Anda di halaman 1dari 19

AKAD SEWA

(Diajukan Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah I)

Dosen Pengampu: DR. Tuti Anggraini, MA

Disusun Oleh:

KELOMPOK 9

Istiaza Azra (0503222154)

Muhammad. Hafizhan Fakhri (0503222120)

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERAN UTARA

MEDAN

T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha kuasa
karena telah memberikan kesempatan pada kami untuk menyelesaikan makalah ini
Shalawat serta salam atas junjungan alam yakni baginda Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman cahaya terang
benderang seperti saat ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah kami yang berjudul "Akad Sewa”. Yang disusun guna
memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalat di Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara.

Tak lupa kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam penyusunan makalah ini. Kami selaku penulis menyadari
bahwa masih terdapat kekurangan dalam karya ilmiah ini, baik dalam penyusunan
maupun tata bahasa penyajiannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati
kami menerima saran dan kritik dari para pembaca agar kami dapat
menyempurnakan makalah ini. Kami berharap makalah yang kami buat dapat
memberikan manfaat dan wawasan bagi pembaca.

Medan, 28 September 2023

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB I .................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 1

C. Tujuan Masalah ...................................................................................... 1

BAB II ................................................................................................................ 5

PEMBAHASAN ................................................................................................. 5

A. Pengertian Sewa Menyewa (Ijarah) ....................................................... 5

B. Rukun, Syarat dan Dasar Hukum .......................................................... 5

C. Hak dan Kewajiban Ijarah ..................................................................... 8

D. Jenis-jenis Ijarah ..................................................................................... 9

E. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah ................................................... 11

BAB III ............................................................................................................. 14

PENUTUP ........................................................................................................ 14

A. Kesimpulan ............................................................................................ 14

B. Saran ...................................................................................................... 15

DAFTAR ISI .................................................................................................... 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang
lain, masing-masing berhajat kepada orang lain, bertolong-tolongan, tukar menukar
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik dengan cara jual beli, sewa menyewa,
pinjam meminjam atau suatu usaha yang lain yang bersifat pribadi maupun untukk
kemaslahatan umat. Dalam pergaulan kita sehari-hari, ada kalanya kita sebagai
manusia menghadapi persoalan keluarga yang mau tidak mau harus kita hadapi.
Ada kalanya kita sering mengabaikan keberadaan kitab suci umat islam, padahal
Al-Quran dan As-Sunnah merupakan pedoman hidup umat islam, karena begitu
lengkapnya diatur dalam tata cara hidup dan ibadah, baik dalam hubungannya
dengan Allah SWT. sebagai pencipta yang maha kuasa, juga dalam Al-Quran juga
telah dijelaskan bagaimana kita memperlakukan makhluk hidup lainnya. Muamalah
merupakan bagian dri rukun Islam yang mengatur hubungan antara seseorang
dengan orang lain. Contoh hukum Islam yang termasuk muamalah salah satunya
adalah Ijarah atau sewa-menyewa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan akad Sewa menyewa (Ijarah)?
2. Apa saja syarat dan rukun serta dasar hukum ijarah?
3. Apa saja hak dan Kewajiban dalam ijarah?
4. Apa saja jenis-jenis dalam ijarah?
5. Bagaimana pembatalan dan berakhirnya ijarah?

C. Tujuan Masalah
1. Agar mengetahui pengertian akad Sewa menyewa (Ijarah)?

1
2. Agar mengetahui syarat dan rukun serta dasar hukum ijarah?
3. Agar mengetahui hak dan Kewajiban dalam ijarah?
4. Agar mengetahui jenis-jenis dalam ijarah?
5. Agar mengetahui bagaimana pembatalan dan berakhirnya ijarah?

2
STUDI KASUS

Abdullah, seorang pengusaha kecil, ingin menyewa sebuah gudang untuk


menyimpan persediaan barang dagangannya. Dia menemukan sebuah gudang yang
cocok di kota dan ingin mengontraknya. Maka Abdullah harus melakukan tahapan
akad sewanya (ijarah) yaitu dengan adanya penentuan Barang yang Disewa,
misalnya pemilik gudang dan penyewa (Abdullah) harus sepakat secara tegas
tentang gudang yang akan disewa. Ini termasuk dari menentukan lokasi, ukuran,
dan masa sewa. Lalu kesepakatan harga, yaitu kedua belah pihak harus mencapai
kesepakatan tentang biaya sewa dan jadwal pembayaran. Harga sewa harus jelas
dan bersifat tetap selama periode sewa. Lalu bisa saja ada syarat-syarat tambahan,
seperti pemeliharaan gudang dan perbaikan, perlu dibahas dan dimasukkan dalam
kontrak sewa. Yang terakhir akad sahnya, setelah semua detail disepakati, kedua
belah pihak harus menyatakan niat untuk menjalankan akad sewa (ijarah) secara
sah. Dalam kegiatan ini tidak boleh mengandung unsur riba di dalamnya, baik dari
harganya.

