Anda di halaman 1dari 21

` MAKALAH LEMBAGA KEUANGAN

SYARIAH

“PEGADAIAN SYARIAH”

KELOMPOK 7

Oleh :
Raskim Widiwati 11160000150
Mia Lestari 11160000539

Rabu, A409 18.30 WIB

Dosen :
DR. IMRON ZABIDI . MA

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI INDONESIA


JAKARTA

3
2019

4
DAFTAR ISI

BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan......................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN....................................................................................................................3
A. Pengertian Pegadaian Syariah.......................................................................................3
B. Tujuan dan Manfaat Pegadaian Syariah..................................................................4
C. Sejarah Berdirinya Pegadaian Syariah.....................................................................5
D. Syarat dan Rukun Dalam Gadai Syariah.................................................................8
E. Akad Perjanjian dalam Gadai Syariah.....................................................................9
F. Risiko Atas Barang yang Digadaikan....................................................................10
G. Ketentuan dan Mekanisme Pegadaian Syariah......................................................12
H. Produk Pegadaian Syariah..................................................................................13
J. Kendala dan Strategi Pengembangan Pegadaian Syariah...............................18
KESIMPULAN.......................................................................................................................19

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sampai saat ini masih ada kesan dalam masyarakat, kalau seseorang pergi ke
pegadaian untuk menjamin sejumlah uang dengan cara menggadaikan barang, adalah aib dan
seolah kehidupan orang tersebut sudah sangat menderita. Karena itu banyak diantara
masyarakat yang malu menggunakan fasilitas penggadaian. Lain halnya jika kita pergi ke
sebuah Bank, di sana akan terlihat lebih prestisius, walaupun dalam prosesnya memerlukan
waktu yang relatif lebih lama dengan persyaratan yang cukup rumit.
Bersamaan dengan berdirinya dan berkembangnya bank, BMT, dan asuransi yang
berdasarkan prinsip syariah di Indonesia, maka hal yang mengilhami dibentuknya pegadaian
syariah atau rahn lebih dikenal sebagai produk yang ditawarkan oleh Bank Syariah, dimana
Bank menawarkan kepada masyarakat dalam bentuk penjaminan barang guna mendapatkan
pembiayaan.
Oleh karena itu, dibentuklah lembaga keuangan yang mandiri yang berdasarkan
prinsip syariah. Adapun dalam makalah ini akan dijelaskan secara lengkap mengenai
pegadaian syariah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Pegadaian Syariah ?


2. Apa Tujuan dan manfaat Pegadaian Syariah ?
3. Bagaimana sejarah berdirinya Pegadaian Syariah ?
4. Apa saja syarat dan rukun dalam gadai Syariah ?
5. Apa saja akad untuk perjanjian dalam gadai Syariah ?
6. Apa risiko atas barang yang digadaikan ?
7. Apa saja ketentuan dan mekanisme dalam Pegadaian Syariah ?
8. Apa perbedaan Pegadaian Syariah dengan Pegadaian Konvensional ?
9. Bagaimana kendala dan strategi pengembangan Pegadaian ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian pegadaian Syariah.


1
2. Untuk mengetahui tujuan dan manfaat pegadaian Syariah.
3. Untuk mengetahui sejarah berdirinya Pegadaian Syariah.
4. Untuk mengetahui syarat dan rukun dalam gadai Syariah.
5. Untuk mengetahui akad untuk perjanjian dalam gadai Syariah.
6. Untuk mengetahui risiko atas barang yang digadaikan.
7. Untuk mengetahui ketentuan dan mekanisme dalam Pegadaian Syariah.
8. Untuk mengetahui perbedaan Pegadaian Syariah dengan Pegadaian
Konvensional.
9. Untuk mengetahui kendala dan strategi pengembangan Pegadaian.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pegadaian Syariah

Gadai dalam fiqh disebut rahn yang menurut bahasa adalah barang yang dijadikan
sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut syara’ rahn ialah menyandera sejumlah
harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai
tebusan.

Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam Kitab al-Mughni
adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuh dari
harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang.
2
Jadi dapat disimpulkan , gadai adalah akad sebuah kepercayaan dengan cara menjadikan
sesuatu sebagai barang jaminan atas utang yang harus dibayarnya. Dan apabila utang pada
waktunya tidak terbayar, maka barang yang dijadikan jaminan tersebut dapat dijual untuk
membayar utangnya.

Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia tidak


terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut
pegadaian syariah. Pegadaian Syariah didirikan pada tahun 2003, secara umum tujuan ideal
dari perum pegadaian adalah penyediaan dana dengan prosedur yang sederhana kepada
masyarakat luas terutama kalangan menengah ke bawah untuk berbagai tujuan, seperti
konsumsi, produksi, dan lain sebagaianya. Pegadaian syariah dalam menjalankan
operasionalnya berpegangan kepada prinsip syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis
syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena
riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan
melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan/atau bagi hasil.

