Anda di halaman 1dari 30

AKAD MURABAHAH, SALAM DAN

ISTISHNA

DISUSUN OLEH :

RINI ARYANI

(202005011)

FAJRI AGUNG PUTRI (2020050021)

PROGRAM PASCA SARJANA PRODI AKUNTANSI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang Maha
Esa, karena dengan rahmat dan karunia serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyusun
makalah ini tentang Akad Murabahah, Salam dan Istishna. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas kelompok pada semester Genap 2021 yang diberikan oleh Syafida Hani S.e
M.Si selaku Dosen Mata Kuliah Akuntansi Syariah.
Semoga makalah ini dapat dipahami dan dimengerti bagi semua yang membacanya.
Sekiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya,
serta memberikan pengaruh positif kepada pembaca maupun orang lain.
Sebelumnya saya mohon maaf apabila ada kesalahan dalam makalah ini, baik dari segi
bahasa maupun dari segi penulisan, dan saya berharap adanya kritik, dan saran demi perbaikan
makalah ini untuk masa yang akan datang.

Medan, Juni 2021


BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Dalam agama Islam segala aspek kehidupan dunia dan akhirat semuanya sudah diatur
dalam islam. Itulah mengapa islam merupakan agama yang paling sempurna. Bahkan, Salah
satunya islam mengajarkan kepada pemeluknya bagaimana cara-cara melakukan kegiatan
ekonomi secara benar. Agar kegiatan yang dilakukan mendapat manfaat serta mendapat ridha
Allah. Sehingga terciptalah kesejahteraan di masyarakat. Islam sangat melarang perbuatan jual
beli Gharar karna perbuatan tersebut sangat merugikan orang lain. Gharar merupakan suatu
bentuk keraguan, tipuan, atau sesuatu yang sifatnya masih belum diketahui dengan jelas.
Menurut madzhab Syafi’i, gharar adalah segala sesuatu akibatnya tersembunyi dari pandangan
dan sesuatu yang dapat memberikan akibat yang tidak diharapkan atau akibat yang menakutkan.

Dalam Islam, transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut
suatu obyek tertentu, baik obyek berupa barang ataupun jasa. Menurut Ibnu Khaldun tingkatan
kegiatan usaha manusia dimulai dari kegiatan usaha yang berkaitan dengan hasil sumber daya alam,
misalnya pertanian, perikanan dan pertambangan. Tingkatan berikutnya adalah kegiatan yang
berkaitan dengan hasil rekayasa manusia atas hasil sumber daya alam. Dilanjutkan dengan kegiatan
perdagangan yang secara alami timbul akibat perbedaan penawaran-permintaan dari hasil sumber
daya alam maupun hasil rekayasa manusia pada suatu tempat. Akhirnya adalah kegiatan usaha jasa
yang timbul karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya
yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai kemewahan.

Semenjak berdirinya perbankan dengan konsep syariah pada tahun 1998 hingga sekarang
market share perbankan syariah baru mencapai lebih kurang 5% saja, sementara perbankan
syariah menjadi unggul dengan beragam produknya yang sangat bervariasi. Menurut Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, bank syariah juga diartikan sebagai
lembaga perbankan sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan, tetapi dalam kegiatan
operasinya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Bank syariah berperan sebagai
lembaga intermediasi keuangan, melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan menghimpun
dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat melalui
pembiayaan.

Salah satu keunggulan perbankan syariah terletak pada sistem bagi hasilnya, sehingga
tidak salahnya masyarakat menyebut bank syariah dengan bank bagi hasil, akan tetapi pada
kenyataannya pembiayaan di perbankan syariah tidak didominasi oleh pembiayaan mudharabah
dengan konsep bagi hasilnya, akan tetapi lebih didominasi oleh pembiayaan murabahah.
Pembiayaan murabahah selalu menjadi primadona dibandingkan dengan produk perbankan
syariah lainnya. Hal ini bisa dilihat dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang
perkembangan pembiayaan murabahah yang cendrung mengalami peningkatan setiap bulannya.
Pada bulan April 2016, pembiayaan murabahah berkisar sebesar Rp. 117.375 miliar atau sebesar
58.13% dari total pembiayaan perbankan syariah di Indonesia sebesar 203 miliar. Gambaran ini
memberikan indikasi bahwa akad murabahah lebih mendominasi di perbankan syariah
dibandingkan dengan akad-akad lainnya. Hal ini salah satunya disebabkan oleh sistem penentuan
marginnya yang transparan karena dalam murabahah harga pokok dan keuntungan disepakati
diantara kedua belah pihak.

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 102 paragraf 5 mendefinisikan


murabahah adalah akad jual-beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah
keuntungan yang telah disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan barang
barang tersebut kepada pembeli. PSAK No. 103 mendefinisikan salam adalah akad jual-beli
muslam fiih (barang pesanan) dengan pengiriman di kemudian hari oleh muslam illaihi (penjual)
dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat
tertentu. PSAK No. 104 mendefinisikan istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).
I.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana implementasi sistem pembiayaan dengan prinsip jual beli pada perbankan
syariah di Indonesia?
2. Pembiayaan seperti apa yang banyak diminati masyarakat Indonesia?

I.3 TUJUAN

1. Untuk mengetahui seperti apa implementasi sistem pembiayaan dengan prinsip jual
beli pada perbankan syariah di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pembiayaan apa yang paling banyak diminati oleh masyarakat
Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

