Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH TAFSIR AYAT EKONOMI

“JENIS JENIS JASA”

Dosen Pengampu :

ADHE RISKY MAYASARI, M.PD.

Disusun Oleh:

Ketty Nabila Nurul.H : 2351040067


Risa Anggriyani : 2351040109
Karisma Nur Haziza : 2351040066

PRODI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN 2023/1445H

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya dengan sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai satu
acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Penulis merasa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik secara
teknis maupun materi mengingat minimnya kemampuan yang dimiliki. Maka dari itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak dibutuhkan demi penyempurnaan makalah ini.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang turut
membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan setimpal kepada
mereka yang memberikan bantuan dan dapat menjadikan semua bantuan itu sebagai ibadah.
Aamiin Ya Rabbal Alamin.

Bandar Lampung, 15 Maret 2024

Penulis

2
Daftar Isi

JUDUL...................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………..
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………….
1.3 Tujuan…………………………………………………………………………
1.4 Manfaat……………………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Konsep Izarah dan produnya.......... .................................................................
2.2 Pengertian komsep Rahn dan Produknya.................. ......................................................
2.3 Pengertian konsep qardh dan Produknya..........................................................................
BAB III PENUTUP
1. KESIMPULAN.................................................................................................................
2. SARAN.............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rahn atau yang biasa dikenal dengan gadai emas merupakan salah satu
produk unggulan dari Perbankan Syariah saat ini. Dengan membawa emas ke
bank syariah, seseorang bisa memperoleh cash money dalam waktu singkat untuk
memenuhi kebutuhannya. Masyarakat yang selama ini terbiasa bertransaksi gadai
dengan Pegadaian, saat ini memiliki banyak pilihan. Bank Syariah pun berlomba-
lomba untuk menciptakan dan mengkreasikan produk ini, lengkap dengan tarif
yang bersaing. Banyak nasabah dan masyarakat yang sangat terbantu oleh
keberadaan produk Rahn ini, selain proses yang relatif mudah, mereka juga tidak
memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan uang Qard menurut Ascarya
adalah pinjaman kebajikan/lunak tanpa imbalan.
Sedangkan Abdul Ghofur Anshari mendefinisikan qard sebagai pemberian
harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata
lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam Fikih klasik, al-qard
dikategorikan dalam akad ta'awuniyah yaitu akad yang berdasarkan prinsip tolong
menolong. Dalam aplikasinya di perbankan syariah, Qard merupakan pinjaman
tanpa bunga. Dalam hal ini, objek transaksi pada akad qard biasanya berupa uang
yang dipinjamkan oleh bank kepada nasabah dimana nasabah hanya wajib
mengembalikan pokok utang.
Sedangkan bank tidak mengambil keuntungan berapa pun dari nasabah dan
hanya boleh memungut biaya administrasi dari nasabah. Menurut Sayyid Sabiq,
ijarah adalah suatu jenis akad yang mengambil manfaat dengan jalan penggantian
dengan demikian pada hakikatnya ijarah adalah penjualan manfaat yaitu
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa atau upah tanpa diikuti dengan perpindahan
kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan
tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan Izarah ?
2. Apakah yang dimaksud dengan Rahn?
3. Apakah yang dimaksud dengan Qardh ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui konsep Ijarah dan produknya
2. Mengetahui konsep Rahn dan produknya
3. Mengetahui konsep Qardhun dan produknya

1.4 Manfaat
4
Memahami jenis jual beli dalam Islam berguna untuk meningkatkan taraf hidup,
menjamin keadilan, dan membantu masyarakat dalam bertransaksi dengan rukun
dan kondisi yang sesuai.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Konsep Ijarah dan produknya


Al-ijarah berasal dari kata al-ajru, yang berarti al-iwadhu (perubahan). Dalam
pengertian syara‟, alijarah adalah sejenis akad yang diambil manfaatnya sebagai gantinya.
Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa dengan pembayaran
upah, tanpa pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang tersebut.
Menurut syafi‟i antonio dikutip dalam jurnal Qawanin “Ijarah adalah akad atas
pemindahan manfaat barang maupun jasa melalui sewa tidak disertai pemindahan atas
kepemilikan barang tersebut”.27 Dalam Fatwa Dewan Syarah Nasional
No.09/DSN/MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah adalah akad untuk mengalihkan hak
pakai (manfaat) dan membayaran sewa (ujrah) dalam jangka waktu tertentu. Kecuali
terjadi perpindahan kepemilikan barang.28
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulan bahwa ijarah adalah pemindahan
penggunaan atau manfaat suatu barang atau jasa dari satu orang ke orang lain.

