Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan

Rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah HADIS MU’AMALAH

ini dengan materi Al-Rahnu (Gadai) tentang “Boleh Memberi Tanggunggan Atas Pinjaman”. Tak

lupa pula kita Agungkan Nama Nabi Muhammad SAW, Yang menjadi Perantara yang telah

memberikan kita contoh yang sebenar-benarnya tentang Al-Rahnu (Gadai) di dalam Hukum Islam.

Materi ini kami peroleh dari 8 referensi buku yaitu Bulugh Al-Maram, 2002 Mutiara Hadis, Terjemah

Riyadhus Shalihin, Hukum Gadai Syari’ah, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Al-Lu’lu’ Wal Marjan,

Lembaga Ekonomi Syari’ah, dan Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim.

Dengan selesainya Makalah yang kami buat ini, kami berharap agar Makalah ini mudah dimengerti

oleh Mahasiswa sebagaimana Tujuan yang ingin kami capai tersebut.

Dan kami menyadari bahwa dalam Makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan

kekhilafan. Oleh karena itu, kepada Para Pembaca dan Dosen kami minta Kritik dan Saran yang

bersifat membangun demi kesempurnaan Makalah kami.

Akhir kata kami ucapkan terima kasih banyak.

Semoga Makalah ini bermanfaat bagi Mahasiswa dan Pembaca pada umumnya.

Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Samata, 27 Maret 2014

Kelompok 10

1 |HADIS MU’AMALAH
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii

BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG ............................................................................................ 1

B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................ 1

C. TUJUAN ................................................................................................................. 2

D. MANFAAT ............................................................................................................. 2

BAB II. PEMBAHASAN ........................................................................................ 3

A. PENGERTIAN GADAI ......................................................................................... 3

B. KONSEP RAHN DAN GADAI ............................................................................. 5

C. DASAR HUKUM (ADDILAT AL’AHKAM) PRAKTEK GADAI ................... 7

D. MENGGADAIKAN BARANG DI PERBOLEHKAN ....................................... 10

E. BOLEH MEMBERI TANGGUNGAN ATAS PINJAMAN .............................. 11

BAB III. PENUTUP ................................................................................................ 15

A. KESIMPULAN....................................................................................................... 15

B. SARAN .................................................................................................................... 17

DAFTAR REFERENSI BUKU .............................................................................. iv

2 |HADIS MU’AMALAH
DAFTAR REFERENSI BUKU

1) Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalaniy., Bulugh Al-Maram, Dar Al-Fikr,t.th.

(Hal.224)

2) T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy., 2002 Mutiara Hadis, Jakarta:Bulan Bintang,t.th.

(Hal.539)

3) Drs. Muslich Shabir, MA., Terjemah Riyadhus Shalihin jilid 2, Semarang:PT.Karya

Tona Putra. (Hal.170)

4) Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika. (Hal.1-3)

5) Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy., Koleksi Hadis-hadis Hukum Jilid 7,

Pustaka Rizki Putra (Hal.130-132)

6) Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi., Al-Lu’lu’ Wal Marjan Jilid 2, Terjemahan: H. Salim

Bahreisy. (Hal.581)

7) Muhammad., Lembaga Ekonomi Syari’ah, Yogyakarta:Graha ilmu. (Hal.64-69)

8) Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam., Syariah Hasdits Pilihan Bukhari-Muslim.

(Hal.659-662)

3 |HADIS MU’AMALAH
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan

dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar

makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan

dan saling tolong menolong diantara mereka.

Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan

kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia, khususnya

berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.

Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan penomena

ketidak percayaan diantara manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak

untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.

Tidak dapat dipungkiri realita yang ada, suburnya usaha-usaha pergadaian baik dikelola

pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya gadai menggadai ini. Ironisnya banyak kaum

muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini

bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis

transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya terjadi kedzoliman dan saling memakan harta saudaranya

dengan batil. Maka dari itu kami akan membahas materi Al-Rahnu (Gadai) itu sendiri.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah Menggadaikan Barang itu diperbolehkan di dalam Islam?

2. Pengertian Gadai secara istilah dan Bahasa?

3. Bagaimana Konsep Gadai itu sendiri di dalam Islam?

4. Bagaimana Dasar Hukum Praktek Gadai yang Benar?

4 |HADIS MU’AMALAH
C. TUJUAN

1. Agar kita dapat mengetahui Arti Gadai yang sebenarnya.

2. Agar kita dapat mengetahui Konsep Gadai di dalam islam.

3. Agar kita dapat mengetahui Hukum Gadai itu sendiri.

4. Agar kita dapat mengetahui Tata Cara Gadai yang sebenarnya yang dianjurkan di dalam

agama Islam.

