Anda di halaman 1dari 31

AKAD TABARRU’ YANG TERKAIT DENGAN

PELAYANAN JASA
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah fikih muamalah

Dosen pengampu:

Dr Syarif Hidayatullah S.S.I., M.A


Disusun oleh:
Kelompok 12

Najwan Salim Irfani 11210430000105


Khairuddin 11210430000091
Piawai Latif Affansyah 11180430000114

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.


Alhamdulillahi rabbil ‘alamin ‘amma ba’du, segala puji dan syukur ke
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita beribu ribu nikmat sampai kita
bisa bertemu pada sore hari ini, dan tidak lupa juga, sholawat serta salam semoga
selalu tercurah kan kepada sayyidul anbiya serta suri tauladan yang baik bagi
seluruh umat manusia, yakni baginda kita Nabi besar Muhammad SAW.
Dari sekian banyak nya nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, sampai
akhir nya kami dapat menyelesaikan dan menuyusun makalah ini tepat pada
waktunya dengan baik dan lancar. Makalah ini kami susun untuk menyelesaikan
tugas mata kuliah “fikih muamalah” yang bertemakan “akad tabaru’ yang terkait
dengan pelayan/ jasa”, di dalamnya kami akan membahas Wakalah, Wadi’ah, dan
Ariyah.
Dengan kerendahan hati, kami penulis memohon maaf apabila ada kesalah
dalam penulisan makalah ini, besar harapan penulis agar makalah ini dapat
menambah wawasan serta menambah pengetahuan bagi kami pribadi serta para
pembaca.
Dan kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam penyusunan makalah ini dan juga yang telah membaca makalah ini.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Tangerang, Senin 6 Desember 2021

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... vii


A. Latar Belakang .............................................................................................
B. Rumusan Masalah ........................................................................................
C. Tujuan ..........................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................1


1. . Wakalah .....................................................................................................1
A. . Pengertian Wakalah ............................................................................1
B. Dasar Hukum Wakalah .......................................................................1
C. Rukun dan Syarat ................................................................................2
1. Rukun Wakalah ...............................................................................2
2. Syarat Wakalah ...............................................................................2
D. Jenis-jenis Wakalah ...............................................................................4
E. Ketentuan Lain Dalam Wakalah ...........................................................4
F. Aplikasi Wakalah di Bank syariah ........................................................5
G. Berakhirnya Wakalah ............................................................................6
2 Wadiah .......................................................................................................7
A. Pengertian Wadiah ................................................................................7
B. Landasa Hukum Wadiah .......................................................................7
C. Rukun dan Syarat Wadiah .....................................................................8
a. Rukun Wadiah ................................................................................8
b. Syarat Wadiah .................................................................................8
D. Jenis-jenis Wadiah.................................................................................8
E. Hukum Menerima Wadiah ....................................................................9
F. Penerapan Wadiah dalam sistem Bank Syariah ..................................10
G. Keuntungan Laba Dalam Wadiah .......................................................11
H. Rusak Dan Hilangnya Barang Titipan ................................................11

iii
I. Berakhirnya Wadiah…………………………………………………12
3 Ariyah .......................................................................................................12
A. Pengertian Ariyah................................................................................12
B. Dasar Hukum Ariyah ..........................................................................13
C. Hukum Ariyah……………………………………………………….15
D. Rukun dan Syarat Ariyah ....................................................................16
1. Rukun Ariyah ................................................................................16
2. Syarat Ariyah ................................................................................17
E. Mcam-macam Ariyah..........................................................................18
F. Status Barang Pinjaman ......................................................................20
G. Berakhirnya akad Ariyah ....................................................................21

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 23


A. Kesimpulan..........................................................................................23
B. Saran ....................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia adalah suatu makhluk yang lemah, yang tidak
luput dari bantuan, Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri
tanpa bantuan orang lain, juga senantiasa terlibat dalam akad atau hubungan
muamalah. Praktek muamalah yang sering dilakukan diantaranya jual beli, pinjam
meminjam, utang-piutang sewa menyewa, gadai dan lain sebagainya. Dalam
menjalankan praktek muamalah kita tak hanya menggunakan rasio akal tapi juga
tetap berpegang pada Al-Qur’an dan hadist sebagai dasarnya.
Berbicara masalah muamalah berarti membicarakan masalah yang sangat
luas, yaitu hubungan manusia dengan manusia. Islam membuat berbagai macam
peraturan dalam bidang ini yang dengan peraturan itu diharapkan tercipta
kedamaian dan kebahagiaan hidup bermasyarakat. Salah satu masalah muamalah
yang diatur pelaksanaannya di dalam Islam adalah Akad Tabarru’. Begitu juga
halnya dengan kehidupan masyarakat di Desa Sungai Segajah bertransaksi dengan
pelaksanaan tarikan. Dimana pelaksanaan tarikan ini yang dilakukan oleh
masyarakat di Desa Sungai Segajah termasuk dalam Akad Tabarru’. Tarikan itu
hampir sama dengan arisan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arisan
adalah pertemuan dengan menyelenggarakan kumpulan uang diberikan kepada
yang hadir (anggota) secara bergantian. Hanya saja yang perlu diterapkan dalam
tarikan ini adalah nilai keadilan, yaitu masing-masing anggota mendapatkan
kesempatan dan fasilitas yang sama untuk mendapatkan tarikan berdasarkan
jumlah pembayarannya.
Akad tabarru’ yaitu akad yang dimaksud untuk tolong menolong dan
murni semata-mata karena mengharap ridha dan pahala dari Allah SWT. Sama
sekali tidak ada unsur mencari “Return” ataupun motif. Definisi lain, Akad
tabarru’ (gratuitous contract) adalah perjanjian yang merupakan transaksi yang
tidak ditujukan untuk memperoleh laba (transaksi nirlaba). Tujuan dari transaksi
ini adalah tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari
kata birr dalam bahasa arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak
yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apa pun
kepada pihak lainnya karena ia hanya mengharapkan imbalan dari Allah SWT dan
bukan dari manusia. Namun, tidak mengapa bila pihak yang berbuat kebaikan
tersebut meminta sekedar menutupi biaya yang ditanggung atau dikeluarkan untuk
dapat melakukan akad tabarru’ tersebut, sepanjang tidak mengambil laba dari
akad tabarru’ itu.
Salah satu bentuk kegiatan muamalah adalah utang piutang. utang piutang
adalah muamalah yang dibolehkan karena dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, setiap manusia terkadang tidak dapat mencukupinya dengan harta

