ISTISHNA
DISUSUN OLEH :
RINI ARYANI
(202005011)
Alhamdulillah dan puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang Maha
Esa, karena dengan rahmat dan karunia serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyusun
makalah ini tentang Akad Murabahah, Salam dan Istishna. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas kelompok pada semester Genap 2021 yang diberikan oleh Syafida Hani S.e
M.Si selaku Dosen Mata Kuliah Akuntansi Syariah.
Semoga makalah ini dapat dipahami dan dimengerti bagi semua yang membacanya.
Sekiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya,
serta memberikan pengaruh positif kepada pembaca maupun orang lain.
Sebelumnya saya mohon maaf apabila ada kesalahan dalam makalah ini, baik dari segi
bahasa maupun dari segi penulisan, dan saya berharap adanya kritik, dan saran demi perbaikan
makalah ini untuk masa yang akan datang.
PENDAHULUAN
Dalam agama Islam segala aspek kehidupan dunia dan akhirat semuanya sudah diatur
dalam islam. Itulah mengapa islam merupakan agama yang paling sempurna. Bahkan, Salah
satunya islam mengajarkan kepada pemeluknya bagaimana cara-cara melakukan kegiatan
ekonomi secara benar. Agar kegiatan yang dilakukan mendapat manfaat serta mendapat ridha
Allah. Sehingga terciptalah kesejahteraan di masyarakat. Islam sangat melarang perbuatan jual
beli Gharar karna perbuatan tersebut sangat merugikan orang lain. Gharar merupakan suatu
bentuk keraguan, tipuan, atau sesuatu yang sifatnya masih belum diketahui dengan jelas.
Menurut madzhab Syafi’i, gharar adalah segala sesuatu akibatnya tersembunyi dari pandangan
dan sesuatu yang dapat memberikan akibat yang tidak diharapkan atau akibat yang menakutkan.
Dalam Islam, transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut
suatu obyek tertentu, baik obyek berupa barang ataupun jasa. Menurut Ibnu Khaldun tingkatan
kegiatan usaha manusia dimulai dari kegiatan usaha yang berkaitan dengan hasil sumber daya alam,
misalnya pertanian, perikanan dan pertambangan. Tingkatan berikutnya adalah kegiatan yang
berkaitan dengan hasil rekayasa manusia atas hasil sumber daya alam. Dilanjutkan dengan kegiatan
perdagangan yang secara alami timbul akibat perbedaan penawaran-permintaan dari hasil sumber
daya alam maupun hasil rekayasa manusia pada suatu tempat. Akhirnya adalah kegiatan usaha jasa
yang timbul karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya
yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai kemewahan.
Semenjak berdirinya perbankan dengan konsep syariah pada tahun 1998 hingga sekarang
market share perbankan syariah baru mencapai lebih kurang 5% saja, sementara perbankan
syariah menjadi unggul dengan beragam produknya yang sangat bervariasi. Menurut Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, bank syariah juga diartikan sebagai
lembaga perbankan sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan, tetapi dalam kegiatan
operasinya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Bank syariah berperan sebagai
lembaga intermediasi keuangan, melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan menghimpun
dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat melalui
pembiayaan.
Salah satu keunggulan perbankan syariah terletak pada sistem bagi hasilnya, sehingga
tidak salahnya masyarakat menyebut bank syariah dengan bank bagi hasil, akan tetapi pada
kenyataannya pembiayaan di perbankan syariah tidak didominasi oleh pembiayaan mudharabah
dengan konsep bagi hasilnya, akan tetapi lebih didominasi oleh pembiayaan murabahah.
Pembiayaan murabahah selalu menjadi primadona dibandingkan dengan produk perbankan
syariah lainnya. Hal ini bisa dilihat dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang
perkembangan pembiayaan murabahah yang cendrung mengalami peningkatan setiap bulannya.
Pada bulan April 2016, pembiayaan murabahah berkisar sebesar Rp. 117.375 miliar atau sebesar
58.13% dari total pembiayaan perbankan syariah di Indonesia sebesar 203 miliar. Gambaran ini
memberikan indikasi bahwa akad murabahah lebih mendominasi di perbankan syariah
dibandingkan dengan akad-akad lainnya. Hal ini salah satunya disebabkan oleh sistem penentuan
marginnya yang transparan karena dalam murabahah harga pokok dan keuntungan disepakati
diantara kedua belah pihak.
