Anda di halaman 1dari 16

Akad Murabahah & Aplikasinya di lembaga keuangan Syariah.

Adisya Alif Waldani / Andharies Sekar Langit / Wisyahatun Nurohmah Al Ghozali


Sekolsh Tinggi Ilmu Manajemen Dan Ilmu Komputer ESQ Bussiness School
a.alif.w@students.esqbs.ac.id/a.sekar.l@students.esqbs.ac.id/
w.n.rohmah.a.g@students.esqbs.ac.id

Abstrak
Dalam pembahasan makalah ini, akad murābaḥah merupakan salah satu intrumen
keuangan yang paling banyak digunakan oleh bank syariah. Sebagai intrumen
pendapatan tetap dan juga ia memiliki beberapa kesamaan dengan pinjaman
tradisional, seperti: mengkritik statusnya sebagai jalan alternatif yang sesuai dengan
shan’ah. Analisi data, dokumen yang relevan dan juga jalan yang terstruktur telah
menunjukkan bahwa kesamaan yang nampak tidak memiliki substansi yang hidup
(nyata) dan beberapa kekuatan murābaḥah terbukti. Adapun masalah yang sebenarnya
ialah masalah yang timbul (muncul) dengan menerapkan strategi perbankan syariah
seperti akusisi, sehingga digunakan sebagai tolok ukur non-muslim,dll.
Keywords: Kontemporer perbankan syariah, Isu-Isu akad murābaḥah dan Aplikasi
akad nurābaḥah