ii
benda yang dimiliki, sehingga jika menghadapi kebutuhan yang mendesak sering
orang berutang kepada orang lain. Dalam ajaran Islam, utang dapat berupa barang
maupun uang. Walaupun utang dalam bentuk barang diperbolehkan, namun
sekarang ini lebih banyak orang berutang dalam bentuk uang. Transaksi utang
piutang dalam bentuk uang terjadi ketika seseorang karena suatu kebutuhan
tertentu memerlukan pinjaman uang dari orang lain dan yang bersangkutan
berjanji akan mengembalikan uang tersebut pada waktu yang telah disepakati
bersama.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, makalah ini mencoba menyajikan Tema
mengenai “Wakalah, Wadi’ah, dan Ariyah” dengan menjawab pertanyaan
berikut:
1) Bagaimana pengertian mengenai Wakalah, Wadi’ah, dan Ariyah?
2) Apakah yang menjadi landasan hukum Wakalah, Wadi’ah, dan
Ariyah?
3) Bagaimana rukun, syarat dan ketentuan Syariah mengenai Wakalah,
Wadi’ah, dan Ariyah?
4) Apa sajakah macam-macam Wakalah, Wadi’ah, dan Ariyah?
5) Apa sajakah hal-hal yang berkaitan dengan Wakalah, Wadi’ah, dan
Ariyah?
6) Bagaimana dan kapan berakhirnya Wakalah, Wadi’ah, dan Ariyah?
7) Bagaimana aplikasi Wakalah, Wadi’ah, dan Ariyah dalam perbankan
Syariah atau Lembaga keuangan Syariah (LKS)?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa tujuan rancangan atau pembuatan makalah ini sebagai berikut :
1) Memahami definisi atau penjelasan yang terkait dengan Wakalah,
Wadi’ah, dan Ariyah.
2) Mengetahui dasar hukum Wakalah, Wadi’ah, dan Ariyah.
3) Dapat menyebutkan serta menjelaskan rukun, syarat dan ketentuan
Syariah yang terkait dengan Wakalah, Wadi’ah, dan Ariyah.
4) Dapat mengetahui serta menjelaskan macam-macam Wakalah,
Wadi’ah, dan Ariyah.
5) Dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Wakalah, Wadi’ah,
dan Ariyah.
6) Dapat menjelaskan kapan dan berakhirnya akad Wakalah, Wadi’ah,
dan Ariyah.
7) Dapat memahami aplikasi Wakalah, Wadi’ah, dan Ariyah dalam
Lembaga keuangan Syariah (LKS).

iii
BAB II

PEMBAHASAN

1 . WAKALAH

A. Pengertian Wakalah

Wakalah Pengertian Secara Etimologi: Al-Wakalah berarti penyerahan


(al Tafwidh) dan pemeliharaan (al-Hifdh).

Secara Terminologi: yaitu menurut Mazhab Hanafi yang mengartikan


Wakalah sebagai pendelegasian suatu tindakan hukum kepada orang lain
yang bertindak sebagai wakil.

Sedangkan menurut Maliki, Syafi’i, dan Hambali mengartikan Wakalah


sebagai pendelegasian hak kepada seseorang dalam hal-hal yang bisa
diwakilkan kepada orang lain selagi orang tersebut masih hidup.

Wakalah dirumuskan sebagai memberi kuasa atau mandat kepada


seseorang atau kelompok untuk bertindak atas nama pemberi kuasa atau
pemberi mandat. 1

Rumusan ini juga semakna dengan yang termaktub di dalam KUH


Perdata Pasal 1792, yang berbunyi: “Pemberian kuasa adalah suatu
persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang
lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu
urusan” Firman Allah QS. Al-Kahfi (18):19

‫ءََو ۡ َاكل ُين عَ ُسََمَ ل ُِ ؕ َقََو َ قَو مۡلََ ِّ َ مََۡ ُم ل ُِ َكََُِ كَ َ ُنََا لُِ ؕ َقََوكل ُين‬
َ َ ‫َو َكََ ِل َك َ عَثَ ُنََ ِم ل ُِ َكسَا‬
ُِ‫َ َيَ ُي ؕ َقَوكل ُين َبعُ لمَُِ ن َ ُم ََ لِ َع َبَو كَ َ ُنَا لُِ ؕ ََ ُوع َثن ل ُۡين ن َ َ َ َ كل‬ َ َ‫كَ َ ُنمَو َي ُيَۡو ن َ ُو َع ُث‬

1
Wiwik Habsyiyah, Aplikasi akad tabarru` dalam lembaga keuangan
syari`ah, 03 Januari 2015

1
‫رََ َُ نَيُ َ َ ۡو ن َ ُط ِكَََ َثَوۡ َو َ ُ َسََ ُوَۡملُِ َعََ ََ ُط‬
‫َع َ َي َبقَملُِ ِذََل ِ َۡا ن ََك ََ ُنك َب َُي َمََ َ َ ُ سَ ُم ل‬
)19( ‫ط ُف َو ََل يل ُش َث ََ َّن َعملُِ ن َ َ ن‬ َّ َ َ ‫َ مۡ ُمهل َو ُكسَا‬

Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya


diantara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang diantara mereka:"Sudah
berapa lamakah kamu berada (di sini)". Mereka menjawab:"Kita berada
(di sini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi):"Rabb kamu
lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah
seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu
ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka
hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku
lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada
seorangpun. (QS. 18:19).

Para ulama` Islam berijmak atas kebolehan wakalah, karena hal itu
termasuk jenis ta’awun (tolong menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa.

B. Rukun Wakalah

1) Orang yang memberi kuasa (al Muwakkil;


2) Orang yang diberi kuasa (al Wakil);
3) Perkara/hal yang dikuasakan (al Taukil);
4) Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul).

