Segala Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan
Rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah HADIS MU’AMALAH
ini dengan materi Al-Rahnu (Gadai) tentang “Boleh Memberi Tanggunggan Atas Pinjaman”. Tak
lupa pula kita Agungkan Nama Nabi Muhammad SAW, Yang menjadi Perantara yang telah
memberikan kita contoh yang sebenar-benarnya tentang Al-Rahnu (Gadai) di dalam Hukum Islam.
Materi ini kami peroleh dari 8 referensi buku yaitu Bulugh Al-Maram, 2002 Mutiara Hadis, Terjemah
Riyadhus Shalihin, Hukum Gadai Syari’ah, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Al-Lu’lu’ Wal Marjan,
Dengan selesainya Makalah yang kami buat ini, kami berharap agar Makalah ini mudah dimengerti
Dan kami menyadari bahwa dalam Makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan
kekhilafan. Oleh karena itu, kepada Para Pembaca dan Dosen kami minta Kritik dan Saran yang
Semoga Makalah ini bermanfaat bagi Mahasiswa dan Pembaca pada umumnya.
Kelompok 10
1 |HADIS MU’AMALAH
DAFTAR ISI
C. TUJUAN ................................................................................................................. 2
D. MANFAAT ............................................................................................................. 2
A. KESIMPULAN....................................................................................................... 15
B. SARAN .................................................................................................................... 17
2 |HADIS MU’AMALAH
DAFTAR REFERENSI BUKU
1) Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalaniy., Bulugh Al-Maram, Dar Al-Fikr,t.th.
(Hal.224)
(Hal.539)
4) Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika. (Hal.1-3)
6) Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi., Al-Lu’lu’ Wal Marjan Jilid 2, Terjemahan: H. Salim
Bahreisy. (Hal.581)
(Hal.659-662)
3 |HADIS MU’AMALAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan
dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar
makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan
Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan
kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia, khususnya
berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.
Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan penomena
ketidak percayaan diantara manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak
untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Tidak dapat dipungkiri realita yang ada, suburnya usaha-usaha pergadaian baik dikelola
pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya gadai menggadai ini. Ironisnya banyak kaum
muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini
bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis
transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya terjadi kedzoliman dan saling memakan harta saudaranya
dengan batil. Maka dari itu kami akan membahas materi Al-Rahnu (Gadai) itu sendiri.
B. RUMUSAN MASALAH
4 |HADIS MU’AMALAH
C. TUJUAN
4. Agar kita dapat mengetahui Tata Cara Gadai yang sebenarnya yang dianjurkan di dalam
agama Islam.
D. MANFAAT
Dengan adanya keempat tujuan kami di atas, mudah-mudahan kita semua memperoleh
Hikmah tentang Anjuran Gadai yang sebenarnya di dalam islam. Dan mudah-mudahan setiap
pesan yang ada di dalam makalah kami bisa tersimpan di memori halayak pendengar. Kemudian
bisa dilaksanakan dan diberitahukan dimasyarakat meski hanya satu ayat saja.
5 |HADIS MU’AMALAH
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN GADAI
Transaksi hukum gadai dalam fiqih islam disebut Ar-Rahn. Ar-Rahn adalah suatu jenis
Pengertian Ar-rahn dalam bahasa Arab adalah Ats-Tsubut Wa Ad Dawam yang berarti “tetap” dan
“kekal” seperti, dalam kalimat maun rahin yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan
firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat 38 sebagai berikut:
Artinya:
Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata Al-
Habsu yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materi. karena itu, secara
bahasa kata Ar-Rahn berarti “menjadikan suatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat
utang”.
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti di ungkapkan diatas adalah tetap, kekal dan
jaminan; sedangkan pengertian secara istilah adalah menyandera sujumlah harta yang diserahkan
sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus.
Namun,pengertian gadai yang terungkap dalam pasal 1150 kitab undang-undang hukum perdata
adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak
tersebut diserahkan kepada yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atauorang lain
atas nama orang yang berpiutang. Karena itu, makna gadai (rahn) dalam bahasa hukum
6 |HADIS MU’AMALAH
َ الد ْينُ أ َ ْوا َ ْخذُ َب ْع
َضهُ ِم ْن ِت ْلك ِ َْث يُ ْم ِكنُ ا َ ْخذُ ذُ ِلك
ُ ع ْينَ لَ ُها ِق ْي َمة ِفي نَ ْظ ِرالش ًّْرعِ َو ِث ْيقَة ِب َدي ِْن ِب َحي
َ َج ْع ُل
. َاْلعَ ْين
“Menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’sebagai
jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang
tersebut”.
