Anda di halaman 1dari 19

BAB II

Landasan Teori
a. Pengertian Sewa-Menyewa

Sewa-menyewa atau Ijarah ialah salah satu akad yang dibutuhkan oleh

manusia. Keterbatasan kemampuan serta kebutuhan yang tidak terbatas membuat

manusia harus berdiri sendiri dan tidak bisa memiliki segala benda sehingga

membuat manusia harus melahirkan ide-ide atau konsep baru untuk

mengakomodir hal tersebut. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa pada

dasarnyaijarah adalah salah satu bentuk aktivitas anatara dua pihak atau saling

meringankan, serta termasuk salah satu bentuk tolong menolongyang diajarkan

agama1.

Sewa menyewa bertujuan untuk akses pemanfaatan bukan kepemilikan,

karena itu tempo dan batas waktu dalam memanfaatkan barang tersebut harus

jelas dalam akadnya. Sewa-menyewa sebagaimana perjanjian lainnya, merupakan

perjanjian yang bersifat konsensual (kesepakatan), perjanjian yang yang

mempunyai kekuatan hukum, yaitu pada saat sewa-menyewa berlangsung.

Apabila akad sudah berlangsung pihak yang menyewa harus menyerahkan barang

kepada penyewa, dengan diserahkannya manfaat barang/benda maka penyewa

wajib pula menyerahkan uang sewanya.

Dalam arti luas ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat

sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu artinya dengan

menjual manfaat sesuatu benda bukan ‘ain dari benda itu sendiri. Kelompok

1
Qamarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011), hal. 79.
hanafiah mengartikan ijarah dengan akad yang berisi pemilikan manfaat tertentu

dari suatu benda yang diganti dengan pembayaran dalam jumlah yang disepakati.2

‫اِإل َج اَر ُة ُم ْش َتَقٌة ِم َن الْج ِر َو ُه َو الِعُو ُض َو ِم ْنُه ِمُس َي الَثَو اُب َأْج ًر ا‬

Kata ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwad yang dapat di

artikan dalam sewa, upah atau imbalan. Ijarah merupakan salah satu akad

mu’awadhat, yaitu transaksi yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau

manfaat material. Ijarah dimaknai sebagai proses perjanjian para piha, salah

satunya berkedudukan sebagai penyedia barang/jasa dan pihak lain berkedudukan

sebagai pengguna/penerima manfaat barang/jasa.3

Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah: Ijarah adalah sewa barang dalam

jangka waktu tertentu dengan pembayaran.dan akad ijarah yang telah disepakati

tidak dapat dibatalkan karena ada penawaran yang lebih tinggi dari pihak ketiga.

Menurut syafi’iyah:

‫ ْقٌد َلى َف ٍة ْق ٍة ُلو ٍة َقاِبَلٍة ِلْل ْذ ِل اِإل ا ِة ِبِع ٍض ُل ٍم‬:‫ٌد ْق ِد اِإل ا ِة‬
‫َب َو َب َح َو َم ْع ْو‬ ‫َو َح َع َج َر َع َع َم ْن َع َم ُصْو َد َم ْع َم‬

Defenisi akad ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan

tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu. Dengan

demikian, objek sewa-menyewa adalah manfaat atas suatu barang. Syafi’iyah

mendefenisikan ijarah sebagai akad atas suatu manfaat karena mendapat

2
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1997), h. 29.

3
Jaih Mubarak, Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyah Akad Ijarah Dan Ju’alah,
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2017), h. 2.
permasalahan atau peristiwa mengenai memberikan upah kepada wanita yang

menyusukan sebagaimana pada surah al-baqarah (233).

Menurut Malikiyah:

‫ْمَتِلْيُك َم َناِفِع َش ٍء ُمَباَح ٍة ُمَّد ًة َم ْع ُلْو َم ًة ِبِعَو ٍض‬


‫ْي‬

Kepemilikan atas manfaat yang dilegalkan dalam jangka waktu yang

diketahui (ditetapkan) dengan memberikan upah atau imbalan 4. Malikiyah

membolehkan ijarah menyewa seseorang untuk melayani atau menyewa hewan

ditambah makannya dan pakaian atau sejenisnya, hal itu sudah menjadi hal yang

umum dalam masyarakat, sebagaimana menyewa seorang perempuan untuk

menyusui anak dan menyewa seseorang untuk melakukan tugas iqamat dan adzan,

selain itu boleh juga mengajarkan membaca al-qur’an5.