D. MANFAAT

Dengan adanya keempat tujuan kami di atas, mudah-mudahan kita semua memperoleh

Hikmah tentang Anjuran Gadai yang sebenarnya di dalam islam. Dan mudah-mudahan setiap

pesan yang ada di dalam makalah kami bisa tersimpan di memori halayak pendengar. Kemudian

bisa dilaksanakan dan diberitahukan dimasyarakat meski hanya satu ayat saja.

5 |HADIS MU’AMALAH
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN GADAI

Transaksi hukum gadai dalam fiqih islam disebut Ar-Rahn. Ar-Rahn adalah suatu jenis

perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.

Pengertian Ar-rahn dalam bahasa Arab adalah Ats-Tsubut Wa Ad Dawam yang berarti “tetap” dan

“kekal” seperti, dalam kalimat maun rahin yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan

firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat 38 sebagai berikut:

َ ‫ُك ُّل نَ ْف ِس ِب َما َك‬


‫سبَتْ َر ِه ْينَة‬

Artinya:

“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah di perbuatnya”.

Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata Al-

Habsu yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materi. karena itu, secara

bahasa kata Ar-Rahn berarti “menjadikan suatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat

utang”.

Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti di ungkapkan diatas adalah tetap, kekal dan

jaminan; sedangkan pengertian secara istilah adalah menyandera sujumlah harta yang diserahkan

sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus.

Namun,pengertian gadai yang terungkap dalam pasal 1150 kitab undang-undang hukum perdata

adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak

tersebut diserahkan kepada yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atauorang lain

atas nama orang yang berpiutang. Karena itu, makna gadai (rahn) dalam bahasa hukum

perundang-undangan disebut barang jaminan, anggunan, dan rungguhan. Sedangkan hokum

gadai(rahn) dalam hukum islam adalah:

6 |HADIS MU’AMALAH
َ ‫الد ْينُ أ َ ْوا َ ْخذُ َب ْع‬
َ‫ضهُ ِم ْن ِت ْلك‬ ِ َ‫ْث يُ ْم ِكنُ ا َ ْخذُ ذُ ِلك‬
ُ ‫ع ْينَ لَ ُها ِق ْي َمة ِفي نَ ْظ ِرالش ًّْرعِ َو ِث ْيقَة ِب َدي ِْن ِب َحي‬
َ ‫َج ْع ُل‬

. َ‫اْلعَ ْين‬

“Menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’sebagai

jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang

tersebut”.

Selain pengertian diatas beberapa pengertian gadai(rahn) menurut ahli hokum islam sebagai

berikut.

a. Ulama Syafi’iyah mendefenisikan sebagai berikut.

ْ َ‫ع ْينَ يَ ُج ْو ُزبَ ْيعُ َها َوثِ ْيقَةُ بِ َد ي ِْن ي‬


.‫ست َ ْوفِي ِم ْن َها ِع ْن َد تَعَذ ُروفَانِ ِه‬ َ ‫َح ْع ُل‬

“Menjadikan suatubarang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya,

bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya”.

b. Ulama hanabilah mengunkapkan sebagai berikut.

.‫علَي ْي ِه‬
َ ‫ْستِ ْيفَا ِئِ ِه ِم َّم ْن ُه َو‬ ْ َ‫ا ْل َما ُل الَّذِي يَجْ عَ ُل َوثِ ْيقَةُ بِ َد ي ِْن ي‬
ْ ِ‫ست َ ْوفِي ِم ْن ث َ َمنِ ِه أ َ ْْن تَعَذَّ َر ِإ‬

“Suatu benda yang dijadikan suatu kepercayaan utang, untuk dipenuhi harganya, bila yang

berutang tak sanggup membayar utangnya”.

c. Ulama malikiyah mendepenisikan sebagai berikut.

.‫شيْئ ُمت َ َم َّول يُ ْؤ َخذُ ِم ْن َما ِل ِك ِه ت ُ َو ثَّقَا ِب ِه فِي َدي ٍْن ََل ِز ٍم‬
َ

“Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya yang diambil

pengikat atas utang yang tetap (mengikat)”

d. Ahmad Azhar Basyir.

