Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KONSEP AKAD TABARRU’: WADI’AH DAN QARD AL-HASAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:

FIQH MUAMALAH

Dosen Pengampu

DR. ILHAM MASHURI, M.H

Kelompok: 10

Andi Febiyanto (22403142)

Aulia Nuriandhani Jamila (22403147)

Achmad Syahrul Fuad (22403165)

PROGRAM STUDI

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufiq, dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk
memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Fiqh Muamalah dengan materi konsep Akad
Tabarru’: Wadi’ah dan Qard Al-Hasan.

Makalah ini adalah salah satu tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam untuk
Manajemen Bisnis Syariah di Fakultas ekonomi dan bisnis syariah. Selanjutnya kita
mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ilham Mashuri, M.H. selaku dosen
pembimbing mata kuliah Fiqh Muamalah.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu,
kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pembaca makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan kita semua.

Kediri, 14 September 2023

Tim Penyusun

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... 1

DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 3

A. LATAR BELAKANG ................................................................................................................ 3

B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................................................ 4

C. TUJUAN PENULISAN .............................................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 5

1. KONSEP WADI'AH ................................................................................................................... 5

2. QADR AL HASAN .................................................................................................................... 8

BAB III PENUTUP ............................................................................................................................. 13

A. Kesimpulan ................................................................................................................................... 13

Daftar Pustaka ....................................................................................................................................... 14

2
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih muamalah yaitu terdiri dari kata fiqih dan muamalah. Fiqih merupakan
pemahaman, menurut istilah suatu ilmu yang mendalami atau memahami hukum yang berada
di dalam Al Quran dan Sunnah sesuai dengan agama islam yang mengatur segala aspek hidup
manusia, baik kehidupan individu maupun masyarakat dan kehidupan manusia dengan
tuhannya. Sedangkan muamalah merupakan segala peraturan yang di ciptakan Allah untuk
mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.
Jadi fiqih muamalah merupakan hukum-hukum syara‟ yang berhubungan dengan
perbuata manusia yang menyangkut urusan keduniaan. Dalam konteks masalah muamalah
selalu berkaitan dengan berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari. Pembahasan muamalah
terutama masalah ekonomi tentunya akan sering kali ditemui sebuah perjanjian atau akad.
Pada dasarnya akad tidak berbeda dengan transaksi (serah terima). Semua perikatan yang
dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus sejalan dengan
kehendak syariat. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi barang-
barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh seseorang.
Akad berasal dari bahasa Arab yakni al-Aqd. Secara bahasa kata al-Aqd, bentuk
masdarnya adalah Aqada dan jamaknya adalah al-Uqud yang berarti perjanjian (yang
tercatat) atau kontrak. Dalam kaidah fikih, akad didefinisikan sebagai pertalian ijab
(pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan
kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan sehingga terjadi perpindahan
pemilikan dari satu pihak kepada pihak yang lain. Adapun pengertian akad menurut istilah,
Akad adalah perikatan antara ijab dengan qabul yang dibenarkan syara‟ yang menetapkan
keridhoan kedua belah pihak. Jadi akad adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua
orang atau lebih berdasarkan keridhoan masing-masing pihak yang melakukan akad dan
memiliki akibat hukum baru bagi mereka yang berakad.
Akad merupakan peristiwa hukum antara dua pihak yang berisi ijab dan qabul secara
sah menurut syara‟ dan menimbulkan akibat hukum. Akad bersal dari bahasa Arab alaqd
yang secara etimologi berarti mengikat, perjanjian dan permufakatan (al-ittifaq). Secara
terminology fikih, akad merupakan pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Kabul
(pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada
objek perikatan. Sedangkan dalam kompilasi hukum ekonomi syariah, akad merupakan
kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak
3
melakukan perbuatan hukum tertentu. Akad juga merupakan salah satu cara dalam
memperoleh harta dengan cara syariat islam yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-
hari.
Meskipun dalam islam menganjurkan manusia untuk melakukan aktivitas yang
mampu mendatangkan keuntungan bagi para penggiat usaha, namun tidak semua persoalan
ekonomi islam yang berorientasi pada keuntungan semata (Profit Oriented). Banyak sekali
kegiatan ekonomi yang justru bernilai sosial dengan menyampingkan aspek keuntungan.
Kegiatan seperti ini dikenal dengan transaksi yang menggunakan akad tabarru‟. Tabarru‟
berasal dari kata tabarra‟a-yatabarra‟u – tabarru‟an, artinya sumbangan, hibah, dana
kebajikan, atau derma. Orang yang memberi sumbangan disebut mutabarri‟ “dermawan”.
Tabarru‟ merupakan pemberian sukarela seseorang kepada orang lain, tanpa ganti rugi, yang
mengakibatkan berpindahnya kepemilikan harta itu dari pemberi kepada orang yang diberi.
Akad tabarru‟ (gratuitious contract) merupakan segala macam perjanjian yang
menyangkut non-for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya
bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru‟ dilakukan dengan
tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru‟ berasal dari kata birr dalam
bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Akad Tabarru‟ ini dimaksudkan untuk menolong
sesama dan murni semata-mata mengharap ridha dan pahala dari Allah SWT. itulah sebabnya
akad ini tidak bertujuan mencari keuntungan komersial. Dalam pembahasan makalah ini
berfokus pada konsep, rukun, syarat akad tabbaru wadi’ah dan qadr al hasan.

