1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan .................................................................................................. 21
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami berhasil
menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya, yaitu
dengan topik pembahasan “Perjanjian Sewa Menyewa”.
Dalam kesempatan ini tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada
Bapak Prima Aji Putra,M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum
Bisnis Pendidikan dan semua pihak yang telah mendukung kami dalam
penyusunan makalah ini, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat
sebelum waktu yang ditentukan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini
supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar – besarnya.
Kelompok 7
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, maka dari itu
setiap manusia pasti bergantung dengan manusia lainnya. Kehidupan sehari hari
manusia tidak dapat terlepas dari hubungan antara satu sama lain karena pada
dasarnya manusia saling membutuhkan, dalam kegiatannya manusia diharuskan
untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri ataupun kebutuhan
orang lain.kebutuhan-kebutuhan tersebut berupa sandang, pangan dan papan.
Kebutuhan warga negara Indonesia telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar1945
dalam memenuhi penghidupan yang layak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27
ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa :Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan adanya keadaan
demikian menyebabkan terciptanya suatu perjanjian sewa menyewa untuk
memenuhi kebutuhan tersebut dengan tidak mengabaikan konteks ekonomi.
Perjanjian sewa menyewa ini merupakan perjanjian yang penting karena
sering dilakukan dalam praktek kehidupan masyarakat. Suatu perjanjian dapat
menimbulkan hak dan kewajiban antara pihak yang menyewakan berkewajiban
menyerahkan barang kepada pihak penyewa, sedangkan pihak penyewa mempunyai
hak untuk membayar harga sewa kepada pihak yang menyewakan. Untuk
menghindari kecurangan yang dapat menimbulkan wanprestasi dalam perjanjian
dibutuhkan hukum, aturan, dan tata cara mengenai perjanjian sewa menyewa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan dasar Hukum Perjanjian sewa-menyewa ?
2. Apa saja hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa menyewa ?
3. Bagaimana perjanjian sewa menyewa dalam hukum Islam ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dan dasar hukum perjanjian sewa menyewa.
2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa
menyewa.
4
3. Untuk mengetahui perjanjian sewa-menyewa dalam hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Abdul Kadir Muhammad, Hukum perdata Indonesia,(Bandung : Citra Aditya bakti,2010)h.345
2
Subekti, Pokok-pokok Hukum perdata. (Jakarta : intermasa,1980)h.164
5
Disebutkannya perkataan “waktu tertentu” dalam uraian Pasal 1548 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, menimbulkan pertanyaan apakah maksudnya itu,
karena dalam perjanjian sewa menyewa sebenarnya tidak perlu disebutkan untuk
berapa lama barang disewakan, asal sudah diketahui berapa harga sewanya untuk
satu jam, satu hari, satu bulan, atau satu tahun. Ada yang menafsirkan bahwa
maksudnya tidak lain dari pada untuk mengemukakan bahwa pembuat undang-
undang memang memikirkan pada perjanjian sewa menyewa di mana waktu sewa
ditentukan, misalnya untuk enam bulan, untuk dua tahun, dan sebagainya. Menurut
Subekti, penafsiran yang demikian adalah tepat. Suatu petunjuk terdapat dalam Pasal
1579 Kitab Undang-Undang hukum Perdata, yang hanya dapat dimengerti dalam
alam pikiran yang dianut oleh seorang yang pikirannya tertuju pada perjanjian sewa
menyewa di mana waktu sewa itu ditentukan.Pasal 1579 Kitab Undang-Undang
hukum Perdata tersebut berbunyi: “Pihak yang menyewakan tidak dapat
menghentikan sewanya dengan menyatakan kecuali jika telah hendak diperjanjikan
memakai sebaliknya”.
