Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PEGADAIAN SYARIAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah:

Hukum Bisnis dan Arbitrase Syariah

Dosen Pengampu : Dede Panji Suhenda M.H.

Di Susun Oleh :

 DERI
 IAP SALAPUDIN

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis Syariah

Nahdhatul Ulama Garut

Tahun 2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat
Allah swt., atas segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga makalah
“Pegadaian Syariah” ini dapat diselesaikan dan disajikan kepada para
pembaca dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum Bisnis dan
Arbitrase Syariah yang. Shalawat serta salam kami haturkan kepada
junjungan kita Nabi Besar Nabi Muhammad SAW., para keluarga, sahabat,
serta pengikut beliau hingga akhir zaman.

Makalah ini diharapkan dapat mempermudah para pembaca pada


umumnya dan mahasiswa/i STIEBS NU Garut pada khususnya sebagai
sumber bacaan atau bahan belajar mengenai Pegadaian Syariah, baik itu
pengertiannya, dasar hukum, perbedaan antara gadai syariah dengan
konvensional, serta landasan konsep dan prospek kedepannya.

Kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua


pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa
terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu, dengan
senang hati kami menerima kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Garut,17 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................iii
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan ....................................................................................................... 2
PEMBAHASAN .................................................................................................. 3
A. Perkembangan Pegadaian Syariah .......................................................... 3
B. Pengertian Pegadaian Syariah ................................................................ 3
C. Landasan Hukum Pegadaian Syariah ..................................................... 4
D. Perbedaan dan Persamaan antara Rahn dan Gadai Menurut Hukum Islam
dan Perdata ................................................................................................... 6
E. Landasan Konsep Pegadaian Syariah ..................................................... 9
F. Prospek Gadai Syariah ......................................................................... 10
BAB III.............................................................................................................. 15
PENUTUP ......................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Taraf hidup yang berbeda disuatu negara akan semakin terasa pada
saat bangsa itu mulai membutuhkan aneka rupa barang bagi kehidupannya,
khususnya yang menyangkut pangan, sandang, papan, dan lain-lain.(Sanusi,
2009, hlm. 1) Semakin berkembang dunia bisnis, tentunya akan selalu
diikuti akan kebutuhan kredit, dan pemberian kredit selalu memerlukan
jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut.

Kata pegadaian tidak begitu asing di masyarakat negeri ini,


pegadaian merupakan lembaga keuangan bagi masyarakat yang mana
sebagai pilihan dalam pembiayaan disektor riil. Biasanya pegadaian ini
dipilih oleh masyarakat menengahkebawah yang membutuhkan pembiayaan
dalam jangka pendek dalam upaya memberikan solusi dana untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Akan tetapi banyak prinsip dalam perusahaan
pegadaian yang sekarang dipertanyakan bagi masyarakat muslim adalah
apakah transaksi itu dikatakan halal. Bahkan menurut sebagian ulama adalah
haram. Karenanya, pegadaian akhirnya membentuk pengelolaan barudengan
prinsip dan sistem pegadaian syariah.

Idealnya sebagai lembaga bisnis yang memiliki nilai syariah,


tentunya pegadaian syariah harus berbeda dengan pegadaian konvensional.
Pegadaian syariah harus akomodatif terhadap berbagai persoalan yang
berhubungan dengan ekonomi masyarakat, karena praktek gadai syariah ini
sangat strategis.

Dengan pemaparan diatas, makalah ini dibuat dengan


pembahasan mengenai perkembangan pegadaian syariah, tinjauan dalam
perspektif Islam, persamaan dan perbedaan antara gadai syariah dengan
konvensional, serta landasankonsep dan prospek kedepannya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan pegadaian syariah?

2. Bagaimana pengertian gadai syariah?

3. Bagaimana dasar hukum menurut Al-Qur’an dan Hadits, Ijma, dan

Kaidah Fiqih?

4. Apa perbedaan dan persamaan antara rahn dan gadai menurut


hukumIslam dan Perdata?
5. Bagaimana landasan konsep pegadaian syariah?

6. Bagaimana prospek gadai syariah?

C. Tujuan
7. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pegadaian syariah.

8. Untuk mengetahui bagaimana pengertian gadai syariah.

9. Untuk mengetahui bagaimana dasar hukum menurut Al-Qur’an dan

Hadits, Ijma, dan Kaidah Fiqih.

10. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan antara rahn


dan gadaimenurut hukum Islam dan Perdata.
11. Untuk mengetahui landasan konsep pegadaian syariah.
12. Untuk mengetahui prospek gadai syariah

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Perkembangan Pegadaian Syariah
Syariah merupakan sumber prinsip ekonomi dalam Islam, syariah
merupakan prinsip yang dijadikan acuan dalam prinsip ekonomi Islam dan
merupakan suatu keunikan dan perbedaan yang ada dalam ekonomi
konvensional.(Muhammad, 2003, hlm. 72)

Hadirnya lembaga keuangan berbasis syariah di Indonesia


merupakan fenomena yang bisa dikatakan baru dan menarik dalam bisnis
keuangan modern. Perkembangan lembaga keuangan berbasis syariah
seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, leasing syariah, pegadaian
syariah dan bentuk bisnis syariah lainnya mulai berkembang dengan pesat.
(Ismanto, 2009, hlm. 1) Bersamaan denganperkembangan produk-produk
berbasis syariah yang kian memarak di Indonesia, sektor pegadaian juga ikut
mengalami perkembangan. Pegadaian syariah hadir dalam bentuk kerja
sama bank syariah dengan perum pegadaian membentuk unit layanan gadai
syariah.(Suhaina, 2016, hlm. 3)

Masyarakat memiliki keinginan terhadap berdirinya lembaga gadai


syariahdalam bentuk perusahaan mungkin karena umat Islam menghendaki
adanya lembaga gadai yang benar-benar menerapkan prinsip syariah.
(Anshori, 2005, hlm.76). Di pegadaian syariah, saat melakukan perjanjian
gadai memungkinkan masyarakat muslim untuk mempraktekkan agama
mereka dengan mengamankan mereka dari mengambil pinjaman bunga.

B. Pengertian Pegadaian Syariah


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gadai didefinisikan
sebagaimeminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan
barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus,

3
barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman. (KBBI Daring).

KUH Perdata merumuskan gadai pada bab XX tentang gadai pasal


1150, yakni: “gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas
suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang
atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan
kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut
secara didahulukan daripada orang- orang berpiutang lainnya.(Subekti &
Tjitrosudibio, 1985, hlm. 270).

Dalam bahasa Arab, gadai dikenal dengan istilah Rahn yang


memiliki arti tetap dan langgeng, penetapan dan penahanan atau menahan.
Dari asal kata rahana-yarhanu-rahnan, dalam bentuk plural rihan-ruhun-
ruhunun. Pengertian gadai atau rahn menurut pendapat M. Syafi’i Anotonio,
Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Yang dijaminkan dan ditahan adalah
barang yang memiliki nilai ekonomis. (Antonio, 1999, hlm. 195). Rahn
artinya menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman dari peminjam (murtahin).

Jadi, gadai atau rahn pada dasarnya adalah menjadikan suatu benda
bernilaimenurut pandangan syara’ sebagai tangguhan utang, dengan adanya
benda yang menjadi tangguhan itu seluruh atau sebagian utang dapat
diterima. Dapat dikatakangadai adalah transaksi utang pitang yang disertai
agunan dalam bentuk harta bergerak dari debitur kepada kreditur sebagai
jaminan utangnya saat jatuh tempo. Dan jika debitur tidak dapat melunasi
hutangnya, maka barang jaminan dijual sebagai pengganti utang.

C. Landasan Hukum Pegadaian Syariah


Dasar hukum rahn dapat merujuk pada dalil-dalil yang didasarkan
pada Al-qur’an, Hadits, Ijma, dan fatwa DSN-MUI. Dasar hukum tentang
rahn didalam Al-Qur’an dapat dilihat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 283:

4
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barangtanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagiankamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada AllahTuhannya; dan janganlah kamu (para
saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-
Baqarah: 283).
Dari kalimat “hendaklah ada barang tanggungan” diartikan sebagai
gadai.(Pasaribu & Lubis, 2004, hlm. 141). Dalam hadits Rasulullah SAW
dapat diketemukan dalam ketentuan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
dari Aisyah r.a. yang artinya: “Dan dari Aisyah r.a.bahwa sesungguhnya
Nabi Muhammad SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi
secara bertempo, sedang nabi SAW menggadaikan sebuah baju besi
kepada Yahudi itu. (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun landasan ijma dapat dikemukakan paparan Sayyid Sabiq


yang mengatakan jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum
gadai, mereka tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian
landasan hukumnya. Hal ini dimaksud didasarkan pada kisah Nabi
Muhammad yang menggadaikan baju besiuntuk mendapatkan makanan dari
seorang Yahudi. (Sabiq, 1996, hlm. 155).