1. Bagaimana implementasi sistem pembiayaan dengan prinsip jual beli pada perbankan
syariah di Indonesia?
2. Pembiayaan seperti apa yang banyak diminati masyarakat Indonesia?
I.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui seperti apa implementasi sistem pembiayaan dengan prinsip jual
beli pada perbankan syariah di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pembiayaan apa yang paling banyak diminati oleh masyarakat
Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
Bank memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu negara, hal ini tidak dapat
dipungkiri karena seluruh usaha atau kegiatan ekonomi di setiap negara memerlukan jasa dari
perbankan baik di dalam proses pembiayaan maupun dalam pembentukan bagi bank itu sendiri.
Perkembangan dunia perbankan saat ini telah terlihat kompleks, hal ini ditandai dengan
munculnya berbagai macam produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan kompetitif.
Kekomplekan ini telah menciptakan suatu sistem dan pesaing baru dalam dunia perbankan,
bukan hanya persaingan antar bank tetapi juga antara bank dan lembaga keuangan lainnya.
Selain sistem perbankan yang lazim dikenal yaitu sistem konvensional, terdapat juga sistem
perbankan yang mulai berkembang saat ini yaitu sistem syari’ah.
Bank syariah dan bank Konvesional mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai media
intermediari dari yang surplus dana kepada yang defisit dana. Hingga saat ini banyak pihak yang
mengatakan bahwa Bank syariah tidak berbeda dengan Bank Konvensional, namun banyak
referensi mengatakan bahwa, bank syariah konsepnya sangat berbeda dengan bank konvensional.
Adapun persamaannya hanya pada tataran pelaksanaannya bukan pada tataran konsepnya.
Konsep dari perbankan syari’ah itu sendiri adalah bank yang berasaskan pada asas kemitraan,
keadilan, transparansi dan universal serta melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan
syari’ah. Implementasinya adalah merupakan kerjasama antara pemilik modal dengan pengusaha
untuk melakukan aktivitas usaha dengan harapan dapat mencapai suatu profit (keuntungan) yang
diinginkan. Keuntungan yang dimaksud adalah bank sebagai pihak penyedia modal dengan
menyalurkan modalnya kepada pengusaha maka bank akan mendapatkan pendapatan, sedangkan
bagi pihak pengusaha akan mendapatkan modal usaha sehingga pendapatan pengusaha juga akan
meningkat.
Bank akan tetap beroperasi jika seluruh biaya-biaya yang dikeluarkan dapat ditutupi dari
pendapatan yang diperoleh. Sebagian besar pendapatan bank berasal dari sistem bagi hasil dari
pembiayaan yang diberikan. Jika sistem penyaluran dalam bentuk pembiayaan bermasalah maka
pendapatan bank juga akan mengalami permasalahan, dan sebaliknya jika penyaluran dana
dalam bentuk pembiayaan adalah lancar maka keuntungan dari sistem syariah akan diperoleh
sesuai dengan target perencanaan awal, dengan demikian bank harus merekrut tenaga yang
trampil dan profesional dalam mengelola dana yang ada.
Terbentuknya perbankan dengan sistem syari’ah sebagai bagian dari lembaga perbankan
diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pemenuhan jasa perbankan bagi masyarakat.
Selain itu adanya bank syari’ah maka usaha yang berkaitan dengan penghimpunan dan
penyaluran dana diharapkan dapat berfungsi lebih efektif dan efisien. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan pendapatan bagi masyarakat terutama kalangan pengusaha kecil, bank syari’ah
berusaha menyediakan berbagai fasilitas perbankan. Yang dimaksud dengan fasilitas disini
adalah produk dan jasa. Dalam dunia perbankan produk sebagian besar dapat berbentuk produk
dalam bentuk jasa bukan dalam bentuk barang. Sebelum pembahasan tentang produk apa saja
yang diberikan oleh perbankan syariah, terlebih dahulu kita melihat komposisi perkembangan
produk pembiayaan selama enam tahun terakhir mulai tahun 2009 hingga tahun 2014 sebagai
berikut1 :
Tabel 1. Komposisi Pembiayaan
Yang Diberikan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
(Dalam Milyaran Rupiah)
Berdasarkan tabel. 1 di atas dapat dilihat bahwa selama 6 tahun terakhir komposisi
pembiayaan yang diberikan bank umum syariah dan unit usaha syariah dari tahun ketahun
mengalami peningkatan. Artinya peningkatan ini tentu akan meningkatkan pendapatan bank dari
bagi hasil atas pembiayaan yang diberikan. berdasarkan tabel. 1 di atas juga dapat dilihat bahwa
secara total dari seluruh produk pembiayaan yang diberikan bank umum syariah dan unit usaha
syariah mengalami trend kenaikan namun tidak semestinya pertumbuhan pembiayaan tersebut
mengalami kenaikan yang signifikan.