Pasal tersebut ditujukan dan juga hanya dapat dipakai terhadap
perjanjiansewamenyewa dengan waktu tertentu. Selayaknya seorang yang sudah
menyewakan barangnya misalnya untuk lima tahun, tidak boleh menghentikan
sewanya jika waktu belum habis, dengan dalih bahwa ia ingin memakai sendiri
barang yang disewakan itu. Tetapi kalau ia menyewakan barangnya tanpa
ditetapkannya suatu waktu tertentu, sudah barang tentu ia berhak menghentikan sewa
itu setiap waktu asal ia mengindahkan cara-cara dan jangka waktu yang diperlukan
untuk pemberitahuan pengakhiran sewa menurut kebiasaan setempat.
Meskipun demikian, peraturan tentang sewa menyewa yang termuat dalam
bab ketujuh dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku untuk
macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu
tertentu, oleh karena waktu tertentu bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa
menyewa.
Harga sewa dalam perjanjian sewa menyewa tidak harus berupa uang.
Apabila dalam jual beli harga harus berupa uang, karena kalau berupa barang
perjanjiannya bukan jual beli lagi tetapi menjadi tukar menukar, tetapi dalam sewa
menyewa tidaklah menjadi keberatan bahwa harga sewa itu berupa barang atau jasa.
6
Pentingnya sewa-menyewa pada prinsipnya adalah suatu bentuk dari
timbulnya hubungan ekonomis antara pemilik tempat (yang menyewakan) dan
penyewa tempat. Pemilik tempat dalam hal ini akan mendapatkan keuntungan
berupa sejumlah uang dari penyewa. Sedangkan penyewa mendapatkan keuntungan
dengan menggunakan tempat usaha sebagai tempat usaha.3
Meskipun sewa menyewa adalah suatu perjanjian konsensual, namun oleh
undang-undang diadakan perbedaan (dalam akibat-akibatnya) antara sewa tertulis
dengan sewa lisan. Jika sewa menyewa itu diadakan secara tertulis, maka sewa itu
berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang ditentukan sudah habis, tanpa
diperlukannya sesuatu pemberitahuan pemberhentian untuk itu. Sebaliknya apabila
sewa menyewa itu dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu
yang ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada
si penyewa bahwa ia hendak menghentikan sewanya, pemberitahuan mana harus
dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan
setempat. Jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggap sewa itu
diperpanjang untuk waktu yang sama. Perihal sewa menyewa tertulis diatur dalam
Pasal 1570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Jika sewa dibuat
dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan
telah lampau, tanpa diperlukannya sesuatu pemberhentian untuk itu”.
Mengenai perjanjian sewa-menyewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam
pasal 1571 kitab undang-undang hukum perdata yang berbunyi : “Jika sewa tidak
dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan,
melainkan jika pihak lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan
mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan
setempat”.
Menurut Pasal 1587 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jika seorang
penyewa sebuah rumah atau ruangan, setelah berakhirnya waktu sewa yang
ditentukan dalam suatu perjanjian sewa tertulis, dibiarkan menempati rumah atau
ruangan tersebut, maka dianggap si penyewa itu tetap menguasai barang yang
disewakan atas dasar syarat-syarat yang sama, untuk waktu yang ditentukan oleh
kebiasaan setempat dan tak dapatlah ia meninggalkan rumah atau ruangan itu atau
3
Gary Hadi,dkk. Penerapan asas itikad baik dalam perjanjian sewa menyewa (iktikad terhadap perjanjian
sewa-menyewa outlet di Hermes building Medan). USU law journal. Vol.5,No.2 (April 2017)h.65
7
dikeluarkan dari situ, melainkan dilakukan pemberitahuan penghentian sewanya
menurut kebiasaan setempat. Maksudnya adalah bahwa sewa tertulis tersebut,
setelah habis waktunya dan penyewa dibiarkan menempati rumah sewa, berubah
menjadi sewa lisan tanpa waktu tertentu yang hanya dapat diakhiri menurut
kebiasaan setempat.