Selain pengertian diatas beberapa pengertian gadai(rahn) menurut ahli hokum islam sebagai
berikut.
“Menjadikan suatubarang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya,
.علَي ْي ِه
َ ْستِ ْيفَا ِئِ ِه ِم َّم ْن ُه َو ْ َا ْل َما ُل الَّذِي يَجْ عَ ُل َوثِ ْيقَةُ بِ َد ي ِْن ي
ْ ِست َ ْوفِي ِم ْن ث َ َمنِ ِه أ َ ْْن تَعَذَّ َر ِإ
“Suatu benda yang dijadikan suatu kepercayaan utang, untuk dipenuhi harganya, bila yang
.شيْئ ُمت َ َم َّول يُ ْؤ َخذُ ِم ْن َما ِل ِك ِه ت ُ َو ثَّقَا ِب ِه فِي َدي ٍْن ََل ِز ٍم
َ
“Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya yang diambil
7 |HADIS MU’AMALAH
“Rahn adalah perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan utang, atau
menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun
bih, sehingga dengan adanya tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diteriman”
“Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai
barang jaminan (marhun) atas utan/pinjaman (marhunbih) yang diterimanya. Marhun tersebut
memiliki nilai ekonomi. Dengan demikian pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin)
Dalam Fiqhi Islam lembaga gadai dikenal dengan “rahn”, yaitu perjanjian menahan sesuatu
barang. Barang atau bukti harta tetap milik peminjam yang ditahan merupakan jaminan atau
sebagai tanggungan hutang sehingga barang jaminan menjadi hak yang diperoleh kreditur yang
Rahn adalah menahan salah satu harta milik sseorang (peminjam) sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya.
Sayyid Tsabiq dalam kitabnya fiqh as sunnah menjelaskan bahwa rahn adalah semacam
jaminan utang atau gadai. Dalam praktek rahn terdapat beberapa unsur yang satu sama lain saling
mendukung (mutually inclusive), yaitu nasabah (rahin), harta sebagai jaminan hutang (marhun)
kepala pihak lembaga gadai atau bank sebagai murtahin (Kamil dan Fauzan, 2006, 550).
8 |HADIS MU’AMALAH
Meskipun isltilah lembaga gadai disinonimkan dengan istilah rahn dalam fikih islam, namun
keduanya, disamping memiliki persamaan jika dilihat dari aspek tujuan dan fungsi, juga memiliki
perbedaan-perbedaan tertentu.
Beberapa aspek persamaan antara lembaga gadai dengan rahn dapat dilihat dari beberapa
5. Apabila pada tanggal jatuh tempo barang yang digadai tidak ditembus atau diperpanjang,
maka barang gadai boleh dijual atau dilelang (Muhammad dan Hadi, 2003, 42)
1. Filosofis antara keduanya. Rahn dilakukan atas dasar motif tolong menolong dan
membantu kesulitan seseorang dengan motif mencari keuntungan dan keridahan Allah
2. Cakupan harta yang bisa digadaikan. Dalam rahn harta yang dapat digadaikan bisa berupa
3. Sifatnya yang fleksibel. Praktek gadai dalam sistem rahn dapat dilakukan di luar atau
Berbeda dari itu, pegadaian dalam hukum perdata, disamping didasarkan pada prinsip tolong
menolong, namun berakhir pada penetapan suatu keuntungan (profit) melalui mekanisme barang
bergerak dan terjadi dalam sebuah lembaga yang bernama perum pegadaian.
Dengan mengetahui beberapa aspek yang membedakan dan menyamakan antara rahn dan
pegadaian diatas, maka jelas bahwa rahn sebagai lembaga keuangan non-bank dan non-material,
untuk kepentingan komersial dan sosial. Dalam pelaksanaan akadnya, rahn menerapkan akad
9 |HADIS MU’AMALAH
utang piutang dengan mempersyaratkan adanya barang (marun) sebagai jaminan yang diserahkan
Apabila dalam akad tersebut masyarakat penambahan sejumlah uang atau penentuan
presentase tertentu dari pokok utang, maka hal tersebut dipandang sebagai bentuk praktek
pembungaan uang disamakan dengan riba yang dilarang dalam syari’ah Islam (Basyir, A. Azhar,
Praktek pembungaan yang demikianlah pada umumnya yang terjadi pada lembaga pegadaian
konvensional selama ini. Bahkan semakin mengarah pada eksploitasi masyarakat yang sangat
memerlukan jasa keuangan, yang tidak berbeda secara diametral dengan praktek-praktek
pelepasan uang yang dilakukan oleh para rentenie, ijon, atau money broker lainnya.
