Anda di halaman 1dari 15

GALA DALAM HUKUM ISLAM

Dosen pembimbing : Ikhwani, MA


Mata Pelajaran : Agama III

Disusun Oleh :
Muddassir (2103010059)

UNIVERSITAS ALMUSLIM
FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK SIPIL
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa, berkat rahmat dan
hidayahnya saya dapat meyelesaikan sebuah makalah ini. Yang alhamdulliah tepat pada
waktunya, dengan sebuah materi tentang Gala dalam hukum islam. Dalam hal ini saya masih
belajar mohon maaf bila ada kekurangan atau kesalahan dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini berisikan tentang penjelasan lebih mendalam mengenai Gala dalam
hukum islam. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan senantiasa
meridhai segala usaha kita.Amin.

Matang Gelempang Dua, 26 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................. iii

BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................ 1

A. LATAR BELAKANG........................................................................................... 1

B. RUMUSAN MASALAH....................................................................................... 1

C. TUJUAN PENULISAN......................................................................................... 1

BAB II. PEMBAHASAN......................................................................................... 2

A. PENGERTIAN GALA.......................................................................................... 2

B. KONSEP GALA.................................................................................................... 4

C. DASAR HUKUM PRAKTEK GALA.................................................................. 6

D. GALA BARANG DI PERBOLEHKAN.............................................................. 8

BAB III. PENUTUP................................................................................................. 11

A. KESIMPULAN...................................................................................................... 11

B. SARAN................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan

dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar

makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi

kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.

Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan

kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia, khususnya

berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.

Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan penomena

ketidak percayaan diantara manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak

untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah Gala Barang itu diperbolehkan di dalam Islam?

2. Pengertian Gala secara istilah dan Bahasa?

3. Bagaimana Konsep Gala itu sendiri di dalam Islam?

4. Bagaimana Dasar Hukum Praktek Gala yang Benar?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Agar kita dapat mengetahui Arti Gala yang sebenarnya.

2. Agar kita dapat mengetahui Konsep Gala di dalam islam.

3. Agar kita dapat mengetahui Hukum Gala itu sendiri.

4. Agar kita dapat mengetahui Tata Cara Gala yang sebenarnya yang dianjurkan di dalam Islam

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN GALA

Gala berasal dari Bahasa aceh yang artinya gadai. Transaksi hukum gala/gadai dalam fiqih

islam disebut Ar-Rahn. Ar-Rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang

sebagai tanggungan utang.

Pengertian Ar-rahn dalam bahasa Arab adalah Ats-Tsubut Wa Ad Dawam yang berarti “tetap”

dan “kekal”. Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam

kata Al-Habsu yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materi. karena itu,

secara bahasa kata Ar-Rahn berarti “menjadikan suatu barang yang bersifat materi sebagai

pengikat utang”.

Pengertian gala (rahn) secara bahasa seperti di ungkapkan diatas adalah tetap, kekal dan

jaminan; sedangkan pengertian secara istilah adalah menyandera sujumlah harta yang diserahkan

sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah

ditebus. Namun, makna gala (rahn) dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut barang

jaminan, anggunan, dan rungguhan. Sedangkan hukum gadai dalam hukum islam adalah:

َ ‫ث يُ ْم ِكنُ اَ ْخ ُذ ُذلِكَ ال ِّد يْنُ َأ ْواَ ْخ ُذ بَ ْع‬


َ‫ضهُ ِمنْ تِ ْلك‬ ُ ‫ع َوثِ ْيقَةٌ بِ َد ْي ِن بِ َح ْي‬ ًّ ‫َج ْع ُل َعيْنَ لَ ُها قِ ْي َمةٌ فِي نَ ْظ ِرال‬
ِ ‫ش ْر‬

َ‫ ْال َعيْن‬.

“Menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’sebagai

jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang

tersebut”.

Selain pengertian diatas beberapa pengertian gala(rahn) menurut ahli hokum islam sebagai

berikut.

a. Ulama Syafi’iyah mendefenisikan sebagai berikut.

‫ست َْوفِي ِم ْن َها ِع ْن َد تَ َع ّذ ُروفَانِ ِه‬


ْ َ‫ح ْع ُل َعيْنَ يَ ُج ْو ُزبَ ْي ُع َها َوثِ ْيقَةُ بِ َد ْي ِن ي‬.
َ

2
“Menjadikan suatubarang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari

harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya”.

b. Ulama hanabilah mengunkapkan sebagai berikut.