Abdullah, sebagai penyewa, berkewajiban untuk membayar sewa sesuai


dengan kesepakatan, menjaga gudang dengan baik, dan melaporkan kerusakan atau
masalah yang timbul selama masa sewa. Dan Pemilik gudang harus memastikan
gudang dalam kondisi baik, sesuai dengan kesepakatan, dan tidak meningkatkan
harga sewa tanpa persetujuan penyewa. Selama transaksi, kedua belah pihak harus
berlaku jujur dan adil, menghormati hak-hak satu sama lain, dan menjalankan akad
sewa sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Jadi, Abdullah dapat melakukan akad sewa (ijarah) dengan pemilik gudang
dengan mengikuti langkah-langkah tersebut, memastikan semua syarat-syarat
terpenuhi, dan menjalankan transaksi dengan integritas dan etika sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam. Ini akan membantu menciptakan hubungan yang baik antara
penyewa dan pemilik gudang sambil mematuhi hukum Islam dalam transaksi sewa
properti. Dalam akad sewa (ijarah) dalam Islam, perhitungan uang harus memenuhi

3
persyaratan syariah, termasuk tidak adanya unsur riba (bunga) dan
ketransparanannya.

Mulai dari penentuan harga gedung yaitu dimisalkan harganya adalah Rp.
7,000,000,00 per bulan. Dengan jangka waktu 12 bulan masa sewa, dengan
kesepakatan kedua belah pihak. Maka perhitungan total biaya sewa untuk satu
tahun yaitu;

Total biaya sewa= Harga sewa bulanan x Total masa sewa

Total biaya sewa= Rp. 7,000,000,00 x 12 bln = Rp. 84,000,000,00

Maka, Abdullah akan membayar kepada pemilik gudang total biaya sewa sebesar
Rp 84.000.000 pada awal masa sewa atau sesuai kesepakatan pembayaran lainnya.

Penting untuk dicatat bahwa perhitungan ini harus jelas, transparan, dan
tidak mengandung unsur riba (bunga). Harga sewa harus tetap dan tidak berubah
selama masa sewa yang telah disepakati. Jika ada syarat tambahan, seperti biaya
pemeliharaan atau perbaikan gudang, perhitungan dan rincian biaya tersebut juga
harus dijelaskan dengan jelas. Dengan perhitungan uang yang transparan dan sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam, Abdullah dan pemilik gudang dapat menjalankan
akad sewa (ijarah) dengan baik dan menghormati prinsip-prinsip keuangan Islam
dalam transaksi mereka.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sewa Menyewa (Ijarah)


Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti ul'iwadhu atau berarti ganti.
Dalam Bahasa Arab, al-ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian sejumlah uang. Ijarah menurut arti lughat adalah
balasan, tebusan, atau pahala. Menurut syara' berarti melakukan akad mengambil
manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai
dengan perjanjian yang telah ditentukan dengan syarat- syarat tertentu pula. 1

Menurut Sayyid Sabiq bahwa ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa ijarah
ialah Akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu
pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat. Menurut Idris
Ahmad bahwa upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan
memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, sekiranya dapat dipahami bahwa ijarah


adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah, sewa-menyewa adalah
menjual manfaat, dan upah-mengupah adalah menjual tenaga atau kekuatan.2

B. Rukun, Syarat dan Dasar Hukum


Rukun ijarah adalah sighat (ijab kabul), pihak pemberi sewa (muajjir),
penyewa (musta'jir), dan objek akad (upah dan manfaat). Penjelasan rukun-rukun
ini, yaitu:

1
Taufiqur Rahman, Buku Ajar Fiqih Muamalah Kontemporer (Jawa Timur, Academia
Publication, 2021) hal. 171
2
Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH, (Depok, Rajawali Pers, 2017) hal. 115