Bank memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu negara, hal ini tidak dapat
dipungkiri karena seluruh usaha atau kegiatan ekonomi di setiap negara memerlukan jasa dari
perbankan baik di dalam proses pembiayaan maupun dalam pembentukan bagi bank itu sendiri.
Perkembangan dunia perbankan saat ini telah terlihat kompleks, hal ini ditandai dengan
munculnya berbagai macam produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan kompetitif.
Kekomplekan ini telah menciptakan suatu sistem dan pesaing baru dalam dunia perbankan,
bukan hanya persaingan antar bank tetapi juga antara bank dan lembaga keuangan lainnya.
Selain sistem perbankan yang lazim dikenal yaitu sistem konvensional, terdapat juga sistem
perbankan yang mulai berkembang saat ini yaitu sistem syari’ah.
Bank syariah dan bank Konvesional mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai media
intermediari dari yang surplus dana kepada yang defisit dana. Hingga saat ini banyak pihak yang
mengatakan bahwa Bank syariah tidak berbeda dengan Bank Konvensional, namun banyak
referensi mengatakan bahwa, bank syariah konsepnya sangat berbeda dengan bank konvensional.
Adapun persamaannya hanya pada tataran pelaksanaannya bukan pada tataran konsepnya.
Konsep dari perbankan syari’ah itu sendiri adalah bank yang berasaskan pada asas kemitraan,
keadilan, transparansi dan universal serta melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan
syari’ah. Implementasinya adalah merupakan kerjasama antara pemilik modal dengan pengusaha
untuk melakukan aktivitas usaha dengan harapan dapat mencapai suatu profit (keuntungan) yang
diinginkan. Keuntungan yang dimaksud adalah bank sebagai pihak penyedia modal dengan
menyalurkan modalnya kepada pengusaha maka bank akan mendapatkan pendapatan, sedangkan
bagi pihak pengusaha akan mendapatkan modal usaha sehingga pendapatan pengusaha juga akan
meningkat.
Bank akan tetap beroperasi jika seluruh biaya-biaya yang dikeluarkan dapat ditutupi dari
pendapatan yang diperoleh. Sebagian besar pendapatan bank berasal dari sistem bagi hasil dari
pembiayaan yang diberikan. Jika sistem penyaluran dalam bentuk pembiayaan bermasalah maka
pendapatan bank juga akan mengalami permasalahan, dan sebaliknya jika penyaluran dana
dalam bentuk pembiayaan adalah lancar maka keuntungan dari sistem syariah akan diperoleh
sesuai dengan target perencanaan awal, dengan demikian bank harus merekrut tenaga yang
trampil dan profesional dalam mengelola dana yang ada.
Terbentuknya perbankan dengan sistem syari’ah sebagai bagian dari lembaga perbankan
diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pemenuhan jasa perbankan bagi masyarakat.
Selain itu adanya bank syari’ah maka usaha yang berkaitan dengan penghimpunan dan
penyaluran dana diharapkan dapat berfungsi lebih efektif dan efisien. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan pendapatan bagi masyarakat terutama kalangan pengusaha kecil, bank syari’ah
berusaha menyediakan berbagai fasilitas perbankan. Yang dimaksud dengan fasilitas disini
adalah produk dan jasa. Dalam dunia perbankan produk sebagian besar dapat berbentuk produk
dalam bentuk jasa bukan dalam bentuk barang. Sebelum pembahasan tentang produk apa saja
yang diberikan oleh perbankan syariah, terlebih dahulu kita melihat komposisi perkembangan
produk pembiayaan selama enam tahun terakhir mulai tahun 2009 hingga tahun 2014 sebagai
berikut1 :
Tabel 1. Komposisi Pembiayaan
Yang Diberikan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
(Dalam Milyaran Rupiah)

Berdasarkan tabel. 1 di atas dapat dilihat bahwa selama 6 tahun terakhir komposisi
pembiayaan yang diberikan bank umum syariah dan unit usaha syariah dari tahun ketahun
mengalami peningkatan. Artinya peningkatan ini tentu akan meningkatkan pendapatan bank dari
bagi hasil atas pembiayaan yang diberikan. berdasarkan tabel. 1 di atas juga dapat dilihat bahwa
secara total dari seluruh produk pembiayaan yang diberikan bank umum syariah dan unit usaha
syariah mengalami trend kenaikan namun tidak semestinya pertumbuhan pembiayaan tersebut
mengalami kenaikan yang signifikan.
Perbankan syariah juga menawarkan beragam produk pembiayaan sama halnya dengan
bank-bank umum yang bersifat konvensional. Keberagaman jenis pembiayaan ini adalah penting
sebagai pilihan bagi calon nasabah yang akan menjadi nasabah agar lebih berleluasa dalam
memilih sesuai dengan kepentingannya. Karena adanya perbedaan produk sudah tentu berbeda
pula jumlah dari permintaan terhadap produk tersebut.

II.1 Murabahah

II.1.1 Pengertian Murabahah

Murabahah secara bahasa berasa dari kata ‫ ربح‬yang berarti keuntungan, karena dalam
jual beli murabahah harus menjelaskan keuntungannya. Sedangkan menurut istilah
murabahah adalah jual beli dengan harga pokok dengan tambahan keuntungan (Al Zuhaili,
1984). Salah satu skim fiqh yang paling popular digunakan oleh perbankan syariah adalah
skim jual beli murabahah. Transaksi pembiayaan murabahah ini lazim dilakukan oleh
Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan
barang seharga barang tersebut ditambah dengan margin yang disepakati (Karim, 2007).
Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli amanah yang dikenal dalam syari’at Islam,
karena penjual disyaratkan melakukan kontrak terlebih dahulu dengan menyatakan harga
barang yang akan dibeli (Hulwati, 2006). Dalam pembiayaan murabahah bank menetapkan
harga jual
Bai’al-murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati. Dalam Bai’almurabahah bank harus memberi tahu harga
produk yang dijual kepada nasabah dan menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahan
(Antoni, 1999). Dalam akad murabahah, bank melakukan mark-up (menaikkan harga)
terhadap keuntungan yang telah disepakati pada perjanjian awal. Pada perjanjian murabahah
ini, bank membiayai pembelian barang atau aset yang dibutuhkan oleh nasabah dengan
membeli barang tersebut kepada pemasok (suplier) kemudian menjualnya kepada nasabah
dengan menambah suatu mark-up atau keuntungan. Misalnya jika nasabah membutuhkan
sebuah rumah, maka bank syaariah akan membelikan rumah seharga Rp. 300 Juta. Rumah
tersebut akan dijual kepada nasabah dengan tambahan keuntunagn (margin) sebesar Rp. 60
Juta. Maka harga jual rumah kepada nasabah sebesar Rp. 360 Juta yang akan dicicil selama
36 bulan/3 tahun dengan besar cicilan Rp. 10 Juta/bulan. Total harga jual tersebut tidak akan
berubah sampai pembiayaan lunas meskipun terjadi kenaikan suku bunga di bank
konvensional atau terjadinya gejolak ekonomi. Dengan kata lain, penjualan barang kepada
nasabah dilakukan atas dasar cost plus profit (Sjahdeini, 1999).
Adapun jenis barang yang dibutuhkan nasabah dan besarnya keuntungan yang akan
diperoleh bank disepakati dimuka dengan akad ijab dan qabul antara nasabah dan bank.
Secara konsep, dalam akad murabahah, bank syariah akan membelikan barang yang
dimintakan oleh nasabah kemudian bank menjualnya kembali kepada nasabah dengan
tambahan keuntungan atau margin bank. Akan tetapi dalam kenyataannya, bank hanyalah
lembaga intermediary yang tidak mempunyai barang-barang sesuai dengan permintaan
nasabah sehingga untuk memenuhi permintaan tersebut, bank harus membelinya terlebih
dahulu kepada suplier. Bahkan yang lazim terjadi di perbankan syariah adalah dimana
nasabah telah memiliki koneksi atau berlengganan dengan toko tertentu yang harganya lebih
murah, sehingga bank memberikan fasilitas tersebut kepada nasabah dengan melakukan
perjanjian wakalah (perwakilan) yang pada akhirnya nasabahnya menyerahkan kwitansi
pembelian barang sebagai bukti bahwa murabahah yang telah ditandatangani bisa berjalan
sesuai dengan prosedurnya.
Pemberian pembiayaan murabahah dalam jangka waktu yang panjang menimbulkan
resiko tidak bersaingnya bagi hasil kepada pihak ketiga (nasabah). Menurut Adiwarman
Karim, resiko pada akad murabahah timbul karena:
1. Kenaikan DCRM (Direct CompetitorMarket Rate)
2. ICRM (Indirect Competitors Market Rate)
3. Kenaikan ECRI (Expected Competitive Return of Investors)

