Anda di halaman 1dari 57

REKONSTRUKSI HUKUM JAMINAN PADA LEMBAGA

PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

PROPOSAL

OLEH:
RATIH AGUSTIN WULANDARI
NIM: 2130112001

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, tiada hentinya kalimat pujian dan syukur ini terbesit dalam
pikiran, tersirat dalam hati dan terucap dalam lisan. Rasanya tak pernah cukup untuk
penulis ungkapkan rasa itu, karena berkat rahmat dan karunia Allah akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penulisan proposal disertasi dengan judul “Rekonstruksi
Hukum Jaminan Pada Lembaga Perbankan Syariah Di Indonesia”. Seiring
dengan itu ucapan shalawat serta salam senantiasa penulis ucapkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menanamkan Iman dan Islam. “Assalamualaika ya
Rasulallah” Semoga kita mendapatkan syafa’at beliau kelak di yaumil akhir, Aamiin.
Penulis menyadari bahwa proposal disertasi ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu penulis berharap masukan serta saran yang bersifat
membangun dari tim promotor dan tim penguji. Penulis berharap proposal ini dapat
memberikan manfaat, berguna, membuka wawasan dan menambah ilmu
pengetahuan bagi masyarakat secara umum dan mahasiswa ilmu hukum pada
khususnya.

Padang, 17 Oktober 2022


Penulis

Ratih Agustin Wulandari

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................ i

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... ii

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 18

C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 19

D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 19

E. Keaslian Penelitian ................................................................................. 20

F. Kerangka Teoritis dan Konseptual ......................................................... 21

G. Metode Penelitian ................................................................................... 41

H. Sistematika Penulisan ............................................................................. 46

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 49

ii
REKONSTRUKSI HUKUM JAMINAN PADA LEMBAGA

PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

A. Latar belakang

Pergerakan ekonomi Islam di tataran dunia internasional semakin

meningkat. Sebagaimana diketahui, gerakan perekonomian Islam ini telah

efektif membetuk mekanisme pasar global sistem keuangan syariah, khususnya

industri bisnis perbankan syariah. Kegiatan perbankan sudah dimulai sejak

zaman Rasulullah meskipun tidak secara keseluruhan, dimana kegiatan

muamalah seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan

konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, yang

dilakukan dengan akad-akad yang sesuai syariah telah lazim dilakukan umat

Islam.1

Perbankan syariah dalam prosedur dan operasionalnya berdasarkan prinsip

syariah Islam yang berpedoman utama kepada Al Quran dan Hadist. 2 Islam

sebagai agama merupakan konsep yang mengatur kehidupan manusia secara

komprehensif dan universal baik dalam hubungan dengan Sang Pencipta

(HabluminAllah) maupun dalam hubungan sesama manusia

(Hablumminannas).3 Perbankan syariah menjunjung tinggi asas-asas perbankan

1
Abdul Muhith, 2012, “Sejarah Perbankan Syariah”, Attanwir Jurnal Kajian Keislaman dan
Pendidikan, Volume 01, Nomor 02, September 2012, hal 71
2 Warkum Sumitro, 2004, Asas – asas Perbankan Islam dan Lembaga – lembaga Terkait

(BAMUI, Takaful dan Pasar Modal) di Indonesia, cetakan keempat, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta: hal 6.
3
Zainuddin Ali, 2010, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta: hal 20-21

1
yariah yaitu4 keadilan5, keseimbangan6 dan kemaslahatan7 dengan kegiatan

usaha yang tidak mengandung unsur-unsur seperti :8riba9, maisir,10 gharar,11

haram12 dan zalim.13

Asas-asas perbankan syariah selaras dengan ekonomi Pancasila yang

memiliki tujuan mulia, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui

pemerataan pendapatan dan pembangunan serta memacu pertumbuhan ekonomi

Indonesia dengan tetap memperhatikan stabilitas keuangan. Serta sesuai dengan

tujuan pembangunan nasional berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945

yaitu mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 14

Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23,

dan Pasal 33 menjadi dasar lahirnya berbagai regulasi terkait perbankan syariah.

4
Zainuddin Ali, ibid, hal 21
5
Ibid, Keadilan (adl), yaitu menempatkan sesuat yang hanya pada tempatnya dan memberikan
sesuatu hanya pada bank yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai porsinya, lihat pada Ibid,
Zainuddin Ali
6
Keseimbangan (tawazun) yaitu keseimbangan yang meliputi aspek material dan spiritual , aspek
privat dan publik, sektor keuangan, dan sektor riil, bisnis dan sosial, dan keseimbangan aspek pemanfaatan
dan kelestarian, lihat pada Ibid, Zainuddin Ali
7
Kemaslahatan (maslahah), yaitu merupakan segala bentuk kebaikan yang berdimensi duniawi dan
ukhrawi, material dan spiritual serta individual dan kolektif serta harus memenuhi 3 unsur yakni kepatuhan
syariah (halal) , bermanfaat dan membawa kebaikan dalam semua aspek secara keseluruhan dan tidak
menimbulkan kmudaratan, lihat pada Ibid, Zainuddin Ali
8 Rachmadi Usman, 2012, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta : hal 58
9
Ibid, Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi
pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fardhl), atau
dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas
mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah).
10
Ibid, Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti
dan bersifat untung-untungan.
11
Ibid,Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah.
12
Ibid, Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah;
13
Ibid, Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya
14 Abdul Muhith, ibid hal 78

2
Antara lain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Tentang Perubahan

Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya

disebut Undang-undang Perbankan). Undang-undang ini menjadi awal

berlakunya dua sistem perbankan ( dual banking system ), yang mengakui

eksistensi Bank Syariah di Indonesia. Perbankan syariah di Indonesia keberadaanya

semakin dipertegas dengan lahirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan

Syariah) selang 10 tahun kemudiam.15

Menurut Undang-undang Perbankan Syariah, bank syariah adalah bank

yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut

jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat

Syariah. Sedangkan menurut Sutan Remy Shahdeiny, Bank Syariah adalah

lembaga yang berfungsi sebagai intermediasi yaitu mengerahkan dana dari

masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat

yang membutuhkan dalam bentuk pembiayaan tanpa berdasarkan prinsip

bunga, melainkan berdasarkan prinsip syariah.16

Perbankan konvensional adalah bank yang menjalankan kegiatan

usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank

Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yang menetapkan

bunga sebagai harga dan menerapkan berbagai biaya-biaya dalam nominal

atau persentase tertentu.17 Hal lain yang membedakan perbankan syariah

15
Muhammad Syafii Antonio, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press,
Jakarta, hal 26.
16
Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Perbankan Islam, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal. 1.
17
Kasmir, 2010, Dasar-Dasar Perbankan, Rajawali Pers, Jakarta, hal 24.

3
dengan perbankan konvensional yaitu terkait cara pandang terhadap harta.18

Pengertian Perbankan Konvensional dan Perbankan Syariah diatas

menjelaskan perbedaan keduanya yaitu perbankan syariah melakukan

investasi-investasi sesuai ketentuan Islam adalah sesuatu yang dianggap halal,

berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa, profit dan falah19 oriented,

hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan serta penghimpung dan

penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah,

sedangkan perbankan konvensional melakukan investasi-investasi tidak

berdasarkan ketentuan agama, memakai perangkat bunga, profit orinted,

hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur dan kreditur serta

tidak adanya dewan pengawas seperti di perbankan syariah.20

Antara perbankan konvensional dengan perbankan syariah selain

mempunyai perbedaan juga mempunyai persamaan yaitu dalam sisi teknis

penerimaan uang, mekanisme transfer dan teknologi komputer yang

digunakan.21 Perbedaan dan persamaan tersebut menunjukkan kelebihan dan

kelemahan dari perbankan konvensional dan perbankan Syariah, yang dapat

dilihat dari tabel di bawah ini22 :

18
Fathurrahman Djamil, 2012, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Di Lembaga
Keuangan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta: hal 5, dimana dalam bukunya dijelaskan dalam pandangan
Islam pemilik harta yang hakiki adalah Allah SWT yang juga sebagai pencipta alam semesta ini.
Manusia dibenarkan memiliki harta dengan cara-cara yang halal dan dizinkan secara syariah.
19
Falah berarti mencari keuntungan di dunia dan kebahagiaan di akhirat
20
Muhammad Syafii Antonio, loc.cit,hal, 34
21
Imamudin Yuliadi, 2001, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar Cetakan 1, LPPI, Yogyakarta:
hal 127
22
Edy Wibowo dan Untung Hendi Widodo, 2005, Mengapa Memilih Bank Syariah?,Ghalia
Indonesia, Bogor: hal, 47-45

4
Tabel. 1
Kelebihan dan Kelemahan Perbankan Konvensional dan Perbankan Syariah

Bank Kelebihan Kelemahan


Konvensional 1. Metode bunga telah lama dikenal 1. Faktor manajemen,
oleh masyarakat, bank yang ditandai oleh
konvensional lebih mudah inkonsisatensi
menarik nasabah penyimpanan penyaluran kredit,
dana sehingga lebih mudah campur tangan pemilik
mendapatkan modal. yang berlebihan, dan
2. Bank konvensional lebih kreatif manajer yang tidak
dalam menciptakan produk- professional.
produk dengan metode yang telah 2. Kredit bermasalah,
teruji dan berpengalaman, bank karena prosedur
konvensional lebih mengetahui pemberian kredit tidak
permainan pasar perbankan dan dipatuhi dan
mencari celah-celah baru dalam penumpukan
mengupayakan ekspansinya. pemberian kredit pada
3. Nasabah penyimpan dana yang grup sendiri dan
telah terbiasa dengan metode kalangan tertentu.
bunga cenderung memilih bank 3. Praktik curang, seperti
konvensional dari pada beralih ke bank dalam bank dan
metode bagi hasil yang relatif transaksi fiktif.
masih baru. 4. Praktik spekulasi yang
4. Dengan banyaknya bank-bank terlalu ambisius dan
konvensional, persaingan antar tanpa perhitungan.
bank lebih menggairahkan yang
dapat memacu manajemen untuk
bekerja lebih baik.
5. Dukungan peraturan perundang-
undangan dan kebijakan
pemerintah yang lebih mapan,
sehingga bank dapat bergerak
lebih pasti.
Syariah 1. Mekanisme Bank Syariah 1. Terlalu berprasangka
didasarkan pada prinsip efisiensi, baik kepada semua
keadilan, dan kebersamaan. nasabah dan berasumsi
2. Tidak mudah dipengaruhi gejolak bahwa semua orang
moneter. Penentuan harga bagi terlihat jujur dan dapat
bank bagi hasil didasarkan pada dipercaya, sehingga
kesepakatan antara bank dengan rawan terhadap itikad
nasabah penyimpanan dana sesuai baik.
dengan jenis simpanan dan jangka 2. Metode bagi hasil
waktunya, yang akan menentukan memerlukan
besar kecilnya porsi bagi hasil perhitungan rumit,
yang akan diterima penyimpan. sehinga resiko salah

5
3. Bank Syariah lebih mandiri dalam hitung lebih besar dari
penentuan kebijakan bagi hasilnya pada bank
4. Bank Syariah relatif lebih mudah konvensioanal.
merespon kebijakan pemerintah 3. Kekeliruan penilaian
5. Terhindar dari praktik money proyek berakibat lebih
laundering. besar dari pada bank
konvensional.
4. Produk-produk Bank
Syariah belum biasa
mengakomodasi
kebutuhan masyarakat
dan kurang kompetitif,
karena manajemen
Bank Syariah
cenderung mengadopsi
produk perbankan
konvensional yang
disyariahkan, dengan
variasi produk yang
terbatas.
5. Pemahaman
masyarakat yang
kurang tepat terhadap
kegiatan operasional
Bank Syariah.