A. Pendahuluan
Perkembangan ekonomi syariah mengalami perkembangan signifikan
meskipun relatif melambat jika dibandingkan pada saat awal kemunculannya
pada tahun 1990-an. Ekonomi syariah banyak terkonsetrasi pada sektor finansial
tidak terlepas dari peran serta perkembangan sektor perbankan. Menurut Lukman
Dendawijaya (2005:14), mengemukakan “ Bank adalah suatu badan usaha yang
tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediaries),
yang menyelurkan dana dari pihak yang kelebihan dana (surplus unit) kepada
pihak yang membutuhkan dana atau kekurangan dana (deficit unit) pada waktu
yang ditentukan.” Dengan adanya kegiatan tersebut dapat meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan masyarakat banyak yang berimplikasi pada
perkembangan perekonomian di Indonesia.
Dalam dunia perbankan terdapat dua sistem yang digunakan dalam kegiatan
operasinya yaitu bank dengan sistem konvensional dan bank dengan sistem
syariah. Bank syariah berbeda dengan bank konvensional. Bank syariah
merupakan bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
atau prinsip hukum islam yang diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia
seperti prinsip keadilan dan keseimbangan ('adl wa tawazun), kemaslahatan
(maslahah), universalisme (alamiyah), serta tidak mengandung gharar, maysir,
riba, zalim dan obyek yang haram. Sedangkan bank konvensional yaitu bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang mana dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran berdasarkan prosedur
dan ketentuan yang telah ditetapkan.
Industri perbankan syariah di Indonesia mengalamai pertumbuhan yang
bervariasi sesuai dengan pertumbuhan ekonomi nasional.Pengembangan industri
perbankan syariah di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang (UU) yang
dikeluarkan oleh Pemerintah, maupun kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah,
Percepatan Pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia, sampai saat ini
terus didorong oleh otoritas perbankan, yaitu Otoritas Jasa keuangan menuju
industry perbankan syariah yang sehat, berkelanjutan, dan berkontribusi positif
dalam mendukung pembangunan ekonomi yang berkualitas.
Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata
pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, peran
industry perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional semakin
signifikan. Peran strategis ini terus didorong dengan beberapa kebijakan yang
telah ditetapan oleh lembaga yang berwenang. Hal ini terbukti bahwa salah satu
prioritas kebijakan OJK pada tahun 2016 sektor perbankan, adalah peningkatan
pilar utama dalam pengembangan perbankan syariah. Upaya ini dapat menjadikan
perbankan syariah sebagai alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat
dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Inovasi
produk yang sejalan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat melahirkan
produk kontribusi perbankan syariah.1
Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan memberikan
keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya,
1
Booklet Perbankan Indonesia 2016
pemegang surat berharga, para nasabah pembiayaan dan para nasabah penyimpan
dana di bank-bank syariah. Hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan Bank
Muamalat Indonesia melewati krisis yang terjadi pada tahun 1998 dengan
menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak menerima bantuan dari
pemerintah dan pada krisis keuangan tahun 2008, Bank Muamalat Indonesia
mampu memperoleh laba Rp 300 miliar lebih. Perkembangan bank syariah dapat
dilihat dari semakin berkembangnya jumlah Bank Umum Syariah (BUS).
Perkembangan bank syariah memberikan indikasi bahwa preferensi masyarakat
Indonesia semakin mengarah ke arah transaksi syariah, kondisi tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat telah mulai sadar akan keberadaan bank syariah
sebagai sarana pengelolaan dana keuangan yang tetap berlandaskan pada prinsip
syariah.
Tujuan bank syariah tidak hanya mencari keuntungan yang optimal, tetapi
juga memiliki peran dalam memberikan kesejahteraan secara luas bagi
masyarakat. Pembiayaan yang paling dominan dilakukan oleh Bank Syariah saat
ini adalah murābaḥah. Hal ini dikarenakan murābaḥah dapat memberikan
pendapatan yang pasti selama akad berlangsung. Didalam perbankan syariah
sendiri memiliki dua akad yaitu: akad wadi’ah dan akad murābaḥah disisi lainnya
perbankan syariah memiliki tiga perjanjian diantaranya akad wakālah, kafālah,
hawālah, sharf. Untuk definisi murābaḥah menurut landasan syariat ialah akad
yang menjual barang dengan harga penerimaan barang yang mencakup nilai suatu
barang dan dana yang dikeluarkan untuk memperolah barang dengan
menambahkan keuntungan atau margin yang disepakati bersama. Inti sari tersebut
merupakan ketika menggunakan akad murābaḥah, si penjual wajib memberitahu
atau menghubungi harga kepada pembelian-pembelian barang terlebih dahulu.
Dan pembagian akad murābaḥah juga dapat menimbulkan perjanjian tambahan
(accesoir_ untuk memperoleh keyakinan bahwa nasabah dapat memenuhi
kewajibannya dalan pembiayaan tersebut. Salah satunya ialah jaminan hak milik
berupa tanah yang di kenal dengan hak tanggungan. Salah satu hak tanggungan
ialah hak jaminan tanah, ini merupakan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 isinya
membahas tentang pokok dasar, pokok-pokok agraria, beserta benda-benda lain
yang tidak terpisahkan atau melekat pada tanah dengan tujuan untuk memenuhi
kewajiban dalam melunasi untuang dan menjadikan kedudukan penerima hak
jaminan didahulukan atas kreditur lainnya.
Adapun maksud dan tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk
menjelaskan mengenai konsep murābaḥah yang meliputi pengertian, landasan
hukum keharusannya, rukun dan syarat, manfaat dan resiko serta bentuk-bentuk
pembiayaan murābaḥah. Makalah ini termasuk ke dalam kajian perpustakaan
(library research), untuk memperoleh serta mengumpul bahan-bahan rujukan
dalam bentuk artikel yang berkaitan dengan judul yang diangkat dalam penulisan,
kemudian disajikan dengan metode desktiptif kualitatif.