7 |HADIS MU’AMALAH
“Rahn adalah perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan utang, atau

menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun

bih, sehingga dengan adanya tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diteriman”

e. Muhammad Syafi’i Antonio.

“Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai

barang jaminan (marhun) atas utan/pinjaman (marhunbih) yang diterimanya. Marhun tersebut

memiliki nilai ekonomi. Dengan demikian pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin)

memperoleh jaminan untuk dapatmengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.”

B. KONSEP RAHN DAN GADAI

Dalam Fiqhi Islam lembaga gadai dikenal dengan “rahn”, yaitu perjanjian menahan sesuatu

barang. Barang atau bukti harta tetap milik peminjam yang ditahan merupakan jaminan atau

sebagai tanggungan hutang sehingga barang jaminan menjadi hak yang diperoleh kreditur yang

dijadikan sebagai jaminan pelunasan hutang.

Rahn adalah menahan salah satu harta milik sseorang (peminjam) sebagai jaminan atas

pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan

demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau

sebagian piutangnya.

Sayyid Tsabiq dalam kitabnya fiqh as sunnah menjelaskan bahwa rahn adalah semacam

jaminan utang atau gadai. Dalam praktek rahn terdapat beberapa unsur yang satu sama lain saling

mendukung (mutually inclusive), yaitu nasabah (rahin), harta sebagai jaminan hutang (marhun)

kepala pihak lembaga gadai atau bank sebagai murtahin (Kamil dan Fauzan, 2006, 550).

8 |HADIS MU’AMALAH
Meskipun isltilah lembaga gadai disinonimkan dengan istilah rahn dalam fikih islam, namun

keduanya, disamping memiliki persamaan jika dilihat dari aspek tujuan dan fungsi, juga memiliki

perbedaan-perbedaan tertentu.

Beberapa aspek persamaan antara lembaga gadai dengan rahn dapat dilihat dari beberapa

aspek selain tujuan dan fungsi yaitu:

1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang

2. Sama-sama mempersyaratkan baang agunan sebagai pinjaman uang

3. Tidak diperkenankan mengambil manfaat atas barang yang digadaikan

4. Biaya barang gadai ditanggung oleh pemberi gadai

5. Apabila pada tanggal jatuh tempo barang yang digadai tidak ditembus atau diperpanjang,

maka barang gadai boleh dijual atau dilelang (Muhammad dan Hadi, 2003, 42)

Sedangkan aspek yang membedakannya terletak pada aspek-aspek:

1. Filosofis antara keduanya. Rahn dilakukan atas dasar motif tolong menolong dan

membantu kesulitan seseorang dengan motif mencari keuntungan dan keridahan Allah

2. Cakupan harta yang bisa digadaikan. Dalam rahn harta yang dapat digadaikan bisa berupa

harta yang bergerak maupun tidak bergerak

3. Sifatnya yang fleksibel. Praktek gadai dalam sistem rahn dapat dilakukan di luar atau

tanpa lembaga pegadaian serta tanpa disertai pembayaran bunga.

Berbeda dari itu, pegadaian dalam hukum perdata, disamping didasarkan pada prinsip tolong

menolong, namun berakhir pada penetapan suatu keuntungan (profit) melalui mekanisme barang

bergerak dan terjadi dalam sebuah lembaga yang bernama perum pegadaian.

Dengan mengetahui beberapa aspek yang membedakan dan menyamakan antara rahn dan

pegadaian diatas, maka jelas bahwa rahn sebagai lembaga keuangan non-bank dan non-material,

untuk kepentingan komersial dan sosial. Dalam pelaksanaan akadnya, rahn menerapkan akad

9 |HADIS MU’AMALAH
utang piutang dengan mempersyaratkan adanya barang (marun) sebagai jaminan yang diserahkan

oleh pihak yang berhutang (rahin) kepada murtahin (lembaga gadai).

Apabila dalam akad tersebut masyarakat penambahan sejumlah uang atau penentuan

presentase tertentu dari pokok utang, maka hal tersebut dipandang sebagai bentuk praktek

pembungaan uang disamakan dengan riba yang dilarang dalam syari’ah Islam (Basyir, A. Azhar,

1983, 55) dan agama-agama besar lainnya.

Praktek pembungaan yang demikianlah pada umumnya yang terjadi pada lembaga pegadaian

konvensional selama ini. Bahkan semakin mengarah pada eksploitasi masyarakat yang sangat

memerlukan jasa keuangan, yang tidak berbeda secara diametral dengan praktek-praktek

pelepasan uang yang dilakukan oleh para rentenie, ijon, atau money broker lainnya.

