PEGADAIAN SYARIAH
Di Susun Oleh :
DERI
IAP SALAPUDIN
Tahun 2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat
Allah swt., atas segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga makalah
“Pegadaian Syariah” ini dapat diselesaikan dan disajikan kepada para
pembaca dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum Bisnis dan
Arbitrase Syariah yang. Shalawat serta salam kami haturkan kepada
junjungan kita Nabi Besar Nabi Muhammad SAW., para keluarga, sahabat,
serta pengikut beliau hingga akhir zaman.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Taraf hidup yang berbeda disuatu negara akan semakin terasa pada
saat bangsa itu mulai membutuhkan aneka rupa barang bagi kehidupannya,
khususnya yang menyangkut pangan, sandang, papan, dan lain-lain.(Sanusi,
2009, hlm. 1) Semakin berkembang dunia bisnis, tentunya akan selalu
diikuti akan kebutuhan kredit, dan pemberian kredit selalu memerlukan
jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan pegadaian syariah?
Kaidah Fiqih?
C. Tujuan
7. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pegadaian syariah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Pegadaian Syariah
Syariah merupakan sumber prinsip ekonomi dalam Islam, syariah
merupakan prinsip yang dijadikan acuan dalam prinsip ekonomi Islam dan
merupakan suatu keunikan dan perbedaan yang ada dalam ekonomi
konvensional.(Muhammad, 2003, hlm. 72)
3
barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman. (KBBI Daring).
Jadi, gadai atau rahn pada dasarnya adalah menjadikan suatu benda
bernilaimenurut pandangan syara’ sebagai tangguhan utang, dengan adanya
benda yang menjadi tangguhan itu seluruh atau sebagian utang dapat
diterima. Dapat dikatakangadai adalah transaksi utang pitang yang disertai
agunan dalam bentuk harta bergerak dari debitur kepada kreditur sebagai
jaminan utangnya saat jatuh tempo. Dan jika debitur tidak dapat melunasi
hutangnya, maka barang jaminan dijual sebagai pengganti utang.
4
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barangtanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagiankamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada AllahTuhannya; dan janganlah kamu (para
saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-
Baqarah: 283).
Dari kalimat “hendaklah ada barang tanggungan” diartikan sebagai
gadai.(Pasaribu & Lubis, 2004, hlm. 141). Dalam hadits Rasulullah SAW
dapat diketemukan dalam ketentuan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
dari Aisyah r.a. yang artinya: “Dan dari Aisyah r.a.bahwa sesungguhnya
Nabi Muhammad SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi
secara bertempo, sedang nabi SAW menggadaikan sebuah baju besi
kepada Yahudi itu. (HR. Bukhari dan Muslim).
5
D. Perbedaan dan Persamaan antara Rahn dan Gadai Menurut
Hukum Islam dan Perdata
1. Perbedaan antara Rahn dan Gadai
Gadai dan rahn tentunya memiliki perbedaan, dilihat dari
sisi hukum Islam dan hukum Perdata:
a. Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasar
tolong menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan gadai
menurut hukumperdata disamping berprinsip tolong menolong
juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atas sewa
modal yang telah ditetapkan.
b. Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang
bergerak, sedangkan dalam hukum Islam rahn berlaku pada
seluruh harta, baik harta bergerak maupun tidak bergerak. Pada
hukum perdatapenjaminan dengan harta tidak bergerak seperti
kapal laut, tanah, dan pesawat udara disebut dengan hak
tanggungan yang diatur dalam UU No. 4 tahun 1996.
Perbedaan pertama antara gadai syariah (rahn) dan gadai
konvensionaladalah landasan hukum. Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata pasal 1150- 1160 dijadikan sebagai landasan hukum dalam
pelaksanaan gadai konvensional. Sedangkan Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang
rahn dan fatwa No. 46/DSN- MUI/III/2002 tentang rahn emas
dijadikan sebagai landasan hukum dari transaksi gadai syariah.
Subjek pelaksana gadai konvensional disebut dengan debitur
gadai (pemberi gadai) dan kreditur gadai (penerima gadai), sedangkan
subjek dalam gadai syariah disebut dengan Rahin (pemberi barang
jaminan) dan murtahin (penerima barang jaminan).
6
sebab perjanjian gadai hanya merupakan suatu perjanjian accesoir
(perjanjian tambahan) dimana kedudukan perjanjian pokok lebih tinggi
dibandingkan dengan perjanjian tambahan, sedangkan untuk gadai
syariah terdapat dua akadyaitu akad rahn dan akad ijarah (jasa sewa
tempat penitipan dan penyimpananbarang jaminan) dimana kedudukan
kedua akad tersebut sejajar dan penting dalam gadai syariah.
Dari segi keuntungan untuk pegadaian, gadai konvensional
memperoleh keuntungan berupa sewa modal yang ditentukan
berdasarkan besarnya nilai pinjaman yang diminta oleh nasabah.