Bank dapat menetapkan jangka waktu maksimal untuk pembiayaan murabahah


dengan pertimbangan hal-hal berikut:

1. Tingkat margin saat ini diprediksi perubahannnya dimasa yang akan datang yang akan
berlaku di perbankan syariah (Direct Competitor Market Rate) semakin cepat perubahan
DCRM diperkirakan, maka semakin pendek jangka waktumaksimal pembiayaan.
2. Suku bunga kredit yang berlaku saat ini dan diprediksi perubahannya dimasa mendatang
yang berlaku di pasar perbankan barang yaitu harga pokok perolehan barang ditambah
sejumlah margin keuntungan bank. Harga jual yang telah disepakati di awal akad tidak
boleh berubah selama jangka waktu pembiayaan.

Contoh aplikasi di perbankan syariah (Laksmana, 2009):

1) Pembiayaan konsumtif: Pembiayaan Kepemilikan Rumah, Pembiayaan kepemilikan M


Pembelian Perabot Rumah Tangga.
2) Pembiayaan Produktif: Pembiayaan Investasi Mesin dan Peralatan, Pembiayaan Investasi
Gedung dan Bangunan, Pembiayaan Persediaan Barang Dagangan, dan Pembiayaan
Bahan Baku Produksi.

Karena dalam defenisinya disebutkan adanya keuntungan yang di sepakati,


karakteristik murabahah adalah si penjual harus memberi tahu terlebih dahulu pembeli
tentang harga pokok pembelian barang dan menyertakan jumlah keuntungan yang
ditambahkan pada biaya tersebut. Dalam teknis yang ada diperbankan syariah, murabahah
merupakan akad jual dan beli yang terjadi antara pihak bank syariah selaku penyedia barang
yang menjual kepada nasabah yang memesan dalam rangka pembelian barang itu.
Keuntungan yang diperoleh dari pihak bank syariah dalam transaksi ini merupakan
keuntungan jual beli yang telah disepakati secara bersama (Huda, 2010). Jual beli dengan
bentuk murabahah ini terdapat dalam bentuk pesanan, yang diistilahkan oleh Imam Syafi’I
sebagai al- amir bi al- shira. Ia juga dapat disamakan dengan Bay’ bi Tsaman Ajil atau Bay’
Mu’ajal (jual beli yang barangnya diserahkan segera dan pembayaran ditangguhkan atau
dilakukan secara berangsur). Oleh sebab itu, murabahah merupakan salah satu bentuk jual
beli yang dihalalkan (Iska, 2012).
II.1.2 Landasan Hukum Murabahah

1. Al-Qur’an:
a. QS. An-Nisa’ [4]:29:
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil)
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku sukarela diantaramu...”

b. QS. Al-Baqarah [2]:275:


“…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”
c. QS. Al-Maidah [5]:1:

“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu...”

d. QS. Al-Baqarah [2]:280:

“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai ia berkelapangan...”

Dari ayat-ayat diatas jelas Allah melarang memakan harta dengan cara yang tidak
diridhoinya, kecuali dengan transaksi yang berdasarkan suka sama suka diantara kedua
belah pihak.

2. Hadist Rasulullah SAW


a. Hadist Rasulullah Riwayat Tirmidzi:

"Dari Rifa’ah Ibn Rafi’, bahwa Rasulullah ditanya: “wahai Rasulullah,


pekerjaan apa yang paling baik”? Rasulullah menjawab pekerjaan orang dengan
tangannya sendiri dan jual beli secara mabrur” (Riwayat Ahmad, Al
Bazzar dan Ath Thabrani) (As-Shan’ani, 1995).

b. Hadist Rasulullah Riwayat Tirmidzi:


Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
jual beli itu harus dilakukan suka sama suka”. (HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Majah,
dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
c. Hadist Rasulullah Riwayat Ibnu Majah:
Nabi bersabda, “ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak
secara tunai, muqharadah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan
jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah
dari Shuhaib).
d. Hadist Rasulullah Riwayat Jama’ah:
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah
suatu kedzaliman...”

3. Kaidah Usul Al-fiqh:


Hal ini sejalan dengan kaidah Ushul fiqh (Djazuli, 2007):
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya”.

4. Ijma’
Umat manusia telah berkosensus tentang keabsahan jual beli, karena manusia
sebagai anggota masyarakat selalu membutuhkan apa yang dihasilkan dan dimiliki
orang lain. Oleh karena jual beli ini adalah salah satu jalan untuk mendapatkan secara
sah, dengan demikian mudahlah bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhannya.
Dari dasar hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa transaksi Murabahah itu
dibolehkan dan tidak bertentangan dengan ajaran syari’at Islam serta memberikan
keringanan kepada pembeli untuk memeperoleh barang yang diinginkan walaupun
dengan pembayaran yang tidak tunai.

II.1.3 Rukun dan Syarat Murabahah


Untuk menentukan sah atau tidaknya akad pembiayaan murabahah, terlebih
dahulu harus memenuhi rukun dan syarat tertentu sesuai dengan syari’at Islam. Oleh karena
itu pembiayaan murabahah ini menggunakan akad jual beli, maka dalam pembiayaan
murabahah ini harus ada rukun dan syarat jual beli sebagai berikut (Al Zuhaili, 1984):
a. Rukun Pembiayaan Murabahah
1. Ba’i atau penjual, penjual disini adalah orang yang mempunyai barang dagangan
atau orang yang menawari suatu barang
2. Musytari atau pembeli, adalah orang yang melakukan permintaan terhadap suatu
barang yang ditawarkan oleh penjual
3. Mabi’ atau barang, adalah komoditi, benda, objek yang diperjualbelikan
4. Tsaman atau harga jual, adalah sebagai alat ukur untuk menentukan nilai suatu
barang
5. Ijab dan Qabul yang dituangkan dalam akad