Dalam praktek pegadaian ini ditetapkan adanya bunga setiap 15 hari sekali yang harus

dibayarkan oleh masyarakat tepat pada waktunya. Hal ini berarti bahwa setiap keterlambatan satu

hari, maka pihak penggadai harus membayar bunga yang jelas-jelas mengeksploitasi penggadai.

Praktek-praktek yang memberatkan salah satu pihak inilah yang dipandang sebagai sebuah

bentuk eksploitasi yang dilarang dalam hukum Islam. Eksploitasi dianggap sebagai cara singkat

untuk menumpuk kekayaan dengan pijak diatas penderitaan orang lain (the missery of others).

Meresponsi kenyataan-kenyataan yang berkembang dalam lingkup muamalah yang memberatkan

satu pihak ini, maka nilai-nilai Islam tentang persaudaraan dan misi Islam sebagai agama

rahmatan lil `alamin perlu diterjemahkan seara empiris dan lebih kongkrit dalam kehidupan

ekonomi umat. Terutama yang menyangkut dasar hukum utang piutang atau gadai.

C. DASAR HUKUM (ADDILAT AL’AHKAM) PRAKTEK GADAI

Islam dengan ajarannya yang komit dan luas membenarkan adanya praktek utang piutang yang

menjadi inti praktek lembaga pegadaian. Praktek ini secara normatif dapat digali dalam surat Al

10 |HADIS MU’AMALAH
Baqarah ayat:282 yang mengajarkan perjanjian hutang piutang yang perlu diperkuat dengan

catatan dan melibatkan saksi-saksi. Dalam ayat 282 surat Al Baqarah ditegaskan:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu

yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara

kamu menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan

hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan

hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun

daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orangnya lemah akalnya atau lemah

(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya

mengimlakkannya dengan jujur dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang

lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua

orang pedrempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang

seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila

mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar

sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih

menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah

mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di

antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan

persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit

menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu

kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah mengajarmu; dan Allah Maha

mengetahui segala sesuatu.

Sedangkan dalam surat Al Baqarah ayat 283 secara tegas diperbolehkan meminta jaminan

barang atau hutang.

11 |HADIS MU’AMALAH
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah, jual-beli, hutang piutang atau sewa

menyewa tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka

hendaklah ada barang tanggungan (borg) yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi

jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu

menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan

janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang

menyembunyikannya, maka seseungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah

Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ayat-ayat tersebut oleh komisi Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dijadikan sebagai dasar

pertimbangan untuk menetapkan fatwa yang membolehkan praktek rahn (gadai). Dalam dasar

pertimbangan Dewan Fatwa dikemukakan beberapa butir, yaitu

a. Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah

pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan uatang

b. Lembaga keuangan syari’ah perlu merespons kebutuhan masyarakat dalam berbagai

produknya

c. Agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.

Rahn merupakan salah satu cara untuk menahan barang sebagai jaminan atas utang.

Selain ayat-ayat di atas, beberapa praktek utang piutang yang dilakukan oleh Nabi juga

dijadikan sebagai dasar hukum praktek gadai (rahn). Di antara hadits Nabi yang dimaksud adalah

hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang mengabarkan bahwa:

“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang

Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya”.

Dalam sejumlah riwayat lain juga ditemukan landasan hukum yang menjustifikasi praktek

gadai. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda:

12 |HADIS MU’AMALAH
“Tidak pernah terlepas dari kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia

memperoleh manfaat dan menanggung risikonya”.

Nabi juga mengatakan bahwa:

“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki (dikendarai) dan binatang ternak

yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang

menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan

pemeliharaan”.

Selain dua landasan tersebut, praktek gadai juga didasarkan pada konsensus atau ijma’ ulama

yang menetapkan hukumnya mubah (boleh) melakukan perjanjian gadai. Ijtihad para ulama ini

terutama sekali menyangkut segi-segi teknis, seperti ketentuan tentang siapa yang harus

menanggung biaya pemeliharaan selama marhun berada di tangan murtahin dan tata cara

penentuan biaya dan sebagainya.

