Abstrak
Dalam pembahasan makalah ini, akad murābaḥah merupakan salah satu intrumen
keuangan yang paling banyak digunakan oleh bank syariah. Sebagai intrumen
pendapatan tetap dan juga ia memiliki beberapa kesamaan dengan pinjaman
tradisional, seperti: mengkritik statusnya sebagai jalan alternatif yang sesuai dengan
shan’ah. Analisi data, dokumen yang relevan dan juga jalan yang terstruktur telah
menunjukkan bahwa kesamaan yang nampak tidak memiliki substansi yang hidup
(nyata) dan beberapa kekuatan murābaḥah terbukti. Adapun masalah yang sebenarnya
ialah masalah yang timbul (muncul) dengan menerapkan strategi perbankan syariah
seperti akusisi, sehingga digunakan sebagai tolok ukur non-muslim,dll.
Keywords: Kontemporer perbankan syariah, Isu-Isu akad murābaḥah dan Aplikasi
akad nurābaḥah
A. Pendahuluan
Perkembangan ekonomi syariah mengalami perkembangan signifikan
meskipun relatif melambat jika dibandingkan pada saat awal kemunculannya
pada tahun 1990-an. Ekonomi syariah banyak terkonsetrasi pada sektor finansial
tidak terlepas dari peran serta perkembangan sektor perbankan. Menurut Lukman
Dendawijaya (2005:14), mengemukakan “ Bank adalah suatu badan usaha yang
tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediaries),
yang menyelurkan dana dari pihak yang kelebihan dana (surplus unit) kepada
pihak yang membutuhkan dana atau kekurangan dana (deficit unit) pada waktu
yang ditentukan.” Dengan adanya kegiatan tersebut dapat meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan masyarakat banyak yang berimplikasi pada
perkembangan perekonomian di Indonesia.
Dalam dunia perbankan terdapat dua sistem yang digunakan dalam kegiatan
operasinya yaitu bank dengan sistem konvensional dan bank dengan sistem
syariah. Bank syariah berbeda dengan bank konvensional. Bank syariah
merupakan bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
atau prinsip hukum islam yang diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia
seperti prinsip keadilan dan keseimbangan ('adl wa tawazun), kemaslahatan
(maslahah), universalisme (alamiyah), serta tidak mengandung gharar, maysir,
riba, zalim dan obyek yang haram. Sedangkan bank konvensional yaitu bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang mana dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran berdasarkan prosedur
dan ketentuan yang telah ditetapkan.
Industri perbankan syariah di Indonesia mengalamai pertumbuhan yang
bervariasi sesuai dengan pertumbuhan ekonomi nasional.Pengembangan industri
perbankan syariah di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang (UU) yang
dikeluarkan oleh Pemerintah, maupun kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah,
Percepatan Pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia, sampai saat ini
terus didorong oleh otoritas perbankan, yaitu Otoritas Jasa keuangan menuju
industry perbankan syariah yang sehat, berkelanjutan, dan berkontribusi positif
dalam mendukung pembangunan ekonomi yang berkualitas.
Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata
pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, peran
industry perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional semakin
signifikan. Peran strategis ini terus didorong dengan beberapa kebijakan yang
telah ditetapan oleh lembaga yang berwenang. Hal ini terbukti bahwa salah satu
prioritas kebijakan OJK pada tahun 2016 sektor perbankan, adalah peningkatan
pilar utama dalam pengembangan perbankan syariah. Upaya ini dapat menjadikan
perbankan syariah sebagai alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat
dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Inovasi
produk yang sejalan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat melahirkan
produk kontribusi perbankan syariah.1
Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan memberikan
keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya,
1
Booklet Perbankan Indonesia 2016
pemegang surat berharga, para nasabah pembiayaan dan para nasabah penyimpan
dana di bank-bank syariah. Hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan Bank
Muamalat Indonesia melewati krisis yang terjadi pada tahun 1998 dengan
menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak menerima bantuan dari
pemerintah dan pada krisis keuangan tahun 2008, Bank Muamalat Indonesia
mampu memperoleh laba Rp 300 miliar lebih. Perkembangan bank syariah dapat
dilihat dari semakin berkembangnya jumlah Bank Umum Syariah (BUS).
Perkembangan bank syariah memberikan indikasi bahwa preferensi masyarakat
Indonesia semakin mengarah ke arah transaksi syariah, kondisi tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat telah mulai sadar akan keberadaan bank syariah
sebagai sarana pengelolaan dana keuangan yang tetap berlandaskan pada prinsip
syariah.
