PELAYANAN JASA
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah fikih muamalah
Dosen pengampu:
ii
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
iii
I. Berakhirnya Wadiah…………………………………………………12
3 Ariyah .......................................................................................................12
A. Pengertian Ariyah................................................................................12
B. Dasar Hukum Ariyah ..........................................................................13
C. Hukum Ariyah……………………………………………………….15
D. Rukun dan Syarat Ariyah ....................................................................16
1. Rukun Ariyah ................................................................................16
2. Syarat Ariyah ................................................................................17
E. Mcam-macam Ariyah..........................................................................18
F. Status Barang Pinjaman ......................................................................20
G. Berakhirnya akad Ariyah ....................................................................21
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia adalah suatu makhluk yang lemah, yang tidak
luput dari bantuan, Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri
tanpa bantuan orang lain, juga senantiasa terlibat dalam akad atau hubungan
muamalah. Praktek muamalah yang sering dilakukan diantaranya jual beli, pinjam
meminjam, utang-piutang sewa menyewa, gadai dan lain sebagainya. Dalam
menjalankan praktek muamalah kita tak hanya menggunakan rasio akal tapi juga
tetap berpegang pada Al-Qur’an dan hadist sebagai dasarnya.
Berbicara masalah muamalah berarti membicarakan masalah yang sangat
luas, yaitu hubungan manusia dengan manusia. Islam membuat berbagai macam
peraturan dalam bidang ini yang dengan peraturan itu diharapkan tercipta
kedamaian dan kebahagiaan hidup bermasyarakat. Salah satu masalah muamalah
yang diatur pelaksanaannya di dalam Islam adalah Akad Tabarru’. Begitu juga
halnya dengan kehidupan masyarakat di Desa Sungai Segajah bertransaksi dengan
pelaksanaan tarikan. Dimana pelaksanaan tarikan ini yang dilakukan oleh
masyarakat di Desa Sungai Segajah termasuk dalam Akad Tabarru’. Tarikan itu
hampir sama dengan arisan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arisan
adalah pertemuan dengan menyelenggarakan kumpulan uang diberikan kepada
yang hadir (anggota) secara bergantian. Hanya saja yang perlu diterapkan dalam
tarikan ini adalah nilai keadilan, yaitu masing-masing anggota mendapatkan
kesempatan dan fasilitas yang sama untuk mendapatkan tarikan berdasarkan
jumlah pembayarannya.
Akad tabarru’ yaitu akad yang dimaksud untuk tolong menolong dan
murni semata-mata karena mengharap ridha dan pahala dari Allah SWT. Sama
sekali tidak ada unsur mencari “Return” ataupun motif. Definisi lain, Akad
tabarru’ (gratuitous contract) adalah perjanjian yang merupakan transaksi yang
tidak ditujukan untuk memperoleh laba (transaksi nirlaba). Tujuan dari transaksi
ini adalah tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari
kata birr dalam bahasa arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak
yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apa pun
kepada pihak lainnya karena ia hanya mengharapkan imbalan dari Allah SWT dan
bukan dari manusia. Namun, tidak mengapa bila pihak yang berbuat kebaikan
tersebut meminta sekedar menutupi biaya yang ditanggung atau dikeluarkan untuk
dapat melakukan akad tabarru’ tersebut, sepanjang tidak mengambil laba dari
akad tabarru’ itu.
Salah satu bentuk kegiatan muamalah adalah utang piutang. utang piutang
adalah muamalah yang dibolehkan karena dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, setiap manusia terkadang tidak dapat mencukupinya dengan harta
ii
benda yang dimiliki, sehingga jika menghadapi kebutuhan yang mendesak sering
orang berutang kepada orang lain. Dalam ajaran Islam, utang dapat berupa barang
maupun uang. Walaupun utang dalam bentuk barang diperbolehkan, namun
sekarang ini lebih banyak orang berutang dalam bentuk uang. Transaksi utang
piutang dalam bentuk uang terjadi ketika seseorang karena suatu kebutuhan
tertentu memerlukan pinjaman uang dari orang lain dan yang bersangkutan
berjanji akan mengembalikan uang tersebut pada waktu yang telah disepakati
bersama.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, makalah ini mencoba menyajikan Tema
mengenai “Wakalah, Wadi’ah, dan Ariyah” dengan menjawab pertanyaan
berikut:
1) Bagaimana pengertian mengenai Wakalah, Wadi’ah, dan Ariyah?