Landasan hukum
Q.S. Al-Baqarah ayat 233:
‫َو ِإْن َأَر دُّتْم َأن َتْسَتْر ِض ُع ٓو ۟ا َأْو َٰل َد ُك ْم َفاَل ُجَناَح َع َلْيُك ْم ِإَذ ا َس َّلْم ُتم َّم ٓا َء اَتْيُتم ِبٱْلَم ْعُروِف ۗ َو ٱَّتُقو۟ا ٱَهَّلل َو ٱْع َلُمٓو ۟ا َأَّن‬
‫ٱَهَّلل ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َبِص ْيٌر‬
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Hadits Nabi saw:
)‫َر َو ى اْبُن َعَّباٍس َأَّن الّنِبَّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اْح َتَج َم َو َأْع َطىالَح َّجاَم َأْج َر ُه (رواه أحمد والبخارى ومسلم‬
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah swaw bersabda: “Berbekamlah kamu,
kemudian berikanlah upahnya kepada tukang bekam itu.”
‫ َاْع ُطْو ا اَأْلِج ْيَر َأْج َر ُه َقْبَل َأْن َيِج َّف َع َر ُقُه‬: ‫َع ِن اْبِن ُع َم َر َأَّن الّنِبَّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum
keringatnya kering.”
5
Produk ijarah meliputi berbagai macam barang atau jasa, seperti sewa rumah,
kendaraan, dan pakaian Akad ijarah juga dapat diterapkan pada industri perbankan, seperti
layanan kartu kredit syariah.

Rukun – Rukun Akad Ijarah


1) Sighat (ijab kabul)
2) Muajjir (pihak pemberi sewa)
3) Musta’jir (penyewa)
4) Objek akad (upah dan manfaat

Syarat – syarat Ijarah sebagai berikut :


1) Wujud (al-in’iqad)
Pada syarat wujud dibagi pada 3 macam yaitu, pelaku akad, akad sendiri, serta tempat
akad. Dini akan menyinggung berkaitan dengan pelaku akad saja. Tansaksi jual beli
akad ijarah oleh orang yang tidak gila atau anak yang bukan mumaiyiz.

2) Berlaku (an-nafaadz)
Memiliki kepemilikan atau kekuasaan (al-wilaayah). seseorang membeli atau menjual
(menggunakan) milik orang lain tanpa izin pemilik adalah batal, karena tidak ada
kepemilikan atau kuasa.
3) Sah ( ash-Shihhah)
a) Kehendak kedua belah pihak ketika membuat akad
b) Objek akad diketahui sifatnya
1) Tempat manfaat
2) Waktunya
3) Ijarah Musyaharah (penyewaan bulanan)
4) Objek pekerjaan
5) Penentukaan jangka waktu dan pokok pekerjaan
c) Objek akad dapat diserahterimakan baik secara subtansial maupun syar‟a‟
d) Manfaat yang direalisasikan objek ijarah diperbolehkan oleh syariah‟
e) Pengalihan tidak harus menjadi kewajiban penyewa sebelum akad ijarah.
f) Penyewa tidak boleh berhak atas manfaat
g) Manfaat akad harus disertakan dan biasanya diperoleh melalui akad ijarah