Pembahasan
1. Pengertian Murabahah
Murabahah adalah salah satu skim di perbankan syariah yang paling
diminati masyarakat. Secara bahasa murabahah berasal dari kata ‫ ربح‬yang berarti
keuntungan, Sedangkan menurut istilah murabahah adalah jual beli dengan harga
pokok dengan tambahan keuntungan. Dalam pengertian lain murabahah adalah
akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah
keuntungan yang disepakati yang di dalamnya penjual harus mengungkapkan
biaya perolehan barang kepada pembeli. Walau bagaimanapun, jika dilihat dari
aspek komersial, hanya memberi keuntungan pihak penjual dan pembeli saja,
tetapi dari aspek yang lain, tetap memberi keuntungan kepada pembeli yaitu
dalam bentuk tercapai hajatnya untuk memperoleh dan memiliki sesuatu barang.
(Mansor, 2002: 126).
Murābaḥah diharuskan menjadi salah satu intrumen pembiayaan
berdasarkan daripada al-Qur’ān dan al-Ḥadīth maupun ijmak (al-Kāsānī, 220).
Para ulama mendefinisikan murābaḥah dengan berbagai bentuk definisi tetapi
dengan maksud yang relatif sama.
Adapun murabahah menurut beberapa Ahli Fiqhi ialah Sebagai berikut :
a. Ibn Qudāmah memberikan definisi sebagai suatu bentuk perniagaan yang
menjual suatu barang dengan harga modal serta menambah keuntungan
yang diketahui (Ibn Qudāmah, 1972:102, al-Dasūqī: 159).
b. Al-Imām Māik turut menjelaskan bahwa murābaḥah yaitu apabila ia
menjual sesuatu dengan mengambil keuntungan satu dirham bagi setiap
dirham modal yang dikeluarkannya atau setengah dirham bagi setiap
dirham yang dikeluarkannya, atau sebelas dirham bagi setiap sepuluh
dirham modal yang dikeluarkannya, dari segi untungnya sedikit dari modal
atau untungnya lebih banyak daripada modal, bergantung di atas
persetujuan kedua belah pihak (Ṣaḥnūn: 325). Al-Imām Mālik
mendasarkan keabsahan murābaḥah dengan ‘amalu ahli al-Madīnah “Ada
konsensus pendapat di sini (Madinah) mengenai hukum orang yang
membeli baju di sebuah kota, dan mengembalikannya ke kota lain untuk
menjualnya berdasarkan suatu kesepakatan terhadap keuntungan”
(Maulidizen, 2016: 35).
c. Al-Imām al-Shāfiʻī menerima keabsahan murābaḥah. Beliau menyatakan:
“Jika seseorang menunjukkan komoditi kepada seseorang dan mengatakan,
“Kamu beli untukku, aku akan memberimu keuntungan begini, begini”,
kemudian orang itu membelinya, maka transaksi itu sah” (al-Shāfiʻī,
1968:33). Al-Imām al-Nawawī, salah satu tokoh dalam mazhab Shāfiʻī
menyatakan murābaḥah sah menurut hukum tanpa ada bantahan (al-
Nawawī:526).
d. Ibn Rushd mendefinisikan murābaḥah sebagai jual beli barangan pada
harga modal dengan tambahan keuntungan yang disepakati (Ibn Rushd,
1988: 216).

Dari beberapa pendapat Ahli Fiqhi diatas dapat ditark pengertian bahwa
murābaḥah merupakan penjualan barang pada harga tertentu yang meliputi harga
beli dan margin keuntungan dan seharusnya harga tersebut disepakati oleh kedua-
kedua pihak berkontrak (Usmani, 2002:41). Dengan menggunakan kaedah
murābaḥah, pemilik barangan (pihak bank) membuat perjanjian jual beli dengan
nasabah. Dalam hal ini nasabah sebagai rekan perkongsian memohon dari pihak
bank untuk membeli suatu aset untuknya. Pihak bank akan membeli aset yang
dikehendaki dan akan menjual kepada nasabah dengan suatu tingkat harga yang
meliputi biaya awal beserta tambahan untung berpedoman kepada persetujuan
kedua-kedua belah pihak.2 Nasabah juga akan membayar balik secara ansuran
mengikut tempoh tertentu yang disetujui bersama tanpa adanya bunga yang
dikenakan ke atas hutang tersebut. Jadi dapat kita simpulkan bahawa, murābaḥah
adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan
(margin) yang disepakati penjual dan pembeli (Karim, 2004: 34). Sedangkan yang
2
Sholihuddin, 2011:111. Sutedi, 2009:95.
dimaksud harga dalam jual beli murābaḥah adalah harga beli dan biaya yang
diperlukan ditambah keuntungan sesuai dengan hasil kesepakatan (Burhanuddin,
2010:73).

2. Dasar Hukum murabahah


Pada dasarnya, al-qur’an tidak membuat acuan langsung berkenaan dengan
murabahah, walaupun ada beberapa acuan di dalamnya untuk menjual
keuntungan,kerugian dan perdagangan. Demikian juga, nampaknya tidak ada
hadis yang memiliki acuan langsung kepada murabahah.
Namun demikian ada beberapa dalil yang dapat di jadikan sandaran
mengenai murabahah, karena pada asalnya segala sesuatu yang tidak ada nash
yang mengharamkan atau menghalalkanya, itu kembali kepada hukum asalnya,
boleh.
Adapun beberapa dalil al-quran yang di jadikan dasar hukum murabahah:
Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:

ِّ ‫َح َّل اللَّ هُ الْ َب ْي َع َو َح َّر َم‬


‫الر بَا‬ َ ‫َو أ‬
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”