2) Apakah yang menjadi landasan hukum Wakalah, Wadi’ah, dan
Ariyah?
3) Bagaimana rukun, syarat dan ketentuan Syariah mengenai Wakalah,
Wadi’ah, dan Ariyah?
4) Apa sajakah macam-macam Wakalah, Wadi’ah, dan Ariyah?
5) Apa sajakah hal-hal yang berkaitan dengan Wakalah, Wadi’ah, dan
Ariyah?
6) Bagaimana dan kapan berakhirnya Wakalah, Wadi’ah, dan Ariyah?
7) Bagaimana aplikasi Wakalah, Wadi’ah, dan Ariyah dalam perbankan
Syariah atau Lembaga keuangan Syariah (LKS)?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa tujuan rancangan atau pembuatan makalah ini sebagai berikut :
1) Memahami definisi atau penjelasan yang terkait dengan Wakalah,
Wadi’ah, dan Ariyah.
2) Mengetahui dasar hukum Wakalah, Wadi’ah, dan Ariyah.
3) Dapat menyebutkan serta menjelaskan rukun, syarat dan ketentuan
Syariah yang terkait dengan Wakalah, Wadi’ah, dan Ariyah.
4) Dapat mengetahui serta menjelaskan macam-macam Wakalah,
Wadi’ah, dan Ariyah.
5) Dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Wakalah, Wadi’ah,
dan Ariyah.
6) Dapat menjelaskan kapan dan berakhirnya akad Wakalah, Wadi’ah,
dan Ariyah.
7) Dapat memahami aplikasi Wakalah, Wadi’ah, dan Ariyah dalam
Lembaga keuangan Syariah (LKS).
iii
BAB II
PEMBAHASAN
1 . WAKALAH
A. Pengertian Wakalah
ءََو ۡ َاكل ُين عَ ُسََمَ ل ُِ ؕ َقََو َ قَو مۡلََ ِّ َ مََۡ ُم ل ُِ َكََُِ كَ َ ُنََا لُِ ؕ َقََوكل ُين
َ َ َو َكََ ِل َك َ عَثَ ُنََ ِم ل ُِ َكسَا
َُِ َيَ ُي ؕ َقَوكل ُين َبعُ لمَُِ ن َ ُم ََ لِ َع َبَو كَ َ ُنَا لُِ ؕ ََ ُوع َثن ل ُۡين ن َ َ َ َ كل َ َكَ َ ُنمَو َي ُيَۡو ن َ ُو َع ُث
1
Wiwik Habsyiyah, Aplikasi akad tabarru` dalam lembaga keuangan
syari`ah, 03 Januari 2015
1
رََ َُ نَيُ َ َ ۡو ن َ ُط ِكَََ َثَوۡ َو َ ُ َسََ ُوَۡملُِ َعََ ََ ُط
َع َ َي َبقَملُِ ِذََل ِ َۡا ن ََك ََ ُنك َب َُي َمََ َ َ ُ سَ ُم ل
)19( ط ُف َو ََل يل ُش َث ََ َّن َعملُِ ن َ َ ن َّ َ َ َ مۡ ُمهل َو ُكسَا
Para ulama` Islam berijmak atas kebolehan wakalah, karena hal itu
termasuk jenis ta’awun (tolong menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa.