4
Subekti, Pokok-pokok Hukum perdata. (Jakarta : intermasa,1980)h.49
8
terkecuali pembetulan-pembetulan kecil yang menjadi wajibnya si penyewa. Juga ia
harus menanggung si penyewa terhadap semua cacat dari barang yang disewakan
yang merintangi pemakaian barang itu, biarpun pihak yang menyewakan itu sendiri
tidak mengetahuinya pada waktu dibuatnya perjanjian sewa-menyewa. Jika cacat-
cacat itu telah mengakibatkan suatu kerugian bagi si penyewa, maka kepadanya
pihak yang menyewakan diwajibkan memberikan ganti kerugian (Pasal 1551 dan
Pasal 1552 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Kewajiban memberikan kenikmatan tenteram kepada si penyewa
dimaksudkan sebagai kewajiban pihak yang menyewakan untuk menanggulangi atau
menangkis tuntutan-tuntutan hukum dari pihak ke tiga, yang misalnya membantah
hak si penyewa untuk memakai barang yang disewanya. Kewajiban tersebut tidak
meliputi pengamanan terhadap gangguan-gangguan fisik, misalnya orang-orang
yang melempari rumahnya dengan batu atau tetangga membuang sampah
dipekarangan rumah yang disewa, dan lain sebagainya, Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 1556 yang berbunyi: “Pihak yang menyewakan tidaklah diwajibkan menjamin
si penyewa terhadap rintangan-rintangan dalam kenikmatannya yang dilakukan oleh
orang-orang pihak ke tiga dengan peristiwa-peristiwa tanpa memajukan sesuatu hak
atas barang yang disewa; dengan tidak mengurangi hak si penyewa untuk menuntut
sendiri orang itu”.
Bagi si penyewa mempunyai hak utama untuk menikmati barang yang
disewanya. Menurut Pasal 1560 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bagi si
penyewa ada dua kewajiban utama ialah:
1. Memakai barang yang disewa sebagai seorang “bapak rumahyang baik”,
sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut perjanjian
sewanya;
2. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan menurut
perjanjian.
Kewajiban untuk memakai barang sewaan sebagai seorang “bapak rumah
yang baik” berarti kewajiban untuk memakainya seakan-akan itu barang
kepunyaannya sendiri. Jika si penyewa memakai barang yang disewa untuk suatu
keperluan lain dari pada yang menjadi tujuan pemakaiannya, atau suatu keperluan
sedemikian rupa hingga dapat menerbitkan kerugian kepada pihak yang
menyewakan, maka pihak ini menurut keadaan dapat meminta pembatalan sewanya
9
(Pasal 1561 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Misalnya, sebuah rumah
kediaman dipakai untuk perusahaan atau bengkel mobil. Pasal 2 UUPA Nomor 5
Tahun 1960 menentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang
disebut tanah dapat diberikan kepada dan dimiliki oleh orang-orang, baik
perseorangan maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.5
Apabila yang disewa itu sebuah rumah kediaman, maka si penyewa
diwajibkan memperlengkapi rumah itu dengan perabot rumah secukupnya; jika
tidak, ia dapat dipaksa untuk mengosongkan rumah itu, kecuali jika ia memberikan
cukup jaminan untuk pembayaran uang sewanya (Pasal 1581 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata). Dari ketentuan ini dapat kita lihat bahwa perabot rumah itu
dijadikan jaminan untuk pembayaran uang sewa.
Seorang penyewa diwajibkan melakukan pembetulan-pembetulan kecil dan
sehari-hari. Pasal 1583 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan
penjelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan pembetulan-pembetulan kecil dan
sehari-hari sebagai berikut: “Jika tidak ada persetujuan, maka dianggap sebagai
demikian: pembetulan-pembetulan pada lemari-lemari , tutupan jendela, kunci-kunci
dalam, kaca-kaca jendela dan segala sesuatu yang dianggap termasuk itu, menurut
kebiasaan setempat”.
