Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH SEWA MENYEWA

DISUSUN OLEH:
1.RASTI PUTRI(2210104016)
2.ANDREANSYAH(2220104091)
3.ELISA PUTRI ANGGRAINI(2220104063)
4.M.RASYID KADAFI(2230104202)

DOSEN PENGAMPUH:BITOH PURNOMO,LL.M

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAH PALEMBANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya.shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, beseerta sahabat dan para pengikutnya hingga akhir
zaman. Aamiin.

Makalah yang berjudul “ayat tentang sewa menyewa” kami tulis untuk memmenuhi
tugas mata kuliah Tafsir Ayat Ekonomi Penulis sangat berharap semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap
lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-
hari.Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Palembang, Februari 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………………………………….ii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………………………………….1
A. Latar belakang…………………………………………………………………………………………………………………..1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………………………………………………..2

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………………………………………………2
A. Pengertian sewa menyewa/Ijara……………………………………………………………………………………….3
B Syarat dan rukun ijarah/sewa menyewa…………………………………………………………………………….4
C macam-macam sewa menyewa/ijarah……………………………………………………………………………….7
D Hal yang membatalkan sewa menyewa.…………………………………………………………………………….8
E Dasar hukum sewa menyewa/ijarah………………………………………………………………………………….9

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………………………………………………..14


A. Kesimpulan……………………………………………………………………………………………………………………….14
B.Penetup………………………………………………………………………………………………………………………………14

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………………………..15
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sewa menyewa dalam Islam lebih dikenal dengan ijarah yang merupakan kegiatan
pengambilan manfaat suatu barang. Di dalam hal ini barang tidak berkurang, namun hanya
berpindah manfaat dari benda yang disewakan tersebut, manfaat yang dapat diambil dapat
berupa manfaat barang seperti kendaraan, rumah, tanah ataupun manfaat jasa seperti
pekerjaan. Sewa menyewa sangat dianjurkan dalam Islam karena mengandung unsur tolong
menolong dalam kebaikan antar sesama manusia. Sewa menyewa disahkan syariat berdasarkan
Q.S. ath-Thalaq/65:6‫“ إ‬Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah
mereka.”(Q.S. ath-Thalaq/65:6).3.
Dari penjelasan di atas sewa menyewa meliputi perbuatan dua pihak secara timbal balik,
dimana pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa menyewa barang atau benda dari pihak yang
menyewakan. Dapat dikatakan bahwa penyewa memiliki tanggung jawab terhadap hal apa
yang diperjanjikan di mana hal tersebut menimbulkan 1perbuatan hukum dan dari perjanjian
sewa menyewa tersebut timbul suatu hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.Perjanjian
sewa menyewa itu dapat berakhir secara normal ataupun tidak normal. Berakhirnya secara
normal artinya perjanjian sewa-menyewa itu telah terpenuhi sebagaimana mestinya sesuai
dengan waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dan berakhir secara tidak normal
jika perjanjian sewa menyewa itu tidak terpenuhi sebagaimana mestinya karena adanya
berbagai faktor yang mempengaruhiny2a, sehingga sebelum jangka waktu yang disepakati itu
habis, perjanjian sewa menyewa itu dibatalkan.

1
Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur bandung, 1991), hlm. 45

2 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm.
B. RUMUSAN MAKALAH
a. Apakah pengertian sewa menyewa/ijarah
b. Apa saja macam macam sewa menyewa
c.Apa Syarat dan rukun sewa menyewa
d. jelaskan ayat tentang sewa menyewa dan hukumnya

BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian sewa menyewa/ijarah
Menurut bahasa kata sewa-menyewa berasal dari kata “Sewa” dan “Menyewa”, kata
“sewa” berarti pemakaian sesuatu dengan membayar uang sewa. Sedangkan kata “menyewa”
berarti memakai dengan membayar uang sewa. Sewa-menyewa dalam bahasa Arab diistilahkan
dengan al-ijarah, yang artinya upah, sewa, jasa atau imbalan.
Menurut Moh. Anwar ijarah adalah suatu perakadan (perikatan) pemberian kemanfa’atan
(jasa) kepada orang lain dengan syarat memakai „iwadh (penggantian/balas jasa) dengan uang
atau barang yang ditentukan.4 Jadi ijarah membutuhkan adanya orang yang memberi jasa dan
yang memberi upah.3
Abdur Rahman al-Jaziry dalam kitabnya al-Fiqh ala madzahib al arba‟ah menyebutkan
bahwa Ijarah menurut bahasa dengan dikasrohkan hamzahnya, didhomahkan hamzahnya, dan
difathahkan hamzahnya. Adapun dikasrohkan hamzahnya adalah lebih tersohor dan dengan
dikasroh jim4 didhomah jimnya, artinya adalah bahasan suatu pekerjaan atau amal perbuatan
Dalam pemahaman lain, pandangan Abu Syuja’ menyebutkan bahwa lafadz ijarah dengan
dibaca kasrah hamzahnya, menurut qaul (perkataan, pemahaman) yang masyhur secara bahasa
bermakna upah.Hendi Suhendi, menyatakan bahwa al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang
menurut bahasanya ialah al-„iwadi yang secara bahasa berarti ganti dan upah5. Sewa menyewa

3 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h1057
4 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 22

5
0 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, (Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 63
sesungguhnya merupakan suatu transaksi yang memperjual-belikan manfaat suatu harta
benda. Transaksi ini banyak sekali dilakukan oleh manusia, baik manusia jaman dahulu maupun
manusia jaman sekarang, atau dapat diartikan bahwa semua barang yang mungkin diambil
manfaatnya dengan tetap zatnya, sah untuk disewakan, apabila kemanfaatannya itu dapat
ditentukan dengan salah satu dari dua perkara, yaitu dengan masa dan perbuatan. Sewa
menyewa dengan mutlak (tidak memakai syarat) itu menetapkan pembayaran sewa dengan
tunai, kecuali apabila dijanjikan pembayaran dengan ditangguhkan. Pengertian sewa menyewa
dalam KUH Perdata adalah perjanjian, dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu
dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi
pembayarannya.
Berikut ini, untuk lebih jelasnya akan dijelaskan beberapa pengertian tentang sewa
menyewa menurut istilah, dari beberapa pandangan para ulama fiqh:
1. Syafi‟i dan Imam Taqiyyuddin, sewa menyewa atau ijarah ialah: “Transaksi terhadap manfaat
yang dituju, tertentu bersifat bisa dimanfaatkan dengan suatu imbalan tertentu”.
2. Malikiyah, sewa menyewa atau ijarah ialah: “Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang
bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan”.
3. Hambaliah, sewa menyewa atau ijarah ialah: ُ“Ijarah yaitu akad transaksi atau suatu
kemanfaatan yang diperoleh dan telah diketahui yang diambil sedikit demi sedikit pada tempo
waktu tertentu serta dengan ganti rugi tertentu”.
4. Syaikh Syihab ad-Din dan Syaikh Umairah, sewa menyewa atau ijarah ialah: ْ Akad atas
manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang
diketahui ketika itu”.
5. Syeikh al-Islam Abi Yahya Zakaria al-Anshori dalam kitab Fath Al Wahab, sewa menyewa atau
ijarah ialah: ُ
6 “Ijarah (sewa-menyewa) secara bahasa adalah nama untuk pengupahan sedang sewa-

menyewa secara syara‟ adalah memiliki atau mengambil manfaat suatu barang dengan
pengambilan (imbalan) dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan”.13 6. Muhamad Syafi’
Antonio, sewa menyewa atau ijarah adalah pemindahan hak bangunan atas barang atau jasa
melalui upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri .
Dari beberapa pendapat tentang sewa-menyewa tersebut dapat peneliti rumuskan bahwa
ijarah adalah suatu akad untuk mengambil manfaat suatu benda baik itu benda bergerak
maupun tidak bergerak yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar upah sesuai
dengan perjanjian yang telah ditentukan dan dengan syarat-syarat tertentu. Apabila akad sewa
menyewa telah berlangsung, penyewa sudah berhak mengambil manfaat dari benda yang ia

