Anda di halaman 1dari 12

TUGAS SEJARAH INDONESIA

NAMA : SHINTIA MELINDA AGUSTINI


KELAS : XI IPS 1
Soedirman
Pahlawan Nasional

Nama Lengkap
Jenderal Besar TNI A Soedirman
Alias
No Alias
Agama
Islam
Tempat Lahir
Desa Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah
Tanggal Lahir
Senin, 24 Januari 1916
Zodiak
Aquarius
Warga Negara
Indonesia
Relation
-
Biografi
Jenderal Soedirman ialah salah seorang Pahlawan Revolusi Nasional
Indonesia. Dalam sejarah perjuangan Republik Indonesia, ia merupakan
Panglima dan Jenderal RI yang pertama dan termuda. Pada usia yang masih
cukup muda, yaitu 31 tahun, Soedirman telah menjadi seorang jenderal.
Selain itu, ia juga dikenal sebagai pejuang yang gigih. Meskipun ia sedang
menderita penyakit paru-paru parah, ia tetap berjuang dan bergerilya
bersama para prajuritnya untuk melawan tentara Belanda pada Agresi Militer
II. 

Soedirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah pada tanggal 24 Januari 1916.


Ia berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang pekerja di pabrik gula
Kalibagor Banyumas dan ibunya keturunan Wedana Rembang. Soedirman
memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa. Ia kemudian
melanjutkan pendidikannya ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo
tetapi tidak sampai tamat. Selama menempuh pendidikan di sana, ia pun turut
serta dalam kegiatan organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Setelah itu ia
menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Ia kemudian
mengabdikan dirinya menjadi guru HIS Muhammadiyah, Cilacap dan
pemandu di organisasi Pramuka Hizbul Wathan tersebut.

Pada zaman penjajahan Jepang , Soedirman bergabung dengan tentara


Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Pasca Indonesia merdeka dari
penjajahan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di
Banyumas. Kemudian beliau diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya
setelah menyelesaikan pendidikannya. Ia lalu menjadi Panglima Divisi
V/Banyumas sesudah TKR (Tentara Keamanan Rakyat) terbentuk, dan
akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia
(Panglima TNI). Perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan
NICA Belanda dari bulan November sampai Desember 1945 adalah perang
besar pertama yang ia pimpin. Karena ia berhasil memperoleh kemenangan
pada pertempuran ini, Presiden Soekarno pun melantiknya sebagai Jenderal.

Soedirman meninggal pada tanggal 29 Januari 1950 karena penyakit


tuberkulosis parah yang ia derita. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. Pada tahun 1997 ia
dianugerahi gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima,
pangkat yang hanya dimiliki oleh tiga jenderal di RI sampai sekarang. 

Riset dan analisis oleh: Meidita Kusuma Wardhani


Pendidikan
 Sekolah Taman Siswa
 HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tetapi tidak sampai tamat. 
 Pendidikan Militer Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor
Karir

 Guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap


 Panglima Besar TKR/TNI, dengan pangkat Jenderal
 Panglima Divisi V/Banyumas, dengan pangkat Kolonel
 Komandan Batalyon di Kroya
Penghargaan

 Jenderal Besar Anumerta Bintang Lima (1997)