Dari defenisi Ijarah diatas dapat disimpulkan bahwa Ijarah merupakan akad

atas manfaat yang diperbolehkan oleh syariat dalam jangka waktu tertentu dengan

upah sebagai ganti atas manfaat yang diperoleh. dan Ijarah dapat terjadi dari dua

hal, yaitu: manfaat dari benda dan manfaat dari tenaga atau jasa manusia.

Ijarah dan jual beli termasuk pertukaran. Ijarah merupakan pertukaran harta

dengan manfaat. Ijarah adalah akad yang dibolehkan berdasarkan Al-Qur’an,

sunnah, ijma’ dan dalil logika. Dasar hukum sewa-menyewa dapat dilihat dari

ketentuan hukumnya:

4
Rahmat Hidayat, Fikih Muamalah, (Medan: CV. Tungga Esti, 2022), h. 170.

5
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzhab Jilid 4, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2017), h. 154.
Dalil dari Al-Qur’an:

} ٦ : ‫َفِإْن َأْر َض ْع َن َلُك ْم َفآُتوُه َّن ُأُجْو َر ُه َّن {الطالق‬

Artinya: kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka

berikanlah kepada mereka upahnya. {QS. Al-Talak :6}.

‫ِب ِف‬ ‫ِض‬


‫َو ِإْن َأَر ْدْمُّت َاْن َتسَتْر ُعوا َاْو اَل َدُك ْم َفاَل ُج َناَح َعَليُك ْم إَذا َس َّلْم ُتْم َّم ا أَتْيُتْم اَملْع ُر َو اَّتُقوا اَهلل‬

‫ِص‬
‫َو اْع َلُمْو َاَّن اَهلل َمِبا َتْع َم ُلْو َن َب ْيٌر‬

Artinya: apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan

permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika

kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu

memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan

ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan. (al-baqarah:233).

Menurut hadis:

‫ َم اَبَعَث الّلُه َنِبًّيا ِإَّال َر َعى‬: ‫ َعِن الَّنِّيِب َص َّلى الَّلُه َعَلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬،‫َعْن َأيِب ُه َر ْيَر َة َر ِض َي الَّلُه َعْنُه‬

‫ ُك ْنُت َأرَعاَه ا َعَلى َقَر اِر ْيَط َأِلْه ِل َم َّك َة {رواه‬، ‫ َنَعْم‬: ‫ َو َأْنَت ؟ َفَق اَل‬: ‫ َفَق اَل َأْص َح اَبُه‬، ‫الَغَنَم‬

}‫البخاري‬

Artinya: diriwayatkan dari Abu Hurairah ra dari nabi saw beliau bersabda “

tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali mereka adalah penggembala


kambing”. Para sahabat bertanya, “ engkau juga?” beliau menjawab, “benar, dulu

aku menggembalakannya untuk mendapat imbalan beberapa qirat penduduk

mekah”. {HR. Bukhari}.6

b. Rukun Dan Syarat Sewa-Menyewa

Setiap akad memiliki rukun dan syarat yang harus diperhatikan untuk

pelaksanaannya karena ketidak sempurnaan rukun dan syarat dapat menyebabkan

tidak sahnya akad. Dan rukun ijarah menurut ulama ada empat7:

1. Aqada’in yaitu mu’jir/mu’ajir (yang menyewakan) dan musta’jir

(penyewa)

2. Sigah, yaitu ijab dan Kabul

3. Manfaat

4. Ujrah (upah atau biaya sewa)

Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah:

1. Musta’jir (pihak yang menyewa)

2. Mu’ajir (pihak yang menyewakan)

3. Ma’jur (benda yang diijarahkan)

4. Akad

6
Rahmat Hidayat, Fikih Muamalah, (Medan: CV. Tungga Esti, 2022), h. 173.

7
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 4, (Jakarta: Pena Ilmu Dan Amal, 2006), h. 205.
Syarat-syarat Ijarah:

Untuk sahnya sewa-menyewa, pertama kali harus dilihat terlebih dahulu orang

yang melakukan perjanjian sewa-menyewa tersebut. Sepertinya dalam akad jual

bel, syarat ijarah juga terdiri atas empat jenis persyaratan, yaitu:

1. Syarat terjadinya akad (syarat in’iqad)

Berkaitan dengan aqid, akad dan objek akad. Syarat yang berkaitan dengan

aqid adakah berakal dan Mumayyiz menurut hanafiah, baligh menurut Syafi’iyah

dan Hanabilah8.