6
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, , (Jakarta: PT. Raja Graffindo Persada, 2003), Cet. – I, h. 231. hal senada
pun dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah yang menerangkan bahwa ijarah menjadi syah dengan ijab dan
qabul sewa, serta lafald atau ungkapan apa saja yang menunjukkan hal tersebut
sewa, dan orang yang menyewakan berhak pula mengambil upah sesuai dengan kesepakatan
awal yang telah disepakati, karena akad ini adalah mu‟awadhah (penggantian )

B. Syarat dan Rukun Sewa Menyewa


Suatu sewa-menyewa dapat dikatakan syah menurut hukum Islam apabila telah memenuhi
syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditentukan. Adapun rukun sewa-menyewa ada dua
golongan yang berpendapat yaitu: yang pertama golongan Abu Hanifah sewa-menyewa / ijarah
menjadi syah hanyalah dengan ijab dan qobul, yang kedua golongan Syafi’iyah, Malikiyah dan
Hambaliyah berpendapat bahwa rukun ijarah itu sendiri dari Mu‟ajir (pihak yang memberi
upah), serta musta‟jir (orang yang membayar ijarah), dan al ma‟qud „alaih (barang yang
disewakan). Hal yang berbeda yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq 7bahwa Ijarah Menjadi syah
dengan ijab qabul sewa yang berhubungan dengannya, serta lafal apa saja yang menunjukkan
hal tersebut.
Sedangkan definisi akad menurut ulama fiqih, yakni menurut ulama Madzab Hanafi,
terdapat dua pendapat. Pertama, didasarkan pada dalil qiyas (analogi). Akad ini tidak sah
karena obyek yang dibeli belum ada, oleh sebab itu akad ini termasuk dalam al bay al ma‟dum
(jual beli terhadap sesuatu yang tidak ada) yang dilarang Rasulullah. Kedua, madzab Hanafi
membolehkan akad ini didasarkan kepada dalil istihsan (berpaling dari kehendak qiyas karena
ada indikasi yang kuat yang membuat pemalingan ini) dengan meninggalkan kaidah qiyas.
Ulama Madzab Syafi’i juga berpendapat sebagian mereka berpegang dengan kaidah qiyas,
sehingga mereka berpendapat bahwa akad ini tidak boleh karena bertentangan dengan akidah
umum yang berlaku yaitu obyek yang ditransaksikan itu harus nyata.
Sewa-menyewa belum dikatakan syah sebelum ijab qabul dilakukan, sebab ijab qabul
menunjukkan kerelaan, pada dasarnya ijab qabul dilakukan dengan lisan, tapi kalau tidak
mungkin seperti bisu atau lainnya, maka boleh ijab qobul dengan surat menyurat yang
mengandung arti ijab qobul.
Orang yang melakukan akad ada 5 cara:
a. Akad dengan tulisan Cara ini dilakukan apabila kedua belah pihak berjauhan tempat, atau
orang yang melakukan akad itu bisu tidak dapat berbicara. Akad ini tidak dapat dilakukan jika
mereka berdua berada di satu majelis dan tidak ada halangan berbicara