LATAR BELAKANG
Soedirman (EYD: Sudirman; lahir 24 Januari 1916 – meninggal 29
Januari 1950 pada umur 34 tahun[a]) adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada
masa Revolusi Nasional Indonesia. Sebagai panglima besar Tentara Nasional
Indonesia pertama, ia adalah sosok yang dihormati di Indonesia. Terlahir dari
pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia Belanda, Soedirman diadopsi oleh
pamannya yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun
1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam
kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan
oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai
menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati
oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan,
pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala
sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan
Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah
pada tahun 1937. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942,
Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela
Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan batalion
di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit
melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945, Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta
untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses
penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan
divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V
pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman
bertanggung jawab atas divisi tersebut. Pada tanggal 12 November 1945, dalam
sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman
terpilih menjadi panglima besar, sedangkan Oerip, yang telah aktif di militer sebelum
Soedirman lahir, menjadi kepala staff. Sembari menunggu pengangkatan,
Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda
di Ambarawa. Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan
semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat
sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember. Selama tiga tahun berikutnya,
Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda
yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian
Linggarjati –yang turut disusun oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian
Renville –yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang
diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara
Indonesia. Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta
pada 1948. Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai
penyebab penyakit tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya
dikempeskan pada bulan November 1948.
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari
rumah sakit, Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta.
Pada saat pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman,
beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke
arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Awalnya mereka
diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan
mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, ia
mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1
Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Ketika
Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan
Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda,
ia dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia
pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera
setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi
upacara pemakaman. Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan
gerilyanya ditetapkan sebagai sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara
Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-kilometer (62 mi) yang ditempuhnya
harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari Akademi Militer. Soedirman
ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran 1968, dan namanya diabadikan
menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10
Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Kehidupan awal
Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini
tinggal di rumah saudari Siyem yang bernama Tarsem di Rembang, Bodas
Karangjati, Purbalingga, Hindia Belanda. Tarsem sendiri bersuamikan seorang
camat bernama Raden Cokrosunaryo.[b][c][1][2] Menurut catatan keluarga, Soedirman –
dinamai oleh pamannya –lahir pada Minggu pon di bulan Maulud
dalam penanggalan Jawa; pemerintah Indonesia kemudian menetapkan 24 Januari
1916 sebagai hari ulang tahun Soedirman. Karena kondisi keuangan Cokrosunaryo
yang lebih baik, ia mengadopsi Soedirman dan memberinya gelar Raden, gelar
kebangsawanan pada suku Jawa.[1] Soedirman tidak diberitahu bahwa
Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai ia berusia 18 tahun. [3] Setelah
Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman ikut dengan
keluarganya ke Manggisan, Cilacap. Di tempat inilah ia tumbuh besar.[1] Di Cilacap,
Karsid dan Siyem memiliki seorang putra lain bernama Muhammad Samingan.
Karsid meninggal dunia saat Soedirman berusia enam tahun, dan Siyem menitipkan
kedua putranya pada saudara iparnya dan kembali ke kampung halamannya di
Parakan Onje, Ajibarang.[1][4][5]
Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan etika dan
tata krama priyayi,[6] serta etos kerja dan kesederhanaan wong cilik, atau rakyat
jelata.[7] Untuk pendidikan agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di bawah
bimbingan Kyai Haji Qahar; Soedirman adalah anak yang taat agama dan
selalu shalat tepat waktu. Ia dipercaya untuk mengumandangkan adzan dan iqamat.
[8]
 Saat berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di sekolah pribumi (hollandsch
inlandsche school).[6][9] Meskipun hidup berkecukupan, keluarga Soedirman bukanlah
keluarga kaya. Selama menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo tidak
mengumpulkan banyak kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin
jahit Singer.[4]
Pada tahun kelimanya bersekolah, Soedirman diminta untuk berhenti sekolah
sehubungan dengan ejekan yang diterimanya di sekolah milik pemerintah;
[d]
 permintaan ini awalnya ditolak, namun Soedirman dipindahkan ke sekolah
menengah milik Taman Siswa pada tahun ketujuh sekolah.[6][9][10] Pada tahun
kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo [e] setelah sekolah
Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar karena diketahui tidak terdaftar.[10]
[11][12]
 Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah nasionalis Indonesia, yang
turut mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda. [11] Soedirman
belajar dengan tekun di sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan bahwa
Soedirman sudah mempelajari pelajaran tingkat dua pada saat kelas masih
mempelajari pelajaran tingkat satu. Meskipun lemah dalam pelajaran kaligrafi Jawa,
Soedirman sangat pintar dalam pelajaran matematika, ilmu alam, dan menulis, baik
bahasa Belanda maupun Indonesia.[13] Soedirman juga menjadi semakin taat agama
di bawah bimbingan gurunya, Raden Muhammad Kholil. Teman-teman sekelasnya
memanggilnya "haji" karena ketaatannya dalam beribadah, dan Soedirman juga
memberikan ceramah agama kepada siswa lain. [14] Selain belajar dan beribadah,
Soedirman juga berpartisipasi dalam kelompok musik sekolah dan bergabung
dengan tim sepak bola sebagai bek.[15] Kematian Cokrosunaryo pada tahun 1934
menyebabkan keluarganya jatuh miskin, namun ia tetap diizinkan untuk melanjutkan
sekolahnya tanpa membayar sampai ia lulus pada akhir tahun. [14][16] Setelah
kepergian ayah tirinya, Soedirman mencurahkan lebih banyak waktunya untuk
mempelajari Sunnah dan doa.[17] Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru
praktik di Wirotomo.[11]
Saat bersekolah di Wirotomo, Soedirman adalah anggota Perkumpulan Siswa
Wirotomo, klub drama, dan kelompok musik.[18] Ia membantu mendirikan cabang
Hizboel Wathan, sebuah organisasi Kepanduan Putra milik Muhammadiyah.
Soedirman menjadi pemimpin Hizboel Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari
Wirotomo;[19][20] tugasnya adalah menentukan dan merencanakan kegiatan
kelompoknya. Soedirman menekankan perlunya pendidikan agama, bersikeras
bahwa kontingen dari Cilacap harus menghadiri konferensi Muhammadiyah di
seluruh Jawa.[21] Ia mengajari para anggota muda Hizboel Wathan [f] tentang sejarah
Islam dan pentingnya moralitas, sedangkan pada anggota yang lebih tua ia
berlakukan disiplin militer.[22]

