Anda di halaman 1dari 18

Syarat – Syarat dan Rukun Yang Berlaku Dalam Pegadaian

Syariah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Lembaga Keuangan Non Bank :
Pegadaian Syariah

Dosen Pengampu : Hendro Lisa, S. E., M. M.

Disusun Oleh :

INDAH (12092009073)
NURUL QOLBI IKHWANA (12092009078)
WILDA SEPTIANA LESTARI (12092009085)

Semester/Kelas : V / A

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AULIAURRASYIDIN
TEMBILAHAN
2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Lembaga Keuangan Non Bank :
Pegadaian Syariah dengan judul : “Syarat – Syarat dan Rukun Yang Berlaku Dalam
Pegadaian Syariah”.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
kami terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat membangun
sehingga ke depannya kami bisa membuat makalah yang lebih baik dan benar. Dan
tentunya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Tembilahan, 23 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ...................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................ 2
D. Manfaat Penulisan ...................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................... 3

A. Pengertian Gadai Syariah ........................................................... 3


B. Rukun Gadai Syariah ................................................................. 6
C. Syarat – Syarat Gadai Syariah .................................................... 6
1. Persyaratan ‘aqid .................................................................. 7
2. Syarat marhun ...................................................................... 8
3. Syarat marhun bih ................................................................ 9
4. Syarat sighat ......................................................................... 9

BAB III PENUTUP .............................................................................. 13

A. Kesimpulan ................................................................................ 13
B. Saran ........................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemaslahatan atau yang di kenal dengan istilah maqashid syariah
yang merupakan salah satu tujuan dari syariat Islam. Atas dasar itu pula
Islam menganjurkan kepada umatnya untuk saling membantu dan tolong
menolong. Saling membantu dapat diwujudkan dalam bentuk yang berbeda-
beda, baik berupa pemberian tanpa ada pengembalian, seperti zakat, infaq
dan shadaqah, maupun berupa pinjaman yang harus dikembalikan kepada
pemberi pinjaman (Firdaus, 2005). Dalam realitas sosial ekonomi
masyarakat kerap dikemukakan kondisi masyarakat yang memiliki harta
dalam bentuk selain uang tunai dan pada saat yang bersamaan yang
bersangkutan mengalami kesulitan likuiditas hingga membutuhkan dana
dalam bentuk tunai. Pilihan transaksi yang sering digunakan oleh
masyarakat dalam menghadapi masalah ini adalah menggadaikan barang-
barang yang berharga.
Tugas pokok dari lembaga pegadaian syariah adalah memberikan
pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan. Pemberian pinjaman ini
tidak terbatas untuk kalangan atau kelompok masyarakat tertentu, namun di
Indonesia pemanfaat lembaga keuangan ini masih didominasi oleh kalangan
menengah ke atas, dan masih sedikit menjangkau kalangan menengah ke
bawah. Salah satu bentuk muamalah yang diperbolehkan oleh Rasulullah
SAW adalah gadai.
Gadai termasuk salah satu tipe perjanjian hutang-piutang. Untuk
menjamin adanya unsur kepercayaan dari pihak kreditur terhadap pihak
debitur, maka diperlukannya ada barang yang digadaikan sebagai jaminan
terhadap hutang atau pinjaman tersebut. Barang tersebut tetap merupakan
milik dari orang yang menggadaikan, namun dikuasai oleh penerima barang
(kreditur).

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian gadai syariah?
2. Apa saja syarat-syarat yang berlaku dalam pegadaian syariah?
3. Apa saja rukun-rukun yang berlaku dalam pegadaian syariah?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian gadai syariah.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat yang berlaku dalam pegadaian syariah.
3. Untuk mengetahui rukun-rukun yang berlaku dalam pegadaian syariah.

D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Mengembangkan keilmuan mata kuliah Pegadaian Syariah,
khususnya mengenai “Syarat-Syarat Dan Rukun-Rukun Yang Berlaku
Dalam Pegadaian Syariah”.