Perbankan syariah juga menawarkan beragam produk pembiayaan sama halnya dengan
bank-bank umum yang bersifat konvensional. Keberagaman jenis pembiayaan ini adalah penting
sebagai pilihan bagi calon nasabah yang akan menjadi nasabah agar lebih berleluasa dalam
memilih sesuai dengan kepentingannya. Karena adanya perbedaan produk sudah tentu berbeda
pula jumlah dari permintaan terhadap produk tersebut.
II.1 Murabahah
Murabahah secara bahasa berasa dari kata ربحyang berarti keuntungan, karena dalam
jual beli murabahah harus menjelaskan keuntungannya. Sedangkan menurut istilah
murabahah adalah jual beli dengan harga pokok dengan tambahan keuntungan (Al Zuhaili,
1984). Salah satu skim fiqh yang paling popular digunakan oleh perbankan syariah adalah
skim jual beli murabahah. Transaksi pembiayaan murabahah ini lazim dilakukan oleh
Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan
barang seharga barang tersebut ditambah dengan margin yang disepakati (Karim, 2007).
Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli amanah yang dikenal dalam syari’at Islam,
karena penjual disyaratkan melakukan kontrak terlebih dahulu dengan menyatakan harga
barang yang akan dibeli (Hulwati, 2006). Dalam pembiayaan murabahah bank menetapkan
harga jual
Bai’al-murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati. Dalam Bai’almurabahah bank harus memberi tahu harga
produk yang dijual kepada nasabah dan menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahan
(Antoni, 1999). Dalam akad murabahah, bank melakukan mark-up (menaikkan harga)
terhadap keuntungan yang telah disepakati pada perjanjian awal. Pada perjanjian murabahah
ini, bank membiayai pembelian barang atau aset yang dibutuhkan oleh nasabah dengan
membeli barang tersebut kepada pemasok (suplier) kemudian menjualnya kepada nasabah
dengan menambah suatu mark-up atau keuntungan. Misalnya jika nasabah membutuhkan
sebuah rumah, maka bank syaariah akan membelikan rumah seharga Rp. 300 Juta. Rumah
tersebut akan dijual kepada nasabah dengan tambahan keuntunagn (margin) sebesar Rp. 60
Juta. Maka harga jual rumah kepada nasabah sebesar Rp. 360 Juta yang akan dicicil selama
36 bulan/3 tahun dengan besar cicilan Rp. 10 Juta/bulan. Total harga jual tersebut tidak akan
berubah sampai pembiayaan lunas meskipun terjadi kenaikan suku bunga di bank
konvensional atau terjadinya gejolak ekonomi. Dengan kata lain, penjualan barang kepada
nasabah dilakukan atas dasar cost plus profit (Sjahdeini, 1999).
Adapun jenis barang yang dibutuhkan nasabah dan besarnya keuntungan yang akan
diperoleh bank disepakati dimuka dengan akad ijab dan qabul antara nasabah dan bank.
Secara konsep, dalam akad murabahah, bank syariah akan membelikan barang yang
dimintakan oleh nasabah kemudian bank menjualnya kembali kepada nasabah dengan
tambahan keuntungan atau margin bank. Akan tetapi dalam kenyataannya, bank hanyalah
lembaga intermediary yang tidak mempunyai barang-barang sesuai dengan permintaan
nasabah sehingga untuk memenuhi permintaan tersebut, bank harus membelinya terlebih
dahulu kepada suplier. Bahkan yang lazim terjadi di perbankan syariah adalah dimana
nasabah telah memiliki koneksi atau berlengganan dengan toko tertentu yang harganya lebih
murah, sehingga bank memberikan fasilitas tersebut kepada nasabah dengan melakukan
perjanjian wakalah (perwakilan) yang pada akhirnya nasabahnya menyerahkan kwitansi
pembelian barang sebagai bukti bahwa murabahah yang telah ditandatangani bisa berjalan
sesuai dengan prosedurnya.