C. Syarat Wakalah

a. Orang yang memberikan kuasa (al-Muwakkil) disyaratkan


cakap bertindak hukum, yaitu telah balig dan berakal sehat,
baik laki-laki maupun perempuan, boleh dalam keadaan

2
tidak ada di tempat (gaib) maupun berada ditempat, serta
dalam keadaan sakit ataupun sehat.
b. Orang yang menerima kuasa (al-Wakil), disyaratkan:

(1) Cakap berindak hukum untuk dirinya dan orang lain,


memiliki pengetahuan yang memadai tentang masalah yang
diwakilkan kepadanya, serta amanah dan mampu
mengerjakan pekerjaan yang dimandatkan kepadanya.
(2) Ditunjuk secara langsung oleh orang yang mewakilkan dan
penunjukkan harus tegas sehingga benar-benar tertuju
kepada wakil yang dimaksud.
(3) Tidak menggunakan kuasa yang diberikan kepadanya untuk
kepentingan dirinya atau di luar yang disetujui oleh pemberi
kuasa. Apabila orang yang menerima kuasa melakukan
kesalahan tanpa sepengetahuan yang memberi kuasa
sehingga menimbulkan kerugian, maka kerugian yang
timbul menjadi tanggungannya.

c. Perkara yang Diwakilkan/Obyek Wakalah Sesuatu yang


dapat dijadikan obyek akad atau suatu pekerjaan yang dapat
dikerjakan orang lain, perkara-perkara yang mubah dan
dibenarkan oleh syara’, memiliki identitas yang jelas, dan
milik sah dari al Muwakkil, misalnya: jual-beli, sewa-
menyewa, pemindahan hutang, tanggungan, kerjasama
usaha, penukaran mata uang, pemberian gaji, akad bagi
hasil, talak, nikah, perdamaian dan sebagainya.
d. Pernyataan Kesepakatan (Ijab-Qabul).

3
D. JENIS-JENIS WAKALAH

1) Bersifat Umum Orang yang mewakilkan tidak menentukan


jenis dan jumlah barang yang akan dibeli atau dijual.
Menurut Imam Abu Hanifah pemberian wakalah secara
umum boleh dilakukan, sedangkan menurut mazhab Syafi’i
tidak boleh karena mengandung banyak kemungkinan
terjadinya penipuan atau ketidaksesuaian.
2) Bersifat Khusus Perwakilan yang dilakukan dengan
menunjukkan secara jelas jenis dan jumlah barang yang
akan dibeli atau dijual oleh wakil. Ulama fikih sepakat
membolehkan perwakilan seperti ini dan pihak wakil terkait
dengan syaratsyarat atau ciri-ciri yang ditentukan oleh yang
memberi kuasa. U’lama fikih juga sepakat mengatakan
bahwa akad Wakalah boleh ditentukan waktunya sesuai
dengan kebutuhan orang yang mewakilinya. Wakil boleh
diberi imbalan atau gaji dan boleh juga tidak, seperti yang
dilakukan Rasulullah saw terhadap Ibn Luthbiyah ketika
Rasulullah saw mengutusnya untuk memungut zakat ke
suatu daerah.

E. Ketentuan Lain Dalam Wakalah

1) Pemberi kuasa berhalangan tetap Dalam hal pemberi kuasa


berhalangan tetap (wafat), maka pemberian kuasa tersebut
batal, sebagaimana halnya batal dengan adanya pembebasan
atau pengunduran diri pemberi kuasa, kecuali diperjanjikan
lain.
2) Perselisihan antara pemberi kuasa dengan yang diberi kuasa
Apabila terjadi perselisihan antara orang yang diberi kuasa

4
dengan orang yang memberi kuasa, khususnya kehilangan
barang yang dikuasakan, maka yang dijadikan pegangan
adalah perkataan orang yang menerima kuasa disertai
dengan saksi. Apabila sengketa disebabkan pembayaran,
maka yang dipegang adalah perkataan penerima kuasa
dengan bukti-buktinya. Jika penerima kuasa melakukan
suatu perbuatan yang dianggap salah, sedangkan ia
beranggapan bahwa pemberi kuasa menyuruhnya demikian,
maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan penerima
kuasa selama penerima kuasa adalah orang yang terpercaya
untuk melakukan perbuatan.

F. Aplikasi Wakalah Di Bank Syariah

1) Transfer, jasa yang diberikan bank untuk mewakili nasabah


dalam pemindahan dana dari satu rekening kepada rekening
lainnya.
2) Collection (inkaso), melakukan penagihan dan menerima
pembayaran tagihan untuk kepentingan Nasabah.
3) Penitipan, yaitu kegiatan penitipan barang bergerak, yang
penatausahaannya dilakukan oleh Bank untuk kepentingan
Nasabah berdasarkan suatu akad, seperti SDB.
4) Memberikan fasilitas Letter of Credit (L/C) berdasarkan
prinsip Wakalah, Murabahah, Mudharabah, Musyarakah,
Salam/Istishna, Qardh dan Hawalah.
5) Anjak Piutang (Factoring), kegiatan pengalihan piutang
dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan
atas piutang berdasarkan akad wakalah.
6) Wali Amanat, yaitu melakukan kegiatan wali amanat.

5
• Kenapa Perlu L/C?
1) Transaksi jua-beli internasional melalui angkutan laut sangat
besar risikonya baik bagi pembeli maupun bagi penjual.
Risiko bagi pembeli adalah barang tidak dikirim, barang
yang dikirim tidak sampai atau rusak, dan/atau barang yang
dikirim tidak sesuai syarat L/C. Risiko bagi penjual adalah
tidak dibayarnya barang yang dikirim.
2) Untuk mengatasi kebuntuan dan mengecilkan risiko diatas
perlu ada pihak lain dan sarana untuk memperlancar
transaksi.
• Pihak dan Sarana utama adalah:
1) Bank sebagai perantara.
2) Letter of CREDIT (LC) sebagai surat janji membayar
bersyarat yang diterbitkan Bank.
3) Bill of Lading (BL) (konosemen) sebagai dokumen
pengangkutan / transport.

G. Berakhirnya Wakalah

1) Matinya salah seorang dari shahibul akad (orang-orang yang


berakad), atau hilangnya cakap hukum.
2) Dihentikannya aktivitas/pekerjaan dimaksud oleh kedua
belah pihak.
3) Pembatalan akad oleh pemberi kuasa terhadap penerima
kuasa, yang diketahui oleh penerima kuasa.
4) Penerima kuasa mengundurkan diri dengan sepengetahuan
pemberi kuasa.
5) Gugurnya hak pemilikan atas barang bagi pemberi kuasa

2. WADI’AH

6
A. PENGERTIAN

• Menurut Syafi’iyyah, yang dimaksud dengan al-wadi’ah ialah akad


yang dilaksankan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan.
• Menurut Hanafiyah, al-wadi’ah berarti al-ida’ yaitu ibarat
seseorang menyempurnakan harta kepada yang lain untuk dijaga
secara jelas. Makna yang kedua al-wadi’ah ialah sesuatu yang
dititipkan yaitu ‘sesuatu yang ditinggalkan pada orang terpercaya
supaya dijaganya.
• Sedangkan mahzab Maliki mengartikan wadiah adalah mewakilkan
orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
• Ulama mahzab Hanafi mengartikan Wadiah adalah memberikan
wewenang kepada orang lain untuk menjaga hartanya. Contohnya
seperti ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si
penerima titipan menjawab ia atau mengangguk, maka akad
tersebut sah hukumnya.