Selanjutnya bagi seorang penyewa tanah, oleh Pasal 1591 Kitab
UndangUndang Hukum Perdata diletakkan kewajiban, atas ancaman membayar
ganti rugi untuk melaporkan kepada si pemilik tanah tentang segala peristiwa yang
dilakukan di atas pekarangan-pekarangan yang disewa. Maksudnya adalah bahwa si
pemilik dapat mengambil tindakan-tindakan yang diangapnya perlu untuk
menghentikan perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan pada tanah
miliknya.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, perbuatan sewa menyewa melingkupi
lima unsur, yaitu :
1. Persetujuan adalah adalah perbuatan yang menyatakan tercapainya kata
sepakat antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa mengenai
benda sewaan, uang sewa, waktu sewa, dan persyaratan sewa menyewa;
5
Manaon Damianus sirait.Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Kantor. Jurnal analogi
hukum, Vol.2,No.2 (2020)h.222
10
2. Penyerahan adalah perbuatan mengalihakn hak penguasaan benda sewaan
dari pihak yang menyewakan ke pihak penyewa untuk dinikmati;
3. Pembayaran uang sewa adalah perbuatan memberikan sejumlah uang dari
pihak penyewa kepada pihak yang menyewakan sebagai kontra prestasi atas
benda yang dikuasai untuk dinikmati oleh penyewa;
4. Waktu sewa adalah ukuran lamanya sewa menyewa berlangsung;
5. Persyaratan sewa menyewa adalah ketentuan yang disepakati bersama untuk
memungkinkan pemenuhan kewajiban dan memperoleh hak pihak yang
menyewakan dan pihak penyewa. 6
b. Malikiyah
Mazhab Maliki berpendapat yang dimaksud dengan ijarah adalah:
6
Abdul Kadir Muhammad, Hukum perdata Indonesia,(Bandung : Citra Aditya bakti,2010)h.346
7
Sayyid Muhammad murthada al-husaini Al Zubaidi, Taj al-‘arus min Jawahir al-qamus. (Kuwait:Matba'ah
al Khayriyyahq,1972)h.25
11
ع ِن ا ْل َم ْنفَ َع ِة
َ اح مدَّةَ َم ْعل ْو َمة ِبع َِوضغَي ِْر نَا ِش ْيء َ ع ْقد ي ِفيْد تَ ْم ِليْكَ َمنَاف ِِع
ِ َش ْى ء مب َ : ارة
َ اإل َج
Artinya :“Ijarah adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat
suatu barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan
berasal dari manfaat.”
c. Syafi’iyah
Adapun menurut ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan akad ijarah
adalah:
لى َم ْنفَ َعة َمقص ْو دَة َم ْعل ْو َمة قَا ِبلَة ِل ْلبَدْ ِل َواإلبَا َح ِة ِبع َِوض َم ْعل ْوم
َ عَ ع ْقد
َ : ار ِة ِ ع ْق ِد
َ اإل َج َ َو َحد
Artinya :“Definisi akad ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang
dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan
tertentu.”
d. Hanabilah
Menurut ulama hanabilah, yang dimaksud dengan ijarah adalah :
وهي عقد على منفعة مباحة معلومة تؤخذ شيئا فشيئا مدة معلومة من عين معلومة أو
8
Syarif al-Din Musa IBN Ahmad Ibnu Musa abu Al Najah alhijawi. Al-iqna’ fi fiqh al-Imam Ahmad bin
Hambal. (Beirut:Dar al-ma’rifah,1994)h.283
12
Para ulama selain Abu Bakar al-Asham, Ismail Ibn ‘Ulyah, al-Hasan al-
Bashri, al-Qasyani, al-Nahrawani, dan Ibn Kaisan telah sepakat
memperbolehkan akad ijarah berdasarkan dalil-dalil hukum Islam yang akad
dikemukakan di bawah ini. Adapun mereka yang tidak memperbolehkan
berargumen karena ij?rah itu merupakan jual beli manfaat, sedangkan manfaat
itu ketika terjadinya akad termasuk sesuatu yang tidak bisa diketahui dan
dikuasai. Begitu juga dan lambat laun akan habis sesuai zaman. Menurut mereka
sesuatu yang tidak bisa dikuasai tidak memungkinkan bisa diperjualbelikan.