Pemberian pembiayaan murabahah dalam jangka waktu yang panjang menimbulkan
resiko tidak bersaingnya bagi hasil kepada pihak ketiga (nasabah). Menurut Adiwarman
Karim, resiko pada akad murabahah timbul karena:
1. Kenaikan DCRM (Direct CompetitorMarket Rate)
2. ICRM (Indirect Competitors Market Rate)
3. Kenaikan ECRI (Expected Competitive Return of Investors)
1. Tingkat margin saat ini diprediksi perubahannnya dimasa yang akan datang yang akan
berlaku di perbankan syariah (Direct Competitor Market Rate) semakin cepat perubahan
DCRM diperkirakan, maka semakin pendek jangka waktumaksimal pembiayaan.
2. Suku bunga kredit yang berlaku saat ini dan diprediksi perubahannya dimasa mendatang
yang berlaku di pasar perbankan barang yaitu harga pokok perolehan barang ditambah
sejumlah margin keuntungan bank. Harga jual yang telah disepakati di awal akad tidak
boleh berubah selama jangka waktu pembiayaan.
1. Al-Qur’an:
a. QS. An-Nisa’ [4]:29:
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil)
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku sukarela diantaramu...”
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai ia berkelapangan...”
Dari ayat-ayat diatas jelas Allah melarang memakan harta dengan cara yang tidak
diridhoinya, kecuali dengan transaksi yang berdasarkan suka sama suka diantara kedua
belah pihak.
4. Ijma’
Umat manusia telah berkosensus tentang keabsahan jual beli, karena manusia
sebagai anggota masyarakat selalu membutuhkan apa yang dihasilkan dan dimiliki
orang lain. Oleh karena jual beli ini adalah salah satu jalan untuk mendapatkan secara
sah, dengan demikian mudahlah bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhannya.
Dari dasar hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa transaksi Murabahah itu
dibolehkan dan tidak bertentangan dengan ajaran syari’at Islam serta memberikan
keringanan kepada pembeli untuk memeperoleh barang yang diinginkan walaupun
dengan pembayaran yang tidak tunai.
Jual beli secara murabahah di atas hanya untuk barang atau produk yang telah
dikuasai atau dimiliki oleh penjual pada waktu negosiasi dan berkontrak (Antonio, 2001).
II.2 Salam
Salam adalah akad jual beli muslam fiih (barang pesanan) dengan penangguhan
pengiriman oleh muslam ilaihi (penjual) dan pelunasannya dilakukan segera oleh pembeli
sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Bank dapat
bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika bank bertindak
sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan
dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel. Salam paralel dapat dilakukan dengan
syarat:
1. akad kedua antara bank dan pemasok terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli
akhir
2. akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.
Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal
akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Dalam
hal bank bertindak sebagai pembeli, bank syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah
untuk menghindari risiko yang merugikan bank. Barang pesanan harus diketahui
karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis, spesifikasi teknis, kualitas dan
kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara
pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat maka penjual
harus bertanggung jawab atas kelalaiannya.
Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Jual beli Salam sebagaimana
tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 05/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 1
April 2000 (Fatwa, 2006) sebagai berikut:
1. Ketentuan tentang pembayaran, Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik
berupa uang, barang atau manfaat. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak
disepakati. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
2. Ketentuan tentang barang, Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang,
Harus dapat dijelaskan spesifikasinya, Penyerahan dilakukan kemudian, Waktu dan
tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan, Pembeli tidak
boleh menjual barang sebelum menerimanya, Tidak boleh menukar barang, kecuali
dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
3. Ketentuan tentang salam parallel, Dibolehkan melakukan salam parallel dengan syarat :
Akad kedua terpisah dari akad pertama, dan Akad kedua dilakukan setelah akad pertama
sah
4. Penyerahan barang sebelum atau pada waktunya : Penjual harus menyerahkan barang
tepat pada waktunyadengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati. Jika penjual
menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta
tambahan harga. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah,
dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga
(diskoun) Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati
dengan syarat : kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh
menuntut tambahan harga Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu
penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia
memiliki dua pilihan : Membatalkan kontrak dan meninta kembali uangnya Menunggu
sampai barang tersedia.