B. Rumusan Masalah
1. apa yang dimaksud dengan wadi’ah?
2. apa saja syarat dan rukun wadiah?
3. Bagaimana konsep Qard al hasan?
C. Tujuan Penulisan
Untuk mempelajari lebih dalam tentang konsep akad Tabarru’ wadi’ah dan qadr al- Hasan
beserta syarat dan rukunnya,

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Wadi’ah

1. Konsep Wadi’ah dalam fiqh muamalah.

Wadiah dalam bahasa fiqih adalah barang titipan atau memberikan, juga diartikan “i’tha’u al-
mal liyahfadzahu wa fi qabulihi” yaitu memberikan harta untuk dijaganya dan pada
penerimaannya. Karena itu, istilah wadi’ah sering disebut sebagai “ma wudi’a ‘inda ghair
malikihi liyahfadzuhu” yang artinya sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya
dijaga. Seperti dikatakan “qabiltu minhu dzalika al-malliyakuna wadi’ah ‘indi” yang berarti
aku menerima harta tersebut darinya. Sedangkan Al Qur’an memberikan arti wadi’ah sebagai
amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu
pemilik meminta kembali. Menurut bahasa, al-wadi’ah adalah sesuatu yang ditempatkan
bukan pada pemiliknya agar dijaga Dari segi bahasa, wadi’ah adalah menerima. Secara
bahasa, al-wadi‟ah memiliki makna, yaitu memberikan harta untuk dijaga dan pada
penerimanya. Wadi’ah berarti al-tark(meninggalkan).

Secara etimologi wadi’ah berarti titipan ( amanah ). Kata al-wadi’ah berasal dari
kata wada’a ( wada’a – yada’u – wad’aan ) juga berarti membiarkan atau meninggalkan
sesuatu yang dititipkan. Dalam literatur fiqh, para ulama berbeda-beda dalam
mendefinisikannya1, disebabkan perbedaan mereka dalam beberapa hukum yang berkenaan
dengan wadi’ah tersebut yaitu perbedaan mereka dalam pemberian upah bagi pihak penerima
titipan, transaksi ini dikategorikan taukil atau sekedar menitip, barang titipan tersebut harus
berupa harta atau tidak.. Secara terminologi wadi’ah menurut mazhab hanafi, maliki dan
hambali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqh :

a) Ulama Hanafiyah : mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, (baik dengan
ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat)
b) Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambali (Jumhur Ulama): mewakilkan orang lain
untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu

1
Eko Supriyatno, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Garaha Ilmu, 2005), hlm 1

5
Adapun dalam definisi syara’ kata wadi’ah disebutkan untuk penitipan dan untuk
benda yang dititipkan. Istilah Al-wadi’ah, yang maknanya adalah perjanjian antara pemilik
barang (termasuk uang), dimana pihak penyimpanan bersedia menyimpan dana menjaga
keselamatan yang dititipkan kepadanya. Prinsip ini dikembangkan dalam bentuk produk
simpanan, yaitu: Giro Wadi’ah dan Tabungan Wadi’ah.