7
6 Sudarsono, SH., Sepuluh Aspek Agama Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 149 27 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah ,Juz III, Bairut
: Daar al-Kitab, 1996, h.285
b. Akad dengan perantara Cara ini dilakukan apabila kedua belah pihak yang berakad dengan
syarat bahwa si utusan di satu pihak menghadap pada pihak lainnya. Jika tercapai kesepakatan
antara kedua pihak, akad sudah menjadi syah.
c. Akad dengan bahasa isyarat Akad dengan bahasa isyarat syah bagi orang bisu, karena isyarat
bagi orang bisu merupakan ungkapan dari apa yang ada di dalam jiwanya. Namun hal ini tidak
ada sumbernya baik dari al Qur’an maupun sunnah
d. Akad dengan lisan Cara ini bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari yaitu dengan kata-
kata, bahasa apapun, asal dapat dipahami pihak-pihak yang bersangkutan itu dapat digunakan.
e. Akad dengan perbuatan Misalnya seorang penyewa menyerahkan sejumlah uang tertentu,
kemudian orang yang menyewakan menyerahkan barang ayng disewakan. Yang penting jangan
sampai terjadi semacam penipuan dan kedua belah pihak saling rela.
Ijab qobul adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah satu pihak yang melakukan
akad, hal ini tidak di tentukan pada salah satu pihak8melainkan siapa yang memulainya.
Sedangkan qobul adalah yang keluar dari pihak yang lain sesudah adanya ijab yang
dimaksudkan untuk menerangkan adanya persetujuan. Perkataan ijab dan qobul itu harus jelas
pengertiannya menurut “urf” dan haruslah ijab itu masalah sewa menyewa, maka qobulnya
juga masalah sewa menyewa. Demikian juga misalnya jika ijab qobul dalam sewa menyewa
dengan harga Rp. 500,- maka Qobulnya juga harus Rp. 500,- tidak boleh yang lain
1) Kewajiban-kewajiban bagi orang yang menyewakan, yaitu :
a) Mengizinkan pemakaian barang yang disewakan dengan memberikan kuncinya bagi rumah
dan sebagainya kepada orang yang menyewanya.
b) Memelihara kebesaran barang yang disewakannya, seperti memperbaiki kerusakan dan
sebagainya, kecuali sekedar menyapu halaman, ini kewajiban penyewa.
2) Kewajiban-kewajiban bagi penyewa, yaitu:
a) Membayar sewaan sebagaimana yang telah ditentukan
b) Membersihkan barang sewaannya
c) Mengembalikan barang sewaannya itu bila telah habis temponya atau bila ada sebab-sebab
lain yang menyebabkan selesainya / putusnya sewaan9.

8
8 Hamzah Ya’qub, Op.Cit., h.321
99 Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), cet. –I, h. 424
3) Ketentuan bagi penyewa, yaitu:
a) Barang sewaan itu merupakan amanat pada penyewa, jadi kalau terjadi kerusakan karena
kelalaiannya, sepertikebakaran, ia wajib mengganti : kecuali kalau tidak karena kelalaiannya
b) Bagi penyewa diperbolehkan mengganti pemakai sewaannya oleh orang lain, sekalipun tidak
seizin yang menyewanya, kecuali jika di waktu sebelum akad, ditentukan bahwa penggantian
itu tidak boleh, adanya penggantian pemakaian
c) Bagi orang yang menyediakan barang-barang, boleh menggantikan barang sewaannya
dengan yang seimbang dengan barang yang semula.

d) Kalau terjadi perselisihan pengakuan antara penyewa dan yang menyewakan pada
banyaknya upah atau temponya atau ukuran manfaat sewaan dan sebagainya, sedangkan tak
ada saksi atau keterangan-keterangan lain yang dapat dipertanggung jawabkan, maka kedua
belah pihak harus bersumpah.
C. Macam-Macam Sewa Menyewa
Menurut sebagian ulama’, ijarah dibagi menjadi 2 (dua) macam :
1. Ijarah „ain, yaitu menyewa dengan memanfaatkan benda yang kelihatan dan dapat dirasa.
Seperti menyewa sebagian tanah, atau sebuah rumah yang sudah jelas untuk ditempati dan
lain-lain.
2. Ijarah atas pengakuan, yaitu mengupahkan benda untuk dikerjakan, menurut pengakuan si
pekerja, bahwa barang itu akan diselesaikan dalam jangka waktu tertentu dan menurut upah
yang ditentukan.
Disamping itu Abdurrohman al Jaziri juga membagi ijarah menjadi dua bagian yaitu :
1. Bahwasanya akad itu berlaku karena kegunaan (memanfaatkan) benda yang juga
diketahui dan tertentu. Sebagaimana seorang berkata pada orang lain, “saya menyewakan unta
ini atau rumah ini”.10