Selain itu tidak diperbolehkan penyandaran jual beli kepada sesuatu pada masa
yang akan datang.9
Akan tetapi alasan mereka tersebut dibantahnya itu sekalipun tidak oleh
bisa ulama dikuasai ketika terjadinya akad, namun dapat dipergunakan pada
umumnya dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kebolehan ijarah ini
perlawanan dengan qiya’, karena akad terhadap manfaat yang tidak diketahui.
Namun karena alasan kebutuhan, maka ijarah ini diperbolehkan. Hal ini sesuai
dengan kaidah fiqih.
القاعدة الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة
“Kebutuhan itu menempati posisi darurat baik bersifat umum maupun khusus.”
Dalil-dalil hukum Islam tentang landasan yuridis keabsahan akad ijarah
adalah al-Quran, hadis, ijma’. Adapun dalil-dalil Al-Quran yang menunjukkan
keabsahan akad ijarah adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an Surah At-talaq : 6
َّض ْعنَ َح ْملَهن
َ علَ ْي ِهنَّ َحتّٰى َي
َ ت َح ْمل فَا َ ْنفِق ْوا َ َوا ِْن كنَّ ا
ِ وال
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya ,... “ (Q.S al-Thalaq: 6).
ضيِف ْوه َما ف ََو َجدَا فِ ْي َها ِجدَارا ي ِريْد اَ ْن ْ طلَقَا ۗ َحتّٰى اِذَا اَتَيَا اَ ْه َل قَرْ يَ ِة ِا ْست
َ َطعَ َما اَ ْهلَ َها فَاَبَ ْوا اَ ْن ي َ فَا ْن
َ َيَّ ْنقَضَّ فَاَقَا َمه ۗقَا َل لَ ْو شِ ئْتَ َلتَّ َخ ْذت
ع َل ْي ِه اَجْ را
“Maka keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk
suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi
9
Emang Hidayat, Transaksi ekonomi syariah. (Bandung : PT. Remaja rosdakarya,2016)h.37
13
mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka, kemudian
keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu),
lalu dia menegakkannya. Dia (Musa) berkata, “Jika engkau mau, niscaya
engkau dapat meminta imbalan untuk itu.”(Q.S Al-Kahfi:77)
14
Berdasarkan nas-nas di atas, para ulama ijma tentang kebolehan akad
ijarah karena manusia senantiasa membutuhkan manfaat dari suatu barang atau
tenaga orang lain. Manfaat dalam konsep bicara mempunyai pengertian yang
sangat luas meliputi imbalan manfaat atas manfaat suatu benda atau upah
terhadap suatu pekerjaan tertentu. Jadi, ijarah merupakan transaksi terhadap
manfaat suatu barang dengan suatu imbalan yang disebut dengan sewa-
menyewa. Ijarah juga mencakup transaksi terhadap suatu pekerjaan tertentu,
yaitu adanya kompensasi atau imbalan yang disebut dengan upah mengupah.
