seorang rekan kerjanya mengisahkan bahwa Soedirman adalah seorang pemimpin
yang moderat dan demokratis. Ia juga aktif dalam kegiatan penggalangan dana,
baik untuk kepentingan pembangunan sekolah ataupun untuk pembangunan
lainnya.

Selama waktu-waktu ini, Soedirman juga terus bergiat sebagai anggota


Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Dalam kelompok ini, ia dikenal sebagai
negosiator dan mediator yang lugas, berupaya untuk memecahkan masalah antar
para anggota; ia juga berdakwah di masjid setempat. Soedirman terpilih sebagai
Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah Kecamatan Banyumas pada akhir
1937. Selama menjabat, ia memfasilitasi seluruh kegiatan dan pendidikan para
anggota, baik dalam bidang agama ataupun sekuler. Ia kemudian mengikuti
seluruh kegiatan Kelompok Pemuda di Jawa Tengah dan menghabiskan sebagian
besar waktu luangnya dengan melakukan perjalanan dan berdakwah, dengan
penekanan pada kesadaran diri. Alfiah juga aktif dalam kegiatan kelompok putri
Muhammadiyah Nasyiatul Aisyiyah.

Masa pendudukan Jepang

Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Jenderal Hein


ter Poorten dibawa ke sebuah kamp penahanan, keduanya menyerah setelah
tentara Jepang menyerang pada tanggal 9 Maret 1942, yang berlanjut
ke pendudukan selama tiga setengah tahun.

8
Ketika Perang Dunia II pecah di Eropa, diperkirakan bahwa Jepang, yang
telah bergerak mendekati China daratan, akan berupaya menginvasi Hindia.
Sebagai tanggapan, pemerintah kolonial Belanda – yang sebelumnya membatasi
pelatihan militer bagi pribumi – mulai mengajari rakyat cara-cara
menghadapi serangan udara. Menindaklanjuti hal ini, Belanda kemudian
membentuk tim Persiapan Serangan Udara. Soedirman, yang disegani oleh
masyarakat, diminta untuk memimpin tim di Cilacap. Selain mengajari warga
setempat mengenai prosedur keselamatan untuk menghadapi serangan udara,
Soedirman juga mendirikan pos pemantau di seluruh daerah. Ia dan Belanda juga
menangani pesawat udara yang menjatuhkan material untuk mensimulasikan
pengeboman; hal ini bertujuan untuk mempertinggi tingkat respon.

Jepang mulai menduduki Hindia pada awal 1942 setelah memenangkan


beberapa pertempuran melawan pasukan Belanda dan tentara Koninklijk
Nederlands-Indische Leger (KNIL) yang dilatih oleh Belanda. Pada 9 Maret 1942,
Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Jenderal KNIL Hein
ter Poorten menyerah. Peristiwa ini menimbulkan perubahan drastis dalam
pemerintahan Nusantara dan semakin memperburuk kualitas hidup warga non-
Jepang di Hindia, banyak masyarakat pribumi yang menderita dan
mengalami pelanggaran hak asasi manusia di tangan Jepang. Di Cilacap, sekolah
tempat Soedirman mengajar ditutup dan dialih fungsikan menjadi pos militer. Ini
adalah bagian dari upaya pemerintah untuk menutup sekolah-sekolah
swasta. Setelah Soedirman berhasil meyakinkan Jepang untuk membuka kembali
sekolah, ia dan guru lainnya terpaksa menggunakan perlengkapan standar. Selama
periode ini, Soedirman juga terlibat dalam beberapa organisasi sosial dan
kemanusiaan, termasuk sebagai ketua Koperasi Bangsa Indonesia. Hal ini
membuatnya semakin dihormati di kalangan masyarakat Cilacap.

Pada awal 1944, setelah menjabat selama satu tahun sebagai perwakilan di
dewan karesidenan yang dijalankan oleh Jepang (Syu Sangikai), Soedirman
diminta untuk bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA). Jepang
sendiri mendirikan PETA pada Oktober 1943 untuk membantu menghalau

9
invasi Sekutu, dan berfokus dalam merekrut para pemuda yang belum
"terkontaminasi" oleh pemerintah Belanda. Meskipun sempat ragu-ragu, terutama
karena cedera lutut yang dialaminya ketika masih remaja, Soedirman akhirnya
setuju untuk memulai pelatihan di Bogor, Jawa Barat. Sehubungan dengan
posisinya di masyarakat, Soedirman dijadikan sebagai komandan (daidanco) dan
dilatih bersama orang lain dengan pangkat yang sama. Di Bogor, ia dilatih oleh
para perwira dan tentara Jepang, para taruna dipersenjatai dengan peralatan yang
disita dari Belanda. Setelah empat bulan pelatihan, Soedirman ditempatkan di
batalion Kroya, Banyumas, Jawa Tengah, tidak jauh dari Cilacap.

Jabatan Soedirman sebagai Komandan PETA berlalu tanpa banyak


peristiwa hingga tanggal 21 April 1945, ketika tentara PETA di bawah komando
Kusaeri mulai melancarkan pemberontakan terhadap Jepang. Diperintahkan untuk
menghentikan pemberontakan tersebut, Soedirman setuju untuk melakukannya
dengan syarat agar pemberontak PETA tidak dibunuh, dan lokasi persembunyian
mereka tidak dimusnahkan; syarat ini diterima oleh komandan Jepang, dan
Soedirman beserta pasukannya mulai mencari para pemberontak. Meskipun anak
buah Kusaeri berhasil menembak komandan Jepang, Soedirman melalui pengeras
suara mengumumkan bahwa mereka tidak akan dibunuh, dan para pemberontak
pun mundur. Kusaeri menyerah pada tanggal 25 April. Peristiwa ini meningkatkan
dukungan terhadap Soedirman di kalangan tentara Jepang, meskipun beberapa
perwira tinggi Jepang menyatakan keprihatinannya atas dukungan Soedirman bagi
kemerdekaan Indonesia. Soedirman dan anak buahnya kemudian dikirim ke
sebuah kamp di Bogor dengan alasan akan dilatih; namun sebenarnya mereka
dipekerjakan sebagai pekerja kasar dalam upaya untuk mencegah pemberontakan
lebih lanjut, dan desas-desus mengatakan bahwa perwira PETA akan dibunuh.

10
Revolusi Nasional
Panglima besar

Rumah dinas Soedirman di Yogyakarta; saat ini menjadi Museum


Sasmitaloka.