B. Tujuan dan Manfaat Pegadaian Syariah

Sifat Usaha pegadaian pada prinsipnya menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan


masyarakat umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan yang
baik. Maka dari itu, berikut tujuan pegadaian :
a. Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah
di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang
pembiayaan/ pinjaman atas dasar hukum gadai.
b. Pencegahan praktik ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar lainnya.
c. Pemanfaatan gadai bebas bunga pada gadai syariah memiliki efek jarring pengaman
sosial karena masyarakat yang butuh dana mendesak tidak lagi dijerat pinjaman/
pembiayaan berbasis bunga.
d. Membantu orang-orang yang membutuhkan pinjaman dengan syarat mudah.

3
Adapun manfaat pegadaian antara lain :
i. Bagi Nasabah, tersedianya dana dengan prosedur yang relatif lebih sederhana dan
dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan perbankan. Di
samping itu, nasabah juga mendapat manfaat penaksiran nilai suatu barang bergerak
secara profesional. Mendapatkan fasilitas penitipan barang bergerak yang aman dan
terpecaya.

ii. Bagi Perusahaan Pegadaian :


a. Bagi pegadaian syariah penghasilan bersumber dari sewa tempat penyimpanan
barang gadai.
b. Bagi bank syariah yang mengeluarkan produk gadai syariah dapat
mendapatkan keuntungan dari pembebanan biaya administrasi dan biaya sewa
tempat penyimpanan emas.
c. Pelaksaan misi Pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di bidang pembiyaan
berupa pemberian bantuan kepada masyarakat yang memerlukan dana dengan
prosedur yang relatif sederhana.

C. Sejarah Berdirinya Pegadaian Syariah

Sistem gadai sudah dipraktekan sejak zaman Rasulullah SAW, hal ini didasarkan oleh
hadist nabi yang menegaskan bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan hutang piutang
dengan orang Yahudi untuk sebuah makanan. Kemudian beliau menggadaikan baju besinya
sebagai penguat kepercayaan dari transaksi tersebut. Berikutnya hadits yang lain yang
berkaitan tentang gadai juga, yakni menegaskan akan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak
yang melakukan akad gadai. Murtahin dapat memanfaatkan barang yang digadaikan
kepadanya, selama ia mau merawatnya. Hal ini menunjukan bahwa gadai adalah sesuatu yang
dianggap sah dalam fiqih muamalah (Affandi, 2009).

Dalam perjalanannya gadai berkembang menjadi salah satu lembaga keuangan yang
banyak diminati. Di Indonesia, sejarah adanya pegadaian sudah lama terjadi bahkan sebelum
Belanda datang ke Indonesia. Masyarakat di Indonesia ratusan tahun yang lalu sudah

4
melakukan transaksi hutang dengan jaminan barang tidak bergerak berupa tanah atau
melaksanakan gadai tanah. Di beberapa daerah, melakukan gadai tanah sudah terbiasa
dilakukan oleh masyarakatnya dengan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan sedikit
berbeda dengan sejarah pegadaian yang disahkan oleh pemerintah.

Cikal bakal lembaga gadai berasal dari italia yang berkembang keseluruh dataran
daratan eropa . Lembaga pengadilan di Indonesia sudah dimulai ketika Indonesia belum
merdeka yaitu pada masuknya konelial Belanda yaitu sekitar abad ke IX oleh sebuah bank
bernama Van Lening.Bank tersebut memberi jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan
barang bergerak , sehingga bank ini pada hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian. Pada
awal abada ke 20-an pemerintah hindia belanda berusah mengambil alih usaha pegadaian dan
memonopoli dengan cara mengeluarkan staatblad No. 131 tahun 1901.Peraturan tersebut
mengikuti dengan berdirinya rumah gadai resmi milik pemerintah sejak berlakunya staatblad
No. 226 tahun 1960 meskipun demi kian, diyakinin bahwa praktik gadai telah mengakar
dalam keseharian masyarakat di Indonesia.

Pada awalnya, lembaga ini adalah lembaga swata , keadaan ini juga berkelanjutan
pada masa-masa awal kemerdekaan, dan barulah pada tahun 1961 berdasarkan peraturan
pemerintah No 178 tahun 1961, lembaga ini berubah menjadi perusahaan negara , dan
selanjutnya berdasarkan keputusan Presiden No 180 tahun 1965 Perusahan Negara Pegadai
diintergrasikan ke dalam urusan Bank Sentral, dan selanjutnya bersadarkan peraturan
pemerintah No 7 tahun 1969 perusahaan negara pegadai diubah statusnya menjadi
Perusahaan Jawatan Pegadaian.