ْ ‫ست َْوفِي ِم ّْن ثَ َمنِ ِه َأنْ تَ َع َّذ َر ِإ‬


‫ستِ ْيفَا ِئ ِه ِم َّمنْ ه َُو َعلَي ْي ِه‬ ْ َ‫ا ْل َما ُل الَّ ِذي يَ ْج َع ُل َوثِ ْيقَةُ بِ َد ْي ِن ي‬.

“Suatu benda yang dijadikan suatu kepercayaan utang, untuk dipenuhi harganya, bila yang

berutang tak sanggup membayar utangnya”.

c. Ulama malikiyah mendepenisikan sebagai berikut.

‫شيٌْئ ُمتَ َم َّو ٌل يُْؤ َخ ُذ ِمنْ َمالِ ِك ِه ت َُو ثَّقَا بِ ِه فِي َد ْي ٍن اَل ِز ٍم‬
َ .

“Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya yang diambil

pengikat atas utang yang tetap (mengikat)”

d. Ahmad Azhar Basyir.

“Rahn adalah perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan utang, atau

menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun

bih, sehingga dengan adanya tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diteriman”

e. Muhammad Syafi’i Antonio.

“Gala syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai

barang jaminan (marhun) atas utan/pinjaman (marhunbih) yang diterimanya. Marhun

tersebut memiliki nilai ekonomi. Dengan demikian pihak yang menahan atau penerima gadai

(murtahin) memperoleh jaminan untuk dapatmengambil kembali seluruh atau sebagian

piutangnya.”

3
A. KONSEP GALA

Dalam Fiqhi Islam lembaga gala dikenal dengan “rahn”, yaitu perjanjian menahan sesuatu

barang. Barang atau bukti harta tetap milik peminjam yang ditahan merupakan jaminan atau

sebagai tanggungan hutang sehingga barang jaminan menjadi hak yang diperoleh kreditur yang

dijadikan sebagai jaminan pelunasan hutang.

Rahn adalah menahan salah satu harta milik sseorang (peminjam) sebagai jaminan atas

pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan

demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh

atau sebagian piutangnya.

Sayyid Tsabiq dalam kitabnya fiqh as sunnah menjelaskan bahwa rahn adalah semacam

jaminan utang atau gala. Dalam praktek rahn terdapat beberapa unsur yang satu sama lain saling

mendukung (mutually inclusive), yaitu nasabah (rahin), harta sebagai jaminan hutang (marhun)

kepala pihak lembaga gadai atau bank sebagai murtahin (Kamil dan Fauzan, 2006, 550).

Meskipun isltilah lembaga gala disinonimkan dengan istilah rahn dalam fikih islam, namun

keduanya, disamping memiliki persamaan jika dilihat dari aspek tujuan dan fungsi, juga memiliki

perbedaan-perbedaan tertentu.

Beberapa aspek persamaan antara lembaga gala dengan rahn dapat dilihat dari beberapa

aspek selain tujuan dan fungsi yaitu:

1. Hak gala berlaku atas pinjaman uang

2. Sama-sama mempersyaratkan baang agunan sebagai pinjaman uang

3. Tidak diperkenankan mengambil manfaat atas barang yang digala

4. Biaya barang gala ditanggung oleh pemberi gala

5. Apabila pada tanggal jatuh tempo barang yang digala tidak ditembus atau diperpanjang,

maka barang gala boleh dijual atau dilelang (Muhammad dan Hadi, 2003, 42)

4
Sedangkan aspek yang membedakannya terletak pada aspek-aspek:

1. Filosofis antara keduanya. Rahn dilakukan atas dasar motif tolong menolong dan

membantu kesulitan seseorang dengan motif mencari keuntungan dan keridahan Allah

2. Cakupan harta yang bisa digala. Dalam rahn harta yang dapat digala bisa berupa harta

yang bergerak maupun tidak bergerak

3. Sifatnya yang fleksibel. Praktek gala dalam sistem rahn dapat dilakukan di luar atau tanpa

lembaga gala serta tanpa disertai pembayaran bunga.