Setelah berita tentang pengeboman Hiroshima dan Nagasaki mencapai


Hindia pada awal Agustus 1945, yang kemudian diikuti oleh proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus, kontrol Jepang sudah mulai
melemah. Soedirman memimpin pelarian dari pusat penahanan di Bogor.
Meskipun rekannya sesama tahanan ingin menyerang tentara Jepang, Soedirman
menentang hal itu. Setelah memerintahkan yang lainnya untuk kembali ke
kampung halamannya, Soedirman berangkat menuju Jakarta dan bertemu dengan
Presiden Soekarno, yang memintanya untuk memimpin perlawanan terhadap
pasukan Jepang di kota. Karena tidak terbiasa dengan lingkungan Jakarta,
Soedirman menolaknya, ia malah menawarkan diri untuk memimpin pasukan di
Kroya. Soedirman bergabung dengan pasukannya pada tanggal 19 Agustus
1945. Pada saat yang bersamaan, pasukan Sekutu sedang dalam proses merebut
kembali kepulauan Indonesia untuk Belanda, tentara Inggris pertama kali tiba
pada tanggal 8 September 1945.

Pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan


Indonesia (PPKI) dalam sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan

11
sebagai wadah untuk menyalurkan potensi perjuangan rakyat. Badan tersebut
adalah Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI),
dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR merupakan bagian dari Badan
Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan
Pembantu Prajurit, dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP).
BPP sudah ada sejak zaman Jepang dan bertugas memelihara kesejahteraan
anggota-anggota tentara PETA dan Heihō. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Jepang
membubarkan PETA dan Heihō. Tugas untuk menampung mantan anggota PETA
dan Heihō ditangani oleh BPKKP. Pembentukan BKR merupakan perubahan dari
hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk
membentuk Tentara Kebangsaan, yang diumumkan oleh Presiden Soekarno pada
tanggal 23 Agustus 1945. BKR ini berfungsi sebagai organisasi
kepolisian, terutama karena pemimpin politik saat itu yang berniat memanfaatkan
diplomasi sebagai sarana penggalangan bantuan internasional terhadap negara
baru, dan juga untuk memungkinan tentara Jepang melihatnya sebagai sebuah
ancaman bersenjata sehingga mencegah kemunculan tentara Jepang yang masih
ada di Nusantara.

Soedirman dan beberapa rekannya sesama tentara PETA mendirikan


cabang BKR di Banyumas pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di
Kroya dan mengetahui bahwa batalion di sana telah dibubarkan. Dalam
pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang, Saburo Tamura,
dan Residen Banyumas, Iwashige, Soedirman dan Iskak Cokroadisuryo memaksa
Jepang untuk menyerahkan diri dan memberikan senjata mereka, sementara
kerumunan warga Indonesia bersenjata mengepung kamp Jepang. Sebagian besar
senjata ini kemudian digunakan oleh unit BKR Soedirman, menjadikan unitnya
sebagai salah satu unit dengan senjata terbaik di Indonesia; sisa senjata juga
dibagikan kepada Batalion lain.

Sebagai negara yang baru merdeka dan belum memiliki militer yang
professional, pada tanggal 5 Oktober 1945 Soekarno mengeluarkan dekret
pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara

12
Nasional Indonesia). Sebagian besar personelnya adalah mantan tentara KNIL,
sedangkan perwira tinggi berasal dari PETA dan Heihō. Dekret
mengangkat Soeprijadi sebagai Panglima Besar TKR, namun ia tidak muncul, dan
kepala staff Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai pemimpin
sementara. Pada bulan Oktober, pasukan Inggris, yang bertugas melucuti senjata
tentara Jepang dan memulangkan tawanan perang Belanda, tiba di Semarang, dan
kemudian bergerak menuju Magelang. Ketika Inggris mulai mempersenjatai
kembali tentara Belanda yang menjadi tawanan perang dan sepertinya sedang
mempersiapkan sebuah pangkalan militer di Magelang, Soedirman – yang
sekarang menjadi kolonel – mengirim beberapa pasukannya di bawah pimpinan
Letnan Kolonel Isdiman untuk mengusir mereka; misi ini berhasil, dan tentara
Eropa menarik diri dari Ambarawa, di tengah-tengah Magelang dan
Semarang. Pada 20 Oktober, Soedirman membawahi Divisi V setelah Oerip
membagi Pulau Jawa menjadi divisi militer yang berbeda.

Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR,


Soedirman terpilih sebagai pemimpin TKR setelah melalui pemungutan suara
buntu dua tahap. Pada tahap ketiga, Oerip mengumpulkan 21 suara, sedangkan
Soedirman unggul dengan 22 suara para komandan divisi Sumatra semuanya
memilih Soedirman. 

Soedirman, yang saat itu berusia 29 tahun, terkejut atas hasil pemilihan
dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada Oerip, namun para
peserta rapat tidak mengizinkannya. Oerip, yang telah kehilangan kendali dalam
pertemuan bahkan sebelum pemungutan suara dimulai, merasa senang karena
tidak lagi bertanggung jawab atas TKR. Soedirman tetap menunjuk Oerip sebagai
Kepala Staff. Sesuai dengan jabatan barunya, Soedirman dipromosikan menjadi
Jenderal. Setelah pertemuan, Soedirman kembali ke Banyumas sembari
menunggu persetujuan pemerintah dan mulai mengembangkan strategi mengenai
bagaimana mengusir tentara Sekutu. Rakyat Indonesia khawatir bahwa Belanda,
yang diboncengi oleh Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA), akan
berupaya untuk merebut kembali Nusantara. Tentara gabungan Belanda-Inggris

13
telah mendarat di Jawa pada bulan September, dan pertempuran besar telah terjadi
di Surabaya pada akhir Oktober dan awal November. Ketidakstabilan ini, serta
keraguan Soekarno atas kualifikasi Soedirman, menyebabkan terlambatnya
pengangkatan Soedirman sebagai pemimpin TKR.