Selain itu, fatwa DSN-MUI juga dapat dijadikan sebagai rujukan


dalam melakukan transaksi gadai, diantaranya Fatwa Dewan Syariah
Nasional No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn; Fatwa Dewan Syariah
Nasional No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas; dan Fatwa Dewan
Syariah Nasional No. 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily. Fatwa ini
dijadikan rujukan yang berlaku umum dan mengikat bagi masyarakat yang
bertransaksi di pegadaian syariah. (Mulazid, 2012)

5
D. Perbedaan dan Persamaan antara Rahn dan Gadai Menurut
Hukum Islam dan Perdata
1. Perbedaan antara Rahn dan Gadai
Gadai dan rahn tentunya memiliki perbedaan, dilihat dari
sisi hukum Islam dan hukum Perdata:
a. Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasar
tolong menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan gadai
menurut hukumperdata disamping berprinsip tolong menolong
juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atas sewa
modal yang telah ditetapkan.
b. Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang
bergerak, sedangkan dalam hukum Islam rahn berlaku pada
seluruh harta, baik harta bergerak maupun tidak bergerak. Pada
hukum perdatapenjaminan dengan harta tidak bergerak seperti
kapal laut, tanah, dan pesawat udara disebut dengan hak
tanggungan yang diatur dalam UU No. 4 tahun 1996.
Perbedaan pertama antara gadai syariah (rahn) dan gadai
konvensionaladalah landasan hukum. Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata pasal 1150- 1160 dijadikan sebagai landasan hukum dalam
pelaksanaan gadai konvensional. Sedangkan Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang
rahn dan fatwa No. 46/DSN- MUI/III/2002 tentang rahn emas
dijadikan sebagai landasan hukum dari transaksi gadai syariah.
Subjek pelaksana gadai konvensional disebut dengan debitur
gadai (pemberi gadai) dan kreditur gadai (penerima gadai), sedangkan
subjek dalam gadai syariah disebut dengan Rahin (pemberi barang
jaminan) dan murtahin (penerima barang jaminan).

Dalam transaksi gadai konvensional, bukti perjanjiannya


disebut dengan Surat Bukti Kredit (SBK), sedangkan dalam transaksi
gadai syariah disebut dengan Surat Bukti Rahn (SBR).
Hanya terdapat satu perjanjian kredit pada gadai konvensional,

6
sebab perjanjian gadai hanya merupakan suatu perjanjian accesoir
(perjanjian tambahan) dimana kedudukan perjanjian pokok lebih tinggi
dibandingkan dengan perjanjian tambahan, sedangkan untuk gadai
syariah terdapat dua akadyaitu akad rahn dan akad ijarah (jasa sewa
tempat penitipan dan penyimpananbarang jaminan) dimana kedudukan
kedua akad tersebut sejajar dan penting dalam gadai syariah.
Dari segi keuntungan untuk pegadaian, gadai konvensional
memperoleh keuntungan berupa sewa modal yang ditentukan
berdasarkan besarnya nilai pinjaman yang diminta oleh nasabah.
Sedangkan untuk gadai syariah, keuntungan yang didapat seperti diatur
oleh DSN yaitu memberlakukan biaya jasa simpan dan pemeliharaan
barang jaminan dari barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari
nilai barang bukan dari jumlahpinjaman.
Secara garis besar, pelaksanaan prosedur tidak terdapat
perbedaanantara gadai konvensional dengan gadai syariah. Perbedaan
lebih akan terlihat jika telah sampai pada hal kelebihan uang hasil lelang
jika peminjam mengalami wanprestasi. Kelebihan uang hasil lelang
yang tidak diambil oleh nasabah dalam jangka waktu 1 tahun sejak
tanggal pelelangan barang jaminanakan menjadi milik pegadaian dalam
pelaksanaan gadai konvensional. Sedangkan untuk pelaksanaan gadai
syariah, kelebihan uang hasil lelang akandiberikan kepada Badan Amil
Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang terakreditasi. Namun, jika uang
hasil lelang tidak mencukupi untuk membayar lunas hutang debitur
ditambah biaya administrasi maka kekurangan ditanggung oleh
perusahaan, baik konvensional maupun syariah. (Anshori, 2005, hlm.
102)