2. Syarat nafadz (syarat kelangsungan akad)

Disyaratkan terpenuhinya hak milik atau wilayah.

3. Syarat sahnya akad

Untuk sahnya akad harus memenuhi syarat-syarat tersebut:

1. Persetujuan kedua belah pihak

2. Objek akad yaitu manfaat harus jelas

3. Objek akad ijarah harus dapat dipenuhi, baik menurut hakiki dan

syar’i. .

4. Manfaat yang menjadi objek harus manfaat yang dibolehkan oleh

syara’.

8
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,(Fiqh Muamalah) (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003), h. 227.
5. Pekerjaan yang dilakukan itu bukan fardhu dan bukan kewajiban orang

yang disewa sebelum dilakukannya ijarah.

6. Orang yang disewa tidak boleh mengambil manfaat dari pekerjaannya

untuk dirinya sendiri.

4. Syarat mengikatnya akad ijarah9

1. Barang yang disewakan harus terhindar dari cacat yang menyebabkan

terhalangnya pemanfaatan atas benda yang disewa.

2. Tidak terdapat udzur (alasan) yang dapat membatalkan akad ijarah.

Syarat untuk sahnya perjanjian sewa-menyewa juga harus terpenuhi syarat-

syarat berikut”

1. Masing-masing pihak rela melakukan perjanjian sewa-menyewa, jika

didalam perjanjian sewa-menyewa tersebut terdapat unsur pemaksaan

maka sewa-menyewa itu tidak sah.

2. Harus jelas dan terang mengenai objek yang diperjanjikan, yaitu harus

jelas dan terang mengenai barang yang dipersewakan disaksikan sendiri,

termasuk masa sewa dan besarnya uang sewa yang diperjanjikan.

3. Objek sewa-menyewa dapat digunakan sesuai peruntukkannya, kegunaan

barang yang disewakan harus jelas dan dapat dimanfaatkan oleh penyewa

sesuai dengan peruntukkannya barang tersebut.

4. Kemanfaatan objek yang diperjanjikan adalah yang dibolehkan dalam

agama.10
9
Ahmad wardi muslich, fiqh muamalat (Jakarta: Amzah, 2010), h. 327

10
Suhrawardi, Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.
157.
Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah syarat pelaksanaan ijarah pada pasal

301- 306 yang berisi:

Pasal 301

Pihak-pihak yang melakukan akad harus mempunyai kecakapan dalam melakukan

perbuatan hukum

Pasal 302

Akad ijarah dapat dilakukan dengan tatap muka maupun jarak jauh.

Pasal 303

Ma’jur haruslah pemiliknya, wakilnya, atau pendampingnya

Pasal 304

1) Penggunaan ma’jur harus dicantumkan dalam akad ijarah

2) Apabila penggunaan ma’jur tidak dinyatakan secara pasti dalam akad

maka ma’jur digunakan berdasarkan aturan umum dari kebiasaan.

Pasal 305

Apabila salah satu syarat dalam akad ijarah tidak ada, maka akad itu batal

Pasal 306

1) Uang ijarah tidak harus dibayar apabila akad ijarahnya batal

2) Harga ijarah yang wajar/ujrah al-mitsli adalah harga ijarah yang ditentukan

oleh ahli yang berpengalaman dan jujur.


c. Jenis-jenis sewa menyewa

Sebagaimana diketahui bahwa ijarah (sewa-menyewa) merupakan bagian dari

ajaran Islam meskipun tidak dijelaskan secara rinci baik dalam al- Qur’an maupun

al-Hadits. Akad ijarah dilihat dari segi objeknya, terbagi menjadi dua macam:

- Yang bersifat atas suatu benda atau barang

- Yang bersifat manfaat atas pekerjaan (jasa).11

Ijarah ada dua jenis, yaitu ijarah atas manfaat yang objek akadnya Ma’quud

alaihi, boleh melakukan akad ijarah atas manfaat yang dibolehkan dan tidak boleh

melakukan akad ijarah atas manfaat yang haram, seperti yang telah diketahui,

karena manfaatnya diharamkan maka tidak boleh mengambil imbalan atasnya.

