Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

OPERASI PEGADAIAN SYARIAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bank dan Lembaga Keuangan
Dosen Pengampu: Dwi Leksono BD,S.Ag,M.E.Sy

Disusun oleh:

Nama: REZA FERNANDO

JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


PRODI EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM YASBA KALIANDA
LAMPUNG SELATAN
2023/202

1
KATA PENGANTAR

Bismillah..

Puji dan syukur atas kehadirat Allah Swt, atas rahmatnya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.. Dalam makalah ini kami
membahas tentang Pegadaian Syariah. Ucapan terima kasih pun tidak lupa kami
ucapkan kepada pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah
ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu masukan berupa kritikan dan saran sangat kami harapkan demi
penyempurnaan makalah ini. Akhir kata,kiranya makalah ini dapat berguna dan
bisa menjadi pedoman bagi mahasiswa untuk dapat mempelajari serta memahami
tentang etika profesi. Sekian dan terima kasih.

i2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1

BAB II. PEMBAHASAN


A. Pengertian Pegadaian Syariah...............................................................2
B. Lahirnya Pegadaian di Indonesia..........................................................3
C. Dasar Hukum Pegadaian Syariah..........................................................4
D. Rukun dan Syarat Pegadaian Syariah...................................................5
E. Tujuan dan Manfaat dan Resiko Pegadaian..........................................7
F. Hal-Hal yang Berkaitan dengan Gadai.................................................9
G. Aplikasi dalam Perbankan.....................................................................11
H. Jasa dan Produk dalam Pegadaian Syariah...........................................12
I. Operasional dalam Pegadaian Syariah..................................................13

BAB III. PENUTUP


A. Kesimpulan...........................................................................................15
B. Saran.....................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA

ii2
A. Latar Belakang BAB I
PENDAHULUAN

Sampai saat ini masih ada kesan dalam masyarakat, kalau seseorang pergi
ke pegadaian untuk menjamin sejumlah uang dengan cara menggadaikan barang,
adalah aib dan seolah kehidupan orang tersebut sudah sangat menderita. Karena
itu banyak diantara masyarakat yang malu menggunakan fasilitas penggadaian.
Lain halnya jika kita pergi ke sebuah Bank, di sana akan terlihat lebih prestisius,
walaupun dalam prosesnya memerlukan waktu yang relatif lebih lama dengan
persyaratan yang cukup rumit.
Bersamaan dengan berdirinya dan berkembangnya bank, BMT, dan
asuransi yang berdasarkan prinsip syariah di Indonesia, maka hal yang
mengilhami dibentuknya pegadaian syariah atau rahn lebih dikenal sebagai
produk yang ditawarkan oleh Bank Syariah, dimana Bank menawarkan kepada
masyarakat dalam bentuk penjaminan barang guna mendapatkan pembiayaan.
Oleh karena itu, dibentuklah lembaga keuangan yang mandiri yang
berdasarkan prinsip syariah. Adapun dalam makalah ini akan dijelaskan secara
lengkap mengenai pegadaian syariah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pegadaian syariah?
2. Bagaimana lahirnya pegadaian di Indonesia?
3. Bagaimana dasar hukum pegadaian syariah?
4. Bagaimana rukun dan syarat pegadaian syariah?
5. Apa tujuan, manfaat dan resiko pegadaian?
6. Apa saja hal-hal yang berkaitan dengan gadai?
7. Bagaimana aplikasi dalam perbankan?
8. Apa saja jasa dan produk dalam pegadaian syariah?
9. Bagaimana operasional dalam pegadaian syariah?
10. Apa perbedaan pegadaian syariah dan pegadaian konvensional?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pegadaian Syariah


Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga
dinamai al-hasbu. Secara etimologis, arti rahn adalah tetap dan lama, sedangkan
al-hasbu berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat
dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut. Sedangkan menurut Sabiq,
rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan
syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil
hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu.
Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam Kitab al-
Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk
dipenuh dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari
orang yang berpiutang.1
Ibnu Sayyidah mengartikan dengan sesuatu yang disimpan seseorang
sebagai pengganti sesuatu yang diambilnya. Adapun al-Harali mengartikannya
dengan suatu kepercayaan dengan cara memberikan sesuatu yang sepadan dengan
jalan tertentu.
Sedangkan rahn menurut istilah sebagaimana dikemukakan para ulama
adalah sebagai berikut:
a. Hanafiyah: “Menjadikan sesuatu tertahan karena ada kewajiban yang harus
dipenuhinya, seperti utang.”
b. Malikiyah: “Sesuatu yang dikuasa sebagai kepercayaan karena adanya utang.”
c. Syafi’iyah dan Hanabilah: “Menjadikan barang sebagai jaminan
(kepercayaan) atas utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang
yang berutang pada waktunya tidak bisa membayar utangnya.”
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008
tentang Kompilasi Hukuk Ekonomi Syariah Pasal 20 mendefinisikan rahn sebagai
berikut: “Pengusaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai
jaminan.”
1
Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia (Konsep, Implementasi, dan
Institusionalisasi), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 88.

2
Dari definisi yang dikemukakan para ulama diatas tentang rahn, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dinamakan gadai adalah akad sebuah
kepercayaan dengan cara menjadikan sesuatu sebagai barang jaminan atas utang
yang harus dibayarnya. Dan apabila utang pada waktunya tidak terbayar, maka
barang yang dijadikan jaminan tersebut dapat dijual untuk membayar utangnya.
Dalam jurnal Ahmad Supriyadi mengatakan bahwa gadai syariah adalah
hubungan hukum antara satu orang atau lebih dengan seorang atau lebih dengan
kata seepakat untuk mengikatkan dirinya bahwa di satu pihak (rahin) bersedia
menyerahkan barang untuk ditahan oleh murtahin dan membayar biaya perawatan
dan sewa tempat penyimpanan serta asuransi sedangkan murtahin sepakat untuk
memberikan pinjaman uang tertentu sebesar nilai taksir.
Pengertian gadai yang ada dalam syariah agak berbeda dengan pengertian
gadai yang ada dalam hukum positif, sebab pengertian gadai dalam hukum positif
seperti yang tercantum dalam Burgerlijk Wetbook (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas
suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berhutang
atau oleh seseorang lain atas dirinya, dan yang memberikan kekuasaan kepada
orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan dari pada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelamatannya setelah barang itu digadaikan,
biaya-biaya mana harus didahulukan (Pasal 1150 KUH Perdata).
Jika memperhatikan pengertian gadai (rahn) di atas, maka tampak bahwa
fungsi dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam
uang adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan/ atau jaminan
keamanan uang yang dipinjamkan. Karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan
suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial, sehingga dalam buku
fiqh muamalah akad ini merupakan akad tabarru’ atau akad derma yang tidak
mewajibkan imbalan.
B. Lahirnya Pegadaian di Indonesia
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak
awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10
menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik

3
riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai
landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak
berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16
Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah
meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis
anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang,
akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai
langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi
modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan
nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-
kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai
satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS
ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya
dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta
dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan
Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar,
Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September
2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh
dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.

C. Dasar Hukum Pegadaian Syariah


1. Al-Quran

4
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan
yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah 2:283)
2. Hadis
a) Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Nabi Saw. pernah membeli makanan
dari orang Yahudi untuk masa yang akan datang, lalu beliau menggadaikan
beju besi beliau (sebagai jaminan).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
b) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah Saw. meninggal dan
baju zirahnya tergadaikan pada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha’
jewawut untuk keluarganya.” (HR. Al-Nasai)
c) Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“(Hewan) boleh dikendarai jika digadaikan dengan pembayaran tertentu,
susu hewan juga boleh diminum jika dengan pembayaran tertentu, dan
terhadap orang yang mengendarai dan meminum susunya wajib membayar.”
(HR. Al-Bukhari)
3. Ijma’
Para ulama telah sepakat bahwa telah disyariatkan gadai ini karena telah
dipraktikkannya sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang dan tidak
ada seorang pun yang menentangnya.