Kelemahan perbankan syariah pada tabel diatas yang menjadi polemik

saat ini adalah produk-produk perbankan syariah belum biasa mengakomodasi

kebutuhan masyarakat dan kurang kompetitif, karena manajemen perbankan

cenderung mengadopsi produk perbankan konvensional yang disyariahkan,

dengan variasi produk yang terbatas. Terkait kelemahan ini permasalahan yang

menjadi debat dan pembahasan saat ini adalah terkait hukum jaminan pada

perbankan syariah.

Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu

zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara

6
kreditur menjamin pemenuhan tagihan-tagihannya, di samping tanggung jawab

umum debitur atas barang-barangnya. Salim H.S mendefinisikan jaminan

adalah sesuatu yang diberikan oleh debitur kepada kreditur untuk menimbulkan

keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan

uang yang timbul dari suatu perikatan.23 Istilah jaminan juga dikenal dengan

agunan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jaminan maupun agunan

memiliki persamaan makna yakni “Tanggungan”.24

Lembaga jaminan yang ada pada perbankan konvensional antara lain :25

1. Gadai, merupakan lebaga jaminan pertama. Landasan hukum

pengaturannya dalam Burgelijk Wetboek atau KUHPerdata pasal 1150

– 1160. 26

2. Hipotek, hanya digunakan untuk mengikat jaminan utang berupa kapal

dengan berat 20 m3 atau lebih sesuai dengan ketentuan Pasal 314 KUHP

dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran dengan

mengacu pada ketentuan hipotek yang tertulis dalam Pasal 1162

23
Salim HS, 2012, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, RajaGrafindo Persada,
Jakarta: hal 21–22.
24
Selain istilah jaminan, dikenal juga dengan agunan. Istilah agunan dapat dilihat dalam pasal
1 angka 23 Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 7
tahun 1992 tentang perbankan. Agunan adalah “Jaminan tambahan diserakan nasabah debitur kepada
bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”.
Pengertian jaminan terdapat dalam SK Direksi Bank No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 februari 1991,
yaitu: “suatu keyakinan kreditur bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit seusai yang
diperjanjikan”.
25
Ibid, hal 21-25
26
Pada Pasl 1150-1160 KUH Perdata dapat disimpulkan Gadai merupakan salah satu lembaga
jaminan kebendaan yang diatur dalam KUH Perdata selain hipotek yang merupakan lembaga jaminan
tertua bersama dengan hipotek di Indonesia. Dilihat dari lahirnya undang-undang tentang
penjaminan, gadai merupakan lembaga jaminan tertua di Indonesia bersama dengan hipotek. Pasal
1150 KUHPerdata menjelaskan bahwa gadai lahir setelah penyerahan kekuasaan atas benda gadai,
yaitu benda bergerak dari debitur (jaminan) kepada kreditur (jaminan) dan kreditur adalah pemegang
hak istimewa dari kreditur lain, jika debitur wanprestasi, ia dapat mengambil pelunasan dan hasil
penjualan benda tersebut.

7
KUHPerdata27.

3. Hak Tanggungan, lembaga jaminan hak tanggungan dasar hukumnya

adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggugan

(selanjutnya disebut Undang-undang Hak Tanggungan) dimana tanah

dan benda-benda yang berhubungan dengan tanah menjadi objek

pengikatannya.

4. Fidusia, lembaga jaminan fidusia dasar hukumnya adalah Undang-

undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya

disebut Undang-undang Fidusia) dimana benda bergerak dan

berwujud.28

5. Resi gudang adalah lembaga jaminan yang dasar hukumnya adalah

Undang-undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang. 29

27
Hipotek mempunyai kesamaan dengan gadai dimana dasar hukumnya KUH Perdata dengan
tanggungan benda tidak bergerak yang ditentukan undang-undang. Namun sejak lahirnya Undang-
undang Hak Tanggungan, hipotek tidak berlaku lagi untuk pengikatan tanah, lihat pada I Made
Soewandi, 2005, Balang Lelang:Kewenangan Balai Lelang dalam Penjualan Jaminan Kredit Macet
, Yayasan Gloria, Yogyakarta: hal 14
28
Jaminan fidusia merupakan produk konvensional yang diterapkan untuk memberikan
perlindungan bagi kreditur pada khususnya. Konsep fidusia berbeda dengan gadai dimana gadai
menyerahkan benda bergerak sebagai jaminan kepada penerima jaminan (kreditur) sedangkan fidusia
hanya menyerahkan bukti kepemilikan yang sah seperti BPKB, lihat pada Mezi Okta Yolanda, dkk,
Strength of Fiduciary Deed in the Implementation of Bad Credit Execution by Financial Institutions,
International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, Vo. 7 No. 05, Juni 2020, hal
595
29
Merupakan lembaga jaminan yang paling muda adalah hak jaminan atas resi gudang.
Undang-undang Sistem Resi Gudang menjelaskan bahwa bahwa hak jaminan atas resi gudang yang
selanjutnya disebut hak jaminan adalah hak jaminan yang dibebankan pada resi gudang untuk
pelunasan utang yang memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan
terhadap kreditor yang lain. Resi gudang yang dibebani hak tanggungan merupakan dokumen bukti
kepemilikan suatu barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Resi
gudang adalah surat berharga yang mewakili barang yang disimpan di gudang. Sebagai surat
berharga, resi gudang juga dapat dipindahtangankan atau diperdagangkan di pasar (bursa) yang
terorganisir atau di luar bursa oleh pemegang resi gudang kepada pihak ketiga. Berdasarkan Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 26/M-DAD/PER/6/2007 tentang Barang Yang
Dapat Disimpan di Gudang Dalam Pelaksanaan Sistem Resi Gudang yaitu berupa gabah , beras,

8
Jaminan dalam praktik lembaga keuangan syariah berlandaskan pada

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor : 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn

Tasjily30 diperbolehkan adanya jaminan barang. Dalam perkembangannya,

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor : 92/DSNMUI/IV/2014 tentang

Pembiayaan yang disertai Rahn (Al-Tamwil Al-Mautsuq Bi Al-Rahn)

menegaskan adanya kebolehan penggunana agunan pada

pembiayaan/penyaluran dana pada lembaga keuangan syariah.

Pembiayaan pada perbankan syariah berdasarkan Pasal 21 huruf b

Undang-undang Perbankan Syariah, terdiri dari pembiayaan bagi hasil

berdasarkan akad mudharabah31 atau musyarakah32, pembiayaan berdasarkan

jagung, kopi, kakao, lada, karet dan rumput laut. Liha pada Irma Devita Purnamasari, 2014, Kiat-
kita Cerdas, mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan Perbankan, Mizan Pustaka,
Bandung: hal 139
30
Rahn tasjily adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang tetapi barang jaminan tersebut
(marhum) tetap berada dalam penguasaan (pemanfaatan) rahin atau nasabah penerima fasilitas
(Debitur) seabgai pihak yang menyerahkan barang jaminan, dan bukti kepemilikan barang jaminan
tersebut diserahkan kepada murtahin (penerima barang jaminan) atau kreditur. Dalam fatwa ini
disimpulkan beberapa kesimpulan menurut Wangsawidjaja Z, dalam kaitan dengan jaminan pokok
merupakan keyakinan bank terhadap kemampuan nasabah; agunan adalah jaminan tambahan, tetapi
tidak identik dengan agunan tambahan, fatwa ini menegaskan barang dapat dijadikan jaminan utang,
hanya saja jenis barang dan bentuk pengikat barang sebagai jaminan hutang tidak digambarkan
terperinci lihat pada Wangsawidjaja Z, 2012, Pembiayaan Bank Syariah, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta: hal. 298.
31Mudharabah adalah sebuah kontrak dimana sang pemilik modal memberikan modal kepada

seorang pengelola untuk menjalankan perniagaan atas nama mereka berdua dan keuntungan dibagi
berdasarkan kepada sebuah formula tertentu yang disepakati dilihat pada Agus Triyanta, 2016, Hukum
Perbankan Syariah, Setara Press, Malang: hal 53
32 Musyarakah adalah sebuah kontrak antara sekelompok individu yang berbagi dalam modal

dan keuntungan, lihat pada Agus Triyanta, ibid, hal 54

9
akad murabahah33, salam34, atau istishna35, pembiayaan berdasarkan akad

qardh36, pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada

nasabah berdasarkan akad ijarah37 atau sewa beli dalam bentuk ijarah

muntahiya bittamlik dan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah38.

Pembiayaan pada perbankan syariah dalam prakteknya telah

mewajibkan bagi nasabah penerima fasilitas bank syariah memberikan

jaminan, maka pada dasarnya Dewan Syariah Nasional dan Majelis Ulama

Indonesia sebagai sole interpretor of islamic economy di Indonesia saat ini

telah menafsirkan kebolehan praktik tersebut berdasarkan kedua fatwa yang

dikeluarkan diatas tentang Rahn Tasjily dan pembiayaan yang disertai Rahn

(Al-Tamwil Al-Mautsuq Bi Al-Rahn).39

33
Murabahah adalah salah satu kontrak jual beli yang sangat umum dalam praktik dagang
islam, ini dikenal juga sebagai jual beli dengan penambahan biaya, kontrak ini didefinisikan dengan
jual beli dimana objek yang dijual dengan harga sebagaimana harga belinya ditambah dengan profit
margin yang dinyatakan, lihat pada Agus Triyanta, ibid, hal 55
34
As-Salam atau disebut juga As-Salaf yaitu istilah dalam bahasa arab yang mengandung
makna yaitu penyerahan. Salam merupakan transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan
belum ada. Sedangkan menurut terminologi pengertian al-salam adalah transaksi jual beli yang
pembayaranya dilakukan di muka secara tunai sementara barangya diserahkan di kemudian hari, lihat
pada Atang Abd Hakim, 20111, Fiqih Perbankan Syari’ah Tranformasi Fiqih Muamalah Ke Dalam
Peraturan Perundang-Undangan, Refika Aditama, Bandung: hal 230-232.
35
Istishna‟ adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antarav pihak pemesan dengan pihak penjual, lihat pada Mardani,
2015, Hukum Sistem Ekonomi Syariah, Rajawali Pers, Jakarta: hal 178
36
Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali
atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbala. Dalam fiqh klasik al-qardh
dikategorikan dalam akad taawuniah yaitu akad yang berdasarkan prinsip tolong menolong, lihat pada
Abdul Ghofur Anshori, 2009, Perbankan Syariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarata: hal 146
37
Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu
jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa lihat pada Abdul Ghofur
Anshori, ibid, hal 120
38 Hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib

menanggungnya atau akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain, lihat pada Abdul
Ghofur Anshori, ibid, hal 153
39
Ifa Latifa Fitriani, 2107, Jaminan Dan Agunan Dalam Pembiayaan Bank Syariah Dan Kredit
Bank Konvensional, Jurnal Hukum & Pembangunan Volume 47 Nomor. 1, hal 144

10
Ketentuan pengikatan jaminan / agunan dalam praktek perbankan

syariah saat ini masih menggunakan ketentuan yang sama dengan yang

dipraktikan dalam bank konvensional. Hal ini dikarenakan belum adanya

ketentuan khusus atau fatwa Dewan Syariah Nasional yang mengatur akan hal

tersebut. Jika merujuk pada pemaknaan Undang-undang Nomor 21 Tahun

2008 tetang Perbankan Syariah sebagai lex specialis derogat legi generalis,

maka setiap peraturan lain yang belum diatur dalam undang-undang

perbankan syariah juga berlaku bagi praktik perbankan di Indonesia. Maka,

ketentuan penggolangan jaminan40 hingga pengikatan jaminan41 dalam bank

syariah juga menggunakan dasar hukum perundang-undangan yang berlaku di

bank konvensional.