5
1) Sighat akad ijarah harus berupa pernyataan kemauan dan niat dua pihak
yang melakukan kontrak, baik secara formal atau dalam bentuk lain yang
equivalen.
2) Kedua pihak yang melakukan kontrak harus memiliki kecakapan bertindak
hukum, dalam hal ini orang yang berkompeten, berkualifikasi untuk
menggunakan uang, memiliki kewenangan untuk berkontrak, serta harus
ada kerelaan dari masing-masing pihak.
3) Objek ijarah adalah manfaat penggunaan asset bukan penggunaan asset itu
sendiri. Manfaat harus bisa dinilai dan pemenuhan manfaat itu
diperbolehkan oleh syara'. Kemampuan untuk memenuhi manfaat harus
nyata dan dijelaskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan
ketidaktahuan yang berakibat terjadi sengketa.
4) Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan adan dibayar penyewa sebagai
kompensasi atau pembayaran manfaat yang dinikmatinya. Sewa atau upah
harus sesuatu yang bernilai dan diperbolehkan syara' serta diketahui
jumlahnya dan ditentukan dalam ukuran atau batas waktu tertentu.
Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis
yang sama dengan objek kontrak. Jika objek ijarah adalah pekerjaan, maka
ketika pekerjaan selesai dikerjakan, upah segera dibayarkan. Jika objek
ijarah itu barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam
akad ditentukan lain, manfaat barang yang disewakan mengalir selama
penyewaan berlangsung.3

Harus dilihat terlebih dahulu orang yang melakukan perjanjian sewa-


menyewa tersebut, yaitu apakah kedua belah pihak telah memenuhi syarat untuk
melakukan perjanjian pada umumnya. Syarat ijarah, yaitu:

1) Syarat terjadinya akad (syarat in'iqad) : Syarat terjadinya akad berkaitan


dengan 'aqid, akad, dan objek akad. Syarat yang berkaitan dengan aqid

3
Harun, Yurisprudensi muamalah, (Surakarta, Press Universitas Muhammadiyah, 2017)
hal. 124

6
adalah berakal, dan mumayyiz menurut Hanafiyah, dan baligh menurut
Syafi'iyahdan Hanabilah.
2) Syarat kelangsungan akad

Untuk kelangsungan akad ijarah disyaratkan terpenuhinya hak milik atau


wilayah kekuasaan. Apabila si pelaku (aqid) tidak mempunyai hak
kepemilikan atau kekuasaan wilayah, maka menurut Syafi'iyah dan
Hanabilah akadnya tidak bisa dilangsungkan dan hukumnya batal.

3) Syarat sahnya ijarah

Untuk sahnya ijarah harus dipenuhi beberapa syarat yang berkaitan


dengan aqid (pelaku), ma'qud alaih (objek), sewa atau upah (ujrah) dan
akadnya sendiri.

4) Syarat Mengikatnya Akad ljarah Agar akad ijarah itu mengikat, diperlukan
dua syarat:
a. Benda yang disewakan harus terhindar dari cacat ('aib) yang
menyebabkan terhalangnya pemanfaatan atas benda yang disewa itu.
Apabila terjadi cacat ('aib) yang demikian sifatnya, maka orang yang
menyewa (musta’jir) boleh memilih antara meneruskan ijarah atau
membatalkanya.
b. Tidak terdapat udzur (alasan) yang dapat membatalkan akad ijarah. 4

Dasar-dasar hukum atau rujukan Ijarah adalah Alquran, Al-Sunah, dan Al-Ijma'.

1. Dasar hukum ijarah dalam Alquran adalah:

‫ضعْنَ لَكُ ْم فَ ٰات ُ ْوه َُّن ا ُ ُج ْو َره َُّن‬


َ ‫فَا ِْن ا َ ْر‬

Artinya: “Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah


upahnya."(Al-Talaq: 6)

2. Dasar Hukun Ijarah dari Al-Hadis:

4
Taufiqur Rahman, Op.Cit., hal. 178-180

7
"Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya." (HR.
Abdul Razaqdari Abu Hurairah).