Berbeda dari itu, pegadaian dalam hukum perdata, disamping didasarkan pada prinsip tolong

menolong, namun berakhir pada penetapan suatu keuntungan (profit) melalui mekanisme barang

bergerak dan terjadi dalam sebuah lembaga yang bernama perum pegadaian.

Dengan mengetahui beberapa aspek yang membedakan dan menyamakan antara rahn dan

pegadaian diatas, maka jelas bahwa rahn sebagai lembaga keuangan non-bank dan non-material,

untuk kepentingan komersial dan sosial. Dalam pelaksanaan akadnya, rahn menerapkan akad

utang piutang dengan mempersyaratkan adanya barang (marun) sebagai jaminan yang diserahkan

oleh pihak yang berhutang (rahin) kepada murtahin (lembaga gadai).

Apabila dalam akad tersebut masyarakat penambahan sejumlah uang atau penentuan

presentase tertentu dari pokok utang, maka hal tersebut dipandang sebagai bentuk praktek

pembungaan uang disamakan dengan riba yang dilarang dalam syari’ah Islam (Basyir, A. Azhar,

1983, 55) dan agama-agama besar lainnya.

Praktek pembungaan yang demikianlah pada umumnya yang terjadi pada lembaga pegadaian

konvensional selama ini. Bahkan semakin mengarah pada eksploitasi masyarakat yang sangat

memerlukan jasa keuangan, yang tidak berbeda secara diametral dengan praktek-praktek

pelepasan uang yang dilakukan oleh para rentenie, ijon, atau money broker lainnya.

5
Dalam praktek pegadaian ini ditetapkan adanya bunga setiap 15 hari sekali yang harus

dibayarkan oleh masyarakat tepat pada waktunya. Hal ini berarti bahwa setiap keterlambatan satu

hari, maka pihak penggadai harus membayar bunga yang jelas-jelas mengeksploitasi penggadai.

Praktek-praktek yang memberatkan salah satu pihak inilah yang dipandang sebagai sebuah

bentuk eksploitasi yang dilarang dalam hukum Islam. Eksploitasi dianggap sebagai cara singkat

untuk menumpuk kekayaan dengan pijak diatas penderitaan orang lain (the missery of others).

Meresponsi kenyataan-kenyataan yang berkembang dalam lingkup muamalah yang memberatkan

satu pihak ini, maka nilai-nilai Islam tentang persaudaraan dan misi Islam sebagai agama

rahmatan lil `alamin perlu diterjemahkan seara empiris dan lebih kongkrit dalam kehidupan

ekonomi umat. Terutama yang menyangkut dasar hukum utang piutang atau gadai.

B. DASAR HUKUM PRAKTEK GALA

Islam dengan ajarannya yang komit dan luas membenarkan adanya praktek utang piutang

yang menjadi inti praktek lembaga pegadaian. Praktek ini secara normatif dapat digali dalam

surat Al Baqarah ayat:282 yang mengajarkan perjanjian hutang piutang yang perlu diperkuat

dengan catatan dan melibatkan saksi-saksi. Dalam ayat 282 surat Al Baqarah ditegaskan:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu

yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara

kamu menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan

hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan

hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun

daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orangnya lemah akalnya atau lemah

(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya

mengimlakkannya dengan jujur dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-

orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan

dua orang pedrempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka

yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)

6
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun

besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih

menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah

mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di

antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan

persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit

menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu

kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah mengajarmu; dan Allah Maha

mengetahui segala sesuatu.

Sedangkan dalam surat Al Baqarah ayat 283 secara tegas diperbolehkan meminta jaminan

barang atau hutang.

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah, jual-beli, hutang piutang atau sewa

menyewa tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka

hendaklah ada barang tanggungan (borg) yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi

jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu

menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya;

dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang

menyembunyikannya, maka seseungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah

Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ayat-ayat tersebut oleh komisi Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dijadikan sebagai

dasar pertimbangan untuk menetapkan fatwa yang membolehkan praktek rahn (gadai). Dalam

dasar pertimbangan Dewan Fatwa dikemukakan beberapa butir, yaitu

a. Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah

pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan uatang

b. Lembaga keuangan syari’ah perlu merespons kebutuhan masyarakat dalam berbagai

produknya

7
c. Agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.

Rahn merupakan salah satu cara untuk menahan barang sebagai jaminan atas utang.