D. Rukun dan Syarat Pegadaian Syariah


1. Rukun Gadai
a. Shigat adalah ucapan berupa ijab dan qabul
b. Orang yang berakad, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan
orang yang menerima gadai (murtahin)
c. Harta atau barang yang dijadikan jaminan (marhun)
d. Hutang (marhun bih)
2. Syarat Gadai
a. Rahin dan murtahin

5
Mempunyai kecakapan dalam melakukan akad (ahliyah al-tasharruf),
yaitu balig, berakal, cerdas, dan tidak terhalang melakukan akad seperti
orang yang sedang dipenjara. Pendapat tersebut sepakat dikemukakan oleh
mayoritas ulama kecuali Hanafiyah yang menyatakan balig tidak menjadi
syarat. Oleh karena itu, anak yang sudah mumayyiz asalkan ada izin orang
tuanya, sah melakukan akad.
b. Marhun
1. Dapat dijual apabila pada waktunya utang tidak terbayar yang nilainya
seimbang dengan utang.
2. Bernilai harta dan boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu misalnya
khamr dan bangkai tidak sah dijadikan marhun.
3. Dapat diketahui dengan jelas pada waktu akad. oleh karena itu
misalnya tidak sah menggadaikan burung yang sedang terbang di
uadara atau ikan yang ada di kolam.
4. Dapat diserahterimakan pada waktu akad. Oleh karena itu utang yang
berada dalam tanggungan tidak sah dijadikan marhun.
5. Dapat dikuasai oleh murtahin.
6. Milik orang yang menggadaikan atau orang yang berutang. Atau
apabila milik orang lain harus ada izin darinya. Akan tetapi apabila ada
kaitannya dengan hak kepengurusan (wilayah syar’iyyah), seperti
orang tua yang menggadaikan harta milik anaknya atau orang yang
menerima wasiat yang menggadaikan harta milik orang yang member
wasiat, maka hal itu diperbolehkan tanpa harus ada izin dari keduanya
(anaknya atau pemberi wasiat).
7. Dapat dibagi atau dipisahkan. Oleh karena itu tidak sah hukumnya
menggadaikan harta yang terikat dengan hak orang lain yang tidak bisa
dibagi (musya), seperti menggadaikan sebagian rumah atau setengah
dari perangkat kendaraan, yang kepemilikannya berserikat. Pendapat
tersebut dikemukakan oleh Hanafiyah. Berbeda dengan Imam Syafi’I
yang memperbolehkan hal tersebut apabila diketahui keberadaannya.
8. Satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu tdak sahnya
hukumnya menggadaikan buah yang ada di pohon, tanpa

6
menggadaikan pohonnya, atau tanaman tanpa tanahnya. Karena
semuanya itu tidak mungkin memisahkan buah atau tanaman tanpa
pohon dan tanahnya.
c. Marhun bih
1. Merupakan hak yang harus dikembalikan kepada rahin.
2. Memungkinkan dapat dibayarkan dengan marhun tersebut.
3. Harus jelas dan tertentu. Oleh karena itu apabila seseorang
memberikan marhun atas salah satu dari dua utangnya, tanpa
menjelaskan marhun yang diserahkan itu untuk utang yang mana,
maka hukumnya tidak sah. Karena hal tersebut termasuk ke dalam hak
yang samar.
4. Masih tetap berjalan. Oleh karena itu tidak sah hukunya menyerahkan
marhun, namun berutangnya di kemudian hari. Karena gadai itu
merupakan kepercayaan atas hak, yang tidak bisa terdahului oleh yang
lain. Pendapat ini dikemukakan Hanabilah.
d. Shighat
1) Diungkapkan dengan kata-kata yang menunjukkan akad gadai yang
lazim diketahui masyarakat, baik dengan ungkapan kata-kata atau
petunjuk jelas. Misalnya telah dikemukakan di atas dalam pembahasan
rukun gadai.
2) Dilakukan dalam satu majlis. Maksudnya kedua belah pihak yang
melakukan akad gadai hadir dan membicarakan topik yang sama atau
antara ijab dan qabul tidak terpisah oleh sesuatu yang menunjukkan
berpalingnya akad menurut kebiasaan.
3) Terdapat kesesuaian antara ijab dan qabul. Maksudnya ungkapan qabul
dari murtahin sesuai atau ada kaitannya dengan yang dimaksud oleh
ungkapan ijabnya rahin.
4) Tidak dikaitkan dengan syarat tertentu atau masa yang akan datang.
Karena akad gadai dalm hal ini sama dengan akad jual beli. Apabila
hal tersbut dilakukan, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah.
Misalnya rahin mensyaratkan jika utangnya belum terbayar pada
waktu yang telah ditentukan, maka dia waktunya diperpanjang lagi.