B. Rukun Wakalah
C. Syarat Wakalah
2
tidak ada di tempat (gaib) maupun berada ditempat, serta
dalam keadaan sakit ataupun sehat.
b. Orang yang menerima kuasa (al-Wakil), disyaratkan:
3
D. JENIS-JENIS WAKALAH
4
dengan orang yang memberi kuasa, khususnya kehilangan
barang yang dikuasakan, maka yang dijadikan pegangan
adalah perkataan orang yang menerima kuasa disertai
dengan saksi. Apabila sengketa disebabkan pembayaran,
maka yang dipegang adalah perkataan penerima kuasa
dengan bukti-buktinya. Jika penerima kuasa melakukan
suatu perbuatan yang dianggap salah, sedangkan ia
beranggapan bahwa pemberi kuasa menyuruhnya demikian,
maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan penerima
kuasa selama penerima kuasa adalah orang yang terpercaya
untuk melakukan perbuatan.
5
• Kenapa Perlu L/C?
1) Transaksi jua-beli internasional melalui angkutan laut sangat
besar risikonya baik bagi pembeli maupun bagi penjual.
Risiko bagi pembeli adalah barang tidak dikirim, barang
yang dikirim tidak sampai atau rusak, dan/atau barang yang
dikirim tidak sesuai syarat L/C. Risiko bagi penjual adalah
tidak dibayarnya barang yang dikirim.
2) Untuk mengatasi kebuntuan dan mengecilkan risiko diatas
perlu ada pihak lain dan sarana untuk memperlancar
transaksi.
• Pihak dan Sarana utama adalah:
1) Bank sebagai perantara.
2) Letter of CREDIT (LC) sebagai surat janji membayar
bersyarat yang diterbitkan Bank.
3) Bill of Lading (BL) (konosemen) sebagai dokumen
pengangkutan / transport.
G. Berakhirnya Wakalah
2. WADI’AH
6
A. PENGERTIAN
7
C. RUKUN WADI`AH
D. SYARAT-SYARAT WADI`AH
E. Jenis-Jenis wadi’ah
2
Juhaya, pengantar ilmu ekonomi dilengkapi dasar-dasar ekonomi islam, hal
206
8
al-amanah memiliki Suatu konsep yaitu pihak penerima
barang titipan tidak boleh mengunakan atau memanfaatkan
uang atau barang yang dititipkan, tetapi pihak penerima
dapat membebankan biaya penitipan sebagai balas jasa atas
penitipan yang dilakukan. Contoh; A Menitipkan motornya
kepada B dan B tidak mengunakannya, tetapi B meminta
biaya Penitipan Motor kepada A. 562
9
a. Sunat, disunatkan menerima titipan bagi orang yang percaya
kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga benda-benda
yang dititipkan kepadanya.
b. Wajib, diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi
seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima
dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain
tidak ada seorang pun yang dapat dipercayauntuk
memelihara benda-benda tersebut.
c. Haram, apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup
memelihara benda-benda titipan.
d. Makruh, bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri
bahwa dia mampu menjaga benda-benda titipan, tetapi dia
kurang yakin (ragu) pada kemampuannya maka bagi orang
seperti ini dimakruhkan menerima benda-benda titipan.
10
pelaksanaan prinsip wadiah adalah semua keuntungan yang dihasilkan
dari dana titipan tersebut akan menjadi milik bank (demikian pula
sebaliknya). Sebagai imbalan bagi nasabah, si penyimpan mendapat
jaminan keamanan terhadap harta dan fasilitas-fasilitas giro lain.
Berdasarkan pada aturan perundangan yang ditetapkan oleh BI, prinsip ini
teraplikasi dalam kegiatan penggalangan dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan yang meliputi: 3
• Giro
• Tabungan
• Deposito
• Dan bentuk lainnya
3
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Kencana Predana Media
Group, Jakarta, 2012, hal 284
11
Bentuk-bentuk kecerobohan:
J. BERAKHIRNYA WADI`AH
4
Abi suja` fi matan ghayah wa taqrib dan ibrahim bajuri, fathul qarib fil babi
wadi`ah
5
Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001)
h. 139.
12
تمليك منفع مؤقت بال عوض
“Kepemilikan manfaat yang terikat oleh waktu tanpa adanya pengganti”.
3) Menurut ulama Syafi‟i:
اباح اْلنتفاع بما يحل اْلنتفاع به مع بقاء عينه
“Kebolehan memanfaatkan barang dan zatnya barang tersebut utuh”.