‫ون جِت َ َار ًة َع ْن‬ ْ ‫ِل إِاَّل أ‬


َ ‫َن تَ ُك‬ ِ ‫آم نُ وا اَل تَ أْ ُك لُ وا أ َْم َو الَ ُك ْم َب ْي نَ ُك ْم بِالْ بَ اط‬ َّ
َ ‫يَا أَيُّ َه ا ال ذ‬
َ ‫ِين‬
‫يما‬
ً ‫ِك ْم َر ِح‬ َ ‫ِن اللَّ هَ َك‬
ُ ‫ان ب‬ ٍ ‫َت َر‬
َّ ‫ إ‬Tۚ ‫ َو اَل َت ْق ُت لُ وا أَ ْن ُف َس ُك ْم‬Tۚ ‫اض ِم ْن ُك ْم‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

َ َ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َوآل ِِه َو َس لَّ َم ق‬


‫ إِمِّنَا‬:‫ال‬ ِ َّ ‫َع ْن أَيِب ْ َسعِْي ٍد اخْلُ ْد ِر ْي رضي اهلل عنه أ‬
َ ‫َن َر ُس ْو َل اهلل‬
ٍ ‫الَْبْي ُع َعن َتَر‬
‫ (رواه البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان‬،‫اض‬
Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual
beli itu harus dilakukan suka sama suka." (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan
dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).

Dari kedua ayat dan hadist diatas diketahui bahwa Allah membedakan
antara jual beli dan riba secara hukum.15 Allah mengharamkan riba dan
menghalalkan jual beli. Jual beli menjadi halal menurut peraturan yang diakui
oleh syariat, yaitu jual beli yang dilakukan suka sama suka atau saling rela di
antara pihak pembeli dan pihak penjual.

3. Rukun dan Syarat


Dalam aturan ba’i Al-murabahah terdapat rukun dan syarat yang harus di
penuhi oleh para calon nasabah atau sebagai pembeli dan Bank sebagai penjual
apabila salah satu syarat itu tidak terpenuhi maka transaksi tidak sah, adapun
rukun dan syarat murabahah adalah sebagai berikut:
A. Rukun Murabahah
1. Pihak yang berakad
Penjual adalah pihak yang memiliki objek barang yang akan diperjual belikan.
Dalam transaksi melalui perbankan syariah maka pihak penjual adalah bank
syariah. Pembeli merupakan pihak yang ingin memperoleh barang yang
diharapkan, dengan membayar sejumlah uang tertentu kepada penjual.
Pembeli dalam transaksi perbankan syariah adalah nasabah.
2. Obyek yang akan di akadkan
Objek jual beli merupakan barang yang akan digunakan sebagai objek
transaksi jual beli. Sedangkan harga merupakan harga yang disebutkan dengan
jelas dan disepakati antara penjual dan pembeli.
3. Akad (sigat)
Ijab dan qabul merupakan kesepakatan penyerahan dan penerimaan barang
yang diperjualbelikan.

B. Syarat Murabahah
1. Pihak yang berakad, harus ikhlas dan mampu untuk melakukan transaksi jual
beli.
2. Barang yang di perjual belikan(Objek jual beli), kesanggupan bagi penjual
untuk mengadakan barang tersebut, milik sah penjual, berwujud dan
merupakan barang halal. Sesuai spesifikasinya antara yang diserahkan dan
yang di terima pembeli.
3. Harga, harga jual yang ditawarkan oleh bank merupakan harga beli ditambah
dengan margin keuntungan, harga jual tidak boleh berubah selama masa
perjanjian, sistem dan jangka
4. Waktu pembayaran disepakati bersama antara penjual dan pembeli.
5. Tidak mengandung unsur paksaan, tipuan dan mudharat.

Dengan adanya lima persyaratan tersebut di atas akan memberikan jaminan


sahnya kontrak dan terhindar dari amalan riba (Ḥasanīn,1992:20). Para Fuqaha
menggolongkan murābaḥah dalam kategori jenis kontrak buyūʻ al-amānah
lantaran disyaratkan supaya penjual ketika melakukan kontrak ini terlebih dahulu
menyatakan harga perolehan barang yang dibelinya itu sebelum menentukan
harga jual (Shubair, 1998:163-164). Jika didapati bahawa informasi mengenai
harga perolehan tidak betul, maka pembeli berhak membuat pilihan (khiyār)
untuk membatalkan atau meneruskannya (al-Kāsānī:222). Khiyār itu memiliki
barang dengan harga yang benar dan berpatutan atau memulangkannya. Akan
tetapi sekiranya barang tersebut sudah tidak lagi ditangan pembeli, maka dia tidak
punya pilihan lain kecuali mengesahkan pembelian tersebut (al-Ḥumām:137).
Walau bagaimanapun penjual diharuskan mengurangkan harga atau
memulangkan perbedaan harga tanpa menghitung barang masih ada ataupun
sudah tiada (al- Sharbīnī:79).