b. Syarat Pembiayaan Murabahah


1. Pihak yang berakad (penjual dan pembeli):
 Cakap hokum
 Suka rela atau ridha, tidak dalam keadaan terpaksa atau dibawah tekanan
2. Objek yang diperjual belikan:
 Tidak termasuk yang diharamkan atau yang dilarang oleh agama
 Bermanfaat
 Penyerahan dari penjual ke pembeli dapat dilakukan
 Merupakan hak milik penuh pihak yang berakad
 Sesuai spesifikasi yang diterima pembeli dan diserahkan penjual
 Jika berupa barang bergerak maka barang itu harus bisa dikuasai pembeli setelah
dokumentasi dan perjanjian akad diselesaikan
3. Akad atau Sighat (Ijab dan Qabul)
 Harus jelas dan disebutkan secara spesifikasi dengan siapa berakad
 Antara Ijab dan Qabul (serah terima) harus selaras baik dalam spesifik barang
maupun harga yang di sepakati
 Tidak menggantungkan keabsahan transaksi pada masa yang akan dating
 Tidak membatasi waktu, missal saya jual kepada anda untuk jangka waktu 10
bulan dan setelah itu akan menjadi milik saya kembali
4. Harga
 Harga jual adalah harga beli ditambah keuntungan
 Harga jual tidak boleh berubah selama masa perjanjian
 Sistem pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembiayaan murabahah, yaitu


sebagai berikut:

1) Penjual memberitahukan biaya modal kepada nasabah


2) Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
3) Kontrak harus bebas riba
4) Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah
pembelian
5) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya
jika pembelian dilakukan secara hutang.

Jual beli secara murabahah di atas hanya untuk barang atau produk yang telah
dikuasai atau dimiliki oleh penjual pada waktu negosiasi dan berkontrak (Antonio, 2001).

II.2 Salam

Salam adalah akad jual beli muslam fiih (barang pesanan) dengan penangguhan
pengiriman oleh muslam ilaihi (penjual) dan pelunasannya dilakukan segera oleh pembeli
sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Bank dapat
bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika bank bertindak
sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan
dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel. Salam paralel dapat dilakukan dengan
syarat:
1. akad kedua antara bank dan pemasok terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli
akhir
2. akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.
Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal
akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Dalam
hal bank bertindak sebagai pembeli, bank syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah
untuk menghindari risiko yang merugikan bank. Barang pesanan harus diketahui
karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis, spesifikasi teknis, kualitas dan
kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara
pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat maka penjual
harus bertanggung jawab atas kelalaiannya.
Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Jual beli Salam sebagaimana
tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 05/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 1
April 2000 (Fatwa, 2006) sebagai berikut:
1. Ketentuan tentang pembayaran, Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik
berupa uang, barang atau manfaat. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak
disepakati. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
2. Ketentuan tentang barang, Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang,
Harus dapat dijelaskan spesifikasinya, Penyerahan dilakukan kemudian, Waktu dan
tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan, Pembeli tidak
boleh menjual barang sebelum menerimanya, Tidak boleh menukar barang, kecuali
dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
3. Ketentuan tentang salam parallel, Dibolehkan melakukan salam parallel dengan syarat :
Akad kedua terpisah dari akad pertama, dan Akad kedua dilakukan setelah akad pertama
sah
4. Penyerahan barang sebelum atau pada waktunya : Penjual harus menyerahkan barang
tepat pada waktunyadengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati. Jika penjual
menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta
tambahan harga. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah,
dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga
(diskoun) Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati
dengan syarat : kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh
menuntut tambahan harga Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu
penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia
memiliki dua pilihan : Membatalkan kontrak dan meninta kembali uangnya Menunggu
sampai barang tersedia.
5. Pembatalan kontrak, Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak
merugikan kedua belah pihak.
Modal salam harus dapat ditetapkan dengan menyebutkan dasar - dasar pengukuran
untuk menilai modal salam yang akan dicatat bank Islam pada saat dibayar (untuk Salam)
atau pada saat diterima (untuk Salam Paralel). Bila modal salam dalam bentuk tunai, hal ini
teridentifikasi oleh jenis mata uang dan jumlahnya, tetapi apabila dalam bentuk barang atau
manfaat, ini diukur dengan nilai wajar dari asset atau manfaat tersebut, yang telah disetujui
oleh kedua belah pihak. Dengan digunakannya nilai wajar dari pada nilai historis
memberikan informasi yang berguna bagi para pengguna informasi laporan untuk mengambil
keputusan berkaitan dengan hubungan antara mereka dan bank Islam. Penggunaan nilai wajar
juga mencerminkan pelaksanaan konsep “representatif faithfulness” yang ada. Dalam
mengukur modal Salam dan Salam Paralel pada akhir periode laporan keuangan, digunakan
biaya historis karena informasi yang dapat diandalkan diperoleh dari sifat ini. Namun
demikian untuk meyakinkan bahwa informasi keuangan ini dapat diandalkan, standar
menyebutkan bahwa apabila bank Islam memperoleh keyakinan bahwa al muslam ilaih tidak
mengirim al muslam fihi , secara penuh maupun sebagian, atau adanya kemungkinan bahwa
al muslam fihi akan menurun, harus dibuat pencadangan terhadap defisit yang diestimasikan.
Pencadangan ini dapat memberikan informasi yang bisa membantu memperkirakan arus kas
bank Islam di masa yang akan datang yang dihasilkan dari pembiayaan Salam. Informasi
yang dapat menjadi sumber prediksi ini mencerminkan bahwa satu dari beberapa
karakteristik kualitatif yang ada untuk mencapaian keandalan terpenuhi.
Pengukuran, pengakuan, penyajian dan pengungkapan transaksi salam yang
sebelumnya diatur dalam PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah diganti dengan
PSAK 103 tentang Akuntansi Salam. Dalam transaksi salam bank syariah dapat bertindak
sebagai pemesan dan juga dapat bertindak sebagai produsen tetapi umumnya yang
dilaksanakan bank syariah adalah salam paralel yaitu transaksi salam yang diterima oleh
bank syariah (bank syariah sebagai produsen) secara simultan diserahkan kepada pihak lain
untuk memproduksinya (bank syariah sebagai pemesan). Jika bank syariah melaksanakan
transaksi salam paralel, maka kedudukan bank syariah bertindak sebagai pembeli dan
sekaligus sebagai penjual, oleh karena itu dalam salam paralel bank syariah menerapkan
akuntansi pembeli dan akuntansi penjual.
1) Bank sebagai Pembeli (Akuntansi untuk pembeli)
Jika bank bertindak sebagai “Pembeli”, maka :
a) Piutang salam diakui pada saat modal usaha salam dibayarkan atau dialihkan kepada
penjual (nasabah).
b) Modal usaha salam dapat berupa kas dan aset nonkas. Modal usaha salam dalam
bentuk kas diukur sebesar jumlah yang dibayarkan, sedangkan modal usaha salam
dalam bentuk aset non-kas diukur sebesar nilai wajar. Selisih antara nilai wajar dan
nilai tercatat modal usaha nonkas yang diserahkan diakui sebagai keuntungan atau
kerugian pada saat penyerahan modal usaha tersebut.
c) Penerimaan barang pesanan diakui dan diukur sebagai berikut: jika barang pesanan
sesuai dengan akad dinilai sesuai nilai yang disepakati, jika barang pesanan berbeda
kualitasnya.
d) Denda yang diterima oleh pembeli diakui sebagai bagian dari dan kebajikan.
e) Pembeli dapat mengenakan denda kepada nasabah, denda hanya boleh dikenakan
kepada nasabah yang mampu menunaikan kewajibannya, tetapi tidak memenuhinya.
Hal ini tidak berlaku bagi nasabah yang tidak mampu menunaikan kewajibannya
karena force majeur. Denda dikenakan jika penjual lalai dalam melakukan
kewajibannya sesuai dengan akad, dan denda yang diterima diakui sebagai bagian
dana kebajikan.
f) Barang pesanan yang telah diterima diakui sebagai persediaan. Pada akhir periode
pelaporan keuangan, persediaan yang diperoleh melalui transaksi salam diukur
sebesar nilai terendah biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi. Apabila
nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya
diakui sebagai kerugian.

