Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PERJANJIAN SEWA MENYEWA


Disusun Guna Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Hukum Bisnis Pendidikan

Dosen Pengampu : Prima Aji Putra,M.Pd


Disusun Oleh:
Kelompok 7
Durotul Alwiyah (2011030288)
Rohma Indah Cahyani (2011030149)
Siska Aprilia (2011030233)
Kelas : MPI 5 C

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
1443 H/ 2022 M

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................... 2

KATA PENGANTAR .................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 4
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Sewa Menyewa .................. 5


B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Sewa Menyewa .... 8
C. Perjanjian Sewa Menyewa Dalam Hukum Islam ............................... 11

BAB III PENUTUP

Kesimpulan .................................................................................................. 21

DAFTAR RUJUKAN .................................................................................. 22

2
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami berhasil
menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya, yaitu
dengan topik pembahasan “Perjanjian Sewa Menyewa”.

Dalam kesempatan ini tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada
Bapak Prima Aji Putra,M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum
Bisnis Pendidikan dan semua pihak yang telah mendukung kami dalam
penyusunan makalah ini, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat
sebelum waktu yang ditentukan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini
supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar – besarnya.

Wassalamu’alaikum warrtullahi wabarakatuh.

Bandar Lampung, 24 Oktober 2022.

Kelompok 7

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, maka dari itu
setiap manusia pasti bergantung dengan manusia lainnya. Kehidupan sehari hari
manusia tidak dapat terlepas dari hubungan antara satu sama lain karena pada
dasarnya manusia saling membutuhkan, dalam kegiatannya manusia diharuskan
untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri ataupun kebutuhan
orang lain.kebutuhan-kebutuhan tersebut berupa sandang, pangan dan papan.
Kebutuhan warga negara Indonesia telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar1945
dalam memenuhi penghidupan yang layak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27
ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa :Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan adanya keadaan
demikian menyebabkan terciptanya suatu perjanjian sewa menyewa untuk
memenuhi kebutuhan tersebut dengan tidak mengabaikan konteks ekonomi.
Perjanjian sewa menyewa ini merupakan perjanjian yang penting karena
sering dilakukan dalam praktek kehidupan masyarakat. Suatu perjanjian dapat
menimbulkan hak dan kewajiban antara pihak yang menyewakan berkewajiban
menyerahkan barang kepada pihak penyewa, sedangkan pihak penyewa mempunyai
hak untuk membayar harga sewa kepada pihak yang menyewakan. Untuk
menghindari kecurangan yang dapat menimbulkan wanprestasi dalam perjanjian
dibutuhkan hukum, aturan, dan tata cara mengenai perjanjian sewa menyewa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan dasar Hukum Perjanjian sewa-menyewa ?
2. Apa saja hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa menyewa ?
3. Bagaimana perjanjian sewa menyewa dalam hukum Islam ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dan dasar hukum perjanjian sewa menyewa.
2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa
menyewa.

4
3. Untuk mengetahui perjanjian sewa-menyewa dalam hukum Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Sewa Menyewa


Menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu
barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh
pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. Demikian definisi yang
diberikan oleh Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai
perjanjian sewa menyewa.
Istilah sewa menyewa menyatakan bahwa terdapat dua pihak yang saling
membutuhkan sesuatu. Pihak pertama disebut “yang menyewakan”, yaitu pihak yang
membutuhkan sejumlah uang sewa dan pihak kedua disebut “penyewa”’, yaitu pihak
yang membutuhkan atas Suatu benda yang ingin dinikmati melalui proses tawar
menawar (offer and acceptance). Pihak pertama disebut pihak yang menyewakan dan
pihak kedua disebut penyewa.1
Perjanjian sewa-menyewa bertujuan untuk memberikan hak pemakaian saja
bukan hak milik atas suatu benda. Sewa menyewa seperti halnya dengan jual beli
dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya adalah suatu perjanjian konsensual.
Artinya, ya sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-
unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Kewajiban pihak yang satu adalah
menyerahkan barangnya untuk dinikmati dan bukannya menyerahkan hak milik atas
barang tersebut. Dengan demikian seorang yang mempunyai hak nikmat hasil dapat
secara sah menyewakan barang yang dikuasainya dengan hak tersebut. 2
Bila seseorang diserahi suatu barang untuk dipakainya tanpa kewajiban
membayar sesuatu apapun, maka yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam pakai.
Jika si pemakai barang itu diwajibkan membayar, maka bukan lagi pinjam pakai
yang terjadi tetapi sewa menyewa.

1
Abdul Kadir Muhammad, Hukum perdata Indonesia,(Bandung : Citra Aditya bakti,2010)h.345
2
Subekti, Pokok-pokok Hukum perdata. (Jakarta : intermasa,1980)h.164