2.2 Pengertian dan Konsep Rahn dan produknya


Dalam fiqh muamalah dikenal dengan kata pinjaman dengan jaminan yang disebut
Ar-rahn, yaitu menyimpan suatu barang sebagai tanggungan utang. Ar-rahn menurut
bahasa berarti Al-tsubut dan Al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Dan ada pula
yang menjelaskan bahwa Rahn adalah terkurung atau terjerat, di samping itu juga Rahn
diartikan pula secara bahasa dengan tetap, kekal, dan jaminan.
Berdasarkan definisi di atas, disimpulkan bahwa rahn itu merupakan suatu akad
utang piutang dengan menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan
syara’ sebagai jaminan marhun bih, sehingga rahin boleh mengambil marhun bih.
6
Pimjaman dengan menggadaikan marhun sebagai jaminan marhun bih dalam hal ini
gadai syariah, mempunyai hak menahan marhun sampai semua marhun bih dilunasi.
Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin, yang pada prinsipnya tidak boleh
dimanfaatkan murtahin, kecuali dengan seizin rahin tanpa mengurangi nilainya, serta
sekedar sebagai pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.

Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan di atas, Zainuddin Ali lebih lanjut
mengungkapkan pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli hukum Islam
sebagai berikut:
a) Ulama Syafi’iyah Mendefinisikan Rahn adalah menjadikan suatu barang yang
biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhidari harganya, bila yang berutang
tidak sanggup membayar utangnya.
b) Ulama Hanabilah Mengungkapkan Rahn adalah suatu benda yang dijadikan
kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang
tidak sanggup membayar utangnya.
c) Ulama Malikiyah Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta (Mutamawwal) yang
diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap
(mengikat).

Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli Hukum Islam di
atas, dapat diketahui bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat
materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang diterimanya, dan
barang yang diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak yang menahan (murtahin)
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari
barang gadai dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada
waktu yang telah ditentukan. Karena itu, tampak bahwa gadai syariah merupakan
perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas
/perhiasan/kendaraan dan/atau harta benda lainnya sebagai jaminan dan/atau agunan
kepada seseorang dan/atau lembaga pegadaian syariah berdasarkan hukum gadai syariah.

Produk rahn meliputi berbagai macam barang, seperti:


1) Barang jaminan: Barang yang digadaikan sebagai jaminan utang, yang
diserahkan oleh seseorang atau oleh orang lain atas namanya
2) Barang milik pemberi rahn: Barang yang berada di tangan pemberi rahn, yang
dapat digunakan untuk menjamin garansi
3) Barang rahnan: Barang yang berada di tangan penerima rahn (murtahin), yang
dapat digunakan untuk menjamin utang

Landasan hukum

Dasar hukum Rahn dalam Al-Qur`an Surat Al-Baqarah ayat 283 :

Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
7
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”

Berdasarkan ayat di atas, sudah jelas bahwa gadai merupakan suatu yang
diperbolehkan dalam Islam sebagai bagian dari muamalah. Bahkan Agama Islam
mengajarkan kepada umatnya supaya hidup tolong menolong.

Rukun Gadai Syariah (Rahn)

Kesepakatan tentang perjanjian penggadaian suatu barang sangat terkait dengan akad
sebelumnya, yakni akad utang piutang (Al-Dain), karena tidak akan terjadi gadai dan
tidak akan mungkin seseorang menggadaikan benda atau barangnya kalau tidak ada
utang yang dimilikinya. Utang piutang itu sendiri adalah hukumnya mubah bagi yang
berutang dan sunnah bagi yang mengutangi karena sifatnya menolong sesama. Hukum
ini bisa menjadi wajib manakala orang yang berutang benar-benar sangat
membutuhkannya. Dalam menjalankan gadai syariah harus memenuhi rukun gadai
syariah, rukun gadai tersebut adalah :
a. Ar-Rahn (yang menggadaikan)
b. Al-Murtahin (yang menerima gadai)
c. Al-Marhun/rahn (barang yang digadaikan)
d. Al-marhun bih (utang)
e. Sighat, Ijab, dan Qabul.

