Disusun Oleh:
Kata Pengantar..................................................................................................
Daftar isi..............................................................................................................
A. BAB I PENDAHULUAN
a) Latar Belakang...................................................................................
b) Rumusan Masalah..............................................................................
B. BAB II PEMBAHASAN
a) Pengertian Ijarah Dan Ijarah Muntahia Bittamlik..............................
b) Landasan Syariah...............................................................................
c) Rukun Dan Syarat Ijarah ...................................................................
d) Ketentuan Objek Ijarah......................................................................
e) Bentuk Ijarah Muntahia Bittamlik.....................................................
j) Pengembalian Sewaan........................................................................
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas segala rahmatdan karunia-
Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa shalawat serta salam tetap
tercurahlimpahkan kepada Nabi Muhamad SAW, kepada keluarga, sahabat dan kita selaku
umatnya. Amin.
Tujuan pembuatan makalah ini yakni untuk memnuhi tugas mata kuliah Fikih
muamalah yang dibimbing oleh Ibuk Miti Yurmanida. Makalah ini berjudul “Ijarah dan
Ijarah Muntahiyah Bittamlik yang mana di dalamnya mencakup data yaitu Pengertian,rukun
ijarah,,dasar hukum ijarah.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, maka untuk kritik
yang membangun akan diterima dengan hati terbuka. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca. Terimakasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang mengatur hubungan antara
seseorang dan orang lain. Contoh hukum islam yang termasuk muamalah salah
satunya adalah ijarah (sewa-menyewa dan upah).Seiring dengan perkembangan
zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari ulama klasik, transaksi
tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia modern.Dalam hal ini kita
harus cermat, apakah transaksi modern ini memiliki pertentangan tidak dengan
kaidah fiqih? Jika tidak, maka transaksi dapat dikatakan mubah.Sebelum
dijelaskan mengenai ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna
operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh
Syafi’I, berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah, hal ini terlihat ketika
beliau menerangkan rukun dan syarat upah-mengupah, mu’jir dan musta’jir,
sedangkan Kamaluddin
I. IJARAH
A. Pengertian Ijarah
Alijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya al-‘iwadh, yang
arti dalam bahasa Indonesia ialah ganti dan upah.
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat mendefinisikan al
ijarah, antara lain sebagai berikut:
4. Menurut Sayyid Sabiq bahwa ijarah ialah suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
Berdasarkan definisi di atas, dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar
sesuatu dengan ada imbalan.
ُ ُأع
َ ُطوا ْاَأل ِجي َْرَأجْ َرهُث َق ْب َل اَنْ َّي ِج
ف ُع ُر ُق ُه
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering” (Riwayat Ibnu Majah)
Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua
belah pihak yang bertransaksi. Adapun menurut Jumhur Ulama rukun ijarah ada
empat yaitu:
1. Dua orang yang berakad (akid) yaitu mu’jir (orang yang menyewakan atau
orang yang memberi upah) dan musta’jir (orang yang menyewasesuatu atau
menerima upah).
2. Sighat
3. Sewa atau imbalan
4. Manfaat
1. Dua orang yang berakad (akid). Menurut ulama Syafiiyah dan Hanabalah dua
orang yang berakad disyaratkan telah baligh dan berakal. Oleh sebab itu,
apabila orang yang belum atau tidak berakal ijarahnya tidak sah. Akan tetapi,
ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang berakad
tidak harus berakal dan baligh. Oleh karenanya, anak yang baru mumayiz pun
boleh melakukan akad ijarah, hanya pengesahannya perlu persetujuan walinya.
3. Sighat
Sighat ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak,
baik secara verbal, cengan cara penawaran dari penilik asset (lembaga
keuangan syariah) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah).
4. Ujrah (upah)
Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu:
a. Berupa harta tetap yang diketahui oleh kedua belah pihak.
b. Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti menyewa
rumah dengan menempati rumah tersebut.
Mengenai sifat akad ijarah, para ulama fiqih berbeda pendapat dalam mensifati
akad ijarah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa akad ijarah bersifat mengikat,
tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu
pihak yang berakad. Sedangkan jumhur ualama berpendapat bahwa akad ijarah
bersifat mengikat, kecuali terdapat cacat atau barang itu tidak boleh
dimanfaatkan.
Sedangkan hukum akad ijarah, terdapat dua hukum yaitu:
1. Hukum ijarah sahih
Yaitu tepatnya kepemilikan kemanfaatan bagi penyewa dan tepatnya upah bagi
pekerja atau orang yang menyewakan, sebab ijarah termasuk akad jual beli
pertukaran hanya saja dalam bentuk kemanfatan.
Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan
adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad
pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.