Di indonesia, terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak
awal kebangkitan pegadaian, satu hal yang perlu di cermati bahwa PP/10 menegaskan misi
yang harus diemban pegadaian untuk mencegah praktik Riba , misi ini tidak berubah hingga
terbitnya PP/103/2000 yang di jadikan landasan kegiataan usaha perum pegadaian sampai
sekarang.

Sesuai dengan PP No 103 tahun 2000 pasal 8 ,perum pegadaian melaksanakan


kegiatan usaha diutamanya dengan menyalurkan uang pijaman atas dasar hukum gadai serta
menjalankan usaha lain, seperti menyalurkan uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia,

5
layanan jasa titipan, sertifikat logam mulia dan batu adi, toko emas, industri emas, dan usaha
lainnya.

Sejarah Pegadaian di Indonesia


Kegiatan gadai pada sejarah peradaban manusia sudah terjadi di negara Cina pada
tahun 3000 silam yang lalu. Sedangkan di benua Eropa dan kawasan laut tengah, gadai sudah
dilaksanakan pada zaman Romawi. Awalnya Pegadaian secara formal berkembang di Italia
yang kemudian dipraktekan di wilayah Eropa lainnya seperti di Inggris dan Belanda. Belanda
yang datang ke Indonesia membawa konsep gadai melalui Vereenigde Oostindiche
Compagine (VOC).

Sejarah Pegadaian di Indonesia dimulai sejak tahun 1746 saat kedatangan Gubernur
Jendral Vereenigde Oostindiche Compagine (VOC) Van Imhoff. VOC sebagai salah satu
maskapai perdagangan dari Belanda yang datang ke Indonesia didirikan sebagai bentuk usaha
untuk memperlancar kegiatan ekonomi Belanda. Untuk itu Gubernur Jenderal Van
Imhoff mendirikan Bank Van Leening di Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746 dengan
tujuan sebagai lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan sistem gadai. Melalui
surat keputusan tertanggal 28 Agustus 1746 dengan modal awal sebesar 7.500.000 yang
terdiri dari 2/3 modal milik VOC dan sisanya dari swasta.

Ketika VOC bubar tahun 1800 maka usaha pegadaian diambil alih oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Deandels, peraturan gadainya dirubah kembali
yaitu tentang peraturan tentang barang yang dapat diterima sebagai jaminan gadai seperti
perhiasan dan lain-lain. Kedatangan Inggris di Indonesia setelah mengalahkan Belanda,
kemudian mengambil alih kekuasaan jajahan Belanda di Indonesia (1811-1816) termasuk
Bank Van Leening dan menggantinya dengan Licentie Stelsel. Aturan pun diubah yaitu setiap
orang boleh mendirikan usaha unit gadai, namun dengan syarat harus adanya ijin dari
pemerintah daerah setempat. Di bawah kekuasaan Raffles, ijin dikeluarkan kepada
perorangan, khususnya keturunan Cina.

Pembubaran Bank Van Leening sebagai monopoli gadai membuat masyarakat


Indonesia diberi kebebasan untuk mendirikan usaha pegadaian asalkan adanya lisensi dari
pemerintah daerah setempat yang dibentuk oleh Inggris. Hal ini menimbulkan dampak
negatif dengan munculnya lintah darat atau rentenir (Woeker) yang dapat menyengsarakan
6
masyarakat Indonesia saat itu. Sehingga diganti dengan sistem penyewaan atau Pachstelsel
pada tahun 1814, di mana campur tangan langsung oleh pejabat lebih terasa.

Pada saat Belanda datang kembali ke Indonesia pada tahun 1816, Bank Van Leening
dengan sistem dan konsep gadai tersebut dilanjutkan dan dipertahankan. Pada tahun 1816
seluruh wilayah Jawa dan Madura telah memiliki pegadaian, kecuali Kesultanan Yogyakarta
dan Kesultanan Surakarta, di mana sistem penyewaan yang menjadi hak prerogatif kelompok
bangsawan tetap berlaku, monopoli pegadaian tidak dikembangkan ke pulau lain sampai
tahun 1921.

Namun pemegang hak pegadaian ternyata dapat melakukan penyelewengan dalam


menjalankan bisnisnya dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari hasil
barang yang digadaikan oleh masyarakat. Dengan menetapkan bunga yang begitu besar
sehingga tidak memungkinkan penggadai mengambil kembali barangnya, Jika barang
jaminan disita, maka bentuk penyitaannya menjadi hak milik kolonial Belanda, sehingga
pada tahun 1870 nama Pegadaian dirubah lagi pada menjadi Licentie Stelsel, dan pada tahun
1880, diganti namanya menjadi Pachstelsel kembali.

