Anda di halaman 1dari 12

Nama : Syahira Andini

NIM : 4022020049
Unit : EK2U 1
MK : Fiqh Muamalah
Dosen Pembimbing : Dr. Iskandar, MCL

Gadai Syariah (Rahn)

Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa diartikan al-


tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat memberi arti al-
hab (tertahan). Sedangkan definisi al-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda
yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang,
sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.

Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai


jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan. Dari kalangan Ulama Mazhab Maliki
mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang
bersifat mengikat“, ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “menjadikan suatu
barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar
hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan Hambali dalam
mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang,
yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar
hutangnya.

Dalam bukunya: Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi (2003) mengutip


pendapat Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab yang
mendefenisikan rahn sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari
suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bilautang tidak
dibayar.”  Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah jaminan bukan produk dan semata
untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan bisnis, jual beli mitra.

Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al-


Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi
dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari yang berpiutang. 

Dari ketiga defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad


utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan
syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.

Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni


bersumber pada al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah
tidak secara tunai.
Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar,
yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi
dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.

Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn merupakan


transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur) ulama, ada beberapa
rukun bagi akad rahn yang terdiri dari, orang yang menggadaikan (ar-rahn), barang-barang
yang digadai (marhun), orang yang menerima gadai (murtahin) sesuatu yang karenanya
diadakan gadai, yakni harga, dan sifat akad rahn. Sedangkan untuk sahnya akad rahn, ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akad ini yakni:
berakal, baligh, barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang jaminan
dipegang oleh orang yang menerima gadai (marhun) atau yang mewakilinya.

Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka akad rahn dapat dilakukan karena


kejelasan akan rahin, murtahin danmarhun merupakan keharusan dalam akad rahn. 
Sedangkan mengenai saat diperbolehkan untuk menggunaan akadrahn, al-Qur’an dan al-
Sunah serta ijma ulama tidak menetapkan secara jelas mengenai akad-akad atau transaksi jual
beli yang diizinkan untuk menggunakan akad rahn.

Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama beranggapan
bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang bermacam-macam,
walaupun ada perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan dari barang yang dijadikan
jaminan tersebut.

Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat yang ada


pada murtahin yang harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta
merawat agar benda (barang) gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang
tentunya dibebankan kepada orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang
gadai tersebut. Dalam hal pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama berbeda pendapat
karena masalah ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi
sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.

Akad Rahn sendiri di perbolehkan oleh syara dengan berbagai dalil yang terdapat
dalam Al-Qur'an dan Hadist Nabi Muhammad SAW.

Dalil di dalam Al-Qur'an, yaitu firman ALLAH :

"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah Rabbnya dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan".  [Al-Baqarah : 283].
Dibolehkannya Ar-Rahn, juga dapat ditunjukkan dengan amalan Rasululloh
Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah melakukan sistem gadai ini, sebagaimana
dikisahkan Umul Mukminin A'isyah Radhiyallahu 'anha.

"Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membeli dari seorang yahudi bahan
makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya"[HR Al Bukhari no 2513 dan
Muslim no. 1603]

Rukun dan Syarat

Di dalam Rahn (gadai) ada rukun dan syarat-syarat nya yang harus di penuhi agar
rahn tersebut sah dan tidak melanggar hukum islam, ada beberapa rukun rahn yaitu antara
lain:

 Harus ada akad dan ijab qabul


 Aqid, aqid itu adalah yang menggadaikan barang dan yang member piutang gadai
 Harus ada barang yang di gadaikan nya atau di jadikan jaminan, dan barang yang
yang di gadaikan itu harus dalam keadaan baik dan bukan barang yang bermasalah
Ijarah
A. Pengertian Al-Ijarah
Al-Ijarah berasal dari kata al-Ajru (‫ )األجر‬yang arti menurut bahasanya ialah
al-‘Iwadh yang arti dalam bahsa indonesianya ialah ganti dan upah. Adapun menurut
Istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikam Ijarah, antara lain sebagai
berikut:
a) Menurut Ulama Hanafiyah

ٍ ‫ك َم ْنفَ َع ٍة َم ْعلُ َو َم ٍة َم ْقص ُْو َد ٍة ِم َن ْال َعي ِْن ْال ُم ْستَأ ِج َر ِة بِ َع ْو‬
‫ض‬ ُ ‫ُع ْق ٌد يُفِ ْي ُد تَ ْملِ ْي‬
Ijarah akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja
dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.
b) Menurut Malikiyah