Perbankan konvensional dalam pengikatan jaminan menerapkan

lembaga hukum barat, beberapa diantaranya merupakan hukum warisan dari

pemerintah Hindia Belanda seperti gadai dan hipotek sebagaimana tercantum

dalam Burgelijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(KUHPerdata). Mencermati peraturan perundang-undangan mengenai

40
Jaminan dalam hukum perdata di Indonesia terbagi atas dua golongan, yaitu jaminan
perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan ini menurut sifatnya terbagi atas jaminan
benda berwujud (berupa benda tidak bergerak dan bergerak), dan jaminan dengan benda tak berwujud
(berupa hak tagih/cessie). Lihat Herowati Poesoko, 2013, Dinamika Parate Ekxecutie Objek Hak
Tanggungan, Aswaja Pressindo, Yogyakarta: hal. 26-27. Jaminan yang dapat dijadikan agunan kredit
diatur dalam PBI No. 9/PBI/2007 merupakan aset sebagaimana tersebut yakni: Bangunan, Tanah,
Kendaraan Bermotor, mesin pabrik, surat berharga saham, pesawat udara/kapal. Khusus untuk emas,
bank konvensional tidak mengatur adanya penggunaan emas sebagai agunan bank, tetapi dalam bank
syariah hal ini diakui sebagaimana merujuk pada Fatwa DSN No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn
Emas, dan SE BI No.14/7/DPBS Tahun 2012.
41
Dalam hukum perdata di Indonesia, jaminan yang bersifat kebendaan dapat dilakukan
pengikatan berupa hak tanggungan untuk tanah sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan, Fidusia berdasarkan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia, lalu Gadai dan Hipotik.

11
lembaga jaminan dalam perbankan syariah, tidak semua substansi yang

terkandung dalam undang-undang tersebut dapat diikuti karena bertentangan

dengan prinsip syariah dengan mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam

muamalah, khususnya perbankan syariah, yaitu riba (transaksi riba), seperti

yang terlihat pada Undang-undang Hak Tanggungan dan Undang-undang

Fidusia dibawah ini : 42

1. Pasal 3 Ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan, menetapkan utang yang

dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang

telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu berdasarkan

perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan

utang-piutang yang bersangkutan. 43

2. Pasal 7 Huruf c Undang-undang Fidusia menetapkan Utang yang

pelunasannya dijamin dengan fidusia dapat berupa: c.utang yang pada saat

eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian ‘pokok

menimbulkan kewajiban memenuhi syarat suatu prestasi. 44Pasal 10 huruf

a undang-undang Fidusia menetapkan Jaminan fidusia meliputi hasil dari

benda yang menjadi objek jaminan fidusia.45

42
Muhammad Syarif Hidayatullah, 2017, Perbankan Syariah: Pengenalan Fundamental dan
Pengembangan Kontemporer, Dreamedia, Banjarbaru: hal 27-32
43
Penjelasan Pasal 3 Ayat (1): Utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan dapat berupa
utang yang sudah ada maupun yang belum ada tetapi sudah diperjanjikan, misalnya utang yang timbul
dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditor untuk kepentingan debitor dalam rangka pelaksanaan
bank garansi. Jumlahnya pun dapat ditentukan secara tetap di dalam perjanjian yang bersangkutan
dan dapat pula ditentukan kemudian berdasarkan cara perhitungan yang ditentukan dalam perjanjian
yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan, misalnya utang bunga atas pinjaman
pokok dan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian.
44
Penjelasan Pasal 7 Huruf c: Utang yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah utang bunga
atas pinjaman pokok dan biaya lainnya yang jumlahnya dapat ditentukan kemudian.
45
Penjelasan Pasal 10 Huruf a : Yang dimaksud dengan “hasil dari benda yang menjadi objek
jaminan fidusia” adalah segala sesuatu yang diperoleh dari benda yang dibebani jaminan fidusia.

12
Mencermati beberapa pasal dalam Undang-undang diatas aturan hukum

yang melandasi lembaga jaminan yang diterapkan pada perbankan syariah saat

ini, tidak semua pasal yang terdapat dalam undang-undang tersebut dapat

diterapkan, karena ada pasal yang bertentangan dengan prinsip syariah.

Diantaranya yaitu bunga utang, penjaminan yang termuat dalam undang-

undang tentang lembaga jaminan merupakan tindak lanjut dari perjanjian

pokok yaitu transaksi utang berbunga, mengenal adanya debitur dan kreditur,

mengenal adanya wanprestasi. Sementara perbankan syariah tidak mengenal

utang dan tidak ada wanprestasi, yang ada adalah kerjasama antara dua orang

atau lebih, dan mengenal akad dalam hal pembiayaan.46

Perjanjian utang berbunga dalam Undang-undang lembaga jaminan

sejalan dengan transaksi yang dilakukan di perbankan konvensional, karena

memang operasi bisnisnya didasarkan pada pinjaman berbunga, tetapi bagi

perbankan syariah, hal ini jelas bertentangan dengan landasan dasar

operasional perbankan syariah, yaitu prinsip syariah, karena jelas bahwa

bunga pinjaman uang adalah riba47 yang dilarang dalam hukum Islam sesuai

firman Alllah dalam surat An-Nisaa ayat 29 yang artinya :48 “Hai orang-orang

yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan

jalan yang batil....”.

46
Yuhelson, 2022, Existence of Dependent Rights Guarantee Binding Related to Financing of
Musyarakah Facilities in Islamic Banking, Webology, Volume 19, Number 1, January, 2022, hal 19
47
Riba secara lingiustik berarti tumbuh dan membesar, secara teknis riba berarti pengambilan
tembahan dari harta pokok atau modal secara batil, secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli, maupun pinjam
meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah Islam. Lihat pada Muhammad
Syafii Antonio, loc. Cit, hal 37
48
Ibid,

13
Tujuan dari penggunaan jaminan tidak lain adalah untuk mengantisipasi

jika adanya kegagalan usaha yang dikelola oleh nasabah disebabkan salah

kelola atau wanprestasi nasabah, maka modal usaha yang sudah disepakati

akan dijadikan utang dan untuk pengembalian/pelunasan utang tersebut akan

diambil dari hasil penjualan objek hak tanggungan ataupun objek fidusia. Hal

demikian atau praktik demikian dapat dikatakan tidak mencerminkan

penerapan syariah Islam secara kaffah49 dan istiqamah50.

Ini membuktikan terjadinya percampuran dua prinsip hukum yang

dilakukan oleh perbankan syariah. Jika dalam hal pengikatan jaminan

perbankan syariah dalam prakteknya masih menggunakan ketentuan yang

berlaku pada perbankan konvensional yaitu seperti menggunakan hak

tanggungan dan fidusia untuk pembiayaannya seperti akad pembiayaan

mudharabah51 dan akad muarabahah52.

49
Istilah Kâffah disebutkan dalam Al Baqarah ayat 208, menurut bahasa, artinya utuh, integral.
Adapun yang dimaksud adalah memahami dan mengikuti Islam secara utuh dan menyeluruh, tidak
sepotong atau secara parsial, lihat pada Ahsin Wijaya, 2006. Kamus Ilmu AlQur`an, Amzah, Jakarta:
hal 143
50
Istiqamah menurut bahasa berasal dari akar kata yang tersusun dari huruf qof dan mim yang
menunjukkan dua makna. Makna Pertama adalah kumpulan manusia (kaum) dan makna kedua adalah
berdiri atau tekad yang kuat. Dari makna yang kedua, istiqamah diartikan dengan I’tidal (tegak atau
lurus). Istiqamah dapat pula diartikan dengan sikap teguh pendirian dalam ketauhidan serta konsisten
dalam beramal shaleh dan lurus dalam berpegang pada perinsip keimanan atau ajaran Islam, prilaku
istiqamah tercermin dalam bentuk sejalannya perkataan yang diucapkan dengan perbuatan yang
dilaksanakan, lihat pada Jamhari, 2000, Civil Society di Masyarakat Muslim: Pengalaman Indonesia,
Studia Islamika ( Indonesian Jurnal For Islamic Student ), Volem 7 Nomor 2, hal 169
51
Pembiayaan Mudharabah sendiri adalah suatu perjanjian antara penanam dana dan pengelola
dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah
pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya di dalam suatu akad yang selanjutnya
Selain itu diwajibkannya jaminan dalam transaksi mudharabah juga terdapat dalam Fatwa Dewan
Syariah Nasional Nomor: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan mudharabah yang menyatakan
bahwa pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib
tidak melakukan penyimpangan Lembaga Keuangan Syariah dapat meminta jaminan dari mudharib
atau pihak ketiga, lihat pada Wangsa Widjaja Z, 2012, Pembiayaan Bank Syariah, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta: hal. 192
52
Akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya
kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang

14
Pembiayaan pada perbankan syariah tidak selalu berjalan mulus,

eksekusi merupakan perlindungan hukum bagi kreditor terhadap nasabah yang

wanprestasi, sehingga menyebabkan pembiayaan pada bank syariah menjadi

macet, disebut dengan pembiayaan bermasalah. Maka dari itu, dalam hal

pembiayaan bermasalah terkait eksekusi yang berlaku adalah ketentuan terkait

Undang-undang Hak Tanggungan dan Undang-undang Fidusia tersebut.

Secara teknis, pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dan fidusia pada bank

syariah melalui pengadilan agama sesuai ketentuan hukum perdata umum,

karena belum ada ketentuan yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan

eksekusi pada perbankan syariah.