Mengajar
Setelah lulus dari Wirotomo, Soedirman belajar selama satu tahun
di Kweekschool (sekolah guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta,
tetapi berhenti karena kekurangan biaya.[23] Pada 1936, ia kembali ke Cilacap untuk
mengajar di sebuah sekolah dasar Muhammadiyah, setelah dilatih oleh guru-
gurunya di Wirotomo. Pada tahun yang sama, Soedirman menikahi Alfiah, mantan
teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha batik kaya bernama Raden
Sastroatmojo.[24][25] Setelah menikah, Soedirman tinggal di rumah mertuanya di
Cilacap agar ia bisa menabung untuk membangun rumah sendiri. [24] Pasangan ini
kemudian dikaruniai tiga orang putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad Teguh
Bambang Tjahjadi, dan Taufik Effendi, serta empat orang putri; Didi Praptiastuti, Didi
Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjuti Satyaningrum. [25][26]
Sebagai guru, Soedirman mengajarkan murid-muridnya pelajaran moral dengan
menggunakan contoh dari kehidupan para rasul dan kisah wayang tradisional.
[24]
 Salah seorang muridnya menyatakan bahwa Soedirman adalah guru yang adil
dan sabar yang akan mencampurkan humor dan nasionalisme dalam pelajarannya;
hal ini membuatnya populer di kalangan muridnya. [27] Meskipun bergaji kecil,
Soedirman tetap mengajar dengan giat. Akibatnya, dalam beberapa tahun
Soedirman diangkat menjadi kepala sekolah meskipun tidak memiliki ijazah guru.
[28]
 Sebagai hasilnya, gaji bulanannya meningkat empat kali lipat dari
tiga gulden menjadi dua belas setengah gulden. Sebagai kepala sekolah, Soedirman
mengerjakan berbagai tugas-tugas administrasi, termasuk mencari jalan tengah di
antara guru yang berseteru. Seorang rekan kerjanya mengisahkan bahwa
Soedirman adalah seorang pemimpin yang moderat dan demokratis. [29] Ia juga aktif
dalam kegiatan penggalangan dana, baik untuk kepentingan pembangunan sekolah
ataupun untuk pembangunan lainnya.[30]
Selama waktu-waktu ini, Soedirman juga terus bergiat sebagai anggota Kelompok
Pemuda Muhammadiyah. Dalam kelompok ini, ia dikenal sebagai negosiator dan
mediator yang lugas, berupaya untuk memecahkan masalah antar para anggota; ia
juga berdakwah di masjid setempat.[31] Soedirman terpilih sebagai Ketua Kelompok
Pemuda Muhammadiyah Kecamatan Banyumas pada akhir 1937. Selama menjabat,
ia memfasilitasi seluruh kegiatan dan pendidikan para anggota, baik dalam bidang
agama ataupun sekuler. Ia kemudian mengikuti seluruh kegiatan Kelompok Pemuda
di Jawa Tengah[24][32] dan menghabiskan sebagian besar waktu luangnya dengan
melakukan perjalanan dan berdakwah, dengan penekanan pada kesadaran diri.
[33]
 Alfiah juga aktif dalam kegiatan kelompok putri Muhammadiyah Nasyiatul
Aisyiyah.[34]