Dan ijarah atas pekerjaan yang objek akadnya adalah pekerjaan, ijarah atas

pekerjaan adalah penyewaan yang dilakukan atas pekerjaan tertentu seperti orang

yang disewa/pekerja khusus dan pekerja umum. Pekerja khusus adalah orang yang

bekerja untuk satu orang selama waktu tertentu, ia tidak boleh bekerja untuk orang

lain sebelum abis masanya. Dan pekerja umum adalah orang yang bekerja untuk

banyak orang dan orang yang menyewanya tidak boleh melarangnya bekerja

untuk orang lain.

Akad ijarah dalam mazhab syafi’I menjadi dua macam, yaitu

- ijarah ‘ain (penyewaan barang) dan

adalah ijarah atas manfaat barang tertentu, ijarah ini mempunyai tiga

syarat, yaitu upah harus sudah spesifik, barang yang disewakan terlihat
11
Harun, Fiqh Muamalah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), h. 124.
oleh kedua pelaku akad sehingga tidak sah jika belum dilihat oleh

keduanya, tidak boleh disandarkan pada masa mendatang.

- ijarah dzimmah (penyewaan tanggungjawab).

Adalah ijarah manfaat yang berkaitan dengan tanggungjawab orang yang

menyewakan, dalam ijarah dzimmah memiliki dua syarat, yaitu upah harus

diberikan dengan kontan di majelis akad, barang yang disewa sudah

ditentukan jenis, tipe dan sifatnya.12

Akad ijarah terbagi menjadi dua yaitu:

1. Manfaat benda

Sering dijumpai pada penyewaan rumah, pertokoan,bidang tanah, baju dan

lainnya. Manfaat yang didapat adalah manfaat dari suatu benda yang disewakan,

dan akad jenis ini dibolehkan dari benda yang dibenarkan oleh syariat.

2. Manfaat pekerjaan manusia.

Manfaat pekerjaan manusia dapat difahami dengan kata pengupahan dengan

kesepakatan atas suatu pekerjaan, keterampilan maupun skill seseorang. Para

pihak pekerja atau yang diupah diikat dengan dua cara, upah secara khusus dan

secara kerjasama13.

Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah pada bagian ketujuh mengenai

jenis ma’jur pada:

12
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h.
418.

13
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalah), (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003), H. 236.
Pasal 318

1) Ma’jur harus benda yang halal atau mubah

2) Ma’jur harus digunakan untuk hal-hal yang dibenarkan menurut syari’at

3) Setiap benda yang dapat dijadikan obyek bai’ dapat dijadikan ma’jur

Pasal 319

1) Ijarah dapat dilakukan terhadap keseluruhan ma’jur atau sebagiannya

sesuai kesepakatan

2) Hak-hak tambahan musta’jir yang berkaitan dengan ma’jur ditetapkan

dalam akad

3) Apabila hak-hak tambahan musta’jir sebagaimana dalam ayat (2) tidak

ditetapkan dalam akad, maka hak-hak tambahan tersebut ditentukan

berdasarkan kebiasaan.

d. Uang Sewa Dan Pembayarannya

Uang memiliki peranan besar dalam berbagai aliran ekonomi, ada beberapa

sebab dalam peranan ialah pelayanan besar yang diberikan oleh uang bagi

kehidupan perekonomian, karena uang merupakan alat barter, tolok ukur nilai,

sarana perlindungan kekayaan dan alat pembayaran hutang dan pembayarat tunai.

Hubungan yang kuat antara uang dan berbagai kegiatan ekonomi yang lain, dan

pengaruh yang saling berkaitan diantaranya, sebab kekuatan uangbersandar pada

kekuatan ekonomi dan ekonomi yang kuat bersandar kepada uang yang kuat.14

14
Jaribah Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umarbin Al-Khathab, (Jakarta: Khalifah; Pustaka
Al-Kautsar Grup, 2010), H. 325.
Uang sewa dapat diartikan dengan biaya sewa, upah atau ujrah. Menurut

terminology, Ujrah adalah apa yang diberikan musta’jir kepada mu’ajjir dalam

rangka pengganti dari manfaat yang didapatkannya. Ujrah disyaratkan seperti

yang disyaratkan obyek sewa seperti barang yang tidak dimiliki.