3. Landasan Ijma'nya ialah:

Umat Islam pada masa sahabat telah berijma' bahwa ijarah diperbolehkan sebab
bermanfaat bagi manusia. 5

C. Hak dan Kewajiban Ijarah


Para pihak yang melaksanakan transaksi ijarah memiliki hak dan kewajiban
tertentu, yaitu antara lain:

1) Pemberi sewa berkewajiban menyediakan aset yang disewa dan menjamin


apabila timbul kecacatan terhadap barang sewa. Dalam penyediaan aset ini,
pemberi sewa dapat membuat, membeli, atau menyewa barang yang akan
disewakan termasuk melengkapi dan menyediakan sarana yang diperlukan
sesuai dengan manfaat yang akan diperoleh oleh penyewa. Begitu pula
apabila ada kecacatan dari barang sewa yang menyebabkan kerusakan
manfaat dari objek barang sewa, pemberi sewa berkewajiban menjelaskan
kecacatan tersebut kepada penyewa, dan apabila cacat tersebut di ketahui
setelah terjadinya akad, maka pemberi sewa memberikan hak opsi (khiyar)
kepada penyewa untuk membatalkan akad sewa atau mendapat
pengurangan atas pembayaran imbalan sewa.
2) Penyewa berkewajiban untuk menjaga keutuhan aset yang disewa dan
membayar sewa. Para ulama sepakat bahwa aset yang disewa adalah
amanah di tangan penyewa. Namun, apabila aset yang disewa rusak tanpa
pelanggaran dari yang dibolehkan atau lalai dalam menjaganya dari pihak
penyewa, maka ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut, karena
ketika penyewa diizinkan oleh pemberi sewa untuk menikmati manfaat dari

5
lim Fahima, Fikih Ekonomi, (Yogyakarta, Samudra Biru, 2016) hal. 98

8
aset yang disewa, ia tidak dianggap sebagai penjamin dari aset yang di sewa
itu.
3) Berkaitan dengan pemeliharaan terhadap aset yang disewa, kedua belah
pihak dapat merinci hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan
kebiasaan dan kelaziman dalam masyarakat. Misalnya penyewa dapat
meminta pemberi sewa untuk melaksanakan pemeliharaan objek sewa
untuk memastikan penggunaan yang berkelan- jutan (Misalnya, oli yang
diperlukan untuk mesin dan peralatannya), atau untuk memungkinkan aset
itu terus memberikan manfaat, sehingga diminta pemeliharaan di lakukan
secara periodik.6

D. Jenis-jenis Ijarah
Terdapat dua macam ijarah, yaitu Ijarah 'ala al-manafi' dan ijarah 'ala-'amaal.
Adapun penjelasan dari dua jenis ijarah tersebut, yaitu:

a. Ijarah atas manfaat (Ijarah 'ala al-manafi')

Ijarah 'ala al-manafi yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat,
seperti menyewakan rumah untuk ditempati, mobil atau motor untuk dikendarai,
dan lain-lain. Dalam ijarah tidak diperbolehkan menjadikan objeknya sebagai
tempat yang dimanfaatkan untuk kepentingan yang dilarang oleh syara. Dalam hal
ini para ulama berbeda pendapat mengenai akad ijarah ini dinyatakan ada. Karena
akad ijarah memiliki sasaran manfaat dari benda yang disewakan, maka pada
dasarnya penyewa berhak untuk memanfaatkan barang itu sesuai dengan
keperluannya, bahkan dapat meminjamkan atau menyewakan kepada pihak lain
sepanjang tidak mengganggu dan merusak barang yang disewakan.

b. Ijarah atas pekerjaan (Ijarah 'ala-'amaal)

Ijarah 'ala-'amaal adalah ijarah yang objek akadnya jasa atau pekerjaan,
seperti membangun gedung atau menjahit pakaian. Akad ijarah ini sangat terkait

6
Andri Soemitra, HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN FIQH MUAMALAH Di Lembaga
Keuangan dan Bisnis Kontemporer (Jakarta, Kencana. 2019) hal. 121-122

9
dengan maslah upah mengupah. Karena itu pembahasannya lebih dititikberatkan
kepada pekerjaan atau buruh (ajir). Ajir dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
ajir khass dan ajir musytarak. Ajir khass adalah pekerja atau buruh yang melakukan
suatu pekerjaan secara individual dalam waktu yang telah ditetapkan, seperti
pembantu rumah tangga dan sopir. Sedangkan ajir musytarak adalah seseorang
yang bekerja dengan profesinya dan tidak terikat oleh orang tertentu. Dia
mendapatkan upah karena profesinya, misalnya pengacara dan konsultan.
Pembagian ajir mempunyai akibat terhadap tanggung jawab masing-masing.7