‫ْض ال َم ْنقُ ْوالَ ِن‬


ِ ‫تَ ْس ِميَةُ التَّ َعاقُ ِد َعلَى َم ْنفَ َع ِة اآل َد ِم ِّى َو بَع‬
Ijarah adalah nama bagai akad-akad untuk kemangfaatn yang bersifat manusiawi
dan untuk sebagain yang dapat di pindahkan.
c) Menurut Sayyid sabiq
Ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
d) Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie
Ijarah adalah akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu,
yaitu pemilikan manfaat dengan imabalan, sama dengan menjual manfaat.
e) Menurut Amir Syarifuddin
Ijarah secara sederhana dapat diartikan dengan akad atau tansaksi manfaat atau
jasa dengan imbalan tertentu.

Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa ijarah atau sewa-menyewa
adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Adapun istilah-istilah dalam Al-Ijarah
pemilik yang menyewakan manfaat disebut Mu’ajjir (orang yang menyawakan).
Pihak lain yang memberikan sewa disebut Musta’jir ( orang yang menyawa =
penyewa). Dan, sesuatu yang di akadkan untuk diambil manfaatnya
disebut Ma’jur  ( Sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat
disebut  Ajran atau Ujrah  (upah). Dan setelah terjadi akad Ijarah telah berlangsung
orang yang menyewakan berhak mengambil upah, dan orang yang menyewa berhak
mengambil manfaat, akad ini disebut pula Mu’addhah (penggantian).
B. Dasar Hukum Al-Ijarah
Al-Ijarah dalam bentuk sewa-menyewa maupun dalam bentuk upah-
mengupah merupakan muamallah yang telah disyariatkan dalam Islam. Hukum
asalnya menurut Jumhur Ulama adalah Mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara’. Adapun dasar hukum tentang
kebolehan Al-Ijarah sebagai berikut:

‫ضع َْن لَ ُك ْم فَأْتُ ْو هُ َّن أُج ُْو َرهُ َّن‬


َ ْ‫فَإِ ْن أَر‬
“Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka (Al-Thalaq: 6)”.
Dasar Hukum ijarah dari Hadits/sunnah:

َ ‫أُ ُعطُوا ْاألَ ِجي َْرأَجْ َرهُث• قَب َْل اَ ْن ي َِّج‬


ُ‫ف ُع ُرقُه‬
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”  (Riwayat Ibnu Majah).
Perlu diketahui bahwa tujuan di syariatkan al-Ijarah itu adalah untuk
memberikan keringanan kepada umat dalam pergaulan hidup.

C. Rukun dan syarat Ijarah


Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah
pihak yang bertransaksi. Adapun menurut Jumhur Ulama rukun ijarah ada empat
yaitu:
1. Dua orang yang berakad (akid) yaitu mua’jir (orang yang menyewakan atau
orang yang memberi upah) dan musta’jir (orang yang menyewa sesuatu atau
menerima upah).
2. Sighat (Ijab dan kabul)
3. Sewa atau imbalan
4. Manfaat
Adapun syarat-syarat ijarah sebagaimana yang ditulis Nasrun Haroen yaitu sebagai
berikut:
1. Berkaitan dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah disyaratkan telah baligh dan berakal. Menurut ulama Hanafiyah dan
Malikiyah bahwa kedua orang tersebut tidak harus mencapai usia baligh hanya
pengesahannya perlu persetujuan walinya.
2. Kedua belah pihak yng berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad
ijarah.
3. Manfaat yang menjadi objek al-ijarah harus diketahui, sehigga tidak muncul
perselisihan dikemudian hari.
4. Objek al-Ijarah itu boleh diserahkan dan digunaknan secara langsung dan
tidak ada cacatnya.
5. Objek al-Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’.
6. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
7. Objek Al-Ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan seperti rumah,
kendaraan, dan alat-alat perkantoran.al-ijarah harus jelas, tertentu, dan

Ujrah atau upah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik
dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah.
WAKALAH

Secara bahasa arti wakaalah atau wikaalah(dengan waw difathah dan dikasrah) adalah
melindungi.Secara linguistik, wakalah bermakna menjaga atau juga bermakna
mendelegasikan mandat, menyerahkan sesuatu.Hal ini sebagaimana firman Allah, “Dan
mereka menjawab,’cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan dia sebaik-baik
pelindung.” (ali imran:173).Yaitu al-hafiizh (pelindung atau penjaga).Dan firman-
NYA,”Tidak ada tuhan selain Dia,maka jadikan lah Dia sebagai pelindung.”(al-
muzzammil:9).