5
Disebutkannya perkataan “waktu tertentu” dalam uraian Pasal 1548 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, menimbulkan pertanyaan apakah maksudnya itu,
karena dalam perjanjian sewa menyewa sebenarnya tidak perlu disebutkan untuk
berapa lama barang disewakan, asal sudah diketahui berapa harga sewanya untuk
satu jam, satu hari, satu bulan, atau satu tahun. Ada yang menafsirkan bahwa
maksudnya tidak lain dari pada untuk mengemukakan bahwa pembuat undang-
undang memang memikirkan pada perjanjian sewa menyewa di mana waktu sewa
ditentukan, misalnya untuk enam bulan, untuk dua tahun, dan sebagainya. Menurut
Subekti, penafsiran yang demikian adalah tepat. Suatu petunjuk terdapat dalam Pasal
1579 Kitab Undang-Undang hukum Perdata, yang hanya dapat dimengerti dalam
alam pikiran yang dianut oleh seorang yang pikirannya tertuju pada perjanjian sewa
menyewa di mana waktu sewa itu ditentukan.Pasal 1579 Kitab Undang-Undang
hukum Perdata tersebut berbunyi: “Pihak yang menyewakan tidak dapat
menghentikan sewanya dengan menyatakan kecuali jika telah hendak diperjanjikan
memakai sebaliknya”.
Pasal tersebut ditujukan dan juga hanya dapat dipakai terhadap
perjanjiansewamenyewa dengan waktu tertentu. Selayaknya seorang yang sudah
menyewakan barangnya misalnya untuk lima tahun, tidak boleh menghentikan
sewanya jika waktu belum habis, dengan dalih bahwa ia ingin memakai sendiri
barang yang disewakan itu. Tetapi kalau ia menyewakan barangnya tanpa
ditetapkannya suatu waktu tertentu, sudah barang tentu ia berhak menghentikan sewa
itu setiap waktu asal ia mengindahkan cara-cara dan jangka waktu yang diperlukan
untuk pemberitahuan pengakhiran sewa menurut kebiasaan setempat.
Meskipun demikian, peraturan tentang sewa menyewa yang termuat dalam
bab ketujuh dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku untuk
macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu
tertentu, oleh karena waktu tertentu bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa
menyewa.
Harga sewa dalam perjanjian sewa menyewa tidak harus berupa uang.
Apabila dalam jual beli harga harus berupa uang, karena kalau berupa barang
perjanjiannya bukan jual beli lagi tetapi menjadi tukar menukar, tetapi dalam sewa
menyewa tidaklah menjadi keberatan bahwa harga sewa itu berupa barang atau jasa.

6
Pentingnya sewa-menyewa pada prinsipnya adalah suatu bentuk dari
timbulnya hubungan ekonomis antara pemilik tempat (yang menyewakan) dan
penyewa tempat. Pemilik tempat dalam hal ini akan mendapatkan keuntungan
berupa sejumlah uang dari penyewa. Sedangkan penyewa mendapatkan keuntungan
dengan menggunakan tempat usaha sebagai tempat usaha.3
Meskipun sewa menyewa adalah suatu perjanjian konsensual, namun oleh
undang-undang diadakan perbedaan (dalam akibat-akibatnya) antara sewa tertulis
dengan sewa lisan. Jika sewa menyewa itu diadakan secara tertulis, maka sewa itu
berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang ditentukan sudah habis, tanpa
diperlukannya sesuatu pemberitahuan pemberhentian untuk itu. Sebaliknya apabila
sewa menyewa itu dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu
yang ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada
si penyewa bahwa ia hendak menghentikan sewanya, pemberitahuan mana harus
dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan
setempat. Jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggap sewa itu
diperpanjang untuk waktu yang sama. Perihal sewa menyewa tertulis diatur dalam
Pasal 1570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Jika sewa dibuat
dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan
telah lampau, tanpa diperlukannya sesuatu pemberhentian untuk itu”.
Mengenai perjanjian sewa-menyewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam
pasal 1571 kitab undang-undang hukum perdata yang berbunyi : “Jika sewa tidak
dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan,
melainkan jika pihak lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan
mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan
setempat”.
Menurut Pasal 1587 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jika seorang
penyewa sebuah rumah atau ruangan, setelah berakhirnya waktu sewa yang
ditentukan dalam suatu perjanjian sewa tertulis, dibiarkan menempati rumah atau
ruangan tersebut, maka dianggap si penyewa itu tetap menguasai barang yang
disewakan atas dasar syarat-syarat yang sama, untuk waktu yang ditentukan oleh
kebiasaan setempat dan tak dapatlah ia meninggalkan rumah atau ruangan itu atau

3
Gary Hadi,dkk. Penerapan asas itikad baik dalam perjanjian sewa menyewa (iktikad terhadap perjanjian
sewa-menyewa outlet di Hermes building Medan). USU law journal. Vol.5,No.2 (April 2017)h.65

7
dikeluarkan dari situ, melainkan dilakukan pemberitahuan penghentian sewanya
menurut kebiasaan setempat. Maksudnya adalah bahwa sewa tertulis tersebut,
setelah habis waktunya dan penyewa dibiarkan menempati rumah sewa, berubah
menjadi sewa lisan tanpa waktu tertentu yang hanya dapat diakhiri menurut
kebiasaan setempat.