D. MENGGADAIKAN BARANG DI PERBOLEHKAN

1. Anas ibn malik menerangkan:

ُ‫ ِع ْن َد يَ ُه ْودِى بِا ْل َم ِد ْينَ ِة؛ َوأ َ َخذَ ِم ْنه‬،ُ‫ْسلَّ َم د ِْرعًالَه‬


َ ‫علَ ْي ِه َوآ ِل ِه َو‬ َ ‫ َرهَنَ الَّنِ َّي‬:َ‫ قَال‬،‫ع َْن أَنَ ٍس‬
َ ُ‫ص َّل هللا‬

.‫ وابن ماجه‬،‫ رواه أحمدوالبخرى والنسأىى‬.‫ش ِعي ًْرا ِِل َ ْه ِل ِه‬


َ

“Rasulullah saw, menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi madinah, sebagai

jaminan mengambil syair untuk keluarganya”. (H.R. Ahmad, Al-Bukhary, An-Nasa-y dan

Ibnu Majah; Al-Muntaqa II:360)

2. Aisya r.a menerangkan:

،،ٍ‫شت َ َرى َطعَا ًما ِم ْن يَ ُه ْو ِد ي‬


ْ ‫ْسلَّ َم ا‬
َ ‫علَ ْي ِه َوآ ِل ِه َو‬ َ ُ‫َو ع َْن عَاِئِشَةَ َر ِض َى هللا‬
َ ُ‫ أَْنَّ الَّنِ َّي ص َّل هللا‬،‫ع ْن َها‬

ِ ‫الى أجل َو َر َهنَهُ د ِْرع‬


.ٍ‫ًام ْن َح ِد ْيد‬

13 |HADIS MU’AMALAH
“Bahwasanya rasullah mengambil makanan dari seorang yahudi yang harganya akan

dibayarkan dalam satu jangkawaktu tertentu. Sebagai jaminan nabi menggadaikan baju besi

beliau”. (H.R. Al-Bukhary, Muslim; Al-Muntaqa II:360)

3. Aisya r.a menerangkan:

َ ‫صاعًا ِم ْن‬
‫ أخر جا هما‬.‫ش ِعي ٍْر‬ ُ ‫ ت ُ ُو فً َى َود ِْر‬:‫و فى لفظ‬
َ َ‫ ِبث َ ََل ثِ ْين‬،ٍ‫عهُ َم ْر ُه ْونَة ِع ْن َد يَ ُه ْو دِي‬

“Bahwasanya saat wafat saat wafatnya nabi masih menggadaikan baju besinya kepada

seseorang yahudi sebagai jaminan pengambilan tiga puluh gatan syair” (H.R. Al-Bukhary,

Muslim; Al-Muntaqa II:360)

I. Penjelasan ke tiga Hadis diatas:

a. Hadist pertama menyatakan bahwa menggadaikanharta, adalah dibenarkan. Dan mengatakan

bahwa kita boleh mengadakan muamalah (perjanjian) dengan orang kafir, boleh

menggadaikan alat perang (baju besi) kepada orang simmi (orang kafir yang mendapat

perlindungan), dan boleh membeli sesusuatu dengan menggunakan pembayaran.

b. Hadist kedua menyatakan bahwasanya nabi pernah membeli sesuatu pada orang yahudi, dan

menggadaikan baju besinya sebagai agunan (jaminan)

c. Hadist ketiga menyatakan bahwa nabi pernah menggadaikan barang miliknya kepada

seseorang yahudi untuk mendapatkan tigah puluh gating syair. Fakta ini, menunjukkan bahwa

kita boleh menggadaikan barang milikpada saat di kampung, dan boleh bermuamalah dengan

orang zimmi.

II. Jumhur Ulama Menetapkan bahwa kita boleh menggadaikan barang milik kita, tidak saja dalam

safar , boleh dilakukan dalam kampung.

Mujahid dan Adh-Dhahhak berpendapat, bahwa menggadaikan brang hanya dibolehkan pada saat

kita berada dalam safar, disaat tak ada saksi ataupun orang yang menulis surat gadai. Demikianlah

pendapat daud dan Ahludh Dhahir.

14 |HADIS MU’AMALAH
III. Seluruh ulamah menetapkan bahwa menggadaikan barang dibolehkan, sebagaimana perbuatan

hokum iniboleh dilakukan dikampung. Mengaitkan masalah gadai ini dengan perjalan safar sesuai

bunyi ayat, karena perbuatan itu lazim dilakukan dilakukan seseorang pada saat bersafar, dan tidak

dapat dijadikan dalil dalam dalam melarang perbuatan itu dilakukan dikampung halaman. Hadist

ini juga menegaskan bahwa kita boleh bermuamalah dengan orang kafir terhadapbenda-benda yang

tidaak di haramkan. Kita juga boleh menggadaikan perlengkapan perang kepada ahluzzimmah,

tetapi tidak boleh dengan musuh (ahlu harb)

Hikmah nabi bermuamalahdengan orang yahudi adalah untuk menunjukkan bahwa dalam bidang

bisnis, kita dapat berhubungan dengn siapa saja.