Syarat Gadai Syariah (Rahn)

a) Syarat Rahin dan Murtahin Syarat yang terkait dengan orang yang berakad, adalah
cakap bertindak hukum (baligh dan berakal). Ulama Hanafiyah hanya
mensyaratkan cukup berakal saja. Karenanya, anak kecil yang mumayyiz (dapat
membedakan antara yang baik dan buruk) boleh melakukan akad rahn, dengan
syarat mendapatkan persetujuan dari walinya. Menurut Hendi Suhendi, syarat bagi
yang berakad adalah ahli tasharuf, artinya membelanjakan harta dan dalam hal ini
memahami persoalan yang berkaitan dengan rahn.
b) Syarat Sight (Lafadz) Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu tidak boleh
dikaitkan dengan syarat tertentu atau dengan masa yang akan datang, karena akad
rahn itu sama dengan akad jualbeli. Apabila akad itu dibarengi dengan, maka
syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya, rahin mensyaratkan apabila
tenggang waktu marhun bih telah habis dan marhun bih belum terbayar, maka rahn
itu diperpanjang 1 bulan, mensyaratkan marhun itu boleh murtahin manfaatkan.
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan apabila syarat itu adalah
syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu dibolehkan, namun
apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn, maka syaratnya batal.
Kedua syarat dalam contoh tersebut, termasuk syarat yang tidak sesuai dengan
tabiat rahn, karenanya syarat itu dinyatakan batal.
c) Syarat Marhun Bih (Utang)
8
1). Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin
2). Marhun bih itu boleh dilunasi dengan marhun itu
3). Marhun bih itu jelas/tetap dan tertentu
4). Memungkinkan pemanfaatan
5). Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya.
d) Marhun (Benda Jaminan Gadai)
1). Marhun itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan marhun bih
2). Marhun itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan (halal)
3). Marhun itu jelas dan tertentu
4). Marhun itu milik sah rahin
5). Marhun itu tidak terkait dengan hak orang lain
6). Marhun itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam

2.3 Pengertian Konsep Qardh dan produknya

Al-Qardh (utang) berasal dari kata qarada – yaqridhu – qardhan. Secara bahasa asalnya
adalah Al-Qath'u (potongan) atau terputus. Sedangkan secara istilah ialah harta yang
diberikan seseorang kepada orang lain untuk dikembalikan lagi ketika ia telah mampu.
Pengertian lain dari utang-piutang atau qardh adalah harta yang diberikan oleh muqridh
(pemberi utang) kepada muqtaridh (orang yang berutang) untuk dikembalikan kepadanya
sama dengan yang diberikan pada saat muqtaridh mampu mengembalikannya. Al-Qardh
pada dasarnya adalah pemberian pinjaman dari seseorang kepada pihak lain dengan tujuan
untuk menolongnya. Oleh karena itu, Syafi'i Antonio mempertegas bahwa aqd Al-Qardh
bukan akad komersial, ia merupakan akad sosial (memberikan pertolongan) yang
bertujuan sebagai sikap ramah tamah sesama manusia, membantu dan memudahkan
segala urusan kehidupan mereka, dan bukan bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan
berbisnis.
Dalam perbankan syariah terdapat kegiatan usaha, diantaranya penyaluran dana melalui
prinsip pinjam meminjam berdasarkan akad qardh. Al-Qardh merupakan pinjaman
kebaikan yang digunakan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka
pendek.

Produk Al-Qardh meliputi berbagai macam pembiayaan produk, seperti:


1) Produk pembiayaan dana talangan haji: Produk ini diberikan kepada calon
nasabah haji dalam rangka untuk mempermudah memperoleh nomor porsi Haji
2) Pinjaman tabungan haji: Nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk
memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji
3) Pinjaman pada pengusaha kecil: Pinjaman ini diberikan kepada pengusaha kecil yang
kekuarangan dana
4) Qardh al-Hasan: Produk khusus yang menyediakan usaha yang sangat kecil atau
membantu sektor sosial

Landasan hukum
Yang dijadikan landasan syar'i tentang Al-Qardh dalam Al-Qur'an adalah Surat Al-
Baqarah ayat 245:
Artinya: Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka
9
Allah akan melipatgandakan pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh
pahala yang banyak.