5. Pembatalan kontrak, Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak
merugikan kedua belah pihak.
Modal salam harus dapat ditetapkan dengan menyebutkan dasar - dasar pengukuran
untuk menilai modal salam yang akan dicatat bank Islam pada saat dibayar (untuk Salam)
atau pada saat diterima (untuk Salam Paralel). Bila modal salam dalam bentuk tunai, hal ini
teridentifikasi oleh jenis mata uang dan jumlahnya, tetapi apabila dalam bentuk barang atau
manfaat, ini diukur dengan nilai wajar dari asset atau manfaat tersebut, yang telah disetujui
oleh kedua belah pihak. Dengan digunakannya nilai wajar dari pada nilai historis
memberikan informasi yang berguna bagi para pengguna informasi laporan untuk mengambil
keputusan berkaitan dengan hubungan antara mereka dan bank Islam. Penggunaan nilai wajar
juga mencerminkan pelaksanaan konsep “representatif faithfulness” yang ada. Dalam
mengukur modal Salam dan Salam Paralel pada akhir periode laporan keuangan, digunakan
biaya historis karena informasi yang dapat diandalkan diperoleh dari sifat ini. Namun
demikian untuk meyakinkan bahwa informasi keuangan ini dapat diandalkan, standar
menyebutkan bahwa apabila bank Islam memperoleh keyakinan bahwa al muslam ilaih tidak
mengirim al muslam fihi , secara penuh maupun sebagian, atau adanya kemungkinan bahwa
al muslam fihi akan menurun, harus dibuat pencadangan terhadap defisit yang diestimasikan.
Pencadangan ini dapat memberikan informasi yang bisa membantu memperkirakan arus kas
bank Islam di masa yang akan datang yang dihasilkan dari pembiayaan Salam. Informasi
yang dapat menjadi sumber prediksi ini mencerminkan bahwa satu dari beberapa
karakteristik kualitatif yang ada untuk mencapaian keandalan terpenuhi.
Pengukuran, pengakuan, penyajian dan pengungkapan transaksi salam yang
sebelumnya diatur dalam PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah diganti dengan
PSAK 103 tentang Akuntansi Salam. Dalam transaksi salam bank syariah dapat bertindak
sebagai pemesan dan juga dapat bertindak sebagai produsen tetapi umumnya yang
dilaksanakan bank syariah adalah salam paralel yaitu transaksi salam yang diterima oleh
bank syariah (bank syariah sebagai produsen) secara simultan diserahkan kepada pihak lain
untuk memproduksinya (bank syariah sebagai pemesan). Jika bank syariah melaksanakan
transaksi salam paralel, maka kedudukan bank syariah bertindak sebagai pembeli dan
sekaligus sebagai penjual, oleh karena itu dalam salam paralel bank syariah menerapkan
akuntansi pembeli dan akuntansi penjual.
1) Bank sebagai Pembeli (Akuntansi untuk pembeli)
Jika bank bertindak sebagai “Pembeli”, maka :
a) Piutang salam diakui pada saat modal usaha salam dibayarkan atau dialihkan kepada
penjual (nasabah).
b) Modal usaha salam dapat berupa kas dan aset nonkas. Modal usaha salam dalam
bentuk kas diukur sebesar jumlah yang dibayarkan, sedangkan modal usaha salam
dalam bentuk aset non-kas diukur sebesar nilai wajar. Selisih antara nilai wajar dan
nilai tercatat modal usaha nonkas yang diserahkan diakui sebagai keuntungan atau
kerugian pada saat penyerahan modal usaha tersebut.
c) Penerimaan barang pesanan diakui dan diukur sebagai berikut: jika barang pesanan
sesuai dengan akad dinilai sesuai nilai yang disepakati, jika barang pesanan berbeda
kualitasnya.
d) Denda yang diterima oleh pembeli diakui sebagai bagian dari dan kebajikan.
e) Pembeli dapat mengenakan denda kepada nasabah, denda hanya boleh dikenakan
kepada nasabah yang mampu menunaikan kewajibannya, tetapi tidak memenuhinya.