3) Bank sebagai Penjual (Akuntansi untuk penjual)


Jika Bank bertindak sebagai penjual (penyedia modal)
a) Kewajiban salam diakui pada saat penjual menerima modal usaha a. salam sebesar
modal usaha salam yang diterima.
b) Modal usaha salam yang diterima dapat berupa kas dan aset nonkas. Modal usaha
salam dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah yang diterima, sedangkan modal usaha
salam dalam bentuk aset nonkas diukur sebesar nilai wajar.
c) Kewajiban salam dihentikan-pengakuannya (derecognation) pada saat penyerahan
barang kepada pembeli. Jika penjual melakukan transaksi salam paralel, selisih antara
jumlah yang dibayar oleh pembeli akhir dan biaya perolehan barang pesanan diakui
sebagai keuntungan atau kerugian pada saat penyerahan barang pesanan oleh penjual
ke pembeli akhir.
Dalam hal penerapan akad “salam” bank bisa bertidak sebagai penyaji modal
(Penyajian), dengan peluang untuk :
1. Pembeli menyajikan modal usaha salam yang diberikan sebagai piutang salam.
2. Piutang yang harus dilunasi oleh penjual karena tidak dapat memenuhi kewajibannya
dalam transaksi salam disajikan secara terpisah dari piutang salam.
3. Penjual menyajikan modal usaha salam yang diterima sebagai kewajiban salam:
Atau juga bank bisa bertindak sebagai pengungkapan (Pengungkapan) informasi :
dimana Bank (Penjual) dalam transaksi salam mengungkapkan:
1. Piutang salam kepada supplier (dalam salam paralel) yang memiliki hubungan
istimewa;
2. Jenis dan kuantitas barang pesanan; dan
3. Pengungkapan lain sesuai dengan PSAK 101: Penyajian Laporan Keuangan Syariah
Pembeli dalam transaksi salam mengungkapkan:
1. Besarnya modal usaha salam, baik yang dibiayai sendiri maupun yang dibiayai secara
bersama-sama dengan pihak lain;
2. Jenis dan kuantitas barang pesanan; dan
3. Pengungkapan lain sesuai dengan PSAK 101: Penyajian Laporan Keuangan Syariah.

II.3 Istishna
Istishna’ menurut Bahasa berasal dari kata ‫نع‬UU‫( ص‬shana’a) yang artinya membuat
kemudian ditambah huruf alif, sin dan ta’ menjadi ‫( استصنع‬istashna’a) yang berarti meminta
dibuatkan sesuatu. Transaksi istishna’ merupakan kontrak penjualan antara mustashni’
(pembeli) dan shani’ (pembuat barang/penjual). Dalam kontrak ini shani’ menerima pesanan
dari mustashni’. Shani’ lalu berusaha sendiri atau melalui orang lain untuk membuat
mashnu’ (pokok kontrak) menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada
mustashni’. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran (Antonio,
2001).
Secara istilah, istishna’ adalah suatu akad yang dilakukan seorang produsen dengan
seorang pemesan untuk mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian, yakni
pemesan membeli sesuatu yang dibuat oleh seorang produsen dan barang serta pekerjaan dari
pihak produsen (Azzuhaili, Alfiqhi Alislamiyatu wa Adilatuhu). Dalam literature fiqih klasik,
masalah istishna’ mulai mencuat setelah menjadi bahasan Madzhab Hanafi. Akademi Fiqih
Islami pun menjadikan masalah ini sebagai salah satu bahasan khusus. Karena itu, kajian
akad bai’ alistishna’ ini didasarkan pada ketentuan yang dikembangkan oleh fiqih Hanafi,
dan perkembangan selanjutnya dilakukan fuqoha kontemporer (Huda dan Haikal, 2010).
Salah satu produk yang popular digunakan dalam perbankan syariah adalah produk isitshna’.
Akad istishna’ ini hukumnya boleh (jawaz) dan telah dilakukan oleh masyarakat Muslim
sejak masa awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya (Karim, 2004).
Akad isitshna’ biasanya dipraktikan pada pembiayaan perbankan syariah dalam
proyek konstruksi, maka hal ini sangat cocok dengam kebutuhan nasabah untuk membangun
suatu kontruksi salah satunya membangun rumah (Usma, 2009). Dari beberapa uraian
tentang istishna’ diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa keterlibatan dalam transaksi seorang
produsen dengan seorang pemesan untuk mengerjakan sesuatu yakni pemesan membeli
sesuatu yang dibuat oleh seorang produsen dan barang serta pekerjaan dari pihak produsen.
Pada praktiknya akad istishna’ dipraktikan pada pembiayaan perbankan syariah dalam
proyek konstruksi.
Landasan Hukum Istishna’
1. Al- Qur‟an
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….” (QS. Al – Baqarah: 282)
2. Hadis
Dari Sahal bahwa Nabi shallallahualaihi wasallam menyuruh seorang wanita Muhajirin
yang memiliki seorang budak tukang kayu. Beliau berkata kepadanya:
“Perintahkanlah budakmu agar membuatkan mimbar untuk kami. Maka wanita itu
memerintahkan budaknya. Maka ghulam itu pergi mencari kayu di hutan lalu dia membuat
mimbar untuk beliau.” (HR. Bukhari)
3. Ijma’
Dalam fatwa DSN-MUI, dijelaskan bahwa jual beli istishna’ adalah akad jual beli dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu yang disepakati antara pemesan (pemesan,
mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’) (Karim, 2006).
Adapun menurut MUI Dalam fatwa DSN-MUI nomor 06/DSN-MUI /IV / 2000
menjelaskan bahwa ada 3 (tiga) ketentuan dibolehkan:
1) Ketentuan tentang Pembayaran, dimana alat bayar harus diketahui jumlah dan
bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat pembayaran yang dilakukan
sesuai dengan kesepakatan,dan tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
2) Ketentuan tentang Barang, harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang,
dapat dijelaskan spesifikasinya, penyerahan barang dilakukan kemudian, waktu dan
tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan pembeli
(mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerima, tidak boleh menukar
barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan, dalam hal terdapat cacat
atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar untuk
melanjutkan atau membatalkan akad
3) Ketentuan Lain yaitu: Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan
kesepakatan, hukumnya mengikat, semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak
disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna’, jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajiban atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Tabel 3. Komposisi Pembiayaan sesuai akad
Yang Diberikan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
(Dalam Milyaran Rupiah)

