Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

“RUNGGUHAN, HIWALAH, AL- QARD, WAKALAH,


DHAMAN”
Di Susun Sebagai Bentuk Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 10
1. NOVENDI SETIAWAN (22020230013)
2. SHELVI NADIA S (22020230028)

DOSEN PENGAMPU :
Dr. ALI AHMAD YENURI, M. H. I.

PRODI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM KADIRI
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kami karunia nikmat dan kesehatan, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini, dan terus dapat menimba ilmu di Universitas Islam
Kadiri. Penulisan makalah ini merupakan sebuah tugas dari dosen mata kuliah
Fiqh Muamalah. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah
wawasan dan pengetahuan pada mata kuliah yang sedang dipelajari, agar kami
semua menjadi mahasiswa yang berpengetahuan luas. Dengan tersusunnya
makalah ini kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan,
demi kesempurnaan makalah ini kami sangat berharap perbaikan, kritik dan saran
yang sifatnya membangun apabila terdapat kesalahan. Demikian, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua para pembaca.

Kediri, 03 Juni 2023

Penuli

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................2
BAB I......................................................................................................................................................3
LATAR BELAKANG..................................................................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................................................5
DISKUSI..............................................................................................................................................5
1. Rungguhan.....................................................................................................................................5
A Pengertian..............................................................................................................................5
B. Dasar Hukum.........................................................................................................................6
C. Rukun Dan Syarat...................................................................................................................7
2. Hiwalah....................................................................................................................................10
A. Pengertian............................................................................................................................10
B. Dasar Hukum.......................................................................................................................11
C. Rukun Syarat........................................................................................................................11
D. Macam - macam Hiwalah.....................................................................................................13
3. Al- Qard....................................................................................................................................13
A. Pengertian............................................................................................................................13
B. Dasar Hukum.......................................................................................................................15
C. Rukun dan Syarat Al-Qard....................................................................................................16
D. Macam-Macam....................................................................................................................17
4. Wakalah...................................................................................................................................18
A. Pengertian............................................................................................................................18
B. Dasar Hukum.......................................................................................................................19
C. Rukun dan Syarat Wakalah..................................................................................................20
D. Macam-macam Wakalah.....................................................................................................22
5.Dhaman........................................................................................................................................23
A. Pengertian............................................................................................................................23
B. Dasar Hukum.......................................................................................................................23
C. Rukun Syarat........................................................................................................................23
D. Macam-Macam Kafalah atau Dhaman.................................................................................24
Daftar pustaka.....................................................................................................................................27

2
BAB I

LATAR BELAKANG

Dalam konteks keuangan Islam, terdapat beberapa konsep yang sangat penting dan
relevan untuk dipahami, antara lain rungguhan, hiwalah, al qard, dan wakalah dhaman.
Konsep-konsep ini memainkan peran krusial dalam sistem keuangan berlandaskan prinsip-
prinsip syariah, yang bertujuan untuk menciptakan keadilan, keberlanjutan, dan keberkahan
dalam aktivitas ekonomi.

Rungguhan, yang juga dikenal sebagai al-mudharabah, adalah sebuah perjanjian


kerjasama antara dua pihak di mana satu pihak memberikan modal dan pihak lainnya
memberikan tenaga kerja serta keahlian. Konsep ini sering digunakan dalam sistem keuangan
Islam, di mana keuntungan dibagi berdasarkan persentase yang telah disepakati
sebelumnya.Rungguhan muncul sebagai alternatif yang adil dan inklusif bagi model
konvensional yang mengandalkan bunga sebagai mekanisme penghasilan.

Hiwalah, yang biasa disebut juga sebagai al-wakalah, merupakan kontrak di mana
seseorang memberikan wewenang kepada pihak lain untuk melakukan tindakan atau transaksi
atas namanya. Hal ini sering digunakan dalam keuangan Islam untuk memfasilitasi transfer
dana atau aset secara sah antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam konteks hiwalah,
kepercayaan dan integritas pihak yang diberi wewenang memainkan peran sentral dalam
menjaga keadilan dan keberlanjutan sistem keuangan Islam.

Al qard, dikenal juga sebagai pinjaman tanpa bunga, adalah konsep di mana seseorang
memberikan pinjaman kepada pihak lain tanpa meminta imbalan atau bunga. Konsep ini
memiliki tujuan sosial dan digunakan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan,
serta merangsang kemandirian ekonomi dalam masyarakat. Al qard tidak hanya menekankan
pada memberikan bantuan finansial, tetapi juga mempromosikan tanggung jawab sosial dan
kepedulian terhadap kesejahteraan umum.

Terakhir, wakalah dhaman adalah konsep di mana seseorang memberikan wewenang


kepada pihak lain untuk mengelola risiko atau aset dengan imbalan kompensasi tertentu.
Konsep ini sering digunakan dalam asuransi Islam, di mana pihak yang memberikan

3
wewenang bertindak sebagai pemegang polis dan pihak yang diberi wewenang bertindak
sebagai perusahaan asuransi. Wakalah dhaman menawarkan mekanisme proteksi dan
pengelolaan risiko yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, dengan fokus pada
persaudaraan, saling tolong-menolong, dan keadilan. Mempelajari lebih dalam tentang
konsep-konsep ini akan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana
keuangan Islam beroperasi dan bagaimana prinsip-prinsip syariah mempengaruhi praktik
keuangan. Dalam makalah ini, kami akan menyelidiki asal usul, prinsip dasar, dan penerapan
praktis dari rungguhan, hiwalah, al qard, dan wakalah dhaman dalam konteks keuangan
Islam. Selain itu, kita juga akan menganalisis dampak dan manfaat dari penerapan konsep-
konsep ini dalam masyarakat modern serta tantangan yang mungkin dihadapi.