7
Atau murtahin mensyaratkan agar barang gadaian bisa dimanfaatkan
olehnya. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Hanafiyah.

E. Tujuan dan Manfaat dan Resiko Pegadaian


1. Tujuan pegadaian
a. Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan
program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada
umumnya melalui penyaluran uang pembiayaan/ pinjaman atas dasar
hukum gadai.
b. Pencegahan praktik ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar
lainnya.
c. Pemanfaatan gadai bebas bunga pada gadai syariah memiliki efek jarring
pengaman sosial karena masyarakat yang butuh dana mendesak tidak lagi
dijerat pinjaman/ pembiayaan berbasis bunga.
d. Membantu orang-orang yang membutuhkan pinjaman dengan syarat
mudah.
2. Manfaat pegadaian
a. Bagi nasabah
 Tersedianya dana dengan prosedur yang relative sederhana dan dalam
waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan/kredit
perbankan.
 Nasabah juga mendapat manfaat penaksiran nilai barang bergerak
seacara professional.
 Mendapatkan fasilitas penitipan barang bergerak yang aman dan dapat
dipercaya.
 Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, maka akan sangat
membantu saudara kita yang kesulitan dana terutama di daerah-daerah.
 Bank memberikan kemungkinan nasabah lalai atau bermain-main
dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
 Serta bank memberikan keamanan bagi semua penabung dan
pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika

8
nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang
(marhun).
b. Bagi perusahaan pegadaian
 Penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh
peminjam dana.
 Penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh
nasabah memperoleh jasa tertentu. Bank syariah yang mengeluarkan
produk gadai syariah dapat mendapat keuntungan dari pembebanan
biaya administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan emas.
 Pelaksanaan misi perum pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di
bidang pembiayaan berupa pemberian bantuan kepada masyarakat
yang memerlukan dana dengan prosedur yang relative sederhana.
 Berdasarkan PP No.10 tahun 1990, laba yang diperoleh digunakan
untuk: (1) dana pembangunan semesta (55%), (2) cadangan umum
(20%), (3) cadangan tujuan (5%), (4) dana sosial (20%).
3. Risiko pegadaian
 Risiko tak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi).
 Risiko penurunan nilai asset yang ditahan atau rusak.

F. Hal-Hal yang Berkaitan dengan Gadai
1. Status Barang Gadai
Status gadai terbentuk saat terjadinya akad atau kontrak utang piutang
bersama dengan penyerahan jaminan. Misalnya, ketika seorang penjual meminta
pembeli menyerahkan jaminan seharga tertentu untuk pembelian barang dengan
kredit. Status gadai sah setelah terjadinya utang. Para ulama’ pun menilai hal ini
sah karena utang tetap menuntut pengambilan jaminan. Oleh karena itu,
dibolehkan mengambil sesuatu sebagai jaminan.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa gadai berkaitan dengan keseluruhan
hak barang yang digadaikan dan bagian lainnya, yaitu jika seseorang
menggadaikan sejumlah barang tertentu, kemudian ia melunasi, keseluruhan
barang gadai masih tetap berada di tangan penerima gadai. Sebagian fuqaha

9
berpendapat bahwa barang yang masih tetap berada di tangan penerima gadai
hanya sebagiannya, yaitu sebesar hak yang belum dilunasi.
2. Pemanfaatan Barang Gadai
Mengenai penggunaan barang gadai oleh penggadaian terdapat perbedaan
pandangan di kalangan muslim. Menurut mazhab Hanafi dan Hambali, penerima
gadai boleh memanfaatkan barang yang menjadi jaminan untuk utang atas izin
pemiliknya karena barang itu dikehendaki untuk menggunakan hak miliknya.
Sekalipun demikian, pada dasarnya tidak boleh terlalu lama memanfaatkan
barang jaminan sebab hal itu akan menyebabkan barang jaminan hilang atau
rusak. Hanya, diwajibkan untuk mengambil manfaat ketika berlangsungnya rahn.
Siapakah yang mengambil manfaat gadai rahin dan murtahin?
a) Pemanfaatan rahin terhadap barang gadaian
Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pertama, jumhur ulama’ selain ulama,
syafi’i melarang rahn untuk memanfaatkan barang gadaian. Kedua, ulama’
syafi’i membolehkan selam tidak memadharatkan murtahin.
b) Pemanfaatan dari murtahin
Mayoritas ulama’, selain mazhab Hambali, berpendapat bahwa murtahin tidak
boleh mempergunakan barang rahn.