Berdasarkan tabel 3. diatas dapat diketahui bahwa bank umum syariah dan unit usaha
syariah menyalurkan pembiayaan sesuai dengan jenis produk pembiayaan yang ditawarkan
sebanyak tujuh produk. Dari ke-tujuh produk tersebut hanya satu produk yang tidak tersentuh
oleh masyarakat yakni produk salam, hal ini dapat dilihat berdasarkan tabel di atas dari tahun
2009 hingga 2014 datanya kosong. Dengan demikian terdapat enam jenis produk pembiayaan
sesuai dengan akad yang diminati nasabah antara lain : akad mudharabah, musyarakah,
murabahan, istishna, ijarah dan qardh. Dari ke-enam tersebut dan berdasarkan angka dalam
milyaran rupiah ada yang banyak ada yang sedikit jumlahnya. Jika kita cermati pembiayaan
dengan akad murabahah lebih mendominasi dari jenis akad-akad yang lainnya yakni berjumlah
26.321 milyar rupiah sementara pembiayaan yang paling sedikit jumlahnya adalah pembiayaan
akad istishna yakni sebanyak 423 milyar rupiah. Berdasarkan permasalahan di atas maka tertarik
bagi penulis untuk menganalisis tentang keunggulan produk pembiayaan sesuai dengan akad
yang diberikan. Jika dilihat untuk sementara produk akad murabaha lebih unggul jika
dibandingkan dengan produk dengan akad-akad lainnya.
Sesuai dengan data pada tabel 3. diatas bahwa minat nasabah terhadap produk
murabahah dari tahun ketahun lebih diminati dibandingkan dengan produk pembiayaan lainnya.
Jika pembiayaan tersebut sebagian besar pembiayaan bersifat konsumtif maka bank syariah telah
menjadikan nasabah konsumtif. Sementara produk dengan akad salam kosong padahal akad ini
sangat baik karena indonesia adalah negara agraris sudah semestinya pembiayaan dengan akad
ini dapat membantu para petani yang memerlukan. Akad ini aplikasinya pembiayaan sektor
pertanian, dan produk manufakturing.

II.4 TANTANGAN PERBANKAN SYARIAH DALAM PENGEMBANGAN


PRODUK
Fungsi bank syariah, seperti bank umum lainnya, adalah sebagai lembaga perantara
(intermediasi) antara pihak yang kelebihan uang (pemodal/penabung) dan pihak yang
kekurangan modal (peminjam). Yang membedakannya dengan bank umum adalah bank syariah
dalam operasionalnya menyediakan jasa/layanan keuangan dengan konsep/sistem syariah yaitu
mendasarkan pada sistem bagi hasil dan bukan sistem bunga. Tujuan utama dari setiap
operasionalnya adalah secara aktif ikut berpartisipasi dalam proses pengembangan sosial
ekonomi masyarakat dalam bentuk manajemen aset-asetnya untuk kesejahteraan masyarakat
(sosial welfare). Praktek bank syariah dengan model pembiayaan akad jual beli sebenarnya
bukan praktek yang dilarang oleh syariat Islam. Akan tetapi perlu dicermati bahwa kalau praktek
ini tidak dilakukan dengan hati-hati bisa membawa dampak pada pola konsumtif yang berlebihan
di masyarakat, dan yang lebih parah adalah adanya konsentrasi penumpukan kekayaan hanya
pada kelompok masyarakat tertentu. Kondisi ini sangat bertentangan dengan tujuan ideal dari
operaional bank syariah yaitu untuk membangun kesejahteraan masyarakat. Di samping itu Islam
melarang keras budaya konsumtif. Begitu juga Islam melarang adanya penumpukan kekayaan
hanya pada kelompok masyarakat tertentu, tetapi kekayaan tersebut harus disebarkan secara
merata untuk kesejahteraan seluruh masyarakat. Selain itu praktek pembiayaan dengan akad jual
beli memiliki potensi yang besar menjadikan perusahaan tergelincir pada praktek pembiayaan
dengan sistem bunga.
Alasan klasik yang sering dikemukakan oleh pihak bank yang masih mengalokasikan
dananya dalam porsi kecil untuk pembiayaan musyarakah dan mudharabah adalah munculnya
agency problem dalam akad pembiayaannya. Seperti kita ketahui bahwa salah satu kelemahan
dari model musyarakah dan mudharabah adalah pihak bank tidak punya wewenang untuk ikut
campur secara langsung dalam menentukan kebijakan perusahaan, sehingga bank tidak bisa
menentukan apalagi mengontrol jumlah keuntungan perusahaan mitra. Beberapa ahli ekonomi
syariah mengatakan bahwa ketidakseimbangan manajemen dan kontrol disebut sebagai penyebab
utama kurangnya minat bank syariah dalam melaksanakan akad dengan sistem bagi hasil.
Sementara perusahaan mitra biasanya tidak mau terbuka terhadap urusan informasi kemajuan
perusahaan. Apabila jika dalam akad pembiayaannya tidak dicantumkan secara jelas hak dan
kewajiban masing-masing. Faktor inilah yang menjadi kunci munculnya agency problem.
Kondisi ini akan semakin parah jika perusahaan mitra tidak bisa dipercaya, atau pihak bank
sendiri tidak mempercayai perusahaan mitra secara penuh. Karena potensi munculnya agency
problem ini begitu besar, maka bank menganggap bahwa pembiayaan dengan akad musyarakah
dan mudharabah merupakan pembiayaan yang beresiko tinggi, sehingga mereka harus berhati-
hati dalam melakukan praktek pembiayaan ini. Biasanya mereka hanya akan melakukan
pembiayaan dengan akad ini hanya kepada pihak-pihak yang sudah mapan dan dapat dipercaya
saja.
Meskipun terjadi kondisi dilematis dalam praktek operasional pembiayaan dengan sistem
bagi hasil, praktisi perbankan syariah harus mencari solusi yang baik dalam menangani agency
problem di atas, sehingga proses distribusi aset produktif perusahaan tetap dapat dialokasikan
untuk pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Karena dengan meniadakan atau mengurangi
alokasi pembiayaan pada akad ini bukan keputusan yang strategis. Bahkan sebenarnya produk
musyarakah dan mudharabah bisa menjadi produk unggulan bank syariah.