Ujrah merupakan salah satu rukun ijarah. Ujrah merupakan iwadh

(imbalan/pembanding) terhadap manfaat yang diterima oleh musta’jir. Apabila

disandingkan dengan konsep pertukaran (jual-beli), kedudukan manfaat sebagai

mutsman, sedangkan kedudukan ujrah sebagai harga tsaman. Dalam kitab al-

bada’I al-shana’I dijelaskan bahwa syarat ujrah adalah:

1. Ujrah harus bernilai dan diketahui

Ulama sepakat bahwa ujrah harus berupa harta yang bernilai (mutaqawwan)

dan diketahui (ma’lum) oleh pihak-pihak. Ujrah dalam akad ijarah berkedudukan

sebagai mutsman maka manfaat dan ujrah harus terhindar dari gharar pula,

keduanya harus diketahui oleh musta’jir dan mu’jir pada saat akad ijarah

dilakukan,

2. Ujrah tidak boleh dalam bentuk manfaat yang sama dengan manfaat yang

diterima oleh musta’jir15.

Ulama berpendapat bahwa teori jual-beli sama dengan teori ijarah, yaitu

pertukaran. Hanya saja berbeda dalam bentuk objek, jual-beli merupakan

pertukaran barang dengan barang, sedangkan ijarah merupakan pertukaran

15
Jaih Mubarak, Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyah Akad Ijarah Dan Ju’alah,
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2017), h. 28.
manfaat dengan barang yang harus ditentukan waktu (jangka waktunya) dan

tujuannya.

Pembayaran Ujrah

Waktu pembayaran ujrah (sama halnya dengan waktu pembayaran

harga/tsaman dalam akad jual-beli) hamper identik dengan cara pembayarannya.

Dalam literature fikih, awal pembayaran dapat dilakukan dengan cara tunai dan

ditangguhkan, sedangkan dalam literatur fikih kontemporer dikenalkan bahwa

cara pembayarannya ialah bertahap dan angsur.

Upah sewa yang diberikan kepada seorang yang telah mengerjakan suatu

pekerjaannya atau imbalan tertentu dan sah atau ganjaran bahi jasa keuntungan

untuk manfaat yang diajukan atau yang akan diambil, atau upah yang diajukan

untuk dikeluarkan. Dengan kata lain, merupakan pengalihan hak manfaat untuk

ganjaran yang berupa sewa dalam hal penyewaan asset atau barang dan upah hal

penyewaan orang atau jasa.16

Menetapkan upah yang adil bagi seorang pekerja sesuai kehendak syari’ah,

bukanlah pekerjaan yang mudah. Kompleksitas permasalahannya terletak pada

ukuran apa yang akan dipergunakan, yang dapat membantu mentransformasikan

konsep upah yang adil ke dalam dunia kerja.

‫ َم ِن ِاْس َتْأَج َر َأِج رْي ًا‬: ‫َو َعْن َأيِب َس ِعيٍد اُخلْد ِر ِّي رضى اهلل عنه َأَّن الَّنَّيِب َص َّلى اهلل عليه وسلم قال‬

)‫َفْلُيَس ِّم َلُه (رواه عبدالرزاق وفيه انقطاع وَو صله البيهقي من طريق أيب حنيفة‬
16
Muhammad Ayub, Keuangan Syari’ah, (Jakarta:PT. Gramedia, 2009), h. 247.
Dari abu sa’id al-khudry r.a. bahwa nabi SAW. Bersabda “orang yang

mempekerjakan seorang pekerja hendaknya ia menyebutkan/menetukan

upahnya.” (riwayat abdul razzaq dalam hadis munqathi’. Hadisnya muttasil

menurut albaihaqi dari jalur abu hanifah)17.

Kesimpulan dalam hadis tersebut menurut imam syafi’I adalah wajibnya

menentukan upah kerja sebelum pekerjaan itu dimulai, sedangkan menurut imam

malik dan imam ahmad berpendapat bahwa menentukan upah kerja sebelum

pekerjaan itu dimulai hukumnya tidak wajib.