Peninggalan

Makam Soedirman di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta; makam ini telah


menjadi tujuan para peziarah.
Surat kabar harian Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat, menulis bahwa Indonesia telah
kehilangan seorang "pahlawan yang jujur dan pemberani." [aa][148] Kolonel Paku
Alam VIII, yang bertanggung jawab atas wilayah Yogyakarta, mengatakan kepada
kantor berita nasional Antara bahwa seluruh rakyat Indonesia, khususnya angkatan
perang, telah "kehilangan seorang bapak yang tidak ternilai jasa-jasanya kepada
tanah air".[ab][55] Tokoh Muslim Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah,
menggambarkan sosok Soedirman sebagai "lambang dari kebangunan jiwa
pahlawan Indonesia",[ac][90] sedangkan politisi Muslim Muhammad Isa
Anshary menyatakan bahwa Soedirman adalah "putra revolusi, karena dia lahir
dalam revolusi, dan dibesarkan oleh revolusi". [ad][154] Dalam sebuah pidato radio,
Hatta mengungkapkan bahwa Soedirman adalah sosok yang tidak mungkin bisa
dikendalikan dan keras kepala, tetapi tetap bertekad untuk melakukan yang benar
bagi negara; Hatta berkata meskipun Soedirman tidak menyukai jabatan
pemerintahan, ia secara umum tetap mematuhi perintahnya. [55] Namun,
Hamengkubuwono IX mengungkapkan bahwa tentara terlatih seperti Abdul Haris
Nasution dan Tahi Bonar Simatupang kecewa terhadap Soedirman karena latar
belakang dan pengetahuan teknik militernya yang buruk. [155]
Opini modern yang berkembang di Indonesia mengenai Soedirman cenderung
berupa pujian. Sardiman, seorang profesor sejarah di Universitas Negeri
Yogyakarta, menulis bahwa Soedirman hidup sebagai pembicara seperti Soekarno,
yang dikenal karena pidatonya yang berapi-api, [156] dan pemimpin yang berbakti dan
tidak bisa disuap.[157] Sejarawan Indonesia dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nugroho Notosusanto menggambarkan Soedirman sebagai "satu-
satunya idolanya", menyatakan bahwa masa-masa gerilya sang jenderal adalah
asal esprit de corps TNI.[158] Kampanye gerilya Soedirman lebih ditekankan dalam
biografinya karena pada masa ini, angkatan perang memiliki peran yang lebih besar
jika dibandingkan dengan pemimpin politik di pengasingan. [158] Sejak 1970-an,
semua taruna militer harus menelusuri kembali rute gerilya Soedirman sepanjang
100-kilometer (62 mi) sebelum lulus dari Akademi Militer, bentuk "ziarah" yang
bertujuan untuk menanamkan rasa perjuangan. [159] Makam Soedirman juga menjadi
tujuan ziarah, baik dari kalangan militer ataupun masyarakat umum. [160] Menurut
Katharine McGregor dari Universitas Melbourne, militer Indonesia telah memuliakan
status Soedirman menjadi semacam orang suci.[161]
Soedirman telah menerima berbagai tanda kehormatan dari pemerintah
pusat secara anumerta, termasuk Bintang Sakti, Bintang Gerilya,[162] Bintang
Mahaputra Adipurna,[163] Bintang Mahaputra Pratama,[164] Bintang Republik Indonesia
Adipurna,[165] dan Bintang Republik Indonesia Adipradana.[166][ae] Pada 10 Desember
1964, Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui
Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964. Oerip juga dinyatakan sebagai Pahlawan
Nasional oleh keputusan yang sama.[167] Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal
Besar pada tahun 1997.[168]

Soedirman pada uang kertas 5 rupiah keluaran 1968.