Dilihat dari objek ijarah berupa manfaat suatu benda maupun tenaga
manusia, ijarah dibagi menjadi dua bentuk yaitu :
a. Ijarah ‘ain, yakni ijarah yang berhubungan dengan penyewaan benda yang
bertujuan untuk mengambil manfaat dari benda tersebut, baik benda
bergerak, seperti menyewa kendaraan maupun benda tidak bergerak, seperti
sewa rumah.
b. Ijarah amal, yakni ijarah terhadap perbuatan atau tenaga manusia yang
diistilahkan dengan upah mengupah. Ijarah ini digunakan untuk memperoleh
jasa dari seseorang dengan membayar upah atau jasa dari pekerjaan yang
dilakukan.10
10
Ali Haidar,Durror al-hukam syarh majallat al-ahkam.(Beirut : Dar al-kutb al-‘ilmiyyah)h.382
11
Rozalinda. Fiqih ekonomi syariah : prinsip dan implementasinya pada sektor keuangan syariah. (Jakarta :
PT. Raja Grafindo,2016)h.133
15
1. Berakal dan mumayyiz. Namun, tidak disyaratkan baligh. Ini berarti para
pihak yang melakukan akad ijarah harus sudah cakap bertindak hukum
sehingga semua perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan. Maka tidak
dibenarkan mempekerjakan orang gila, anak-anak yang belum
mumayyiz, dan tidak berakal.
2. ‘An’taradin, artinya kedua belah pihak berbuat atas kemauan sendiri.
Sebaliknya, tidak dibenarkan melakukan upah mengupah atau sewa
menyewa karena paksaan oleh salah satu pihak ataupun dari pihak lain.
b. Sesuatu yang diakadkan (barang dan pekerjaan), disyaratkan:
1. Objek yang disewakan dapat diserahterimakan baik manfaat maupun
bendanya. Maka tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat
diserahterimakan. Ketentuan ini sama dengan dilarang melakukan jual
beli yang tidak dapat diserahterimakan.
2. Manfaat dari objek yang di-ijarah-kan harus sesuatu yang dibolehkan
agama (mutaqawwimah). Atas dasar itu, para fukaha sepakat
menyatakan, tidak boleh melakukan ijarah terhadap perbuatan maksiat,
seperti menyewakan rumah untuk prostitusi dan lain sebagainya yang
menegarah kepada perbuatan maksiat kepada Allah.
3. Manfaat dari objek yang akan di- ijarah-kan harus diketahui sehingga
perselisihan dapat dihindari.
4. Manfaat dari objek yang akan disewakan dapat dipenuhi secara hakiki
maka tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat dipenuhi secara
hakiki, seperti menyewa orang bisu untuk berbicara.
5. Jelas ukuran dan batas waktu ijarah agar terhindar dari perselisihan.
6. Perbuatan yang diupahkan bukan perbuatan yang fardhu atau diwajibkan
kepada muajir (penyewa), seperti shalat, puasa, haji, imam shalat, dan
lain sebagainya.
7. Manfaat yang disewakan menurut kebiasaan dapat disewakan, seperti
menyewa toko, dan lain sebagainya.
c. Upah/imbalan, disyaratkan:
1. Upah/imbalan berupa benda yang diketahui yang dibolehkan
memanfaatkannya (mal mutaqawwin).
16
2. Sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan
adat kebiasaan setempat.
3. Upah/imbalan tidak disyaratkan dari jenis yang diakadkan, misalnya
sewa rumah dengan sebuah rumah, upah mengerjakan sawah dengan
sebidang sawah. Syarat seperti ini sama dengan riba.
d. Shighat,
disyaratkan berkesesuaian dan menyatunya majelis akad, seperti yang
dipersyaratkan dalam akad jual beli. Maka akad ijarah tidak sah, apabila
antara ijab dan kabul tidak berkesesuaian, seperti tidak berkesesuaian antara
objek akad atau batasberakad
12
Nasrun Haroen, Fiqih muamalah. (Jakarta : Gaya media Pratama,2007)h.238
17
binatang tersebut disewakan lagi kepada penyewa kedua, maka binatang itu
harus digunakan untuk membajak pula. Penyawa pertama boleh menyewakan
lagi dengan harga serupa pada waktu ia menyewa atau kurang sedikit atau bahkan
lebih mahal dari harga penyewaan pertama. Hal ini boleh-boleh saja dilakukan.