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Sewa Menyewa


Dalam perjanjian sewa menyewa terdapat dua pihak yaitu pihak yang
menyewakan dan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan mempunyai hak untuk
menerima pembayaran atas sewa dari pihak penyewa. Seorang pemilik rumah yang
menyewakan rumahnya oleh undang-undang diberikan hak utama (privilege) atas
barang-barang perabot rumah yang dipakai untuk menghiasi rumah tersebut guna
menjamin pembayaran tunggakan uang sewa. Artinya dalam suatu eksekusi (lelang
sita) atas barang-barang perbot rumah yang dipakai untuk menghiasi rumah tersebut,
si pemilik rumah harus paling dahulu diberikan sejumlah uang yang cukup dari
pendapatan lelangan untuk melunasi tunggakan uang sewa yang menjadi haknya,
sebelum kreditur-kreditur lainnya menerima bagian mereka. Pemilik rumah dapat
minta dilakukannya penyitaan atas barang-barang perabot rumah tersebut walaupun
barang-barang itu dipindahkan ke tempat lain. Asal ia mengajukan permintaannya
itu dalam jangka waktu 14 hari setelah barang-barang itu diangkut ke tempat
tersebut. Bahkan barang-barang kepunyaan orang lain, asal dipakai sebagai mebel di
rumah sewaan itu dapat disita pula (Pasal 1140 dan Pasal 1152 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata).
Pihak yang menyewakan mempunyai kewajiban yaitu:
1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa;
2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian hingga dapat dipakai untuk
keperluan yang dimaksudkan;
3. Memberikan kenikmatan tenteram dari barang yang disewakan selama
berlangsungnya persewaan kepada si penyewa. 4
Selanjutnya ia diwajibkan, selama waktu sewa, menyuruh melakukan
pembetulan-pembetulan pada barangnya yang disewakan yang perlu dilakukan,

4
Subekti, Pokok-pokok Hukum perdata. (Jakarta : intermasa,1980)h.49

8
terkecuali pembetulan-pembetulan kecil yang menjadi wajibnya si penyewa. Juga ia
harus menanggung si penyewa terhadap semua cacat dari barang yang disewakan
yang merintangi pemakaian barang itu, biarpun pihak yang menyewakan itu sendiri
tidak mengetahuinya pada waktu dibuatnya perjanjian sewa-menyewa. Jika cacat-
cacat itu telah mengakibatkan suatu kerugian bagi si penyewa, maka kepadanya
pihak yang menyewakan diwajibkan memberikan ganti kerugian (Pasal 1551 dan
Pasal 1552 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Kewajiban memberikan kenikmatan tenteram kepada si penyewa
dimaksudkan sebagai kewajiban pihak yang menyewakan untuk menanggulangi atau
menangkis tuntutan-tuntutan hukum dari pihak ke tiga, yang misalnya membantah
hak si penyewa untuk memakai barang yang disewanya. Kewajiban tersebut tidak
meliputi pengamanan terhadap gangguan-gangguan fisik, misalnya orang-orang
yang melempari rumahnya dengan batu atau tetangga membuang sampah
dipekarangan rumah yang disewa, dan lain sebagainya, Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 1556 yang berbunyi: “Pihak yang menyewakan tidaklah diwajibkan menjamin
si penyewa terhadap rintangan-rintangan dalam kenikmatannya yang dilakukan oleh
orang-orang pihak ke tiga dengan peristiwa-peristiwa tanpa memajukan sesuatu hak
atas barang yang disewa; dengan tidak mengurangi hak si penyewa untuk menuntut
sendiri orang itu”.
Bagi si penyewa mempunyai hak utama untuk menikmati barang yang
disewanya. Menurut Pasal 1560 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bagi si
penyewa ada dua kewajiban utama ialah:
1. Memakai barang yang disewa sebagai seorang “bapak rumahyang baik”,
sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut perjanjian
sewanya;
2. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan menurut
perjanjian.
Kewajiban untuk memakai barang sewaan sebagai seorang “bapak rumah
yang baik” berarti kewajiban untuk memakainya seakan-akan itu barang
kepunyaannya sendiri. Jika si penyewa memakai barang yang disewa untuk suatu
keperluan lain dari pada yang menjadi tujuan pemakaiannya, atau suatu keperluan
sedemikian rupa hingga dapat menerbitkan kerugian kepada pihak yang
menyewakan, maka pihak ini menurut keadaan dapat meminta pembatalan sewanya

9
(Pasal 1561 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Misalnya, sebuah rumah
kediaman dipakai untuk perusahaan atau bengkel mobil. Pasal 2 UUPA Nomor 5
Tahun 1960 menentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang
disebut tanah dapat diberikan kepada dan dimiliki oleh orang-orang, baik
perseorangan maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.5
Apabila yang disewa itu sebuah rumah kediaman, maka si penyewa
diwajibkan memperlengkapi rumah itu dengan perabot rumah secukupnya; jika
tidak, ia dapat dipaksa untuk mengosongkan rumah itu, kecuali jika ia memberikan
cukup jaminan untuk pembayaran uang sewanya (Pasal 1581 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata). Dari ketentuan ini dapat kita lihat bahwa perabot rumah itu
dijadikan jaminan untuk pembayaran uang sewa.
Seorang penyewa diwajibkan melakukan pembetulan-pembetulan kecil dan
sehari-hari. Pasal 1583 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan
penjelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan pembetulan-pembetulan kecil dan
sehari-hari sebagai berikut: “Jika tidak ada persetujuan, maka dianggap sebagai
demikian: pembetulan-pembetulan pada lemari-lemari , tutupan jendela, kunci-kunci
dalam, kaca-kaca jendela dan segala sesuatu yang dianggap termasuk itu, menurut
kebiasaan setempat”.
Selanjutnya bagi seorang penyewa tanah, oleh Pasal 1591 Kitab
UndangUndang Hukum Perdata diletakkan kewajiban, atas ancaman membayar
ganti rugi untuk melaporkan kepada si pemilik tanah tentang segala peristiwa yang
dilakukan di atas pekarangan-pekarangan yang disewa. Maksudnya adalah bahwa si
pemilik dapat mengambil tindakan-tindakan yang diangapnya perlu untuk
menghentikan perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan pada tanah
miliknya.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, perbuatan sewa menyewa melingkupi
lima unsur, yaitu :
1. Persetujuan adalah adalah perbuatan yang menyatakan tercapainya kata
sepakat antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa mengenai
benda sewaan, uang sewa, waktu sewa, dan persyaratan sewa menyewa;