Sejauh ini alasan dibentuknya Undang-undang Perbankan Syariah adalah

untuk mengimplementasikan prinsip syariah ke dalam sistem hukum nasional,

yang pada tataran praktis, implementasi ini dilakukan dalam kerangka

kepatuhan syariah (syariah compliance), yaitu menekankan kepada konsep

manfaat yang lebih luas, yang tidak hanya memberikan manfaat pada akhir

kegiatan tapi juga proses keseluruhan transaksi yang mengacu pada konsep

maslahat untuk semua umat manusia ( rahmat lil alamin-rahmat bagi seluruh

alam semesta).

disepakati. Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bahwa akad murabahah merupakan akad jual
beli di mana penjual menginformasikan harga beli kepada pembeli, lalu pembeli membayar harga
barang tersebut beserta keuntungan yang disepakati. Pembayaran dalam akad murabahah ini bisa
dibayar dengan cara mencicil. DSN-MUI dalam fatwanya No. 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Murabahah membolehkan bank meminta jaminan kepada nasabah yang dibiayai. Isi fatwa tersebut
sebagai berikut: ‘jaminan dalam murabahah dibolehkan agar nasabah serius dengan pesanannya. Bank
dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.’ Berdasarkan fatwa
tersebut dapat dipahami bahwa dibolehkannya bank meminta jaminan kepada nasabah untuk
melindungi atau menjamin hak-hak agar tidak dilanggar dan menghindari memakan harta orang lain
dengan cara tidak benar, lihat pada Wangsa Widjaja Z, ibid, hal 194

15
Konsep Undang-undang Perbankan Syariah dirasakan hanya mengatur

tentang keberadaan dan peranan jaminan kebendaan secara parsial dan

terbatas, yang mana sebenarnya Undang-undang Perbankan Syariah

menghendaki syariah dilaksanakan secara holistik dan konsisten. Keberadaan

lembaga jaminan syariah yang mencakup pembiayaan syariah sangat

dibutuhkan karena pengikatan dan eksekusi jaminan merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah.

Seharusnya Undang-undang Perbankan Syariah di Indonesia

mengaplikasikan konsep jaminan syariah dalam aturan hukumnya, bukan

hanya mengatur perikatan syariah terutama akad dalam produk pembiayaan.

Keberadaan lembaga jaminan syariah yang mengcover pembiayaan syariah

adalah urgen diperlukan karena pengikatan jaminan merupakan bagian

integral dalam pembiayaan yang disalurkan bank syariah, dalam hal ini dapat

disebut adanya kekosongan hukum untuk masalah jaminan syariah.

Konstruksi hukum terjadi apabila tidak ditemukan ketentuan undang-

undang yang secara langsung dapat diterapkan pada masalah hukum yang

dihadapi, atau dalam hal peraturannya tidak ada, jadi terdapat kekosongan

hukum (recht vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum).53

Sehingga dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa rekonstruksi adalah

penyusunan kembali ide atau konsep terkait hukum untuk memperbaiki hal

yang salah, akan sesuatu yang telah ada dengan tujuan untuk

53
Muwahid, 2017 , Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Oleh Hakim dalam Upaya
mewujudkan Hukum yang Responsif”, Jurnal Al-Hukama, Volume.7, Nomor. 1, hal.234.

16
penyempurnaan.54 Regulasi yang jelas terkait hukum jaminan akan mengurani

sengketa ekonomi syariah nantinya, yang akan menumbuhkan kepercayaan

dan kepastian hukum kepada pencari keadilan masyarakat.55

Setiap rumusan hukum wajib dipahami menurut konteksnya sendiri-

sendiri, dan tentunya satu sama lainnya saling berhubungan dan berada pada

ruang lingkup sistem hukum nasional. Sistem hukum menurut Lawrence M.

Friedman adalah kumpulan dari semua sub sitem, yang terdiri dari perangkat

struktur hukum (berupa lembaga hukum), subtansi hukum (peraturan

perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum.56

Penerapan jaminan syariah pada perbankan syariah di Indonesia jika

dibandingkan dengan Malaysia terdapat perbedaan. Dalam praktik perbankan

syariah di Malaysia dalam kaitannya dengan jaminan syariah, dapat dikatakan

bahwa jaminan syariah telah ditentukan secara proporsional. Hal ini dapat

dilihat pada perjanjian pembiayaan di Bank Islam Malaysia Berhad pada poin

jaminan atau cagaran. Cagaran dalam akad pembiayaan telah dengan jelas

menyatakan bahwa jaminan dalam hal pembiayaan diikat atau dijamin dengan

jaminan syariah, yaitu dengan menggunakan istilah skim ar-Rahnu atau pajak

gadaian Islam yang akan dibuat dalam “Deed of assignment” atau notaris

54
Gesied Eka Ardhi Yunatha, 2010, “Analisis Pelaksanaan Rekontruksi Dalam Proses
Penyidikan Guna Mengungkap Pemenuhan Unsur Delik Pencurian Dengan Kekerasan”, Universitas
Sebelas Maret, Surakarta: hal
55
Busyra Azheri, 2018, “Urgency Of The Establishment Of A Special Court For The Resolution
Of Sharia Economic Dispute In The Religious Courts”, Journal of Legal, Ethical and Regulatory
Issues, Volume 21, Issue 1, 2018, hal 1-7
56
Lawrence M. Friedman, 2013, The legal System A Social Perspektive, Diterjemahkan oleh
M. Khosim, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Bandung; hal 11

17
akta.57

Dengan demikian, hukum jaminan pada perbankan syariah di Indonesia

masih mengikuti lembaga jaminan konvensional, dimana tidak seluruh

ketentuan yang mengaturnya dapat diterapkan di bank syariah karena tidak

sesuai dengan prinsip syariah. Hakikatnya keberadaan suatu peraturan

perundang-undangan adalah memberikan kepastian hukum dan perlindungan

bagi pihak yang dituju dalam suatu peraturan, artinya hakikat hukum paksaan,

kewajiban dan penjaminan hak terhadap warga negara, dapat dilaksanakan

dengan campur tangan negara karena dalam hukum terdapat unsur kewajiban

yang harus dilaksanakan setiap orang.58

Maka dari itu, peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat

dikatakan belumlah memberikan kedudukan yang jelas dan tegas terhadap

lembaga jaminan syariah (rahn) yang melengkapi perjanjian pembiayaan

dalam operasional perbankan syariah. Untuk itu penelitian ini akan membahas

dan mengkaji tentang rekontruski hukum jaminan pada lembaga perbankan

syariah di Indonesia.

B. Rumusan masalah

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut yang menjadi pokok utama

permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana sistem pengikatan jaminan dan pelaksanaan eksekusi pada

57 Noor Hafidah, 2017, Hukum Jaminan Syariah & Implementasinya dalam perbankan

syariah di indonesia, UII Press, Yogyakarta: hal 148.


58 Khairani, 2016, Kepastian Hukum Hak Pekerja Outsourching Ditinjau dari Konsep

Hubungan Kerja antara Pekerja dengan Pemberi kerja, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta; hal 15

18
pembiayaan perbankan syariah di Indonesia?

2. Apa yang melatarbelakangi pentingnya pembentukan lembaga jaminan

syariah dalam pembiayaan perbankan syariah di Indonesia, sehingga perlu

diadakan rekonstruksi hukum jaminan?

3. Bagaimana konstruksi hukum jaminan yang mengatur pengikatan jaminan

dan pelaksanaan eksekusi pada pembiayaan perbankan syariah di

Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari latar belakang dan pokok-pokok permasalahan yang

diuraikan diatas, maka tujuan yang diharapkan tercapai dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui sistem pengikatan jaminan dan pelaksanaan eksekusi

pada pembiayaan perbankan syariah di Indonesia.

2. Untuk mengetahui latar belakang pentingnya pembentukan lembaga

jaminan syariah dalam pembiayaan perbankan syariah di Indonesia,

sehingga perlu diadakan rekonstruksi hukum jaminan.

3. Untuk mengetahui konstruksi hukum jaminan yang mengatur pengikatan

jaminan dan pelaksanaan eksekusi pada pembiayaan perbankan syariah di

Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Dengan dikemukakan atau dipaparkannya latar belakang diatas

diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dan/atau kegunaan yang

dikelompokkan atas 2 ( dua ) bagian yaitu :

19
1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmiah bagi kalangan

civitas ilmiah dan memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu

perbankan syariah khususnya terkait hukum jaminan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi pemangku kepentingan,

baik itu pemerintah, perbankan syariah, masyarakat dan semua pihak yang

terkait lainnya serta landasan bagi pembangunan ekonomi secara

keseluruhan dan perkembangan perbankan syariah secara khususnya

terutama terkait hukum jaminan.

E. Keaslian Penelitian

Pembahasan dan penelitian terkait hukum jaminan perbankan sudah

banyak ditemukan, namun yang khusus membahas tentang rekonstruksi hukum

jaminan pada lembaga keuangan syariah belum penulis temukan. Namun untuk

memperoleh rujukan awal terkait permasalahan yang penulis bahas diatas

penelitian terkait adalah : Disertasi Zaenal Arifin, yang berjudul : “Membangun

Konstruksi Hukum Jaminan Syariah dalam Akad Pembiayaan Mudharabah”

pada Program Doktor, Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945

Semarang tahun 2022, disertasi ini fokus pada rumusan masalah : Pertama,

Mengapa dalam akad pembiayaan Mudharabah yang memiliki sifat kerjasama

langsung dilakukan pemasangan hak tanggungan? Kedua, Bagaimana

konstruksi hukum yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan

pembuatan akta pengikatan jaminan syariah (tanah dan atau bangunan) pada

20
akad pembiayaan Mudharabah di Indonesia? Ketiga, Bagaimana membangun

konstruksi hukum jaminan syariah dalam akad pembiayaan mudharabah?

Penelitian ini hanya fokus dan menemukan tentang kontruksi hukum

jaminan pada pembiayaan mudharabah perbankan syariah dengan hasil

penelitian berupa Konstruksi Hukum jaminan syariah dalam akad pembiayaan

mudharabah kedepan adalah dengan memasukan SKMHT kedalam substansi

hukum maupun struktur hukum yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria

Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Nomor 22 tahun 2017 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit

Tertentu. Secara struktur hukum bahwa Dewan Pengawas Syariah melarang

untuk memasang hak tanggungan dalam akad pembiayaan akad Mudharabah.

Secara budaya hukum kebiasaan bahwa komunitas perbankan menggunakan

aturan kredit di bank konvensional. Sedangkan, penelitian penulis lebih

kongkrit dan spesifik memberikan tawaran novelty yaitu berupa adanya

pengaturan yang jelas terkait hukum jaminan di Indonesia secara keseluruhan

yaitu meliputi semua akad yang ada pada perbankan syariah dan objek jaminan

yang diikat hak tanggungan maupun fidusia, yang sesuai dengan sitem hukum,

baik dalam subtansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum itu sendiri

dengan terstruktur.

F. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual

1. Kerangka Teoritis

a. Teori Kepastian Hukum

21
Tujuan dari hukum itu sendiri salah satunya adalah kepastian

hukum dan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan keadilan.

Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan

hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang

melakukan. Setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami

jika melakukan tindakan hukum tertentu dengan adanya kepastian

hukum. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan

dihadapan hukum tanpa diskriminasi.59 Makna dari hukum itu akan

hilang tanpa adanya kepastian yang otomatis tidak dapat menjadi

pedoman perilaku bagi setiap orang.