D. Syarat dan Rukun Dalam Gadai Syariah

Transaksi gadai menurut syariah haruslah memenuhi rukun dan syarat tertentu, yaitu:
1. Rukun Gadai,
a) adanya ijab dan qabul, artinya pihak yang berakad yaitu pihak yang
menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin),
b) adanya jaminan (marhun) berupa barang atau harta,
c) adanya hutang (marhun bih).
2. Syarat Sah Gadai,
a) rahin dan murtin dengan syarat-syarat kemampuan juga berarti kelayakan
seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan, setiap orang yang sah
melakukan jual beli sah melakukan gadai.
b) Sighat dengan syarat tidak boleh terkait dengan masa yang akan datang.

7
c) Utang (marhun bih) dengan syarat harus merupakan hak yang wajib
diberikan atau diserahkan kepada pemiliknya, memungkinkan
pemanfaatannya bila sesuatu yang menjadi utang itu tidak bisa
dimanfaatkan maka tidak sah, harus dikuantifikasikan atau dapat dihitung
jumlahnya bila tidak dapat diukur, rahn itu tidak sah.
d) Barang (marhun) dengan syarat harus bisa diperjual belikan, harus berupa
harta yang bernilai, marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah, harus
diketahui keadaan fisiknya, harus dimilik oleh rahin setidaknya harus
seizin pemiliknya.

Di samping itu , menurut Fatwa DSN MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 , gadai syariah harus
memenuhi ketentuan umum berikut ini :
i. Penerima Barang (Murtahin) mempunyai hak untuk menahan barang
(marhun) sampai semua utang rahin ( yang menyerahkan barang) dilunasi.
ii. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun
tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak
mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya
pemeliharaan dan perawatannya.
iii. Pemeliharaan dana penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
iv. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
v. Penjualan Marhun
a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera
melunasi utangnya.
b. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun dijual
paksa melalui lelang sesuai syariah.
c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpnan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekuranngannya
menjadi kewajiban rahin.

8
E. Akad Perjanjian dalam Gadai Syariah

Pada dasarnya pegadaian syariah berjalan di atas dua akad transaksi syariah, yaitu :
1) Akad rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya. Dengan akad ini, pegadaian menahan barang bergerak sebagai
jaminan atas utang nasabah.
2) Akad ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan/atau jasa melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik
sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan
akad.

Akad gadai syariah juga harus memenuhi ketentuan yang menyertainya meliputi :
1) Akad tidak mengandung syarat bathil seperti murtahin mensyaratkan barang
jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2) Marhun bih (pinjaman) merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada
murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta,
pinjaman itu jelas dan tertentu.
3) Marhun (barang yang dirahnkan) bisa dijual dan nilainya seimbang dengan
pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak
terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun
manfaatnya.
4) Ditetapkan jumlah maksimum dana rahn dan nilai lukuidasi barang yang
dirahnkan serta jangka waktu rahn.
5) Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa biaya asuransi, biaya
penyimpanan, biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.

F. Risiko Atas Barang yang Digadaikan

1) Musnahnya Barang Jaminan Gadai


Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang bertanggung jawab ketika terjadi terjadi
kerusakan atau musnahnya barang jaminan gadai . Perbedaan itu sebagai berikut :