Secara lazim titipan adalah murni akad tolong-menolong. Dimana dengan alasan
tertentu pemilik harta memberikan amanah kepada pihak lain untuk menjaga dan memelihara
hartanya. Seseorang yang memiliki harta dan berkeinginan untuk menitipkan hartanya kepada
orang lain bukan untuk dikuasai, namun harta tersebut untuk dipelihara dan dijaga karena ada
suatu hal dan hal lain yang menjadi sebab harta tersebut dititipkan. Tidak ada ketentuan
mengenai alasan kenapa akad wadiah harus dilakukan. Tetapi yang pasti seseorang
mempunyai hak penuh atas harta untuk dititipkan kepada orang lain, bagi orang yang merima
barang yang dititipkan bisa menerima ataupun menolaknya.

Menurut pendapat yang dianggap paling shahih, dalam wadi’ah tidak diisyaratkan
mengucapkan qobul (kalimat menerima)2 dari penerimaan titipan. Akan tetapi cukup dengan
menerima barang yang ditirpkan oleh pemilik barang tersebut. Disamping itu, kedua belah
pihak dapat membatalkan akad perjanjian kapan saja. Penerima titipan bisa saja
mengembalikan barang titipan sewaktu-waktu dan pihak yang mentitipkan barang bisa
mengambilnya sewaktu-waktu pula. Dengan demikian, dalam akad wadi’ah keberadaan
orang yang mempunyai harta tidak memeliki kepentingan apapun dari harta yang dia titipkan,
terkecuali semata-mata agar harta yang dititipkanya dapat terjaga dengan aman dan baik.
Demikin juga pada orang yang ditipkan harta, pada dasarnya tidak boleh menyalahgunakan
harta yang ditipkan pemilik kepadanya.

Dilihat dari segi akadnya ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu : Pertama, wadiah yad
amanah adalah akad penitipan barang/uang dimana penerima titipan tidak diperkenankan
menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau
kehilangan barang/uang titipan yang bukan di akibatkan perbuatan atau kelalaian penerima
titipan. Kedua, wadiah yad dhamanah adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak
penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang

2
Hafas Furkani, Pengertian Macam dan Aplikasi Wadi’ah dalam Perbankan, UIN AR-RANIRY (Banda
Aceh:2018), hal 3

6
atau uang dan harus bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan barang atau uang
titipan.

2. Rukun dan Syarat Akad Wadi’ah

Setiap kegiatan baik dalam rangka ibadah dan muamalam pasti memiliki rukun yang
menyertainya. Berikut ini rukun-rukun akad wadiah menurut jumhur ulama:

1. Mudi, (orang yang menitipkan barang)

2. Wadii’ (orang yang dititipi barang)

3. Wadi’ah (barang yang dititipkan)

4. Sighat titipan (ijab-qobul)

Menurut ulama hanafiah rukun wadi’ah hanya ada satu yaitu adanya ijab qobul (sighat),
sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan hambali memiliki tambahan syarat ialah barang
tersebut harus memiliki nilai atau qimah sehingga dapat dipandang sebagai maal.