Hal ini tidak berlaku bagi nasabah yang tidak mampu menunaikan kewajibannya
karena force majeur. Denda dikenakan jika penjual lalai dalam melakukan
kewajibannya sesuai dengan akad, dan denda yang diterima diakui sebagai bagian
dana kebajikan.
f) Barang pesanan yang telah diterima diakui sebagai persediaan. Pada akhir periode
pelaporan keuangan, persediaan yang diperoleh melalui transaksi salam diukur
sebesar nilai terendah biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi. Apabila
nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya
diakui sebagai kerugian.
II.3 Istishna
Istishna’ menurut Bahasa berasal dari kata نعUU( صshana’a) yang artinya membuat
kemudian ditambah huruf alif, sin dan ta’ menjadi ( استصنعistashna’a) yang berarti meminta
dibuatkan sesuatu. Transaksi istishna’ merupakan kontrak penjualan antara mustashni’
(pembeli) dan shani’ (pembuat barang/penjual). Dalam kontrak ini shani’ menerima pesanan
dari mustashni’. Shani’ lalu berusaha sendiri atau melalui orang lain untuk membuat
mashnu’ (pokok kontrak) menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada
mustashni’. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran (Antonio,
2001).
Secara istilah, istishna’ adalah suatu akad yang dilakukan seorang produsen dengan
seorang pemesan untuk mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian, yakni
pemesan membeli sesuatu yang dibuat oleh seorang produsen dan barang serta pekerjaan dari
pihak produsen (Azzuhaili, Alfiqhi Alislamiyatu wa Adilatuhu). Dalam literature fiqih klasik,
masalah istishna’ mulai mencuat setelah menjadi bahasan Madzhab Hanafi. Akademi Fiqih
Islami pun menjadikan masalah ini sebagai salah satu bahasan khusus. Karena itu, kajian
akad bai’ alistishna’ ini didasarkan pada ketentuan yang dikembangkan oleh fiqih Hanafi,
dan perkembangan selanjutnya dilakukan fuqoha kontemporer (Huda dan Haikal, 2010).
Salah satu produk yang popular digunakan dalam perbankan syariah adalah produk isitshna’.
Akad istishna’ ini hukumnya boleh (jawaz) dan telah dilakukan oleh masyarakat Muslim
sejak masa awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya (Karim, 2004).
Akad isitshna’ biasanya dipraktikan pada pembiayaan perbankan syariah dalam
proyek konstruksi, maka hal ini sangat cocok dengam kebutuhan nasabah untuk membangun
suatu kontruksi salah satunya membangun rumah (Usma, 2009). Dari beberapa uraian
tentang istishna’ diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa keterlibatan dalam transaksi seorang
produsen dengan seorang pemesan untuk mengerjakan sesuatu yakni pemesan membeli
sesuatu yang dibuat oleh seorang produsen dan barang serta pekerjaan dari pihak produsen.
Pada praktiknya akad istishna’ dipraktikan pada pembiayaan perbankan syariah dalam
proyek konstruksi.
Landasan Hukum Istishna’
1. Al- Qur‟an
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….” (QS. Al – Baqarah: 282)
2. Hadis
Dari Sahal bahwa Nabi shallallahualaihi wasallam menyuruh seorang wanita Muhajirin
yang memiliki seorang budak tukang kayu. Beliau berkata kepadanya:
“Perintahkanlah budakmu agar membuatkan mimbar untuk kami. Maka wanita itu
memerintahkan budaknya. Maka ghulam itu pergi mencari kayu di hutan lalu dia membuat
mimbar untuk beliau.” (HR. Bukhari)
3. Ijma’
Dalam fatwa DSN-MUI, dijelaskan bahwa jual beli istishna’ adalah akad jual beli dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu yang disepakati antara pemesan (pemesan,
mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’) (Karim, 2006).