4. Jenis-Jenis Murabahah
Pembiayaan murābaḥah di Perbankan Syariah dibagikan kepada dua jenis
yaitu murābaḥah berdasarkan pesanan dan tanpa pesanan, seperti berikut
(Musjtari, 2000:56-59)
1. Murābaḥah tanpa pesanan
Murābaḥah tanpa pesanan maksudnya ada yang pesan atau tidak, ada yang
beli atau tidak, Bank (baʻi) menyediakan barang. Penyediaan barang pada
murābaḥah model ini tidak terpengaruh atau terikat langsung dengan ada tidaknya
pesanan atau pembeli. Pengadaan barang yang dilakukan oleh penjual ini dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu;
a. Membeli barang jadi kepada produsen ( prinsip murābaḥah),
b. Memesan kepada pembuat barang dengan pembayaran yang dilakukan
secara keseluruhan setelah akad (salam),
c. Memesan kepada pembuat atau produsen dengan pembayaran yang boleh
dilakukan didepan, selama dalam proses pembuatan, atau setelah
penyerahan barang (istiṣnā’),
d. Merupakan barang-barang persediaan murābaḥah atau mushārakah.

Prosedur transksi murābaḥah model ini dilakukan bāʻi dengan mushtarī


dengan tahapan-tahapan sebagai berikut;
a. Mushtarī melakukan proses perundingan atau tawar menawar keuntungan
dan menentukan syarat pembayaran dan barang sudah berada di tangan
bāʻi. Pada saat perundingan ini bāʻi harus memberitahu dengan jujur
perolehan barang yang dijual belikan beserta keadaan barangnya,
b. Apabila kedua belah pihak setuju, tahapan selanjutnya dilakukan akad
untuk transaksi jual beli murābaḥah tersebut,
c. Tahap berikutnya bāʻi menyerahkan barang, pada proses penyerahan
barang ini hendaknya diperhatikan syarat penyerahan barang, misalnya
sampai mushtarī atau sampai bāʻi saja. Hal ini akan mempengaruhi biaya
yang akan dikeluarkan dan akhirnya akan memberi pengaruh terhadap
harga perolehan barang,
d. Setelah penyerahan barang, mushtarī melakukan pembayaran harga jual
barang dan dapat dilakukan secara tunai atau tangguh. Kewajiban
mushtarī adalah sebesar harga jual, yang meliputi harga pokok ditambah
dengan keuntungan yang disepakati dan dikurangkan dengan wang muka
(jika ada).

2. Murābaḥah dengan pesanan


Murābaḥah berdasarkan pesanan maksudnya yaitu mekanisme penjualan di
mana dua pihak atau lebih berunding dan berjanji satu sama lain untuk
melaksanakan suatu kesepakatan bersama, di mana pemesan (nasabah/ mushtarī)
meminta Bank (bāʻi) untuk membeli aset yang kemudian dimiliki secara sah oleh
pihak mushtarī. Mushtarī menjanjikan kepada bā’i untuk membeli aset yang telah
dibeli dan memberikan keuntungan atas pesanan tersebut. Janji pemesan di dalam
murābaḥah berdasarkan pesanan boleh bersifat mengikat dan tidak. Para Fuqaha
Awal sepakat mengenai bolehnya penjualan ini dan mengatakan bahwa pemesan
tidak harus terikat untuk memenuhi janjinya, sedangkan Institusi fiqih Islam telah
mengatur agar pemesan diberikan pilihan apakah akan membeli aset atau
menolaknya ketika ditawarkan kepadanya oleh pembeli. Perkara tersebut
bertujuan agar transaksi tersebut tidak mengarahkan seseorang untuk menjual apa
yang tidak dimilikinya, karena ini adalah haram, atau melakukan amalan lain
yang diharamkan oleh Syara’.
Apabila Bank Syariah melaksanakan murābaḥah berdasarkan pesanan,
terdapat beberapa risiko yang terkandung dalam transaksi tersebut, yaitu:
1) Murābaḥah berdasarkan pesanan bersifat tidak mengikat. Risiko bagi bāʻi
yang timbul dari transaksi murābaḥah berdasarkan pesanan dengan sifat
tidak mengikat adalah setelah bāʻi membeli barang sesuai pesanan
mushtarī membatalkan barang yang dipesan tersebut.
2) Murābaḥah berdasarkan pesanan bersifat mengikat, risiko bagi bāʻi atas
transaksi murābaḥah berdasarkan pesanan yang bersifat mengikat ini lebih
kecil daripada transaksi murābaḥah berdasarkan pesanan yang bersifat
tidak mengikat. Salah satu mengikat mushtari adalah bāʻi meminta uang
muka kepada mushtarī dan harus disetorkan kepada bāʻi