Kata ”kepastian” mempunyai kaitan yang erat dengan asas

kebenaran, yaitu sesuatu yang secara ketat dapat disilogismekan secara

legal-formal. Melalui logika deduktif, aturan-aturan hukum positif

ditempatkan sebagai premis mayor, sedangkan peristiwa konkret

menjadi premis minor. Melalui sistem logika tertutup akan serta merta

dapat diperoleh konklusinya. Konklusi itu harus sesuatu yang dapat

diprediksi, sehingga semua orang wajib berpegang kepadanya. Dengan

pegangan inilah masyarakat menjadi tertib. Oleh sebab itu, kepastian

akan mengarahkan masyarakat kepada ketertiban.60

Gustav Radbruch mengemukakan kepastian hukum sebagai salah

satu tujuan hukum, karena dengan adanya kepastian hukum akan

59
Bodenheimer dalam Satjipto Rahardjo. 2006. Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung: hal 277.
60
Arief Sidharta, 2007, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum
dan Filsafat Hukum, PT Refika Aditama, Bandung: hal 8.

22
menjamin sesorang melakukan perilaku sesuai dengan ketentuan hukum

yang berlaku, sebaliknya tanpa ada kepastian hukum maka seseorang

tidak memiliki ketentuan baku dalam menjalankan perilaku. Kepastian

hukum merupakan sesuai yang bersifat normatif baik ketentuan maupun

keputusan hakim. Kepastian hukum merujuk pada pelaksanaan tata

kehidupan yang dalam pelaksanaannya jelas, teratur, konsisten, dan

konsekuen serta tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang

sifatnya subjektif dalam kehidupan masyarakat.61

Rasa keadilan masyarakat kadang harus dikorbankan demi

penerapan sebuah peraturan yang sifatnya umum, ini semua didasarkan

untuk mendapatkan kepastian hukum. Menurut Van Apeldoorn ada dua

pengertian dari kepastian hukum walau sebenarnya kepastian hukum


28
dapat diartikan dari berbagai segi yaitu Pertama, kepastian hukum

berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk masalah-

masalah yang kongkret, maka pihak- pihak yang berperkara sudah dapat

mengetahui dari awal ketentuan-ketentuan apa yang akan digunakan

dalam sengketa tersebut. Kedua, kepastian hukum berarti perlindungan

hukum.

Dalam hal ini para pihak yang bersengketa dapat dihindarkan dari

kesewenangan penghakiman. hal ini berarti, adanya kepastian hukum

juga membatasi pihak-pihak yang mempunyai kewenangan yang

61
Nur Agus Susanto, 2014, “Dimensi Aksiologis Dari Putusan Kasus “ST” Kajian Putusan
Peninjauan Kembali Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012”, Jurnal Yudisial Volume. 7 Nomor. 3 Desember
2014.hal

23
berhubungan dengan kehidupan seseorang, yaitu hakim dan pembuat

peraturan.

Sudikno Mertokusumo menjelaskan kepastian hukum adalah

jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum

dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan.62

Walaupun kepastian hukum sangat erat kaitannya dengan keadilan

namun hukum tidak selalu sebangun dengan keadilan. Hukum bersifat

umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Keadilan

bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.

Kepastian hukum merupakan sebuah pelaksanaan hukum yang

diseusaikan dengan bunyinya, agar masyarakat bisa memastikan bahwa

hukum dilaksanakan. Penciptaan kepastian hukum dalam peraturan

perundang undangan, memerlukan persyaratan yang berkenaan dengan

struktur internal dari norma hukum itu sendiri.63 Persyaratan internal

tersebut antara lain : adalah sebagai berikut:64

1. Kejelasan konsep yang digunakan. Norma hukum berisi deskripsi

mengenai perilaku tertentu yang kemudian disatukan kedalam konsep

tertentu pula.

2. Kejelasan hirarki kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan

perundang-undangan. Kejelasan hirarki ini penting karena

62
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta; hal.
160.
63
Fernando M Manulang, 2007, Hukum Dalam Kepastian, Prakarsa, Bandung: hal 95.
64
Ibid, hal 39

24
menyangkut sah atau tidak dan mengikat atau tidaknya peraturan

perundang-undangan yang dibuatnya. Kejelasan hirarki akan

memberikan arahan kepada pembentuk hukum yang mempunyai

kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan

tertentu.

3. Konsistensi norma hukum perundang-undangan. Ketentuan-

ketentuan dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan satu subjek tertentu, tidak saling bertentangan antara satu

dengan yang lain

Pengaturan hukum yang jelas dalam sebuah perundang-

undangan, yang tentunya dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga

peraturan itu mempunyai aspek yang yuridis merupakn bentuk

kehendak dari adanya kepastian hukum. Aspek inilah yang nantinya

yang akan menjamin kepastian hukum dimana hukum mepunyai fungsi

sebagai sebuah aturan yang tentunya wajib untuk ditaati. Aspek ini

nantinya dapat menjamin adanya kepastian, bahwa hukum berfungsi

sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

Teori kepastian hukum ini digunakan sebagai pisau analisis

untuk dapat memberikan kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir,

kontradiktif terhadap pengaturan hukum jaminan dalam perbankan

syariah di Indonesia. Dimana kepastian hukum berarti sebuah

kejelasan, tidak multitafsir, tidak kontradiktif, dapat dilaksanakan

secara tegas dalam masyarakat, terbuka sehingga maknanya dapat

25
dipahami oleh siapapun.

b. Teori Penemuan Hukum

Kegiatan dalam kehidupan manusia sangat luas, tidak terhitung

jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu

perundang-undang dengan tuntas dan jelas. Sehingga tidak ada

peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya

dan jelas sejelas-jelasnya. Saat hukumnya tidak lengkap dan tidak

jelas, maka harus dicari dan ditemukan.65

Hukum diartikan sebagai keputusan hakim (pengadilan), yang

menjadi pokok masalah adalah tugas dan kewajiban hakim mengenai

tugas dan kewajiban hakim dalam menemukan apa yang menjadi

hukum, hakim dapat dianggap sebagai salah satu faktor pembentuk

hukum.66 Karena Undang-Undang tidak lengkap maka hakim harus

mencari dan menemukan hukumnya (recthsvinding).

Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo, “lazimnya

diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-

petugas hukum yang diberi tugas melaksanakan hukum atau

menerapkan peraturan-peraturan hukum terhadap suatu peristiwa yang

konkret.”67 Keharusan menemukan hukum baru ketika aturannya tidak

saja tak jelas, tetapi memang tidak ada, diperlukan pembentukan

65
Sudikno Mertokusumo, 2014, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta: hal, 49
66
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan Kontruksi hukum, Alumni, Bandung: hal
6.
67
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal 39

26
hukum untuk memberikan penyelesaian yang hasilnya dirumuskan

dalam suatu putusan yang disebut dengan putusan hakim, yang

merupakan penerapan hukum.68

Penemuan hukum (rechtsvinding), lazimnya diartikan sebagai

proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum

lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-

peristiwa hukum yang kongkrit.69 Dengan demikian dalam upaya

penemuan hukum ada beberapa unsur yang dapat terlibat dalam

penemuan hukum ini, sebagai contohnya adalah ilmuan hukum yang

prodak hukumnya disebut doktrin.

Penemuan hukum (rechtsvinding) dalam pengertian lain adalah

suatu teori yang memberikan arah bagaimana cara menemukan aturan

yang sesuai untuk suatu peristiwa hukum tertentu, dengan cara

penyelidikan yang sistematis terhadap suatu aturan, dengan cara

menghubungkan antara satu aturan dengan aturan yang lainnya.70

Kaidah-kaidah atau teori-teori penemuan hukum ini bertujuan

agar penerapan aturan hukum terhadap suatu peristiwa hukum dapat

dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum, sehingga hal ini

dapat berimplikasi pada produk hukum yang dihasilkan oleh hakim

dalam menangani permasalahan hukum. Hal ini juga mengandung arti

68 Pontang Moerad, B.M., Penemuan Hukum Melalui Putusan Pengadilan, hal, 81


69
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Kencana
Prenada Media, Jakarta: hal. 126.
70
Algra, dkk., 1998, Rechtsgeleerd Handwoordenboek, yang diterjemahkan oleh Saleh
Adiwinata,Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea Belanda Indonesia, Bimacipta, Jakarta: hal. 4.

27
bahwa sebagai proses konkritisasi peraturan (das sollen) ke dalam

peristiwa konkrit tertentu (das sein).

Dalam arti tertentu, penemuan hukum adalah pencerminan

pembentukan hukum. Jika dalam pembentukan hukum yang terjadi

adalah menetapkan hal umum yang berdasarkan pada waktunya dapat

dijabarkan hal yang khusus yang mengemuka (dimunculkan terlebih

dulu), namun pada waktu yang bersamaan dapat dikonstatasi

(ditetapkan atau dirumuskan peristiwa konkretnya) dampak

keberlakuan secara umum. Kekhasan penemuan hukum telah

mendapat perhatian (pembahasan) yang luas dalam teori hukum dan

filsafat hukum.

Hakim dalam melakukan penemuan hukum, berpedoman pada

metode-metode yang telah ada. Metode-metode dalam penemuan

hukum meliputi metode interpretasi (interpretation method), metode

kontruksi hukum atau penalaran (redeneeruweijizen). Interpretasi

hukum terjadi apabila terdapat ketentuan Undang-Undang yang secara

langsung dapat ditetapkan ketentuan Undang-Undang yang secara

langsung dapat ditetapkan pada peristiwa konkret yang dihadapi.71

Konstruksi hukum terjadi apabila tidak ditemukan ketentuan

Undang-Undang yang secara langsung dapat diterapkan pada masalah

hukum yang dihadapi, atau dalam hal peraturannya tidak ada, jadi

terdapat kekosongan hukum (recht vacuum) atau kekosongan Undang-

71
Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta: hal, 55.

28
Undang (wet vacuum). Untuk mengisi kekosongan Undang-Undang

inilah, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk

mengembangkan lebih lanjut suatu teks Undang-Undang.72

c. Teori Maslahah

Maslahat, atau dalam bahasa Arab biasa disebut al-mashlahah,

artinya adalah manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.73

Secara etimologi, kata mashlahah berasal dari kata al-salâh yang berarti

kebaikan dan manfaat. Kata mashlahah berbentuk mufrad, sedangkan

jamaknya adalah al-masâlih. Kata al-mashlahah menunjukkan pengertian

tentang sesuatu yang banyak kebaikan dan manfaatnya, sedangkan secara

terminologi, mashlahah dapat diartikan mengambil manfa’at dan menolak

madharat (bahaya) dalam rangka memelihara tujuan syara’ (hukum

Islam). Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut adalah memelihara

agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan

aktivitas yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’

di atas, maka dinamakan mashlahah.74

Imam al-Ghazali, ahli Fikih mazhab al-Syafi’i, mengemukakan

pengertian mashlahat adalah mengambil manfaat dan menolak


75
kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan–tujuan syarak .

72
Jazim Hamidi, 2011, Hermeneutika Hukum, Sejarah, Filsafat dan Metode Tafsir, UB Press,
Malang: hal, 40
73
Said Ramadhan Al-Bouthi, 1982, Dhawabith al-Mashlahah fi al-syari’ah al-Islamiyah,
Muassasah ar-Risalah, Beirut: hal 23.
74
Zuhdi, 2013, Formulasi Teori Mashlahah dalam Paradigma Pemikiran Hukum Islam
Kontemporer, Jurnal Istinbath, Volume 12, Nomor 1 Desember 2013 hal. 288-309.
75
Al-Ghazali, Al-Mustashfa’ Fi Ushul al-Fiqh, jilid 2, hal 281.