4
BAB II
DISKUSI
1. Rungguhan
A Pengertian
Gadai dalam bahasa arab disebut dengan rahn. Secara
etimologi berati tetap, kekal, dan jaminan. Gadai istilah hukum
positif di indonesia adalah apa yang disebut barang jaminan,
agunan, rungguhan, cagar atau cagaran, dan tanggungan. Gadai
merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan
dari fasilitas pembiayaan yang diberikan.
Dalam terminologinya gadai mempunyai banyak pengertian dan
pemaknaan. Dalam kitab undang-undang hukum perdata, gadai
diartikan sebagai suatu hak yang di peroleh kreditor (si berpiutang) atas
suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur (si
berhutang), atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan
kekuasaan pada kreditor itu untuk mengambil pelunasan dari barang
tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya, dengan
pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang
telah di keluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu
digadaikan dan biayabiaya yang harus didahulukan. Azhar Basyir
memaknai rahn (gadai) sebagai perbuatan menjadikan suatu benda
yang bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan uang,
dimana adanya benda yang menjadi tanggungan itu di seluruh atau
sebagian utang dapat di terima.
Dalam hukum adat gadai di artikan sebagai menyerahkan
tanah untuk menerima sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan
si penjual (penggadai) tetap berhak atas pengembalian tanahnya
dengan jalan menebusnya kembali.17 Ar-rahn adalah menahan salah
satu harta milik si peminjam atas pinjaman yang diterimanya.
Barang yang di tahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan
hutang atau gadai.18 Gadai adalah jaminan atas barang yang dapat di

5
jual sebagai jaminan hutang, dan kelak nantinya dapat di jual untuk
membayar hutang, jika yang hutang tidak mampu membayar hutangnya
karena kesulitan.19 Rahn Disebut juga dengan al-habsu yang artinya
menahan. sedangkan menurut syari’at islam gadai berati menjadikan
barang yang memiliki nilai menurut syari’at sebagai jaminan hutang,
hingga orang tersebut dibolehkan mengambil hutang atau mengambil
sebagian manfaat barang tersebut. Pemilik barang gadai disebut rahin
dan orang yang mengutangkan yaitu orang yang mengambil barang
tersebut serta menahannya disebut murtahin, sedangkan barang yang di
gadaikan disebut rahn.
B. Dasar Hukum
i. Al Qur’an
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn
dibolehkan dalam islam berdasarkan al-Qur‟an dan sunnah
Rasul. Dalam surat al-Baqarah ayat 283 Allah berfirman :

Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak


secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan
persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang tanggungan (borg) itu
diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.” (QS. Al-
Baqarah : 283)

Para ulama fiqh sepakat bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam


perjalanan dan dalam keadaan hadir di tempat, asal barang jaminan itu
bisa langsung dipegang/dikuasai secara hukum oleh si piutang.
Maksudnya, karena tidak semua barang jaminan bisa dipegang /
dikuasai oleh si pemberi piutang secara langsung, maka paling tidak
ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam

6
status al-Marhun (menjadi jaminan hutang). Misalnya, apabila barang
jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka yang dikuasai adalah
surat jaminan tanah itu.

ii. Hadist 24 Kemudian dalam sebuah HR. Bukhari, Kitab


Ar-Rahn dikatakan bahwa : Artinya : “Dari Aisyah,
sesungguhnya Nabi saw membeli makanan secara tidak
tunai dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju
besinya”. (HR. Bukhari) Menurut kesepakatan pakar
fiqh, peristiwa Rasul SAW. merahn-kan baju besinya
itu, adalah kasus ar-rahn pertama dalam islam dan
dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw. Berdasarkan ayat
dan hadis-hadis diatas, para ulama fiqh sepakat
mengatakan bahwa akad ar-rahn itu dibolehkan, karena
banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya
dalam rangka hubungan antar sesama manusia.
iii. Ijma Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh
boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat
manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan
bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang
memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena
itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari
kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat
memperhatikan segenap kebutuhan umatnya. Di
samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syari‟ah
Nasional No. 25/DSNMUI/III/2002, tanggal 26 Juni
2002 dinyatakan bahwa, pinjaman 8 Ibnu Qudamah, Al-
Mugni, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah), Jilid
IV, h. 337. 25 dengan menggadaikan barang sebagai
jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur
ulama berpendapat bahwa rahn disyariatkan pada waktu
tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.
C. Rukun Dan Syarat
Rukun dan Syarat Akad Rahn:

7
i. Rukun Rahn Gadai memiliki empat rukun:
1. Rahin adalah orang yang memberikan gadai.
2. Murtahin adalah orang yang menerima gadai.
3. Marhun atau rahn adalah harta yang digadaikan untuk
menjamin utang.
4. Marhun bih adalah utang.
Menurut jumhur ulama, rukun gadai ada empat, yaitu:

1. Syarat Aqid
Syarat yang harus dipenuhi oleh aqid dalam gadai yaitu rahin
dan murtahin adalah ahliyah (kecakapan). Kecakapan
menurut Hanafiah adalah kecakapan untuk melakukan jual
beli. Sahnya gadai, pelaku disyaratkan harus berakal dan
mumayyiz.