5
Manaon Damianus sirait.Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Kantor. Jurnal analogi
hukum, Vol.2,No.2 (2020)h.222

10
2. Penyerahan adalah perbuatan mengalihakn hak penguasaan benda sewaan
dari pihak yang menyewakan ke pihak penyewa untuk dinikmati;
3. Pembayaran uang sewa adalah perbuatan memberikan sejumlah uang dari
pihak penyewa kepada pihak yang menyewakan sebagai kontra prestasi atas
benda yang dikuasai untuk dinikmati oleh penyewa;
4. Waktu sewa adalah ukuran lamanya sewa menyewa berlangsung;
5. Persyaratan sewa menyewa adalah ketentuan yang disepakati bersama untuk
memungkinkan pemenuhan kewajiban dan memperoleh hak pihak yang
menyewakan dan pihak penyewa. 6

C. Perjanjian Sewa Menyewa Dalam Hukum Islam


1. Definisi ijarah
Ijarah secara etimologis adalah masdar dari kata ‫ ياجر‬-‫( اجر‬ajara-ya’jiru),
yaitu upah yang diberikan sebagai kompensasi sebuah pekerjaan. Menurut M.
Rawas Qal’aji, ijarah berasal dari kalimat ‫اجارة‬-‫ياجر‬-‫ اجر‬jamaknya ‫ اجور‬yang
berarti ‫( الجزاءعلى العمل‬sesuatu yang engkau berikan kepada orang lain berupa
upah dalam pekerjaan).
Kalimat ‫ االجر‬dan ‫ االجارة‬maknanya sama sebagaimana disebutkan diatas.
Akan tetapi kalimat ‫ االجر‬maknanya dikenal dengan balasan yang berasal dari
Allah Swt kepada hamba-Nya yang beramal shalih. Adapun ‫ االجارة‬maknanya
dikenal dengan balasan yang berasal dari manusia kepada sesamanya, yang
disebut dengan ‫(االجير‬karyawan).7
Adapun secara terminologi menurut dikemukakan oleh para fukaha
dengan redaksi yang berbeda-beda sebagai berikut:
a. Hanafiyah
‫عقد على المنافع بعوض‬

“Akad terhadap manfaat dengan adanya kompensasi/imbalan”

b. Malikiyah
Mazhab Maliki berpendapat yang dimaksud dengan ijarah adalah:

6
Abdul Kadir Muhammad, Hukum perdata Indonesia,(Bandung : Citra Aditya bakti,2010)h.346
7
Sayyid Muhammad murthada al-husaini Al Zubaidi, Taj al-‘arus min Jawahir al-qamus. (Kuwait:Matba'ah
al Khayriyyahq,1972)h.25

11
‫ع ِن ا ْل َم ْنفَ َع ِة‬
َ ‫اح مدَّةَ َم ْعل ْو َمة ِبع َِوضغَي ِْر نَا ِش ْيء‬ َ ‫ع ْقد ي ِفيْد تَ ْم ِليْكَ َمنَاف ِِع‬
ِ َ‫ش ْى ء مب‬ َ : ‫ارة‬
َ ‫اإل َج‬

Artinya :“Ijarah adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat
suatu barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan
berasal dari manfaat.”

c. Syafi’iyah
Adapun menurut ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan akad ijarah
adalah:

‫لى َم ْنفَ َعة َمقص ْو دَة َم ْعل ْو َمة قَا ِبلَة ِل ْلبَدْ ِل َواإلبَا َح ِة ِبع َِوض َم ْعل ْوم‬
َ ‫ع‬َ ‫ع ْقد‬
َ : ‫ار ِة‬ ِ ‫ع ْق ِد‬
َ ‫اإل َج‬ َ ‫َو َحد‬

Artinya :“Definisi akad ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang
dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan
tertentu.”

d. Hanabilah
Menurut ulama hanabilah, yang dimaksud dengan ijarah adalah :

‫وهي عقد على منفعة مباحة معلومة تؤخذ شيئا فشيئا مدة معلومة من عين معلومة أو‬

‫موصوفة في الذمة أو عمل معلوم بعوض معلوم‬

“Akad terhadap manfaat yang diperbolehkan oleh syara’, dapat diambil


sewaktu-waktu pada wkatunya yang telah ditentukan, baik berupa benda
tertentu maupun sifat dalam tanggungan atau pekerjaan tertentu dengan
adanya imbalan tertentu pula”.8

Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan para ulama fikih di


atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan akad
ijarah adalah akad terhadap manfaat dengan watu tertentu dan disertai adanya
imbalan atau pengganti tertentu pula. Definisi tentang ij?rah itu terkandung
dua pengertian, yaitu bisa bermakna jual beli manfaat benda dan bisa disebut
dengan jual beli tenaga manusia.