Menurut McGregor, militer memanfaatkan sosok Soedirman sebagai simbol
kepemimpinan setelah mereka meraih kekuasaan politik. [153] Gambar Soedirman
ditampilkan dalam seri uang kertas rupiah terbitan 1968.[af] Soedirman juga
ditampilkan sebagai karakter utama dalam beberapa film perang, termasuk Janur
Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1982).[153]
Terdapat banyak museum yang didedikasikan untuk Soedirman. Rumah masa
kecilnya di Purbalingga saat ini menjadi Museum Soedirman,[169] sedangkan rumah
dinasnya di Yogyakarta dijadikan Museum Sasmitaloka Jenderal Soedirman.
[153]
 Rumah kelahirannya di Magelang juga dijadikan Museum Soedirman, yang
didirikan pada tanggal 18 Mei 1967 dan menyimpan barang-barang milik sang
jenderal.[170] Museum lainnya, termasuk Monumen Yogya Kembali di Yogyakarta
dan Museum Satria Mandala di Jakarta, memiliki ruangan khusus yang
didedikasikan untuk dirinya.[153] Sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya,
termasuk sebuah jalan utama di Jakarta;[109] McGregor menyatakan bahwa hampir
setiap kota di Indonesia memiliki jalan bernama Soedirman. Patung dan monumen
yang didedikasikan untuk dirinya juga tersebar di seluruh negeri, sebagian besarnya
dibangun setelah tahun 1970.[153] Universitas Jenderal
Soedirman di Purwokerto, Banyumas, didirikan pada 1963 dan dinamai sesuai
namanya.[171]
LATAR BELAKANG KELUARGA
Soedirman lahir pada Senin Pon, 18 Maulud 1846 dalam almanak Jawa
atau 24 Januari 1916 di Dukuh Rembang, Desa Bantar Barang,
Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Soedirman
diurus dan tinggal di rumah asisten wedana di Rembang, Raden
Tjokrosoenarjo dan istri Toeridowati.

Seperti dimuat Majalah Tempo Senin, 12 November 2012 , data Pusat


Sejarah Tentara Nasional Indonesia menyebutkan, istri Tjokrosoenarjo
adalah kakak kandung ibunda Soedirman. Sejak Soedirman masih di
dalam kandungan, Tjokrosoenarjo sudah meminta izin Siyem agar kelak
bisa merawat kemenakannya itu. Lihat juga: Soedirman, Bapak Tentara
dari Banyumas.

Setelah Soedirman berusia delapan bulan, Tjokrosoenarjo pensiun dari


jabatannya. Berbekal duit pensiun 62,35 gulden, ia memboyong
keluarganya, termasuk Soedirman dan orang tuanya, pindah ke sebuah
rumah sederhana di Kampung Kemanggisan, Kelurahan Tambakreja,
sebelah selatan pusat Kota Cilacap, Jawa Tengah. "Jadi, Bapak cuma
numpang lahir di Purbalingga, lalu kehidupannya berlanjut di Cilacap,"
kata Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, anak bungsu Soedirman, saat
ditemui Tempo awal Oktober lalu.

Teguh bercerita, selama ini banyak buku dan literatur digital di dunia
maya menulis ngawur soal asal-usul keluarganya. Dari sekian banyak
buku tentang ayahnya, Teguh hanya percaya pada buku
berjudul Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer karya
wartawan senior Julius Pour terbitan 2005.

"Walau bukan buku biografi Bapak, ceritanya cocok semua dengan cerita
Ibu," ujar bungsu dari sembilan putra-putri pasangan Soedirman dan Siti
Alfiah itu.

Soal asal-usul keluarga sang Panglima Besar, Teguh mengatakan,


berdasarkan pernyataan keluarga, Soedirman merupakan anak kandung
Tjokrosoenarjo, Asisten Wedana Rembang, bukan anak angkat seperti
yang selama ini tertulis di berbagai buku sejarah. "Belum ada satu pun
buku yang menulis soal ini (versi keluarga)," katanya.