2. Syarat Shighat Menurut Hanafiah, shighat gadai tidak boleh


digantungkan dengan syarat, dan tidak disandarkan kepada
masa yang akan datang. Hal ini karena akad gadai menyerupai
akad jual beli, dilihat dari aspek pelunasan utang. Apabila akad
gadai digantungkan dengan syarat atau disandarkan kepada
masa yang akan datang, maka akad akan fasid seperti halnya
jual beli. Syafi‟iyah berpendapat bahwa syarat gadai sama
dengan syarat jual beli, karena gadai merupakan akad Maliyah.
3. Syarat Marhun Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat
marhun sama dengan syarat-syarat jual beli. Artinya, semua
barang yang sah diperjualbelikan sah pula digadaikan.
Secara rinci Hanafiah mengemukakan syarat-syarat
merhun adalah sebagai berikut :

a. Barang yang digadaikan bisa dijual, yakni barang


tersebut harus ada pada waktu akad dan mungkin untuk
diserahkan. Apabila barangnya tidak ada maka akad
gadai tidak sah.
b. Barang yang digadaikan harus berupa maal (harta).
Dengan demikian, tidak sah hukumnya menggadaikan

8
barang yang tidak bernilai harta.
c. Barang yang digadaikan harus haal mutaqawwin, yaitu
barang yang boleh diambil manfaatnya menurut syara‟,
sehingga memungkinkan dapat digunakan untuk
melunasi utangnya.
d. Barang yang digadaikan harus diketahui (jelas), seperti
halnya dalam jual beli.
e. Barang tersebut dimiliki oleh rahin. Tidak sah
menggadaikan barang milik orang lain tanpa ijin
pemiliknya.
f. Barang yang digadaikan harus kosong, yakni terlepas dari
hak rahin. Tidak sah menggadaikan pohon kurma yang
ada buahnya tanpa menyertakan buahnya itu.
g. Barang yang digadaikan harus sekaligus bersama-sama
dengan pokoknya (lainnya). Tidak sah menggadaikan
buah-buahan saja tanpa disertai dengan pohonnya, karena
tidak mungkin menguasai buah-buahan tanpa menguasai
pohonnya.
h. Barang yang digadaikan harus terpisah dari hak milik
orang lain, yakni bukan milik bersama. Akan tetapi
menurut Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah, barang
milik bersama boleh digadaikan.

Berdasarkan fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN)- MUI No.


25/ DSN- MUI/III/2002, tanggal 22 Juni 2002, bahwa semua barang
dapat diterima sebagai agunan pinjaman. Akan tetapi semua pegadaian
syariah di Pekalongan mempunyai pengkhususan pada barang-barang
yang tidak dapat diterima sebagai marhun, yaitu :

a) Barang milik pemerintah.

b) Mudah membusuk.

c) Berbahaya dan mudah terbakar.

d) Barang yang dilarang peredarannya oleh peraturan yang

9
berlaku dan atau hukum Islam.
e) Cara memperoleh barang tersebut dilarang oleh hukum Islam.

f) Serta ketentuan khusus sebagai berikut :

1. Barang yang disewa-belikan.

2. Barang tersebut masih berupa hutang dan belum lunas.

3. Barang tersebut dalam masalah.

4. Berupa pakaian jadi.

5. Pemakaiannya sangat terbatas.

6. Hewan ternak.

7. Barang yang kurang nilai rahn-nya dibawah biaya invest gadai.

Ketentuan-ketentuan tersebut diberlakukan mengingat


keterbatasan tempat, sumber daya, fasilitas. Chatamarrasid
menambahkan barang yang tidak dapat digadaikan yaitu
barangbarang karya seni yang nilainya relative sukar ditaksir
dan kendaraan bermotor tahun keluaran 1996 keatas.

4. Syarat Marhun Bih Marhun bih adalah suatu hak yang


karenanya barang gadaian diberikan sebagai jaminan kepada
rahin. Menurut Hanafiah, marhun bih harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
a. Marhun bih harus berupa hak yang wajib diserahkan kepada
pemiliknya, yaitu rahin, karena tidak perlu memberikan
jaminan tanpa ada barang yang dijaminnya.
b. Pelunasan utang memungkinkan untuk diambil dari marhun
bih. Apabila tidak memungkinkan pembayaran utang dari
marhun bih, maka rahn hukumnya tidak sah.
c. Hak marhun bih harus jelas (ma‟lum), tidak boleh majhul (samar/tidak jelas).

2. Hiwalah
A. Pengertian
Hiwalah adalah Secara etimologi, pengertian hiwalah adalah
istilah dari kata tahawwul artinya berpindah atau tahwil berarti

10
pengalihan. Sederhananya, pengertian hiwalah adalah pengalihan
utang atau piutang dari pihak kreditur kepada pihak penanggung
pelunasan hutang.
Konsep hiwalah adalah memindahkan utang dari muhil sebagai
peminjam pertama kepada pihak muhal’alaih sebagai peminjam
kedua. Proses pengalihan tanggung jawab ini harus disahkan melalui
akad hiwalah atau kata-kata.

B. Dasar Hukum
Dasar hukum hiwalah berpedoman pada Al-quran dan hadist. Berdasarkan
Q.S. Al-Baqarah [2]: 282 mengatakan bahwa Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Sementar dasar hukum hiwalah dari hadist yaitu "Menunda-
nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah
suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak
penagihan piutangnya (dihiwalahkan) kepada pihak yang mampu
(terimalah) (HR. Bukhari).
Kemudian dasar hukum hiwalah tersebut diikuti oleh ijma ulama
yang hukumnya sunnah. Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional
- Majelis Ulama Indonesia mengatur akad hiwalah dengan
mengeluarkan fatwa DSN-MUI No.
12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah, Fatwa DSN-MUI No.
34/DSN- MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah,
dan Fatwa DSN-MUI No. 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil
Ujrah.