9
a) Menurut Imam syafi’i, Ahmad , Abu tsur, dan kebanyakan ahli hadist,
menyatakan bahwa pemegang gadai sebagai pemegang amanah tidak dapat
mengambil tanggung jawab atas kehilangan tanggungannya. Mereka berpendapat
sebagaimana Hadist Rasulullah SAW : “Barang jaminan tidak boleh
disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil/keuntungan (dari barang jaminan)
dan risiko/kerugian (yang timbul atas barang itu) menjadi tanggung jawabnya.”
(HR.Al-Hakim , al- Baihaqi , dan Ibnu Hibban dari Abu Hirairah)
b) Menurut Abu hanifah dan Jumhur Fukaha berpendapat , bahwa kerusakan atau
kehilangan barang gadai ditanggung oleh penerima gadai. Alasan mereka yaitu
bahwa barang itu merupakan jaminan atau utang, sehingga jika barang itu
musnah , kewajiban melunasi utang juga hilang dengan musnahnya barang
tersebut.
Besarnya tanggungan terhdap barang gadai yang hilang atau rusak yaitu harga terendah
dengan harga utang. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa tanggungan tersebut
sebesar harganya. Mereka yang mengatakan bahwa pemegang gadai yang berhak
menggantikannya bersandar pada hadist Rasulullah SAW : “Seseorang lelaki menerima
gadai seekor kuda dari lelaki lain , kemudian kuda tersebut lepas (hilang). Maka Nabi
SAW bersabda, ‘Hilanglah hakmu’.
Ketentuan rusaknya harta gadai telah diatur dalamPasal 410 hingga pasal 412 Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah , sebagai berikut :
i. Pasal 410 : “Apabila harta gadai rusak karena kelalaiannya , penerima gadai
harus mengganti dengan harta gadai.”
ii. Pasal 411 : “Jika yang merusak harta gadai ialah pihak ketiga, maka yang
bersangkutan harus menggantinya.”
iii. Pasal 412 : “Penyimpanan harta gadai harus mengganti kerugian jika harta gadai
itu rusak karena kelalaiannya.”
2) Penjualan Barang Gadai Setelah Jatuh Tempo
Ulama berbeda pendapat mengenai penjualan yang dilakukan oleh penerima gadai.
Pendapat mereka sebagai berikut :
a) Menurut Imam Syafi’i, penerima gadai tidak boleh menjual barang gadaian
setelah jatuh tempo , kecuali oleh wakil yang adil dan terpercaya .
Argumentasinya , karena pemberi gadai menghendaki kesabaran terhadap
barang yang akan dijual dan kecermatan terhadap harga. Hal ini berbeda
dengan penerima gadai yang menghendaki agar hak pelunasan cepat
10
terpenuhi, maka apabila penjualan dilakukan oleh penerima gadai maka
dikhawatirkan penjualan tersebut tidak dengan harga yang tepat dan dapat
memberi kerugian/mudarat pihak pegadai.
b) Menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, apabila dalam akad gadai disyaratkan
penjualanan oleh penerima gadai setelah jatuh tempo, maka hal itu dibolehkan.
Demikian pula pendapat Imam Ahmad bin Hamdal , ia membolehkan
penerima gadai menjual barang gadaian setelah jatuh tempo. Alasannya , apa
yang sah untuk di wakilkan oleh selain pemberi dan penerima gadai , maka
sah untuk diwakilkan oleh mereka berdua .
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah , apabila telah jatuh tempo , pemberi
gadai dapat mewakilkan kepada penerima gadai atau penyimpan atau pihak ketiga
untuk menjual harta gadainya .
Menurut Pasal 407 :
i. Apabila jatuh tempo , penerima gadai harus memperingatkan pemberi gadai
untuk segera melunasi utangnya
ii. Apabila pemberi gagal tidak dapat melunasi utangnya, maka harta gadai dijual
paksa melalui lelang
iii. Hasil penjualan harta gadai digunakan untuk melunasi utang, biaya
penyimpanan dan pemeliharaan yang belum dibayar serta biaya penjualan
iv. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik pemberi gadai dan kekurangan
menjadi kewajiban pemberi gadai

Menurut Pasal 408 :


i. Jika pemberi gadai tidak diketahui keberadaanya , maka penerima gadai boleh
mengajukan kepada pengadilan agar pengadilan menetapkan bahwa penerima
gadai boleh menjual harta gadai untuk melunasi utang pemberi gadai.

3) Risiko tak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi).


4) Risiko penurunan nilai asset yang ditahan atau rusak.

G. Ketentuan dan Mekanisme Pegadaian Syariah

I. Ketentuan Hukum Gadai Syariah

11
Payung hukum gadai syariah dalam hal pemenuhan prinsip-prinsip syariah
berpegang pada Fatwa DSN MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni
2002 tentang rahn yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan
barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan, dan Fatwa DSN
MUI No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai emas. DSN MUI juga
menerbitkan Fatwa No. 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily. Rahn Tasjily
disebut juga dengan rahn ta’mini, rahn rasmi, atau rahn hukmi adalah jaminan
dalam bentuk barang atas utang, dengan kesepakatan bahwa yang diserahkan
kepada penerima jaminan (murhin) hanya bukti sah kepemilikannya, sedangkan
fisik barang jaminan tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan dan
pemanfaatan pemberi jaminan (rahin).
Rahn disyariatkan dalam Islam. Allah Swt. Berfirman (QS.Al-Baqarah:283)
“Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sementara
kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
Aisyah ra. menuturkan: “Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam pernah
membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau
mengagunkan baju besinya.” (HR Bukhari dan Muslim)

II. Mekanisme Operasional Pegadaian Syariah


Mekanisme operasional pegadaian syariah melalui akad rahn nasabah
menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian melakukan penaksiran
terhadap barang yang akan digadaikan, setelah itu pegadaian menyimpan dan
merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh pegadaian. Akibat yang timbul
dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai
investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan, dan keseluruhan proses
kegiatannya. Atas dasar ini dibenerkan bagi pegadaian mengenakan biaya sewa
kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakatai oleh kedua belah pihak.
Pegadaian syariah akan memperoleh keuntungan hanya dari biaya sewa tempat
yang dipungut bukan tambahan berupa bunga yang diperhitungkan dari uang
pinjaman. Maka yang membedakan dengan pegadaian konvensional ialah
pegadaian konvensional dikenakan bunga, yang biasa disebut jasa uang,
sedangkan di syariah dikenakan jasa penitipan.