2. Persamaan antara Rahn dan Gadai

Rahn (agunan) merupakan harta yang dijadikan jaminan utang


(pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib
membayarnya, jika dia gagal menunaikannya. Sedangkan gadai

7
merupakan suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu
barang bergerak, yangdiserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau
orang lain atas namanya, dan memberikan kekuasaan kepada si
berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian
biaya untuk melelang barang tersebut merupakan biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkan, setelah barang itu digadaikan,
biaya-biaya mana harus didahulukan. Kesimpulannya, pegadaian
konvensional dan pegadaian syariah adalah sama-sama lembaga
keuangan yang memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar
gadai.
Pada gadai konvensional, pemberi gadai adalah debitur atau
pihak III, sedangkan pada rahn pemberi gadai juga debitur. Penerima
gadai pada pegadaian konvensional merupakan orang perseorangan,
begitu juga dengan rahn.
Persamaan antara rahn dan gadai juga dilihat dari segi
pemanfaatan barang gadai, dimana rahn dan gadai konvensional sama-
sama tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan.
Persamaan hak penerima gadai antara rahn dan gadai konvensional
adalah hak menjual/lelang untuk mengambil pelunasan apabila waktu
peminjaman uang telah habis.
Persamaan kewajiban penerima gadai antara rahn dan gadai
konvensional adalah memelihara dan menyimpan benda gadai,
memberi tahu debitur agar segera melunasi hutangnya, mengembalikan
uang sisa eksekusi. Mengenai hak pemberi gadai, persamaan rahn dan
gadai adalah menerima pengembalian uang sisa eksekusi, menerima
ganti rugi kalau benda gadai rusak/hilang. Persamaan kewajiban
pemberi gadai pada rahn dan gadai konvensional yaitu wajib melunasi
pinjaman yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang telah
ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima gadai.
Menjamin bahwa benda gadai adalah milik pemberi gadai. (Suhaina,

8
2016, hlm. 7).
Jadi, pada dasarnya konstruksi hukum gadai syariah atau rahn
identik dengan gadai konvensional, terdapat beberapa persamaan
diantaranya sama- sama lembaga keuangan yang memberikan pinjaman
kepada masyarakat atas dasar gadai. objek gadai merupakan benda
bergerak, tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan,
penerima gadai bisa menjual benda gadai (eksekusi) dalam hal debitur
wanprestasi untuk mengambil pelunasan dengan kewajiban
mengembalikan uang jika ada sisa dari hasil penjualan.

E. Landasan Konsep Pegadaian Syariah


Implementasi operasi pegadaian syariah hampir sama dengan
pegadaian konvensional. Seperti halnya pegadaian konvensional, pegadaian
syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak.
Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana,
masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak
sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak
relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi
pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat
bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Sebagaimana halnya institusi yang berlabel syariah, maka landasan
konsep pegadaian syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang
bersumber dari Al- Qur’an dan Hadist Nabi SAW, juga dari ijma ulama dan
diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
tentang rahn.
Dari landasan syariah tersebut maka mekanisme operasional
pegadaian syariah dapat digambarkan sebagai berikut: melalui akad rahn,
nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian
menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh
pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya
biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya

9
perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan
bagi pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuaijumlah yang
disepakati oleh kedua belah pihak
Untuk dapat memperoleh layanan dari pegadaian syariah, masyarakat
hanya cukup menyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan, dan
lain-lain) untukdititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian
staf penaksir akanmenentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang
akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa
simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang
ditentukan berdasarkan nilaiintrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan
oleh Perum Pegadaian. Setelah tahan ini, pegadaian syariah dan nasabah
melakukan akad dengan berbagai macamkesepakatan.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya
membayar jasa simpan, maka pegadaian syariah melakukan eksekusi barang
jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok
pinjaman, jasa simpan danpajak merupakan uang kelebihan yang menjadi
hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk
mengambil uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak
mengambil uang tersebut, pegadaian syariah akan menyerahkan uang
kelebihan kepada Badan Amil Zakat. (Setiawan, 2014, hlm. 195).