C. Rukun Syarat
Sesuai kaidahnya, transaksi skema hiwalah dalam perbankan
syariah wajib memenuhi beberapa rukun dan syarat. Selengkapnya
tentang syarat dan rukun hiwalah adalah sebagai berikut.
ii. Rukun Hiwalah
Rukun hiwalah adalah rukun-rukun yang wajib dipenuhi sebelum
akad hiwalah terjadi. Apabila tidak terpenuhi salah satunya, maka

11
akad hiwalah tidak dapat dilakukan. Rukun-rukun tersebut antara
lain:
1. Muhil
Pertama, rukun hiwalah adalah muhil, yaitu orang yang mempunyai hutang.
Dalam hal ini, muhil harus berakal sehat, baligh, dan mempunyai kemampuan
melaksanakan akad hiwalah. Selain itu, pemilik hutang atau muhil
menjalankannya atas keinginan pribadi tanpa paksaan dari pihak lain.

2. Muhal
Muhal yaitu orang memberikan hutang atau pihak piutang.
Sama seperti syarat muhil, pihak muhal harus mencapai usia
baligh, berakal sehat dan melaksanakan akad ini secara sukarela
tanpa paksaan. Ijab qabul hiwalah yang dikatakan oleh muhal
harus berada dalam majelis akad disaksikan pihak terkait, dan
dilakukan secara sadar tanpa paksaan.
3. Muhal'alaih
Rukun hiwalah ketiga yakni muhal'alaih sebagai orang pemilik
hutang dan bertanggung jawab melunasi hutang pihak muhil. Pihak
ini harus mempunyai akal sehat, baligh, kemampuan finansial, dan
memahami pelaksanaan akad, serta pengucapan ijab qabul dalam
majelis akad dengan kehadiran peserta terkait.
4. Hutang yang Diakadkan
Dalam konsep hiwalah, hutang merupakan bentuk
pinjaman yang dilakukan oleh muhil dari muhal, dan
dinyatakan akan dilunasi oleh muhal’alaih. Hutang tersebut
boleh berupa uang, aset, dan benda-benda berharga lainnya.
Meski demikian, sesuai dengan hukum syariah, hutang
tersebut tidak boleh berbentuk benda setengah jadi atau belum
ada nilainya (misal bibit tanaman yang belum berbuah, janji
bantuan hibah belum di tangan, dan sebagainya).
 Syarat Hiwalah
Selain rukun hiwalah, terdapat syarat hiwalah yang harus
dipersiapkan dalam menjalaninya. Adapun syarat hiwalah adalah di
bawah ini:

12
 Pihak berhutang atau muhil rela melaksanakan akad ini.

 Produk hutang harus dibayarkan sesuai haknya yang sama baik


jenis dan jumlah utang, waktu pelunasan, dan kualitasnya.
Misalnya bentuk hutang berupa emas, maka pelunasannya harus
berbentuk emas dengan nilai setara.
 Pihak muhal’alaih harus bertanggung jawab dalam menanggung
hutang setelah adanya kesepakatan bersama muhil.
 Pihak muhal atau pemberi hutang harus menyetujui akad hiwalah.

 Hutang tetap berada dalam jaminan pelunasan.


D. Macam - macam Hiwalah
 Hiwalah Al-Muqayyadah

Hiwalah Al-Muqayyadah adalah skema hiwalah yang memindahkan


tanggung jawab pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak
kedua.Contoh hiwalah skema ini yakni seorang individu A berpiutang
kepada pihak B sejumlah Rp 2 juta. Sementara pihak B berpiutang
kepada pihak C sebesar Rp 2 juta. Kemudian pihak B mengalihkan
haknya untuk menuntut piutangnya yang ada di pihak C kepada
individu A sebagai ganti pembayaran utang pihak B kepada A.
 Hiwalah Al-Mutlaqah
Kebalikan dari contoh hiwalah sebelumnya, Hiwalah Al-
Mutlaqah yaitu konsep hiwalah dengan pengalihan utang secara tidak
tegas sebagai pengganti pelunasan utang pihak pertama kepada pihak
kedua. Contoh hiwalah al mutlaqah yaitu bank konvensional sebagai
pemberi piutang kepada pihak B sebagai peminjam. Kemudian hutang
pihak B mengalihkan pembayaran utang kepada pihak muhal'alaih.
Sehingga yang membayar hutang pihak B kepada bank konvensional
adalah pihak muhal'alaih tanpa pihak B menegaskan pengalihan utang.

3. Al- Qard
A. Pengertian
Al-qard secara bahasa (etimologis) berarti potongan (‫القطع‬
(yaitu istilah yang diberikan untuk sesutau yang diberikan
sebagai modal usaha.

13
Sesuatu itu disebut qard sebab ketika seseoarang memberikannya
sebagai modal usaha, maka sesuatu itu terputus atau terpotong.
Sehubungan dengan itu, aktivitas pencarian modal diistilahkan dengan (
‫)اإلستقراض‬. Begitu pula dalam bahasa latin kredit berarti “credere”, yang
artinya percaya. Maksud dari percaya bagi si pemberi kredit adalah ia
percaya kepada penerima kredit bahwa kredit yang disalurkannya
pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si
penerima kredit merupakan penerimaan kepercayaan sehingga
mempunyai kewajiban untuk membayar sesuai jangka waktu.
Adapun al-qard secara istilah (terminologis) para
ulama berbeda pendapat sesuai dengan mazhabnya
masing-masing :
1. Mazhab Hanafi
Mereka berpendapat bahwa qard adalah sesuatu yang
diberikan sebagai modal untuk dijalankan dengan syarat
bahwa harta itu ketika
dikembalikan kepada pemiliknya harus semisal. Batasan semisal
adalah asal jenisnya tidak jauh berbeda. Kategori ini meliputi
kesamaan untuk ditakar, ditimbang dan dihitung jumlahnya 3.
2. Mazhab Maliki
Mereka berpendapat bahwa qard adalah penyerahan dari
seseorang kepada pihak lain berupa sesuatu yang bernilai
kebendaan.. Pemberian modal yang bagi pemberinya berhak
mengambil barang tersebut dari orang yang mendapatkan modal.
Pengertian tersebut dapat dijelaskan lebih rinci sebagai berikut :
a. Sesuatu itu bernilai kebendaan dan bukan merupakan hal yang remeh.
b. Pemberian bersifat murni, maksudnya seluruh keuntungan atau
manfaat dari modal itu kembali atau menjadi milik pihak yang
menjalankan usaha.
c. Tidak mengijinkan transaksi peminjaman yakni penerima modal
tersebut tidak mempunyai kebebasan dalam memanfaatkan modal
tersebut sebagaimana seorang peminjam.
d. Menggambil barang pengganti. Hal ini sebagai pembeda dengan