3. Syarat yang terdapat dalam wadi’ah yaitu :


Syarat-syarat wadi’ah berkaitan dengan rukun-rukun yang telah disebutkan di atas,
yaitu syarat benda yang dititipkan, syarat sighat, syarat orang yang menitipkandan syarat
orang yang dititipi.
a. Syarat-Syarat Untuk Benda Yang Dititipkan Syaratsyarat benda yang dititipkan sebagai
berikut :
1) Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa untuk disimpan. Apabila benda
tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara atau benda yang jatuh ke dalam air,
maka wadi’ah tidak sah sehingga apabila hilang, tidak wajib mengganti. Syarat ini
dikemukakan oleh ulama-ulama Hanafiyah3.
2) Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang
mempunyai nilai (qimah) dan dipandang sebagai mal, walaupun najis. Seperti anjing yang
bisa dimanfaatkan untuk berburu, atau menjaga keamanan. Apabila benda tersebut tidak
memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka wadi’ah tidak sah.
b. Syarat - syarat sighat

3
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, Jakarta:Amzah,2010,h. 459

7
Sighat akad adalah ijab dan qabul. Syarat sighat adalah ijab harus dinyatakan dengan ucapan
atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya dengan sindiran (kinayah).
Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan kinayah harus disertai dengan niat.
c. Syarat orang yang menitipkan (Al-Mudi’)
1) Berakal, Dengan demikian, tidak sah wadi’ah dari orang gila dan anak yang belum
berakal.
2) Baligh, Syarat ini dikemukakan oleh Syafi’iyah. Dengan demikian menurut Syafi’iyah,
wadi’ah tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang belum baligh masih di bawah umur).
Tetapi menurut Hanafiah baligh tidak menjadi syarat wadi’ah sehingga wadi’ah hukumnya
sah apabila dilakukan oleh anak mumayyiz dengan persetujuan dari walinya atau washiy-nya.
d. Syarat orang yang dititipi (Al-Muda’)
Syarat orang yang dititipi (muda’) adalah sebagai berikut :
1) Berakal, tidak sah wadi’ah dari orang gila dan anak yang masih di bawah umur. Hal ini
dikarenakan akibat hukum dari akad ini adalah kewajiban menjaga harta, sedangkan orang
yang tidak berakal tidak mampu untuk menjaga barang yang dititipkan kepadanya.
2) Baligh, syarat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi, Hanafiah tidak
menjadikan baligh sebagai syarat untuk orang yang dititipi, melainkan cukup ia sudah
mumayyiz.
3) Malikiyyah mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga kuat mampu
menjaga barang yang dititipkan kepadanya.
B. Qadr Al Hasan.
1. konsep qadr al hasan
Secara etimologis qardh merupakan bentuk masdar dari qaradha asy syai’ yaqridhu,
yang berarti dia memutuskan. Terminologis qardh adalah memberikan harta kepada orang
yang akan memanfaatkan dan mengembalikan gantinya dikemudian hari. Kata hasan dapat
juga diartikan sebagai kebaikkan. Qardhul hasan yaitu jenis pinjaman yang diberikan kepada
pihak yang sangat memerlukan untuk jangka waktu tertentu tanpa harus membayar bunga
atau keuntungan.4 Penerima qardh hasan hanya berkewajiban melunasi jumlah pinjaman
pokok tanpa diharuskan memberikan tambahan apapun. Namun penerima pinjaman boleh
saja atas kebijakannya sendir membayar lebih dari uang yang dipinjamnya sebagai tanda
terima kasih kepada pemberi pinjaman, tetapi hal tersebut tidak boleh diperjanjikan
sebelumnya di muka.

