Anda di halaman 1dari 11

AKAD-AKAD KEPERCAYAAN DALAM MU’AMALAT

(IJARAH,RAHN,LUQATHAH)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah FIQH

Dosen Pengampu: AM. Maqdum Biahmada, M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 13

Ahmad fashul fuadina(22105012)

JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

TAHUN 2023
0
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Agama Islam mengatur manusia dalam melaksanakan kerjasama, tanpa kerjasama


maka tidak akan dapat memenuhi semua keinginannya. Semua manusia diciptakan
Allah dalam keadaan lemah dan kekurangan, maka dari itu manusia memerlukan
bantuan orang lain, manusia butuh pertolongan yang datangnya dapat melalui
kerjasama Akad-akad kepercayaan dalam mu'amalat, seperti ijarah, rahn, dan
luqathah, merupakan konsep-konsep penting dalam hukum Islam yang berkaitan
dengan transaksi dan perjanjian antara individu atau pihak-pihak yang terlibat dalam
aktivitas ekonomi.

Dalam konteks muamalat, yang merupakan bagian penting dari hukum Islam, akad-
akad kepercayaan memainkan peran yang signifikan. Akad-akad ini melibatkan
transaksi keuangan dan bisnis yang melibatkan pihak-pihak yang saling mempercayai
satu sama lain. Tiga akad kepercayaan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
Ijarah, Rahn, dan Luqathah. Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan konsep dan
prinsip-prinsip dasar akad-akad kepercayaan ini, serta menganalisis implikasi
praktisnya dalam konteks muamalat

B. Rumusan Masalah

1. pengerian aqad ijarah?

2. pengertian aqad rahn?

3. pengertian luqathah?

C. Tujuan Pemateri

1. Untuk mengetahui pengertian aqad ijarah

2. Untuk mengetahui aqad rahn.

3. Untuk mengetahui apa itu luqathah

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. IJARAH
a. Pengertian ijarah

Secara sederhana, ijarah diartikan sebagai transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan
tertentu. Dalam Bahasa Arab ijarah berasal dari kata ‫َأ َج َر‬, yang memiliki sinonim
dengan: ‫ َأ ْك َري‬yang artinya: menyewakan, seperti dalam kalimah ‫َأجْ َرال َّشىء‬
(menyewakan sesuatu).
Ali Fikri mengartikan ijarah menurut bahasa dengan: ‫ ال َك َرا ُءَأوْ بَ ْي ُع ال َم ْنفَ َع ِة‬yang artinya:
sewa-menyewa atau jual beli manfaat. Bila yang menjadi objek adalah transaksi
manfaat atau jasa dari suatu benda, disebut ijarah al-‘ain atau sewa menyewa. Seperti
menyewa rumah untuk ditempati. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat
atau jasa dari tenaga seseorang, disebut ijarah al-zimmah atau upah mengupah, seperti
upah menjahit pakaian.

Pendapat yang sama juga juga disampaikan oleh Idris Ahmad dalam bukunya yang
berjudul Fiqh Syafi’i, bahwa ijarah berarti upah-mengupah.sedangkan menurut
Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah, al Ijarah berasal dari kata al ajru yang berarti al
iwadh (ganti/kompensasi). Ijarah dapat didefinisikan sebagai akad pemindahan hak
guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa, dalam waktu tertentu dengan pembayaran
upah sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu
sendiri. Jadi ijarah dimaksudkan untuk mengambil manfaat atas suatu barang atau jasa
(mempekerjakan seseorang) dengan jalan penggantian (membayar sewa atau upah)
sejumlah tertentu

b. Dalil ijarah

Hukum asal ijarah adalah mubah atau boleh, yaitu apabila dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan Islam. Berikut adalah beberapa dasar hukum yang
membolehkan ijarah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis Nabi.

1. QS. Ath-Thalaq ayat 6:

2
َ ‫ض ْعنَ لَ ُك ْم فَئاَتُوْ ه َُّن ُأج‬
‫ُوره َُّن‬ َ ْ‫فَِإ ْن َأر‬

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada


mereka upahnya.