3. Penjualan Barang Gadai Setelah Jatuh Tempo


Sebelum islam datang, tradisi orang arab, jika orang yang menggadaikan
barang tidak mampu mengembalikan pinjaman, barang gadaiannya keluar dari
miliknya kemudian dikuasai oleh pemegang gadaian tersebut. Islam melarang dan
membatalkan cara tersebut. Sebagaimana dalam hadist dari Muawiyah bin
Abdullah bin Ja’far bahwa seseorang menggadaikan sebuah rumah di Madinah
untuk waktu tertentu. Kemudian, masanya telah lewat. Lalu pemegang gadaian
menyatakan bahwa ini menjadi rumahku.
Gadai merupakan jaminan utang dan tujuan gadai adalah mendapatkan
pelunasan utang melalui harga barang yang digadaikan jika rahin gagal melunasi
utangnya setelah jatuh tempo. Jika telah jatuh tempo, orang yang menggadaikan
barang yang berkewajiban melunasi utangnya. Jika tidak melunasinya, dan dia
tidak mengizinkan barangnya dijual untuk kepentingnnya, hakim berhak

10
memaksanya untuk melunasi dan menjual barang yang dijadikan jaminan. Jika
hakim telah menjualnya, kemudian terdapat kelebihan itu milik rahin, dan jika
masih belum bisa untuk melunasi utangnya, rahin berkewajiban melunasi sisanya.

4. Musnahnya Barang Gadai


Terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang barang gadai
yang rusak atau hilang di tangan penerima gadai. Sebagian fuqaha, yaitu Imam
syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur dan dan kebanyakan ahli hadist berpendapat bahwa
barang gadai adalah barang titipan (amanat), dan merupakan barang dari orang
yang menggadaikannya. Pemegang gadai sebagai pemegang amanat, tidak dapat
mengambil tanggung jawab atas kehilangan tanggungan. Jika terjadi pemusnhan
di tangan murtahin yang dipegangi dengan kata-kata murtahin diikuti dengan
sumpahnya bahwa dia tidak menganiaya barang tersebut.
5. Berakhirnya Akad Gadai
Akad rahn dipandang berakhir atau habis dengan beberapa keadaan
berikut :
a. Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
b. Rahn membayar utangnya.
c. Dijual dengan perintah hakim atas permintaan rahin
d. Pembebasan utang
e. Pembatalan oleh murtahin
f. Rusaknya barang rahn bukan oleh tindakan atau penggunaan murtahin.
g. Memanfaatkan barang rahn dengan penyewaan, hibah, atau sedekah, baik dari
pihak rahin maupun murtahin.2

G. Aplikasi dalam Perbankan


Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal berikut:
1. Sebagai produk pelengkap
Rahn dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan
(jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’ al-

2
M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah (Suatu Kajian Teoritis Praktis),
Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm. 287.