12
H. Produk Pegadaian Syariah
1) Berikut pembiayaan berbasis syariah di Pegadaian Syariah, Lini Pembiayaan :
a) Rahn : Melayani skema pinjaman untuk memenuhi kebetuhan dana bagi
masyarakat dengan sistem sesuai syariah. Prosesnya cepat hanya dalam waktu
15 menit dana cair dan aman penyimpanan. Jaminan berupa barang perhiasan,
elektronik, atau kendaraan bermotor. Persyaratannya ialah fotocopy KTP atau
identitas resmi lainnya, menyerahkan barang jaminan, dan untuk kendaraan
bermotor membawa BPKP dan STNK asli. Tanpa bunga, hanya dibebani biaya
ijarah (jasa simpan) seperti berikut :
Pembiayaan Rahn (Gadai Syariah)
Marhun Bih Tarif Ijarah Lama
Golongan Pinjaman
Min Max Emas Non-Emas
(hari)
0.450% x 0.450% x
A 50.000 500.000 Taksiran Taksiran 1 s.d. 120
0.710% x 0.720% x
B1 500.001 1.000.000 Taksiran Taksiran 1 s.d. 120
0.710% x 0.720% x
B2 1.000.001 2.500.000 Taksiran Taksiran 1 s.d. 120
0.710% x 0.720% x
B3 2.500.001 5.000.000 Taksiran Taksiran 1 s.d. 120
0.710% x 0.720% x
C1 5.000.001 10.000.000 Taksiran Taksiran 1 s.d. 120
0.710% x 0.720% x
C2 10.000.001 15.000.000 Taksiran Taksiran 1 s.d. 120
0.710% x 0.720% x
C3 15.000.001 20.000.000 Taksiran Taksiran 1 s.d. 120
0.620% x 0.650% x
D 20.000.001 1.000.000.000 Taksiran Taksiran 1 s.d. 120

b) Arrum (Untuk Usaha Mikro/Kecil) : Melayani skema pinjaman berprinsip syariah


bagi para pengusaha mikro dan kecil untuk keperluan pengembangan usaha
melalui sistem pengembalian secara angsuran, pilihan jangka waktu pinjaman
dari 12, 18, 24, 36 bulan. Biasanya dengan jaminan BPKB dan emas. Persyaratan
produk ini antara lain memiliki usaha yang memenuhi kriteria kelayakan serta
telah berjalan 1 (satu) tahun, fotocopy KTP dan kartu keluarga, dan menyerahkan
dokumen kepemilikan kendaraan bermotor (BPKP asli, Fotocopy STNK, dan
faktur pembelian).
Pembiayaan Mikro
Uang Pinjaman/Marhun Bih Tarif Sewa Modal/Ijarah Lama
Produk Pinjaman
Min Max Emas Non-Emas (bulan)

13
Rp. 950.00 x
ARRUM-EMAS 150.000.000 (Taksiran/Rp. -
20.000.000
100.000) 12,18,24,36
Rp. 700.00 x
ARRUM-NON EMAS 50.000.000 - (Taksiran/Rp.
3.000.000
100.000) 12,18,24,36
KRASIDA 250.000.000 1.25% x UP -
1.000.000 06-12
250.000.000 1.30% x UP -
1.000.000 13-24
250.000.000 1.40% x UP -
1.000.000 25-36
KREASI 200.000.000 1.00% x UP -
1.000.000 12,18,24,36

c) Amanah : Pembiayaan amanah dari pegadaian syariah adalah pembiayaan


berprinsip syariah kepada pegawai negeri sipil dan karyawan swasta untuk
memiliki motor atau mobil dengan cara angsuran. Persyaratan produk ini adalah
pegawai tetap suatu instansi pemerintah/swasta minimal telah bekerja selama 2
tahun, melampirkan kelengkapan berupa fotocopy KTP (suami/istri), fotocopy
kartu keluarga, fotocopy SK pengangkatan sebagai pegawai/karyawan tetap,
rekomendasi atasan langsung-slip gaji 2 bulan terakhir, mengisi dan
menandatangani form aplikasi Amanah, serta membayar uang muka yang
disepakati (minimal 20%) dan menandatangani akad Amanah.