2. QS. Al-Qashash ayat 26 dan 27:

‫ى هَا‬َّ َ‫) قَا َل إنِّ ْي ُأ ِر ْي ُد َأ ْن ُأ ْن ِك َحكَ ِإحْ دَى ا ْبنَت‬26( ُ‫ت ا ْستَْئ ِجرْ هُ ِإ َّن َخي َْر َمنِ ْستَْأ َجرْ تَ ْالقَ ِويُّ اَأْل ِميْن‬ ِ َ‫ت ِإحْ دَاهُ َمايََأب‬
ْ َ‫قَال‬
َ‫ك َستَ ِج ُدنِ ْى ِإ ْن َشا َءهّللا ُ ِمن‬ َّ ‫ك َو َما ُأ ِر ْي ُد َأ ْن َأ ُش‬
َ ‫ج فَِإ ْن َأ ْت َم ْمتَ َع ْشرًا فَ ِم ْن ِع ْن ِد‬ ‫ْأ‬
َ ‫ق َعلَ ْي‬ ِ ‫تَي ِْن َعلَى َأ ْن تَ ج َُرنِى ثَ َمانِ َي ِح َج‬
)27( َ‫الصَّالِ ِح ْين‬

Salah seorang di antara kedua anak perempuan itu berkata: “Hai bapakku upahlah dia,
sesungguhnya orang yang engkau upah itu adalah kuat dan terpercaya”. Si bapak ber-
kata: “Saya bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang anak perempuanku
dengan ketentuan kamu menjadi orang upahan saya selama delapan musim haji”.

c. Rukun dan Syarat-Syarat Ijarah

Transaksi Ijarah dalam kedua bentuknya akan sah apabila terpenuhi rukun dan
syaratnya. Berikut adalah rukun-rukun dan syarat ijarah:

 Mu’jir dan musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau


upah-mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan,
musta’jir adalah orang yang orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu
dan yang menyewa sesuatu. Syarat bagi keduanya ialah baligh, berakal, cakap
melakukan tasharruf (mengendalikan harta), dan saling meridhai
 Shighat ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir, ijab Kabul sewa-menyewa dan
upah-mengupah, ijab Kabul sewa-menyewa.
 Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-
menyewa maupun dalam upah-mengupah
d. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah

Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila terdapat hal-hal sebagai berikut:
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa,
2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya.
3. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk
dijahitkan.
4. Terpenuhinya manfaat yang diadakan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan

3
selesainya pekerjaan.
5. Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak seperti yang menyewa
toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan
mem-fasakh-kan sewaan itu.

B. RAHN
a. Pengertian rahn

Secara etimologi, rahn berarti ‫( الثبوت والدوام‬tetap dan lama) yakni tetap berarti ‫الحبس‬
‫( واللزوم‬pengekangan dan keharusan). Sedangkan menurut istilah ialah penahanan
terhadap suatu barang sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang
tersebut. Rahn (gadai) adalah sebuah akad utang piutang yang disertai angunan
(jaminan). Sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang
menyerahkan jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut
murtahin.1 Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab
apa yang diberikan penggadai (rahn) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar
dengan sesuatu. Yang di berikan murtaqin kepada rahn adalah utang, bukan penukar
atas barang yang digadaikannya.

b. Rukun dan Syarat Rahn

1. Ijab Qabul (Shigat), ini dapat dilakukan dalam bentuk tertulis atau lisan, asalkan
berisi maksud dari perjanjian perjanjian antara para pihak.

2. Transaksi (Aqid), syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi ikrar
yaitu rahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai) adalah dewasa (baligh),
cerdas dan atas keinginannya sendiri.

3. Keberadaan barang yang digadaikan (Marhun), syarat yang harus dipenuhi agar
barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) dapat diterima,
menguntungkan, rahin (tukang gadai), jelas, tidak disatukan dengan aset lain ,
dikendalikan oleh seorang bhikkhu dan harta karun yang permanen atau dapat
ditransfer.

1
Nawawi Ismail, Konsep Dasar Gadai, (Jakarta: Ghalia Indonesia), h. 198.

4
4. Marhun Bih (Utang), menurut Cendekiawan Hanafiyah dan Syafi'iyah, syarat utang
yang bisa dijadikan dasar hipotek adalah dalam bentuk utang yang masih bisa
2
dimanfaatkan, harus lazim pada saat itu. kontrak, dan harus jelas dan diketahui oleh
rahin dan murtahin.

c. Jenis-Jenis Rahn
Dalam prinsip syariah, gadai dikenal dengan istilah Rahn. Rahn yang diatur menurut
Prinsip Syariah, dibedakan atas 2 macam, yaitu:

Rahn ‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily)

Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan


kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan
oleh pemberi gadai.