Dalam praktek pegadaian ini ditetapkan adanya bunga setiap 15 hari sekali yang harus
dibayarkan oleh masyarakat tepat pada waktunya. Hal ini berarti bahwa setiap keterlambatan satu
hari, maka pihak penggadai harus membayar bunga yang jelas-jelas mengeksploitasi penggadai.
Praktek-praktek yang memberatkan salah satu pihak inilah yang dipandang sebagai sebuah
bentuk eksploitasi yang dilarang dalam hukum Islam. Eksploitasi dianggap sebagai cara singkat
untuk menumpuk kekayaan dengan pijak diatas penderitaan orang lain (the missery of others).
satu pihak ini, maka nilai-nilai Islam tentang persaudaraan dan misi Islam sebagai agama
rahmatan lil `alamin perlu diterjemahkan seara empiris dan lebih kongkrit dalam kehidupan
ekonomi umat. Terutama yang menyangkut dasar hukum utang piutang atau gadai.
Islam dengan ajarannya yang komit dan luas membenarkan adanya praktek utang piutang yang
menjadi inti praktek lembaga pegadaian. Praktek ini secara normatif dapat digali dalam surat Al
10 |HADIS MU’AMALAH
Baqarah ayat:282 yang mengajarkan perjanjian hutang piutang yang perlu diperkuat dengan
catatan dan melibatkan saksi-saksi. Dalam ayat 282 surat Al Baqarah ditegaskan:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orangnya lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya
mengimlakkannya dengan jujur dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang pedrempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar
sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di
antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Sedangkan dalam surat Al Baqarah ayat 283 secara tegas diperbolehkan meminta jaminan
11 |HADIS MU’AMALAH
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah, jual-beli, hutang piutang atau sewa
menyewa tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan (borg) yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang
menyembunyikannya, maka seseungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah
Ayat-ayat tersebut oleh komisi Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dijadikan sebagai dasar
pertimbangan untuk menetapkan fatwa yang membolehkan praktek rahn (gadai). Dalam dasar
a. Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah
produknya
Rahn merupakan salah satu cara untuk menahan barang sebagai jaminan atas utang.
Selain ayat-ayat di atas, beberapa praktek utang piutang yang dilakukan oleh Nabi juga
dijadikan sebagai dasar hukum praktek gadai (rahn). Di antara hadits Nabi yang dimaksud adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang mengabarkan bahwa:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang
Dalam sejumlah riwayat lain juga ditemukan landasan hukum yang menjustifikasi praktek
12 |HADIS MU’AMALAH
“Tidak pernah terlepas dari kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki (dikendarai) dan binatang ternak
yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang
menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan
pemeliharaan”.
Selain dua landasan tersebut, praktek gadai juga didasarkan pada konsensus atau ijma’ ulama
yang menetapkan hukumnya mubah (boleh) melakukan perjanjian gadai. Ijtihad para ulama ini
terutama sekali menyangkut segi-segi teknis, seperti ketentuan tentang siapa yang harus
menanggung biaya pemeliharaan selama marhun berada di tangan murtahin dan tata cara
“Rasulullah saw, menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi madinah, sebagai
jaminan mengambil syair untuk keluarganya”. (H.R. Ahmad, Al-Bukhary, An-Nasa-y dan
13 |HADIS MU’AMALAH
“Bahwasanya rasullah mengambil makanan dari seorang yahudi yang harganya akan
dibayarkan dalam satu jangkawaktu tertentu. Sebagai jaminan nabi menggadaikan baju besi
َ صاعًا ِم ْن
أخر جا هما.ش ِعي ٍْر ُ ت ُ ُو فً َى َود ِْر:و فى لفظ
َ َ ِبث َ ََل ثِ ْين،ٍعهُ َم ْر ُه ْونَة ِع ْن َد يَ ُه ْو دِي
“Bahwasanya saat wafat saat wafatnya nabi masih menggadaikan baju besinya kepada
seseorang yahudi sebagai jaminan pengambilan tiga puluh gatan syair” (H.R. Al-Bukhary,
bahwa kita boleh mengadakan muamalah (perjanjian) dengan orang kafir, boleh
menggadaikan alat perang (baju besi) kepada orang simmi (orang kafir yang mendapat
b. Hadist kedua menyatakan bahwasanya nabi pernah membeli sesuatu pada orang yahudi, dan
c. Hadist ketiga menyatakan bahwa nabi pernah menggadaikan barang miliknya kepada
seseorang yahudi untuk mendapatkan tigah puluh gating syair. Fakta ini, menunjukkan bahwa
kita boleh menggadaikan barang milikpada saat di kampung, dan boleh bermuamalah dengan
orang zimmi.