Markas TKR pertama, terletak di Gondokusuman, Yogyakarta; saat ini


menjadi Museum Dharma Wiratama.
Sambil menunggu pengangkatan, pada akhir November Soedirman
memerintahkan Divisi V untuk menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa, sekali
lagi dikomandoi oleh Isdiman. Kota itu dianggap penting secara strategis karena
memiliki barak militer dan fasilitas pelatihan yang sudah ada sejak zaman
penjajahan. Serangan ini dilumpuhkan oleh serangan udara dan tank-tank Sekutu,
yang memaksa Divisi V untuk mundur, Isdiman sendiri tewas dalam pertempuran,
terbunuh oleh pemberondong P-51 Mustang. Soedirman kemudian memimpin
Divisi V dalam serangan lain terhadap pasukan Sekutu; tentara Indonesia
dipersenjatai dengan berbagai senjata, mulai dari bambu runcing dan katana sitaan
sebagai senjata, sedangkan tentara Inggris dipersenjatai dengan peralatan modern.
Soedirman memimpin di barisan depan sambil memegang sebuah katana. Sekutu,
yang fasilitas serangan udaranya telah musnah saat tentara gerilya menyerang
Lapangan Udara Kalibanteng di Semarang, berhasil dipukul mundur dan
bersembunyi di Benteng Willem. Pada 12 Desember, Soedirman memimpin
pengepungan empat hari, yang menyebabkan pasukan Sekutu mundur ke
Semarang.

14
Soedirman, awal 1946
Pertempuran Ambarawa membuat Soedirman lebih diperhatikan di tingkat
Nasional, dan membungkam bisik-bisik yang menyatakan bahwa ia tidak layak
menjadi pemimpin TKR karena kurangnya pengalaman militer dan pekerjaannya
sebelumnya adalah guru sekolah. Pada akhirnya, Soedirman dipilih karena
kesetiaannya yang tidak diragukan, sementara kesetiaan Oerip kepada Belanda
dipandang dengan penuh kecurigaan. Soedirman dikukuhkan sebagai Panglima
Besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945. Posisinya sebagai Kepala Divisi V
digantikan oleh Kolonel Sutiro, dan mulai berfokus pada masalah-masalah
strategis. Hal yang dilakukannya antara lain dengan membentuk Dewan
Penasihat, yang bertugas memberikan saran mengenai masalah-masalah politik
dan militer. Oerip sendiri menangani masalah-masalah militer.

Bersama-sama, Soedirman dan Oerip mampu mengurangi perbedaan dan


rasa ketidakpercayaan yang tumbuh di antara mantan tentara KNIL dan PETA,
meskipun beberapa tentara tidak bersedia tunduk kepada militer pusat, dan lebih
memilih untuk mengikuti Komandan Batalion pilihan mereka. Pemerintah
mengganti nama Angkatan Perang sebanyak dua kali pada Januari 1946, yang
pertama adalah Tentara Keselamatan Rakjat, kemudian diganti lagi menjadi
Tentara Repoeblik Indonesia (TRI). Pergantian nama ini diakhiri dengan
membentuk secara resmi angkatan laut dan angkatan udara pada awal
1946. Sementara itu, pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan dari

15
Jakarta – sekarang di bawah kontrol Belanda – ke Yogyakarta pada bulan Januari;
Delegasi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir melakukan negosiasi
dengan Belanda pada bulan April dan Mei terkait dengan pengakuan kedaulatan
Indonesia, namun tidak berhasil. Pada tanggal 25 Mei, Soedirman dikukuhkan
kembali sebagai Panglima Besar setelah reorganisasi dan perluasan militer. Dalam
upacara pengangkatannya, Soedirman bersumpah untuk melindungi republik
"sampai titik darah penghabisan." Menteri Pertahanan yang berhaluan kiri, Amir
Sjarifoeddin, memperoleh kekuasaan yang lebih besar setelah reorganisasi militer.
Ia mulai mengumpulkan para tentara sosialis dan komunis di bawah kontrolnya,
termasuk unit paramiliter (laskar) sayap kiri yang setia dan didanai oleh berbagai
partai politik. Sjarifuddin melembagakan program pendidikan politik di tubuh
angkatan perang, yang bertujuan untuk menyebarkan ideologi sayap kiri.
Memanfaatkan militer sebagai alat manuvering politik tidak disetujui oleh
Soedirman dan Oerip, yang pada saat itu disibukkan dengan penerapan perlakuan
yang sama bagi tentara dari latar belakang militer berbeda. Namun, rumor yang
beredar mengabarkan bahwa Soedirman sedang mempersiapkan sebuah
kudeta. Upaya kudeta tersebut terjadi pada awal Juli 1946, dan peran Soedirman,
kalaupun ada, tidak dapat dipastikan. Pada bulan Juli, Soedirman mengonfirmasi
rumor ini melalui pidato yang disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI),
menyatakan bahwa ia, seperti semua rakyat Indonesia, adalah abdi negara, dan
jika dirinya ditawari jabatan presiden, ia akan menolaknya. Di kemudian hari, ia
menyatakan bahwa militer tidak memiliki tempat dalam politik, begitu juga
sebaliknya.

Negosiasi dengan Belanda

16
Soedirman tiba di Jakarta pada tanggal 1 November 1946
Sementara itu, Sjahrir terus berusaha bernegosiasi dengan pasukan Sekutu.
Pada tanggal 7 Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, Wim
Schermerhorn, sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Perundingan ini
dimoderatori oleh diplomat Inggris Lord Killearn, dan juga melibatkan
Soedirman. Ia berangkat ke Jakarta dengan menggunakan kereta khusus pada
tanggal 20 Oktober. Namun, ia diperintahkan untuk kembali ke Yogyakarta
setelah tentara Belanda tidak mengizinkan dirinya dan anak buahnya memasuki
Jakarta dengan bersenjata. Soedirman merasa bahwa perintah tersebut melanggar
harga dirinya; Belanda kemudian meminta maaf, menyatakan bahwa peristiwa ini
hanyalah kesalahpahaman. Soedirman berangkat dengan kereta lainnya pada akhir
Oktober, dan tiba di Stasiun Gambir pada tanggal 1 November. Di Jakarta, ia
disambut oleh kerumunan besar. Perundingan di Jakarta berakhir dengan
perumusan Perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November; perjanjian ini
disahkan pada 25 Maret 1947, meskipun ditentang oleh para nasionalis
Indonesia. Soedirman secara lantang juga menentang perjanjian tersebut karena ia
tahu bahwa perjanjian itu akan merugikan kepentingan Indonesia, namun
menganggap dirinya juga wajib mengikuti perintah.