Rahn Hiyazi

Bentuk Rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep Gadai baik dalam
hukum adat maupun dalam hukum positif.  Jadi berbeda dengan Rahn ‘Iqar yang
hanya menyerahkan hak kepemilikan atas barang, maka pada Rahn Hiyazi tersebut,
barangnya pun dikuasai oleh Kreditur.

C. LUQATHAH

a. Pengertian luqathah

Al - Luqatah (barang temuan) adalah suatu barang yang hilang dari pemiliknya lalu
ditemukan dan diambil orang lain. Hilangnya sebuah barang dari pemiliknya tidak
mengakibatkan kepemilikannya terhadap barang tersebut juga hilang. Masyarakat
bertanggung jawab untuk merawat menyimpan dan menyampaikan barang tersebut
kepada pemiliknya semampu mereka.3

Menurut istilah fiqh barang temuan itu sama dengan “luqathah”. Mendengar barang
temuan/luqathah tersebut maka hal ini tertuju kepada bentuk suatu tindakan yang

2
Ahmad Maulidizen, “IMPLEMENTATION OF RAHN IN SHARIA GOLD FINANCING AT MODERN
ISLAMIC FINANCIAL INSTITUTIONS (CASE STUDY IN BANK BRI SYARIAH BRANCH OF
PEKANBARU).,” Hukum Islam 18, no. 1 (October 26, 2018): 40–57, https://doi.org/10.24014/hi.v18i1.5220.
3
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al Husaini, ......, h. 1.

5
mendapatkan sesuatu milik orang lain secara tidak sengaja, sedangkan benda tersebut
tidak diketahui siapa pemiliknya. Ini berarti bahwa benda yang ditemukan itu
bukanlah kepunyaan penemu, melainkan milik orang lain. Luqathah secara Etimologi
berarti “barang temuan”. Kata barang ini bersifat umum, bukan dikhususkan pada
barang tertentu saja. Al-Luqathah juga berarti sesuatu yang diperoleh setelah
diusahakan, atau sesuatu yang dipungut.4

Luqathah secara Etimologi berarti “barang temuan”. Kata barang ini bersifat umum,
bukan dikhususkan pada barang tertentu saja. Al - Luqathah juga berarti sesuatu yang
diperoleh setelah diusahakan, atau sesuatu yang dipungut.5

b. Macam – Macam Luqathah

Macam – macam luqathah atau barang temuan antara lain yaitu :

 Benda – benda tahan lama. Yaitu benda-benda yang dapat disimpan dalam waktu
yang lama, misalnya emas, perak, pisau,
 Benda – benda tidak tahan lama. Yakni benda-benda yang tidak dapat disimpan pada
waktu yang lama, misalnya makanan.
 Benda – benda yang membutuhkan perawatan Seperti padi harus dikeringkan atau
kulit hewan perlu disamak.
 Barang – barang yang memerlukan perbelanjaan Seperti binatang ternak unta, sapi,
kuda, kambing dan ayam. Pada hakikatnya binatang-binatang itu tidak dinamakan al-
luqathah, tetapi disebut al-dhalalah, yakni binatang-binatang yang tersesat atau
kesasar.
c. Menyiarkan Luqathah

Barang temuan (Luqathah) akan berada di tangan penemunya, dan penemu tidak
berkewajiban menjaminnya jika rusak, kecuali bila kerusakkan tersebut disebabkan
oleh kecerobohan atau tindakan yang berlebihan. Ia wajib mengumumkan barang itu
di tengah-tengah masyarakat, dengan segala cara dan di semua tempat yang
kemungkinan pemiliknya berada. Jika pemiliknya datang dan menyebutkan tanda-
tanda khusus yang menjadi ciri utama barangnya, penemu wajib menyerahkan barang
temuan itu kepadanya.Jika pemiliknya tidak muncul penemu harus

4
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), h. 260
5
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Indonesia, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2012), h. 10.