4
Wahbah az-Zuhaili,Fiqih Islam5,Jakarta:Gema Isnani, h.557, 2011

8
Para ahli fiqh mengartikan qardh menurut hukum syara’ adalah sebagai berikut :
1. Madzab Hanafi mengertikan qardh artinya harta benda yang kamu serahkan atau kamu
pinjamkan kepada seseorang dengan berharap kamu mendapatkan pengembalian barang yang
sesuai dengan brang yang dipinjamkannya, karena dalam ilmu qardh harus sesuai benda yang
mempunyai persamaan.
2. Madzhab Maliki, mengartikan jika seorang menyerahkan pinjaman kepada pihak lain
sesuatu yang meiliki nilai harta yang dimilki semata- mata untuk lebih mengutamakan
kepentingan, dalam artian tidak menghendaki pinjaman yang tidak halal, dengan janji si
pemberi modal dengan syarat tidak berbeda dari benda atau pinjaman yang diberikan.
3. Madzhab hambali, mengartikan qardhul hasan adalah menyerahkan harta kepada seorang
yang dapat mengambil keuntungan atau manfaat dari pinjamannya tersebut dan
mengembalikan gantinya.
4.Madzhab syafi’ii, qardhul hasan merupakan akad perjanjian yang dibut khusus oleh
pemberi dana atau pemberi pinjaman untuk mengalihkan kepemilikan hartanya kepada
sipeminjam, dan si peminjam berjanji akan segera mengembalikan semua barang yang
dipinjaminya.
5.Menurut Muhammad Muslehudin, qardhul hasan adalah suatu jenis akad pinjaman yang
digunakan umyuk kepentingan peminjaman dana. Pinjaman harus dikemblikan sesuai nilai
awal saat peminjaman karena jika dilebihkan maka tersebut merupakan riba yang sangat
dilarang keras.
Akad qard al-hasan adalah suatu perjanjian dalam kegiatan penyaluran dana dalam
bentuk pinjaman tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok
pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Akad qard hasan
merupakan suatu pinjaman atau pembiayaan yang bersifat sosial dalam Lembaga Keuangan
Mikro Syariah (LKMS)5, sebagai lembaga keuangan harus dapat berperan dalam lembaga
sosial yang dapat meningkatkan perekonomian secara maksimal6.
2. Rukun dan syarat Qard al hasan
Rukun Qhard al Hasan ada 3 yaitu :
1) Pelaku yang terdiri dari pemberi dan penerima pinjaman
2) Objek akad, berupa uang yang dipinjamkan

5
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hal. 134
6
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Perbankan Islam: Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, h. 55, 2007

9
3) Ijab Kabul/serah terima
3. Syarat qard al hasan :
a. Akad qardhul hasan terkait dengan barang yang memiliki manfaat , maka tidak sah jika
barang tersebut tidak ada kemungkinan adanya pemanfaatan karena akad qardhul hasan
terkait dengan harta.
b. Akad qardhul hasan seperti halnya akad jual beli tidak bisa disetui dan tidak bisa
dilaksanakan jika tidak ada ijab Qabul antara kedua belah pihak.
Adapun ketentuan – ketentuan umumnya adalah :
a. Pinjaman yang diberikan kepada sipeminjam ( muqtaridh ) yang memerlukan
b. Sipeminjam wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak
c. Biaya administrasi dibebankan kepada sipeminjam
d. Si peminjam dapat memberikan tambahan secara sukarela selain biaya pokok
4. Implementasi Qardh al Hasan
Implementasi produk sosial didasarkan pada fatwa MUI No. 19/DSNMUI/IV/2001
tentang Qardh yang dananya bersumber dari bagian modal dan keuntungan yang disisihkan
dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS), serta lembaga lain atau individu yang
mempercayakan penyaluran infaqnya lewat LKS. Pada tahun 2011, MUI kembali
mengeluarkan fatwa Qardh dengan No. 79/DSNMUI/III/2011 yang sumber dananya berasal
dari nasabah. Jika dibandingkan dengan fatwa MUI tahun 2001, fatwa MUI 2011 ini
dimungkinkan dapat menimbulkan kemudharatan yang lebih besar apabila terjadi piutang
Qardh yang tidak tertagih karena sumber dananya dari nasabah.
Dalam melaksanakan fungsinya bank syariah melaksanakan transaksi yang sifatnya
tolong - menolong yaitu pinjaman Qardh atau Qardhul Hasan, yaitu pinjaman uang cuma-
cuma.7 Sesuai karakteristik ekonomi syariah uang bukan komoditi sehingga tidak
diperkenalkan uang menghasilkan atau bertambah uang. Pinjaman dengan akad ini dilakukan
oleh Bank Syariah dalam transaksi yang bersifat tolong menolong, penyaluran Zakat
Nasional (BAZNAZ), bisa juga untuk talangan Haji, talangan cerukan atau overdraf dari
rekening wadiah, transaksi rahn, hawalah dan sejenisnya. Jika peminjam dana
mengembalikan pokok uang tunai pada waktu yang ditentukan atau yang sudah dia sepakati