5. Aplikasi Akad Murabahah di bank Syariah


Perbankan Syariah telah berkembang dan mengadopsi berbagai kontrak
penjualan Islam untuk membantu pendanaan konsumennya. Kontrak-kontrak
tersebut secara mendalam telah dinyatakan dalam Syariah dan dikembangkan
melalui sejarah yang panjang oleh para pemikir ekonomi Islam. Salah satunya
adalah jual beli murābaḥah, seperti dipraktekkan oleh Bank Islam. Namun dalam
dunia modern, istilah tersebut sudah merupakan perluasan dari pengertiannya
yang klasik. Penerapannya pada institusi keuangan Islam modern adalah nasabah
mengajukan pembiayaan dengan system murābaḥah kepada bank Syariah untuk
membelikan barang-barang (produktif dan konsumtif) yang diketahui sifat-
sifatnya, di mana nasabah dan bank mengetahui barang tersebut secara nyata dan
oleh bank siap untuk mengadakan barang yang dibutuhkan nasabah. Kemudian
dibuat suatu akad atau perjanjian antara nasabah dan bank mengenai kesanggupan
pihak bank untuk membeli barang yang dikehendaki dan kesanggupan nasabah
untuk membeli barang tersebut. Akad ini bukanlah akad jual beli, melainkan akad
untuk mengadakan jual beli (Mujahidin:57).
Akad murabahah yang ada pada perbankan syariah diaplikasikan dengan
beberapa skema diantaranya:
a. Bank syariah dan nasabah melakukan negosiasi tentang rencana transaksi
jual beli yang akan dilaksanakan.
b. Bank syariah melakukan akad jual beli dengan nasabah dimana bank
syariah sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Dalam akad ini
ditetapkan barang yang menjadi objek jual beli yang telah dipilih oleh
nasabah dan harga jual barang.
c. Atas dasar akad yang dilaksanakan antara bank syariah dan nasabah, maka
bank syariah membeli barang dari supplier.
d. Supplier mengirimkan barang kepada nasabah atas perintah bank syariah.
e. Nasabah menerima barang dari supplier dan menerima dokumen
kepemilikan barang tersebut.
f. Setelah menerima barang dan dokumen, maka nasabah melakukan
pembayaran. Pembayaran yang lazim dilakukan oleh nasabah adalah
dengan pembayaran angsuran.
Aplikasi akad murabahah seperti skema diatas dilarang dalam Islam, karena
bank sudah mengikat nasabah dengan akad jual beli sedangkan bank belum
membeli atau memiliki barang yang diminta atau dipesan oleh nasabah.
Dalam aplikasi ini juga bank telah melakukan akad jual beli kepada nasabah
sedangkan objek akad belum dimiliki oleh bank. Bank telah melakukan akad atas
sesuatu yang tidak nyata adanya pada saat akad, akad ini disebut dengan bai’
ma’dum dalam Islam. Bai’ ma’dum hukumnya haram karena mengandung gharar
dan bersifat spekulatif.