E. BOLEH MEMBERI TANGGUNGAN ATAS PINJAMAN

 Didalam buku T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, 2002 Mutiara Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, t.th .

tentang Gadai

1036. ‘Aisyah r. a. Menerangkan :

ِ ‫) اَْنَّ النَّبِي ِ ص م اِشت َ َرى َطعَا ًما ِم ْن يَ ُهودِي ٍ ِإِلَى أ َ َج ٍل َو َر َهنَهُ د ِْرع‬١٠٣٦(
.ٍ‫ًام ْن َح ِد ْيد‬

“Bahwasanya Nabi s.a.w. membeli gandum pada orang Yahudi dengan menangguhkan

pembayaran harganya, dan sebagai borgnya Nabi menyerahkan baju besinya”.

Al bukhary 34 : 14, Muslim 22 : 24, Al Lu’lu-u wal Majan 2 : 18

URAIAN

a. ANNAN NABIYYA S.A.W ISYTARA THA’AMAN MIN YAHU DIYYINILA AJALIN

WA RAHNAHU DIR’AN MIN HADIDIN

“bahwasanya Nabi s.a.w. membeli gandum pada seorang Yahudi dengan menanguhkan

pembayaran harganya dan sebagai borgnya Nabi menyerahkan baju besinya”.

15 |HADIS MU’AMALAH
Yakni: Nabi s.a.w. membeli makanan, menurut riwayat, sebanyak 30 gantang dari seorang

Yahudi yang bernama Abu Syahmi, sedang harganya ditangguhkan, akan dibayar pada waktu

ketika nanti, dan sebagai borgnya Nabi menyerahkan baju besinya.

Perbuatan Nabi ini menyatakan, bahwa kita boleh menjual sesuatu secara tangguh dan

membolehkan kita bermu’amalah dengan orang Yahudi, walaupun mereka memakan harta

riba, sebagaimana kita boleh bermu’amalah dengan orang-orang yang menurut persangkaan

kita, bahwa yang kita beli itu hartanya adalah haram, selama kita tidak yakin, bahwa

kebanyakan dari barang yang haram. Juga membolehkan kita menggadaikan barang di waktu

kita berada di kampung, walaupun Al Qur’an menerangkan, bahwa penggadaian itu dilakukan

di dalam safar. Nabi sengaja membeli barang pada orang Yahudi dan menggadaikan bajunya

kepada mereka, adalah untuk memberi pengertian, bahwa kita boleh bermu’amalah dengan

orang kafir.

Dalam pada itu semua ulama sependapat mengatakan, bahwa kita boleh menjual senjata

kepada kafir harbi.

KESIMPULAN

Hadits ini menyatakan, bahwa kita boleh menggadaikan barang walaupun kita berada di

kampung, sebagaimana menyatakan, bahwa kita boleh bermu’amalah dengan orang kafir.

 Didalam buku Drs. Muslich Shabir, MA. Terjemahan Riyadhus Shalihin, Semarang. Tentang

Keutamaan bermurah hati dalam berjual-beli, berhutang piutang, bersikap jujur dalam

menimbang dan keutamaan meringankan atau membebaskan hutang orang miskin.

ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ع ْنهُ قَال‬


‫ َم ْن‬:‫ْس ْو ُل هللاِ صلى هللا عليه وْسلم‬ َ ُ‫ َوع َْن اَبِ ْي ُه َرةَ َر ِض َي هللا‬٠٧

ُ‫ َر َواه‬،ُ‫ض َع لَهُ ا َ َظلَّهُ هللاُ يَ ْو َم ا ْل ِقيَا َم ِة تَحْ تَ ِظ ِل ا ْلعَ ْر ِش يَ ْو َمل ََل ِظ َّل ا ََِّل ِظلُّه‬
َ ‫ا َ ْن َظ َر ُمعس ًِراا َ ْو َو‬

.‫ص ِحيْح‬ َ ‫ َح ِديْث َح‬:َ‫ َوقَال‬،‫ِي‬


َ ‫سن‬ ُّ ‫الت ُّ ْر ُمذ‬

16 |HADIS MU’AMALAH
Dari Abu Huraira r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda :

“Barang siapa yang menagguhkan hutang orang yang belum bisa membayarnya atau

membebaskannya maka nanti pada hari kiamat Allah memberi naungan di bawah naungan ‘Arasy

yang waktu itu tidak ada naungan kecuali naungannya” (Riwayat At Turmudzy)

 Didalam buku Ahmad bin Ali Hajar al-Aqanlaniy. Bulugh al-Maram, Dar al-Fikr,t.th.