2) Lini bisnis perdagangan PT Pegadaian berbasis layanan jual dan titip emas :
a. Mulia adalah layanan penjualan emas batangan kepada masyarakat secara tunai
atau angsuran dengan proses mudah dan jangka waktu yang fleksibel. Mulia dapat
menjadi alternatif pilihan investasi yang aman untuk mewujudkan kebutuhan
masa depan, seperti menunaikan ibadah haji, mempersiapkan biaya pendidikan
anak, memiliki rumah, serta kendaraan pribadi.
b. Tabungan Emas adalah layanan pembelian dan penjualan emas dengan fasilitas
titipan dengan harga yang terjangkau. Layanan ini memberikan kemudahan
kepada masyarakat untuk berinvestasi emas.
c. Konsinyasi Emas adalah layanan titip jual emas batangan di pegadaian sehingga
menjadikan investasi emas milik nasabah lebih aman karena disimpan di
pegadaian. Keuntungan dari hasil penjualan emas batangan diberikan kepada
nasabah, oleh sebab itu juga emas yang dimiliki lebih produktif.

3) Lini bisnis ketiga, yaknik aneka jasa yang menawarkan jasa keuangan , seperti :

14
A. Kucica : Pegadaian remittance adalah layanan pengiriman dan penerimaan uang
dari dalam dan luar negeri dengan biaya kompetitif, bekerja sama dengan
beberapa remiten berskala nasional dan internasional, seperti Western Unicorn,
Telkom Delima, BNI Smart Remittance, dan Mandiri Remittance.
B. Multi Pembayaran Online (MPO) melayani pembayaran berbagai tagihan, seperti
listrik, telepon/pulsa ponsel, air minum, pembelian tiket kereta api, dan lain
sebagainya. Layanan MPO merupakan solusi pembayaran cepat yang memberikan
kemudahan kepada nasabah dalam bertransaksi tanpa harus memiliki rekening di
bank.
C. Mitra Pegadaian Online (Mitra MPO atau Pegadaian Mobile) adalah program
kemitraan dari pegadaian di mana nasabah pegadaian bisa mendapatkan peluang
bisnis electronic payment langsung dari smartphone yang dimiliki. Fitur produk
yang ditawarkan seperti pembelian pulsa, pembelian voucher gam online, tagihan
Telkom, dan pembayaran tagihan PDAM.

I. Persamaan dan Perbedaaan Pegadaian Konvensional dengan Pegadaian


Syariah

Persamaan Perbedaan
a) Hak gadai berlaku atas pinjaman a) Rahn dalam hukum Islam dilakukan
uang secara suka rela atas dasar tolong
b) Adanya agunan sebagai jaminan
menolong tanpa mencari keuntungan
utang
dengan cara menarik bunga atau
c) Tidak boleh mengambil manfaat
sewa modal, sedangkan
barang yang digadaikan
d) Biaya barang yang digadaikan konvensional menarik keuntungan.
b) Dalam hukum perdata hak gadai
ditanggung oleh para pemberi gadai
e) Apabila batas waktu pinjaman uang hanya berlaku pada benda yang
habis , barang yang digadaikan boleh bergerak, sedangkan dalam hukum
dijual atau dilelang Islam Rahn berlaku pada seluruh
benda , baik benda/harta bergerak
maupun tidak bergerak
c) Dalam rahn tidak ada istilah bunga
d) Gadai menurut hukum perdata
dilaksanakan melalui suatu Lembaga
yang di Indonesia disebut Perum
Pegadaian , rahn menurut hukum
Islam dapat dilaksanakan tanpa

15
melalui suatu lembaga

Secara umum perbedaan pegadaian syariah dengan pegadaian konvensional , dapat dilihat
berikut ini :

No Pegadaian Syariah Pegadaian Konvensional

Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah


1
Nomor 103 tahun 2000 Nomor 103 tahun 2000
Biaya administrasi menurut ketetapan Biaya administrasi berdasarkan persentasi
2
berdasarkan golongan barang golongan barang
Bilamana lama pengembalian pinjaman lebih Bilamana lama pengembalian pinjaman lebih
3 dari akad, barang gadai nasabah dijual dari pinjaman barang gadai dilelang kepada
kepada masyarakat masyarakat
Jasa simpanan dihitung dengan konstanta x Sewa modal dihitung dengan Persentase x
4
taksiran Uang Pinjaman (UP)

5 Maksimal Jangka waktu 3 bulan Maksimal Jangka waktu 4 bulan

Uang kelebihan (UK) = Hasil Penjualan - (uang Uang Kelebihan (UK) = Hasil Lelang - (uang
6
pinjaman + jasa penitipan + biaya pemjualan) pinjaman + biaya sewa + biaya lelang)