2. Manfaat Praktis
Menambah wawasan dan pemahaman mahasiswa dalam mengkaji
“Syarat-Syarat Dan Rukun-Rukun Yang Berlaku Dalam Pegadaian
Syariah”, serta melatih mahasiswa untuk membuat makalah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Gadai Syariah


Pengertian gadai dalam undang-undang hukum perdata pasal 1150
disebutkan bahwa:1
“gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang berpiutang
atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang
berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan
kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil perlunasan
dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang
lainnya, dengan mengecualikan biaya untuk melelang barang tersebut dan
biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu
digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan”.
Istilah pegadaian dalam fiqih islam disebut dengan ar-rahn. Secara
etimologis ar-rahn berarti tsubat (tetap) dan dawam (kekal, terus-menerus).
Adapun secara terminologis, ar-rahn adalah menjadikan harta benda
sebagai jaminan utang agar utangnya itu dilunasi (dikembalikan) atau
dibayarkan harganya jika tidak dapat mengembalikannya. 2 Dalam Islam
rahn merupakan sarana saling tolong menolong bagi umat islam tanpa
adanya imbalan.3
Dalam pengertian lain, ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk
menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.4 Selain pengertian gadai
tersebut, definisi rahn (gadai) menurut ulama mazhab, diantaranya sebagai
berikut:5

1
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah ,(Cet.I; Jakarta: Kencana, 2009), h.387.
2
Abdullah Muhammad Bin Ath Thayyar Et Al., Ensiklopedia Fiqih Muamalah Dalam Pandangan
4 Mazhab, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif ,2008) h. 173-174.
3
Nasruddin Haroen, Fiqhi Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 251.
4
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 1.
5
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar-Al Fikr,1403H/1983 M, Jilid III ), h. 182.

3
1) Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, rahn adalah menjadikan suatu
barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya
bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
2) Menurut Hanafiah, rahn adalah menjadikan sesuatu (barang) sebagai
jaminan terhadap piutang yang mungkin dijadikan sebagai pembayar
hak (piutang) itu, baik seluruhnya atupun sebagian.
3) Menurut Malikiyah, rahn adalah suatu yang bernilai harta
(mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat
atas utang yang tetap (mengikat).
4) Menurut Ahmad Azhar Basyir, gadai (rahn)menurut istilah ialah
menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai
tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu
seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.
5) Menurut Muhammad Syafi’I Antonio, ar-rahn adalah menahan salah
satu hak harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun)
atas pinjaman yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai
ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan atau penerima gadai
(murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali
seluruh atau sebagian piutang.

Dari beberapa definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan tentang


gadai sebagai berikut:
a. Barang gadai harus sesuatu yang bernilai harta atau barang yang dapat
diperjualbelikan
b. Barang gadai berfungsi sebagai barang jaminan atas utang
c. Barang gadai akan dikembalikan bila utang sudah lunas dibayarkan
d. Barang gadai akan dijual, bila si rahin tidak sanggup membayar atas
utangnya kepada murtahin
e. Barang gadai bisa dalam bentuk benda bergerak dan benda tidak
bergerak
f. Prinsip dasar dari rahn yakni tolong menolong.

4
Adapun dasar hukum gadai syariah menurut Al-Qur’an dalam QS.
Al-Baqarah ayat 283, yang artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain,maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(utangnya) daan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan , barang
siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”6
Dasar dari hadits diantaranya, hadits yang bersumber dari Aisyah
r.a.yang artinya “Sesungguhnya Rasulullah SAW. Membeli makanan dari
orang-orang Yahudi dan beliau menggadaikan baju besinya kepadanya”
(HR.Bukhari-Muslim).
Ijma jumhur ulama menyepakati kebolehan hukum gadai. Hal ini
berdasarkan kisah Nabi Muhammad SAW. yang menggadaikan baju
besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang yahudi. Para ulama juga
mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad SAW. tersebut ketika
beliau beralih dari biasanya bertransaksi dari para sahabat yang kaya kepada
seorang yahudi, bahwa hal itu tidak lebih dari seberapa sikap Rasulullah,
yang tidak semua memberatkan para sahabat yang biasanya enggan
mengambil ganti ataupun harga yang diberikan oleh Rasulullah kepada
mereka.
Kesepakatan ini juga didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup
tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang
memliki segala barang yang dibutuhkan. Oleh karena itu. pinjam meminjam
sudah menjadi bagian dari kehidupan di dunia ini.

6
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta: CV.Jaya Sakti Surabaya, 2012,
h. 71.