2. Atau berlaku atas kegunaan (memanfaatkan) benda dengan sifat-sifat tertentu, seperti
“saya menyewakan padamu unta yang sifatnya demikian”. Bahwasanya akad itu berlaku atas
suatu pekerjaan yang telah diketahui, seperti seseorang telah berkata kepada orang lain “saya
memburuhkan kepadamu agar kamu membangun tempat ini”.
Dari pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat serta pembagian sewamenyewa (ijarah)
yang telah diuraikan di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa ijarah ini adalah membahas
segala sesuatu yang berhubungan dengan sewa-menyewa barang yang bergerak, sewa-
menyewa barang yang tidak bergerak dan sewa-menyewa tenaga (perburuhan). Tentang

10Abdur Rahman Al-Jaziri, Loc.Cit. h.90 50


Hamzah Ya’qub, Op.Cit., h. 317 51 Ibid., h. 322
persewaan tanah para fuqoha banyak sekali terjadi perselisihan pendapat. Segolongan fuqoha’
tidak membenarkan sewamenyewa tanah dalam bentuk apapun karena dalam perbuatan
tersebut terdapat kesamaran dimana pihak pemilik tanah memperoleh keuntungan pasti,
sementara itu pihak penyewa berada dalam keadaan untung-untungan boleh jadi berhasil dan
boleh jadi gagal, karena tertimpa bencana. Pendapat ini dikemukakan oleh Thawus dan Abu
Bakar bin Abdur Rahman11.
Adapun jumhur fuqaha’ pada dasarnya membolehkan tetapi mereka memperselisihkan
tentang jenis barang yang dipakai untuk menyewakan (alat/ganti sewa). Sekelompok fuqaha’
mengatakan bahwa persewaan tanah itu hanya diperbolehkan dengan uang dirham dan dinar
saja. Pendapat ini dikemukakan oleh Rubi’ah dan Said al Musayyad. Sekelompok lain
mengatakan, bahwa persewaan tanah boleh dilakukan dengan semua barang kecuali makanan,
baik dengan makanan yang tumbuh dari tanah tersebut 12ataupun bukan. Mereka juga
berpendapat bahwa persewaan tanah dengan makanan termasuk dalam penjualan makanan
dengan makanan tertunda.Fuqaha’ yang membolehkan persewaan tanah dengan semua
barang, makanan dan lainnya yang keluar dari tanah, mereka mengemukakan alasan bahwa
penyewaan tanah pada dasarnya adalah penyewaan sesuatu manfaat yang tertentu dengan
sesuatu yang tertentu pula, karenanya hal itu diperbolehkan dengan mengqiyaskan semua
manfaat

D. Hal-Hal yang Membatalkan Sewa Menyewa


adapun hal yang menyebabkan batal/berakhirnya sewa-menyewa menurut Sayyid Sabiq
adalah disebabkan hal-hal sebagai berikut:
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan, terjadinya cacat itu karena kesalahan penyewa.
2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan kebakaran.
3. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah di tentukan dan
selesainya suatu pekerjaan.
4. Rusaknya barang yang diupahkan (ma‟jur „alaih) seperti baju yang diupahkan untuk
dijahitkan.
5. Menurut madzhab Hanafi apabila ada uzur seperti rumah disita, maka akad berakhir.