Selain ayat-ayat di atas, beberapa praktek utang piutang yang dilakukan oleh Nabi juga

dijadikan sebagai dasar hukum praktek gadai (rahn). Di antara hadits Nabi yang dimaksud adalah

hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang mengabarkan bahwa:

“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang

Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya”.

Dalam sejumlah riwayat lain juga ditemukan landasan hukum yang menjustifikasi praktek

gadai. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda:

“Tidak pernah terlepas dari kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia

memperoleh manfaat dan menanggung risikonya”.

Nabi juga mengatakan bahwa:

“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki (dikendarai) dan binatang ternak

yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang

menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan

pemeliharaan”.

Selain dua landasan tersebut, praktek gadai juga didasarkan pada konsensus atau ijma’ ulama

yang menetapkan hukumnya mubah (boleh) melakukan perjanjian gadai. Ijtihad para ulama ini

terutama sekali menyangkut segi-segi teknis, seperti ketentuan tentang siapa yang harus

menanggung biaya pemeliharaan selama marhun berada di tangan murtahin dan tata cara

penentuan biaya dan sebagainya.

C. GALA BARANG DI PERBOLEHKAN

1. Anas ibn malik menerangkan:

8
ُ‫ ِع ْن َد يَ ُه ْو ِدى بِا ْل َم ِد ْينَ ِة؛ َوَأ َخ َذ ِم ْنه‬،ُ‫سلَّ َم ِد ْرعًالَه‬ ٍ َ‫عَنْ َأن‬
َ ‫ َرهَنَ الَّنِ َّي‬:‫ قَا َل‬،‫س‬
َ ‫ص َّل هللاُ َعلَ ْي ِه َوآلِ ِه َو‬

‫ وابن ماجه‬،‫ رواه أحمدوالبخرى والنسأىى‬.‫ش ِع ْي ًرا َأِل ْهلِ ِه‬


َ .

“Rasulullah saw, menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi madinah, sebagai

jaminan mengambil syair untuk keluarganya”. (H.R. Ahmad, Al-Bukhary, An-Nasa-y dan

Ibnu Majah; Al-Muntaqa II:360)

2. Aisya r.a menerangkan:

ٍّ ‫شت ََرى طَ َعا ًما ِمنْ يَ ُه ْو ِد‬


،،‫ي‬ َ ‫ َأنَّ الَّنِ َّي ص َّل هللاُ َعلَ ْي ِه َوآلِ ِه َو‬،‫ض َى هللاُ َع ْن َها‬
ْ ‫سلَّ َم ا‬ ِ ‫شةَ َر‬
َ ‫َو عَنْ عَاِئ‬

‫الى أجل َو َر َهنَهُ ِد ْرعًا ِمنْ َح ِد ْي ٍد‬.

“Bahwasanya rasullah mengambil makanan dari seorang yahudi yang harganya akan

dibayarkan dalam satu jangkawaktu tertentu. Sebagai jaminan nabi menggadaikan baju besi

beliau”. (H.R. Al-Bukhary, Muslim; Al-Muntaqa II:360)

3. Aisya r.a menerangkan:

‫ أخر جا هما‬.‫ش ِع ْي ٍر‬


َ ْ‫صاعًا ِمن‬ ٍّ ‫ تُ ُو فً َى َو ِد ْر ُعهُ َم ْر ه ُْونَةٌ ِع ْن َد يَ ُه ْو ِد‬:‫و فى لفظ‬
َ َ‫ بِثَاَل ثِيْن‬،‫ي‬

“Bahwasanya saat wafat saat wafatnya nabi masih menggadaikan baju besinya kepada

seseorang yahudi sebagai jaminan pengambilan tiga puluh gatan syair” (H.R. Al-Bukhary,

Muslim; Al-Muntaqa II:360)

I. Penjelasan ke tiga Hadis diatas:

a. Hadist pertama menyatakan bahwa menggadaikanharta, adalah dibenarkan. Dan mengatakan

bahwa kita boleh mengadakan muamalah (perjanjian) dengan orang kafir, boleh

menggadaikan alat perang (baju besi) kepada orang simmi (orang kafir yang mendapat

perlindungan), dan boleh membeli sesusuatu dengan menggunakan pembayaran.

b. Hadist kedua menyatakan bahwasanya nabi pernah membeli sesuatu pada orang yahudi, dan

menggadaikan baju besinya sebagai agunan (jaminan)

9
c. Hadist ketiga menyatakan bahwa nabi pernah menggadaikan barang miliknya kepada

seseorang yahudi untuk mendapatkan tigah puluh gating syair. Fakta ini, menunjukkan bahwa

kita boleh menggadaikan barang milikpada saat di kampung, dan boleh bermuamalah dengan

orang zimmi.