F. Prospek Gadai Syariah


Prospek gadai syariah (rahn) secara relatif dapat dilihat dari analisis
SWOT(Martono, 2009, hlm. 39) sebagai berikut:

1) Kekuatan ( Strength)

a) Dukungan umat Islam yang merupakan mayoritas


penduduk Perusahaan gadai syariah telah lama
menjadi dambaan umat IslamIndonesia sejak masa
kebangkitan nasional yang pertama. Hal ini
menunjukkan besarnya harapan dan dukungan umat

10
Islam terhadap adanya gadai syariah.

b) Dukungan dari lembaga keuangan Islam di seluruh


dunia

Adanya gadai syariah yang sesuai dengan prinsip


syariah sangat penting untuk menghindarkan umat
dari kemungkinan terjerumus kepada yang haram.
Oleh karena itu pada konferensi ke 2 menteri-menteri
luar Negeri negara muslim di seluruh dunia bulan
Desember 1970 di Karachi, Pakistan telah sepakat
untuk pada tahap pertama mendirikan Islamic
Development Bank (IDB) yang dioperasikan sesuai
dengan prinsip syariah. IDB secara resmi didirikan
pada bulan Agustus 1974 dimana Indonesia menjadi
salah satu negara anggota pendiri. IDB pada (Articles
of Agreement-nya, 1994:6) pasal 2 ayat XI akan
membantu berdirinya bank dan lembaga keuangan
yang akan beroperasi sesuai dengan syariah Islam di
negara anggotanya. Beberapa bank Islam yang
berskala internasional telah datang ke Indonesia
untuk menjajaki kemungkinan membuka lembaga
keuangan syariah secara patungan. Hal ini
menunjukkan besarnya harapan dan dukungan
lembaga keuangan internasional terhadap adanya
lembaga keuangan syariah di Indonesia.

c) Pemeberian pinjaman lunak Al-Qardhul Hassan dan


pinjaman mudharabah dengan sistem bagi hasil
gadai syariah sangat sesuai dengan kebutuhan
pembangunan

11
2) Kelemahan ( Weaknes)
 Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan
berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam
akad bagi hasil adalah jujur. Namun, hal itu dapat
menjadi bumerang terhadap pegadaian syariah bagi
nasabah yang mempunyai itikad tidak baik
 Perlunya kecermatan yang lebih besar dalam hal
perhitungan agar dapat menghindari kesalahan
perhitungan, terutama dalam menghitung biaya yang
dibolehkan dan bagian laba nasabah yang kecil-kecil.
 Rahn memerlukan tenaga profesional yang andal
karena membawa misi bagi hasil yang adil.
Kekeliruan dalam menilai kelayakan proyek yang
akan dibiayai dengan sistem bagi hasil berdampak
lebih berat daripada konvensional yang hasil
pendapatannya tetap dari bunga.
 Masih diperlukannya petunjuk pelaksanaan untuk
pembinaan dan kontrol, juga adaptasi sistem
akuntansi gadai syariah terhadap sistem akuntansi
yang telah baku.

3) Peluang (opportunity)
a. Peluang karena pertimbangan kepercayaan
agama
 Sudah semakin banyak masyarakat muslim
Indonesia sadar akan riba sudah jelas
dilarang, maka banyak muslim yang tidak
mau memanfaatkan jasa pegadaian
konvensional. Namun, hal ini tetaplah harus
digalakkan melalui sosialisasi kepada
masyarakat mengenai riba

12
 Meningkatnya kesadaran beragama yang
merupakan hasil pembangunan di sektor
agama memperbanyak jumlah perorangan,
yayasan, pondok pesantren, masjid, madrasah,
dan baitul mal yang belum memanfaatkan jasa
gadai konvensional yang sudah ada
 Kekhawatiran terhadap sistem pengenaan
biaya uang/sewa modal dalam sistem
pegadaian sekarang dikhawatirkan
mengandung unsur yang tidak sejalan dengan
syariah. Rahn hadir untuk menghindari unsur-
unsur yang tidak sejalan dengan syariat Islam.
b. Adanya Peluang Ekonomi dari Berkembangnya
Gadai Syariah
 Selama orde reformasi masih melanjutkan
pembangunan yangdiperkirakan mencapai
jumlah yang sangat besar. Dari jumlah
tersebut diharapkan sebagian besar dapat
disediakan dari tabungandalam negeri dan
dana dari luar negeri sebagai pelengkap saja.
Daritabungan dalam negeri diharapkan dapat
dibentuk melalui tabungan pemerintah yang
kemampuannya kian kecildibandingkan
melalui tabungan masyarakat yang melalui
sektor perbankan dan lembaga keuangan
lainnya.
 Besarnya peranan dari tabungan masyarakat
melalui sektor perbankan, perlu dicarikan
jalan dan peluang untuk mengerahkan dana
dari masyarakat. Rahn berfungsi mencairkan
simpanan berupa perhiasan dan barang lain