Sedangkan menurut jumhur ulama, bahwa uzur yang membatalkan ijarah itu apabila
obyeknya mengandung cacat atau manfaatnya hilang seperti kebakaran dan dilanda banjir.
Menurut Chairuman Pasaribu dalam bukunya hukum perjanjian dalam Islam bahwa hal yang
menyebabkan berakhirnya sewa-menyewa disebabkan karena Sebab-sebab berakhirnya

11
Sebab-sebab berakhirnya perjanjian sewa-menyewa juga sama dengan yang dikemukakan oleh M. Ali Hasan dalam bukunya
Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, h. 238, Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, h. 122, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi
Islam, h. 149
12 6 Chairuman Pasaribu, Op.Cit., h. 57 – 58.
perjanjian sewa-menyewa juga sama Sudah terpenuhinya manfaat yang diperjanjikan / sudah
selesainya pekerjaan. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah tujuan perjanjian sewamenyewa
telah tercapai. Misalnya, perjanjian sewa-menyewa rumah selama satu tahun , penyewa telah
memanfaatkan rumah selama satu tahun, maka perjanjian sewa-menyewa batal dengan
sendirinya. Hal senada juga diungkapkan oleh Muhammad Anwar dalam bukunya Fiqh Islam,
bahwa hak untuk mengembalikan barang sewaan itu bila telah habis tempatnya atau ada
sebab-sebab lain yang menyebabkan selesainya perjanjian
E.TAFSIR AYAT DAN HUKUMNYA
Untuk hukum ijarah atau sewa menyewa ini adalah mubah ataau diperbolehkan syara’.
Namun ada beberapa ulama yang memiliki perbedaan pendapat yakni Abu Bakar Al-Asham,
Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan.
Para ulama tersebut idak memperbolehkan ijarah karena ijarah merupakan jual beli
manfaat tidak bisa diserahterimakan ketika akad terjadi. Manfaat hanya bisa dirasakan ketika
sudah beberapa waktu. Namun tanggapan tersebut disanggah oleh ibn Rush, meskipun
manfaat belum ada ketika akad dilakukan, namun pada galibnya ia (manfaat) akan terwujud,
dan inilah yang menjadi perhatian dan pertimbangan syara’.
Dalam Al-Quran dijelaskan beberapa ayat tentang praktik ijarah seperti dalam potongan
surah Al-Baqarah 233:

َ ‫علَ ْي ُك ْم ِإذَا‬
‫سلَّ ْمت ُ ْم َما آت َ ْيت ُ ْم‬ َ ‫ست َ ْر ِضعُوا أ َ ْو ََل َد ُك ْم فَ ََل ُجنَا‬
َ ‫ح‬ ْ َ ‫َو ِإ ْن أ َ َر ْدت ُ ْم أ َ ْن ت‬
‫وف‬ِ ‫بِا ْل َم ْع ُر‬
ARTINYA:“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
TAFSIR: Muhammad Sulaiman Al Asyqar, memberikan tafsir atas ayat diatas sebagai
berikut;Frasa “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain yakni meminta agar yang
menyusui anak adalah wanita lain selain ibu si anak. maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran”, 13dimaksudkan tidak mengapa jika meminta agar yang menyusui
anak adalah wanita lain selain ibu kandung asalkan pihak yang meminta tdai memberi upah

13 Zubdztut tafsir fathil qzdir,hal 37


kepada ibu sang anak sesuai dengan lamanya waktu menyusui, atau memberi upah kepada
yang diminta untuk menyusui sang anak. (dengan cara yang ma’ruf) maksudnya adalah tidak
menunda-nunda atau mengurangi upah tersebut, karena tidak memberi upah secara baik
kepada mereka yang diminta menyusukan sang anak, menunjukkan bahwa sang ayah
meremehkan dan lalai dalam urusan sang anak. Selain itu, maksud lain dari kata ma’ruf dalam
ayat adalah tidak ada unsur mudharat bagi ibu kandung, dibolehkannya meminta orang lain
menjadi ibu susu untuk sang anak itu dengan syarat tidak memberikan mudharat kepada ibu
kandung, sebagaimana dijelaskan diawal ayat.

Surah al-Qasas ayat 26:

ُّ ‫ستَأ ْ َج ْرتَ ا ْلقَ ِو‬


‫ي ْاْل َ ِمي ُن‬ ْ ‫ستَأ ْ ِج ْرهُ ۖ إِ َّن َخ ْي َر َم ِن ا‬ ِ َ‫قالَتْ إِحْ دَا ُه َما يَا أَب‬
ْ ‫تا‬
ARTINYA:". Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".