11
murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad
tersebut.
2. Sebagai produk tersendiri
Akad rahn telah dipakai sebagai alternative dari pegadaian konvensional.
Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn, nasabah tidak dikenakan bunga,
yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan,
serta penaksiran yang dipungut dan ditetapkan di awal perjanjian. Sedangkan
dalam perjanjian gadai biasa, nasabah dibebankan juga bunga pinjaman yang
dapat terakumulasi dan berlipat ganda.
Dalam mekanisme perjanjian gadai syariah, akad perjanjian yang dapat
dilakukan antara lain:
1. Akad al-qardhul hasan
Akad ini dilakukan pada kasus nasabah yang menggandakan barangnya untuk
keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah (rahin) akan memberikan biaya
upah atau fee kepada pegadaian (murtahin) yang telah menjaga atau merawat
barang gadaian (marhun).
2. Akad al-mudharabah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk
menambah modal usaha (pembiayaan investasi dan modal kerja). Dengan
demikian, rahin akan memberikan bagi hasil (berdasarkan keuntungan) kepada
murtahin sesuai dengan dengan kesepakatan, sampai modal yang dipinjam
terlunasi.
3. Akad ba’I al-muqayyadah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk
menambah modal usaha berupa pembelian barang modal. Dengan demikian
murtahin akan membelikan barang yang dimaksud oleh rahin.
4. Akad ijarah
Akad ini dilakukan untuk nasabah (rahin) memberikan fee kepada murtahin ketika
masa kontrak berakhir dan murtahin mengembalikan marhun kepada rahin.
5. Akad musyarakah amwal al-inan
Akad musyarakah amwal al-inan adalah suatu transaksi dalam bentuk perserikatan
antara dua pihak atau lebih yang disponsori oleh pegadaian syariah untuk berbagi

12
hasil (profit loss sharing), berbagi kontribusi, berbagi kepemilikan, dan berbagi
risiko dalam sebuah usaha.

H. Jasa dan Produk dalam Pegadaian Syariah


Layanan jasa serta produk yang ditawarkan oleh pegadaian syariah adalah
sebagai berikut:
1. Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai
Syaratnya harus terdapat jaminan berupa barang bergerak, seperti emas,
elektronik, dan lain-lain. Besarnya pemberian pinjaman ditentukan oleh
pegadaian, bergantung pada nilai dan jumlah barang yang digadaikan.
2. Penaksiran nilai barang
Jasa ini diberikan bagi mereka yang menginginkan informasi tentang taksiran
barang yang berupa emas, perak, dan berlian. Biaya yang dikenakan adalah
ongkos penaksiran barang.
3. Penitipan barang (ijarah)
Barang yang dapat dititipkan, antara lain sertifikat motor,dan tanah. Pegadaian
akan mengenakan biaya penitipan bagi nasabahnya.
4. Gold counter
Merupakan fasilitas penjualan emas yang memiliki sertifikat jaminan sebagai
bukti kualitas dan keasliannya.

I. Operasional dalam Pegadaian Syariah


1. Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan
pembiayaan. Kemudian, pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan
dasar dalam pemberian besaran pembiayaan yang dapat diberikan oleh
pegadaian syariah kepada nasabah.
2. Pegadaian syaraiah dan nasabah menyetujui akad gadai. Akad ini mengenai
berbagai hal, seperti kesepakatan biaya administrasi, tarif jasa simpan,
pelunasan, dan sebagainya.
3. Pegadaian syariah menerima biaya administrasi dibayar di awal, sedangkan
untuk jasa simpan pada saat pelunasan utang.

13
4. Nasabah melunasi barang yang digadaikan menurut akad: pelunasan penuh,
ulang gadai, angsuran, atau tebus sebagian.

J. Perbedaan Pegadaian Syariah dan Pegadaian Konvensional


No. Pegadaian Syariah Pegadaian Konvensional
1. Biaya administrasi berdasarkan Biaya administrasi berupa
barang. persentase yang didasarkan pada
golongan barang.
2. 1 hari dihitung 5 hari. 1 hari dihitung 15 hari.
3. Jasa simpanan berdasarkan Sewa modal berdasarkan uang
simpanan. pinjaman.
4. Apabila pinjaman tidak Apabila pinjaman tidak dilunasi,
dilunasi, barang jaminan akan barang jaminan dilelang kepada
dijual kepada masyarakat. masyarakat.
5. Uang pinjaman 90% dari Uang pinjaman untuk golongan
taksiran. A 92%, sedangkan untuk
golongan BCD 88%-86%.
6. Penggolongan nasabah D-K- Penggolongan nasabah P-N-I-D-
M-I-L. L.
7. Jasa simpanan dihitung dengan Sewa modal dihitung dengan
konstanta x taksiran. persentase x uang pinjaman.
8. Maksimal jangka waktu 3 Maksimal jangka waktu 4 bulan.
bulan.
9. Kelebihan uang hasil dari Kelebihan uang hasil lelang
penjualan barang tidak diambil tidak diambil oleh nasabah,
oleh nasabah, tetapi diserahkan tetapi menjadi milik pegadaian.
kepada lembaga ZIS.

