Disusun Oleh
Adinda Febrilia 205090020
2. Ibu Dr. Hj. Armalia Reny WA., SP., MM, selaku Rektor Universitas Mitra
Indonesia.
3. Bapak Dr. Yudhinanto, CN., SE., MM., CIQnR, selaku Plt. Dekan
Fakultas Bisnis Universitas Mitra Indonesia.
4. Ibu Evi Meidasari, SE., ME, selaku Plt. Ketua Program Studi Manajemen
Universitas Mitra Indonesia.
5. Ibu Amelia Anwar, SE.,ME, selaku Dosen Mata Kuliah Keuangan Syariah
Fakultas Bisnis Universitas Mitra Indonesia.
Penulis Menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, semoga
Makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya pembaca yang
membutuhkan informasi yang berkaitan dengan Makalah ini.
Adinda Febrilia
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijarah, dengan hamzah berharakat kasrah adalah bentuk mashdar dari
kata ‘ajara, menurut pendapat yang masyhur.
Akad ijarah terdiri dari dua kategori :
1. Akad ijarah dalam tempo masa yang ditentukan dari suatu barang tertentu
yang sudah diketahui atau dari suatu barang yang hanya dijelaskan
kriterianya yang masih berada dalam tanggungan pemiliknya. (Kategori
bisa disebut dengan sewa barang).
2. Akad ijarah atas kerja yang sudah diketahui dengan kompensasi yang
sudah ditentukan (Kategori ini disebut sewa tenaga, sewa buruh, sewa
pekerja atau karyawan).
Kedua kategori ini sah berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas :
Allah SWT berfirman,
”…kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka
berikanlah kepada mereka upahnya…” (Qs. Ath-Thalaaq 65: 6).
1
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk menyetahui pengertian sewa menyewa
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Menurut para ulama, sewa menyewa didefenisikan secara berbeda –
beda, antara lain sebagai berikut :
1. Menurut Hanafiyah:
لى اْ ل َمنَا فِ ِع ِب َع ْوض
َ عَ ًُع ْقد
َ
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti”.
2. Menurut Malikiyah:
ض ًِ ال َم ْنقُ ْو َل ِن
ِ لى َم ْنفَعَ ِة اآلدَ ِم ِى َوبَ ْع
َ عَ تَس ِْميَةُ التَّعَا قُ ِد
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan
untuk sebagian yang dapat di pindah kan”.
3. Menurut Al-syarbini al-khatib:
ُ ت َْم ِليْكُ َم ْنفَ َعة ِب َع َوض ِب
ش ُر ْوط
“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat”.
4. Menurut Asy-syafi’iyah:
ص ْودَة َم ْعلُ ْو َمة ُمبَا َحة قَابِلَة ِل ْلبَ ْذ ِل َواْ ِإلبَا َح ِة بِعَ ْوض َم ْعلُ ْوم
ُ لى َم ْنفَعَة َم ْق
َ عَ ً ًَُع ْقد
َ
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan
mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti
tertentu”.
Berdasarkan defenisi-defenisi di atas maka dapat di pahami bahwa
ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya.
4
dapat dihuni sesuai dengan kebiasaan yang lazim berlaku ditengah tengah
masyarakat.
2. Sewa Menyewa Tanah
Sewa menyewa tanah dalam hukum perjanjian islam dapat
dibenarkan baik tanah untuk pertanian atau untuk pertapakan bangunan
atau kepentingan lainnya.
Hal- hal yang harus diperhatikan dalam hal perjanjian sewa
menyewa tanah antara lain sebagai berikut, “untuk apakah tanah tersebut
digunankan ?” apabila tanah digunakan untuk lahan pertanian, maka harus
diterapkan dalam perjanjian jenis apakah tanaman yang harus ditanam
ditanah tersebut. Sebab jenis tanaman yang ditanam akan berpengaruh
pula terhadap jumlah uang sewanya.
Keanekaragaman tanaman dapat juga dilakukan asal orang yang
menyewa / pemilik mengizinkan tanahnya ditanami apa saja yang
dikehendaki penyewa, namun lazimnya bukan jenis tanaman tua/keras
Apabila dalam sewa menyewa tanah tidak dijelaskan kegunaan
tanah, maka sewa menyewa yang diadakan dinyatakan batal (fasid). Sebab
kegunaan tanah perjanjian, dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang
berbeda antara pemilik tanah dengan penyewa dan pada akhirnya akan
menimbulkan persengketaan .
3. Sewa Menyewa Binatang
a. Malik membolehkan seseoarang menyewakan pejantannya untuk
mengawini sekawanan unta yang telah diketahui.
b. Abu Hanifah dan Syafi’i tidak membolehkan hal tersebut.