6
mengumumkannya selama satu tahun. Jika setelah lewat setahun pemiliknya tidak
juga muncul dan datang, penemu boleh menggunakannya, baik dengan dipindah
tangankan maupun dimanfaatkan kegunaannya.6

Wajib hukumnya bagi orang yang menemukan barang temuan untuk mengamati
tanda-tanda yang membedakannya dengan barang lainnya, baik itu yang berbentuk
tempatnya atau ikatannya, demikian pada yang berhubungan dengan jenis dan
ukurannya. Dan ia pun berkewajiban memeliharanya seperti memelihara barangnya
sendiri. Dalam hal ini tidak ada bedanya, untuk barang yang remeh dan penting.

d. Hikmah Luqathah

Luqathah atau barang temuan, mendatangkan berbagai hikmah diantaranya adalah:

Bagi pemilik barang :

a. Lebih berhati-hati dalam memelihara barang milik pribadi

b. Menjaga barang dengan baik sebagai bentuk amanah dari Allah SWT.

Bagi penemu :

a. Mendapatkan pahala yang besar karena menjaga barang milik muslim lainnya
merupakan kewajiban bagi sesama umat muslim

b. Mengingatkan seseorang untuk bersyukur atas perbuatan baik dan memegang teguh
amanah sampai batas waktu tertentu yang ditentukan oleh syara’

6
Mustofa Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Cet.11, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h. 53.

7
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Dalam mu'amalat, akad-akad kepercayaan seperti ijarah, rahn, dan luqathah


memainkan peran penting dalam mengatur hubungan antara individu atau pihak-pihak
yang terlibat dalam aktivitas ekonomi. Melalui akad-akad ini, prinsip kejujuran,
keadilan, dan kepercayaan tercermin dalam interaksi sosial dan bisnis.

Ijarah, sebagai akad sewa, memungkinkan transfer hak penggunaan atau manfaat atas
barang atau jasa antara pihak mujir dan mustajir. Kepercayaan antara kedua belah
pihak menjadi landasan dalam menjaga kualitas barang atau jasa yang disediakan dan
pembayaran sewa yang tepat waktu.

Rahn, sebagai akad gadai, melibatkan pemberian jaminan dalam bentuk harta
berharga sebagai jaminan pembayaran hutang. Akad ini membutuhkan kepercayaan
antara pemberi pinjaman dan peminjam, di mana peminjam diharapkan untuk
membayar hutang dengan tepat waktu, dan pemberi pinjaman diharapkan untuk
mengembalikan jaminan setelah hutang dilunasi.

Luqathah, akad kepercayaan terkait penemuan barang, menegaskan pentingnya


menjaga barang temuan dengan integritas dan melakukan upaya yang wajar untuk
mengembalikannya kepada pemiliknya. Prinsip kejujuran dan tanggung jawab
menjadi landasan dalam akad ini, mendorong individu untuk bertindak secara etis dan
jujur dalam mengelola barang yang dipercayakan kepada mereka.

Secara keseluruhan, akad-akad kepercayaan ini mencerminkan prinsip-prinsip Islam


yang mendorong keadilan, kejujuran, dan kepercayaan dalam hubungan sosial dan
bisnis. Melalui penerapan akad-akad ini, masyarakat muslim diajarkan untuk
bertanggung jawab dalam menjaga barang yang dipercayakan kepada mereka,
menghormati hak-hak orang lain, dan berusaha untuk bertindak dengan integritas
dalam semua aspek kehidupan.

8
DAFTAR PUSTAKA
Maulidizen, Ahmad. “IMPLEMENTATION OF RAHN IN SHARIA GOLD FINANCING
AT MODERN ISLAMIC FINANCIAL INSTITUTIONS (CASE STUDY IN
BANK BRI SYARIAH BRANCH OF PEKANBARU).” Hukum Islam 18, no.
1 (October 26, 2018): 40–57. https://doi.org/10.24014/hi.v18i1.5220.

Mustofa Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Cet.11, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013),
h. 53.

Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, ....., h. 260.

Nawawi Ismail, Konsep Dasar Gadai, (Jakarta: Ghalia Indonesia), h. 198

https://an-nur.ac.id/rahn-pengertian-sifat-dasar-hukum-rukun-dan-syarat-serta-
jenisnya/3/

Anda mungkin juga menyukai