2. Landasan Yuridis Akad Ijarah

8
Syarif al-Din Musa IBN Ahmad Ibnu Musa abu Al Najah alhijawi. Al-iqna’ fi fiqh al-Imam Ahmad bin
Hambal. (Beirut:Dar al-ma’rifah,1994)h.283

12
Para ulama selain Abu Bakar al-Asham, Ismail Ibn ‘Ulyah, al-Hasan al-
Bashri, al-Qasyani, al-Nahrawani, dan Ibn Kaisan telah sepakat
memperbolehkan akad ijarah berdasarkan dalil-dalil hukum Islam yang akad
dikemukakan di bawah ini. Adapun mereka yang tidak memperbolehkan
berargumen karena ij?rah itu merupakan jual beli manfaat, sedangkan manfaat
itu ketika terjadinya akad termasuk sesuatu yang tidak bisa diketahui dan
dikuasai. Begitu juga dan lambat laun akan habis sesuai zaman. Menurut mereka
sesuatu yang tidak bisa dikuasai tidak memungkinkan bisa diperjualbelikan.
Selain itu tidak diperbolehkan penyandaran jual beli kepada sesuatu pada masa
yang akan datang.9
Akan tetapi alasan mereka tersebut dibantahnya itu sekalipun tidak oleh
bisa ulama dikuasai ketika terjadinya akad, namun dapat dipergunakan pada
umumnya dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kebolehan ijarah ini
perlawanan dengan qiya’, karena akad terhadap manfaat yang tidak diketahui.
Namun karena alasan kebutuhan, maka ijarah ini diperbolehkan. Hal ini sesuai
dengan kaidah fiqih.
‫القاعدة الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة‬
“Kebutuhan itu menempati posisi darurat baik bersifat umum maupun khusus.”
Dalil-dalil hukum Islam tentang landasan yuridis keabsahan akad ijarah
adalah al-Quran, hadis, ijma’. Adapun dalil-dalil Al-Quran yang menunjukkan
keabsahan akad ijarah adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an Surah At-talaq : 6
َّ‫ض ْعنَ َح ْملَهن‬
َ ‫علَ ْي ِهنَّ َحتّٰى َي‬
َ ‫ت َح ْمل فَا َ ْنفِق ْوا‬ َ ‫َوا ِْن كنَّ ا‬
ِ ‫وال‬
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya ,... “ (Q.S al-Thalaq: 6).

b. Al-Qur’an surah Al-Kahfi : 77

‫ضيِف ْوه َما ف ََو َجدَا فِ ْي َها ِجدَارا ي ِريْد اَ ْن‬ ْ ‫طلَقَا ۗ َحتّٰى اِذَا اَتَيَا اَ ْه َل قَرْ يَ ِة ِا ْست‬
َ ‫َطعَ َما اَ ْهلَ َها فَاَبَ ْوا اَ ْن ي‬ َ ‫فَا ْن‬
َ َ‫يَّ ْنقَضَّ فَاَقَا َمه ۗقَا َل لَ ْو شِ ئْتَ َلتَّ َخ ْذت‬
‫ع َل ْي ِه اَجْ را‬
“Maka keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk
suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi

9
Emang Hidayat, Transaksi ekonomi syariah. (Bandung : PT. Remaja rosdakarya,2016)h.37

13
mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka, kemudian
keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu),
lalu dia menegakkannya. Dia (Musa) berkata, “Jika engkau mau, niscaya
engkau dapat meminta imbalan untuk itu.”(Q.S Al-Kahfi:77)

c. Al-Qur’an surah Al-ankabut : 27

ٰ ْ ‫ب َو ٰاتَ ْي ٰنه اَجْ َره فِى الد ْن َيا َواِنَّه فِى‬


َ‫االخِ َر ِة لَمِن‬ َ ‫ي ذ ِريَّ ِت ِه النب َّوةَ َو ْال ِك ٰت‬
ْ ‫ب َو َج َع ْلنَا ِف‬
َ ‫َو َوهَ ْبنَا لَه اِسْحٰ قَ َو َي ْعق ْو‬
َ‫صلِحِ يْن‬
ّٰ ‫ال‬
“Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Yakub, dan Kami
jadikan kenabian dan kitab kepada keturunannya, dan Kami berikan
kepadanya balasannya di dunia; dan sesungguhnya dia di akhirat, termasuk
orang yang saleh.” (Q.S Al-ankabut:27)

Adapun dalil-dalil tentang keabsahan akad ijarah dalam hadis Nabawi


adalah sebagai berikut :
a. Hadis riwayat Ibnu Majah
‫ع َرقه‬ َّ ِ‫واْل َ ِجي َْر أَجْ َره قَ ْب َل أَ ْن يَخ‬
َ ‫ف‬ ْ ‫علَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَعْط‬
َ ‫ع ْب ِدللاِ ب ِْن ع َم َر قَا َل َرسول للا‬
َ ‫ع ْن‬
َ
Dari Abdullah ibn Umar, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Bayarlah
upah pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah).