Dan hujjah ulama yang tidak membolehkan hal tersebut adalah
adanya larangan dari menyewakan pejantan. Sedangkan ulama yang
membolehkan menyamakannya dengan manfaat-manfaat yang lain, dan
hal ini adalah lemah karena mendahulukan qiyas atas nash yang baku.
Sedangkan menyewakan anjing juga termasuk dalam kategori ini,
dan hal tersebut tidak boleh menurut Syafi’I dan Malik.
5
Syafi’I dalam membolehkan penyewaan manfaat mensyaratkan
bahwa manfaat tersebut memiliki harga tersendiri sehingga tidak boleh
menyewa buah untuk dicium, serta makanan untuk menghiasi toko, karena
manfaat-manfaat ini secara tersendiri tidak memiliki nilai. Maka hal
tersebut menurut Malik dan Syafi’I tidak dibolehkan.
Hal ini juga mempunyai perselisihan dalam madzhab (Malik)
mengenai menyewakan uang dirham serta dinar. Segala sesuatu yang di
ketahui bahwa itu adalah mata uang maka Ibnu Al Qasyim berkata, “Tidak
boleh menyewakan jenis ini dan hal tersebut termasuk hutang.”
Abu Bakar Al Abhari serta yang lainnya mengklaim bahwa hal
tersebut sah, dan harus ada upahnya, sedangkan ulama yang melarang
menyewakannya karena tidak terbayangkan adanya suatu manfaat seperti
berbasa basi dengan uang tersebut, atau berpura-pura memiliki uang
banyak atau yang lainnya di antara hal-hal yang terbayangkan di dalam
masalah ini.
Adapun masalah-masalah yang diperselisihkan yang berhubungan
dengan jenis harga, yaitu masalah masalah yang berhubungan dengan
sesuatu yang menjadi harga pada barang-barang dagangan dan sesuatu
yang tidak menjadi harga.
Di antara hadits yang melarang dari bab ini adalah, “Bahwa
Rasulullah SAW melarang menyewakan pejantan, hasil tukang bekam,
serta qafizuth-thahhan (takaran pembuat tepung).” Ath-Thahawi berkata,
“Makna larangan Rasulullah SAW dari qafizuth thahhan (takaran pembuat
tepung) adalah apa yang dilakukan orang-orang pada zaman jahiliyah yaitu
menyerahkan gandum kepada pembuat tepung dengan upah sebagian dari
tepung yang ia tumbuk.”
Menurut mereka hal ini tidak boleh, hal tersebut merupakan
penyewaan dengan barang yang tidak ia miliki dan tidak termasuk sesuatu
yang merupakan utang dalam suatu tanggungan serta Syafi’i sepakat
dengan hal ini. Para sahabat nya mengatakan apabila menyewa tukang
menguliti dengan upah kulit, dan tukang pembuat tepung dengan upah
6
dedak atau satu sha’ tepung maka penyewaan tersebut telah rusak (batal)
karena terdapat larangan Rasulullah SAW dari qafizuth-thahhan (takaran
pembuat tepung), dan hal ini menurut madzab Malik dibolehkan karena
dia menyewanya untuk memproses sebagian makanan yang telah di
ketahui, dan upah pembuat tepung adalah sebagian makanan itu dan hal
tersebut juga telah di ketahui.
Disebutkan didalam Al Ikhtiyarat : Mengambil upah dari sekadar
membaca Al-Qur’an tidak pernah dikatakan oleh seorang imam pun.
Adapun yang mereka perselisihkan adalah mengambil upah dari
mengajarkan Al-Qur’an. Dan tidak apa-apa mengambil upah adri ruqyah.
Ucapan Perawi (meniupnya), maksudnya adalah meniup disertai dengan
sedikit ludah. Ibnu Abi Hamzah mengatakan, “Meniup ketika meruqyah
adalah setelah selesai membaca untuk mendapatkan berkah dari bacaan.”
4. Menyewa Kaum Quraisy
Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki
dari bani Ad-Dil sebagai pemandu yang pandai menunjukkan jalan),
asalnya dari hadits panjang yang dikemukakan oleh Al-Bukhari pada kisah
hijrahnya Nabi SAW.
Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang muslim menyewa orang
kafir untuk menunjukkan jalan bila dapat dipercaya. Al-Bukhari
menyebutkan hadits ini pada kitab Al-Ijarah yang memberinya judul “Bab:
Menyewa Orang Musyrik dalam kondisi terpaksa bila tidak ada yang
muslim. “Seolah-olah Al Bukhari hendak menggabungkannya dengan
sabda beliau SAW, “Aku tidak akn meminta bantuan kepada orang
musyrik”. (di keluar kan oleh muslim dan para penyusun kitab sunan).