Islam sangat menganjurkan untuk membayar upah tepat pada waktunya atau

setelah pekerjaan itu selesai. Islam juga memerintahkan kepada umatnya untuk

menentukan upahnya secara jelas sebelum pekerjaan itu dimulai yang dikenal

dengan istilah kontrak kerja.

Didalam islam, upah termasuk dalam pembahasan ijarah, yaitu akad atas

suatu manfaat dengan adanya kompensasi, kompensasi diberikan pengontrak

pekerja (musta’jir) karena dia memperoleh pelayanan jasa berupa tenaga dan fisik

maupun intelektual. Secara umum, ada dua akad yang berkaitan dengan orang

yang dikenal dengan transaksi ketenagakerjaan dan akad yang berkaitan dengan

barang yang dikenal dengan istilah kerja18.

17
Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalany, Bulughul Maram Five In One, (Jakarta:PT.
Mizan Publika, 2017), h. 547.

18
M. Ismali Yusanto, M. Arif Yunus, Pengantar Ekonomi Islam, (Bogor: Al-Azhar Press,
2009), h. 190.
Upah secara khusus adalah pekerja yang dipekerjakan hanya kepada

pengupahnya dalam masa tertentu. Sipekerja terikat dengan kerja tersebut

sehingga dia hanya bekerja kepada orang yang mengupahnya saja. Contohnya

seperti asisten rumah tangga.

Upah secara kerjasama adalah upah atas pekerja yang melayani banyak pihak

dalam satu waktu19. Upah seperti ini dapat dijumpai pada tukang semis sepatu,

tukang jahit dan lainnya, dalam satu waktu dapat bekerja untuk banyak orang dan

tidak terbatas kepada orang-orang tertentu. Dengan demikian dapat dipahami

bahwa, praktik ijarah dapat dibagi dua, yaitu: sewa menyewa yang sasarannya

adalah benda, dan upah mengupah yang sasarannya adalah jasa atau tenaga

manusia.

Penentuan perkiraan upah dalam Islam disaat pertama kali melakukan

transaksi atau kontrak kerja merupakan sesuatu yang harus dilakukan diantaranya,

apabila terjadi suatu perselisihan di antara keduanya tentang upah yang ditentukan

maka peraturan perkiraan upah tersebut ditentukan oleh perkiraan para ahli yang

berarti bahwa yang menentukan upah tersebut adalah mereka yang mempunyai

keahlian untuk menentukan atau menangani upah kerja ataupun pekerja yang

hendak diperkirakan upahnya, dan orang yang ahli menentukan besarnya upah

inidisebut dengan khubara’u. Hal ini dilakukan kalau memang diantara kedua

belah pihak belum ada kesepakatan tentang ketentuan upahnya.20

19
Rahmat Hidayat, Fiqh Muamalah Teori Dan Prinsip Hukum Ekonomi Syariah,
(Medan: CV. Tungga Esti, 2022), h. 181.

20
Muhammad Ismail Yusanto, Muhammad Keraber Widjajajkusuma, Menggagas Bisnis
Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 194
Menurut syafi’I, mengemukakan beberapa syarat dalam masalah upah, yaitu:

1. Orang yang menjanjikan upah harus orang yang cakap untuk melakukan

tindakan hukum

2. Upah yang dijanjikan harus dalam bentuk sesuatu yang bernilai sebagai

harta dan dalam jumlah yang jelas.

3. Pekerjaan atau perbuatan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung

manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut pandangan syara’

4. Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu tidak boleh terlalu berat, sekalipun

dapat dilakukan secara berulang-ulang, seperti mengembalikan binatang

ternak dalam jumlah yang banyak. 21

Menurut kitab kompilasi hukum ekonomi syariah, bagian ketiga pada pasal

307 ayat (1) dan ayat (2) menjelaskan tentang uang ijarah dan cara

pembayarannya menyebutkan bahwa:

Pasal 307

(1) Jasa ijarah dapat berupa uang, surat berharga dan benda lain berdasarkan

kesepakatan

(2) Jasa ijarah dapat dibayar dengan atau tanpa uang muka, pembayaran

didahulukan, pembayaran setelah ma’jur selesai digunakan atau diutang

berdasarkan kesepakatan.