Pada awal 1947, kondisi sudah relatif damai setelah Perjanjian Linggarjati.
Soedirman mulai berupaya untuk mengonsolidasikan TKR dengan berbagai
laskar. Dalam upayanya ini, Soedirman mulai melaksanakan reorganisasi militer;
kesepakatan baru bisa tercapai pada Mei 1947, dan pada 3 Juni 1947, Tentara
Nasional Indonesia (TNI) diresmikan. TNI terdiri dari TKR dan tentara dari
berbagai kelompok laskar, yang berhasil dirangkul Soedirman setelah mengetahui
bahwa mereka dimanfaatkan oleh partai-partai politik. Namun, gencatan senjata
yang berlangsung pasca Perjanjian Linggarjati tidak bertahan lama. Pada tanggal
21 Juli 1947, tentara Belanda yang telah menduduki wilayah peninggalan Inggris
selama penarikan mereka  melancarkan Agresi Militer, dan dengan cepat berhasil
menguasai sebagian besar Jawa dan Sumatra. Meskipun demikian, pemerintahan
pusat di Yogyakarta tetap tak tersentuh. Soedirman menyerukan kepada para
tentara untuk melawan dengan menggunakan semboyan "Ibu Pertiwi
17
memanggil”!, dan kemudian menyampaikan beberapa pidato melalui RRI, namun
upayanya ini gagal mendorong Tentara untuk berperang melawan
Belanda. Terlebih lagi, tentara Indonesia sedang tidak siap dan pertahanan mereka
ditaklukkan dengan cepat.

Garis Van Mook, wilayah yang dikendalikan oleh Indonesia ditandai dengan
warna merah. Pada 1947 Soedirman terpaksa menarik kembali lebih dari 35.000
Tentara dari wilayah taklukan Belanda.

Setelah ditekan oleh PBB, yang memandang situasi di bekas Hindia


dengan remeh, pada 29 Agustus 1947 Belanda menciptakan Garis Van Mook.
Garis ini membagi wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Belanda dan Indonesia. Di
sepanjang garis ini, gencatan senjata diberlakukan. Soedirman memanggil para
gerilyawan Indonesia yang bersembunyi di wilayah taklukan Belanda,
memerintahkan mereka agar kembali ke wilayah yang dikuasai Indonesia. Untuk
tetap mengobarkan semangat mereka, ia menyebut penarikan ini dengan hijrah.
Merujuk pada perjalanan nabi Muhammad ke Madinah pada tahun 622 M, dan
meyakinkan bahwa mereka akan kembali. Lebih dari 35.000 Tentara
meninggalkan Jawa bagian barat dan berangkat menuju Yogyakarta dengan
menggunakan kereta dan kapal laut. Perbatasan ini diresmikan melalui Perjanjian
Renville pada 17 Januari 1948; penandatangan perjanjian ini di antaranya adalah
Amir Sjarifuddin, yang pada saat itu menjabat sebagai perdana menteri. Pada saat
yang bersamaan, Sjarifuddin mulai merasionalisasi TNI (Program Re-Ra) dengan
memangkas jumlah pasukan. Pada saat itu, tentara reguler terdiri dari 350.000
personel, dan lebih dari 470.000 terdapat di laskar.

Dengan adanya program ini, pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden


Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah
pucuk pimpinan TNI menjadi Staf Umum Angkatan Perang dan Markas Besar
18
Pertempuran. Staf Umum dimasukkan ke dalam Kementerian Pertahanan di
bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP). Sementara itu, Markas
Besar Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar Angkatan Perang
Mobil. Pucuk pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang beserta seluruh
perwira militer dihapus, dan pangkatnya diturunkan satu tingkat. Presiden
kemudian mengangkat Soerjadi Soerjadarma sebagai Kepala Staf Angkatan
Perang dengan Kolonel T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima
Besar Angkatan Perang Mobil diangkat Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang
bertugas sebagai perencana taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan
Kementerian Pertahanan, sedangkan Staf Markas Besar Angkatan Perang Mobil
adalah pelaksana taktis operasional.

Pelantikan Soedirman di Istana Negara.


Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan angkatan perang.
Pada tanggal 27 Februari 1948, Presiden mengeluarkan Ketetapan Presiden No.9
Tahun 1948 yang membatalkan ketetapan yang lama. Dalam ketetapan yang baru
ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Soerjadi Soerjadarma, sedangkan
Markas Besar Pertempuran tetap di bawah Soedirman, ditambah Wakil Panglima
yaitu Djenderal Major A.H. Nasution. Angkatan perang berada di bawah seorang
Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan
Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), dan Kepala Staf
Angkatan Udara (KASAU). Dalam penataannya, organisasi ini dibagi menjadi 2
bagian; penataan kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP,
sementara mengenai pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil
Panglima Besar Angkatan Perang.

19
Tak lama setelah itu, Sjafruddin digulingkan dalam mosi tidak
percaya atas keterlibatannya dalam Perjanjian Renville, dan Perdana Menteri yang
baru, Mohammad Hatta, berupaya untuk menerapkan program Rasionalisasi. Hal
ini menimbulkan perdebatan di antara kelompok yang Pro dan Anti-Rasionalisasi.
Soedirman menjadi tempat mengadu dan pendorong semangat bagi para tentara,
termasuk sejumlah komandan senior yang menentang program rasionalisasi.
Soedirman secara resmi dikembalikan ke posisinya pada tanggal 1 Juni 1948.
Untuk menyelesaikan penataan organisasi ini, Soedirman membentuk sebuah
panitia yang anggotanya ditunjuk oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri
dari Djenderal Major Soesalit Djojoadhiningrat (mantan PETA dan laskar),
Djenderal Major Suwardi (mantan KNIL) dan Djenderal Major A.H. Nasution
dari perwira muda. Penataan organisasi TNI selesai pada akhir tahun 1948, setelah
Panglima Tentara dan Teritorium Sumatra, Kolonel Hidajat Martaatmadja,
menyelesaikan penataan organisasi tentara di Pulau Sumatra.

Setelah program Rasionalisasi mereda, Sjarifuddin mulai mengumpulkan


tentara dari Partai Sosialis, Partai Komunis, dan anggota Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia untuk mengobarkan revolusi proletar di Madiun, Jawa Timur,
yang berlangsung pada tanggal 18 September 1948. Soedirman, yang saat itu
sedang sakit, mengirim Nasution untuk memadamkan revolusi. Soedirman juga
mengirim dua perwira lainnya sebagai antena perdamaian sebelum serangan.
Meskipun pemimpin revolusi, Muso, telah sepakat untuk berdamai, Nasution dan
pasukannya berhasil menumpas pemberontakan pada 30 September. Soedirman
mengunjungi Madiun tidak lama setelah pertempuran; ia mengatakan kepada
istrinya bahwa ia tidak bisa tidur di sana karena pertumpahan darah yang terjadi.