Tjokrosoenarjo wafat saat Soedirman masih menempuh sekolah guru di


Cilacap pada sekitar 1936. Ia mewariskan seluruh hartanya kepada anak
tunggalnya itu.
Siti Alfiah, istri Soedirman, beberapa kali berusaha meluruskan soal data
sejarah ini, tapi selalu kandas. Janda Soedirman itu pernah berupaya
meluruskannya pada 1960-1970-an. Namun, pihak Pusat Sejarah ABRI
kala itu malah mengesahkan secara resmi sejarah orang tua Soedirman
yang masih kontroversial tersebut lewat pengadilan. "Tapi aneh karena
tak ada satu pun anggota keluarga yang diundang," ujar Teguh.

Bagi Teguh, ibundanya adalah satu-satunya orang yang tahu persis soal
riwayat sang Jenderal Besar. Sebab, semua dokumen yang berkaitan
dengan Soedirman telah dilenyapkan demi kepentingan keamanan
sebelum ia berangkat bergerilya.

Menurut Teguh, sejarawan Anhar Gonggong pernah memberinya saran


agar ia menuliskan semua riwayat Soedirman dari sudut pandang dan
pengakuan keluarga. Namun, hingga kini dia belum pernah mencoba
melaksanakan saran Anhar itu.

"Yang jelas, Bapak itu pahlawan nasional. Jasanya banyak, perlu jadi
teladan bangsa ini. Itu saja cukup,"
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
Profil & Biografi Jenderal Sudirman mengenyam pendidikan keguruan yg bernama
HIK. Ia menuntut ilmu di area tersebut tatkala satu th. Sesudah selesai laksanakan
belajarnya di Wirotomo. Sudirman diangkat jadi satu orang Jendral yg umurnya baru
menginjak 31 thn. Dirinya ialah orang termuda & sekaligus mula-mula di Indonesia.
Sejak mungil, dirinya ialah satu orang anak yg pandai & pula amat sangat gemar
organisasi. Dimulai dari organisasi yg terdapat di sekolahnya dulu, ia telah
menunjukkan criteria pemimpin yg disukai di warga. Keaktifan dia kepada pramuka
hizbul watan menjadikan dirinya seseorang guru sekolah basic Muhammadiyah di
Kab Cilacap. Dulu dia berlanjut jadi seseorang kepala sekolah.
            Profil & Biografi Jendral Sudirman juga sempat masuk ke dalam mencari ilmu
militer di PETA (Pembela Tanah Air) yg berada di kota Bogor. Pendidikan di PETA
dilakukan oleh tentara Jepang kepada sat itu. Waktu telah menyelesaikan
pendidikannya di PETA, seterusnya ia jadi satu orang Komandan Batalyon yg
berada di Kroya, Jawa Tengah. Kepemimpinan dirinya tak berakhir hingga situ,
dirinya serta jadi satu orang panglima di kota Banyumas.
            Profil & Biografi Jenderal Sudirman dia sempat jadi  seorang anggota Dewan
Perwakilan Rakyat di kota Banyumas. Jenderal Sudirman terpilih jadi satu orang
panglima angkatan perang terhadap tanggal 12 Nopember 1945. Sekian Banyak
perang melawan penjajah sudah ia pimpin seperti perang melawan tentara Inggris di
Ambarawa, memimpin pasukannya utk membela Yogyakarta dari serangan Belanda
II. Kepada thn 1950 dia ini meninggal. Dia meninggal sebab terjangkit penyakit
tuberculosis. Panglima akbar Sudirman ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kusuma Negeri di Semaki, Yogyakarta.

PENDIDIKAN JENDRAL SUDIRMAN


1. Sekolah Taman Peserta Didik
2. HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo namun tak hingga tamat.
3. Pendidikan Militer Pembela Tanah Air di Bogor

KARIR JENDRAL SUDIRMAN


1. Guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap
2. Panglima Akbar TKR/TNI,, dgn pangkat Jenderal
3. Panglima Divisi V/Banyumas,, bersama pangkat Kolonel
4. Komandan Batalyon di Kroya
PENGHARGAAN JENDRAL SUDIRMAN
1. Pahlawan Nasional Indonesia
2. Jenderal Gede Anumerta Bintang Lima (1997)

Anda mungkin juga menyukai