II.5 KELEMAHAN PEMBIAYAAN BANK SYARIAH


Secara Khusus tidak ada dijelaskan mengenai kelemahan pembiayaan bank syariah,
namun untuk menganalisis persoalan tersebut, maka hal tersebut di atas dapat tercermin dalam
Kelemahan Bank Islam dan bagaimana upaya mengatasinya, dari pendapat Karnaen
Perwataatmadja dan M Syafi’I Antonio dalam buku “Apa Dan Bagaimana Bank Islam” adalah
sebagai berikut :
1. Utama Kelemahan bank Islam adalah bahwa bank dengan sisem ini terlalu
berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang
terlibat dalam bank Islam adalah jujur. Dengan demikian bank Islam sangat rawan
terhadap mereka yang beritikad tidak baik,sehingga diperlukan usaha tambahan untuk
mengawasi nasabah yang menerima pembiayaan dari bank Islam.
2. Sitem bagi hasil memerlukan perhitungan-perhitungan yang rumit terutama dalam
menghitung bagian laba nasabah yang kecil-kecil dan yang nilai simpanannya di bank
tidak tetap. Dengan demikian kemungkinan salah hitung setiap saat bias terjadi
sehingga diperlukan kecermatan yang lebih besar dari bank konvensional.
3. Karena bank ini membawa misi bagi hasil yang adil, maka bank Islam lebih
memerlukan tenaga-tenaga profesionan yang andal dari pada bank konvensional.
Kekeliruan dalam menilaui proyek yang akan dibiayai bank dengan system bagi hasil
akan membawa akibat yang lebih besar daripada yang dihadapi bank konvensional
yang hasil pendapatannya sudah tetap dari bunga
Kelemahan-kelemahan pemberian pembiayaan pada bank syariah juga dikemukakan
Oleh Dr Muhammad Shabri Abdul Majid7 Nota: Penulis seorang pensyarah di Jabatan Ekonomi,
Fakulti Ekonomi & Sains Pengurusan UIAM Dalam artikelnya “Enam Kelemahan Utama
Operasi Perbankan Islam”, bahawa setidak-tidaknya wujud enam kelemahan utama operasi
perbankan Islam dewasa ini, termasuk bank- bank Islam rantau ini.
1. Cara pembiayaan bank Islam masih didominasi oleh sistem mark up (menaikkan
harga) berbanding sistem profit-loss sharing (bagi hasil) Walaupun sistem pembiayaan
mark up dianggap 'halal', ia harus dihindari dan dihadkan. Ini kerana menurut Siddiqi
(1983) dan Khan (1987), sistem ini akan membuka pintu belakang bagi amalan riba.
Sistem pembiayaan perbankan Islam, pada umumnya, ada dua jenis: Sistem Bagi Hasil
(SBH); dan Sistem Mark Up (SMU). SBH terdiri daripada Mudharabah dan
Musyarakah. Dalam sistem pembiayaan Mudharabah, pihak bank bertindak sebagai
pemberi modal (Sahib al-Mal) dalam sebuah usaha yang dijalankan oleh
wirausahawan (pelanggan bank), di mana keuntungan dan kerugian usaha akan
dinikmati bersama sesuai dengan perjanjian. Sementara itu, Musyarakah adalah sistem
pembiayaan yang selain bertindak sebagai pemberi modal, pihak bank, pada masa
yang sama juga, bertindak sebagai pelaku usaha bersama-sama pelanggan bank
berkenaan.
2. Struktur pembiayaan bank Islam masih didominasi sistem pembiayaan jangka pendek
berbanding sistem pembiayaan jangka sederhana dan panjang. Bank Islam masih
memilih SMU, seperti Murabahah dan Ijarah yang umumnya bersifat jangka pendek
berbanding SBH yang relatif bersifat jangka sederhana dan panjang. Dengan lain
perkataan, struktur pembiayaan bank Islam lebih difokuskan bagi menjana keuntungan
sendiri (tidak mahu mengambil risiko) berbanding daripada mengoptimumkan
keuntungan pelanggannya.
3. Dalam memberikan pinjamannya, bank Islam lebih mengutamakan sektor
perdagangan, keuangan dan perkhidmatan berbanding sektor-sektor pertanian dan
industri. Padahal sektor pertanian dan industri yang sepatutnya mendapat keutamaan
karena kedua-duanya merupakan penuras utama pembangunan dan kesejahteraan
ekonomi umat.
4. Bank Islam masih tidak boleh melepaskan operasinya daripada perangkap riba. Bank
Islam masih harus menyimpan simpanannya di Bank Pusat, seperti Bank Negara di
Malaysia dan Bank Indonesia di Indonesia, dan bahkan kelebihan dana mereka sering
disimpan di bank-bank konvensional lain baik di dalam ataupun luar negeri yang
operasinya masih berkonsepkan riba. Keupayaan untuk menubuhkan Bank Pusat Islam
yang bebas daripada bank pusat konvensional dipercayai sebagai salah satu cara untuk
memurnikan operasi bank Islam daripada unsur-unsur riba sehingga ia benar-benar
Islami.
5. Dalam memberi pinjaman kepada pelanggan, bank Islam masih meminta jaminan
(kolateral) kewangan kerana takut menghadapi risiko. Padahal idealnya, dalam
memberi pinjaman kepada para pelanggan, bank Islam tidak dibenarkan meminta
jaminan terhadap uang yang dipinjamkan kepada pelanggan. Ironinya, bank Islam
ternyata telah menetapkan jumlah jaminan yang relatif lebih besar berbanding daripada
yang dipungut bank konvensional lainnya. Maka kita tidak perlu heran apabila sering
mendengar informasi dari masyarakat bahwa mengambil pinjaman uang di bank-bank
ribawi jauh lebih mudah, murah dan menguntungkan berbanding dengan bank Islam.
6. Terakhir, seperti yang disebutkan sebelum ini, bank Islam lebih mengutamakan
keuntungannya berbanding daripada kemaslahatan pelanggan Buktinya, jumlah
'pinjaman sosial' seperti Qard al-Hasan – yang bersifat bantuan atau hibah pinjaman
yang tidak mengharuskan para peminjam membayar bunga (melainkan kewajiban
membayar modalnya saja) - sama sekali tidak terdapat dalam bank Islam. Kalau pun
ada, jumlahnya sungguh sangat sedikit sekali. Dengan perkataan lain, pembiayaan zero
return basis ini harus diberi perhatian seimbang dengan menyediakan pinjaman sosial
kepada individu atau organisasi-organisa si Islam sama ada disalurkan dalam bentuk
keuangan (modal) ataupun dalam bentuk harta (peralatan dan bahan baku). Namun,
perlu diingat bahwa dalam memberikan pinjaman sosial ini, pihak bank berhak
memungut biaya perkhidmatan atau pentadbiran, sekadar cukup bagi menampung kos
pentadbiran.
BAB III
KESIMPULAN