C. Landasan Hukum Wadiah


• Firman Allah SWT (QS. An-nisa ;58)

ِ ‫ت ا ِٰلى ا َ ْه ِل َه ۙا َواِذَا َح َك ْمت ُ ْم َبيْنَ ال َّن‬


‫اس ا َ ْن تَحْ ُك ُم ْوا‬ ِ ‫ّٰللا َيأ ْ ُم ُر ُك ْم ا َ ْن ت ُ َؤدُّوا ْاْلَمٰ ٰن‬
َ ‫اِ َّن ه‬
‫صي ًْرا‬ ِ ‫س ِم ْيعً ۢا َب‬
َ َ‫ّٰللا َكان‬ َ ‫ظ ُك ْم ِب ٖه ۗ ا َِّن ه‬ َ ‫ِب ْال َع ْد ِل ۗ ا َِّن ه‬
ُ ‫ّٰللا ِن ِع َّما َي ِع‬

Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang


berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara
manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah
sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha
Mendengar dan Maha Melihat

7
C. RUKUN WADI`AH

1. Penitip (pemilik harta)


2. Penerima harta titipan
3. Harta yang dititipkan
4. Shighat (ijab dan qabul)

D. SYARAT-SYARAT WADI`AH

1. Pelaku wadi`ah harus baligh


2. Berakal sehat
3. Barang yang dititipkan harus berupa yang bisa dititipkan dan
dijaga2

E. Jenis-Jenis wadi’ah

1. Wadiah yad al-amanah (titipan amanah atas dasar kepercayaan),


memiliki karakteristik antara lain;

a. Harta yang dititipkan tidak boleh digunakan atau


dimanfaatkan oleh penerima titipan.
b. Penerima titipan hamya berfungsi sebagai penerima amanah
yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang
dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
c. Sebagai kompensasi penerima titipan diperkenankan untuk
membebankan biaya kepada yang menitipkan.
d. Aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini
adalah jasa penitipan. Jadi pada dasarnya Al Wadi’ah yad

2
Juhaya, pengantar ilmu ekonomi dilengkapi dasar-dasar ekonomi islam, hal
206

8
al-amanah memiliki Suatu konsep yaitu pihak penerima
barang titipan tidak boleh mengunakan atau memanfaatkan
uang atau barang yang dititipkan, tetapi pihak penerima
dapat membebankan biaya penitipan sebagai balas jasa atas
penitipan yang dilakukan. Contoh; A Menitipkan motornya
kepada B dan B tidak mengunakannya, tetapi B meminta
biaya Penitipan Motor kepada A. 562

2. Wadiah Yad Adh-dhamanah , memiliki karakteristik antara lain:

a. Harta yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh


penerima titipan. Contoh: A menabung di Bank Muamalat
dan bank tersebut melakukan Investasi bagi hasil pada PT
CBA dari uang ditabung oleh A.
b. Karena dititipkan, barang atau dititipkan tersebut tentu dapat
menghasilkan manfaat. Tetapi, tidak ada keharusan bagi
penerima tititpan untuk memberikan hasil pemanfaatan
kepada pihak penitip. Produknya seperti giro Jadi pada
dasarnya Al-wadiah yad dhamanah memiliki suatu konsep
yaitu pihak penerima titipan boleh mengunakan atau
memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, pihak
penerima titipan mendapatkan hasil dari pengunaan barang
tersebut.

F. HUKUM MENERIMA WADI`AH

Hukum menerima barang titipan ada empat macam, yaitu sunat,


haram, wajib dan makruh. Secara lengkap dijelaskan sebagai berikut:

9
a. Sunat, disunatkan menerima titipan bagi orang yang percaya
kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga benda-benda
yang dititipkan kepadanya.
b. Wajib, diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi
seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima
dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain
tidak ada seorang pun yang dapat dipercayauntuk
memelihara benda-benda tersebut.
c. Haram, apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup
memelihara benda-benda titipan.
d. Makruh, bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri
bahwa dia mampu menjaga benda-benda titipan, tetapi dia
kurang yakin (ragu) pada kemampuannya maka bagi orang
seperti ini dimakruhkan menerima benda-benda titipan.

G. Penerapan Wadiah dalam Sistem Perbankan Syariah

Wadiah merupakan salah satu sumber modal dalam perbakan


syariah. Berdasarkan sumber modal yang terbesar selain modal dasar,
maka wadi`ah dapat dibagi kedalam, Wadi`ah Jariyah/ Tahta Thalab dan
Wadi`ah Iddikhariyah/Al-Taufir keduanya termasuk kedalam titipan yang
sifatnya biasa. Kedua simpanan ini mempunyai karakteristik yaitu harta
atau uang yang dititipkan boleh dimanfaatkan, pihak bank boleh
memberikan imbalan berdasarkan kewenangan menajemennya tanpa ada
perjanjian sebelumnya dan simpanan ini dalam perbankan dapat
disamakan dengan giro dan tabungan.

Prinsip Al-Wadiah dalam bank syariah merujuk pada perjanjian


dimana pelanggan menyimpan uang di bank dengan tujuan agar bank
bertanggungjawab menjaga uang tersebut dan menjamin pengembalian
uang tersebut bila terjadi tuntutan dari nasabah. Sebagai konsekuensi dari

10
pelaksanaan prinsip wadiah adalah semua keuntungan yang dihasilkan
dari dana titipan tersebut akan menjadi milik bank (demikian pula
sebaliknya). Sebagai imbalan bagi nasabah, si penyimpan mendapat
jaminan keamanan terhadap harta dan fasilitas-fasilitas giro lain.
Berdasarkan pada aturan perundangan yang ditetapkan oleh BI, prinsip ini
teraplikasi dalam kegiatan penggalangan dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan yang meliputi: 3

• Giro
• Tabungan
• Deposito
• Dan bentuk lainnya

H. Keuntungan (Laba) dalam Wadi’ah.

Ulama berbeda pendapat mengenai pengambilan laba atau


bonusnya. yaitu:

• Menurut ulama Syafi’iyah, tidak boleh mengambil keuntungan


atau bonus yang tidak disyaratkan diawal akad dari pemanfaatan
barang yang dititipkan dan akadnya bisa gugur.
• Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah boleh menerima laba
yang diberikan oleh orang yang dititipi.