7
Ahmad Mujahidin, Kewenangan dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), Cet ke-1, Hal 199.

10
dimasa yang akan datang maka atas pemikiran si peminjam dapat mengembalikan lebih besar
dengan hati sukarela yang lebih besar dari rasa terimaksih8 .
Karena objek dari pinjaman qardh adalah kebanyakan dari transaksi uang atau alat
tukar lainnya. Akad Qardh biasanya diaplikasikan di perbankan syariah seperti:
1. Penyaluran dan zakat yang bersifat produktif (dana bergulir) yang diperuntukan sesuai
syariat yaitu diberikan kepada delapan hasnaf. Biasanya penyaluran zakat ini merupakan
produk Kerja sama antara BAZNAS dengan bank syariah9, BAZNAS sebagai lembaga
penghimpun dana dan penyalurannya melewati model transaksi bank.
2. Pembiayaan pengurusan haji, berdasarkan Fatwa DSN No: 29/DSN MUI/VI/2002 tentang
Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah, menetapkan ketentuan sebagai
berikut:
a. Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan
menggunakan prinsip al-ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI No. 9/DSNMUI/IV/2000
b. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan
menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI No. 19/DSNMUI/IV/2001
c. Jasa pengurusan haji dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian
talangan haji.
d. Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang
diberikan LKS kepada nasabah.
3. Anjak piutang yang berlandaskan pada Fatwa DSN No. 67/DSN-MUI/III/2008 tentang
Anjak piutang syariah.
4. Letter of Credit (L/C) Impor dan Letter of Credit Ekspor, yang berlandaskan pada Fatwa
DSNMUI No. 34/DSNMUI/IX/2002 tentang L/C Impor Syariah dan Fatwa DSN-MUI No.
35/DSNMUI/IX/2002 tentang L/C Ekspor Syariah.
5. Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonefiditasnya
yang menumbuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif pendek. Nasabah tersebut
akan mengembalikan secepatnya sejumlah dana yang dipinjamnya tersebut.
6. Sebagai fasilitas yang memerlukan dana cepat sedangkan ia tidak bisa menarik dananya
karena misalnya pengusaha tersimpan dalam bentuk deposito.

8
Muhammad, Tehnik perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2004,
hal. 40
9
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Fiqih Empat Madzhab,CV. Asy Syifa, Semarang, 1994, hal. 649

11
7. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan
memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau
bagi hasil.
8. Sebagai produk untuk menyumbang ke sektor kecil atau membantu sektor sosial. Biaya
administrasi dari peminjaman ini bukanlah merupakan dari keuntungan melainkan biaya
actual yang dikeluarkan oleh sang pemberi dana atau pinjaman seperti halnya sewa gedung
gaji pegawai dan peralatan sebuah kantor karena ulama ulama tertentu emperbolehkan dari si
pemberi dana atau pinjaman untuk membebankan biaya ini. Agar biaya administrasi ini tidak
menjadikan biaya tambahan yang terselubung yang mengakibatkan timbulnya riba maka
hukum islam memperbolehkan pemberi dana atau pinjaman untuk meminta kepada peminjam
dana untuk membayar biaya – biaya diluar pinjaman pokoknya.10
Dalam menerpkan implementasi qardh ada empat aspek tekhnis yang perlu diperhatikan:
1. Tujuan akad qardh merupakan sebagai penyaluran dana bagi kaum yang tidak mampu
2. Sumber Dana
Sumber dana dibedakan menjadi dua yaitu dana komersial atau modal dan dana sosial
a. Dana komersial atau modal
Sumber dana ini diperuntukkan bagai peminjam dana atau nasabah yang membutuhkan
dana jika dalam keadaan mendesak dan dalam jangka waktu yang pendek.
b. Dana sosial
Dana ini diperkenankan untuk pengembangan usaha si peminjam dana . Dana ini berasal dari
Infak, Sedekah, hibah dan Denda dari keterlambatan pelunasan pinjaman yang diakibatkan
kelalaiannya sendiri serta sumbangan11 . Sebelum meyetujui atau bisa dinamakan ACC calon
nasabah atau sipeminjam dana yang dapat lolos pengajuan qardh terdapat beberapa kriteria
sebagai berikut ini :
1) Kondisi rumah
2) Penghasilan Rp. 1.000.000 s.d Rp. 1.500.000 perbulan
3) Calon nasabah atau peminjam dana benar benar membutuhkan pembiayaan dari dana
qardhul hasan
4) Dalam keadaan perekonomian yang rendah
5) Karakter sendiri dari calon nasbah
6) Usaha apa yang akan di jalankan setelah mendapatkan pinjaman
10
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Perbankan Islam: Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, h. 55, 2007
11
Sarip Muslim, Akutansi Keuangan Syariah Teori dan Praktek, (Bandung: CV Pustaka Setia,2015), Hal 319