6. Isu-isu Kontemporer (Studi Kasus Murabahah bial- Wakalah Pada Bank


Muamalat Indonesia Cabang Sungkono Surabaya)
Seperti perbankan syariah Internasional, transaksi murabahah juga
merupakan suatu transaksi terbesar di Bank Muamalat Indonesia karena
dipandang sebagai transaksi yang memiliki tingkat resiko teringan dibandingkan
dengan yang lain, seperti mudarabah. Pembiayaan murabahah yang terus
berkembang dari waktu ke waktu untuk menyesuaikan kebutuhan nasabah mulai
banyak terjadi kurangnya pemahaman masyarakat antara teori dengan praktek
murabahah yang ada pada perbankan syariah di Indonesia. Dalam hal semacam
inilah diperlukan sebuah solusi untuk menjelaskan praktek murabahah kurang
sesuai dengan aturan dan teori sebagaimana mestinya.
Penerapan akad murabahah untuk penyaluran pembiayaan modal kerja di
Bank Muamalat Indonesia dilakukan dengan akad murabahah yang disertai
dengan akad wakalah kepada nasabah untuk membeli barang, karena sebagian
besar transaksi murabahah yang dilaksanakan oleh Bank Muamalat Indonesia
Cabang Sungkono Surabaya dengan supplier yang berada di luar negeri. Dalam
hal ini bank hanya bertindak sebagai lembaga intermediasi atau penyalur untuk
nasabah kepada pihak ketiga. Adapun persyaratan calon nasabah yang akan
melakukan permohonan pembiayaan kepada Bank Muamalat sudah diatur dalam
buku pedoman pembiayaan Bank Muamalat.
Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan sebuah lembaga yang berada di
bawah naungan Majelis Ulama Indonesia, yang dipimpin oleh Ketua Umum
MajelisUlama Indonesia (MUI). Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah
mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariat
Islam. Untuk keperluan pengawasan, Dewan Syariah Nasional membuat garis
panduan pada produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam.
Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Syariah Nasional pada
lembagalembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan produk-
produknya. Garis panduan produk syariah adalah Fatwa Dewan Syariah Nasional
merupakan pertauran dan ketentuan yang berkenaan dengan semua kegiatan dalam
lembaga keuangan syariah.
Menurut fikih Islam, dalam akad murabahah, baik pada saat transaksi
maupun tidak, penjual memang sudah memiliki persediaan barang untuk di
murabahah-kan. Namun, merujuk kepada Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000
ketetapan pertama ayat tiga dimana “bank membiayai sebagian atau seluruh harga
pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.” Dalam hal ini posisi Bank
Muamalat Indonesia bukanlah sebagai penjual murni yang memang memiliki
persediaan barang atau komoditi sebelum melakukan murabahah dengan nasabah.
Dalam pelaksanaanya bank hanya akan melakukan pembelian barang atau
komoditi sebagai syarat untuk melakukan murabahah kepada nasabah apabila
sudah dapat dipastikan ada nasabah yang akan membeli kembali (secara
murabahah) barang tersebut. Pada posisi inilah terlihat bahwa bank sebaagai
lembaga intermediasi antara pihak yang kelebihan dana dan pihak yang
membutuhkan dana atau lembaga pembiayaan bukan sebagai penjual murni.
Dalam pelaksanaanya, pembiayaan modal kerja di Bank Muamalat
Indonesia Cabang Sungkono Surabaya, selain melakukan akad murabahah, bank
juga melakukan akad wakalah untuk mendelegasikan tugas pembelian barang
kepada nasabah. Dalam hal ini nasabah tidak akan mendapatkan barang dari bank
melainkan hanya sejumlah uang pembiayaan untuk dibelikan barang kepada
supplier.
Merujuk kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional, berikut ini ketentuan
syariah dari penggunaan akadwakalah dalam bermuamalat. Fatwa DSN No.
04/DSN- MUI/IV/2000 tentang murabahah pada ketetapan pertama ayat 9
dinyatakan, “jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang
dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara
prinsip menjadi milik bank.” Kalimat “secara prinsip” yang ada dalam Fatwa DSN
tersebut diterjemahkan dalam tataran praktis di Bank Muamalat dengan
pernyataan sebagai berikut, “dalam pembiayaan modal kerja murabahah apabila
bank telah melakukan konfirmasi pembelian suatu barang atau komoditi kepada
supplier, maka secara prinsip bank telah membeli barang. Walaupun secara
akuntansi belum terdapat aliran dana kepada supplier, namun bank berkomitmen
untuk melakukan pembayaran uang pembelian barang kepada supplier yang
diwakilkan kepada nasabah dengan media akad wakalah.”
Fakta yang terjadi di lapangan adalah, walaupun Bank Muamalat
menggunakan akad wakalah, namun pada prakteknya nasabah tetap tidak
menerima uang, dana pembiayaan yang telah dimasukkan ke rekening nasabah
langsung di transferkan ke rekening penjual atau supplier yang ada di Bank
Muamalat ataupun bank lain. Penggunaan akad wakalah dimaksudkan untuk
membuktikan bahwa nasabah telah menerima pembiayaan dari Bank Muamalat
serta nasabah telah mengetahui terjadi transaksi jual beli antara bank dengan
penjual atau supplier. Jika terjadi wanprestasi dikemudian hari akan tertutup
peluang nasabah untuk mengingkari bahwa nasabah telah menerima sejumlah
pembiayaan dari bank.
Hanya sebagian kecil nasabah yang akan menerima langsung dana
pembiayaan dan itu pun dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, misalnya karakter
nasabah yang baik dan jujur, karena disini bank juga sangat mempertimbangkan
manajemen risiko.