I. RUSAK DAN HILANGNYA BARANG TITIPAN

Wajib menggantikan barang titipan apabila yang menjaga


berbuat ceroboh sehingga barang tersebut hilang atau pun rusak.

3
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Kencana Predana Media
Group, Jakarta, 2012, hal 284

11
Bentuk-bentuk kecerobohan:

• Ia menitipkan barang titipan tersebut pada orang lain tanpa seizin


pemilik dan tidak ada udzur padanya.
• Ia memindah barang titipan dari satu perkampungan atau satu
rumah ke tempat lain yang ukuran keamaannya di bawah tempat
yang pertama.
• Dan lain-lain4

J. BERAKHIRNYA WADI`AH

• meninggal salah satu aqidain


• selesainya masa titipan

3. PEMINJAMAN DALAM ISLAM (‘ARIYAH)


a. Pengertian ‘Ariyah
Menurut bahasa, Ariyah ialah ( ‫ )العاريةة‬berasal dari kata (‫ )عةةار‬yang
memiliki arti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ‘Ariyah
berasal dari kata (‫ )التعةةاور‬yang artinya sama hal itu dengan ( ‫)التنةةاول اوالتنةةاو‬
yang berarti ِ saling menukar dan mengganti, yakni dalam tradisi
peminjaman. 5
Menurut terminologi sebagaimana di kemukakan oleh para ulama fiqih
‘Ariyah dapat di artikan sebagai berikut:
1) Menurut ulama Hanafiyah:

‫تمليك المنافع مجنا‬


“Kepemilikan manfaat secara gratis”.
2) Menurut ulama Malikiyah:

4
Abi suja` fi matan ghayah wa taqrib dan ibrahim bajuri, fathul qarib fil babi
wadi`ah
5
Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001)

h. 139.

12
‫تمليك منفع مؤقت بال عوض‬
“Kepemilikan manfaat yang terikat oleh waktu tanpa adanya pengganti”.
3) Menurut ulama Syafi‟i:
‫اباح اْلنتفاع بما يحل اْلنتفاع به مع بقاء عينه‬
“Kebolehan memanfaatkan barang dan zatnya barang tersebut utuh”.
4) Menurut ulama Hanabilah:

‫اباح اْلنتفاع بعين من اعيان المال‬


“Kebolehan manfaat sesuatu yang bernilai harta.”6
Dengan dikemukakannya beberapa definisi tentang ‘Ariyah di atas,
maka dapat dipahami bahwa ‘Ariyah adalah Peminjaman yang mana
membolehkan kepada orang lain mengambil manfaat sesuatu yang halal
secara cuma-cuma atau dengan tujuan menolong dengan tidak merusak
zat barang tersebut, dan dikembalikan setelah dipergunakan manfaatnya
dalam keadaan tetap tidak rusak zatnya. Maka ketika ada suatu pemberian
pinjaman tersebut dituntut adanya imbalan di dalamnya, maka hal
tersebut bukanlah ‘Ariyah karena salah satu ciri dari akad-akad tabarru’
adalahnya tidak adanya imbalan dan berlandaskan pada tolong
menolong.7

b. Dasar Hukum ‘Ariyah

1) Al-Qur’an

‫اْلثْ ِم‬
ِ ْ ‫علَى‬ َ ‫علَى ْال ِب ِر َوالت َّ ْق ٰو ۖى َو َْل ت َ َع‬
َ ‫اونُ ْوا‬ َ ‫اونُ ْوا‬
َ ‫ َوت َ َع‬.......
ِ ‫ش ِد ْيدُ ْال ِعقَا‬ ‫ان َۖواتَّقُوا ه‬
‫ّٰللاَ ۗا َِّن ه‬
َ َ‫ّٰللا‬ ِ ‫َو ْالعُ ْد َو‬
Artinya: dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa

6
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah, (Bandung: Remaja Rosdakarya
Offset, 2016), h. 51-52.
7
K Lubis Suhrawardi, dkk, Hukum Ekonomi syariah, (Jakarta: sinar Grafika,
2012), h. 136

13
dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah Amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al-Maidah (5): 2)

ِ ‫ّٰللاَ َيأ ْ ُم ُر ُك ْم ا َ ْن ت ُ َؤدُّوا ْاْلَمٰ ٰن‬


‫ت ا ِٰلى ا َ ْه ِل َه ۙا‬ ‫۞ ا َِّن ه‬
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya (Q.S. An-Nisa (4): 58).

ُ ‫َويَ ْمنَعُ ْونَ ْال َما‬


َ‫ع ْون‬
Artinya: Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Q.S. Al-
Ma‟un (107): 7)

Ayat di atas menerangkan bahwa orang munafik memiliki sifat


enggan tolong-menolong terhadap orang lain dengan barang berguna. Al-
Qurthubi menjelaskan mengenai sebagian pendapat ulama bahwa kalimat
‫ المةةاعون‬sebagaimana terdapat dalam ayat di atas maknanya adalah ‘Ariyah
(Peminjaman).8

2) Hadis

‫ حدثنا إسماعيل بن عياش قال حدثني شرحبيل‬:‫حدثنا هشام بن عمار قال‬


‫ سمعت رسول هللا صلى هللا عليه‬:‫ يقول‬، ‫ سمعت أبا أمام‬:‫ قال‬،‫بن مسلم‬
. ‫ والمنح مردودة‬،‫ العاري مؤداة‬: ‫ يقول‬،‫وسلم‬
Artinya: Hisyam bin „Amar beliau berkata: Isma‟il bin Ayyasy
beliau berkata: Syurohbiil bin Muslim menuturkan kepadaku, Beliau
berkata “saya mendengar dari abi umamah” beliau berkata: saya
mendengar dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda: Al-Ariyah
(pinjaman) itu harus dikembalikan, Al-Minhah (Barang yang diambil
manfaatnya).9