Adapun menurut MUI Dalam fatwa DSN-MUI nomor 06/DSN-MUI /IV / 2000
menjelaskan bahwa ada 3 (tiga) ketentuan dibolehkan:
1) Ketentuan tentang Pembayaran, dimana alat bayar harus diketahui jumlah dan
bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat pembayaran yang dilakukan
sesuai dengan kesepakatan,dan tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
2) Ketentuan tentang Barang, harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang,
dapat dijelaskan spesifikasinya, penyerahan barang dilakukan kemudian, waktu dan
tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan pembeli
(mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerima, tidak boleh menukar
barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan, dalam hal terdapat cacat
atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar untuk
melanjutkan atau membatalkan akad
3) Ketentuan Lain yaitu: Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan
kesepakatan, hukumnya mengikat, semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak
disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna’, jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajiban atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Tabel 3. Komposisi Pembiayaan sesuai akad
Yang Diberikan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
(Dalam Milyaran Rupiah)
Berdasarkan tabel 3. diatas dapat diketahui bahwa bank umum syariah dan unit usaha
syariah menyalurkan pembiayaan sesuai dengan jenis produk pembiayaan yang ditawarkan
sebanyak tujuh produk. Dari ke-tujuh produk tersebut hanya satu produk yang tidak tersentuh
oleh masyarakat yakni produk salam, hal ini dapat dilihat berdasarkan tabel di atas dari tahun
2009 hingga 2014 datanya kosong. Dengan demikian terdapat enam jenis produk pembiayaan
sesuai dengan akad yang diminati nasabah antara lain : akad mudharabah, musyarakah,
murabahan, istishna, ijarah dan qardh. Dari ke-enam tersebut dan berdasarkan angka dalam
milyaran rupiah ada yang banyak ada yang sedikit jumlahnya. Jika kita cermati pembiayaan
dengan akad murabahah lebih mendominasi dari jenis akad-akad yang lainnya yakni berjumlah
26.321 milyar rupiah sementara pembiayaan yang paling sedikit jumlahnya adalah pembiayaan
akad istishna yakni sebanyak 423 milyar rupiah. Berdasarkan permasalahan di atas maka tertarik
bagi penulis untuk menganalisis tentang keunggulan produk pembiayaan sesuai dengan akad
yang diberikan. Jika dilihat untuk sementara produk akad murabaha lebih unggul jika
dibandingkan dengan produk dengan akad-akad lainnya.
Sesuai dengan data pada tabel 3. diatas bahwa minat nasabah terhadap produk
murabahah dari tahun ketahun lebih diminati dibandingkan dengan produk pembiayaan lainnya.
Jika pembiayaan tersebut sebagian besar pembiayaan bersifat konsumtif maka bank syariah telah
menjadikan nasabah konsumtif. Sementara produk dengan akad salam kosong padahal akad ini
sangat baik karena indonesia adalah negara agraris sudah semestinya pembiayaan dengan akad
ini dapat membantu para petani yang memerlukan. Akad ini aplikasinya pembiayaan sektor
pertanian, dan produk manufakturing.
1. Secara sederhana murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang tertentu ditambah
keuntungan yang disepakati, misalnya seseorang membeli barang kemudian menjualnya
kembali dengan keuntungan tertentu. Secara konsep, murabahah hanya melibatkan dua pihak
yaitu penjual dan pembeli. Dalam aplikasinya di perbankan syariah, murabahah melibatkan
tiga pihak, yaitu nasabah sebagai pembeli, bank sebagai penjual dan suplier sebagai pemasok
barang kepada bank atas permintaan nasabah. Akan tetapi dalam realitanya, murabahah lebih
banyak teraplikasi dengan konsep murabahah bil wakalah. Artinya bank memberikan
wewenang kepada nasabah untuk melakukan jual beli terhadap barang kebutuhan nasabah
dengan melakukan perjanjian wakalah (perwakilan), yang pada akhirnya nasabah hanya
menyerahkan kwitansi pembelian barang sebagai bukti bahwa murabahah yang ditanda
tangani akadnya bisa berjalan sesuai dengan prosedurnya. Dalam implementasinya, nasabah
yang mengajukan pembiayan untuk pembelian barang konsumtif diberikan surat kuasa
berupa wakalah atau pendelegasian wewenang untuk membeli sendiri barang kebutuhannya
kepada suplier, kemudian bank memberikan pembiayaan dengan mentransfer ke rekening
nasabah. Setelah membeli barang, kemudian nasabah menyerahkan kwitansi sebagai bukti
pembelian kepada bank dan sebagai bukti bahwa nasabah benar-benar telah membeli barang
sesuai akad, setelah itu bank menjual lagi kepada nasabah dengan margin tertentu. Bahkan
praktek di lapangan, nasabah diberikan pembiayaan tanpa mempedulikan objek yang akan
diperjual belikan. Sehingga muncul kesan bagi nasabah yang terbiasa dengan skim kredit
konsumtif bahwa “bank syariah sama saja dengan bank konvensional”, karena kebutuhan
nasabah bukan lagi untuk pembelian barang akan tetapi untuk kebutuhan dana segar. Bahkan
ada yang berpendapat bahwa murabahah bukan jual beli melainkan hilah dengan tujuan
untuk mengambil riba. Ada sebagian ulama berpendapat bahwa tujuan murabahah adalah
untuk memperoleh riba dan menghasilkan uang sebagaimana bank konvensional.