Menurut Sayyid Sabiq kebiasaan seperti ini di sebut al-khulwu.Hal ini berlaku
juga untuk penyewaan yang lainya seperti: penyewaan rumah, kendaraan, dan
lain sebagainya.
Sementara itu, menurut Hendi Suhendi apabila ada kerusakan pada benda
yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (al-mu’jir)
dengan syarat kerusakan itu bukan akibat dari kelalaian penyewa atau al-
musta’jir. Bila kerusakan benda yang disewa itu akibat kelalaian penyewa (al
musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah penyewa atau musta’jir itu
sendiri.13
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 266
disebutkan bahwa: “Penyewa dilarang menyewakan dan meminjamkan objek
ijarah kepada pihak lain kecuali atas izin dari pihak yang menyewakan”.
13
Hendi Suhendi, fiqih muamalah. (Jakarta : PT. Raja Grafindo,2005)h.122
14
Imam Mustafa. Fiqih muamalah kontemporer. (Jakarta: PT.Grafindo persada,2016)h.113
18
Apabila si penyewa tidak mampu melanjutkan akad sewa kecuali dengan
sesuatu yang dapat membahayakan, maka ia berhak untuk menghentikan
akad ijarah.
b. Udzur yang terjadi pada pihak yang memberi sewa, misalnya adanya jatuh
tempo utang yang tidak dapat terbayar kecuali dengan menjual barang yang
ia sewakan, maka akad menjadi fasakh. Contoh lain, bila barang yang
disewakan adalah barang yang baru dibeli ternyata ada cacat yang
membuatnya tidak berfungsi maksimal, maka ia berhak mengurungkan atau
menghentikan akad ijarah.
c. Udzur yang terjadi pada barang yang disewakan, seperti orang yang
menyewa kamar mandi, ternyata di dalamnya airnya habis karena suatu hal
atau sebab tertentu. Dalam kondisi seperti ini maka akad ijarah rusak dan
tidak dapat dilanjutkan.
19
oriented). Di sini proses pemindahan benda dengan benda sehingga
memungkinkan untuk iqalah, seperti pada akad jual beli.
c. Sesuatu yang disewakan hancur atau mati, misalnya hewan sewaan mati atau
rumah sewaan hancur.
d. Manfaat yang diharapkan telah terpenuhi atau pekerjaan telah sesuai, kecuali
ada udzur atau halangan.15
15
Imam Mustafa. Fiqih muamalah kontemporer. (Jakarta: PT.Grafindo persada,2016)h.114
16
Abdul Rahman ghazly,dkk. Fiqih Muamalat. (Jakarta : Prenada media group,2015)h.284
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah sewa menyewa menyatakan bahwa terdapat dua pihak yang
saling membutuhkan sesuatu. Peraturan tentang sewa menyewa yang termuat
dalam bab ketujuh dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
berlaku untuk macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik
bergerak maupun tidak bergerak, baik yang memakai waktu tertentu maupun
yang tidak memakai waktu tertentu, oleh karena waktu tertentu bukan syarat
mutlak untuk perjanjian sewa menyewa.
Dalam perjanjian sewa menyewa terdapat dua pihak yaitu pihak yang
menyewakan dan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan mempunyai hak
untuk menerima pembayaran atas sewa dari pihak penyewa. Bagi si penyewa
mempunyai hak utama untuk menikmati barang yang disewanya.
Perjanjian sewa menyewa dalam hukum Islam disebut dengan
ijarah,dengan definisi akad terhadap manfaat dengan watu tertentu dan
disertai adanya imbalan atau pengganti tertentu pula. Para ulama bersepakat
mengenai kebolehan akad ijarah karena manusia senantiasa membutuhkan
manfaat dari suatu barang atau tenaga orang lain dengan beberapa ketentuan
rukun dan syarat pelaksanaannya.
21
DAFTAR RUJUKAN
22