8
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah, h. 53
9
Ibnu Majah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah Juz II,
(Darul Ihya Al-Kutubi Al-Arabiyah) h. 801

14
‫ عن‬،‫ حدثنا قتادة‬:‫ قال‬،‫ حدثنا همام بن يحيى‬:‫ قال‬،‫حدثنا حبان بن هالل‬
‫ قال لي رسول هللا‬:‫ قال‬،‫ عن أبيه‬، ‫ عن صفوان بن يعلى بن أمي‬،‫عطاء‬
‫ فأعطهم ثالثين درعا وثالثين‬،‫ إذا أتتك رسلي‬:‫صلى هللا عليه وسلم‬
‫ بل‬:‫ قال‬،‫ يا رسول هللا أعاري مضمون أو عاري مؤداة؟‬:‫ فقلت‬، ‫بعيرا‬
. ‫عاري مؤداة‬
Artinya: Telah menceritakan Hiban bin Hilal, beliau berkata: bahwa
telah menceritakan Hamam bin Yahya, beliau berkata: bahwa telah
menceritakan Qotadah, dari Shofwan bin Ya‟la bin Umayyah, dari
bapaknya, beliau berkata: bahwa Rasulullah Saw bersabda kepadaku,
“Apabila utusan-utusanku datang kepadamu, maka berilah mereka tiga
puluh baju perang dan tiga puluh unta.” Lalu saya berkata: “Ya
Rasulullah, apakah ini pinjaman yang dijamin atau pinjaman yang
dikembalikan? Rasul menjawab: “tentu itu pinjaman yang
dikembalikan”10

c. Hukum ‘Ariyah

Mengenai hukum pelaksanaan ‘ariyah (pinjammeminjam) di dalam


syariat Islam Jumhur ulama mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi‟iyah
dan Hanabilah, mereka berpendapat bahwa hukum asal dari ‘ariyah
(peminjaman) adalah sunnah (nadb).11 Hal ini didasarkan pada firman
Allah Swt yang berbunyi:

۩ۚ َ‫…وا ْف َعلُوا ْال َخي َْر لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح ْون‬..


َ
Artinya: .... Dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan. (QS. Al-Hajj (22): 77)
Hukum meminjamkan barang juga bisa menjadi wajib, jika
peminjam dalam keadaan darurat sedangkan pemilik barang tidak
mendapatkan kemudaratan jika meminjamkannya jadi diharuskan kepada
pemilik barang untuk meminjamkan barangnya. Contohnya, pada saat
cuaca dingin ada orang yang telanjang, atau hanya memakai pakaian
seadanya sehingga merasakan kedinginan. Maka, jika ada orang yang bisa
meminjamkan baju untuknya hukumnya menjadi wajib karena orang

10
Abu Abdurrahman Ahmad, As-Sunan Al-Kubra Linnisa’i, Juz 5 (Beirut:
Muasassah Al-Risalah, 2001), h. 331
11
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah …, h. 55

15
tersebut bisa sajaِ meninggal atau terkena penyakit seandainya tidak
dipinjami baju.
Mazhab Hanafiyyah dan Syafi‟iyyah berpendapat bahwa pinjam-
meminjam hukumnya bisa menjadi makruh, jika berdampak pada hal
yang makruh. Seperti meminjamkan hamba sahaya untuk bekerja kepada
orang kafir.12
Terkadang pula hukumnya bisa menjadi haram, seperti
meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang memakai pakaian
ihram dan ibadah haji atau meminjamkan pisau untuk membunuh. Jadi
‘ariyah hukumnya dapat berubah sesuai keadaan saat itu yang
mempengaruhinya.13

d. Rukun dan Syarat ‘Ariyah

1) Rukun ‘Ariyah
Menurut mayoritas ulama Hanafiyah rukun ‘ariyah hanya
membutuhkan ungkapan ijab dari peminjam saja, sedangkan Kabul dari
orang yang meminjamkan tidak termasuk rukun karena cukup dengan
mennyerahkan barang kepada peminjam barang hal tersebut berdasarkan
dari istihsan (perbuatan yang dianggap baik oleh syara‟ dan adat
kebiasaan).14
Menurut ulama mazhab Syafi‟iyah, di dalam ‘ariyah
mensyaratkan adanya lafazh shighat akad, yakni ucapan serah terima atau
sering disebut ijab kabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang
pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang tergantung pada
adanya izin dari satu pihak. Secara umum, jumhur ulama fiqih
menyatakan bahwa rukun ‘ariyah ada empat, yaitu:
a) Mu’ir (yang meminjamkan)
b) Musta’ir (peminjam)
c) Mu’ar (barang yang dipinjam)

12
Muhammad Abdul Wahab, Fiqh Peminjaman, (Jakarta: Rumah Fiqh
Publishing, 2018), h. 7-8
13
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), Cet. 42, (Bandung:
Sinar Baru Algesindo, 2009), hal. 323
14
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
h. 94

16
d) Shighat (ungkapan ijab Kabul/serah-terima). 15

2) Syarat ‘Ariyah
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ‘ariyah sebagai berikut:

a) Syarat yang berhubungan dengan mu’ir (yang meminjamkan) di


antaranya adalah sebagai berikut:
(1) Berakal dan mumayyiz. Baligh tidak menjadi syarat sah. Oleh
karena itu, hukumnya sah anak kecil melaksanakan ‘ariyah asalkan
ada izin dari orang tuanya. Pendapat ini dikemukakan oleh
Hanafiyah.16 Sedangkan menurut Mazhab Syafi‟i selain keduanya
(berakal dan mumayyiz) juga ditambah dengan baligh. Sehingga
„ariyah tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila atau anak kecil
yang belum mumayyiz. 17
(2) Orang tersebut tidak di-mahjur (di bawah
perlindungan/pengawasan). Maka tidak sah ‘ariyah yang
18
dilaksanakan di bawah perlindungan, seperti pemboros dan pailit.
(3) Orang yang meminjamkan merupakan pemilik manfaat barang
yang akan dipinjamkan, maka sah meminjamkan barang sewaan
dan barang wasiat karena mereka memiliki hak atas kepemilikan
manfaat barang tersebut.19
b) Syarat yang berhubungan dengan Musta’ir (peminjam) diantaranya
sebagai berikut:
(1) Orang yang meminjam harus jelas. maka tidak boleh apabila
peminjam tersebut samarsamar.
(2) Peminjam harus orang yang mengerti dan cakap dalam
mempergunakan barang yang dipinjam. Maka tidak boleh
meminjamkan barang seperti mobil kepada anak kecil atau orang
gila karena ketidak cakapan mereka dalam mempergunakan barang
tersebut.20

