Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN IJARAH

A. PENGERTIAN IJARAH
Menurut Hanafiah:
Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta.
Menurut malikiyah:
Ijarah adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang
yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari
manfaat.
Menurut Syafiiah:
Definisi akad ijarah adalah suatu akad atas amnafaat yang dimaksud dan
tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.
Menurut Hanabilah:
Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan
kara dan semacamnya.1
Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa pada
dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip diantara para ulama dalam mengartikan
ijarah atau sewa-menyewa. Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa
ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan
demikian, objek sewa-menyewa adalah

manfaat atas suatu barang. Misalnya

seseorang yang menyewa sebuah rumah untuk dijadikan tempat tinggal selama satu
tahun dengan imbalan Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah), ia berhak menempati
rumah itu untuk waktu satu tahun, tetapi ia tidak memiliki rumah tersebut. Dari
segi imbalannya, ijarah ini mirip dengan jual beli, tetapi keduanya berbeda, karena
dalam jual beli obleknya benda, sedangkan dalam ijarah objeknya adalah manfaat
dari benda. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menyewa pohon untuk diambil
buahnya karena buah itu benda, buakn manfaat. Demikian pula tidak
dibolehkannya menyewa sapi untuk diperah susunya karena susu bukan manfaat,
melainkan benda.
B. DASAR HUKUM
Para fuqaha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang dibolehkan oleh
syara, kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail bin Aliyah,
Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak
1 Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat (Jakarta: Amzah, 2013), hal.317

membolehkan ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat
pada saat dilakukannya akad, tidak bisa diserahterimakan. Setelah beberapa waktu
barulah manfaat itu baru dinikmati sedikit demi sedikit. Sedangkan sesuatu yang
tidak ada pada waktu akad tidak boleh diperjualbelikan. 2 Akan tetapi, pendapat
tersebut di sanggah oleh ibnu Rusyd, bahwa manfaat walaupun pada waktu akad
belum ada, tetapi pada galibnya ia (manfaat) akan terwujud, dan inilah yang
menjadi perhatian serta pertimbangan syara.3
Adapun jumhur ulama tentang dibolehkannya ijarah adalah:
1. QS. Ath-Thalaq (65) ayat 6:

kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah


kepada mereka upahnya
2. QS. Al-Qashash (28) ayat 26 dan 27:

()

()

"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik
yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya"
Berkatalah dia (Syuaib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu
dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah
(suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu
insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik".
3. Hadits Aisyah, yang artinya:
Dari Urwah bin Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra. Istri Nabi
SAW berkata: Rasulullah dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki
dari suku Bani Ad-Dayl, penunjuk jalan yang mahir, dan ia masih
memeluk agama orang kafir Quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian
2 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, juz 4, hal. 730
3 Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa, 1990), hal. 166

menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan mereka berdua


menjanjikan kepadnya untuk bertemu di Gua Tsaur dengan kendaraan
mereka setelah tiga hari pada pagi hari selasa. (HR. Al-Bukhari)
Dari ayat-ayat Alquran dan hadits Nabi SAW tersebut jelaslah bahwa akad
ijarah atau sewa-menyewa hukumnya dibolehkan, karena memang akad tersebut
dibutuhkan oleh masyarakat.
Di samping Al-Quran dan sunnah, dasar hukum ijarah adalah ijma. Sejak
zaman sahabat sampai sekarang ijarah telah disepakati oleh para ahli hukum Islam,
kecuali beberapa ulama yang telah disebutkan di atas. Hal tersebut dikarenakan
masyarakat sangat membutuhkan akad ini. Dalam kenyataan kehiduan sehari-hari,
ad orang kaya yang memiliki beberapa rumah yang tidak ditempati. Di sisi lain
orang yang tidak memiliki tempat tinggal. Dengan dibolehkannya ijarah maka
orang yang tidak memiliki tempat tinggal bisa menempati rumah orang lain yang
tidak digunakan untuk beberapa waktu tertentu, dengan memberikan imbalan
berupa uang sewa yang disepakati bersama, tanpa harus membeli rumahnya.
C. MACAM-MACAM IJARAH
Pembagian ijara biasanya dilakukan dengan memperhatikan objek ijarah
tersebut. Ditinjau dari segi objeknya, akad ijarah dibagi ulama fiqih menjadi dua
macam, yaitu:
1. Ijarah ala al-manafi (Sewa-menyewa)
Sewa menyewa adalah praktik ijarah yang berkutat pada
pemindahan manfaat terhadap barang. Barang yang boleh disewakan
adalah barang-barang mubah seperti sawah untuk ditanami, mobil untuk
dikendarai, rumah untuk ditempati. Barang yang berada ditangan
penyewa dibolehkan untuk dimanfaatkan sesuai kemauannya sendiri,
bahkan boleh disewakan lagi kepada orang lain. Objek akadnya adalah
manfaat dari suatu benda.4
Apabila terjadi kerusakan pada benda yang disewa, maka yang
bertanggung jawab adalah adalah pemilikm barang (mujir) dengan
sayarat kecelakaan tersebut bukan akibat dari kelalaian penyewa
(mustajir). Apabila kerusakaan benda yang disewakan itu, akibat dari
kelalaian penyewa (mustajir) maka yang bertanggung jawab atas
kerusakan barang tersebut adalah penyewa itu sendiri.
2. Ijarah atas Pekerjaan (Upah mengupah)
4 Ahmad Wardi Muslich, op.cit., hal. 329