II. Jumhur Ulama Menetapkan bahwa kita boleh menggadaikan barang milik kita, tidak saja dalam

safar , boleh dilakukan dalam kampung.

Mujahid dan Adh-Dhahhak berpendapat, bahwa menggadaikan brang hanya dibolehkan pada saat

kita berada dalam safar, disaat tak ada saksi ataupun orang yang menulis surat gadai. Demikianlah

pendapat daud dan Ahludh Dhahir.

III.Seluruh ulamah menetapkan bahwa menggadaikan barang dibolehkan, sebagaimana perbuatan

hokum iniboleh dilakukan dikampung. Mengaitkan masalah gadai ini dengan perjalan safar sesuai

bunyi ayat, karena perbuatan itu lazim dilakukan dilakukan seseorang pada saat bersafar, dan

tidak dapat dijadikan dalil dalam dalam melarang perbuatan itu dilakukan dikampung halaman.

Hadist ini juga menegaskan bahwa kita boleh bermuamalah dengan orang kafir terhadapbenda-

benda yang tidaak di haramkan. Kita juga boleh menggadaikan perlengkapan perang kepada

ahluzzimmah, tetapi tidak boleh dengan musuh (ahlu harb)

Hikmah nabi bermuamalahdengan orang yahudi adalah untuk menunjukkan bahwa dalam bidang

bisnis, kita dapat berhubungan dengn siapa saja.

10
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Gala berasal dari Bahasa aceh yang artinya gadai. Transaksi hukum gala/gadai dalam fiqih islam

disebut Ar-Rahn. Ar-Rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai

tanggungan utang.

Gala barang itu diperbolehkan dalam Islam, sebagaimana

Anas ibn malik menerangkan:

ُ‫ ِع ْن َد يَ ُه ْو ِدى بِا ْل َم ِد ْينَ ِة؛ َوَأ َخ َذ ِم ْنه‬،ُ‫سلَّ َم ِد ْرعًالَه‬ ٍ َ‫عَنْ َأن‬


َ ‫ َرهَنَ الَّنِ َّي‬:‫ قَا َل‬،‫س‬
َ ‫ص َّل هللاُ َعلَ ْي ِه َوآلِ ِه َو‬

‫ وابن ماجه‬،‫ رواه أحمدوالبخرى والنسأىى‬.‫ش ِع ْي ًرا َأِل ْهلِ ِه‬


َ .

“Rasulullah saw, menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi madinah, sebagai

jaminan mengambil syair untuk keluarganya”. (H.R. Ahmad, Al-Bukhary, An-Nasa-y dan

Ibnu Majah; Al-Muntaqa II:360)

Praktek ini secara normatif dapat digali dalam surat Al Baqarah ayat:282 yang mengajarkan

perjanjian hutang piutang yang perlu diperkuat dengan catatan dan melibatkan saksi-saksi.

B. SARAN

Sebagai Umat Islam, kita harus menjujung tinggi yang namanya Dasar Hukum Praktek Gala.

Agar dalam pelaksanaan gala ini bisa berjalan sesuai dengan norma-norma agama sehingga kita

terhindar dari perbuatan menimbun harta orang lain (Riba) yang sangat dibenci Allah SWT.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalaniy., Bulugh Al-Maram, Dar Al-Fikr,t.th.

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy., 2002 Mutiara Hadis, Jakarta:Bulan Bintang,t.th.

Drs. Muslich Shabir, MA., Terjemah Riyadhus Shalihin jilid 2, Semarang:PT.Karya

Tona Putra.

Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika.

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy., Koleksi Hadis-hadis Hukum Jilid 7,

Pustaka Rizki Putra.

Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi., Al-Lu’lu’ Wal Marjan Jilid 2, Terjemahan: H. Salim

Bahreisy.

Muhammad., Lembaga Ekonomi Syari’ah, Yogyakarta:Graha ilmu.

Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam., Syariah Hasdits Pilihan Bukhari-Muslim.

12

Anda mungkin juga menyukai