15
Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nihayatuz zain, (Surabaya: AlHaramain
Jaya, 2005), h. 262.
16
Abdul Rahman Ghazaly., dkk, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Fajar
Interpratama Offset, 2010), h. 250
17
Abdurrohman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Mazahibi Al-Arba’ah, Juz 2,
(Kairo: Dar Al-Hadis, 2004), h. 206
18
Ibid
19
Ibid, h. 207
20
Ibid

17
c) Syarat yang berhubungan dengan mu’ar (barang yang dipinjam)
diantaranya sebagai berikut:
(1) Dapat dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisiknya (zatnya).
Oleh karena itu meminjamkan makanan hukumnya tidak sah.
Karena makanan tidak bisa dimanfaatkan tanpa merusak zatnya.
Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyah, Malikiyah, dan
Hanabilah.
(2) Mempunyai manfaat dan diperbolehkan oleh syara‟ untuk
memanfaatkannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Malikiyah dan
Syafi‟iyah. Malikiyah menambahkan sekalipun tidak
diperbolehkan memperjualbelikannya, seperti anjing untuk berburu
dan kulit binatang sembelihan.
d) Syarat yang berhubungan dengan Shighat (ungkapan ijab Kabul/serah-
terima).
(1) Setiap ungkapan yang menunjukan keridhaan pemilik dan
kebolehan memanfaatkan barang tanpa adanya pengganti, baik
dengan ucapan, perbuatan, isyarat, atau saling memberi. Pendapat
ini dikemukakan oleh Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah.
Sedangkan menurut Syafi‟iyah harus mutlak berbentuk ucapan,
tidak boleh yang selainnya. Adapun tulisan yang disertai niat dan
isyaratnya orang yang tidak bisa berbicara hukumnya sah.21

e. Macam-Macam ‘Ariyah
secara umum macam-macam „Ariyah terbagi menjadi dua yaitu
sebagai berikut:
1) Al-Ariyah Mutlak
Al-ariyah mutlak adalah bentuk peminjaman barang yang di
dalamnya tidak ada syarat apapun, sehingga peminjam bebas
mempergunkannya dikarenakan tidak jelas apakah hanya boleh
dimanfaatkan oleh peminjam saja atau boleh untuk orang lain.
2) Al-Ariyah Muqayyad (pinjaman Terbatas)
Al-ariyah muqayyad adalah meminjamkan sesuatu barang yang
dibatasi dari segi penggunaannya, waktu, dan tempat. Hukumnya,
peminjam diwajibkan unutk menaati batasan tersebut dan dilarang untuk
melanggarnya, kecuali adanya kesusahan yang menyebabkan peminjam

21
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah, …. h. 58-59

18
tidak dapat mengambil manfaat barang tersebut. Dengan demikian
peminjam dibolehkan melanggar batasan tersebut.22
Orientasi ‘ariyah muqayyad (pinjaman terbatas) antara lain:
a. Apabila para pihak menyepakati bahwa barang yang
dipinjam hanya boleh dipergunakan oleh orang yang
dipinjamkan, maka peminjam hanya diperbolehkan
menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri, dan
tidak diperbolehkan meminjamkannya lagi kepada pihak
lain.
b. Apabila orang yang meminjakan menegaskan adanya batas
waktu dan tempat penggunaan. Maka peminjam harus
menaatinya dan mengembalikan sesuai dengan
kesepakatan. Dan apabila peminjam melanggar batas
tersebut, maka peminjam wajib bertanggung jawab apabila
terjadi kerusakan pada barang pinjaman.
c. Apabila pemilik barang mengatur batas maksimum barang
yang diangkut oleh barang pinjaman misalnya seperti
kendaraan. Maka apabila orang yang dipinjamkan
melanggar, maka peminjam wajib mengganti kerugian
apabila terjadi kerusakan pada barang tersebut.23

Orientasi ‘ariyah muqayyad (pinjaman terbatas) antara lain:

a. Apabila para pihak menyepakati bahwa barang yang


dipinjam hanya boleh dipergunakan oleh orang yang
dipinjamkan, maka peminjam hanya diperbolehkan
menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri, dan
tidak diperbolehkan meminjamkannya lagi kepada pihak
lain.
b. Apabila orang yang meminjakan menegaskan adanya batas
waktu dan tempat penggunaan. Maka peminjam harus
menaatinya dan mengembalikan sesuai dengan kesepakatan.
Dan apabila peminjam melanggar batas tersebut, maka
peminjam wajib bertanggung jawab apabila terjadi
kerusakan pada barang pinjaman.

Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah……, h. 144


22

Jamaluddin, “Konsekuensi Akad Al-Ariyah dalam Fiqh Muamalah


23

Maliyah Perspektif Ulama Mazhahib Al-Arba’ah”. Jurnal Qowanin, Vol. 02


No. 2 (Juli 2018), h. 8

19
c. Apabila pemilik barang mengatur batas maksimum barang
yang diangkut oleh barang pinjaman misalnya seperti
kendaraan. Maka apabila orang yang dipinjamkan
melanggar, maka peminjam wajibmengganti kerugian
24
apabila terjadi kerusakan pada barang tersebut.

f. Status Barang Pinjaman

Status barang pinjaman memiliki perbedaan pendapat dikalangan


ulama. Karena ada yang mengatakan bahwa barang pinjaman tersebut
merupakan tanggungan (dhaman) atau hanya bersifat amanah bagi
peminjam. Mazhab hanafiyah berpendapat, pinjaman adalah amanah bagi
peminjam, bukan tanggungan (dhaman), sama halnya dengan wadi’ah,
dan ijarah tidak dikenakan dhaman ganti rugi bagi peminjam apabila
barang pinjaman rusak tanpa sengaja. Pendapat ini didasarkan pada hadis
nabi Saw:

‫ " ليس على المستودع غير المغل‬:‫ أن شريحا قال‬،‫عن ابن سيرين‬
‫ وْل على المستعير غير المغل ضمان‬،‫ضمان‬
Artinya: Dari Anas ibn Sirin sesungguhnya Suraih berkata: “tidak
ada kewajiban ganti rugi bagi penerima titipan yang tidak sia-sia dan
tidak ada kewajiban ganti rugi bagi orang yang meminjam yang tidak
melakukan sia-sia kewajiban ganti rugi”.25

Mazhab Syafi‟iyah dan Mazhab Malikiyah berpendapat pinjaman


adalah tanggungan (dhaman) untuk benda-benda yang dapat
disembunyikan, seperti pakaian, perhiasan apabila benda tersebut rusak
dan tidak ada saksi. Menurut ulama Malikiyah, apabila peminjam
memakai barang pinjaman yang mungkin dapat dikurangi nilai
barangnya, seperti pakaian, peminjam menanggung kerugian dan
mengganti kerusakan barang tersebut.