12
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

wadi’ah disebutkan untuk penitipan dan untuk benda yang dititipkan. Istilah Al-
wadi’ah, yang maknanya adalah perjanjian antara pemilik barang (termasuk uang), dimana
pihak penyimpanan bersedia menyimpan dana menjaga keselamatan yang dititipkan
kepadanya. dalam wadi’ah tidak diisyaratkan mengucapkan qobul (kalimat menerima) dari
penerimaan titipan. Akan tetapi cukup dengan menerima barang yang ditirpkan oleh pemilik
barang tersebut. Disamping itu, kedua belah pihak dapat membatalkan akad perjanjian
kapan saja. Penerima titipan bisa saja mengembalikan barang titipan sewaktu-waktu dan
pihak yang mentitipkan barang bisa mengambilnya sewaktu-waktu pula. Dengan demikian,
dalam akad wadi’ah keberadaan orang yang mempunyai harta tidak memeliki kepentingan
apapun dari harta yang dia titipkan, terkecuali semata-mata agar harta yang dititipkanya dapat
terjaga dengan aman dan baik. Demikin juga pada orang yang ditipkan harta, pada dasarnya
tidak boleh menyalahgunakan harta yang ditipkan pemilik kepadanya.

Qardhul hasan yaitu jenis pinjaman yang diberikan kepada pihak yang sangat
memerlukan untuk jangka waktu tertentu tanpa harus membayar bunga atau keuntungan.
Penerima qardh hasan hanya berkewajiban melunasi jumlah pinjaman pokok tanpa
diharuskan memberikan tambahan apapun. Namun penerima pinjaman boleh saja atas
kebijakannya sendir membayar lebih dari uang yang dipinjamnya sebagai tanda terima kasih
kepada pemberi pinjaman, tetapi hal tersebut tidak boleh diperjanjikan sebelumnya di muka.

13
DAFTAR PUSTAKA

Eko Supriyatno, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Garaha Ilmu, 2005), hlm 1.

Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, Jakarta:Amzah,2010,h. 459


Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press, Jakarta,
2001, hal. 134
Hafas Furkani, Pengertian Macam dan Aplikasi Wadi’ah dalam Perbankan, UIN AR-
RANIRY (Banda Aceh:2018), hal 3
Ahmad Mujahidin, Kewenangan dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di
Indonesia, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), Cet ke-1, Hal 199.
Sarip Muslim, Akutansi Keuangan Syariah Teori dan Praktek, (Bandung: CV Pustaka
Setia,2015), Hal 319
Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta:Gema
Insani, h. 85, 2001
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Perbankan Islam: Dan Kedudukannya Dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, h. 55, 2007
Wahbah az-Zuhaili,Fiqih Islam5,Jakarta:Gema Isnani, h.557, 2011
Muhammad, Tehnik perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah, UII
Press, Yogyakarta, 2004, hal. 40
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Fiqih Empat Madzhab,CV. Asy Syifa, Semarang, 1994, hal.
649
Muhammad Muslehudin, sistem perbankan dalam islam, Reneka cipta, Jakarta, 2004 hal 78

14

Anda mungkin juga menyukai