5
B. Rukun Gadai Syariah
Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun gadai yang
harus dipenuhi. Secara bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi untuk
sahnya suatu pekerjaan. Menurut jumhur ulama rukun gadai ada empat,
yaitu sebagai berikut:
a. Orang yang berakad (ar-rahin dan al-murtahin)
b. Shigat (lafadz ijab dan qabul)
c. Utang (al-marhun bih)
d. Harta atau barang yang dijadikan jaminan (al-marhun)

Sedangkan menurut mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam


menjelaskan rukun ar-rahn ada empat yaitu:
a. Dua orang yang berakad (aqidain), yaitu yang menggadaikan atau yang
berutang (rahin) dan yang menerima barang gadai (murtahin),
b. harta atau barang yang dijadikan sebagai jaminan (marhun),
c. hutang (marhun bih),
d. ijab dan qabul (shighat).

Namun, menurut pandangan Hanafiyah, untuk menyempurnakan


dan meningkatkan akad rahn ini, maka diperlukan adannya penguasaan
barang oleh pemberi utang. Adapun kedua orang yang melakukan akad (ar-
rahin dan al-murtahin), harta yang dijadikan jaminan (al-marhun) dan
utang (al-marhun bih) menurut ulama hanafiyah hanya termasuk syarat-
syarat ar-rahin, bukan rukunnya.7

C. Syarat – Syarat Gadai Syariah


Syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus
dipindahkan dan dilakukan. Adapun syarat rahn (gadai), yaitu:

7
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2016), h. 193

6
1) Penerima dan pemberi gadai haruslah memiliki kecakapan hukum. Oleh
karena itu, tidak sah gadai yang dilakukan oleh para pihak yang tidak
memiliki kecakapan hukum, misalnya gila, anak-anak, dan lainnya.
2) Akad gadai sempurna bila harta gadai telah dikuasai oleh penerima
gadai.
3) Akad gadai harus dinyatakan oleh para pihak secara lisan, tulisan atau
isyarat.
4) Harta gadai harus bernilai dan dapat diserahterimahkan.
5) Harta gadai harus ada ketika akad dibuat.

Menurut Prof. Dr. Rahmat Syafe’I, dalam gadai diisyaratkan


beberapa syarat sebagai berikut:8
1. Persyaratan ‘aqid
Kedua orang yang akan melakukan akad harus memenuhi kriteria
al-ahliyah, yaitu orang yang sudah sah untuk melakukan jual beli, yakni
berakal dan mumayiz.
Menurut mazhab Syafi’iyah, ahliyah adalah seseorang yang telah
sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan
harus baligh. Dengan demikian, anak kecil yang sudah mumayyiz dan
berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
Menurut selain Hanafiyah, ahliyah dalam rahn seperti pengertian
ahliyah dalam jual-beli dan derma. Rahn tidak boleh dilakukan oleh
orang yang mabuk, gila, atau anak kecil yang belum baligh. Begitu juga
seseorang wali tidak boleh menggadaikan barang orang yang
dikuasainya, kecuali jika dalam keadaan mudharat dan meyakini bahwa
pemegangnya yang dapat dipercaya.

8
Rahmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h.162-164.

7
2. Syarat marhun
Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat marhun sama dengan
syarat-syarat jual beli. Artinya, semua barang yang sah diperjualbelikan
sah pula digadaikan. Secara rinci mazhab Hanafiah mengemukakan
syarat-syarat marhun adalah sebagai berikut:
a. Barang yang digadaikan bisa dijual, yakni barang tersebut harus ada
pada waktu akad dan mungkin untuk diserahkan. Apabila barangnya
tidak ada maka akad gadai tidak sah.
b. Barang yang digadaikan harus berupa maal (harta). Dengan
demikian tidak sah hukumnya menggadaikan barang yang tidak
bernilai harta.
c. Barang yang digadaikan harus haal mutaqawwin, yaitu barang yang
boleh diambil manfaatnya menurut syara’, sehingga memungkinkan
dapat digunakan untuk melunasi utangnya.
d. Barang yang digadaikan harus diketahui (jelas), seperti halnya
dalam jual beli.
e. Barang tersebut dimiliki oleh rahin. Tidak sah menggadaikan
barang milik orang lain tanpa izin pemiliknya.
f. Barang yang digadaiakan harus kosong, yakni terlepas dari hak
rahin. Tidak sah menggadaikan pohon kurma yang ada buahnya
tanpa menyertakan buahnya itu.
g. Barang yang digadaikan harus sekaligus bersama-sama dengan
pokoknya. Tidak sah menggadaikan buah-buahan tanpa disertai
dengan pohonnya, karena tidak mungkin menguasai buah-buahan
tanpa menguasai pohonnya.
h. Barang yang digadaikan harus terpisah dari hak milik orang lain,
yakni bukan milik bersama. Akan tetapi menurut mazhab Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah, barang bersama boleh digadaikan.