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Gadai adalah akad sebuah kepercayaan dengan cara menjadikan sesuatu


sebagai barang jaminan atas utang yang harus dibayarnya. Dan apabila utang pada
waktunya tidak terbayar, maka barang yang dijadikan jaminan tersebut dapat
dijual untuk membayar utangnya.
Tonggak awal kebangkitan Pegadaian ditandai dengan Terbitnya PP/10
tanggal 1 April 1990. Sedangkan dasar hukum dari pegadian terdapat pada Quran
Surat al-Baqarah ayat 283, hadis Bukhari Muslim, hadis al-Nasai, hadis al-
Bukhari, dan lain-lain serta terdapat dalam ijma’ para ulama.
Rukun gadai terdiri dari : shighat, orang yang menggadaikan (rahin),
orang yang menerima gadai (murtahin), harta yang dijaminkan (marhun), hutang
(marhun bih). Sedangkan syarat gadai terdiri dari : rahin dan marhun
(mempunyai kecakapan), marhun (dapat dijual apabila pada waktunya utang tidak
terbayar yang nilainya seimbang dengan utang), marhun bih (merupakan hak yang
harus dikembalikan kepada rahin), shighat (diungkapkan dengan kata-kata).
Tujuan pegadaian adalah sebagai pencegahan ijon, pegadaian gelap, dan
pinjaman tidak wajar lainnya. Manfaat dari pegadaian adalah bagi nasabah
tersedianya dana dengan prosedur yang relatif sederhana dan dalam waktu yang
lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan/kredit perbankan. Sedangkan bagi
perusahaan pegadaian adalah mendapatkan penghasilan yang bersumber dari sewa
yang dibayarkan oleh peminjam dana. Resikonya adalah tak terbayarkan utang
nasabah dan penurunan nilai asset yang ditahan atau rusak.
Status gadai terbentuk saat terjadinya akad atau kontrak utang piutang
bersama dengan penyerahan jaminan. Mengenai penggunaan barang gadai oleh
penggadaian terdapat perbedaan pandangan di kalangan muslim. Jika telah jatuh
tempo, orang yang menggadaikan barang yang berkewajiban melunasi utangnya.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang barang gadai yang rusak
atau hilang di tangan penerima gadai. Akad rahn dipandang berakhir atau habis
dengan beberapa keadaan seperti rahn membayar utangnya.

15
Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal yaitu Sebagai
produk pelengkap dan Sebagai produk tersendiri. Dalam mekanisme perjanjian
gadai syariah, akad perjanjian yang dapat dilakukan antara lain: akad al-qardhul
hasan,akad al-mudharabah, akad ba’I al-muqayyadah, akad ijarah, akad
musyarakah amwal al-inan.
Layanan jasa serta produk yang ditawarkan oleh pegadaian syariah adalah:
Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai, Pemberian
pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai, Penitipan barang (ijarah),
Gold counter.
Perbedaan pegadaian syariah dan pegadaian konvensional adalah pada
biaya adaministrasi, pengelolaan biaya hasil penjualan barang yang tidak diambil
oleh nasabah dan lain-lain.
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan dan sampaikan, semoga
bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada penulisan atau kata-kata yang kurang
berkenan kami mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun senantiasa kami
harapkan untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga bermanfaat dan
terima kasih.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia (Konsep, Implementasi, dan


Institusionalisasi), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.

Ahmad Supriyadi, Struktur Hukum Akad Rahn di Pegadaian Syariah Kudus,


Jurnal Penelitian Islam, Vol. 5, No. 2, 2012.

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Rajawali Pers, Jakarta, 2013.

Buchari Alma, Manajemen Bisnis Syariah, Alfabeta, Bandung, 2009.

Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2016.

Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah, Pustaka setia, Bandung, 2013.

M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah (Suatu Kajian Teoritis


Praktis), Pustaka Setia, Bandung, 2012.

Moh. Rifai, Konsep Perbankan Syariah, Wicaksana, Semarang, 2002.

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah (Dari Teori ke Praktik), Gema Insani,
Jakarta, 2013.

Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

17

Anda mungkin juga menyukai