Ada jenis barang yang diijarahkan, yaitu: Kebolehan melakukan akadijarah,


menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) ditentukan jenis objeknya.
Benda yang menjadi objek ijarah harus benda yang halal atau mubah. Benda yang
diijarah harus digunakan untuk hal-hal yang dibenarkan menurut syariat. Setiap
benda yang dapat dijadikan objek jual beli dapat dijadikan objek ijarah. 8

 Ijarah Muntahiya Bi At-Tamlik dan Ijarah Mausufah Fid Zimmah

Aplikasi ijarah pada perbankan syariah dapat dilihat dari jasa Shunduq Hifzi
Ida atau Safe Deposit Box, Tjarah muntahiya bi-tamlik (Financial Lease With
Purchase Option).

Muntahiya hi at-tamlik adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan
sewa, atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di
tangan si pembeli. Menurut kamus ekonomi syariah, ijarah muntahiya bi at-tamlik
adalah ijarah dengan janji (waad) yang mengikat pihak yang menyewakan untuk
menjadikan kepemilikan kepada penyewa. Al-ijarah muntahiya bi at-tamlik
memiliki banyak bentuk, bergantung pada apa yang disepakati kedua belah pihak
yang berkontrak Misalnya, al-ijarah dan janji menjual, nilai sewa yang mereka

7
Zaenal Abidin, Rosnawati, Siti Rahma, dkk, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Zabags Qu
Publish, 2022) hal.101-102
8
lim Fahima, Op.Cit., hal. 96

10
tentukan dalam ijarah, harga barang dalam transaksi, dan kapan kepemilikan
dipindahkan. 9

Makna dari al-ijarah al-mausufah fi al-dzimmah adalah objek transaksi yang


diwujudkan belum ada ketika akad, namun sudah dibatasi berdasarkan kriteria yang
jelas. Akad al-ljarah al-Maushufah fi al-Dzimmah adalah akad sewa-menyewa atas
manfaat suatu barang (manfaat lain) dan atau jasa ('amal) yang pada saat akad hanya
disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (kuantitas dan kualitas). Akad al ijarah al
maushuah fi dzimmah adalah akad (jarah dengan harga (upah) dibayar tunai,
sedangkan obyek sewa diserahkan pada waktu yang disepakati. makna dari jarah
Maushufah fi al-dzimmah adalah objek transaksi yang wujudnya belum ada ketika
akad, namun dia sudah dibatasi berdasarkan kriteria yang jelas. Objek al-ijarah al-
mausufah fi al-dzimmah, boleh diakadkan meskipun penjual belum memiliki
barang. 10

E. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah


Menurut Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad al-ijarah itu bersifat
mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah
satu pihak yang berakad seperti, salah satu pihak wafat, atau kehilangan kecakapan
bertindak dalam hukum. Sedangkan Jumhur Ulama mengatakan bahwa akad al-
ijarah itu bersifat mengikat kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh
dimanfaatkan.

Menurut al-Kasani dalam kitab al-Badaa'iu ash-Shanaa'iu, menyatakan


bahwa akad al-ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:

1) Objek al-ijarah hilang atau musnah seperti, rumah yang disewakan terbakar
atau kendaraan yang disewa hilang.

9
Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: Fiqh Muamalah, (Jakarta, KENCANA, 2015)
hal.253
10
Taufiqur Rahman, Op.Cit., hal. 181

11
2) Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir.
Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada
pemiliknya, dan apabila yang disewa itu jasa seseorang maka orang tersebut
berhak menerima upahnya.
3) Wafatnya salah seorang yang berakad.
4) Apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita
negara karena terkait adanya utang, maka akad al-ijarah nya batal.

Sementara itu, menurut Sayyid Sabiq, al-ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila
ada hal-hal sebagai berikut:

1) Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika di tangan penyewa.


2) Rusaknya barang yang disewakan, seperti ambruknya rumah, dan runtuhnya
bangunan gedung.
3) Rusaknya barang yang diupahkan, seperti bahan baju yang diupahkan untuk
dijahit.
4) Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah
ditentukan dan selesainya pekerjaan.
5) Menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkan al-
ijarah jika ada kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti terbakarnya
gedung, tercurinya barang-barang dagangan, dan kehabisan modal.