8
3. Syarat marhun bih
Marhun bih adalah suatu hak yang karenanya barang gadaian
diberikan sebagai jaminan kepada rahin. Menurut Hanafiah, marhun bih
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Marhun bih harus berupa hak yang wajib diserahkan kepada
pemiliknya, yaitu rahin karena tidak perlu memberikan jaminan
tanpa ada barang yang dijaminnya.
b. Pelunasan utang memungkinkan untuk diambil dari marhun bih.
Apabila tidak memungkinkan pembayaran utang dari marhun bih,
maka rahn hukumnya tidak sah.
c. Hak marhun bih harus jelas (ma’lum), tidak boleh majhul (samar-
samar/tidak jelas).

Sedangkan ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berbeda pendapat


dengan ulama Hanafiyah yang menguraikan syarat marhun bih yaitu
sebagai berikut:
a. Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan
b. Utang harus lazim pada waktu akad
c. Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin

4. Syarat shighat
Menurut mazhab Hanafiah, shighat gadai tidak dibolehkan
digantung dengan syarat dan tidak disandarkan kepada masa yang akan
datang. Hal ini karena akad gadai menyerupai akad jual beli, dilihat dari
aspek pelunasan utang. Apabila akad gadai digantungkan dengan syarat
atau disandarkan kepada masa yang akan datang, maka akad akan fasid
seperti halnya jual beli.
Adapun menurut selain ulama Hanafiyah, syarat dalam rahn ada
yang shahih dan ada yang rusak. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

9
1) Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dalam rahn ada tiga:
a) Syarat shahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat
membayar sehingga jaminan tidak disita.
b) Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti
mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminannya diberikan
makanan tertentu, syarat seperti itu batal, tetapi akadnya sah.
c) Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu yang
akan merugikan murtahin.
2) Malikiyah berpendapat bahwa syarat rahn terbagi dua, yaitu rahn
shahih dan rahn fasid. Rahn fasid adalah rahn yang didalamnya
mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau
dipalingkan.
3) Ungkapan ulama Hanabilah sependapat dengan ulama Malikiyah
yakni rahn terbagi dua rahn shahih dan rahn fasid.

Mengenai barang (marhun) apa saja yang boleh digadaikan,


dijelaskan dalam Kifayatul Akhyar 5 bahwa semua barang boleh dijual
belikan menurut syariat, boleh digadaikan sebagai tanggungan hutang.
Dalam keadaan normal hak dari rahin setelah melaksanakan
kewajibannya adalah menerima uang pinjaman dalam jumlah yang sesuai
dengan yang disepakati dalam batas nilai jaminannya, sedangkan kewajiban
rahin adalah menyerahkan barang jaminan yang nilainya cukup untuk
jumlah hutang yang dikehendaki. Sebaliknya hak dari murtahin adalah
menerima barang jaminan dengan nilai yang aman untuk uang yang akan
dipinjamkannya, sedangkan kewajibannya adalah menyerahkan uang
pinjaman sesuai dengan yang disepakati bersama.
Setelah jatuh tempo, rahin berhak menerima barang yang menjadi
tanggungan hutangnya dan berkewajiban membayar kembali hutangnya
dengan sejumlah uang yang diterima pada awal perjanjian hutang.
Sebaliknya murtahin berhak menerima pembayaran hutang sejumlah uang
yang diberikan pada awal perjanjian hutang, sedangkan kewajibannya