Tentang Barangsiapa memberi pinjaman, hendaklah meminjamkan pada takran yang

diketahui, dan hingga tempo yang diketahui.

‫ْسلَّ َم ا ْل َم ِد ْينَ َة َو ُه ْم‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ قَ ِد َم النَّ ِب ُّي‬:َ‫عنُ ُه َما قَال‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ُ‫اس َر ِض َي هللا‬
ٍ َّ‫عب‬
َ ‫) ع َِن اب ِْن‬٨٧٤(

".‫ف ِف ْي َك ْي ٍل َم ْعلُ ْو ٍم‬ ْ ُ‫ف فِ ْي ت َ ْم ٍر فَ ْلي‬


ْ ‫س ِل‬ َ َ‫ْسل‬ َّ ‫سنَةَ َوال‬
ْ َ ‫ " َم ْن أ‬:َ‫سنَتَي ِْن فَقَال‬ َّ ‫س ِلفُ ْوْنَ ِفي اثِ َم ِار ال‬
ْ ُ‫ي‬

(874) Bersumber dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata,

“Nabi saw. Datang di Madinah dan penduduknya sudah biasa meberi pinjaman berupa buah

buahan dalam jangka waktu setahun atau dua tahun. Kemudian beliau bersabda, ‘Barang siapa

yang memberi pinjaman berupa buah buahan, hendaklah ia memberi dalam takaran, timbangan

dan waktu tertentu.”

Disebutkan dalam riwayat al-Bukhari,

“Barangsiapa memberi pinjaman berupa sesuatu.”

17 |HADIS MU’AMALAH
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Menggadaikan barang itu diperbolehkan dalam Islam, sebagaimana

 Anas ibn malik menerangkan:

ُ‫ ِع ْن َد َي ُه ْودِى ِبا ْل َم ِد ْينَ ِة؛ َوأ َ َخذَ ِم ْنه‬،ُ‫ْسلَّ َم د ِْرعًالَه‬


َ ‫علَ ْي ِه َوآ ِل ِه َو‬ َ ‫ َرهَنَ الَّ ِن َّي‬:َ‫ قَال‬،‫ع َْن أَنَ ٍس‬
َ ُ‫ص َّل هللا‬

.‫ وابن ماجه‬،‫ رواه أحمدوالبخرى والنسأىى‬.‫ش ِعي ًْرا ِِل َ ْه ِل ِه‬


َ

“Rasulullah saw, menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi madinah, sebagai

jaminan mengambil syair untuk keluarganya”. (H.R. Ahmad, Al-Bukhary, An-Nasa-y dan

Ibnu Majah; Al-Muntaqa II:360)

 Aisya r.a menerangkan:

،،ٍ‫شت َ َرى َطعَا ًما ِم ْن يَ ُه ْو ِد ي‬


ْ ‫ْسلَّ َم ا‬
َ ‫علَ ْي ِه َوآ ِل ِه َو‬ َ ُ‫َو ع َْن عَاِئِشَةَ َر ِض َى هللا‬
َ ُ‫ أَْنَّ الَّنِ َّي ص َّل هللا‬،‫ع ْن َها‬

ِ ‫الى أجل َو َر َهنَهُ د ِْرع‬


.ٍ‫ًام ْن َح ِد ْيد‬

“Bahwasanya rasullah mengambil makanan dari seorang yahudi yang harganya akan

dibayarkan dalam satu jangkawaktu tertentu. Sebagai jaminan nabi menggadaikan baju besi

beliau”. (H.R. Al-Bukhary, Muslim; Al-Muntaqa II:360)

 Aisya r.a menerangkan:

َ ‫صاعًا ِم ْن‬
‫ أخر جا هما‬.‫ش ِعي ٍْر‬ ُ ‫ ت ُ ُو فً َى َود ِْر‬:‫و فى لفظ‬
َ َ‫ بِث َ ََل ثِ ْين‬،ٍ‫عهُ َم ْر ُه ْونَة ِع ْن َد يَ ُه ْو دِي‬

“Bahwasanya saat wafat saat wafatnya nabi masih menggadaikan baju besinya kepada

seseorang yahudi sebagai jaminan pengambilan tiga puluh gatan syair” (H.R. Al-Bukhary,

Muslim; Al-Muntaqa II:360)

2. Pengertian Gadai secara istilah adalah menyandera sujumlah harta yang diserahkan sebagai

jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus.