Ijarah akan mendai fasakh (batal) bila ada hal-hal sebagai berikut:
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
2. Rusaknya barang yang disewakan.
3. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih).
4. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah
ditentukan dan selesainya pekerjaan.
5. Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salahg satu pihak seperti yang
menyewa took untuk dagang, ke,mudian dagangannya ada yang mencuri, maka
ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.
2. Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli
dan sewa lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang
ditangan si penyewa. Sifat permindahan kepemilikan ini pula yang membedakan
dengan ijarah biasa.
Selain itu juga, dalam pelaksanaan akad IMBT ada ketentuan ketentuan yang
bersifat umum dan ketentuan bersifat khusus. Adapun ketentuan yang bersifat
umum dalam akad ijarah muntahiya bittamlik sebagai berikut:
1. Rukun dan syarat yang berlaku dalam akad ijarah berlaku pula dalam aqad
IMBT,
2. Perjanjian untuk melakukan akad IMBT harus disepakati ketika akad ijarah
ditandatangani,
3. Hak dan kewajiban setiap pihak dijelaskan dalam aqad.
1. Pihak yang melakukan IMBT harus melakukan akad ijarah terlebih dahulu.
Akad pemindahan kepemilikan baik dengan jual beli (bai’) atau pemberian
(hibah) hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai.
2. Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati diawal akad ijarah adalah
wa’ad (janji) yang hukumnya tidak mengikat. Apabila wa’ad (janji)
dilaksanakan, maka pada akhir masa ijarah (sewa) wajib dibuat akad
pemindahan kepemilikan. Artinya dalam akad IMBT tidak bertentangan dengan
prinsip syariah yaitu melarang 2 (dua) akad dalam satu perjanjian. Namun
Ijarah Muntahiya Bittamlik memiliki perbedaan dengan leasing konvensional.
1. Bersumber Al-Quran
Sebagai suatu transaksi yang bersifat tolong menolong, ijarah mempunyai
landasan yang kuat dalam Al-Quran dan Hadist. Konsep ini mulai dikembangkan
pada masa Khalifah Umar bin Khattab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah
dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian
tanah bagi kaum muslimin di wilayah yang ditaklukkan. Langkah alternatif dari
larangan ini adalah membudayakan tanah berdasarkan pembayaran Kharaj dan
Jizyah. Landasan ijarah disebut secara terang dalam Al-Qur’an dan Hadist.Dalam
Al-Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 233 Allah menjelaskan bahwa :
Artinya: dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa
yang kamu kerjakan”.
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa tidak berdosa jika ingin mengupahkan
sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus membayar upah terhadap
pekerjaan tersebut, dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika ingin anak-anak disusui
oleh orang lain, maka pekerjaan seperti ini tidak berdosa asalkan kita membayar
upah. Jika dipahami lebih dalam ayat ini mengisyaratkan kebolehan untuk
menyewa jasa orang lain dalam melakukan sesuatu pekerjaan yang kita
butuhkan. Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa tidak berdosa jika ingin
mengupahkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus membayar upah
terhadap pekerjaan tersebut, dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika ingin anak-
anak disusui oleh orang lain, maka pekerjaan seperti ini tidak berdosa asalkan
kita membayar upah. Jika dipahami lebih dalam ayat ini mengisyaratkan
kebolehan untuk menyewa jasa orang lain dalam melakukan sesuatu pekerjaan
yang kita butuhkan.
2. Bersumber Hadits
Dan Rasullullah SAW bersabda dalam sebuah riwayat :
إحتجمواعطالحجرههامااج
Artinya : Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah bersabda :
“berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang
bekam itu”. (H.R. Bukhari dan Muslim.
Hadist diatas mengidentifikasi bahwa pada masa Rasulullah juga pernah terjadi
transaksi ijarah, yaitu dengan cara Rasulullah memerintahkan kepada orang
yang dibekam untuk memberikan upah kepada tukang bekam disebarkan dia
telah menyelesaikan bekam.
Penekanan hadist ini sangat jelas bahwa jangan sekali-kali pembayaran upah itu
dilakukan ketika seseorang itu telah menjadi lemah atau ketika orang tersebut
sudah sakit, karena dengan upah tersebut penyewa bisa menggunakan upah
tersebut untuk keperluaanya.
Pada prinsipnya terdapt kesepakatan di kalangan para sahabat bahwa
dibolehkan melakukan aqad ijarah dalam kehidupan bermuamalah. Alasan ini
mereka membolehkan aqad ini adalah karena sewa merupakan jual manfaat
yang dibutuhkan, namun ketika kontrak yang dibuat terhadap manfaat ini tidak
dapat diserah terimakan, inilah sebabnya ada ulama yang mengatakan aqad ini
tidak boleh, karena tidak dapat diserah terimakan seperti pada aqad jual beli.