10
adalah menyerahkan barang yang menjadi tanggungan hutang rahin secara
utuh tanpa cacat.
Di samping hak dan kewajiban tersebut, kewajiban murtahin adalah
memelihara barang jaminan yang dipercayakan kepadanya sebagai barang
amanah, sedang haknya adalah menerima biaya pemeliharaan dari rahin.
Sebaliknya rahin berkewajiban membayar biaya pemeliharaan yang
dikeluarkan murtahin, sedangkan haknya adalah menerima barang yang
menjadi tanggungan hutang dalam keadaan utuh. Dasar hukum siapa yang
menanggung biaya pemeliharaan dapat dirujuk dari pendapat yang
didasarkan kepada Hadist Nabi riwayat As-Syafi'i, Al-Ataram, dan Al-
Darulquthni dari Muswiyah bin Abdullah bin Ja'far : Ia (pemilik barang
gadai) berhak menikmati hasilnya dan wajib memikul bebannya (beban
pemeliharaannya).
Penjelasan lain terdapat bahwa apabila barang jaminan itu diizinkan
untuk diambil manfaatnya selama digadaikan, maka pihak yang
memanfaatkan itu berkewajiban membiayainya. Hal ini sesuai dengan
Hadist Rasululullah SAW : Dari Abu Hurairah, berkata sabda Rasulullah
SAW : Punggung (binatang) apabila digadaikan, boleh dinaiki asal
dibiayai. Dan susu yang deras apabila digadaikan, boleh juga diminum asal
dibiayai. Dan orang yang menaiki dan meminum itulah yang wajib
membiayai. (HR. Al-Bukhari).
Dalam keadaan tidak normal dimana barang yang dijadikan jaminan
hilang, rusak, sakit atau mati yang berada diluar kekuasaan murtahin tidak
menghapuskan kewajiban rahin melunasi hutangnya. Namun dalam
praktek, pihak murtahin telah mengambil langkah-langkah pencegahan
dengan menutup asuransi kerugian sehingga dapat dilakukan penyelesaian
yang adil.
Mengenai pemilikan barang gadaian, berdasarkan dari Abu Hurairah
perjanjian gadai tidak merubah kepemilikan walaupun orang yang
berhutang dan menyerahkan barang jaminan itu tidak mampu melunasi
hutangnya. Berita dari Abu Hurairah, sabda Rasulullah SAW : Barang

11
jaminan tidak bisa tertutup dari pemiliknya yang telah menggadaikannya.
Dia tetap menjadi pemiliknya dan dia tetap berhutang.
Pada waktu jatuh tempo apabila rahin tidak mampu membayar
hutangnya dan tidak mengizinkan murtahin menjual barang gadaiannya,
maka hakim/pengadilan dapat memaksa pemilik barang membayar hutang
atau menjual barangnya. Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk
menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan kepada pemilik barang
tetapi apabila kurang, pemilik barang tetap harus menutup kekurangannya.
Dalam hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih
menanggung hutang, maka penerima gadai boleh menjual barang gadai
tersebut dengan harga umum. Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai
untuk menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan kepada ahli waris
tetapi apabila kurang, ahli waris tetap harus menutup kekurangannya atau
barang gadai dikembalikan kepada ahli waris setelah melunasi hutang
pemilik barang.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Pengertian gadai dalam undang-undang hukum perdata pasal 1150
disebutkan bahwa: “gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang
yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya
oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang
memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk
mengambil perlunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada
orang yang berpiutang lainnya, dengan mengecualikan biaya untuk
melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
didahulukan”.
 Menurut jumhur ulama rukun gadai ada empat, yaitu sebagai berikut:
a. Orang yang berakad (ar-rahin dan al-murtahin)
b. Shigat (lafadz ijab dan qabul)
c. Utang (al-marhun bih)
d. Harta atau barang yang dijadikan jaminan (al-marhun)
 Adapun syarat rahn (gadai), yaitu :
1) Penerima dan pemberi gadai haruslah memiliki kecakapan hukum.
Oleh karena itu, tidak sah gadai yang dilakukan oleh para pihak yang
tidak memiliki kecakapan hukum, misalnya gila, anak-anak, dan
lainnya.
2) Akad gadai sempurna bila harta gadai telah dikuasai oleh penerima
gadai.
3) Akad gadai harus dinyatakan oleh para pihak secara lisan, tulisan
atau isyarat.
4) Harta gadai harus bernilai dan dapat diserahterimahkan.
5) Harta gadai harus ada ketika akad dibuat.

13
B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahan, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan agar ke depannya
penulis dapat membuat makalah yang lebih baik dan benar.

14
DAFTAR PUSTAKA

Drs. D. Sirojuddin Ar (Ensiklopedi Hukum Islam) PT Ichtiar Baru vanHoevo,


Jakarta. 2000
Msi Suherdi Hendi H. Drs , Fiqh Muamallah , PT RajaGrafindo Persada : jakarta
2002
MA Karim Helmi. Dr, Fiqh muamallah, PT RajaGrafindo Persada 2002 :Jakarta
2002
I’ Doi Rahman A , Syariat Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada :Jakarta 1996

15

Anda mungkin juga menyukai