Al Farra` berkata,”maksud dari wakiila dalam ayat ini adalah yang


melindungi.”Wakaalah juga artinya penyerahan.Misalnya,wakkala amrahu ila fulaan (dia
menyerah kan urusannya kepada si fulan).Misalnya juga ucapan,”Tawakkaltu`alallah (Saya
berserah diri kepada Allah).”Seperti juga firman Allah, “Dan hanya kepada Allah saja
hendaknya orang-orang yang beriman dan bertawakkal.” (Ibrahim:12).Dan Allah berfirman
ketika mengabarkan tentang Nabi Hud a.s, “sesungguhnya aku bertawakkal kepada
Allah,Tuhanku dan Tuhanmu.” (Hud:56)

Dalam definisi syara`,wakaalah menurut para ulama mazhab Hanaafi adalah tindakan
seseorang menempatkan orang lain ditempatnya untuk melakukan tindakan hukum yang tidak
mengikat dan diketahui.Atau penyerahan tindakan hukum dan penjagaan terhadap sesuatu
kepada orang lain yang menjadi wakil.Tindakan hukum ini mencakup pembelanjaan terhadap
harta,seperti jual-beli ,juga hal-hal lain yang secara syara bisa diwakilkan seperti juga
memberi izin kepada orang lain untuk masuk rumah.

Para ulama mazhab Syafi`i mengakatan bahwa wakaalh adalah penyerahan


kewenangan terhadap sesuatu yang boleh dilakukan sendiri dan bisa diwakilkan kepada orang
lain,untuk dilakukan oleh wakil tersebut selama pemilik kewenangan asli masih hidup.
Pembatasan dengan ketika masih hidup ini adalah untuk membedakannya dengan wasiat.

Wakalah atau wikalah menurut bahasa berarti al-hifzu (pemeliharaan),seperti yang


terdapat dalam firman Allah,yang artinya:”Cukuplah Allah sebagai penolong kami dan
sebaik-baik perlindungan”.Wakalah juga berarti at-tafwidh (pedelegasian),seperti:”Dan
kepada Allah lah berserah diri orang-orang yang bertawakkal”.
Ini berarti wakalah merupakan perjanjian antara seorang (pemberi kuasa) dengan
orang lain (orang yang menerima kuasa) untuk melaksanakan tugas tertentu atas nama
pemberi kuasa.

ASAR HUKUM AL WAKALAH

Islam mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkan-nya.Tidak semua


manusia berkemampuan untuk menekuni segala urusannya secara pribadi.Ia membutuhkan
kepada pendelegasian mandat orang lain untuk melakukannya sebagai wakil darinya.

Di dalam al quran berkenaan dengan kisah ashabul kahfi,Allah berfirman:

َ ‫ال قَائِ ٌل ِم ْنهُ ْم َك ْم لَبِ ْثتُ ْم ۖ قَالُوا لَبِ ْثنَا يَ ْو ًما أَ ْو بَع‬
‫ْض‬ َ َ‫ك بَ َع ْثنَاهُ ْم لِيَتَ َسا َءلُوا بَ ْينَهُ ْم ۚ ق‬ َ ِ‫َو َك ٰ َذل‬
‫يَ ْو ٍم ۚ قَالُوا َربُّ ُك ْم أَ ْعلَ ُم بِ َما لَبِ ْثتُ ْم فَا ْب َعثُوا أَ َح َد ُك ْم بِ َو ِرقِ ُك ْم ٰهَ ِذ ِه إِلَى ْال َم ِدينَ ِة فَ ْليَ ْنظُرْ أَيُّهَا‬
‫ف َواَل يُ ْش ِع َر َّن بِ ُك ْم أَ َحدًا‬ ٍ ‫أَ ْز َك ٰى طَ َعا ًما فَ ْليَأْتِ ُك ْم بِ ِر ْز‬
ْ َّ‫ق ِم ْنهُ َو ْليَتَلَط‬

“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka
sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada
(disini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata
(yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini).
Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang
perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia
membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah
sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun”.