4) Menurut ulama Hanabilah:
1) Al-Qur’an
اْلثْ ِم
ِ ْ علَى َ علَى ْال ِب ِر َوالت َّ ْق ٰو ۖى َو َْل ت َ َع
َ اونُ ْوا َ اونُ ْوا
َ َوت َ َع.......
ِ ش ِد ْيدُ ْال ِعقَا ان َۖواتَّقُوا ه
ّٰللاَ ۗا َِّن ه
َ َّٰللا ِ َو ْالعُ ْد َو
Artinya: dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa
6
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah, (Bandung: Remaja Rosdakarya
Offset, 2016), h. 51-52.
7
K Lubis Suhrawardi, dkk, Hukum Ekonomi syariah, (Jakarta: sinar Grafika,
2012), h. 136
13
dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah Amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al-Maidah (5): 2)
2) Hadis
8
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah, h. 53
9
Ibnu Majah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah Juz II,
(Darul Ihya Al-Kutubi Al-Arabiyah) h. 801
14
عن، حدثنا قتادة: قال، حدثنا همام بن يحيى: قال،حدثنا حبان بن هالل
قال لي رسول هللا: قال، عن أبيه، عن صفوان بن يعلى بن أمي،عطاء
فأعطهم ثالثين درعا وثالثين، إذا أتتك رسلي:صلى هللا عليه وسلم
بل: قال، يا رسول هللا أعاري مضمون أو عاري مؤداة؟: فقلت، بعيرا
. عاري مؤداة
Artinya: Telah menceritakan Hiban bin Hilal, beliau berkata: bahwa
telah menceritakan Hamam bin Yahya, beliau berkata: bahwa telah
menceritakan Qotadah, dari Shofwan bin Ya‟la bin Umayyah, dari
bapaknya, beliau berkata: bahwa Rasulullah Saw bersabda kepadaku,
“Apabila utusan-utusanku datang kepadamu, maka berilah mereka tiga
puluh baju perang dan tiga puluh unta.” Lalu saya berkata: “Ya
Rasulullah, apakah ini pinjaman yang dijamin atau pinjaman yang
dikembalikan? Rasul menjawab: “tentu itu pinjaman yang
dikembalikan”10
c. Hukum ‘Ariyah
10
Abu Abdurrahman Ahmad, As-Sunan Al-Kubra Linnisa’i, Juz 5 (Beirut:
Muasassah Al-Risalah, 2001), h. 331
11
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah …, h. 55
15
tersebut bisa sajaِ meninggal atau terkena penyakit seandainya tidak
dipinjami baju.
Mazhab Hanafiyyah dan Syafi‟iyyah berpendapat bahwa pinjam-
meminjam hukumnya bisa menjadi makruh, jika berdampak pada hal
yang makruh. Seperti meminjamkan hamba sahaya untuk bekerja kepada
orang kafir.12
Terkadang pula hukumnya bisa menjadi haram, seperti
meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang memakai pakaian
ihram dan ibadah haji atau meminjamkan pisau untuk membunuh. Jadi
‘ariyah hukumnya dapat berubah sesuai keadaan saat itu yang
mempengaruhinya.13
1) Rukun ‘Ariyah
Menurut mayoritas ulama Hanafiyah rukun ‘ariyah hanya
membutuhkan ungkapan ijab dari peminjam saja, sedangkan Kabul dari
orang yang meminjamkan tidak termasuk rukun karena cukup dengan
mennyerahkan barang kepada peminjam barang hal tersebut berdasarkan
dari istihsan (perbuatan yang dianggap baik oleh syara‟ dan adat
kebiasaan).14
Menurut ulama mazhab Syafi‟iyah, di dalam ‘ariyah
mensyaratkan adanya lafazh shighat akad, yakni ucapan serah terima atau
sering disebut ijab kabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang
pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang tergantung pada
adanya izin dari satu pihak. Secara umum, jumhur ulama fiqih
menyatakan bahwa rukun ‘ariyah ada empat, yaitu:
a) Mu’ir (yang meminjamkan)
b) Musta’ir (peminjam)
c) Mu’ar (barang yang dipinjam)
12
Muhammad Abdul Wahab, Fiqh Peminjaman, (Jakarta: Rumah Fiqh
Publishing, 2018), h. 7-8
13
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), Cet. 42, (Bandung:
Sinar Baru Algesindo, 2009), hal. 323
14
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
h. 94
16
d) Shighat (ungkapan ijab Kabul/serah-terima). 15
2) Syarat ‘Ariyah
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ‘ariyah sebagai berikut:
15
Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nihayatuz zain, (Surabaya: AlHaramain
Jaya, 2005), h. 262.