TAFSIR;dalam Tafsir Quraish Shihab dijelaskan bahwa Salah seorang dari keduawanita itu
berkata, "Wahai Ayah, pekerjakan pemuda itu untuk menggembala atau mengurus domba
peliharaan kita dengan gaji Sungguh ia adalah orang yang paling baik yang engkau pekerjakan,
karena tenaganya kuat dan dirinya dapat dipercaya14." Tafsir Al-Muyassar Kementerian Agama
Saudi Arabia sebagai berikut Salah satu dari putrinya berkata, "Wahat ayahandaku! Pekerjakan
dia anak menggembalakan kambing kita, dia pantas untuk engkau pekerjakan karena dia
menggabungkan antara fisik yang kuat dan amanah. Dengan kekuatannya dia menjalankan
tugas yang dibebankan kepadanya dan dengan amanat dia menjaga apa yang disyariatkan
kepadanya
Berdasarkan nash diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian perburuhan dengan
menggunakan tenaga manusia /menyewa tenaga manusia guna melancarkan suatu pekerjaan
dibenarkan dalam islam dengan kata lain pelaksanaan pemberian upah atau upah kerja yang
merupakan ijarah dalam hukum islam

Al-ijarah dalam surat At-Thalaq ayat 26:

َ ‫فَ ِإ ْن أ َ ْر‬
َ ‫ض ْع َن لَ ُك ْم فَآتُو ُه َّن أ ُ ُج‬
‫ور ُه َّن‬
ARTINYA: Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untuk mu maka berikanlah
kepada mereka upahnya.

14
Hendi Suhendi,fiqh muamalah,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2002),hal. 116
TAFSIR:Ayat surah at-thalaq
ُ ayat 6 ini menunjukan bahwa terkait akad ijarah sebab bentuk
ُ َ ُ َّ ُ ُ َ
kalimat dari ‫وره َّن‬ ‫ فآتوهن أج‬merupakan buntuk kalimat perintah dan dalam hal ini perintah di
dalam ushul fiqh menunjukkan kewajiban upah hanya bisa diwajibkan atau dapat juga
ditetapkan oleh akad atau transaksi.
Sehingga ayat ini secara pasti di arahkan kepada “menyusui yang disertai dengan adanya akad
ijarah.ayat-ayat tersebut secara tersurat merupakan landasan yang jelas bahwa pemberian
upah orang lain 15yang bekerja untuk dirinya diperkenankan.praktek seperti ini dalam fiqih
muamalah dikenal dengan nama akad Ijarah.

Fatwa DSN-MUI Tentang Pembiayaan Ijarah Ketentuan objek ijarah dan kewajiban Lembaga
Keuangan Syariah dan nasabah dalam pembiayaan ijarah di dalam Fatwa Dewan Syariah
Nasional No. 9/DSN-MUI/2000, tentang pembiayaan ijarah16, yaitu:
Pertama: Rukun dan Syarat Ijarah :
1. Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad
(berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2. Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan penyewa/pengguna
jasa.
3. Objek akad ijarah yaitu :
a) Manfaat barang dan sewa, atau
b) Manfaat jasa atau upah
Kedua: Ketentuan Objek Ijarah :
1. Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.
2. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3. Manfaat barang atau jasa harus bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
5. Manfaat barang atau jasa harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk
menghilangkan jahalah (ketidakjelasan) yang akan mengakibatkan sengketa.
6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga
dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7. Sewa atau upah harus disepakati dalam akad dan wajib dibayar oleh penyewa/pengguna
jasa kepada pemberi sewa/pemberi jasa (LKS) sebagai pembayaran manfaat atau jasa. Sesuatu
yang dapat dijadikan harga (tsaman) dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam
ijarah.