Pasal 308

21
Syafi’I Jafri, Fiqih Muamalah, (Pekanbaru: Suska Press, 2008) Cet, Ke-1, h.167.
1) Uang muka ijarah yang sudah dibayar tidak dapat dikembalikan kecuali

ditentukan lain dalam akad

2) Uang muka ijarah harus dikembalikan oleh mu’ajir apabila pembatalan

ijarah dilakukan olehnya

3) Uang muka ijarah tidak harus dikembalikan oleh mu’ajir apabila

pembatalan ijarah dilakukan oleh musta’jir.

e. Pembatalan dan berakhirnya sewa-menyewa

Pada dasarnya perjanjian sewa-menyewa merupakan perjanjian yang lazim,

masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tida berha membatalkan

perjanjian karena perjanjian timbal balik. Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu

akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena akad

ijarah adalah akad pertukaran22, Adapun hal-hal yang menyebabkan batalnya

perjanjian sewa-menyewa adalah disebabkan hal-hal:

1. Terjadinya aib pada barang sewaan

2. Rusaknya barang yang disewakan

3. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur alaihi)

4. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan

5. Adanya uzur

Sebelum melakukan sewa menyewa atau ijarah biasanya dilakukan suatu

perjanjian antara kedua belah pihak, sehingga masing-masing pihak mendapatkan

hak yang dikehendaki bersama. Perjanjian ini akan berlaku selama masa

perjanjian yang telah disepakati belum berakhir dan diantaranya tidak melakukan
22
Iim Fahima, Fikih Ekonomi, (Yogyakarta: Samudra Biru, 2018), h. 96.
kewajibannya masing-masing hingga menimbulkan pembatalan sewa menyewa

dan barang sewaan harus dikembalikan lagi kepada pemiliknya tanpa adanya

kerusakan seperti pada awal akadnya.

Dengan pengertian lain bisa menjadi rusak atau dirusakkan apabila terdapat

cacat pada barang sewa yang akibatnya barang tersebut tidak dapat dipergunakan

sebagaimana yang diinginkan

Berakhirnya akad ijarah memiliki pengaruh yang besar, pada akad jual-beli,

barang berpindah tangan tanpa boleh ada batasan waktu. Dalam ijarah, tempo atau

batasan waktu berakhirnya akad sangat penting untuk diketahui, yaitu:

1. Menurut mazhab hanafiyah, ijarah berakhir dengan meninggalnya salah

seorang pelaku akad, karena menurut mazhab tersebut kematian seseorang

menyebabkan hilangnya hak atas manfaat tersebut sehingga tidak dapat

diwariskan.

Jumhur ulama memiliki pandangan berbeda dengan mazhab hanafiyah,

mereka berpendapat bahwa akad ijarah bersifat mengikat dan kematian

salah satu pihak yang bertransaksi tidak membatalkan akadnya. Penyewa

memiliki hak penuh atas manfaat yang disewanya dan hak atas manfaat

dapat diwariskan.

2. Akad ijarah dapat berakhir dengan rusak atau hancurnya barang yang

disewa. Akad berakhir karena tidak adanya manfaat yang didapatkan

dengan meneruskan akad.


3. Akad berakhir dengan berakhir tempo atau waktu penyewaan sesuai

dengan kesepakatan. Batas waktu merupakan salah satu hal yang harus

dipertegas dalam akad ijarah sehingga tidak menimbulkan perselisihan

kedepannya.

4. Akad berakhir pada pengupahan model kerjasama, yaitu berakhir dengan

selesainya pekerjaan dan berakhir pekerjaan sesuai dengan waktu yang

disepakati23.

Berakhirnya sewa-menyewa juga didapat pada kompilasi hukum ekonomi syariah


bagian kedelapan pada:

Pasal 320

Ijarah berakhir dengan berakhirnya waktu ijarah yang ditetapkan dalam akad.

Pasal 321

1) Cara pengembalian ma’jur dilakukan berdasarkan ketentuan yang terdapat


dalam akad
2) Bila cara pengembalian ma’jur tidak ditentukan dalam akad, maka
pengembalian ma’jur dilakukan sesuai kebiasaan.

23
Rahmat Hidayat, Fikih Muamalah Teori dan Prinsip Hukum Ekonomi Syariah,
(Medan: CV. Tungga Esti, 2022), h. 183.

Anda mungkin juga menyukai