Tujuan bank syariah tidak hanya mencari keuntungan yang optimal, tetapi
juga memiliki peran dalam memberikan kesejahteraan secara luas bagi
masyarakat. Pembiayaan yang paling dominan dilakukan oleh Bank Syariah saat
ini adalah murābaḥah. Hal ini dikarenakan murābaḥah dapat memberikan
pendapatan yang pasti selama akad berlangsung. Didalam perbankan syariah
sendiri memiliki dua akad yaitu: akad wadi’ah dan akad murābaḥah disisi lainnya
perbankan syariah memiliki tiga perjanjian diantaranya akad wakālah, kafālah,
hawālah, sharf. Untuk definisi murābaḥah menurut landasan syariat ialah akad
yang menjual barang dengan harga penerimaan barang yang mencakup nilai suatu
barang dan dana yang dikeluarkan untuk memperolah barang dengan
menambahkan keuntungan atau margin yang disepakati bersama. Inti sari tersebut
merupakan ketika menggunakan akad murābaḥah, si penjual wajib memberitahu
atau menghubungi harga kepada pembelian-pembelian barang terlebih dahulu.
Dan pembagian akad murābaḥah juga dapat menimbulkan perjanjian tambahan
(accesoir_ untuk memperoleh keyakinan bahwa nasabah dapat memenuhi
kewajibannya dalan pembiayaan tersebut. Salah satunya ialah jaminan hak milik
berupa tanah yang di kenal dengan hak tanggungan. Salah satu hak tanggungan
ialah hak jaminan tanah, ini merupakan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 isinya
membahas tentang pokok dasar, pokok-pokok agraria, beserta benda-benda lain
yang tidak terpisahkan atau melekat pada tanah dengan tujuan untuk memenuhi
kewajiban dalam melunasi untuang dan menjadikan kedudukan penerima hak
jaminan didahulukan atas kreditur lainnya.
Adapun maksud dan tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk
menjelaskan mengenai konsep murābaḥah yang meliputi pengertian, landasan
hukum keharusannya, rukun dan syarat, manfaat dan resiko serta bentuk-bentuk
pembiayaan murābaḥah. Makalah ini termasuk ke dalam kajian perpustakaan
(library research), untuk memperoleh serta mengumpul bahan-bahan rujukan
dalam bentuk artikel yang berkaitan dengan judul yang diangkat dalam penulisan,
kemudian disajikan dengan metode desktiptif kualitatif.
Pembahasan
1. Pengertian Murabahah
Murabahah adalah salah satu skim di perbankan syariah yang paling
diminati masyarakat. Secara bahasa murabahah berasal dari kata ربحyang berarti
keuntungan, Sedangkan menurut istilah murabahah adalah jual beli dengan harga
pokok dengan tambahan keuntungan. Dalam pengertian lain murabahah adalah
akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah
keuntungan yang disepakati yang di dalamnya penjual harus mengungkapkan
biaya perolehan barang kepada pembeli. Walau bagaimanapun, jika dilihat dari
aspek komersial, hanya memberi keuntungan pihak penjual dan pembeli saja,
tetapi dari aspek yang lain, tetap memberi keuntungan kepada pembeli yaitu
dalam bentuk tercapai hajatnya untuk memperoleh dan memiliki sesuatu barang.
(Mansor, 2002: 126).
Murābaḥah diharuskan menjadi salah satu intrumen pembiayaan
berdasarkan daripada al-Qur’ān dan al-Ḥadīth maupun ijmak (al-Kāsānī, 220).
Para ulama mendefinisikan murābaḥah dengan berbagai bentuk definisi tetapi
dengan maksud yang relatif sama.
Adapun murabahah menurut beberapa Ahli Fiqhi ialah Sebagai berikut :
a. Ibn Qudāmah memberikan definisi sebagai suatu bentuk perniagaan yang
menjual suatu barang dengan harga modal serta menambah keuntungan
yang diketahui (Ibn Qudāmah, 1972:102, al-Dasūqī: 159).
b. Al-Imām Māik turut menjelaskan bahwa murābaḥah yaitu apabila ia
menjual sesuatu dengan mengambil keuntungan satu dirham bagi setiap
dirham modal yang dikeluarkannya atau setengah dirham bagi setiap
dirham yang dikeluarkannya, atau sebelas dirham bagi setiap sepuluh
dirham modal yang dikeluarkannya, dari segi untungnya sedikit dari modal
atau untungnya lebih banyak daripada modal, bergantung di atas
persetujuan kedua belah pihak (Ṣaḥnūn: 325). Al-Imām Mālik
mendasarkan keabsahan murābaḥah dengan ‘amalu ahli al-Madīnah “Ada
konsensus pendapat di sini (Madinah) mengenai hukum orang yang
membeli baju di sebuah kota, dan mengembalikannya ke kota lain untuk
menjualnya berdasarkan suatu kesepakatan terhadap keuntungan”
(Maulidizen, 2016: 35).
c. Al-Imām al-Shāfiʻī menerima keabsahan murābaḥah. Beliau menyatakan:
“Jika seseorang menunjukkan komoditi kepada seseorang dan mengatakan,
“Kamu beli untukku, aku akan memberimu keuntungan begini, begini”,
kemudian orang itu membelinya, maka transaksi itu sah” (al-Shāfiʻī,
1968:33). Al-Imām al-Nawawī, salah satu tokoh dalam mazhab Shāfiʻī
menyatakan murābaḥah sah menurut hukum tanpa ada bantahan (al-
Nawawī:526).
d. Ibn Rushd mendefinisikan murābaḥah sebagai jual beli barangan pada
harga modal dengan tambahan keuntungan yang disepakati (Ibn Rushd,
1988: 216).