1. Secara sederhana murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang tertentu ditambah
keuntungan yang disepakati, misalnya seseorang membeli barang kemudian menjualnya
kembali dengan keuntungan tertentu. Secara konsep, murabahah hanya melibatkan dua pihak
yaitu penjual dan pembeli. Dalam aplikasinya di perbankan syariah, murabahah melibatkan
tiga pihak, yaitu nasabah sebagai pembeli, bank sebagai penjual dan suplier sebagai pemasok
barang kepada bank atas permintaan nasabah. Akan tetapi dalam realitanya, murabahah lebih
banyak teraplikasi dengan konsep murabahah bil wakalah. Artinya bank memberikan
wewenang kepada nasabah untuk melakukan jual beli terhadap barang kebutuhan nasabah
dengan melakukan perjanjian wakalah (perwakilan), yang pada akhirnya nasabah hanya
menyerahkan kwitansi pembelian barang sebagai bukti bahwa murabahah yang ditanda
tangani akadnya bisa berjalan sesuai dengan prosedurnya. Dalam implementasinya, nasabah
yang mengajukan pembiayan untuk pembelian barang konsumtif diberikan surat kuasa
berupa wakalah atau pendelegasian wewenang untuk membeli sendiri barang kebutuhannya
kepada suplier, kemudian bank memberikan pembiayaan dengan mentransfer ke rekening
nasabah. Setelah membeli barang, kemudian nasabah menyerahkan kwitansi sebagai bukti
pembelian kepada bank dan sebagai bukti bahwa nasabah benar-benar telah membeli barang
sesuai akad, setelah itu bank menjual lagi kepada nasabah dengan margin tertentu. Bahkan
praktek di lapangan, nasabah diberikan pembiayaan tanpa mempedulikan objek yang akan
diperjual belikan. Sehingga muncul kesan bagi nasabah yang terbiasa dengan skim kredit
konsumtif bahwa “bank syariah sama saja dengan bank konvensional”, karena kebutuhan
nasabah bukan lagi untuk pembelian barang akan tetapi untuk kebutuhan dana segar. Bahkan
ada yang berpendapat bahwa murabahah bukan jual beli melainkan hilah dengan tujuan
untuk mengambil riba. Ada sebagian ulama berpendapat bahwa tujuan murabahah adalah
untuk memperoleh riba dan menghasilkan uang sebagaimana bank konvensional.
Penyimpangan dalam prakteknya ditemukan berulang kali pada pembiayaan pembelian
barang pesanan tidak dilakukan pihak bank tapi cukup dengan penyerahan bukti pembelian
barang yang akan dimurabahahkan, dimana hakikatnya nasabah sendiri yang telah memberi
barang tersebut atas nama nasabah di faktur. Bank tinggal membayar nominal yang tertera di
faktur ditambah dengan keuntunga (margin) yang disepakati bersama.
2. Bai’ As-Salam dapat diterapkan atau digunakan pada pembiayaan bagi barang industri
dengan jangka waktu relatif pendek dan bank tidak ada niat untuk menjadikan barang-barang
tersebut sebagai inventory (simpanan), yakni persediaan atau barang jadi suatu perusahaan.
Oleh karena itu, dilakukanlah akad Bai’ As-Salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada
Bulog, pedagang pasar induk atau grosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal sebagai
Salam Paralel.Kalau Bai’ as-Salam diaplikasikan atau diterapkan pada pembiayaan barang
industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah diketahui
umum, dengan cara saat nasabah mengajukan permohonan pembiayaan untuk pembuatan
pakaian jadi, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut. Hal ini berarti bank
memesan pembuatan pakaian jadi tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan
kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang
telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut. Bila garmen tersebut telah selesai
diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian
membayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai. Akad salam ini dibolehkan
dalam syariah Islam karena punya hikmah dan manfaat yang besar, dimana kebutuhan
manusia dalam bermuamalat seringkali tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan atas akad ini.
Kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli bisa sama-sama mendapatkankeuntungan dan
manfaat dengan menggunakan akad salam.
3. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pembiayaan
dengan prinsip jual beli dengan akad murabahah lebih banyak diminati nasabah karena sesuai
dengan kepentingan. Pembiayaan ini adalah pembiayaan jangka pendek guna pembelian
barang meskipun nasabah tidak memiliki uang untuk membayarnya namun bisa mendapatkan
barang tersebut sesuai dengan keinginan tentunya setelah melalui tahap-tahap proses yang
ditentukan, sehingga dengan demikian permintaan terhadap akad ini lebih banyak diminati
nasabah. Berdasarkan analisi penelitian ini, didapati akad salam masih kosong, hal ini sangat
memperhatinkan, karena Indonesia merupakan negara agraris atau bisa disebut mayoritas
penduduknya berkerja sebagai petani. Secara garis besar bank mempunyai dua masalah
mengapa tidak menyalurkan dana menggunakan akad salam yaitu dari aspek internal dan
eksternal. Aspek internal dapat disebabkan karena jaringan terbatas dan sumberdaya manusia
(SDM) sedangkan aspek ekternal kurang kebijakan pendukung; kurang keberpihakan
pemerintah, dan nasabah (petani kecil tidak bankable). Memang sebagai lembaga keuangan
harus memegang prinsip kehati-hatian, tapi buat apa membuat suatu produk tidak pernah
dipraktekan, sehingga dari pada setiap kali muncul dilaporan keuangan bank syariah selalu
menunjukkan angka kosong.
DAFTAR PUSTAKA

Karnaen Perwataatmadja dan M Syafi’I Antonio : Apa Dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf, 1992

Muhammad. Menejemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta : UPP Akadem Manajemen


Perusahaan YKPN, 2005).

Muhammad Shabri Abdul Majid : Artikel “Enam Kelemahan Utama Operasi Perbankan Islam “
(2009)

Syafi’i Antonio, Muhammad. Bank Syariah Dari Teori Keperaktek, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001.)

Wiroso, Produk perbankan syariah, Edisi 1 Jakarta LPFE Usakti 2009

Statistik Perbankan Syariah Januari 2015

Anda mungkin juga menyukai