II. Jumhur Ulama Menetapkan bahwa kita boleh menggadaikan barang milik kita, tidak saja dalam
Mujahid dan Adh-Dhahhak berpendapat, bahwa menggadaikan brang hanya dibolehkan pada saat
kita berada dalam safar, disaat tak ada saksi ataupun orang yang menulis surat gadai. Demikianlah
14 |HADIS MU’AMALAH
III. Seluruh ulamah menetapkan bahwa menggadaikan barang dibolehkan, sebagaimana perbuatan
hokum iniboleh dilakukan dikampung. Mengaitkan masalah gadai ini dengan perjalan safar sesuai
bunyi ayat, karena perbuatan itu lazim dilakukan dilakukan seseorang pada saat bersafar, dan tidak
dapat dijadikan dalil dalam dalam melarang perbuatan itu dilakukan dikampung halaman. Hadist
ini juga menegaskan bahwa kita boleh bermuamalah dengan orang kafir terhadapbenda-benda yang
tidaak di haramkan. Kita juga boleh menggadaikan perlengkapan perang kepada ahluzzimmah,
Hikmah nabi bermuamalahdengan orang yahudi adalah untuk menunjukkan bahwa dalam bidang
Didalam buku T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, 2002 Mutiara Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, t.th .
tentang Gadai
ِ ) اَْنَّ النَّبِي ِ ص م اِشت َ َرى َطعَا ًما ِم ْن يَ ُهودِي ٍ ِإِلَى أ َ َج ٍل َو َر َهنَهُ د ِْرع١٠٣٦(
.ًٍام ْن َح ِد ْيد
“Bahwasanya Nabi s.a.w. membeli gandum pada orang Yahudi dengan menangguhkan
URAIAN
“bahwasanya Nabi s.a.w. membeli gandum pada seorang Yahudi dengan menanguhkan
15 |HADIS MU’AMALAH
Yakni: Nabi s.a.w. membeli makanan, menurut riwayat, sebanyak 30 gantang dari seorang
Yahudi yang bernama Abu Syahmi, sedang harganya ditangguhkan, akan dibayar pada waktu
Perbuatan Nabi ini menyatakan, bahwa kita boleh menjual sesuatu secara tangguh dan
membolehkan kita bermu’amalah dengan orang Yahudi, walaupun mereka memakan harta
riba, sebagaimana kita boleh bermu’amalah dengan orang-orang yang menurut persangkaan
kita, bahwa yang kita beli itu hartanya adalah haram, selama kita tidak yakin, bahwa
kebanyakan dari barang yang haram. Juga membolehkan kita menggadaikan barang di waktu
kita berada di kampung, walaupun Al Qur’an menerangkan, bahwa penggadaian itu dilakukan
di dalam safar. Nabi sengaja membeli barang pada orang Yahudi dan menggadaikan bajunya
kepada mereka, adalah untuk memberi pengertian, bahwa kita boleh bermu’amalah dengan
orang kafir.
Dalam pada itu semua ulama sependapat mengatakan, bahwa kita boleh menjual senjata
KESIMPULAN
Hadits ini menyatakan, bahwa kita boleh menggadaikan barang walaupun kita berada di
kampung, sebagaimana menyatakan, bahwa kita boleh bermu’amalah dengan orang kafir.
Didalam buku Drs. Muslich Shabir, MA. Terjemahan Riyadhus Shalihin, Semarang. Tentang
Keutamaan bermurah hati dalam berjual-beli, berhutang piutang, bersikap jujur dalam
ُ َر َواه،ُض َع لَهُ ا َ َظلَّهُ هللاُ يَ ْو َم ا ْل ِقيَا َم ِة تَحْ تَ ِظ ِل ا ْلعَ ْر ِش يَ ْو َمل ََل ِظ َّل ا ََِّل ِظلُّه
َ ا َ ْن َظ َر ُمعس ًِراا َ ْو َو
16 |HADIS MU’AMALAH
Dari Abu Huraira r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda :
“Barang siapa yang menagguhkan hutang orang yang belum bisa membayarnya atau
membebaskannya maka nanti pada hari kiamat Allah memberi naungan di bawah naungan ‘Arasy
yang waktu itu tidak ada naungan kecuali naungannya” (Riwayat At Turmudzy)
Didalam buku Ahmad bin Ali Hajar al-Aqanlaniy. Bulugh al-Maram, Dar al-Fikr,t.th.