13
yang lalu diinvestasikan melaluimekanisme
pinjaman mudharabah.
 Konsep rahn mengutamakan kegiatan
produksi dan perdagangan, menghadapi risiko
usaha dan bagi hasil usaha akan memberikan
sumbangan yang besar kepada perekonomian
dalam penyediaan kesempatan kerja dan
pemerataan pendapatan.

4) Ancaman (Threat)
Adanya rahn dianggap berkaitan dengan fanatisme
agama bagi sebagian orang. Akan ada pihak yang akan
menghalangi berkembangnya gadai syariah semata-mata
karena tidak suka melihat umat Islam bangkit dari
keterbelakangan ekonominya. Padahal rahn jelas bermanfaat
untuk semua orang tanpa pandang suku, agama, ras, dan adat
istiadat. Munculnya rahn yang menuntut pemerataan
pendapatan lebih adil dirasakan oleh mereka sebagai ancaman
terhadap status quo yang telah dinikmatinya selama puluhan
tahun.

Dari analisis SWOT yang telah dipaparkan, maka dapat


disimpulkan bahwa gadai syariah atau rahn memiliki prospek yang bagus,
terlebih jika kelemahan yangada dapat dikurangi dan ancaman dapat diatasi.

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pegadaian syariah atau Rahn artinya menahan salah satu
harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman dari
peminjam (murtahin). gadai adalah transaksi utang pitang yang
disertai agunan dalam bentuk harta bergerak dari debitur kepada
kreditur sebagai jaminan utangnya saat jatuh tempo. Dan jika
debitur tidak dapat melunasi hutangnya, maka barang jaminan
dijual sebagai pengganti utang.
Dasar hukum rahn dapat merujuk pada dalil-dalil yang
didasarkan pada Al- qur’an, Hadits, Ijma, dan fatwa DSN-MUI.
Dasar hukum tentang rahn didalam Al-Qur’an dapat dilihat dalam
Q.S. Al-Baqarah ayat 283. Perbedaan rahn dengan gadai
konvensional yaitu landasan hukumnya, penyebutan subjeknya,
bukti perjanjiannya, banyaknya perjanjian, segi keuntungan, dan
perlakuan terhadap kelebihan uang eksekusi. Sedangkan persamaan
rahn dan gadai konvensional yaitu sama-sama lembaga keuangan
yang memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar gadai,
obyek gadai merupakan benda bergerak, tidak boleh mengambil
manfaat barang yang digadaikan

B. Saran
Setelah menulis makalah tentang Pegadaian Syariah, Kami
berharap adanya koreksi terhadap tulisan kami yang masih banyak
kekurangan

15
DAFTAR PUSTAKA

Anshori, A. G. (2005). Gadai Syariah di Indonesia. Gadjah Mada University

Press.Antonio, M. S. (1999). Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan.

Tazkia
Institute.

Hasil Pencarian—KBBI Daring. (t.t.). Diambil 11 Maret 2021, dari


https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/gadai

Ismanto, K. (2009). Manajemen Syariah. Pustaka Pelajar.

Martono, M. (2009). Prospek Rahn (Gadai Syariah) Dalam Mendukung


Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Al-Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi
Syariah, 1(2).

Muhammad. (2003). Metodologi Penelitian Pemikiran Ekonomi Islam. Ekonisia.

Mulazid, A. S. (2012). Kedudukan sistem pegadaian syariah dalam sistem hukum


nasional di Indonesia. Kementerian Agama RI.

Pasaribu, C., & Lubis, S. K. (2004). Hukum Perjanjian Dalam Islam. Sinar Grafika.

Sabiq, S. (1996). Fikih Sunah. PT. Al-Maarif.

Sanusi, B. (2009). Pengantar Ekonomi Pembangunan. PT. Rineka Cipta.

Setiawan, I. (2014). Gadai Pada Pegadaian Syariah. ADLIYA: Jurnal Hukum dan
Kemanusiaan, 8(2), 185–210.

Subekti, & Tjitrosudibio, R. (1985). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


Pradya Paramita.

16

Anda mungkin juga menyukai