Dan Allah menceritakan tentang yusuf a.s, bahwa beliau berkata kepada raja:

ِ ْ‫قَا َل اجْ َع ْلنِي َعلَ ٰى َخ َزائِ ِن اأْل َر‬


‫ض ۖ إِنِّي َحفِيظٌ َعلِي ٌم‬
Artinya: Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".

Dan didalam kaitan ini banyak dijumpai hadits-hadits yang dapat dijadikan landasan
bolehnya wakalah,diantaranya:”Bahwasannya Rasulullah saw.,mewakilkan kepada abu rafi`
dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah r.a.”
Dan terbukti pula bahwa Rasulullah mewakilkan dalam membayar hutang,
mewakilkan dalam menetapkan had dan membayarnya, mewakilkan didalam mengurus
untanya, membagi kandang dan kulitnya dan lain-lainya.

Dan kamum muslimin berijma` atas membolehkannya,bahkan atas mensunahkannya.


Karena termasuk jenis ta`awun (tolong-menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa,yang oleh
Al-quran diserukan dan disunnahkan oleh Rasulullah.Firman Allah:

ِ ‫اونُوا َعلَى ْالبِرِّ َوالتَّ ْق َو ٰى ۖ َواَل تَ َعا َونُوا َعلَى اإْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َو‬
ۘ ‫ان‬ َ ‫ۚ وتَ َع‬
َ
Artinya:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”

Kemudian pengarang kitab Al bahru menceritakan tentang kesepakatan akan


pentasyi`annya.Kemudian dalam statusnya apakah niabah atau wilayah (mewakili atau
sebagai wali) ada dua pendapat:

•Ada yang berpendapat sebagai niabah (mewakili),karena mukhalafah (menggantikan)


diharamkan.

•Ada pula yang berpendapat sebagai wilayah,karena khillafah (menggantikan) dibolehkan


untuk yang mengarah kepada lebih baik,seperti jual beli dengan pembayaran segera,padahal
diperintahkan menunda pembayaran.

Hukum asal wakaalah adalah dibolehkan.Namun,terkadang ia disunnahkan jika ia


merupakan bantuan untuk sesuatu yang disunnahkan.Terkadang juga ia menjadi makruh jika
ia merupakan bantuan terhadap sesuatu yang dimakruhkan.Hukumnya juga menjadi haram
jika merupakan bantuan untuk perbuatan yang haram.Dan,hukumnya adalah wajib jika ia
untuk menghindarkan kerugian dari muwakkil.
RUKUN DAN SYARAT AL WAKAALAH

Akad wakalah menjadi sah bila terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.Rukun wakalah
menurut golongan hanafiyah adalah ijab dan qabul dengan ungkapan ,”Saya wakilkan ini
kepada anda” atau dengan kalimat yang sejenis.kemudian,dia menjawab “saya terima” atau
yang semakna dengan ini.Sementara itu,rukun wakalah menurut jumhur adalah
muwakil,wakil,muwakil bih,dan shighat,seperti yang dijelaskan berikut ini:

a.Orang yang mewakilkan,(muwakil) disyaratkan:

1) Mempunyai hak untuk melkukan perbuatan hukum pada apa yang diwakilkan.Karena
itu,seseorang tidak sah melakukan perbuatan hukum tidak sah menerima wakil dari orang
gila,anak kecil yang belum mumayiz karena orang gila dan anak kecil yang belum mumayiz
tidak mempunyai kewenangan (ahliyah).

2) Muwakil disyaratkan cakap bertindak hukum atau mukallaf dan sempurna akalnya.

b.Orang menerima wakil(wakil),disyaratkan:

1) Berakal,mumayiz,tidak disyaratkan baligh. Sehingga tidak sah wakalah orang gila dan
anak-anak yang belum mumayiz.Artinya wakil harus sudah cakap bertindak hukum.Anak
kecil,orang gila,anak belum tamyiz,tidak boleh menjadi wakil,ini menurut pendapat ulama
hanafiyah.Ulama selain Hanafiyyah juga menyatakan hal yang sama.Anak kecil tidak boleh
menjadi wakil,karena mereka belum bisa terbebani yang dilakukan,belum bisa diakui.