Upah mengupah disebut juga dengan jual beli jasa. Misalnya ongkos
kendaraan umum, upah proyek pembangunan, dan lain-lain. Pada
dasanya pembayaran upah harus diberikan seketika juga, sebagaimana
jual beli yang pembayarannya waktu itu juga. Tetapi sewaktu perjanjian
boleh diadakan dengan mendahulukan upah atau mengakhirkan. Jadi
pembayarannya sesuai dengan perjanjiannya. Tetapi kalau ada
perjanjian, harus segera diberikan manakala pekerjaan sudah selesai.

BAB III
RUKUN DAN SYARAT IJARAH
A. RUKUN IJARAH
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan
menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa-menyewa), antara lain dengan
menggunakan

kalimat: al-ijarah,

al-istijar,

al-ikhtira, dan al-ikra. Adapun

menurut jumhur ulama mengatakan bahwa rukun ijarah ada empat (4), yaitu:
1. Aqid, yaitu mujir (orang yang menyewakan) dan mutajir (orang yang
menyewa),
2. Shighat, yaitu ijab qabul,
3. Ujrah (uang sewa atau upah),
4. Manfaat, baik manfaat dari suatu barang yang disewa atau jasa dan tenaga dari
orang yang bekerja.5
Perbedaan pendapat mengenai rukun akad ini sudah banyak dibicarakan
dalam akd-akad yang lai, seperti jual beli dan lain-lain. Oleh karena itu hal ini
tidak perlu diperpanjang lagi.
B. SYARAT-SYARAT IJARAH
5 Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat (Jakarta: Amzah, 2013), hal.321

Syarat ijarah terdiri dari empat macam, sebagaimana syarat dalam jual beli,
yaitu syarat Al-inqad ( terjadinya akad), syarat an-nafadz ( syarat kelangsungan
akad), syarat sah, dan syarat lazim.
a. Syarat terjadinya akad (syarat iniqad)
Syarat terjadinya akad (syarat inikad) berkaitan dengan aqid, akad dan objek
akad. Syarat yang berkaitan dengan aqid adalah berakal, dan mumayyiz
menurut Hanafiah, dan baligh menurut syafiiyah dan hanabilah. Menurut
Malikiyah, tamyiz merupakan syarat dalam sewa-menyewa dan jual beli,
sedangkan baligh merupakan syarat untuk kelangsungan (nafadz).

b.

Syarat kelangsungan akad


Untuk kelangsungan (nafadz) akad ijarah disyaratkan terpenuhinya hak milik
atau wilayah (kekuasaan). Apabila si pelaku (aqid) tidak memiliki hak
kepemilikian dan kekuasaan, maka akadnya tidak bisa dilangsungkan, dan
menurut Hanafiyah dan Malikiyah statusnya mauquf (ditangguhkan)
menunggu persetujuan si pemilik barang. Akan tetapi menurut Syafiiyah dan

c.

Hanabilah hukumnya batal, seperti halnya jual beli.


Syarat sahnya ijarah
Untuk sahnya ijarah harus dipenuhi beberapa syarat yang berkaitan dengan
aqid (pelaku), maqud alaih (objek), sewa atau upah (ujrah) dan akadnya
sendiri. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Persetujuan kedua belah pihak, sama seperti jual beli.
2.
Objek akad yaitu manfaat harus jelas, sehingga tidak menimbulkan
perselisihan. Apabila objek akad (manfaat) tidak jelas, sehingga
menimbulkan perselisihan, maka akad ijarah tidak sah, karena dengan
demikian manfaat tersebut tidak bisa diserahkan, dan tujuan akad tidak
3.

4.

5.

tercapai.
Objek akad ijarah harus dapat dipenuhi, baik menurut hakiki maupun
syari.
Manfaat yang menjadi objek akad harus manfaat yang di bolehkan oleh
syara.
Manfaat maqud alaih harus sesuai dengan tujuan dilakukannya kad ijarah,
yang biasa berlaku umum. Apabila manfaat tersebut tidak sesuai dengan
tujuan dilakukannya akad ijarah maka ijarah tidak sah. Misalnya menyewa
pohon untuk menjemur pakaian. Dalam hal ini ijarah tidak diperbolehkan,

karena manfaat yang dimaksud oleh penyewa yaitu menjemur pakaian,


6.

tidak sesuai dengan manfaat pohon itu sendiri.6


Upah harus berupa mal mutaqawwim yang diketahui. Kejelasan tentang
upah kerja ini diperlukan untuk menghilangkan perselisihan antara kedua
belah pihak.penentuan upah atau sewa ini boleh didasarkan kepada urf

7.

atau adat kebiasaan.7


Upah atau sewa tidak boleh sama dengan jenis manfaat maqud alaih.
Apabila upah atau sewa sama dengan jenis manfaat barang yang disewa,
maka ijarah tidak sah. Misalnya menyewa kendaraan dengan kendaraan,

d.

tanah pertanian dengan tanah pertanian.8


Syarat mengikatnya akad ijarah (syarat Lazum)
Agar akad ijarah itu mengikat, diperlukan dua syarat:
1.
Benda yang disewakan harus terhindar dari cacat (aib) yang
menyebabkan terhalangnya pemanfaatan atas benda yang disea itu.
Apabila terdapat suatu cacat yang demikian sifatnya, maka orang yang
menyewa boleh nenilih antara meneruskan ijarah dengan pengurangan
uang sewa atau membatalkannya. Misalnya kendaraan yang di carter
2.

rusak atau mogok.