b. Hadis riwayat Bukhari No.2227


ْ ‫علَ ْي ِه َو َس َّل َم قَا َل للا ﺛَ َﻼﺛَة أَنَا َخ‬
‫صمه ْم َي ْو َم ال ِق َيا َم ِة‬ َ ‫ص َل للا‬ َ ‫ع ْنه‬
َ ِ ‫ع ِن النَّ ِبي‬ َ ‫ي للا‬ ِ ‫ع ْن أَ ِبي ه َري َْرةَ َر‬
َ ‫ض‬ َ
: ‫ َو َرجل ا ْستَﺄْ َج َر أَ ِج يرا فَا ْستَ ْوفَى مِ ْنه َو َل ْم‬،‫ﻉ ح را فَﺄ َ َك َل ﺛَ َمنَه‬ َ ‫ َو َرجل َبا‬،‫ﻏد ََر‬
َ ‫ط ى ِبي ﺛ َّم‬ َ ‫َرجل أَ ْع‬
‫ه َرجْ أَ ِِ ْعي‬
“Dari Abu Hurairah dari Nabi bahwasanya Allah berfirman: “Aku akan
bertindak sebagai penuntut pada hari pembalasan melawan Tiga orang,
saya yang akan menjadi musuhnya pada hari kiamat: Orang yang berjanji
dengan menyebut nama-Ku lalu dia melanggar janji, Orang yang menjual
orang yang merdeka lalu dia menikmati hasil penjualannya tersebut, dan
Orang yang mempekerjakan orang lain, namun setelah orang tersebut
bekerja dengan baik upahnya tidak dibayarkan” (HR. Bukhari,2227).

14
Berdasarkan nas-nas di atas, para ulama ijma tentang kebolehan akad
ijarah karena manusia senantiasa membutuhkan manfaat dari suatu barang atau
tenaga orang lain. Manfaat dalam konsep bicara mempunyai pengertian yang
sangat luas meliputi imbalan manfaat atas manfaat suatu benda atau upah
terhadap suatu pekerjaan tertentu. Jadi, ijarah merupakan transaksi terhadap
manfaat suatu barang dengan suatu imbalan yang disebut dengan sewa-
menyewa. Ijarah juga mencakup transaksi terhadap suatu pekerjaan tertentu,
yaitu adanya kompensasi atau imbalan yang disebut dengan upah mengupah.
Dilihat dari objek ijarah berupa manfaat suatu benda maupun tenaga
manusia, ijarah dibagi menjadi dua bentuk yaitu :
a. Ijarah ‘ain, yakni ijarah yang berhubungan dengan penyewaan benda yang
bertujuan untuk mengambil manfaat dari benda tersebut, baik benda
bergerak, seperti menyewa kendaraan maupun benda tidak bergerak, seperti
sewa rumah.
b. Ijarah amal, yakni ijarah terhadap perbuatan atau tenaga manusia yang
diistilahkan dengan upah mengupah. Ijarah ini digunakan untuk memperoleh
jasa dari seseorang dengan membayar upah atau jasa dari pekerjaan yang
dilakukan.10

3. Rukun dan Syarat Akad Ijarah


Agar transaksi akad ijarah menjadi sah harus terpenuhi rukun dan syarat sahnya
akad ijarah. Adapun yang menjadi rukun ijarah menurut ulama Hanafiyah adalah
ijab dan kabul dengan lafadz ijarah atau isti’jar. Rukun ijarah menurut juhur
ulama ada 3 (tiga), yaitu :
a. aqidain yang terdiri dari muajir dan musta’jir.
b. ma’qud ‘alaih yang terdiri dari ujrah dan manfaat.
c. shighat yang terdiri dari ijab dan kabul.

Berikut akan diuraikan rukun dan syarat dari ijarah yaitu: 11

a. Dua orang yang berakad (mu’ajir dan musta’jir) disyaratkan:

10
Ali Haidar,Durror al-hukam syarh majallat al-ahkam.(Beirut : Dar al-kutb al-‘ilmiyyah)h.382
11
Rozalinda. Fiqih ekonomi syariah : prinsip dan implementasinya pada sektor keuangan syariah. (Jakarta :
PT. Raja Grafindo,2016)h.133

15
1. Berakal dan mumayyiz. Namun, tidak disyaratkan baligh. Ini berarti para
pihak yang melakukan akad ijarah harus sudah cakap bertindak hukum
sehingga semua perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan. Maka tidak
dibenarkan mempekerjakan orang gila, anak-anak yang belum
mumayyiz, dan tidak berakal.
2. ‘An’taradin, artinya kedua belah pihak berbuat atas kemauan sendiri.
Sebaliknya, tidak dibenarkan melakukan upah mengupah atau sewa
menyewa karena paksaan oleh salah satu pihak ataupun dari pihak lain.
b. Sesuatu yang diakadkan (barang dan pekerjaan), disyaratkan:
1. Objek yang disewakan dapat diserahterimakan baik manfaat maupun
bendanya. Maka tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat
diserahterimakan. Ketentuan ini sama dengan dilarang melakukan jual
beli yang tidak dapat diserahterimakan.
2. Manfaat dari objek yang di-ijarah-kan harus sesuatu yang dibolehkan
agama (mutaqawwimah). Atas dasar itu, para fukaha sepakat
menyatakan, tidak boleh melakukan ijarah terhadap perbuatan maksiat,
seperti menyewakan rumah untuk prostitusi dan lain sebagainya yang
menegarah kepada perbuatan maksiat kepada Allah.
3. Manfaat dari objek yang akan di- ijarah-kan harus diketahui sehingga
perselisihan dapat dihindari.
4. Manfaat dari objek yang akan disewakan dapat dipenuhi secara hakiki
maka tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat dipenuhi secara
hakiki, seperti menyewa orang bisu untuk berbicara.
5. Jelas ukuran dan batas waktu ijarah agar terhindar dari perselisihan.
6. Perbuatan yang diupahkan bukan perbuatan yang fardhu atau diwajibkan
kepada muajir (penyewa), seperti shalat, puasa, haji, imam shalat, dan
lain sebagainya.
7. Manfaat yang disewakan menurut kebiasaan dapat disewakan, seperti
menyewa toko, dan lain sebagainya.
c. Upah/imbalan, disyaratkan:
1. Upah/imbalan berupa benda yang diketahui yang dibolehkan
memanfaatkannya (mal mutaqawwin).