Ibnu baththal mengatakan, “Para ahli fiqih membolehkan menyewa
mereka, yakni orang-orang musyrik, baik dalam kondisi terpaksa maupun
tidak, karena hal ini mengandung perendahan mereka adapun yang
dilarang adalah seorang muslim menyewakan dirinya kepada orang
musyrik, Karena dengan begitu berarti ia telah merendahkan dirinya
sendiri.
7
5. Menyewa Pekerja Dengan Upah Harian, Bulanan, Tahunan Atau
Berdasarkan Jumlah Yang Dikerjakan.
Dari Ali RA, ia menuturkan, “Suatu ketika aku merasa sangat
lapar, maka aku keluar untuk mencari pekerjaan dipinggiran Madinah.
Tiba-tiba aku mendapati seorang wanita sedang mengumpulkan tanah
kering, aku menduga bahwa ia hendak membasahinya, lalu aku
menawarkan jasa padanya untuk setiap ember satu butir kurma. Lalu aku
megerjakan enam belas ember hingga kedua tangan ku terasa pegal. Lalu
ia pun memberiku enam belas butir kurma. Kemudian aku datang kepada
Nabi SAW dan menceritakan hal itu kepada beliau, lalu beliau pun makan
dari kurma itu.” (HR. Ahmad)
Dari Anas, ia menuturkan,”Ketika kaum muhajirin dari Makkah
sampai di Madinah, mereka datang tanpa membawa apa-apa, sedangkan
kaum anshar adalah para pemilik tanah dan rumah, maka kaum anshar pun
berbagi dengan mereka dengan kesepakatan mendapat separuh hasil
buahnya setiap tahun dan mereka membantu bekerja dan biaya.” (HR. Al-
Bukhari dan Muslim)
Ibnu Umar mengatakan, “Nabi SAW menyerahkan penggarapan
lahan khaibar dengan upah separuh hasilnya, dan itu berlangsung pada
masa Nabi SAW, Abu Bakar dan permulaan masa khalifah Umar. Ia tidak
menyebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar memperbaharui sewa setelah
wafat nya Nabi SAW.” (HR. Al Bukhari)
Hadits Ali RA menunjukkan tentang kondisi para sahabat yang
sangat membutuhkan namun tetap bersabar menghadapi lapar, bekerja
pada orang lain untuk mendapatkan makanan agar bisa menahan diri dari
meminta-minta kepada orang lain; Bahwa menawarkan diri (untuk
bekerja) tidak di anggap hina, walaupun si penyewa bukan orang mulia
atau orang kafir sedangkan yang disewa adalah orang mulia atau
pembesar.
Dalil bolehnya ijarah mu’adadah (penyewaaan sesuai jumlah),
yaitu penyewa mengerjakan sejumlah pekerjaan tertentu yang di upah
8
sesuatu sebanyak jumlah pekerjaan itu, walau pun sebelumya tidak
dijelaskan jumlah pekerjaan dan upahnya (jadi yang di upah adalah sesuai
yang di kerjakan). Hadits Anas menunjukkan bolehnya menyewakan tanah
dengan harga sewa separuh hasilnya setiap tahun, begitu juga hadits Ibnu
Umar.
9
2. Adapun rukun-rukun sewa menyewa adalah :
Mu’jir dan mus’tajir yaitu orang yang melakukan akad sewa
menyewa atau upah mengupah dalam hal upah mengupah. Mus’tajir adlah
orang yang memberi upah untuk melakukan sesuatu , sedangkan Musta’jir
adalah orang yang menyewa sesuatu. Disyaratkan kepada mu’jir dan
mus’tajir adalah orang yang baliqh,berakal,cakap melakukan tasharrup
(mengendlikan harta),dan saling meridhoi.
Ujrah (upah/harga sewa ), disyratkan diketahui jumlahnya oleh
kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa ataupun upah mengupah
barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan.
10
yang dimanfaatkan sedang zatnya tidak mengalami perubahan, boleh
dijadikan ijarah, jika sebaliknya maka tidak boleh “
11
G. Hukum Sewa Menyewa
Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan
tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud’alaih, sebab
ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.Adapun
hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah
mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja
dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Bila kerusakan tersebut
terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak
memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan
semestinya.
Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama
dengan jual beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran
yang dicapai oleh barang sewaan.
12
Malik memandang bahwa harga akan dimiliki sesuai dengan kadar
ganti yang akan diambil. Sedangkan Syafi’i seolah-olah melihat bahwa
keterlambatan pembayaran harga sewa tersebut termasuk kategori jual beli
utang dengan utang.