14
hibah yakni suatau pemberian yang tidak mengharapkan adanya
pengganti.
e. Barang pengganti tidak berbeda jenis dengan modal. Hal ini
dimaksudkan sebagai pembeda dari transaksi salam.
3. Mazhab Syafi’i
Mereka berpendapat bahwa qard adalah sesuatu yang diberikan
sebagai pinjaman modal. Qard merupakan pemberian pinjaman
modal yang bersifat menjalankan kebaikan/ sosial. Qard bisa
dipersamakan dengan transaksi salaf yaitu pemilikan sesuatu untuk
diberikan kembali dengan sesuatu yang serupa menurut kebiasaan
yang berlaku.
4. Mazhab Hambali
Mereka berpendapat bahwa qard adalah menyerahkan modal
pinjaman kepada orang yang menggunakannya dan modal itu akan
dikembalikan berupa barang penggantinya. Qard bagi mereka
merupakan jenis dari transaksi salaf. Sebab penerimaan modal
pinjaman mengambil manfaat dari modal tersebut. Hal ini merupakan
transaksi yang lazim terjadi. Jika modal telah diserahkan maka
pemberi modal tidak boleh mengambil manfaat dari modal tersebut,
sebab modal itu tidak lagi menjadi miliknya, namun ia berhak
mendapat gantinya.
5. Abu Sura’i Abd al-Hadi
Menurutnya qard atau pinjaman adalah suata transaksi yang
menyempurnakan jalan pemilikan harta kepada pihak lain secara
sukarela untuk dikembalikan lagi kepadanya dengan hal yang serupa
atau seseorang menyerahkan harta kepada pihak lain untuk
dimanfaatkan dan kemudian orang tersebut mengembalikan
penggantinya.

B. Dasar Hukum
o Ayat al-Qur’an
Ayat-ayat al-Qur’an yang mendasari kredit (qard) ini
diantaranya firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2,

15
yang bunyinya : Artinya: “ Dan tolong menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Q.S. al-
Maidah 2)

O Hadis Nabi SAW


Artinya: “Dahulu ada seseorang yang suka memberi utang
kepada manusia, maka dia mengatakan kepada pegawainya:
‘Bila kamu datangi orang
yang kesulitan membayar maka mudahkanlah, mudah-
mudahan Allah mengampuni kita.’ Maka ia berjumpa
dengan Allah l sehingga Allah l mengampuninya.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dari keterangan-keterangan di atas, jelaslah bahwa qard
ada dalam ajaran Islam. Lebih dari itu Allah SWT akan
memberikan pahala yang berlipatganda bagi mereka yang
meng-qirad kan harta di jalan-Nya. Qirad juga merupakan
pekerjaan yang mulia, sehingga bisa menolong kesusahan
orang lain.
Orang yang membantu sesamanya dalam kesusahan niscaya Allah
SWT akan menolongnya di akhirat kelak.
o Ijma’
Para ulama sepakat bahwa qard merupakan perbuatan yang
dibenarkan. Hal ini didasari oleh tabiat manusia yang tidak bisa
hidup tanpa
bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala
barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu pinjam-memnjam sudah
menjadi suatu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama
yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.

C. Rukun dan Syarat Al-Qard


Rukun dan syarat merupakan sesuatu yang harus ada dalam setiap

16
perjanjian dalam mu’amalat. Adapun rukan dan syarat perjanjian
kredit al-qard adalah sebagai berikut:
a. Adanya pihak yang memberikan pinjaman
(kreditur) dan pihak menerima pinjaman
(debitur) yang disyaratkan harus orang yang
cakap untuk melakukan tindakan hukum.
b. Obyek (barang yang dipinjam).

c. Barang yang dipinjam disyaratkan berbentuk


barang yang dapat diukur atau diketahui
jumlah maupun nilainya. Disyaratkan hal ini
agar pada waktu pembayarannya tidak
menyulitkan, sebab harus sama jumlah atau
nilainya dengan jumlah atau nilai barang yang
diterima.
d. Lafaz yaitu adanya pernyataan (ijab-qabul) baik
dari pihak yang meberikan pinjaman (kreditur)
maupun dari pihak yang menerima pinjaman
(debitur). Hutang piutang dapat memberikan
banyak manfaat atau syafaat kepada kedua belah
pihak. Hutang piutang merupakan perbuatan
saling tolong menolong antara umat manusia
yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT selama
tolong-menolong dalam kebajikan. Hutang
piutang dapat mengurangi kesulitan orang lain
yang sedang dirudung masalah serta dapat
memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak.

D. Macam-Macam
Macam-Macam Qardh Menurut lembaga keuangan Syariah, akad Qardh terdiri dari
dua macam yaitu:
 Akad Qardh yang berdiri sendiri dan hanya bermaksud sebagai tujuan
sosial, sesuai dengan apa yang tertera di Fatwa MUI DSN Nomor
19/DSN-MUI/IV/2001 yang menjelaskan bahwa Al-Qardh ada bukan
sebagai kelengkapan transaksi atau sarana untuk mencari keuntungan.