16
Abdul Rahman Ghazaly., dkk, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Fajar
Interpratama Offset, 2010), h. 250
17
Abdurrohman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Mazahibi Al-Arba’ah, Juz 2,
(Kairo: Dar Al-Hadis, 2004), h. 206
18
Ibid
19
Ibid, h. 207
20
Ibid
17
c) Syarat yang berhubungan dengan mu’ar (barang yang dipinjam)
diantaranya sebagai berikut:
(1) Dapat dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisiknya (zatnya).
Oleh karena itu meminjamkan makanan hukumnya tidak sah.
Karena makanan tidak bisa dimanfaatkan tanpa merusak zatnya.
Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyah, Malikiyah, dan
Hanabilah.
(2) Mempunyai manfaat dan diperbolehkan oleh syara‟ untuk
memanfaatkannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Malikiyah dan
Syafi‟iyah. Malikiyah menambahkan sekalipun tidak
diperbolehkan memperjualbelikannya, seperti anjing untuk berburu
dan kulit binatang sembelihan.
d) Syarat yang berhubungan dengan Shighat (ungkapan ijab Kabul/serah-
terima).
(1) Setiap ungkapan yang menunjukan keridhaan pemilik dan
kebolehan memanfaatkan barang tanpa adanya pengganti, baik
dengan ucapan, perbuatan, isyarat, atau saling memberi. Pendapat
ini dikemukakan oleh Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah.
Sedangkan menurut Syafi‟iyah harus mutlak berbentuk ucapan,
tidak boleh yang selainnya. Adapun tulisan yang disertai niat dan
isyaratnya orang yang tidak bisa berbicara hukumnya sah.21
e. Macam-Macam ‘Ariyah
secara umum macam-macam „Ariyah terbagi menjadi dua yaitu
sebagai berikut:
1) Al-Ariyah Mutlak
Al-ariyah mutlak adalah bentuk peminjaman barang yang di
dalamnya tidak ada syarat apapun, sehingga peminjam bebas
mempergunkannya dikarenakan tidak jelas apakah hanya boleh
dimanfaatkan oleh peminjam saja atau boleh untuk orang lain.
2) Al-Ariyah Muqayyad (pinjaman Terbatas)
Al-ariyah muqayyad adalah meminjamkan sesuatu barang yang
dibatasi dari segi penggunaannya, waktu, dan tempat. Hukumnya,
peminjam diwajibkan unutk menaati batasan tersebut dan dilarang untuk
melanggarnya, kecuali adanya kesusahan yang menyebabkan peminjam
21
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah, …. h. 58-59
18
tidak dapat mengambil manfaat barang tersebut. Dengan demikian
peminjam dibolehkan melanggar batasan tersebut.22
Orientasi ‘ariyah muqayyad (pinjaman terbatas) antara lain:
a. Apabila para pihak menyepakati bahwa barang yang
dipinjam hanya boleh dipergunakan oleh orang yang
dipinjamkan, maka peminjam hanya diperbolehkan
menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri, dan
tidak diperbolehkan meminjamkannya lagi kepada pihak
lain.
b. Apabila orang yang meminjakan menegaskan adanya batas
waktu dan tempat penggunaan. Maka peminjam harus
menaatinya dan mengembalikan sesuai dengan
kesepakatan. Dan apabila peminjam melanggar batas
tersebut, maka peminjam wajib bertanggung jawab apabila
terjadi kerusakan pada barang pinjaman.