2) Disyaratkan bagi orang yang akan menerima wakil untuk mengetahui objek yang
akan diwakilkan kepadanya supaya tidak terjadi penipuan terhadap orang menerima wakil
atau yang diberi kuasa.

3) Orang yang akan menerima kuasa itu harus jelas dan pasti.Dengan demikian,tidak
boleh mewakilkan sesuatu kepada salah seorang dari sekelompok manusia tanpa
menyebutkan identitasnya.

c.Objek yang diwakilkan (muwakil bih).

Para ulama menentukan,setiap yang boleh diakadkan manusia terhadap dirinya,boleh


diwakilkan kepada orang lain.Adapun syarat objek yang diwakalahkan adalah:
1) Merupakan sesuatu yang boleh diakadkan seperti jual-beli,sewa menyewa,dan
sejenisnya.Maka wakil tidak boleh diberi tugas untuk melakukan perbuatan yang dilarang
seperti membunuh,melakukan transaksi yang dilarang seperti bisnis ribawi.

2) Perbuatan yang diwakilkan berkaitan dengan masalah mu`amalah bukan masalah


ibadah badaniyah,seperti sholat,puasa,bersuci,untuk ibadah maliyah seperti zakat dapat
diwakilkan kepada orang lain untuk menyerahkan zakat hartanya kepada msutahik.Berbeda
dengan ibadah haji.Untuk ibadah haji,dituntut istitha`ah maliyah wa badaniyah (mampu dari
segi harta dan fisik).Namun,jika ternyata seseorang yang telah berniat dan membayar ONH
untuk melaksanakan ibadah haji,tetapi sakit sehingga ia tidak bisa berangkat melksanakan
ibadah haji.Dalam keadaan seperti ini pelaksanaan ibadah hajinya tidak dapat diwakilkan
kepada orang lain.Berbeda halnya dengan seseorang yang bernazar untuk melaksanakan
ibadah haji,tetapi ia meninggal dunia sebelum menunaikan ibadah hajinya maka dalam
keadaan seperti itu ahli warisnya dapat melakukan badal haji.

3) Sesuatu yang diwakilkan tersebut berada dalam pengetahuan dan emampuan orang
yang menerima wakil. Artinya perbuatan yang ditugaskan oleh pemberi kuasa harus diketahui
dengan jelas oleh orang yang menerima kuasa.Misalnya tugas untuk membeli barang maka
jenis,kualitas,bentuk,dan banyaknya barang harus disebutkan dengan jelas.

d.sighat akad,yakni ijab dan qabul dengan ungkapannya,”Saya wakilkan ini kepada anda”atau
dengan kalimat yang sejenis.Kemudian dijawab,”Saya terima” atau yang semakna dengan ini.

Para ulama menyatakan,wakil dalam masalah hak Allah seperti jarimah hudud tidak
boleh dilakukan,seperti maslaah zina.Begitu juga dalam hak-hak masalah manusia ,seperti
qishah juga tidak boleh diwakilkan.Namun,dalam masalah hak-hak manusia yang berkaitan
dengan kebendaan seperti utang,zakat boleh diwakilkan.Dalam menghadapi perkara di
pengadilan dengan menunjuk pengacara diolehkan.Jadi,seseorang mempunyai hak untuk
mewakilkan dirinya kepada siapa saja untuk menghadapi perkaranya di
pengadilan.Sementara wakalah dalam masalah jual-beli boleh dilakukan dengan syarat tidak
ada tipuan didalamnya. Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk membelikan
sesuatu ,dikaitkan dengan syarat –syarat maka wakil atau orang yang menerima perwakilan
wajib memelihara persyaratan itu,baik persyaratan mengenai benda,maupun persyaratan
mengenai harga.
Wakil atau orang yang menerima perwakilan merupakan orang kepercayaan yang
diberi amanat oleh orang yang memberi kuasa untuk bertindak atas namanya terhadap apa
yang dikuasakan kepadanya.Karena wakil hanya berfungsi sebagai penerima amanat,ini
berarti dia tidak diwajibkan bertanggungjwab atau mengganti bila sesuatu yang
diwakilkannya itu rusak karena sesuatu yang berada diluar kekuasaanya.Kecuali terhadap
sesuatu yang diakibatkan oleh kelalaian maka dia harus bertanggung jawab terhadap
perbuatnnya.Misalnya,dia meletakkan di suatu tempat tanpa ada yang mengawasinya.

Anda mungkin juga menyukai