16
2. Sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan
adat kebiasaan setempat.
3. Upah/imbalan tidak disyaratkan dari jenis yang diakadkan, misalnya
sewa rumah dengan sebuah rumah, upah mengerjakan sawah dengan
sebidang sawah. Syarat seperti ini sama dengan riba.
d. Shighat,
disyaratkan berkesesuaian dan menyatunya majelis akad, seperti yang
dipersyaratkan dalam akad jual beli. Maka akad ijarah tidak sah, apabila
antara ijab dan kabul tidak berkesesuaian, seperti tidak berkesesuaian antara
objek akad atau batasberakad

4. Sifat Akad Ijarah


Para ulama fikih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah
bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiyah berpendirian
bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak
apabila terdapat udzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti salah satu pihak
wafat atau kehilangan kecapakan bertindak hukum. Akan tetapi, jumhur ulama
mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau
barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Akibat perbedaan pendapat ini terlihat
dalam kasus apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, maka akad
ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi, jumhur ulama
mengatakan bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk harta (al-mal).
Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalkan akad
ijarah.12

5. Menyewakan Barang Sewaan


Bolehkah penyewa menyewa kembali barang sewaan ? Menurut Sayyid
sabiq, penyewa dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan tersebut kepada
orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang
dijanjikan ketika akad awal. Misalnya, penyewaan seekor binatang, ketika akad
awal dinyatakan bahwa binatang itu disewa untuk membajak sawah, kemudian

12
Nasrun Haroen, Fiqih muamalah. (Jakarta : Gaya media Pratama,2007)h.238

17
binatang tersebut disewakan lagi kepada penyewa kedua, maka binatang itu
harus digunakan untuk membajak pula. Penyawa pertama boleh menyewakan
lagi dengan harga serupa pada waktu ia menyewa atau kurang sedikit atau bahkan
lebih mahal dari harga penyewaan pertama. Hal ini boleh-boleh saja dilakukan.
Menurut Sayyid Sabiq kebiasaan seperti ini di sebut al-khulwu.Hal ini berlaku
juga untuk penyewaan yang lainya seperti: penyewaan rumah, kendaraan, dan
lain sebagainya.
Sementara itu, menurut Hendi Suhendi apabila ada kerusakan pada benda
yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (al-mu’jir)
dengan syarat kerusakan itu bukan akibat dari kelalaian penyewa atau al-
musta’jir. Bila kerusakan benda yang disewa itu akibat kelalaian penyewa (al
musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah penyewa atau musta’jir itu
sendiri.13
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 266
disebutkan bahwa: “Penyewa dilarang menyewakan dan meminjamkan objek
ijarah kepada pihak lain kecuali atas izin dari pihak yang menyewakan”.

6. Udzur yang Dapat Merusak Akad Ijarah


Menurut ulama Hanafiyah, akad ijarah bisa rusak dengan adanya udzur.
Apabila ada udzur namun akad tetap dilanjutkan, maka akad tidak mengikat
kedua belah pihak (ghair lazim). Ibn ‘Abidin salah seorang ulama Hanafiyah
mengatakan bahwa setiap ada udzur yang mengakibatkan tidak terpenuhinya
objek akad, atau tetap dilanjutkan tapi membahayakan, maka akad menjadi rusak
dan tidak mengikat. Sementara jumhur ulama berpendapat bahwa akad ijarah
adalah akad yang mengikat sebagaimana akad jual beli, akadnya tidak rusak
karena adanya udzur dari pihak yang berakad atau karena adanya cacat pada
objek akad.
Ulama Hanafiyah sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, menjelaskan
ada 3 (tiga) unsur yang dapat merugikan akad ijarah, yaitu: 14
a. Udzur yang terjadi pada pihak penyewa, seperti penyewa pailit atau bangkrut
sehingga tidak mampu membayar biaya sewa atau upah jasa atau pekerjaan.

13
Hendi Suhendi, fiqih muamalah. (Jakarta : PT. Raja Grafindo,2005)h.122
14
Imam Mustafa. Fiqih muamalah kontemporer. (Jakarta: PT.Grafindo persada,2016)h.113

18
Apabila si penyewa tidak mampu melanjutkan akad sewa kecuali dengan
sesuatu yang dapat membahayakan, maka ia berhak untuk menghentikan
akad ijarah.
b. Udzur yang terjadi pada pihak yang memberi sewa, misalnya adanya jatuh
tempo utang yang tidak dapat terbayar kecuali dengan menjual barang yang
ia sewakan, maka akad menjadi fasakh. Contoh lain, bila barang yang
disewakan adalah barang yang baru dibeli ternyata ada cacat yang
membuatnya tidak berfungsi maksimal, maka ia berhak mengurungkan atau
menghentikan akad ijarah.
c. Udzur yang terjadi pada barang yang disewakan, seperti orang yang
menyewa kamar mandi, ternyata di dalamnya airnya habis karena suatu hal
atau sebab tertentu. Dalam kondisi seperti ini maka akad ijarah rusak dan
tidak dapat dilanjutkan.