c. Apabila pemilik barang mengatur batas maksimum barang
yang diangkut oleh barang pinjaman misalnya seperti
kendaraan. Maka apabila orang yang dipinjamkan
melanggar, maka peminjam wajib mengganti kerugian
apabila terjadi kerusakan pada barang tersebut.23
19
c. Apabila pemilik barang mengatur batas maksimum barang
yang diangkut oleh barang pinjaman misalnya seperti
kendaraan. Maka apabila orang yang dipinjamkan
melanggar, maka peminjam wajibmengganti kerugian
24
apabila terjadi kerusakan pada barang tersebut.
" ليس على المستودع غير المغل: أن شريحا قال،عن ابن سيرين
وْل على المستعير غير المغل ضمان،ضمان
Artinya: Dari Anas ibn Sirin sesungguhnya Suraih berkata: “tidak
ada kewajiban ganti rugi bagi penerima titipan yang tidak sia-sia dan
tidak ada kewajiban ganti rugi bagi orang yang meminjam yang tidak
melakukan sia-sia kewajiban ganti rugi”.25
24
Jamaluddin, “Konsekuensi Akad Al- Ariyah dalam Fiqh Muamalah
Maliyah Perspektif Ulama Mazhahib Al-Arba’ah”. Jurnal Qowanin, Vol. 02
No. 2 (Juli 2018), h. 8
25
Abu Bakar Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, Juz 6, (Beirut: Darul Kitab
Al-Ilmiah, 2003), h. 149
20
pinjaman hilang atau hancur, peminjam dapat membuktikan bahwa
kerusakan atau hilangnya barang tersebut di luar kemampuannya, maka
peminjam tidak harus mengganti kerusakan atau hilangnya barang
tersebut.
26
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasinya pada
Sektor Keuangan Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), h. 174-
176.
21
diperbolehkan oleh hukum Islam untuk mengambilnya
sehingga tidak merugikan peminjam.
c. Hilang akalnya salah satu pihak baik orang yang
meminjamkan maupun yang dipinjamkan.
d. Terhalang untuk melakukan akad dikarenakan bodoh atau
pailit.
e. Rusak atau hilangnya barang yang dipinjamkan dengan
adanya keharusan untuk memperbaiki barang apabila rusak
dan mengganti barang apabila hilang.27
27
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah, h. 63.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan denga apa yang dipaparkan di bab 2, maka dapat
disimpulkan:
1. Wakalah yaitu sebagai memberi kuasa atau mandat kepada seseorang
atau kelompok untuk bertindak atas nama pemberi kuasa atau pemberi
mandat.
2. Adapun Wadiah yaitu memberikan wewenang kepada orang lain untuk
menjaga hartanya.
3. Adapun Ariyah yaitu peminjaman yang mana membolehkan kepada
orang lain mengambil manfaat sesuatu yang halal secara cuma-cuma
atau dengan tujuan menolong dengan tidak merusak zat barang
tersebut, dan dikembalikan setelah dipergunakan manfaatnya dalam
keadaan tetap tidak rusak zatnya.
4. Wakalah, Wadiah dan Ariyah diperbolehkan, sebagaimana terdapat
pada firman Allah dalam surah Al-Kahfi ayat 19, An-Nisa ayat 58, Al-
Maidah: 2, dan juga beserta hadist dan ijma para ulama yang lainnya.
B. Saran
Berdasarkan pada kesimpulan diatas, sangatlah disarankan untuk
memahami hal-hal yang mengenai Wakalah, Wadiah dan Ariyah agar dapat
meng aplikasikannya dengan baik dan sesuai dengan syara’ dikehidupan
sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Ushul Fiqh, (Cet X), Jakarta: Dewan Dakwah Islam,
1972.
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Juz II,
Darul Ihya Al-Kutubi Al-Arabiyah.
Abu Bakar bin Abi Syaibah, Al-Kitab Al-Mushonif fii Al-Ahadis wa Al-Asar,
Juz 4, Riyadh: Maktabah Al-Rusyd, 1988.