29
Menurut Imam al-Ghazali, tujuan syara’ yang dijadikan patokan dalam

menentukan kemaslahatan itu bukan kehendak dan tujuan manusia. Oleh

karenanya, kemaslahatan yang dapat dijadikan pertimbangan (landasan)

untuk menetapkan hukum menurut al-Ghazali adalah apabila: Pertama,

mashlahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’. Kedua,

mashlahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nashh syara’.

Ketiga, mashlahah itu termasuk ke dalam kategori mashlahah yang

dharuri, baik yang menyangkut kemaslahatan pribadi maupun orang

banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.76

Konsep Maslahat merupakan salah satu salah satu obyek penting

dalam kajian hukum Islam (ijtihad). Maslahat lebih dari sekedar teori

dalam hukum islam, melainkan juga alat untuk mencapai tujuan hukum

Islam (maqâshid al-syarî‘ah). Lebih dari itu, di kalangan ulama ushul dan

ulama fikih, Maslahat dipandang sebagai salah satu teori hukum yang

paling dominan digunakan oleh para ulama dalam menetapkan hukum

syara’, khususnya masalah-masalah hukum yang tidak tegas diatur di

dalam nash.77

Para ulama umumnya menyandarkan penggunakan teori Maslahat

kepada fungsi akal untuk menggali norma-norma hukum baru yang

menitikberatkan kepada pengutamaan kebaikan (Maslahat) dan

Zuhdi, Loc, cit.


76
77
Enden Haetami, 2015, Kedudukan dan Fungsi Maslahat sebagai Metode untuk Menetapkan
Hukum Syara’: Studi Kritik atas Pemikiran ‘Izz al-Dîn bin ‘Abd al-Salâm dalam Kitab al-Ahkâm fi
Mashâlih al-Anâm, Disertasi Doktor Hukum Islam Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

30
meninggalkan keburukan (madarat).78 Mereka meyakini bahwa hukum

Islam merupakan hukum yang mandiri dan sangat terbuka dalam

merespon masalah-masalah baru, mulai dari masa awal pertumbuhannnya

hingga masa modern.

Implementasi maṣlaḥah dalam kegiatan perbankan memiliki ruang

lingkup yang lebih luas jika dibandingkan dengan implementasinya dalam

bidang-bidang lain. Naṣh-naṣh terkait perbankan pada umumnya bersifat

global, karena itu ruang gerak ijtihadnya lebih luas. Sedikitnya naṣh-naṣh

yang menyinggung masalah yang terkait dengan kebijakan-kebijakan

perbankan teknis, membuka peluang yang besar untuk mengisi

kekosongan tersebut dengan mengembangkan ijtihad berdasarkan prinsip

maṣlaḥah. 79

Teori maslahah, dalam konteks penelitian ini, digunakan oleh

penulis untuk menjelaskan bagaimana hakikat serta urgensi adanya

pengaturan yang jelas terkait pengikatan jaminan syariah (tanah dan atau

bangunan, serta benda bergerak) dengan cara memposisikan teori

kemaslahatan sebagai suatu tujuan utama dalam pelaksanaan pembiayaan

pada perbankan syariah di Indonesia. Agar, tujuan hukum Islam (maqâshid

al-syarî‘ah) dalam hal jaminan terlaksana sesuai syariat Islam.

2. Kerangka Konseptual

a. Rekonstruksi Hukum

78
Al-Syâthibî, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarîah, Dâr al-Fikr, juz II, Bairût: hal. 19.
Abdul Hamid, 2015, “Aplikasi Teori Mashlahah (Maslahat) Najm Al-Dîn Al-Thûfî Dalam
79

Penyelesaian Sengketa Perjanjian Bisnis Di Bank Syariah”, AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4,
Desember 2015, hal 741

31
Rekonstruksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari

kata ‘konstruksi’ yang berarti pembangunan yang kemudian di tambah

imbuhan ‘re’ pada kata konstruksi menjadi ‘rekonstruksi’ yang berarti

pengembalian seperti semula80 B.N. Marbun dalam Kamus Politik

mengartikan rekonstruksi adalah pengembalian sesuatu ketempatnya

yang semula, penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-bahan

yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian

semula.81

Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa rekonstruksi itu mencakup

tiga poin penting, yaitu pertama, memelihara inti bangunan asal dengan

tetap menjaga watak dan karakteristiknya. Kedua, memperbaiki hal-hal

yang telahruntuh dan memperkuat kembali sendi -sendi yang telah

lemah. Ketiga, memasukkan beberapa pembaharuan tanpa mengubah

watak dan karakteristikaslinya.82

Andi Hamzah menjelaskan pengertian dari rekonstruksi adalah

penyusunan kembali, reorganisasi, usaha memeriksa kembali kejadian

terjadinya delik dengan mengulangi peragaan seperti kejadian

yangsebenarnya. Ini dilakukan baik oleh penyidik maupun oleh hakim,

untuk memperoleh keyakinan.83 Sehingga dalam hal ini dapat ditarik

kesimpulan bahwa rekonstruksi adalah penyusunan kembali guna untuk

80
https://kbbi.web.id/rekonstruksi diakses pada 15 September 2022, Pukul 13.00
81
B.N. Marbun, 2018, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta: hal 469
82
Yusuf Qardhawi, 2014, Problematika Rekonstruksi Ushul Fiqih, Al-Fiqh Al-Islâmî bayn
AlAshâlah wa At – Tajdîd Tasikmalaya, hal
83
Gesied Eka Ardhi Yunatha, loc.cit

32
memperbaiki hal yang salah akan sesuatu yang telah ada dengan tujuan

untuk penyempurnaan.

Membangun kembali segala sesuatu sesuai kondisi semula dan

tidak boleh menghilangkan nilai-nilai primer yang ada disebut

rekonstruksi, atau membangun kembali. Kewajiban para rekonstruktor

dalam rekonstruksi adalah melihat pada segala sisi. Agar kemudian

sesuatu yang coba dibangun kembali sesuai dengan keadaan yang

sebenarnya dan terhindar pada subjektifitas yang berlebihan, dimana

nantinya dapat mengaburkan substansi dari sesuatu yang ingin dibangun

tersebut.

Hukum sebagai sarana rekayasa sosial tidak hanya dipahami

bahwa hukum sebagai alat untuk ''memaksakan'' kehendak pemerintah

kepada masyarakatnya saja. Tetapi, sekarang konsep tersebut diperluas

maknanya bahwa hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat dan

birokrasi. Oleh karena itu, perundang-undangan suatu negara

melukiskan adanya pengaturan, pengendalian serta pengawasan yang

dilakukan oleh negara kepada warga masyarakat umumnya. 84

Upaya membangun melalui rekonstruksi hukum tersebut

diarahkan untuk menemukan kehendak hukum (recht idee), kehendak

masyarakat, dan kehendak moral. Kehendak hukum, baik hukum tertulis

maupun tidak tertulis.

84
Satjipto Rahardjo, 1981, Hukum Dalam Perspektif Sosial, Penerbit Alumni, Bandung: hal
153

33
b. Jaminan Perbankan

Istilah “jaminan” merupakan terjemahan dari istilah zekerheid

atau cautic, yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi

perutangannya kepada kreditor, yang dilakukan dengan cara menahan

benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas

pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap kreditornya. Dalam

perspektif hukum perbankan, istilah “jaminan" ini dibedakan dengan

istilah "agunan". Di bawah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967

tentang Pokok-Pokok Perbankan, tidak dikenal istilah “agunan”, yang

ada istilah "jaminan". Sementara dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun

1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998, memberikan pengertian yang tidak

sama dengan istilah "jaminan" menurut Undang-undang Nomor 14

Tahun 1967.85

Arti jaminan menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967

diberi istilah "agunan" atau "tanggungan", sedangkan "jaminan"

menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, diberi arti lain,

yaitu "keyakinan atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan

nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan

85 Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta; hal 66

34
pembiayaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan".

Sehubungan dengan itu, Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, menyatakan sebagai berikut:

Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau

pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas

kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi

kewajibannya sesuai dengan diperjanjian merupakan faktor penting

yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan

tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian

yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal agunan dan prospek

usaha dari nasabah debitur.

Jaminan dalam tatanan hukuk Islam lebih dikenal dengan istilah

“ar-rahn, yaitu perjanjian pinjam-meminjam dengan menyerahkan

barang sebagai tanggungan utang”. Secara etimologi, ar-rahn berarti

tetap dan lama, yakni tetap atau berarti pengekangan atau keharusan.86

Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Perbankan Syariah disebutkan

bahwa: Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang

saksama terhadap watak, kemampuan, modal, Agunan, dan prosepek

usaha dari calon nasabah penerima fasilitas. Jaminan dan Agunan pada

86
Masjfuk Zuhdi, 2001. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Gramedia Group, Jakarta;
hal 117

35
dasarnya merupakan dua istilah yang dapat saling dipertukarkan.

Jaminan secara sederhana dimaknai sebagai tanggungan atas pinjaman

yang diterima.87

Agunan dalam terminologi hukum perbankan didefinisikan dalam

Pasal 1 ayat (23) Undang-undang Perbankan sebagai suatu jaminan

tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada Bank (Kreditur)

dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan

Prinsip Syariah. Sedangkan Pasal 1 Ayat (26) Undang-undang

Perbankan Syariah menyebutkan Agunan merupakan jaminan

tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak

yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau

UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas.

Kedua aturan tersebut dengan tegas menyebutkan agunan sebagai

jaminan tambahan, maka menurut Wangsawidjaja secara a contrario

jika ada jaminan tambahan, tentulah ada jaminan pokok.88

Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security

of law, zekerheidsstelling, atau zekerheidsrechten. Istilah "hukum

jaminan" itu meliputi pengertian baik jaminan kebendaan maupun

perorangan. Berdasarkan kesimpulan tersebut, pengertian hukum

jaminan yang diberikan didasarkan kepada pembagian jenis lembaga

hak jaminan, artinya tidak memberikan perumusan pengertian hukum

87
A. Wangsawidjaja Z, 2012, Pembiayaan Bank Syariah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta:
hal 285
88
Ibid, hal 286.

36
jaminan, melainkan memberikan bentang lingkup dari istilah hukum

jaminan itu, yaitu meliputi jaminan kebendaan dan jaminan

perseorangan.89

Sehubungan dengan pengertian hukum jaminan, tidak banyak

literatur yang merumuskan pengertian hukum jaminan. Menurut J.