15
2 Standar Operasional Prosedur Koperasi Jasa Keuangan Syariah dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi Peraturan Menteri
Tahun 2007, h. 129

16
Fatwa DSN NO.09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah. Lihat, dalam Himpunan Fatwa DSN MUI, 2014, h. 96
8. Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama
dengan objek kontrak.
9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran
waktu, tempat dan jarak17.
Ketiga Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah
1. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa :
a. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan.
b. Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c. Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.

2. Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa :


a. Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta
menggunakannya sesuai akad (kontrak).
b. Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
c. Jika barang yang dirusak. Bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga
bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab
atas kerusakan tersebut.
Keempat: jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah

17 Fatwa DSN NO.09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah. Lihat, dalam Himpunan Fatwa DSN MUI, 2014, h. 96.
BAB II PENUTUP
A.KESIMPULAN
Dari penjelasan dan pemaparan makalah diatas baik itu definisi, syarat dan rukun-
rukunnya dapat disimpulkan bahwa Ijarah adalah salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam
memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa dan lain-lain
dengan ada imbalannya atau upahnya
Dalam memaknai ijarah itu sendiri banyak perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan
para ulama. Namun intinya mereka menyetujui adanya ijarah setelah memenuhi ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan oleh masing-masing para ulama, sehingga meskipun terjadi
perbedaan didalamnya selalu ada pemecahan persoalan terhadap permasalahan-permasalan
yang timbul dikarenakan hal-hal yang terkait dengan ijarah itu sendiri.
Islam memperbolehkan ijarah/sewa menyewa yang telah tercantum dalam al-Quran yang
salah satunya surah At-thalaq ayat 26 yang merupakan ayat yang memperbolehkan ijrah/sewa
َ ‫فَآتُوه َُّن أ ُ ُج‬
mennyewa dengan upah yang sesuai akad dalam surah at-thalaq disebutkan ‫ورهُن‬
merupakan buntuk kalimat perintah dan dalam hal ini perintah menunjukkan kewajiban upah
hanya bisa diwajibkan atau dapat juga ditetapkan oleh akad atau transaksi.

B.PENUTUP

Demikianlah makalah kami sebagai tugas perkuliahan Tafsir Ayat Ekonomi pada semester
dua ini.namun kami dari kelompok tiga menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang tidak
perna luput dari kesalahan,
sehingga secara pribadi kami sangat megharapkan adanya kritik dan saran dari teman-
teman sekalian maupun bapak dosen sebagai pembimbingdalam mata kuliah ini.kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini agar nantinya dapat
bermanfaat bagi seluruh pembaca khususnya bagi penulis sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Bandung:
Sumur bandung, 1991), hlm. 45
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm.
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),
h1057
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 227
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, (Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, 1996),
h. 6
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, , (Jakarta: PT. Raja Graffindo Persada,
2003), Cet. – I, h. 231.
Sudarsono, SH., Sepuluh Aspek Agama Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 149 27 Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah ,Juz III, Bairut : Daar al-Kitab, 1996, h.28
Hamzah Ya’qub, Op.Cit., h.321
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), cet. –I, h. 424
Abdur Rahman Al-Jaziri, Loc.Cit. h.90 50
Hamzah Ya’qub, Op.Cit., h. 317 51 Ibid., h. 322
M. Ali Hasan dalam bukunya Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, h. 238, Hendi Suhendi,
Fiqh Muamalah, h. 122, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, h. 149
Chairuman Pasaribu, Op.Cit., h. 57 – 58.
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), h. 150 –
Zubdztut tafsir fathil qzdir,hal 37
Hendi Suhendi,fiqh muamalah,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2002),hal. 116
Fatwa DSN NO.09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah. Lihat, dalam Himpunan
Fatwa DSN MUI, 2014, h. 96

Standar Operasional Prosedur Koperasi Jasa Keuangan Syariah dan Unit Jasa Keuangan Syariah
Koperasi Peraturan Menteri Tahun 2007, h. 129
Fatwa DSN NO.09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah. Lihat, dalam Himpunan
Fatwa DSN MUI, 2014, h. 96.

Anda mungkin juga menyukai