Syarat dan Rukun Al-Qardh


Dalam surat Al-Baqarah ayat 282-283 dijelaskan bahwa syarat dan
rukun dari utang-piutang atau Al-Qardh, yaitu:
1. Adanya para pihak
2. Harus tertulis
3. Dibacakan oleh yang berutang
4. Jika yang berutang tidak cakap maka dibacakan oleh wali
5. Adanya saksi 2 orang laki-laki
6. Jika tidak ada 2 orang laki-laki maka saksi terdiri dari 1 orang lakilaki dan 2 orang
perempuan
7. Adanya jumlah utang yang pasti
8. Adanya jangka waktu pembayaran utang (jatuh tempo utang)
9. Adanya barang tanggungan atau jaminan
Seperti halnya jual-beli, menurut fuqaha rukun dan syarat AlQardh adalah:
a. Aqid Untuk aqid, baik muqridh maupun muqtaridh disyaratkan harus orang yang
dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki ahliyatul ada'. Oleh karena itu, Al-Qardh
tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang masih di bawah umur atau orang gila.
Syafi'iyah memberikan persyaratan untuk muqridh, antara lain:
a) Ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru'
b) Mukhtar (memiliki pilihan) sedangkan untuk muqtaridh :
c) Harus memiliki ahliyah atau kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh,
berakal dan tidak mahjur 'alaih.
b. Ma'qud 'Alaih Menurut jumhur ulama yang terdiri dari Malikiyah, Syafi'iyah dan
Hanbali, yang menjadi objek akad dalam AlQardh sama dengan objek akad salam,
baik berupa barangbarang yang ditakar dan ditimbang, maupun qimiyat (barangbarang
yang tidak ada persamaannya di pasaran), seperti hewan, barang dagangan, dan barang
yang dihitung. Sehingga dapat diartikan bahwa setiap barang yang boleh dijadikan
objek jualbeli, boleh pula dijadikan objek akad qardh.
c. Shighat (Ijab dan qabul) Shighat ijab bisa dengan menggunakan lafal qardh (utang
atau pinjaman) dan salaf (utang), atau dengan lafal yang mengandung arti
kepemilikan. Penggunaan kata milik yang dimaksudkan bukan berarti diberikan cuma-
cuma, melainkan pemberian utang yang harus dibayar.

BAB III
10
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Jual beli dalam Islam adalah sebuah konsep yang bertujuan untuk membantu
masyarakat dalam bertransaksi dengan rukun dan syarat yang sesuai, serta menjamin
keadilan dan kepentingan setiap pihak.

2. SARAN
Perhatikan rukun dan syarat: Jual beli dalam Islam harus dilakukan dengan
rukun dan syarat yang telah ditetapkan. Hal ini bertujuan untuk menjamin keadilan dan
mencegah kekasih dalam transaksi. Mengetahui jenis jual beli yang disarankan: Sebagai
pihak yang bertransaksi, perlu mengetahui tentang jenis jual beli yang disarankan
dalam Islam, seperti jual beli yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan jual
beli yang bertujuan untuk membantu masyarakat.

11
DAFTAR PUSTAKA

Maulana, N. (2022). Pendekatan Kritis Implementasi Akad Qardh pada Perbankan


Syariah Di Indonesia. JASIE, 1(2).Mugawe, V., Pamantung, R. P., &
Asytuti, R. (2013). Kritik Penetapan Harga Ijarah pada Gadai Emas (Tinjauan Fikih dan
Etika). Jurnal Hukum Islam, 11(1), 137-162.
Tarantang, J., Astuti, M., Awwaliyah, A., & Munawaroh, M. (2019). Regulasi dan
implementasi pegadaian syariah di Indonesia.
Hidayati, T., & Hidayatullah, M. S. (2022). Konstruksi Utang-Piutang (Qardh) Dan
Penggunaannya Pada Bank Syariah Di Indonesia (Pendekatan Tafsir Ayat Ahkam). Al-Mizan (e-
Journal), 18(1), 55-76.
Prabowo, B. A., Barus, U. M., & Wau, H. S. M. (2023). Implikasi Hukum Hybrid Contract
dalam Akad Al-ijarah Wa Ar-rahn pada Pegadaian Syariah di Kota Yogyakarta. JURNAL
MERCATORIA, 16(2), 151-167.

12

Anda mungkin juga menyukai