20
Rumah Sakit Panti Rapih (difoto sekitar tahun 1956) tempat Soedirman
dirawat karena tuberkulosis.
Pemberontakan di Madiun, dan ketidakstabilan politik yang sedang
berlangsung, melemahkan kondisi kesehatan Soedirman. Pada tanggal 5 Oktober
1948, setelah perayaan hari jadi TNI ketiga, Soedirman pingsan. Setelah diperiksa
oleh berbagai dokter, ia didiagnosis mengidap tuberkulosis (TBC). Pada akhir
bulan, ia dibawa ke Rumah Sakit Umum Panti Rapih dan menjalani pengempesan
paru-paru kanan, dengan harapan bahwa tindakan ini akan menghentikan
penyebaran penyakit tersebut. Selama di rumah sakit, ia melimpahkan sebagian
tugas kepada Nasution. Mereka berdua terus mendiskusikan rencana untuk
berperang melawan Belanda, dan Soedirman secara rutin menerima laporan.
Mereka sepakat bahwa perang gerilya, yang telah diterapkan di wilayah taklukan
Belanda sejak bulan Mei, adalah perang yang paling cocok bagi kepentingan
mereka; untuk mewujudkan hal ini, Soedirman mengeluarkan perintah umum
pada 11 November, dan persiapannya ditangani oleh Nasution. Soedirman
dipulangkan dari rumah sakit pada tanggal 28 November 1948.

Meskipun ia terus mengeluarkan perintah, Soedirman baru kembali aktif bertugas


pada tanggal 17 Desember. Seiring dengan semakin meningkatnya ketegangan
antara tentara Indonesia dan Belanda, ia memerintahkan TNI untuk meningkatkan
kewaspadaan, ia juga memerintahkan latihan militer skala besar dalam upayanya 
yang gagal untuk meyakinkan Belanda bahwa TNI terlalu kuat untuk
diserang. Dua hari kemudian, diumumkan bahwa mereka tak lagi terikat dengan
Perjanjian Renville. Pada 19 Desember, Belanda melancarkan Agresi Militer

21
Kedua untuk merebut ibu kota Yogyakarta. Pukul 07.00 Waktu Indonesia Barat,
lapangan udara di Maguwo berhasil diambil alih oleh pasukan Belanda di bawah
pimpinan Kapten Eekhout. Soedirman, yang telah menyadari serangan itu,
memerintahkan stasiun RRI untuk menyiarkan pernyataan bahwa para tentara
harus melawan karena mereka telah dilatih – sebagai gerilyawan.

Perintah Kilat No. 1/PB/D/48

1. Kita telah diserang.


2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang
kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata.
4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk
menghadapi serangan Belanda.

Pidato radio Soedirman

Soedirman kemudian mengunjungi Istana Presiden di Yogyakarta, tempat


para pemimpin pemerintahan sedang mendiskusikan ultimatum yang menyatakan
bahwa kota itu akan diserbu kecuali para pemimpin menerima kekuasaan kolonial.
Soedirman mendesak Presiden dan Wakil Presiden agar meninggalkan kota dan
berperang sebagai gerilyawan, namun sarannya ini ditolak. Meskipun dokter
melarangnya, Soedirman mendapat izin dari Soekarno untuk bergabung dengan
anak buahnya. Pemerintah pusat dievakuasi ke Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat atas desakan Sultan Hamengkubuwono IX, namun mereka tertangkap
dan diasingkan.

Perang gerilya
Sebelum memulai gerilya, Soedirman pertama-tama pergi ke rumah
dinasnya dan mengumpulkan dokumen-dokumen penting, lalu membakarnya
untuk mencegahnya jatuh ke tangan Belanda. Soedirman, bersama sekelompok
kecil tentara dan dokter pribadinya, mulai bergerak ke arah selatan menuju
Kretek, Parangtritis, Bantul. Setibanya di sana, mereka disambut oleh Bupati pada
pukul 18.00. Selama di Kretek, Soedirman mengutus tentaranya yang menyamar

22
ke kota yang telah diduduki oleh Belanda untuk melakukan pengintaian, dan
meminta istrinya menjual perhiasannya untuk membantu mendanai gerakan
gerilya. Setelah beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya melakukan
perjalanan ke Timur di sepanjang Pantai Selatan menuju Wonogiri. Sebelum
Belanda menyerang, sudah diputuskan bahwa Soedirman akan mengontrol para
gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih memiliki beberapa pangkalan
militer. Sementara itu, Alfiah dan anak-anaknya diperintahkan untuk tinggal di
Kraton. Sadar bahwa Belanda sedang memburu mereka, pada tanggal 23
Desember Soedirman memerintahkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanan
ke Ponorogo. Di sana, mereka berhenti di rumah seorang ulama bernama Mahfuz;
Mahfuz memberi sang jenderal sebuah tongkat untuk membantunya berjalan,
meskipun Soedirman terus dibopong dengan menggunakan tandu di sepanjang
perjalanan. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke timur.

Soedirman, dikelilingi oleh para gerilyawan selama perang gerilya


Di dekat Trenggalek, Soedirman dan kelompoknya dihentikan oleh
Prajurit TNI dari Batalion 102. Para Tentara ini diberitahu bahwa Soedirman yang
saat itu berpakaian sipil dan dan tidak dikenali oleh Tentara yang menghentikan
mereka adalah tahanan dan menolak untuk melepaskan Soedirman dan
kelompoknya, mereka mencurigai konvoi Soedirman yang membawa peta dan
catatan militer Indonesia, benda yang mungkin dimiliki oleh mata-mata. Ketika
sang Komandan, Mayor Zainal Fanani, datang untuk memeriksa keadaan, ia

23
menyadari bahwa orang itu adalah Soedirman dan segera meminta maaf. Fanani
beralasan bahwa tindakan anak buahnya sudah tepat karena menjaga wilayah
dengan saksama. Ia juga menyebutkan tentang sebuah pos di Kediri dan
menyediakan mobil untuk mengangkut Soedirman dan pasukannya. Setelah
beberapa saat di Kediri, mereka melanjutkan perjalanan lebih jauh ke Timur;
setelah mereka meninggalkan kota pada tanggal 24 Desember, Belanda berencana
untuk menyerang Kediri.