Menurut ulama malikiyah, untuk barang yang tidak bisa


disembunyikan seperti rumah, hewan apabila rusak atau hilang pada saat
dimanfaatkan, peminjam tidak dikenakan ganti rugi. Apabila barang

24
Jamaluddin, “Konsekuensi Akad Al- Ariyah dalam Fiqh Muamalah
Maliyah Perspektif Ulama Mazhahib Al-Arba’ah”. Jurnal Qowanin, Vol. 02
No. 2 (Juli 2018), h. 8
25
Abu Bakar Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, Juz 6, (Beirut: Darul Kitab
Al-Ilmiah, 2003), h. 149

20
pinjaman hilang atau hancur, peminjam dapat membuktikan bahwa
kerusakan atau hilangnya barang tersebut di luar kemampuannya, maka
peminjam tidak harus mengganti kerusakan atau hilangnya barang
tersebut.

Mazhab Syafi‟iyah mengemukakan bahwa pada prinsipnya tidak


ada tanggung jawab bagi peminjam untuk menganti rugi apabila barang
tersebut digunakan sesuai izin dan ketentuan yang diatur dari pemilik
barang. Namun, apabila peminjam menggunakan barang tersebut di luar
izin dan ketentuan yang diatur dari pemiliki barang. Maka peminjam
harus mengganti kehilangan ataupun kerusakan pada barang pinjaman.

Kesimpulannya akad ‘ariyah dapat berubah dari amanah menjadi


dhamanah apabila:

a. Barang yang dipinjam ditelantarkan oleh peminjam. Artinya


barang tersebut diletakan di sebuah tempat yang dapat
dengan mudahnya diambil oleh pencuri.
b. Barang pinjaman yang dalam waktu
peminjaman/pemanfaatnya tidak mendapatkan
pemeliharaan/perawatan sehingga barang tersebut menjadi
rusak dan lapuk.
c. Peminjam menggunakan barang yang dipinjam tidak sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati atau tidak sesuai
dengan adat kebiasaan
d. Peminjam menyalahi cara pemeliharaan barang sehingga
barang tersebut menjadi mudah rusak karena salah dalam
pemeliharaannya. 26

g. Berakhirnya Akad ‘Ariyah


Para ulama menjelaskan bahwa peminjaman dapat berakhir
disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
a. Berakhirnya waktu yang sudah disepakati khusus dalam
akad peminjaman yang dibatasi oleh waktu (muqayyad).
b. Pihak yang meminjamkan barang tersebut (mu’ir) menarik
atau mengambil barang yang dipinjamkannya dari pihak
yang dipinjamkan (musta’ir) dalam keadaan yang memang

26
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasinya pada
Sektor Keuangan Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), h. 174-
176.

21
diperbolehkan oleh hukum Islam untuk mengambilnya
sehingga tidak merugikan peminjam.
c. Hilang akalnya salah satu pihak baik orang yang
meminjamkan maupun yang dipinjamkan.
d. Terhalang untuk melakukan akad dikarenakan bodoh atau
pailit.
e. Rusak atau hilangnya barang yang dipinjamkan dengan
adanya keharusan untuk memperbaiki barang apabila rusak
dan mengganti barang apabila hilang.27

27
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah, h. 63.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan denga apa yang dipaparkan di bab 2, maka dapat
disimpulkan:
1. Wakalah yaitu sebagai memberi kuasa atau mandat kepada seseorang
atau kelompok untuk bertindak atas nama pemberi kuasa atau pemberi
mandat.
2. Adapun Wadiah yaitu memberikan wewenang kepada orang lain untuk
menjaga hartanya.
3. Adapun Ariyah yaitu peminjaman yang mana membolehkan kepada
orang lain mengambil manfaat sesuatu yang halal secara cuma-cuma
atau dengan tujuan menolong dengan tidak merusak zat barang
tersebut, dan dikembalikan setelah dipergunakan manfaatnya dalam
keadaan tetap tidak rusak zatnya.
4. Wakalah, Wadiah dan Ariyah diperbolehkan, sebagaimana terdapat
pada firman Allah dalam surah Al-Kahfi ayat 19, An-Nisa ayat 58, Al-
Maidah: 2, dan juga beserta hadist dan ijma para ulama yang lainnya.
B. Saran
Berdasarkan pada kesimpulan diatas, sangatlah disarankan untuk
memahami hal-hal yang mengenai Wakalah, Wadiah dan Ariyah agar dapat
meng aplikasikannya dengan baik dan sesuai dengan syara’ dikehidupan
sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azam, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010.

Abdul Rahman Ghazaly., dkk, Fiqih Muamalat, Jakarta: Fajar Interpratama


Offset, 2010.

Abdul Wahab Khallaf, Ushul Fiqh, (Cet X), Jakarta: Dewan Dakwah Islam,
1972.

Abdul Wahab, Muhammad, Fiqh Peminjaman, Jakarta: Rumah Fiqh Publishing,


2018.

Abdurrahman bin Hasan, Al-Iman wa Al-Roddu’ala Ahli Al-bad’i, Jilid 1,


Riyadh: Darul ‘Ashimah, 1992

Abu Abdullah Muhammad bin Yazid, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Juz II,
Darul Ihya Al-Kutubi Al-Arabiyah.

Abu Bakar bin Abi Syaibah, Al-Kitab Al-Mushonif fii Al-Ahadis wa Al-Asar,
Juz 4, Riyadh: Maktabah Al-Rusyd, 1988.

Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasinya pada Sektor


Keuangan Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016.

Sabiq, Sayyid, Fikih Snnah (jilid 13), Bandung: Alna‟arif,1997. Suharsini,


Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta,
1993.

Anda mungkin juga menyukai