Penutup

Dalam praktik di perbankan syariah, jual beli murâbahah merupakan salah


satu skema pembiayaan di perbankan syariah yang paling dominan dibandingkan
skema pembiayaan lain. Ada tiga model atau tipe penerapan jual beli murâbahah
di perbankan. Pertama, tipe konsisten terhadap fikih muamalat. Dalam tipe ini,
bank membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian
sebelumnya. Setelah barang dibeli atas nama bank kemudian dijual ke nasabah
dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan sesuai kesepakatan bank
dan nasabah. Kedua, mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan
kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran
dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/supplier. Ketiga, bank
melakukan perjajian murâbahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama
mewakilkan kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya.
Dari ketiga tipe tersebut, Tipe II dan Tipe III paling sering dipakai oleh
perbankan syariah karena motivasi efektivitas prosedur dan juga pertimbangan
efisiensi, terutama dari pengenaan pajak pertambahan nilai. Sementara tipe I
justru dihindari padahal tipe inilah yang paling ideal dalam konteks fikih
muamalat. Murâbahah yang dipraktikkan di perbankan syariah adalah murâbahah
li al-amir bi al-syirâ’, yaitu transaksi jual beli di mana seorang nasabah
pengajukan permohonan kepada pihak bank untuk membelikan barang yang
dibutuhkan, dan ia berjanji akan membeli barang tersebut secara murâbahah,
yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan serta
biaya-biaya lain yang disepakati, dan nasabah akan melakukan pembayaran
secara cicilan berkala kepada bank pada waktu yang telah disepakati. Dalam hal
ini, pihak bank diwajibkan memberitahu secara jujur kepada nasabah harga pokok
barang, besarnya margin dan biaya-biaya lain yang diperlukan.

Daftar Pustaka

Ali Shaikh. Muhammad, Contemporary Islamic Bancking: The Issue Of Murābaḥah


(Islamic Studies, Januari 2011).←12pt Garamond, regular
Ali. Zainuddin. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafis, 2008.
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 20111.
Siti Mardiyah, Teri & Pratikum Manajemen Pembiayaan Syariah, (Palembang: Noer
Fikri, 2016).
Mujahidin, Akhmad. 2016. Hukum Perbankan Syariah, Cet.1. Jakarta: Rajawali Press.

Saed Abdullah. 1996. Islamic Banking and Interest: A Study of The Prohibition of Riba
and Its Contemporary Interpretation. Leiden: E.J Brill..

Sutedi, Adrian. 2009. Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Bogor:
Ghalia Indonesia.

Afrida, Yenti. 2016. Analisis Pembiayaan Murabahah di Perbankan Syariah. JEBI


(Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam). Vol. 1.No. 2.

Budiono, Arief. 2017. Penerapan Prinsip Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah.
Jural Law and Justice. Vol. 2, No. 1.

smail. 2011. Perbankan Syariah. Jakarta. Kencana.Lathif. Ah. Azharuddin. 2012.


Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah pada Perbankan Syariah di Indonesia. Jurnal
Ahkam. Vol. XII. No. 2. Yusuf, Muhammad. 2013. Analisis Penerapan Pembiayaan
Murabahah Berdasarkan Pesanan dan Tanpa Pesanan serta Kesesuaian dengan PSAK
102. BINUS BUSINESS REVIEW. Vol.4, No.1.

Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:RajaGrafindo


Persada, 2006.

Usmani, Muhammad Taqi. (2002). An Introduction to Islamic Finance. London:


Kluwer Law International.
.

Anda mungkin juga menyukai