Serangan Belanda yang berkelanjutan menyebabkan Soedirman harus


mengganti pakaiannya dan memberikan pakaian lamanya pada salah seorang
prajuritnya, Letnan Heru Kesser –yang memiliki kemiripan dengan Soedirman.
Kesser diperintahkan untuk menuju Selatan bersama sekompi besar tentara,
mengganti pakaiannya, dan diam-diam kembali ke Utara, sedangkan Soedirman
menunggu di Karangnongko. Pengalihan ini berhasil, dan pada 27 Desember,
Soedirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba pada 9
Januari 1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa menteri yang tidak
berada di Yogyakarta saat penyerangan, diantaranya adalah Menteri Supeno,
Susanto Tirtoprojo, dan Menteri Susilowati. Bersama para politisi ini, Soedirman
berjalan ke Banyutuwo sambil memerintahkan beberapa tentaranya untuk
menahan pasukan Belanda. Di Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu
lebih. Namun, pada 21 Januari, tentara Belanda mendekati desa. Soedirman dan
rombongannya terpaksa meninggalkan Banyutuwo, berjuang menembus jalan
dalam hujan lebat.

24
Lukisan pahlawan Jenderal Soedirman saat Agresi Militer Belanda II oleh
Hardjanto.
Soedirman dan pasukannya terus melakukan perjalanan melewati hutan
dan rimba, akhirnya tiba di Sobo, di dekat Gunung Lawu, pada tanggal 18
Februari. Selama perjalanannya ini, Soedirman menggunakan sebuah radio untuk
memberi perintah pada Pasukan TNI setempat jika ia yakin bahwa daerah itu
aman. Merasa lemah karena kesulitan fisik yang ia hadapi, termasuk
perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, Soedirman yakin bahwa
Sobo aman dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai Markas
Gerilya. Komandan tentara setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung,
berperan sebagai perantara antara dirinya dengan pemimpin TNI lain. Mengetahui
bahwa opini Internasional yang mulai mengutuk tindakan Belanda di Indonesia
bisa membuat Indonesia menerima pengakuan yang lebih besar, Soedirman dan
Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-
besaran. Sementara itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang mengklaim
bahwa mereka telah menangkap Soedirman propaganda tersebut bertujuan untuk
mematahkan semangat para gerilyawan.

Soedirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan


serangan besar-besaran, dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda
dan mununjukkan kekuatan mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi
PBB. Hutagalung, bersama para prajurit dan komandannya, Kolonel Bambang
Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan Gubernur Wongsonegoro,
menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara untuk
25
memastikan agar serangan itu berhasil. Pertemuan ini menghasilkan
rencana Serangan Umum 1 Maret 1949, Pasukan TNI akan menyerang pos-pos
Belanda di seluruh Jawa Tengah. Pasukan TNI di bawah komando Letnan
Kolonel Soeharto berhasil merebut kembali Yogyakarta dalam waktu enam jam,
menjadi unjuk kekuatan yang sukses dan menyebabkan Belanda kehilangan muka
di mata Internasional. Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah
diberantas. Namun, siapa tepatnya yang memerintahkan serangan ini masih belum
jelas Soeharto dan Hamengkubuwono IX sama-sama mengaku bertanggung jawab
atas serangan ini, sedangkan saudara Bambang Sugeng juga menyatakan bahwa
dia lah yang telah memerintahkan serangan tersebut.

Soedirman (kiri), berkonsultasi dengan Letnan Kolonel Soeharto di Sobo

Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada 7 Mei 1949


Indonesia dan Belanda menggelar perundingan, yang menghasilkan Perjanjian
Roem-Royen. Perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda harus menarik
pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-poin lainnya. Belanda mulai menarik
pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia di pengasingan
kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu memerintahkan Soedirman
untuk kembali ke Yogyakarta, tetapi Soedirman menolak untuk membiarkan
Belanda menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat itu
sudah cukup kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun ia dijanjikan
akan diberi obat-obatan dan dukungan di Yogyakarta, Soedirman menolak untuk
kembali ke kalangan politisi, yang menurutnya telah sepaham dengan Belanda.
Soedirman baru setuju untuk kembali ke Yogyakarta setelah menerima sebuah
surat, yang pengirimnya masih diperdebatkan. Pada tanggal 10 Juli, Soedirman

26
dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga
sipil dan diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana. Wartawan Rosihan
Anwar, yang hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa "Soedirman harus
kembali ke Yogyakarta untuk menghindari anggapan adanya keretakan antar
pemimpin tertinggi republik".

Pasca-perang dan kematian

Pada awal Agustus, Soedirman mendekati Soekarno dan memintanya


untuk melanjutkan perang gerilya; Soedirman tidak percaya bahwa Belanda akan
mematuhi Perjanjian Roem-Royen, belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya.
Soekarno tidak setuju, yang menjadi pukulan bagi Soedirman. Soedirman
menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah sebagai penyebab penyakit
tuberkulosisnya dan kematian Oerip pada 1948, ia mengancam akan
mengundurkan diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan
melakukan hal yang sama. Setelah ia berpikir bahwa pengunduran dirinya akan
menyebabkan ketidakstabilan, Soedirman tetap menjabat, dan gencatan senjata di
seluruh Jawa mulai diberlakukan pada tanggal 11 Agustus 1949.

Jenazah Soedirman disemayamkan di rumahnya di Yogyakarta


Soedirman terus berjuang melawan TBC dengan melakukan pemeriksaan
di Panti Rapih. Ia menginap di Panti Rapih menjelang akhir tahun, dan keluar
pada bulan Oktober; ia lalu dipindahkan ke sebuah sanatorium di dekat
Pakem. Akibat penyakitnya ini, Soedirman jarang tampil di depan publik. Ia
dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada bulan Desember. Pada saat yang
bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan konferensi panjang
selama beberapa bulan yang berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan
27
Indonesia pada 27 Desember 1949. Meskipun sedang sakit, Soedirman saat itu
juga diangkat sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama Republik
Indonesia Serikat. Pada 28 Desember, Jakarta kembali dijadikan sebagai ibu kota
negara.

Peti mati Soedirman dibopong oleh para tentara.

Soedirman wafat di Magelang pada pukul 18.30 malam pada tanggal 29


Januari 1950; kabar duka ini dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di
RRI. Setelah berita kematiannya disiarkan, rumah keluarga Soedirman dipadati
oleh para pelayat, termasuk semua anggota Brigade IX yang bertugas di
lingkungan tersebut. Keesokan harinya, jenazah Soedirman dibawa ke
Yogyakarta, diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat tank dan
delapan puluh kendaraan bermotor, dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan.
Konvoi tersebut diselenggarakan oleh anggota Brigade IX.