Dari beberapa pendapat Ahli Fiqhi diatas dapat ditark pengertian bahwa
murābaḥah merupakan penjualan barang pada harga tertentu yang meliputi harga
beli dan margin keuntungan dan seharusnya harga tersebut disepakati oleh kedua-
kedua pihak berkontrak (Usmani, 2002:41). Dengan menggunakan kaedah
murābaḥah, pemilik barangan (pihak bank) membuat perjanjian jual beli dengan
nasabah. Dalam hal ini nasabah sebagai rekan perkongsian memohon dari pihak
bank untuk membeli suatu aset untuknya. Pihak bank akan membeli aset yang
dikehendaki dan akan menjual kepada nasabah dengan suatu tingkat harga yang
meliputi biaya awal beserta tambahan untung berpedoman kepada persetujuan
kedua-kedua belah pihak.2 Nasabah juga akan membayar balik secara ansuran
mengikut tempoh tertentu yang disetujui bersama tanpa adanya bunga yang
dikenakan ke atas hutang tersebut. Jadi dapat kita simpulkan bahawa, murābaḥah
adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan
(margin) yang disepakati penjual dan pembeli (Karim, 2004: 34). Sedangkan yang
2
Sholihuddin, 2011:111. Sutedi, 2009:95.
dimaksud harga dalam jual beli murābaḥah adalah harga beli dan biaya yang
diperlukan ditambah keuntungan sesuai dengan hasil kesepakatan (Burhanuddin,
2010:73).
Dari kedua ayat dan hadist diatas diketahui bahwa Allah membedakan
antara jual beli dan riba secara hukum.15 Allah mengharamkan riba dan
menghalalkan jual beli. Jual beli menjadi halal menurut peraturan yang diakui
oleh syariat, yaitu jual beli yang dilakukan suka sama suka atau saling rela di
antara pihak pembeli dan pihak penjual.
B. Syarat Murabahah
1. Pihak yang berakad, harus ikhlas dan mampu untuk melakukan transaksi jual
beli.
2. Barang yang di perjual belikan(Objek jual beli), kesanggupan bagi penjual
untuk mengadakan barang tersebut, milik sah penjual, berwujud dan
merupakan barang halal. Sesuai spesifikasinya antara yang diserahkan dan
yang di terima pembeli.
3. Harga, harga jual yang ditawarkan oleh bank merupakan harga beli ditambah
dengan margin keuntungan, harga jual tidak boleh berubah selama masa
perjanjian, sistem dan jangka
4. Waktu pembayaran disepakati bersama antara penjual dan pembeli.
5. Tidak mengandung unsur paksaan, tipuan dan mudharat.
4. Jenis-Jenis Murabahah
Pembiayaan murābaḥah di Perbankan Syariah dibagikan kepada dua jenis
yaitu murābaḥah berdasarkan pesanan dan tanpa pesanan, seperti berikut
(Musjtari, 2000:56-59)
1. Murābaḥah tanpa pesanan
Murābaḥah tanpa pesanan maksudnya ada yang pesan atau tidak, ada yang
beli atau tidak, Bank (baʻi) menyediakan barang. Penyediaan barang pada
murābaḥah model ini tidak terpengaruh atau terikat langsung dengan ada tidaknya
pesanan atau pembeli. Pengadaan barang yang dilakukan oleh penjual ini dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu;
a. Membeli barang jadi kepada produsen ( prinsip murābaḥah),
b. Memesan kepada pembuat barang dengan pembayaran yang dilakukan
secara keseluruhan setelah akad (salam),
c. Memesan kepada pembuat atau produsen dengan pembayaran yang boleh
dilakukan didepan, selama dalam proses pembuatan, atau setelah
penyerahan barang (istiṣnā’),
d. Merupakan barang-barang persediaan murābaḥah atau mushārakah.
Penutup
Daftar Pustaka
Saed Abdullah. 1996. Islamic Banking and Interest: A Study of The Prohibition of Riba
and Its Contemporary Interpretation. Leiden: E.J Brill..
Sutedi, Adrian. 2009. Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Budiono, Arief. 2017. Penerapan Prinsip Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah.
Jural Law and Justice. Vol. 2, No. 1.