Sedangkan untuk gadai syariah, keuntungan yang didapat seperti diatur
oleh DSN yaitu memberlakukan biaya jasa simpan dan pemeliharaan
barang jaminan dari barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari
nilai barang bukan dari jumlahpinjaman.
Secara garis besar, pelaksanaan prosedur tidak terdapat
perbedaanantara gadai konvensional dengan gadai syariah. Perbedaan
lebih akan terlihat jika telah sampai pada hal kelebihan uang hasil lelang
jika peminjam mengalami wanprestasi. Kelebihan uang hasil lelang
yang tidak diambil oleh nasabah dalam jangka waktu 1 tahun sejak
tanggal pelelangan barang jaminanakan menjadi milik pegadaian dalam
pelaksanaan gadai konvensional. Sedangkan untuk pelaksanaan gadai
syariah, kelebihan uang hasil lelang akandiberikan kepada Badan Amil
Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang terakreditasi. Namun, jika uang
hasil lelang tidak mencukupi untuk membayar lunas hutang debitur
ditambah biaya administrasi maka kekurangan ditanggung oleh
perusahaan, baik konvensional maupun syariah. (Anshori, 2005, hlm.
102)
7
merupakan suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu
barang bergerak, yangdiserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau
orang lain atas namanya, dan memberikan kekuasaan kepada si
berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian
biaya untuk melelang barang tersebut merupakan biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkan, setelah barang itu digadaikan,
biaya-biaya mana harus didahulukan. Kesimpulannya, pegadaian
konvensional dan pegadaian syariah adalah sama-sama lembaga
keuangan yang memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar
gadai.
Pada gadai konvensional, pemberi gadai adalah debitur atau
pihak III, sedangkan pada rahn pemberi gadai juga debitur. Penerima
gadai pada pegadaian konvensional merupakan orang perseorangan,
begitu juga dengan rahn.
Persamaan antara rahn dan gadai juga dilihat dari segi
pemanfaatan barang gadai, dimana rahn dan gadai konvensional sama-
sama tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan.
Persamaan hak penerima gadai antara rahn dan gadai konvensional
adalah hak menjual/lelang untuk mengambil pelunasan apabila waktu
peminjaman uang telah habis.
Persamaan kewajiban penerima gadai antara rahn dan gadai
konvensional adalah memelihara dan menyimpan benda gadai,
memberi tahu debitur agar segera melunasi hutangnya, mengembalikan
uang sisa eksekusi. Mengenai hak pemberi gadai, persamaan rahn dan
gadai adalah menerima pengembalian uang sisa eksekusi, menerima
ganti rugi kalau benda gadai rusak/hilang. Persamaan kewajiban
pemberi gadai pada rahn dan gadai konvensional yaitu wajib melunasi
pinjaman yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang telah
ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima gadai.
Menjamin bahwa benda gadai adalah milik pemberi gadai. (Suhaina,
8
2016, hlm. 7).
Jadi, pada dasarnya konstruksi hukum gadai syariah atau rahn
identik dengan gadai konvensional, terdapat beberapa persamaan
diantaranya sama- sama lembaga keuangan yang memberikan pinjaman
kepada masyarakat atas dasar gadai. objek gadai merupakan benda
bergerak, tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan,
penerima gadai bisa menjual benda gadai (eksekusi) dalam hal debitur
wanprestasi untuk mengambil pelunasan dengan kewajiban
mengembalikan uang jika ada sisa dari hasil penjualan.
9
perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan
bagi pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuaijumlah yang
disepakati oleh kedua belah pihak
Untuk dapat memperoleh layanan dari pegadaian syariah, masyarakat
hanya cukup menyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan, dan
lain-lain) untukdititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian
staf penaksir akanmenentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang
akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa
simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang
ditentukan berdasarkan nilaiintrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan
oleh Perum Pegadaian. Setelah tahan ini, pegadaian syariah dan nasabah
melakukan akad dengan berbagai macamkesepakatan.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya
membayar jasa simpan, maka pegadaian syariah melakukan eksekusi barang
jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok
pinjaman, jasa simpan danpajak merupakan uang kelebihan yang menjadi
hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk
mengambil uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak
mengambil uang tersebut, pegadaian syariah akan menyerahkan uang
kelebihan kepada Badan Amil Zakat. (Setiawan, 2014, hlm. 195).
1) Kekuatan ( Strength)
10
Islam terhadap adanya gadai syariah.
11
2) Kelemahan ( Weaknes)
Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan
berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam
akad bagi hasil adalah jujur. Namun, hal itu dapat
menjadi bumerang terhadap pegadaian syariah bagi
nasabah yang mempunyai itikad tidak baik
Perlunya kecermatan yang lebih besar dalam hal
perhitungan agar dapat menghindari kesalahan
perhitungan, terutama dalam menghitung biaya yang
dibolehkan dan bagian laba nasabah yang kecil-kecil.
Rahn memerlukan tenaga profesional yang andal
karena membawa misi bagi hasil yang adil.