Tidak terdapat udzur (alasan) yang dapat membatalkan akad ijarah.
Hanafiah membagi udzur yang menyebabkan fasakh kepada tiga bagian,
yaitu sebagai berikut:
a. Udzur dari sisi mustajir (penyewa). Misalnya mustajir pindah
b.

domisisli.
Udzur dari sisi mujir (orang yang menyewakan). Misalnya mujir
memiliki hutang yang sangat banyak yang tidak ada jalan lain untuk
membayarnya kecuali dengan menjual barang yang disewakan

c.

tersebut untuk melunasi hutangnya.


Udzur yang berkaitan dengan barang yang disewakan atau sesuatu
yang disewa. Misalkan seseorang menyewakan budaknya selama
satu tahun. Baru saja enam bulan ia memerdekakan budaknya.
Dalam keadaan seperti ini, budak tersebut boleh memilih antara
menerusakan atau membatalkannya.

6 Wahbah Zuhaili, op.cit., hal. 748


7 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 3., hal. 198
8 Wahbah Zuhaili, op.cit., hal. 752

BAB IV
HIKMAH IJARAH
A. HIKMAH IJARAH
1. Membina ketentraman dan kebahagiaan. Dengan adanya ijarah akan mampu
membina kerjasama antara mujir dan mustajir.
- Dengan adanya ijarah akan mampu membina kerja sama antara mujir dan
mustajir. Sehingga akan menciptakan kedamaian dihati mereka. Dengan
diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberi jasa
dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup
terpenuhi maka mustajir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada
Allah.
2. Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan
memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
- Dengan transaksi upah-mengupah dapat berdampak positif terhadap
masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena masyarakat dapat mencapai
kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing individu dalam suatu
masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat itu
akan tentram dan aman
3. Mengapresiasi kepada orang yang mengadakan jasa sewa-menyewa.
- Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka
akan mampu memenuhi hajat hidup masyarkat baik yang ikut bekerja
maupun yang menikmati hasil proyek tersebut. Maka ijarah merupakan
akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama
4. Memenuhi nafkah keluarga
- Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada
keluarganya, yang meliputi istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya.
Dengan adanya upah yang diterima mustajir maka kewajiban tersebut
dapat dipenuhi. Kewajiban itu sebagaimana yang terdapat dalam surat alBaqarah ayat 233 sebagai berikut:
5. Menolak kemungkaran
- Diantara tujuan ideal berusaha adalah dapat menolak kemungkaran yang
kemungkinan besar akan dilakukan oleh yang menganggur.
BAB V
PENUTUPAN

A. RINGKASAN
Dari definisi di atas dapat diambil intisari bahwa ijarah atau sewa-menyewa
adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, objek sewa-menyewa
adalah manfaat atas suatu barang.
Para fuqaha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang dibolehkan oleh
syara, kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, dll.
Rukun ijarah ada empat (4), yaitu:
1. Aqid, yaitu mujir (orang yang menyewakan) dan mutajir (orang yang
menyewa),
2. Shighat, yaitu ijab qabul,
3. Ujrah (uang sewa atau upah),
4. Manfaat, baik manfaat dari suatu barang yang disewa atau jasa dan tenaga
dari orang yang bekerja.
Syarat ijarah terdiri dari empat macam, yaitu:
1. syarat Al-inqad ( terjadinya akad)
2. syarat an-nafadz ( syarat kelangsungan akad),
3. syarat sah, dan
4. syarat lazim.
Macam-macam ijarah:
Ditinjau dari segi objeknya, akad ijarah dibagi ulama fiqih menjadi dua
macam, yaitu:
1. Ijarah ala al-manafi (Sewa-menyewa)
Sewa menyewa adalah praktIk ijarah yang berkutat pada
pemindahan manfaat terhadap barang.
2. Upah mengupah.Upah mengupah disebut juga dengan jual beli jasa.
Hikmah ijarah:
1. Membina ketentraman dan kebahagiaan.
2. Mengapresiasi kepada orang yang mengadakan jasa sewa-menyewa

DAFTAR PUSTAKA
Rusyd, Ibnu. Tarjamah Bidayatul Mujtahid, Semarang Asy-Syifa, 1990
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah, Juz 3 Dar Al Fikr, Beirut, 1981
Wardi Muslich, Ahmad. Fiqih Muamalat , Jakarta Amzah, 2013
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, juz 4, Dar Al Fikr, Damaskus, 1989

Anda mungkin juga menyukai