Sedangkan Pengertian Gadai secara Bahasa ialah “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan

makna yang tercakup dalam kata Al-Habsu yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna

18 |HADIS MU’AMALAH
yang bersifat materi. karena itu, secara bahasa kata Ar-Rahn berarti “menjadikan suatu

barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.

3. Maka Konsep Rahn adalah menahan salah satu harta milik sseorang (peminjam) sebagai jaminan

atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan

demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau

sebagian piutangnya.

Sayyid Tsabiq dalam kitabnya fiqh as sunnah menjelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan

utang atau gadai. Dalam praktek rahn terdapat beberapa unsur yang satu sama lain saling

mendukung (mutually inclusive), yaitu nasabah (rahin), harta sebagai jaminan hutang (marhun)

kepala pihak lembaga gadai atau bank sebagai murtahin (Kamil dan Fauzan, 2006, 550).

Meskipun isltilah lembaga gadai disinonimkan dengan istilah rahn dalam fikih islam, namun

keduanya, disamping memiliki persamaan jika dilihat dari aspek tujuan dan fungsi, juga memiliki

perbedaan-perbedaan tertentu. Maka jelas bahwa rahn sebagai lembaga keuangan non-bank dan

non-material, untuk kepentingan komersial dan sosial. Dalam pelaksanaan akadnya, rahn

menerapkan akad utan piutang dengan mempersyaratkan adanya barang (marun) sebagai jaminan

yang diserahkan oleh pihak yang berhutang (rahin) kepada murtahin (lembaga gadai).

4. Dasar Hukum (Addilat Al’Ahkam) Praktek Gadai:

Islam dengan ajarannya yang komit dan luas membenarkan adanya praktek utang piutang yang

menjadi inti praktek lembaga pegadaian. Praktek ini secara normatif dapat digali dalam surat Al

Baqarah ayat:282 yang mengajarkan perjanjian hutang piutang yang perlu diperkuat dengan

catatan dan melibatkan saksi-saksi.

Ayat-ayat tersebut oleh komisi Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dijadikan sebagai dasar

pertimbangan untuk menetapkan fatwa yang membolehkan praktek rahn (gadai).

Selain ayat-ayat di atas, beberapa praktek utang piutang yang dilakukan oleh Nabi juga dijadikan

sebagai dasar hukum praktek gadai (rahn). Di antara hadits Nabi yang dimaksud adalah hadits

yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang mengabarkan bahwa:

19 |HADIS MU’AMALAH
“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang

Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya”.

Dalam sejumlah riwayat lain juga ditemukan landasan hukum yang menjustifikasi praktek gadai.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda:

“Tidak pernah terlepas dari kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia

memperoleh manfaat dan menanggung risikonya”.

Nabi juga mengatakan bahwa:

“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki (dikendarai) dan binatang ternak

yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang

menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan

pemeliharaan”.

Selain dua landasan tersebut, praktek gadai juga didasarkan pada konsensus atau ijma’ ulama

yang menetapkan hukumnya mubah (boleh) melakukan perjanjian gadai. Ijtihad para ulama ini

terutama sekali menyangkut segi-segi teknis, seperti ketentuan tentang siapa yang harus

menanggung biaya pemeliharaan selama marhun berada di tangan murtahin dan tata cara

penentuan biaya dan sebagainya.

B. SARAN

Sebagai Umat Islam, kita harus menjujung tinggi yang namanya Dasar Hukum Praktek Gadai.

Agar dalam pelaksanaan pegadaian ini bisa berjalan sesuai dengan norma-norma agama sehingga

kita terhindar dari perbuatan menimbun harta orang lain (Riba) yang sangat dibenci Allah SWT.

Dan sebagai pemuda-pemudi bangsa patutnya kita memberitahukan kehalayak luas bahwa sebaik-

baiknya menggadaikan Barang, Gadaikanlah Barang di Pegadaian Syari’ah.

20 |HADIS MU’AMALAH

Anda mungkin juga menyukai