Jenazah Soedirman disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman pada sore


hari, yang dihadiri oleh sejumlah elit militer dan politik Indonesia maupun asing,
termasuk Perdana Menteri Abdul Halim, Menteri Pertahanan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Menteri Kesehatan Johannes Leimena, Menteri
Keadilan Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Menteri Informasi Arnold Mononutu,
Kepala Staff TNI AU Soerjadi Soerjadarma, Kolonel Paku Alam VIII, dan
Soeharto. Upacara ini ditutup dengan prosesi hormat 24 senjata. Jenazah
Soedirman kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan
berjalan kaki, sementara kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer
(1,2 mi)* mengiringi di belakang. Ia dikebumikan di sebelah Oerip setelah prosesi
hormat senjata. Istrinya menuangkan tanah pertama ke makamnya, lalu diikuti
oleh para menteri. Pemerintah pusat memerintahkan pengibaran bendera setengah
28
tiang sebagai tanda berkabung di seluruh negeri, dan Soedirman dipromosikan
menjadi jenderal penuh. Djenderal Major Tahi Bonar Simatupang terpilih sebagai
pemimpin angkatan perang yang baru. Memoar Soedirman diterbitkan pada tahun
itu, dan rangkaian pidato-pidatonya juga diterbitkan pada tahun 1970.

Peninggalan

Makam Soedirman di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta;


makam ini telah menjadi tujuan para peziarah.

Surat kabar harian Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat, menulis bahwa


Indonesia telah kehilangan seorang "pahlawan yang jujur dan pemberani."
Kolonel Paku Alam VIII, yang bertanggung jawab atas wilayah Yogyakarta,
mengatakan kepada kantor berita nasional Antara bahwa seluruh rakyat Indonesia,
khususnya angkatan perang, telah "kehilangan seorang bapak yang tidak ternilai
jasa-jasanya kepada tanah air". Tokoh Muslim Indonesia, Haji Abdul Malik
Karim Amrullah, menggambarkan sosok Soedirman sebagai "lambang dari
kebangunan jiwa pahlawan Indonesia", sedangkan politisi Muslim Muhammad Isa
Anshary menyatakan bahwa Soedirman adalah "putra revolusi, karena dia lahir
dalam revolusi, dan dibesarkan oleh revolusi". Dalam sebuah pidato radio, Hatta
mengungkapkan bahwa Soedirman adalah sosok yang tidak mungkin bisa
dikendalikan dan keras kepala, tetapi tetap bertekad untuk melakukan yang benar
bagi negara; Hatta berkata meskipun Soedirman tidak menyukai jabatan
pemerintahan, ia secara umum tetap mematuhi perintahnya. Namun,
Hamengkubuwono IX mengungkapkan bahwa tentara terlatih seperti Abdul Haris

29
Nasution dan Tahi Bonar Simatupang kecewa terhadap Soedirman karena latar
belakang dan pengetahuan teknik militernya yang buruk.

Opini modern yang berkembang di Indonesia mengenai Soedirman


cenderung berupa pujian. Sardiman, seorang profesor sejarah di Universitas
Negeri Yogyakarta, menulis bahwa Soedirman hidup sebagai pembicara seperti
Soekarno, yang dikenal karena pidatonya yang berapi-api, dan pemimpin yang
berbakti dan tidak bisa disuap. Sejarawan Indonesia dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nugroho Notosusanto menggambarkan Soedirman sebagai "satu-
satunya idolanya", menyatakan bahwa masa-masa gerilya sang jenderal adalah
asal esprit de corps TNI. Kampanye gerilya Soedirman lebih ditekankan dalam
biografinya karena pada masa ini, angkatan perang memiliki peran yang lebih
besar jika dibandingkan dengan pemimpin politik di pengasingan. Sejak 1970-an,
semua taruna militer harus menelusuri kembali rute gerilya Soedirman sepanjang
100-kilometer (62 mi) sebelum lulus dari Akademi Militer, bentuk "ziarah" yang
bertujuan untuk menanamkan rasa perjuangan. Makam Soedirman juga menjadi
tujuan ziarah, baik dari kalangan militer ataupun masyarakat umum. Menurut
Katharine McGregor dari Universitas Melbourne, militer Indonesia telah
memuliakan status Soedirman menjadi semacam orang suci.

Soedirman telah menerima berbagai tanda kehormatan dari pemerintah


pusat secara anumerta, termasuk Bintang Sakti, Bintang Gerilya, Bintang
Mahaputra Adipurna, Bintang Mahaputra Pratama, Bintang Republik Indonesia
Adipurna, dan Bintang Republik Indonesia Adipradana. Pada 10 Desember 1964,
Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan
Presiden No. 314 Tahun 1964. Oerip juga dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional
oleh keputusan yang sama. Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal Besar pada
tahun 1997.

30
Soedirman pada uang kertas 5 rupiah keluaran 1968.

Menurut McGregor, militer memanfaatkan sosok Soedirman sebagai


simbol kepemimpinan setelah mereka meraih kekuasaan politik. Gambar
Soedirman ditampilkan dalam seri uang kertas rupiah terbitan 1968. Soedirman
juga ditampilkan sebagai karakter utama dalam beberapa film perang,
termasuk Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1982).

Terdapat banyak museum yang didedikasikan untuk Soedirman. Rumah


masa kecilnya di Purbalingga saat ini menjadi Museum Soedirman, sedangkan
rumah dinasnya di Yogyakarta dijadikan Museum Sasmitaloka Jenderal
Soedirman. Rumah kelahirannya di Magelang juga dijadikan Museum Soedirman,
yang didirikan pada tanggal 18 Mei 1967 dan menyimpan barang-barang milik
sang jenderal. Museum lainnya, termasuk Monumen Yogya Kembali di
Yogyakarta dan Museum Satria Mandala di Jakarta, memiliki ruangan khusus
yang didedikasikan untuk dirinya.Sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya,
termasuk sebuah jalan utama di Jakarta. McGregor menyatakan bahwa hampir
setiap kota di Indonesia memiliki jalan bernama Soedirman. Patung dan monumen
yang didedikasikan untuk dirinya juga tersebar di seluruh negeri, sebagian
besarnya dibangun setelah tahun 1970. Universitas Jenderal
Soedirman di Purwokerto, Banyumas, didirikan pada 1963 dan dinamai sesuai
namanya.