Satrio hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum yang mengatur

tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap seorang

debitur. Ringkasnya hukum jaminan adalah hukum yang mengatur

tentang jaminan piutang seseorang.90 Sementara itu, Salim HS

memberikan perumusan hukum jaminan adalah keseluruhan dari

kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan

penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk

mendapatkan fasilitas kredit.91

Hukum jaminan tidak hanya memberikan perlindungan hukum

terhadap kreditor sebagai pihak pemberi utang saja, melainkan juga

mengatur perlindungan hukum terhadap debitur sebagai penerima utang,

dengan kata lain hukum jaminan tidak hanya mengatur hak-hak kreditor

yang berkaitan dengan jaminan pelunasan utang tertentu, namun sama-

sama mengatur hak-hak kreditor dan hak-hak debitur berkaitan dengan

jaminan pelunasan utang tertentu.92

89
Ibid, hal 1
90
J Satrio, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Citra Aditya Bakti,
Bandung; hal 3
91
Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta; hal 6
92
Rachmadi Usman, Op.Cit, hal 2

37
Ketentuan secara khusus terkait hukum jaminan dapat ditemukan

dalam : 93

1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

2. Kitab Unddang-undang Hukum Dagang.

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok Agraria.

4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah.

5. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang perubahan atas

Undang-undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem resi Gudang.

c. Lembaga Perbankan Syariah

Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut

tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan,

kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan


94
usahanya. Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan

usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas

Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.95

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Perbankan Syariah, menjelaskan

Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang

Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan,

93
Ibid, hal 3-17
94
Mardani, 2018, Hukum Islam dalam Hukum Positif di Indonesia, Rajawali Pers, Depok;
hal 365
95
Ibid,

38
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan

usahanya. Selanjutnya Undang-undang Perbankan Syariah secara tegas

menggunakan penanaman “bank syariah” untuk menyebut bank “bagi

hasil” atau “bank islam” yang dikenal sebelum lahirnya Undang-

undang Perbankan yang mengakui sistem perbankan di Indonesia

dengan dual-banking system atau sistem perbankan ganda untuk

menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semain lengkap kepada

masyarakat Indonesia.

Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-undang Perbankan

Syariah merumuskan pengertian “bank syariah” itu adalah bank yang

menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan

menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah dan bank pembiayaan

rakyat syariah. Jadi bank syariah adalah bank yang dalam menjalan

kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Prinsip Syariah dalam

Pasal 1 ayat (12) Undang-undang Perbankan Syariah adalah prinsip

hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang

dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan

fatwa di bidang syariah.

Prinsip syariah tersebut mengandung dua makna, bahwa prinsip

syariah adalah prinsip Hukum Islam dalam kegiatan perbankan dan

prinsip hukum islam disini bukan prinsip hukum islam an sich fiqh

muamalah, melainkan prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa yang

dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan

39
fatwa di bidang syariah.96

Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya

berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-

hatian. Kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah antara lain

adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir,

gharar, haram dan zalim.97 Yang dimaksud dengan "demokrasi

ekonomi" adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai

keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. Yang dimaksud

dengan "prinsip kehati-hatian" adalah pedoman pengelolaan bank yang

wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien

sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Perbankan

syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional

dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan

kesejahteraan rakyat.

Dalam mencapai tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan

nasional, perbankan syariah tetap berpegang pada prinsip syariah

secara menyeluruh (kaffah) dan konsisten (istiqamah)98 Fungsi

perbankan syariah sebagai berikut.

a. Wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana

masyarakat.

b. Dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul

96
Rachmadi Usman, Op. Cit, hal 56
97
Ibid, hal 365-467
98
Ibid,

40
mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah,

hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada

organisasi pengelola zakat.

c. Dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan

menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan

kehendak pemberi wakaf (wakif).

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Secara sederhana seluruh rangkaian kegiatan penelitian adalah

sebuah kegiatan ilmiah yang dilakukan civitas ilmiah, yang tentunya

berdasarkan sebuah metode, sistematika dan pemikiran yang ilmiah. Dalam

konteks metode penelitian hukum tujuannya adalah untuk mempelajari

setiak karakteristik penelitian hukum baik secara socio-legal maupun

secara normatif.99

Penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

atau data sekunder, yang dapat dinamakan dengan penelitian hukum

normatif, yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik

hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal perbandingan hukum dan

sejarah hukum.100

2. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif analisis

99
Sabian Ustman, 2014, Metodologi Penenlitian Hukum Progresif, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta; hal 1
100
Soejono Soekanto & Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Pers, Jakarta; hal 12-13

41
yakni menggambarkan keadaan dari objek yang diteliti serta sejumlah

faktor-faktor yang mempengaruhi data-data yang telah diperoleh kemudian

dikumpulkan, disusun, dipahami lalu dianalisis. Penelitian deksriptif

berguna untuk memberikan data yang sangat teliti baik terkait manusia,

keadaan maupun gejala-gejala. Dengan tujuan untuk mempertegas

hipotesa-hipotesa agar dapat membantu dalam kerangka menyusun teori-

teori baru.101

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang juga

dikenal dengan istilah pendekatan juridis normatif, yang menelaah semua

peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan

(isu hukum)102 yang penulis angkat yaitu hukum jaminan pada perbankan

syariah. Kedua pendekatan konseptual (conseptual approach) merupakan

jenis pendekatan dalam penelitian hukum yang memberikan sudut pandang

analisis penyelesaian permasalahan dalam penelitian hukum dilihat dari

aspek konsep-konsep hukum yang melatarbelakanginya, atau bahkan dapat

dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam penormaan sebuah peraturan

kaitannya dengan konsep-konsep yang digunakan.103 Ketiga pendekatan

historis (historical Approach), pendekatan ini dilakukan dengan menelaah

latar belakang dan perkembangan historis mengenai isu hukum yang

dihadapi, atau pendekatan yang digunakan untuk mengetahui dan

mendalami nilai-nilai sejarah yang menjadi latar belakang serta yang

101
Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta; hal 12
102
Ibid, hal 113
103
Ibid, hal 147

42
berpengaruh terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah peraturan

perundang-undangan.104

3. Jenis dan Sumber Data

Sumber data adalah tempat diperolehnya data, yang terdiri data

primer dan data sekunder.105 Sumber data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah

a. Data sekunder yang mencakup peraturan perundang-undangan, doktin

dan teori hukum terkait penelitian peneliti, yang terdiri dari bahan

hukum yang sudah ada, yaitu :106

1. Bahan hukum primer yakni bahan-bahan hukum yang secara

langsung berkaitan dengan hukum jaminan dan perbankan syariah,

yang terdiri atas :

a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

c. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

d. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda

yang berkaitan dengan Tanah.

e. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun

104
Ibid, hal 141
105
HS Salim dan Erlies Septianan Nurbaini, 2016, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis Dan Disertasi Raja Grafindo Persada, Jakarta: hal 19.
106
Soerjono Soekanto, 2015, Pengantar Penelitian Hukum, Cet 3, Universitas Indonesia Press,
Jakarta, hal 52

43
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 Tentang Perbankan.

f. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 42 Tahun

1999 Tentang Jaminan Fidusia.

g. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 21 Tahun

2008 Tentang Perbankan Syariah.

h. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

i. Undang Undang Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun

2011 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006

Tentang Sistem Resi Gudang.

j. Undang Undang Negara Republik Indonesia Nomor 21 Tahun

2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

k. Fatwa DSN MUI No 105/DSN-MUI/X/2016 Tentang

Penjaminan Pengembalian Modal Pembiayaan Mudharabah,

Musyarakah dan Wakalah bil Istismar.

2. Bahan hukum sekunder yaitu, bahan hukum yang memberikan

penjelasan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer,

antara lain buku, hasil penelitian terdahulu, majalah, jurnal jurnal

hukum terkait, artikel serta bahan lainnya yang terkait dengan objek

penelitian.

3. Bahan hukum tertier yaitu, bahan hukum yang bersifat sebagai

penunjang dari bahan-bahan hukum sebelumnya yaitu bahan hukum

44
primer dan sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus

Bahasa Inggris kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

beberapa teknik pengumpulan data antara lain :

a. Mencari dan mengumpulkan berbagai informasi baik dari

perpustakaan pribadi maupun milik umum / public, dalam

rangka mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder dan

tertier,107 mengumpulkan semua yang terkait objek penelitian

yaitu hukum jaminan pada pembiayaan perbankan syariah.

a. Kemudian mengumpulkan serta memilih (inventarisasi)

peraturan perundangundangan, norma-norma hukum, dokterin,

teori-teori hukum, buku-buku, dan lain sebagainya, yang

digunakan untuk mendapatkan metode, teknik, atau pendekatan

terhadap objek penelitian, yang digunakan sebagai data primer.

5. Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data adalah sebuah proses mengorganisasikan,mengurutkan

data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehinga dapat

ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan oleh

data. Data yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya akan diperiksa

kebenarannya, kesesuainnya yang disebut dengan tahap editing. Kemudian

107
Ronny Hanitijo Soemitro, 1982, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,
Semarang, hal 24

45
data disusun secara sistematis berdasarkan klasifikasinya dan sesuai urutan

masalahnya. Setelah semua data hasil penelitian tersusun dengan baik maka

dilakukan analisis secara kualitatif menggunakan metode deskriptif

analisis.108 Semua data yang telah didapat dan diolah, dideskripsikan dan

dianalisis dengan teori yang akan digunakan dalam penelitian ini yang telah

dijabarkan diatas yang dikaitkan dengan rumusan masalah. Sehingga

didapatlah jawaban atas masalah yang dirumuskan, yang merupakan hasil

akhir dari pemelitian ini yang dapat dijadikan suatu pandangan teoritis

sebagai sebuah penemuan yang dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk

pengembangan ilmu hukum.

H. Sistematika Penelitian

BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan yang

memuat tentang latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian dan metode penelitian.

BAB II : Bab ini merupakan tinjauan pustaka yang

membahas tentang perbankan syariah,

perbankan konvensional, pembiayaan

perbankan syariah, hukum jaminan.

BAB III : Bab ini merupakan pembahasan

permasalahan yang memuat sistem

pengikatan jaminan dan pelaksanaan

108
Zainuddin Ali, 2011, Metode Penelitian Hukum, 2011, Sinar Grafika, Jakarta, hal 107

46
eksekusi pada pembiayaan perbankan

syariah di Indonesia.

BAB IV : Bab ini merupakan pembahasan

permasalahan yang memuat latar

belakang pentingnya pembentukan

lembaga jaminan syariah dalam

pembiayaan perbankan syariah di

Indonesia.

BAB V : Bab ini merupakan pembahasan

permasalahan yang memuat konstruksi

hukum jaminan yang mengatur jaminan

pada pembiayaan perbankan syariah di

Indonesia, sehingga perlu diadakan

rekonstruksi hukum jaminan.

BAB VI : Bab ini merupakan penutup yang

memuat kesimpulan dan saran.

47
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Al-Bouthi Said Ramadhan. 1982. Dhawabith al-Mashlahah fi al-syari’ah al-
Islamiyah, Beirut. Muassasah ar-Risalah
Ali, Zainuddin. 2011. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
-------------------------2010. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta. Sinar Grafika.

Al-Isfahani, Raghib, 2005, Mufradaat alfadzil Qur’an, Beirut, Daar al-Ma’rifah.


Al-Thahanawi, 2005, Mu’jam al-Isthilahaat al-Ulum wa al-Funun, jilid 1, Beirut:
Daar al-ma’rifat.
Antonio Muhammad Syafii, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, Gema
Insani Press, Jakarta:
Anshori, Abdul Ghofur. 2009. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarata.
Gadjah Mada University Press.