17
 Akad Qardh yang terjadi sebagai sarana untuk melengkapi transaksi
lain yang bersifat komersial atau termasuk ke dalam akad-akad
mu’awadhah untuk mendapatkan keuntungan. Pihak ketiga hanya
dalam menggunakan dana tersebut untuk tujuan komersial seperti
pembiayaan pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah, produk
Rahn Emas, pengalihan utang, dan ajakan piutang.

4. Wakalah
A. Pengertian
Berdasarkan buku Buku Ajar Fiqih Muamalah Kontemporer, akad
wakalah dapat diartikan dengan memberikan kuasa kepada pihak lain
untuk melakukan suatu kegiatan di mana yang memberikan kuasa
sedang tidak dalam posisi melakukan kegiatan tersebut. Akad wakalah
digunakan oleh seseorang apabila ia membutuhkan orang lain atau
mengerjakan sesuatu yang tidak dapat ia lakukan sendiri sehingga
meminta orang lain untuk melaksanakannya.
 Menurut Hasbi Ash Shiddieqy, wakalah adalah akad penyerahan
kekuasaan yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain dalam
bertindak.
 Menurut Sayyid Sabiq, wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh
seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa wakalah adalah tindakan
seseorang mewakilkan dirinya kepada orang lain untuk melakukan
tindakan-tindakan yang merupakan haknya di mana tindakan tersebut
tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah mati, karena tindakan
setelah mati sudah berbentuk wasiat.
 Ulama Hanifiyah mengungkapkan bahwa wakalah adalah
seseorang yang mempercayakan orang lain untuk menjadi ganti
dirinya dalam bertindak pada bidang-bidang tertentu yang boleh
diwakilkan.
 Menurut ulama Syafi'iyah, wakalah adalah suatu ungkapan yang
mengandung pendelegasian sesuatu oleh seseorang kepada orang
lain supaya orang lain itu melaksanakan apa yang boleh
dikuasakan atas nama pemberi kuasa.

18
B. Dasar Hukum
Islam mensyariatkan al-wakalah karena manusia
membutuhkannya. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau
kesempatan untuk menyelesaikan segala urusan sendiri. Pada suatu
kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan
kepada orang lain untuk mewakili dirinya.
Dasar hukum dari wakalah adalah boleh dilakukan dalam ikatan
kontrak yang di syariatkan dengan dasar hukum ibadah
(diperbolehkan), al-wakalah bisa menjadi sunah, makruh, haram, atau
bahkan wajib sesuai dengan niat pemberi kuasa, pekerjaan yang di
kuasakan atau faktor lain yang mendasarinya dan mengikutinya.
Adapun landasan hukum wakalah antara lain adalah sebagai
berikut:
a. Al-Qur'an
Dasar hukum Wakalah dari Al-Quran terdapat dalam Q.S. Al-Kahfi
ayat 19, yaitu:

Artinya: "... Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk


pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini,. "(Q.S. Al-
Khafi: 19).

Selain itu terdapat juga dalam Q.S. An-Nisa ayat 35, yaitu:

Artinya: ". Maka


kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang

hakam dari keluarga perempuan,.. ."(Q.S. An-Nisa: 35).

Ayat-ayat tersebut menyimpulkan bahwa dalam hal muamalah dapat


dilakukan perwakilan dalam bertransaksi, ada solusi yang bisa diambil
manakala manusia mengalami kondisi tertentu yang mengakibatkan
ketidak-sanggupan melakukan segala sesuatu secara mandiri, baik

19
melalui perintah maupun kesadaran pribadi dalam rangka tolong
menolong, dengan demikian seseorang dapat mengakses atau
melakukan transaksi melalui jalan Wakalah.

b. Al-Hadis
Rasulullah SAW semasa hidupnya pernah memberikan kuasa
kepada saha
batnya, di antaranya adalah membayar hutang, mewakilkan
penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta,

membagi kandang hewan dan lain-lain yang kemudian dapat


dijadikan landasan keabsahan wakalah. Salah satu Hadis yang
menjadi landasan wakalah yaitu:
Artinya: "Dan dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Nabi SAW,
mengutus Abu Rafi’, hamba yang pernah dimerdekakannya dan
seorang laki-laki Anshar, lalu kedua orang itu menikahkan Nabi
dengan Maimunah binti Harits dan pada saat itu (Nabi SAW) di
Madinah sebelum keluar (ke mieqat Dzil Khulaifah)" (HR. Maliki
No.678, Kitab al-Muaththa').

c. Ijma Ulama
Menurut Antonio (2008), para ulama berpendapat dengan ijma
atas dibolehkannya wakalah. Mereka mensunahkan wakalah
dengan alasan bahwa wakalah termasuk jenis ta'awun atau tolong
menolong atas dasar kebaikan dan takwa.

C. Rukun dan Syarat Wakalah


a. Menurut jumhur ulama, rukun wakalah ada empat, yaitu 1) Orang yang memberi
kuasa (al-Muwakkil), 2) Orang yang diberi kuasa (al-Wakil), 3) Perkara/hal yang
dikuasakan (al-Taukil), dan 4) Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul). Adapun
penjelasan ke-empat rukun wakalah tersebut adalah sebagai berikut (Suhendi, 2002).
Orang yang memberi kuasa (Al-Muwakkil)

1. Seseorang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki


hak untuk tasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya.
Karena itu seseorang tidak akan sah jika mewakilkan sesuatu yang