Menurut Sayyid Sabiq jika akad al-ijarah telah berakhir, penyewa


berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu berbentuk barang
yang dapat dipindah (barang bergerak), seperti kendaraan, binatang, dan sejenisnya,
ia wajib menyerahkannya langsung pada pemiliknya. Dan jika berbentuk barang
yang tidak dapat berpindah (barang yang tidak bergerak), seperti rumah, tanah,
bangunan, ia berkewajiban menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan
kosong, seperti keadaan semula. Madzhab Hambali berpendapat bahwa ketika al-
ijarah telah berakhir penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada
kemestian mengembalikan untuk menyerah-terimakannya seperti, barang titipan.
Selanjutnya, mereka juga berpendapat bahwa setelah berakhirnya masa akad al-

12
ijarah dan tidak terjadi kerusakan yang tanpa disengaja, maka tidak ada kewajiban
menanggung bagi penyewa.11

11
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapludin Shidiq, Fiqh Muamalat (Jakarta,
Kencana, 2010) hal. 283-284

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijarah adalah akad pemindahan hak pakai atas barang atau jasa dalam waktu
tertentu dengan suatu imbalan, yang tidak diikuti oleh pemindahan hak milik atas
barang yang disewa. Terdapat rukun dan syarat ijarah yaitu ijab kabul, pihak
pemberi sewa, penyewa, dan upah serta manfaat. Dalam ijarah terdapat syarat
terjadinya akad harus berakal, dan baligh, syarat kelangsungan akad berkaitan
dengan terpenuhinya hak milik atau wilayah kekuasaan, Syarat sahnya ijarah
berkaitan dengan pelaku, objek, sewa atau upah dan akadnya sendiri. Dasar hukum
ijarah berdasarkan al-Qur’an, Al-Hadist, dan Al-Jima’.

Dalam ijarah ada hak dan kewajiban bagi sewa dan penyewa yaitu Pemberi
sewa berkewajiban menyediakan aset yang disewa dan menjamin apabila timbul
kecacatan terhadap barang sewa. Penyewa berkewajiban untuk menjaga keutuhan
aset yang disewa dan membayar sewa. Berkaitan dengan pemeliharaan terhadap
aset yang disewa, kedua belah pihak dapat merinci hak dan kewajiban masing-
masing sesuai dengan kebiasaan dan kelaziman dalam masyarakat.

Ijarah memiliki macam atau jenis sewa dan penyewa yaitu ada Ijarah 'ala
al-manafi yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat, dan juga, Ijarah 'ala-
'amaal adalah ijarah yang objek akadnya jasa atau pekerjaan. Akad al-ijarah
berakhir bila ada hal-hal seperti terjadinya cacat pada barang sewaan atau hilang,
tenggang waktu yang telah habis, Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan
sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan, daln lain-
lainnya.

14
B. Saran
Walaupun penulis mengharapkan kesempurnaan dalam penulisan makalah
ini, namun kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki.
Dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang dimiliki penulis . Oleh karena itu,
penulis berharap dapat menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sebagai bahan evaluasi kami saat menulis makalah selanjutnya. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat dan juga menambah wawasan bagi penulis dan pembaca.

15
DAFTAR ISI

Abidin, Z., Rosnawati, & Rahma, S. (2022). Fiqh Muamalah. Jakarta: Zabags Qu
Publish.

Fahima, I. (2016). Fikih Ekonomi. Yogyakarta: Samudra Biru.

Ghazaly, A. R., Ihsan, G., & Shidiq, S. (2010). Fiqh Muamalat. Jakarta:
KENCANA.

Harun. (2017). Yurisprudensi muamalah. Surakarta: Press Universitas


Muhammadiyah.

Mardani. (2015). FIQH EKONOMI SYARIAH: Fiqh Muamalah. Jakarta:


KENCANA.

Rahman, T. (2021). Buku Ajar Fiqih Muamalah Kontemporer . Jawa Timur:


Academia Publication.

Soemitra, A. (2019). HUKUM EKONOMI SYARIAH DAN FIQH MUAMALAH Di


Lembaga Keuangan dan Bisnis Kontemporer. Jakarta: KENCANA.

Suhendi, H. (2017). FIQH MUAMALAH. Depok: Rajawali Pers.

16

Anda mungkin juga menyukai