Diantara hal tersebut adalah perselisihan mereka mengenai penyewa
binatang atau rumah serta yang serupa dengan hal tersebut, apakah ia berhak
untuk menyewakan dengan harga lebih dari harga ia menyewa:
1. Malik, Syafi’i dan Jama’ah membolehkan hal tersebut dengan
mengqiyaskannya kepada jual beli.
2. Abu Hanifah dan para sahabatnya melarang hal tersebut.
Dalil yang dijadikan landasan mereka adalah bahwa hal tersebut
termasuk kategori laba sesuatu yang tidak ditanggung. Karena tanggungan
barang yang pokok adalah dari pemiliknya. Begitu juga hal tersebut termasuk
dalam kategori jual beli sesuatu yang belum diambil. Sedangkan sebagian
ulama membolehkan hal tersebut apabila ia mengadakan suatu pekerjaan.
Diantara ulama yang tidak memakruhkan hal ini apabila terjadi dengan sifat
ini adalah Sufyan Ats-Tsauri serta jumhur, mereka melihat bahwa persewaan
dalam hal ini mirip dengan jual beli.
Dalil yang dijadikan landasan mereka adalah bahwa hal tersebut
termasuk kategori laba sesuatu yang tidak ditanggung. Karena tanggungan
barang yang pokok adalah dari pemiliknya. Begitu juga hal tersebut dalam
kategori jual beli sesuatu yang belum diambil. Sedangkan sebagian ulama
membolehkan hal tersebut apabila ia mengadakan suatu pekerjaan.
13
3. Penyewa tidak dibebani biaya-biaya yang diperlukan kepada pemiliknya
untuk menyerahkan barang jika barang tersebut rusak
Kerugian adanya sewa menyewa :
1. Bila barang rusak maka yang menanggung resiko adalah pemilik barang
2. Resiko yang ditanggung tak sebanding dengan harga sewa.
3. Ajir musytarok terikat pada waktu yang telah dijanjikan namun bila waktu
tersebut tidak dipenuhi maka penyewa mengalami kerugian.
14
f. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan
Yang dimaksud dalam hal ini adalah tujuan perjanjian sewa menyewa
telah tercapai, atau masa perjanjian sewa menyewa telah berakhir sesuai
dengan ketentuan yang disepakati.
g. Adanya uzur
Penganut mazhab Hanafi menambahkan bahwa uzur juga merupakan salah
satu penyebab putus atau berakhirnya perjanjian sewa, sekalipun uzur
tersebut datangnya dari salah satu pihak. Adapun yang dimaksud dari uzur
disini adalah adanya suatu halangan sehingga perjanjian tidak mungkin
dapat terlaksana sebagaimana mestinya.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sewa menyewa adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya. Jenis
barang yang disewakan terdiri dari enam, yaitu :
1. Sewa menyewa barang
Sewa menyewa barang terdapat dua macam yaitu:
- Sewa menyewa rumah, dan
- Sewa menyewa tanah
2. Sewa menyewa binatang
3. Upah dalam perbuatan Ibadah
4. Menyewa kaum quraisy
5. Upah bekam
6. Menyewa pekerja dengan upah harian, bulanan, tahunan atau berdasarkan
jumlah yang dikerjakan
Syarat dari sewa menyewa ada sepuluh serta mempunyai lima rukun
sewa. Tujuan dari sewa menyewa adalah mengambil manfaat dari apa yang
disewa dengan maksud tertentu dan mubah setelah disewa. Ketentuan untung
rugi dalam sewa menyewa adalah bila barang rusak akibat penggunaan yang
melampaui kapasitasnya dapat dituntut ganti rugi dari kerusakan tersebut,
penyewa tidak dibebani ganti kerugian bila kerusakan setelah habis masa
berlaku perjanjian dalam sewa. Sewa menyewa secara global mempunyai dua
hukum yaitu : Perkara perkara yang mewajibkan dan mengikat akad ini tanpa
adanya emergency yang akan menimpa serta Hukum hukum emergency yang
datang belakangan, dan ini terbagi kepada hal-hal yang mewajibkan adanya
tanggungan dan tidak adanya tanggungan & kewajiban adanya pembatalan
dan tidak adanya pembatalan; dan hukum perselisihan. Adapun batalnya sewa
menyewa terdiri dari tujuh macam.
16
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-sunnah, Jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, 1983).
Hendi suhendi, Fiqih muamalah. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Ahmad Azhar Basyir, Azas-azas Hukum Muamalah, FH. UII, Yogyakarta, 1983
17