20
bukan haknya.
2. Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya,
disisi lain juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap
bertindak atau mukallaf. Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu
masih belum dewasa yang cukup akal serta pula tidak boleh
seorang yang gila.
b. Orang yang diberi kuasa (al-Wakil)
1. Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-
aturan yang mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap
hukum menjadi salah satu syarat bagi pihak yang diwakilkan.
2. Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan
untuk menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa.
ini berarti bahwa ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang di luar
batas, kecuali atas kesengajaannya.
c. Objek/perkara/hal yang dikuasakan (al-Taukil)
1. Objek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain,
seperti jual beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang
berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan kuasa.
2. Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu
yang bersifat ibadah badaniyah, seperti salat, dan boleh
menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti
membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal yang
diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
3. Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga
objek yang akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila
melanggar syari'ah Islam.
d. Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul)
1. Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan
penerima kuasa, dari mulai aturan memulai akad Wakalah ini,
proses akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya akad Wakalah
ini.
2. Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi
kuasa kepada penerima kuasa.
3. Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan
21
untuk dan atas pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan
tertentu.
Adapun syarat-syarat wakalah adalah sebagai berikut:
1. Pekerjaan/urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang
lain. Oleh karena itu, tidak sah untuk mewakilkan untuk
mengerjakan ibadah seperti salat, puasa, dan membaca alquran.
2. Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah. Oleh
karena itu, tidak sah berwakil menjual sesuatu yang belum
dimilikinya.
3. Pekerjaannya itu diketahui secara jelas. Maka tidak sah
mewakilkan sesuatu yang masih samar seperti "aku jadikan
engkau sebagai wakilku untuk mengawini salah satu anakku".
4. Shigat, hendaknya berupa lafal yang menunjukkan arti
mewakilkan yang diiringi kerelaan dari muwakkil seperti
"saya wakilkan atau serahkan pekerjaan ini kepada kamu
untuk mengerjakan pekerjaan ini" kemudian diterima oleh
wakil. Dalam shigat qabul si wakil tidak syaratkan artinya
seandainya si wakil tidak mengucapkan qabul tetap dianggap
sah.

D. Macam-macam Wakalah
Menurut Ayub (2009), terdapat tiga jenis wakalah, yaitu sebagai berikut:
1. Al-wakalah al-khosshoh, adalah prosesi pendelegasian wewenang
untuk menggantikan sebuah posisi pekerjaan yang bersifat spesifik.
Dan spesifikasinyapun telah jelas, seperti halnya membeli Honda tipe
X atau menjadi advokat untuk menyelesaikan kasus tertentu.
2. Al-wakalah al-ammah, adalah prosesi pendelegasian wewenang
bersifat umum, tanpa adanya spesifikasi. Seperti belikanlah aku mobil
apa saja yang kamu temui.
3. Al-wakalah al-muqoyyadoh dan al-wakalah mutlaqoh, adalah akad
dimana wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-syarat
tertentu. Misalnya juallah mobilku dengan harga 100 juta jika kontan
dan 150 juta jika kredit. Sedangkan al-wakalah al-muthlaqoh adalah
akad wakalah dimana wewenang dan wakil tidak dibatasi dengan
syarat atau kaidah tertentu, misalnya juallah mobil ini, tanpa

22
menyebutkan harga yang diinginkan.
5.Dhaman
A. Pengertian
Dhaman adalah suatu ikrar atau lafadz yang disampaikan berupa
perkataan atau perbuatan untuk menjamin pelunasan hutang
seseorang. Dengan demikian, kewajiban membayar hutang atau
tanggungan itu berpindah dari orang yang berhutang kepada orang
yang menjamin pelunasan hutangnya.
B. Dasar Hukum
Dhaman hukumnya boleh dan sah dalam arti diperbolehkan oleh
syariat Islam, selama tidak menyangkut kewajiban yang berkaitan
dengan hak-hak Allah Swt. Firman Allah Swt. :

﴾72﴿ ‫َقاُلو۟ا َنْفِقُد ُص َو اَع ٱْلَم ِلِك َو ِلَم ن َج ٓاَء ِبِهۦ ِح ْم ُل َبِع يٍر َو َأَن۠ا ِبِهۦ َز ِع يٌم‬

“Penyeru-penyeru itu berkata :”Kami kehilangan piala raja dan barang


siapa yang dapat mengembalikan akan memperoleh bahan makanan
(seberat) beban unta, dan akan menjamin terhadapnya” (QS. Yusuf :
72)
Sabda Rasulullah saw. : "Penghutang hendaklah mengembalikan
pinjamannya dan penjamin hendaklah membayar” (HR. Abu Daud dan
Tirmidzi)
Sabda Rasulullah saw. : “Sesungguhnya ada jenazah yang dibawa ke
hadapan Nabi Saw. lalu para sahabat berkata:”Ya Rasulullah kami
mohon jenazah ini dishalatkan!”, Tanya Nabi: “Adakah harta pusaka
yang ditinggalkan?”, Jawab sahabat:”Tidak”, lalu Nabi Tanya
lagi:”Apakah ia punya hutang?”, jawab sahabat:”Punya, ada tiga
dinar”, kemudian Nabi bersabda:” Shalatkan temanmu itu!”, lantas
Abu Qatadah ra. berkata:”Ya Rasulullah, Shalatkanlah ia dan saya
yang menjamin hutangnya!”. Kemudian Nabi Saw.
menshalatkannya” (HR. Bukhari
C. Rukun Syarat
Rukun Dhaman antara lain :
a. Penjamin (dammin).

23
b. Orang yang dijamin hutangnya (madmun ‘anhu).
c. Penagih yang mendapat jaminan (madmun lahu).
d. Lafal/ ikrar.
Adapun syarat dhaman antara lain :
1. Syarat penjamin.

• Dewasa (baligh).
• Berakal (tidak gila atau waras).
• Atas kemauan sendiri (tidak terpaksa).
• Orang yang diperbolehkan membelanjakan harta.
• Mengetahui jumlah atau kadar hutang yang dijamin.
2. Syarat orang yang dijamin, yaitu orang yang
berdasarkan hukum diperbolehkan untuk
membelanjakan harta.