7. Berakhirnya Akad Ijarah


Akad ijarah berakhir karena sebab-sebab sebagai berikut:
a. Menurut ulama Hanafiyah, akad ijarah berakhir dengan meninggalnya salah
seorang dari dua orang yang berakad. Ijarah hanya hak manfaat maka hak ini
tidak dapat diwariskan karena kewarisan berlaku untuk benda yang dimiliki.
Jumhur ulama berpedapat sifat akad ijarah adalah akad lazim (mengikat para
pihak), seperti halnya akad jual beli. Atas dasar ini jumhur ulama
berpendapat bahwa akad ijarah tidak dapat dibatalkan dengan meninggalnya
para pihak yang berakad. Ijarah berakhir dengan berakhirnya waktu akad.
Oleh karena itu, manfaat dari ijarah dapat diwariskan sampai berakhirnya
waktu akad. Juhmur ulama berpendapat ijarah merupakan milk al-manfaat
(kepemilikan manfaat) sehingga dapat diwariskan. Inilah kiranya pendapat
yang dapat diterima dan mendatangkan masalah bagi semua pihak.
Misalnya seorang kepala keluarga mengontrak rumah untuk tempat tinggal
keluarganya, kemudian pemilik rumah atau kepala keluarga meninggal dunia
maka kontrak rumah masih bisa dilanjutkan sampai habis masa kontraknya.
b. Akad ijarah berakhir dengan iqalah (menarik kembali). Ijarah adalah akad
mu’awadah (akad yang bertujuan untuk mencari keuntungan/ profit

19
oriented). Di sini proses pemindahan benda dengan benda sehingga
memungkinkan untuk iqalah, seperti pada akad jual beli.
c. Sesuatu yang disewakan hancur atau mati, misalnya hewan sewaan mati atau
rumah sewaan hancur.
d. Manfaat yang diharapkan telah terpenuhi atau pekerjaan telah sesuai, kecuali
ada udzur atau halangan.15

8. Pengembaliaan Barang Sewaan


Jika akad ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan
barang sewaan. Jika barang itu berbentuk barang yang dapat dipindahkan (barang
bergerak), seperti kendaraan, binatang, dan sejenisnya, ia wajib menyerahkannya
langsung pada pemiliknya. Dan jika berbentuk barang yang tidak dapat
berpindah (barang yang tidak bergerak), seperti rumah, tanah, bangunan, ia
berkewajiban menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong, seperti
keadaan semula. Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ketika akad ijarah telah
berakhir penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kematian
mengembalikan untuk menyerah terimakannya seperti, barang titipan.
Selanjutnya, mereka juga berpendapat bahwa setelah berakhirnya masa akad
ijarah dan tidak terjadi kerusakan tanpa disengaja, maka tidak ada kewajiban
menanggung bagi penyewa. 16

15
Imam Mustafa. Fiqih muamalah kontemporer. (Jakarta: PT.Grafindo persada,2016)h.114
16
Abdul Rahman ghazly,dkk. Fiqih Muamalat. (Jakarta : Prenada media group,2015)h.284

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah sewa menyewa menyatakan bahwa terdapat dua pihak yang
saling membutuhkan sesuatu. Peraturan tentang sewa menyewa yang termuat
dalam bab ketujuh dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
berlaku untuk macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik
bergerak maupun tidak bergerak, baik yang memakai waktu tertentu maupun
yang tidak memakai waktu tertentu, oleh karena waktu tertentu bukan syarat
mutlak untuk perjanjian sewa menyewa.
Dalam perjanjian sewa menyewa terdapat dua pihak yaitu pihak yang
menyewakan dan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan mempunyai hak
untuk menerima pembayaran atas sewa dari pihak penyewa. Bagi si penyewa
mempunyai hak utama untuk menikmati barang yang disewanya.
Perjanjian sewa menyewa dalam hukum Islam disebut dengan
ijarah,dengan definisi akad terhadap manfaat dengan watu tertentu dan
disertai adanya imbalan atau pengganti tertentu pula. Para ulama bersepakat
mengenai kebolehan akad ijarah karena manusia senantiasa membutuhkan
manfaat dari suatu barang atau tenaga orang lain dengan beberapa ketentuan
rukun dan syarat pelaksanaannya.

21
DAFTAR RUJUKAN

Ghazly,Abdul Rahman dkk.Fiqih muamalah. Jakarta : Prenada media group.

Hadyyy,Gary dkk.2017.Penerapan asas itikad baik dalam perjanjian sewa menyewa


(iktikad terhadap perjanjian sewa-menyewa outlet di Hermes building
Medan). Diakse pada April 2017 dari Universitas Sumatra Utara.

Hidayat,Emang.2016. transaksi ekonomi syariah.Bandung: PT. Remaja rosdakarya.

Muhammad,Abdul karim.2010. hukum perdata Indonesia.Bandung: PT.Citra


Aditya bakti.

Mustafa,imam.2016. fiqih muamalah kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Rosalinda.2016. fiqih ekonomi syariah: prinsip dan implementasinya pada sektor


keuangan syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Sirait,manaon damianus.2020. Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Sewa-Menyewa


Rumah Kantor. Diakses pada 2020 dari fakultas Hukum, Universitas
warmadewa.

Zubaidi,Sayyid Muhammad Murtado Al Husaini al.1972. Taj al-‘arus min Jawahir


al-qamus. Kuwait: Matba’ah al Khayriyyah.

22

Anda mungkin juga menyukai