Kekeliruan dalam menilai kelayakan proyek yang
akan dibiayai dengan sistem bagi hasil berdampak
lebih berat daripada konvensional yang hasil
pendapatannya tetap dari bunga.
Masih diperlukannya petunjuk pelaksanaan untuk
pembinaan dan kontrol, juga adaptasi sistem
akuntansi gadai syariah terhadap sistem akuntansi
yang telah baku.
3) Peluang (opportunity)
a. Peluang karena pertimbangan kepercayaan
agama
Sudah semakin banyak masyarakat muslim
Indonesia sadar akan riba sudah jelas
dilarang, maka banyak muslim yang tidak
mau memanfaatkan jasa pegadaian
konvensional. Namun, hal ini tetaplah harus
digalakkan melalui sosialisasi kepada
masyarakat mengenai riba
12
Meningkatnya kesadaran beragama yang
merupakan hasil pembangunan di sektor
agama memperbanyak jumlah perorangan,
yayasan, pondok pesantren, masjid, madrasah,
dan baitul mal yang belum memanfaatkan jasa
gadai konvensional yang sudah ada
Kekhawatiran terhadap sistem pengenaan
biaya uang/sewa modal dalam sistem
pegadaian sekarang dikhawatirkan
mengandung unsur yang tidak sejalan dengan
syariah. Rahn hadir untuk menghindari unsur-
unsur yang tidak sejalan dengan syariat Islam.
b. Adanya Peluang Ekonomi dari Berkembangnya
Gadai Syariah
Selama orde reformasi masih melanjutkan
pembangunan yangdiperkirakan mencapai
jumlah yang sangat besar. Dari jumlah
tersebut diharapkan sebagian besar dapat
disediakan dari tabungandalam negeri dan
dana dari luar negeri sebagai pelengkap saja.
Daritabungan dalam negeri diharapkan dapat
dibentuk melalui tabungan pemerintah yang
kemampuannya kian kecildibandingkan
melalui tabungan masyarakat yang melalui
sektor perbankan dan lembaga keuangan
lainnya.
Besarnya peranan dari tabungan masyarakat
melalui sektor perbankan, perlu dicarikan
jalan dan peluang untuk mengerahkan dana
dari masyarakat. Rahn berfungsi mencairkan
simpanan berupa perhiasan dan barang lain
13
yang lalu diinvestasikan melaluimekanisme
pinjaman mudharabah.
Konsep rahn mengutamakan kegiatan
produksi dan perdagangan, menghadapi risiko
usaha dan bagi hasil usaha akan memberikan
sumbangan yang besar kepada perekonomian
dalam penyediaan kesempatan kerja dan
pemerataan pendapatan.
4) Ancaman (Threat)
Adanya rahn dianggap berkaitan dengan fanatisme
agama bagi sebagian orang. Akan ada pihak yang akan
menghalangi berkembangnya gadai syariah semata-mata
karena tidak suka melihat umat Islam bangkit dari
keterbelakangan ekonominya. Padahal rahn jelas bermanfaat
untuk semua orang tanpa pandang suku, agama, ras, dan adat
istiadat. Munculnya rahn yang menuntut pemerataan
pendapatan lebih adil dirasakan oleh mereka sebagai ancaman
terhadap status quo yang telah dinikmatinya selama puluhan
tahun.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pegadaian syariah atau Rahn artinya menahan salah satu
harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman dari
peminjam (murtahin). gadai adalah transaksi utang pitang yang
disertai agunan dalam bentuk harta bergerak dari debitur kepada
kreditur sebagai jaminan utangnya saat jatuh tempo. Dan jika
debitur tidak dapat melunasi hutangnya, maka barang jaminan
dijual sebagai pengganti utang.
Dasar hukum rahn dapat merujuk pada dalil-dalil yang
didasarkan pada Al- qur’an, Hadits, Ijma, dan fatwa DSN-MUI.
Dasar hukum tentang rahn didalam Al-Qur’an dapat dilihat dalam
Q.S. Al-Baqarah ayat 283. Perbedaan rahn dengan gadai
konvensional yaitu landasan hukumnya, penyebutan subjeknya,
bukti perjanjiannya, banyaknya perjanjian, segi keuntungan, dan
perlakuan terhadap kelebihan uang eksekusi. Sedangkan persamaan
rahn dan gadai konvensional yaitu sama-sama lembaga keuangan
yang memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar gadai,
obyek gadai merupakan benda bergerak, tidak boleh mengambil
manfaat barang yang digadaikan
B. Saran
Setelah menulis makalah tentang Pegadaian Syariah, Kami
berharap adanya koreksi terhadap tulisan kami yang masih banyak
kekurangan
15
DAFTAR PUSTAKA
Tazkia
Institute.
Pasaribu, C., & Lubis, S. K. (2004). Hukum Perjanjian Dalam Islam. Sinar Grafika.
Setiawan, I. (2014). Gadai Pada Pegadaian Syariah. ADLIYA: Jurnal Hukum dan
Kemanusiaan, 8(2), 185–210.
16