16
Bila dalam satu tahun uang kelebihan tidak
Bila dalam satu tahun uang kelebihan tidak
7 diambil, uang kelebihan tersebut menjadi milik
diambil, diserahkan kepada lembaga ZIS
pegadaian

8 1 hari dihitung 5 hari 1 hari dihitung 15 hari

Tidak mengenakan bunga pada nasabah yang


Mengenakan bunga (sewa modal) pada
9 mendapatkan pinjaman, melainkan jasa
nasabah yang mendapatkan pinjaman
penitipan
Akad yg dijalankan yaitu Akad Rahn dan Perjanjian gadai, mengacu pada KUH Perdata
10
Ijarah ayat 1150 dan 1160

Lalu perbedaan produk pegadaian syariah dan pegadaian konvensional terletak pada Lini
Pembiayan , dapat dilihat di tabel berikut ini :
Produk Pegadaian
No Produk Pegadaian Konvensional
Syariah
1 Rahn Kredit Cepat Aman (KCA)

2 Amanah Krasida

3 Arrum Kreasi

4 Arrum Haji Kredit Multi Guna (Kagum)

J. Kendala dan Strategi Pengembangan Pegadaian Syariah


Ada beberapa factor yang menyebabkan terjadinya kendala pengembangan pegadaian
Syariah, diantaranya :
1. Pegadaian Syariah relative baru sebagai sistem keuangan , sehingga pegadaian
Syariah kurang popular dikalanga masyarakat. Oleh karenanya ,menjadi tantangan
tersendiri bagi pegadaian syariah untuk menyosialisasikan syariahnya
2. Masyarakat kecil – Masyarakat yang dominan menggunakan jasa pegadaian-kurang
familiar dengan produk rahn di Lembaga keuangan Syariah
3. Kebijakan pemerintah tentang gadai Syariah belum sepenuhnya akomodatif terhadap
keberadaan pegadaian Syariah

Adapun usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk pengembangan Syariah antara lain :
1. Usaha untuk membentuk usaha Pegadaian terus dilakukan sebagai usaha untuk
menyosialisasikan praktik ekonomi Syariah di masyarakat menengah ke bawah yang
mengalami kesulitan dalam pendanaan. Maka perlu kerjasama dari berbagai pihak
untuk menentukan langkah-langkah dalam pembentukan Lembaga pegadaian Syariah
yang lebih baik ,

17
2. Masyarakat akan lebih memilih pegadaian disbanding bank disaat membutuhkan dana
karena prosedur untuk mendapatkan dana relative lebih mudah dibanding dengan
meminjam dana langsung ke bank . Maka cukup alas an bagi pegadaian Syariah untuk
eksis di tengah-tengah masyarakat yang membutuhkan bantuan
3. Pegadaian Syariah bukan sebagai pesaing yang mengakibatkan kerugian bagi
Lembaga keuangan Syariah lainnya , dan bukan menjadi alas an untuk menghambat
berdirinya pegadaian Syariah. Dengan keberadaan pegadaian Syariah malah akan
menambah pilihan bagi masyarakat untuk mendapatkan dana dengan mudah, selain
itu akan meningkatkan tersosialisasikannya keberadaan Lembaga keuangan Syariah
4. Pemerintah perlu mengakomodasi keberadaan pegadaian Syariah ini dengan membuat
Peraturan Pemerintah (PP) atau undang-undang (UU) tentang pegadaian Syariah atau
memberikan alternative keberadaan biro pegadaian Syariah dalam Perum Pegadaian
Syariah

Bila beberapa kendala tersebut bisa dihilangkan , dan strategi pengembangan tersebut
bisa dilaksanakan, maka menurut kami pegadaian Syariah di Indonesia akan lebih
maju.
KESIMPULAN

Pegadaian syariah adalah pegadaian yang dalam menjalankan operasionalnya


berpegang pada prinsip syariah. Pegadaian syariah juga dikenal dengan rahn, dalam
pengoperasiannya menggunakan dua metode, yaitu Ujrah dan Mudharabah (bagi hasil).
Namun metode Ujrah hingga saat ini masih mendominasi.
Pegadaian syariah dilakukan dengan dua akad yaitu akad rahn dan akad ijarah. Rahn
yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman
untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini, pegadaian
menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah. Sedangkan Akad ijarah
yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan/atau jasa melalui pembayaran upah
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui
akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang
bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.
Usaha pegadaian pada prinsipnya menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan
masyarakat umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan
yang baik. Untuk jenis barang yang dapat diterima sebagai barang jaminan pada
prinsipnya adalah barang bergerak.

18

Anda mungkin juga menyukai