31
EVALUASI
Soal :
1. Siapakah nama Orang tua Jendral Sudirman ?
2. Apakah pekerjaan Orang Tua Angkat Jendral Sudirman dan siapakah
namanya ?
3. Pada tahun berapa Jendral Sudirman diangkat sebagai Jendral Besar ?
4. Sejak tahun 1970-an, semua Taruna Militer harus menelusuri kembali rute
gerilya Jendral Soedirman sebelum lulus dari Akademi Militer. Berapakah
panjang rute tersebut ?
5. Sebutkan salah satu dari isi perintah kilat Jendral Soedirman?
6. Apakah sebutan strategi perang Jendral Soedirman ?
7. Pada tanggal berapa Jendral Soedirman wafat, dimanakah jenazah Jendral
Soedirman disemayamkan serta dimakamkan dimana ?
Jawaban :
1. Jendral Sudirman lahir dari pasangan yang bernama Karsid Kartawiraji
dan Siyem
2. Pekerjaan Orang Tua Angkat Jendral Sudirman adalah Camat dan
bernama Raden Cokrosunaryo dan Taryem
3. Jendral Sudirman diangkat menjadi Panglima Besar pada tanggal 27
Desember 1949
4. Panjang rute yang harus ditempuh/ditelusuri oleh semua Taruna Militer
pada tahun 1970 sebelum lulus Akademi Militer adalah 100 Km(62 mi).
5. Salah satu Perintah Kilat Jendral Soedirman adalah pada tanggal 19
Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta
dan lapangan terbang Maguwo.
6. Sebutan Strategi perang yang digunakan oleh Jendral Soedirman adalah
Perang Gerilya
7. Jendral Soedirman wafat di Magelang pada pukul 18.30 malam pada
tanggal 29 Januari 1950, jenazah disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman
serta dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta

32
PENUTUP
Setelah kita sama-sama membaca dan mempelajari materi kita pada
siang hari ini, ada beberapa Korelasi(hubungan sebab-akibat) positif dari sejarah
perjuangan seorang Jendral Soedirman melawan Penjajahan diantaranya adalah
Hari Pahlawan yang tak bisa dipisahkan dengan Resolusi Jihad yang disepakati 20
hari sebelum 10 November 1945 yang kini dikenal dengan Hari Santri Nasional.
Benang merah yang terentang di antara kedua hari besar Nasional itu adalah peran
kaum muslimin dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Belajar dari resolusi jihad, sudah saatnya kita(Santri) sebagai salah satu elemen
bangsa terpanggil untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Jika pada masa
resolusi jihad 1945, para pahlawan mempertaruhkan jiwa dan raga untuk
mempertahankan bangsa ini dari penjajahan, maka resolusi jihad yang kita
lakukan adalah dengan bersungguh-sungguh menyerap semua ilmu pengetahuan
yang telah diberikan/disampaikan oleh baik Tenaga Pengajar maupun Guru kita,
meningkatkan kreatifitas kita, membangun diri kita menjadi manusia dan warga
negara yang baik. Jika setiap masing-masing dari kita melakukan hal tersebut,
maka secara kumulatif(menambah) akan berdampak pada kualitas kita sebagai
bangsa. Memberikan segala kemampuan kita untuk membangun bangsa. Memang
benar, untuk memperbaiki Bangsa ini adalah sulit dikarenakan permasalahan yang
ada sangatlah kompleks, tapi kita bisa memulainya dengan memperbaiki dari diri
sendiri dulu. Kita sama-sama banyak melihat membaca dari berbagai Media
Sosial tentang berbagai permasalahan Bangsa kita yang tengah dihadapi, berbagai
problematika dalam segala bidang. Dan menurut Kakak, tanggung jawab
pemecahan problematika bangsa itu bukan hanya dibebankan kepada Pemerintah
dan Aparat saja, melainkan tanggung jawab kita juga sebagai manusia, dan warga
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berhubung waktu yang terbatas maka Kakak akhiri sampai disini, dilain
waktu kita akan bertemu lagi. Kakak dan kita semua tentunya berharap semoga
Kepramukaan di Gontor Putri 3 ini semakin berkembang dengan segala kreatifitas
yang baik dan berdampak positif bagi kita semua. Atas semua yang disampaikan
oleh Guru maupun Tenaga Pengajar, bisa kita pelajari bersama dan bermaanfaat
33
bagi kita semua. Amin. Semoga Allah selalu memberikan kesehatan keberkahan
dan rezeki berlimpah untuk kita semua serta untuk Orang tua kita dirumah.
Terima kasih atas perhatiannya mohon maaf bila banyak kekurangan baik dari
materi maupun penjelasan dari Kakak.

Wassalamu’alaikum Warrokhmatullohi Wabarakaatuh


Tahiyyah Kasyafah !
Greeting Scout !
Salam Pramuka !

Calon Pembina Koordinator

(Nurul Islah Azzahra) (Kak[Triyuni Rahmatika, Spd.])

Mengetahui

Majelis Pembimbing Gugus Depan Majelis Pembimbing Koordinator Harian

(Kak[Shafa Nabila Tamir]) (Kak[Aliya Szafrina Wijaya])

34
- Menurut KBBI(Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata 'memoar'
memiliki makna kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa masa
lampau menyerupai autobiografi yang ditulis dengan menekankan
pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa yang dialami dan
tentang tokoh yang berhubungan dengannya; catatan atau rekaman tentang
pengalaman hidup.
- Memoar (juga biasa ditulis memoir) adalah kenang-kenangan yang
menyerupai autobiografi dengan menekankan pendapat, kesan dan
tanggapan pencerita atas peristiwa-peristiwa yang dialami serta tokoh-
tokoh yang berhubungan dengannya.[1] Seluk-beluk sejarah dalam memoar
tidak mutlak benar.[1] Akan tetapi, memoar tetap menjadi bahan penting
untuk penulisan biografi.
- Tuberkulosis (TBC)  atau TB adalah penyakit menular akibat infeksi bakteri.
TBC umumnya menyerang paru-paru, tetapi juga dapat menyerang organ
tubuh lain, seperti ginjal, tulang belakang, dan otak.
- Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korelasi adalah
hubungan timbal balik atau sebab akibat.
-

35

Anda mungkin juga menyukai