3. Syarat orang yang menagih hutang, dia diketahui


keberadaannya oleh orang yang menjamin.
4. Syarat harta yang dijamin antara lain:
• Diketahui jumlahnya.
• Diketahui ukurannya.
• Diketahui kadarnya.
• Diketahui keadaannya.
• Diketahui waktu jatuh tempo pembayaran.
5. Syarat lafadz (ikrar) yaitu dapat dimengerti yang
menunjukkan adanya jaminan serta pemindahan tanggung
jawab dalam memenuhi kewajiban pelunasan hutang dan
jaminan ini tidak dibatasi oleh sesuatu, baik waktu atau
keadaan tertentu.
D. Macam-Macam Kafalah atau Dhaman
Secara umum kafâlah dibagi menjadi 2 bagian :
 Kafâlah an-Nafsi adalah Menyatukan tanggung jawab penjamin
kepada tanggung jawab orang yang dijamin dalam komitmen
untuk menunaikan hak wajib menghadirkan orang yang dijamin

24
pada waktunya.[7] Dalam jenis ini ada keharusan bagi pihak
penjamin (al-kafîl/al-dhamîn) untuk menghadirkan orang yang ia
jamin kepada orang yang dia berikan jaminan (al-makfûl lahu).
Penjaminan yang menyangkut masalah manusia, hukumnya
mubah (boleh), menurut pendapat jumhur Ulama dari mazhab
Mâlikiyah, Syâfi’iyah, Hanafiyah dan Hanâbilah dengan dasar
firman Allâh Azza wa Jalla :

Mereka berkata, “Wahai al-Aziz, Sesungguhnya ia mempunyai


ayah yang sudah lanjut usianya, lantaran itu ambillah salah
seorang diantara kami sebagai gantinya, Sesungguhnya kami
melihat kamu termasuk oranng-orang yang berbuat baik”.
[Yûsuf/12: 78]. Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan
bahwa maksudnya; ambillah salah seorang dari kami sebagai
gantinya sehingga saudaranya tersebut bisa pulang bersama
mereka.Ini juga didukung oleh sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Penjamin itu menanggung hutangnya dan hutang harus ditunaikan. [HR.
Ibnu Mâjah no. 2405 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibnu
Mâjah]. Dengan demikian orang yang ditanggung tidak mesti mengetahui
permasalahan karena kafâlah menyangkut badan bukan harta. Contohnya : A
menjamin akan menghadirkan B yang sedang dalam perkara mahkamah
(pengadilan) pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Dengan ini,
maka si A wajib berusaha maksimal untuk menghadirkan si B dalam sidang
yang telah ditentukan tersebut. Penjaminan ini hanya berlaku pada hak-hak
manusia, bukan berhubungan dengan hak Allâh seperti hukuman (had)
minum al-khamr dan had menuduh zina dan yang lainnya. Jenis kafâlah ini
merupakan akad memberikan jaminan atas diri. Sebagai contoh dalam
praktik perbankan untuk kafâlah ini yaitu seorang nasabah yang mendapat
pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau
pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang

25
apapun tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan
pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.
 Kafâlah bil mal (kafâlah dengan harta) yaitu kewajiban
yang mesti ditunaikan oleh dhamîn/kafîl dengan
pembayaran (pemenuhan) harta. Kafâlah harta ada 3
macam :
a. Kafâlah bid dain adalah kewajiban membayar utang yang
menjadi beban orang lain. Contoh : A menjamin utang B
kepada C.
b. Kafâlah dengan penyerahan benda (Kafâlah at-taslîm) adalah
kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada di tangan
orang lain, seperti mengembalikan barang yang dighasab dan
menyerahkan barang jualan kepada pembeli, disyaratkan materi
tersebut yang dijamin untuk ashil (pihak yang berhutang) seperti
dalam kasus ghasab. Namun bila bukan berbentuk jaminan,
kafâlah batal. Contoh : A menjamin mengembalikan barang yang
dipinjam oleh B kepada C. Apabila B tidak mengembalikan
barang itu kepada C maka A wajib mengembalikannya kepada C.
c. Kafâlah dengan ‘aib adalah bahwa barang yang didapati berupa
harta terjual dan didapati ada bahaya (cacat) karena waktu yang
terlalu lama atau karena hal-hal lainnya maka ia (pembawa
barang) sebagai jaminan untuk hak pembeli pada penjual, seperti
jika terbukti barang yang dijual adalah milik orang lain atau
barang tersebut adalah barang gadai.

26
Daftar pustaka

https://www.ocbcnisp.com/id/article/2021/07/15/hiwalah-
adalah#:~:text=Pengertian%20Hiwalah,- Hiwalah%20adalah
%20Secara&text=Konsep%20hiwalah%20adalah%20m
emindahkan%20utang,akad%20hiwalah%20atau%20kata
%2Dkata
https://katadata.co.id/intan/berita/620b5eaa65b8e/
pengertian-wakalah- beserta-syarat-dan-ketentuan-
pembatalannya
https://kamus.tokopedia.com/q/qardh
https://www.bacaanmadani.com/2018/01/pengertian-
dhaman-dasar-hukum- syarat.html?m=1
https://almanhaj.or.id/6999-dhaman-atau-kafalah.html
https://www.bing.com/search?
q=dasar+hukum+wakalah&cvid=4f12adac65
4a4b4f8dd75add165f091a&aqs=edge.0.0.15749j0j1&pglt=4
3&FORM=AN NTA1&PC=ASTS&ntref=1
https://www.kajianpustaka.com/2020/10/al-wakalah.html
https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/10501

27
28
1.

29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41

Anda mungkin juga menyukai