Dasarkan hukum ijarah muntahiya bittamlik menurut pendapat ualam masih
terdapat perbedaan mengenai kebolehannya, sebagian yang kontroversi
berlakunya transaksi ijarah di kalangan ulama madzhab yaitu tentang sewa yang
diakhiri dengan pemilikan atau hibah bersyarat. Ulama madzhab Hanafi, Syafi’I,
dan Zaidiyah, dan Imamiyah membolehkan aqad ijarah muntahiya bittamlik ini,
sedangkan ulama madzab Hambali, sebagian ulama madzhab Hanafi, dan
madzhab Maliki, tidak membolehkannya.
Perbedaan pendapat ulama tersebut dikarenakan masing-masing mempunyai
perbedaan pemahaman tentang kerelasi aqad ijarah dengan hibah, tetapi
walaupun demikian eksistensi ijarah ini dapat dilakukan boleh, karena
didasarkan pada salah satu pendapat ulama yang mengatakan boleh hukumnya.
Hibah ini bersifat mengikat terhadap masa akan datang. Hukumnya boleh
menurut ketentuan Fiqh Islam. Demikian pula dalam jual beli yang bersifat
mengikat dengan waktu. Misalnya, “jika anda telah menyelesaikan cicilan sewa
pada masa tertentu, maka saya menjual barang ini kepada anda”. Praktek ini
dibenarkan menurut Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim.
Selain itu menurut para ulama perpindahan kepemilikan secara otomatis seperti
cara-cara diatas tidak perlu membuat kontrak baru. Hal ini dipertegas dengan
fatwa DSN-MUI bahwa pihak yang melakukan ijarah muntahiya bittamlik harus
melaksanakan aqad ijarah terlebih dahulu. Aqad pemindahan kepemilikan, baik
dengan jual beli maupun pemberian (hibah), hanya dapat dilakukan setelah
masa ijarah selesai.
Dari penjelasan dan dalil di atas dapat diketahui bahwa ijarah itu hukumnya
boleh dan begitu juga dengan ijarah muntahiya bittamlik juga boleh, karena
tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Pasal berikut merupakan pasal yang tertera dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) mengenai Ijarah Muntahiya Bittamlik
Ijarah Muntahiya Bittamlik
Pasal 278
Rukun dan syarat dalam ijarah dapat diterapkan dalam pelaksanaan Ijarah
Muntahiya Bittamlik.
Pasal 279
Dalam akad Ijarah Muntahiya Bittamlik suatu benda antara mu’jir/ pihak yang
menyewakan dengan musta’jir pihak penyewa diakhiri dengan pembelian
ma’jur/objek ijarah oleh musta’jir/pihak penyewa.
Pasal 280
1) Ijarah Muntahiya Bittamlik harus dinyatakan secara eksplisit dalam aka
2) Akad pemindahan kepemilikan hanya dapat dilakukan setelah masa
Ijarah Muntahiya Bittamlik berakhir.
Pasal 281
Musta’jir/ penyewa dalam akad ijarah muntahiya bittamlik dilarang
menyewakan dan a tau menjual ma’jur/benda yang disewa
Pasal 282
Harga ijarah dalam akad ijarah muntahiya bittamlik sudah termasuk dalam
pembayaran benda secara angsuran
Pasal 283
1) Pihak mu’jir/yang menyewakan dapat melakukan penyelesaian akad
ijarah muntahiya bittamlik bagi musta’jir/penyewa yang tidak mampu melunasi
pembiayaan sesuai kurun waktu yang disepakati.
2) Penyelesaian sebagaimana dalam ayat 1) dapat diselesaikan melalui
perdamaian dan atau pengadilan.
Pasal 284
Pengadilan dapat menetapkan untuk menjual objek ijarah muntahiya bittamlik
yang tidak dapat dilunasi oleh penyewa dangan harga pasar untuk melunasi
utang penyewa.
Pasal 285
1) Apabila harga jual objek ijarah muntahiya bittamlik melebihi sisa utang,
maka pihak yang menyewakan harus mengembalikan sisanya kepada penyewa.
2) Apabila harga jual objek ijarah muntahiya bittamlik lebih kecil dari sisa
utang, maka sisa utang tetap wajib dibayar oleh penyewa.
3) Apabila peminjam sebagaimana dalam ayat (2) tidak dapat melunasi sisa
utangnya. Pengadilan dapat membebaskanya atas izin pihak yang
menyewakanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Atang Abd. Hakim, Fiqh Perbankan Syariah, PT Refika Aditama : Bandung, 2011.