Ardhiwisastra Yudha Bhakti. 2000. Penafsiran dan Kontruksi hukum. Bandung.


Alumni.
Ardhi Gesied Eka Yunatha. 2010. “Analisis Pelaksanaan Rekontruksi Dalam
Proses Penyidikan Guna Mengungkap Pemenuhan Unsur Delik Pencurian
Dengan Kekerasan”, Surakarta. Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Arifin Zainal. Dasar - Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta. Pustaka Alvabet.
Bodenheimer dalam Satjipto Rahardjo. 2006. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti.
Bandung
Djoni S, Gazali dan Rachmadi Usman. 2012. Hukum Perbankan. Jakarta. Sinar
Grafika.
Djamil, Fathurrahman.2012. Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Di
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta. Sinar Grafika
Eka, Ardhi Yunatha Gesied. 2010. Analisis Pelaksanaan Rekontruksi Dalam
Proses Penyidikan Guna Mengungkap Pemenuhan Unsur Delik Pencurian
Dengan Kekerasan. Surakarta. Universitas Sebelas Maret

48
Friedman, M. Lawrence, 2001. An Introduction, ( Hukum Amareika : Sebuah
Pengantar ) Penerjemah : Wishnu Basuki. Jakarta. Tatanusa.
-------------------------------. 2013. The legal System A Social Perspektive,
Diterjemahkan oleh M. Khosim, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial.
Bandung. Nusa Media.
Hafidah, Noor, 2017. Hukum Jaminan Syariah & Implementasinya dalam
perbankan syariah di indonesia. Yogyakarta. UII Press.
Hakim, Atang Abd. 2011. Fiqih Perbankan Syari’ah Tranformasi Fiqih
Muamalah Ke Dalam Peraturan Perundang-Undangan. Bandung. Refika
Aditama.
Harahap, M. Yahya. 2017. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang
Perdata, Jakarta. Sinar Grafika.
Hidayatullah, Muhammad Syarif. 2017. Perbankan Syariah: Pengenalan
Fundamental dan Pengembangan Kontemporer. Banjarbaru. Dreamedia
HS, Salim. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesi. Jakarta. Raja
Grafindo Persada.
HS, Salim dan Erlies Septianan Nurbaini. 2016. Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis Dan Disertasi. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Irwansyah. 2021. Penelitian Hukum Pilihan Metode dan Praktik Penulisan
Artikel. Yogyakarta. Mirra Buana Media.
Ismail. 2013. Perbankan Syariah. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

Kasmir. 2014. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta. Rajawali Press.


----------2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta. PT. Raja Grafindo
Persada.
Khairani. 2016, Kepastian Hukum Hak Pekerja Outsourching Ditinjau dari
Konsep Hubungan Kerja antara Pekerja dengan Pemberi Kerja. Jakarta
PT.RajaGrafindo Persada.
Kelsen, Hans. 2007. Teori Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-empiris, Alih Bahasa Drs. H.
Somardi, BEE, Jakarta. Media Indonesia.

49
Manulang, Fernando M. 2007. Hukum Dalam Kepastian.Bandung. Prakarsa
Marzuki, Peter. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana.
Muhammad. 2005. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Yogyakarta. UPP
AMP YKPN.
Mardani. 2018. Hukum Islam dalam Hukum Positif di Indonesia. Depok. Rajawali
Pers.
Mertokusumo, Sudikno.2002. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan
Ketiga, Yogyakarta. Liberty.
------------------------------.2014. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar.
Yogyakarta. Cahaya Atma Pustaka.
Neni Sri Imaniyati dan Adam Agus Putra. 2016. Pengantar Hukum Perbankan di
Indonesia, Bandung. Refika Aditama.
Purnamasari, Irma Devita. 2014. Kiat-kita Cerdas, mudah, dan Bijak Memahami
Masalah Hukum Jaminan Perbankan. Bandung. Mizan Pustaka.
Rahardjo, Satjipto. 1981. Hukum Dalam Perspektif Sosial. Bandung. Penerbit
Alumni.
Sadi, Muhammad. 2015. Konsep Hukum Perbankan Syariah Pola Relasi Sebagai
Institusi Intermediasi dan Agen Investasi. Malang. Setara Prees.
Satrio, J. 2002. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia. Bandung. Citra
Aditya Bakti.
Sidharta. Arief. 2007. Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,
Teori Hukum dan Filsafat Hukum. Bandung. PT Refika Aditama.
Sjahdeini, St. Remy. 1999. Hak Tanggungan, Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok
dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan ( Suatu Kajian Mengenai
Undang-Undang Hak Tanggungan). Bandung. Alumni.
Soekanto, Soerjono. 2015. Pengantar Penelitian Hukum, Cet 3. Jakarta.
Universitas Indonesia Press.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1982. Metodologi Penelitian Hukum. Semarang.
Ghalia Indonesia.

50
Sumitro, Warkum. 2004. Asas – asas Perbankan Islam dan Lembaga – lembaga
Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal) di Indonesia. cetakan keempat.
Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.
Sutiyoso, Bambang. 2006. Metode Penemuan Hukum. Yogyakarta. UII Press.
Soewandi, I Made. 2005. Balang Lelang:Kewenangan Balai Lelang dalam
Penjualan Jaminan Kredit Macet. Yogyakarta. Yayasan Gloria.
Suadi, Amran. 2018. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah “Penemuan &
Kaidah Hukum”. Cetakan 1. Jakarta. Prenadamedia Group.
Sutedi, Adrian. 2012. Hukum Hak Tanggungan. Jakarta. Sinar Grafika.
Supriadi. 2018. Hukum Agraria. Jakarta. Sinar Grafika.
Subekti. 1997. Hukum Acara Perdata, Bandung. Bina Cipta.
Triyanta, Agus. 2016. Hukum Perbankan Syariah. Malang. Setara Press
Usman, Muhlish. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiya. Jakarta. Raja Grafindo
Persada.
Usman, Rachmadi. 2008, Hukum Jaminan Keperdataan. Jakarta. Sinar Grafika.
----------------------,2012. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta.
Sinar Grafika.
Ustman, Sabian. 2014. Metodologi Penenlitian Hukum Progresif. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar.
Wibowo, Edy dan Untung Hendi Widodo. 2005. Mengapa Memilih Bank
Syariah? Bogor. Ghalia Indonesia.
Wangsawidjaja, A. Z. 2012. Pembiayaan Bank Syariah. Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama.
Warkum Sumitro. 2004. Asas – asas Perbankan Islam dan Lembaga – lembaga
Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal) di Indonesia. cetakan keempat.
Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Wijaya, Ahsin. 2006. Kamus Ilmu AlQur`an. Jakarta. Amzah
Yaya, Rizal, dkk. 2014. Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik
Kontemporer. Jakarta. Salemba Empat.
Yuliadi, Imamudin. 2001. Ekonomi Islam Sebuah Pengantar Cetakan 1.
Yogyakarta. LPPI.

51
Zuhdi, Masjfuk. 2001. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. Jakarta. Gramedia
Group.
B. Peraturan Perundang-undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda yang berkaitan dengan Tanah.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomot 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah
Fatwa DSN MUI No 105/DSN-MUI/X/2016 Tentang Penjaminan Pengembalian
Modal Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah dan Wakalah bil Istismar
C. Jurnal dan website
Abduh dan Omar, 2012, Islamic banking and economic growth: the Indonesian
Experience”. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance
and Management, Volume 5 Nomor 1.
Abdul Nasir, Gamal. 2017. Kekosongan Hukum & Percepatan Perkembangan
Masyarakat. Jurnal Hukum Replik 5. Nomor 2, 1 September 2017.
Abu Bakar, Lastuti. 2015. Telaah Yuridis Perkembangan Lembaga dan Objek
Jaminan (Gagasan Pembaharuan Hukum Jaminan Nasional). Buletin
Hukum Kebanksentralan 12. Nomor 1 Tahun 2015.
Anwar, Muhazri, Yaswirman, dan Ulfa Nora. 2019. Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah dalam Kontrak Pembiayaan Murabahahdi Koperasi
Shabat Mitra Sejati. International Journal of Multicultural and
Multireligious Understanding. Volume 6 Nomor 3. Juni 2019.

52
Azheri, Busyra, 2018. “Urgency Of The Establishment Of A Special Court For
The Resolution Of Sharia Economic Dispute In The Religious Courts”.
Journal of Legal. Ethical and Regulatory Issues, Volume 21, Issue 1.
Fitriani ,Ifa Latifa. 2107. “Jaminan Dan Agunan Dalam Pembiayaan Bank
Syariah Dan Kredit Bank Konvensional”. Jurnal Hukum & Pembangunan
Volume 47 Nomor. 1.
Ichsan, Nurul. 2016. Akad Bank Syariah, Asy-Syir’ah. Jurnal Ilmu Syari’ah dan
Hukum. Volume 50 Nomor 2. Desember 2016.
Jamhari. 2000 “Civil Society di Masyarakat Muslim: Pengalaman Indonesia”,
Studia Islamika ( Indonesian Jurnal For Islamic Student ). Volem 7 Nomor
2.
KKBI, ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia’, KKBI, 2021
https://kbbi.web.id/konversi.html
Maharani, Dewi, and Taufiq Hidayat, 2020, Bank Dan Lembaga Keuangan
Syariah Dalam Perspektif Al-Qur’an. MALIA: Journal of Islamic Banking
and Finance, 4.1
Muhith Abdul, 2012, “Sejarah Perbankan Syariah”, Attanwir Jurnal Kajian
Keislaman dan Pendidikan”, Volume 01, Nomor 02, September 2012.
Muwahid. 2017. Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Oleh Hakim, Al-
Hukama. The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Volume 7 Nomor
21. Juni 2017
Qomariyah, Siti. 2015. Transformasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional : Idealisme Dan Realitas. Jurnal Penelitian 11, Nomor 1 Januari
2015.
Syarif Hidayatullah, Muhammad, dkk. 2022. Lembaga Jaminan Perbankan
Syariah Pada Peraturan Perundang-Undangan Nasional Dalam Tinjauan
Hukum Ekonomi Syariah, Mahkamah. Jurnal Kajian Hukum Islam 17.
Volume 7 Nomor 1. Juni 2022
Susanto, Nur Agus, 2014, “Dimensi Aksiologis Dari Putusan Kasus “ST” Kajian
Putusan Peninjauan Kembali Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012”, Jurnal Yudisial
Volume. 7 Nomor. 3 Desember 2014

53
Yolanda, Mezi Okta, Buzyra Azheri dan Wetria Fauzi. “Strength of Fiduciary
Deed in the Implementation of Bad Credit Execution by Financial
Institutions”. International Journal of Multicultural and Multireligious
Understanding. Volume. 7 Nomor. 05, Juni 2020.
Yuhelson. 2022. “Existence of Dependent Rights Guarantee Binding Related to
Financing of Musyarakah Facilities in Islamic Banking” Webology.
Volume 19. Number 1. January. 2022
Zuhdi. 2013. “Formulasi Teori Mashlahah dalam Paradigma Pemikiran Hukum
Islam Kontemporer” Jurnal Istinbath. Volume 12 Nomor 1 Desember 2013.

54

Anda mungkin juga menyukai