“Nabi saw. Datang di Madinah dan penduduknya sudah biasa meberi pinjaman berupa buah
buahan dalam jangka waktu setahun atau dua tahun. Kemudian beliau bersabda, ‘Barang siapa
yang memberi pinjaman berupa buah buahan, hendaklah ia memberi dalam takaran, timbangan
17 |HADIS MU’AMALAH
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
“Rasulullah saw, menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi madinah, sebagai
jaminan mengambil syair untuk keluarganya”. (H.R. Ahmad, Al-Bukhary, An-Nasa-y dan
“Bahwasanya rasullah mengambil makanan dari seorang yahudi yang harganya akan
dibayarkan dalam satu jangkawaktu tertentu. Sebagai jaminan nabi menggadaikan baju besi
َ صاعًا ِم ْن
أخر جا هما.ش ِعي ٍْر ُ ت ُ ُو فً َى َود ِْر:و فى لفظ
َ َ بِث َ ََل ثِ ْين،ٍعهُ َم ْر ُه ْونَة ِع ْن َد يَ ُه ْو دِي
“Bahwasanya saat wafat saat wafatnya nabi masih menggadaikan baju besinya kepada
seseorang yahudi sebagai jaminan pengambilan tiga puluh gatan syair” (H.R. Al-Bukhary,
2. Pengertian Gadai secara istilah adalah menyandera sujumlah harta yang diserahkan sebagai
jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus.
Sedangkan Pengertian Gadai secara Bahasa ialah “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan
makna yang tercakup dalam kata Al-Habsu yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna
18 |HADIS MU’AMALAH
yang bersifat materi. karena itu, secara bahasa kata Ar-Rahn berarti “menjadikan suatu
3. Maka Konsep Rahn adalah menahan salah satu harta milik sseorang (peminjam) sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya.
Sayyid Tsabiq dalam kitabnya fiqh as sunnah menjelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan
utang atau gadai. Dalam praktek rahn terdapat beberapa unsur yang satu sama lain saling
mendukung (mutually inclusive), yaitu nasabah (rahin), harta sebagai jaminan hutang (marhun)
kepala pihak lembaga gadai atau bank sebagai murtahin (Kamil dan Fauzan, 2006, 550).
Meskipun isltilah lembaga gadai disinonimkan dengan istilah rahn dalam fikih islam, namun
keduanya, disamping memiliki persamaan jika dilihat dari aspek tujuan dan fungsi, juga memiliki
perbedaan-perbedaan tertentu. Maka jelas bahwa rahn sebagai lembaga keuangan non-bank dan
non-material, untuk kepentingan komersial dan sosial. Dalam pelaksanaan akadnya, rahn
menerapkan akad utan piutang dengan mempersyaratkan adanya barang (marun) sebagai jaminan
yang diserahkan oleh pihak yang berhutang (rahin) kepada murtahin (lembaga gadai).
Islam dengan ajarannya yang komit dan luas membenarkan adanya praktek utang piutang yang
menjadi inti praktek lembaga pegadaian. Praktek ini secara normatif dapat digali dalam surat Al
Baqarah ayat:282 yang mengajarkan perjanjian hutang piutang yang perlu diperkuat dengan
Ayat-ayat tersebut oleh komisi Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dijadikan sebagai dasar
Selain ayat-ayat di atas, beberapa praktek utang piutang yang dilakukan oleh Nabi juga dijadikan
sebagai dasar hukum praktek gadai (rahn). Di antara hadits Nabi yang dimaksud adalah hadits
19 |HADIS MU’AMALAH
“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang
Dalam sejumlah riwayat lain juga ditemukan landasan hukum yang menjustifikasi praktek gadai.
“Tidak pernah terlepas dari kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki (dikendarai) dan binatang ternak
yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang
menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan
pemeliharaan”.
Selain dua landasan tersebut, praktek gadai juga didasarkan pada konsensus atau ijma’ ulama
yang menetapkan hukumnya mubah (boleh) melakukan perjanjian gadai. Ijtihad para ulama ini
terutama sekali menyangkut segi-segi teknis, seperti ketentuan tentang siapa yang harus
menanggung biaya pemeliharaan selama marhun berada di tangan murtahin dan tata cara
B. SARAN
Sebagai Umat Islam, kita harus menjujung tinggi yang namanya Dasar Hukum Praktek Gadai.
Agar dalam pelaksanaan pegadaian ini bisa berjalan sesuai dengan norma-norma agama sehingga
kita terhindar dari perbuatan menimbun harta orang lain (Riba) yang sangat dibenci Allah SWT.
Dan sebagai pemuda-pemudi bangsa patutnya kita memberitahukan kehalayak luas bahwa sebaik-
20 |HADIS MU’AMALAH