Penyimpangan dalam prakteknya ditemukan berulang kali pada pembiayaan pembelian
barang pesanan tidak dilakukan pihak bank tapi cukup dengan penyerahan bukti pembelian
barang yang akan dimurabahahkan, dimana hakikatnya nasabah sendiri yang telah memberi
barang tersebut atas nama nasabah di faktur. Bank tinggal membayar nominal yang tertera di
faktur ditambah dengan keuntunga (margin) yang disepakati bersama.
2. Bai’ As-Salam dapat diterapkan atau digunakan pada pembiayaan bagi barang industri
dengan jangka waktu relatif pendek dan bank tidak ada niat untuk menjadikan barang-barang
tersebut sebagai inventory (simpanan), yakni persediaan atau barang jadi suatu perusahaan.
Oleh karena itu, dilakukanlah akad Bai’ As-Salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada
Bulog, pedagang pasar induk atau grosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal sebagai
Salam Paralel.Kalau Bai’ as-Salam diaplikasikan atau diterapkan pada pembiayaan barang
industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah diketahui
umum, dengan cara saat nasabah mengajukan permohonan pembiayaan untuk pembuatan
pakaian jadi, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut. Hal ini berarti bank
memesan pembuatan pakaian jadi tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan
kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang
telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut. Bila garmen tersebut telah selesai
diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian
membayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai. Akad salam ini dibolehkan
dalam syariah Islam karena punya hikmah dan manfaat yang besar, dimana kebutuhan
manusia dalam bermuamalat seringkali tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan atas akad ini.
Kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli bisa sama-sama mendapatkankeuntungan dan
manfaat dengan menggunakan akad salam.
3. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pembiayaan
dengan prinsip jual beli dengan akad murabahah lebih banyak diminati nasabah karena sesuai
dengan kepentingan. Pembiayaan ini adalah pembiayaan jangka pendek guna pembelian
barang meskipun nasabah tidak memiliki uang untuk membayarnya namun bisa mendapatkan
barang tersebut sesuai dengan keinginan tentunya setelah melalui tahap-tahap proses yang
ditentukan, sehingga dengan demikian permintaan terhadap akad ini lebih banyak diminati
nasabah. Berdasarkan analisi penelitian ini, didapati akad salam masih kosong, hal ini sangat
memperhatinkan, karena Indonesia merupakan negara agraris atau bisa disebut mayoritas
penduduknya berkerja sebagai petani. Secara garis besar bank mempunyai dua masalah
mengapa tidak menyalurkan dana menggunakan akad salam yaitu dari aspek internal dan
eksternal. Aspek internal dapat disebabkan karena jaringan terbatas dan sumberdaya manusia
(SDM) sedangkan aspek ekternal kurang kebijakan pendukung; kurang keberpihakan
pemerintah, dan nasabah (petani kecil tidak bankable). Memang sebagai lembaga keuangan
harus memegang prinsip kehati-hatian, tapi buat apa membuat suatu produk tidak pernah
dipraktekan, sehingga dari pada setiap kali muncul dilaporan keuangan bank syariah selalu
menunjukkan angka kosong.
DAFTAR PUSTAKA
Karnaen Perwataatmadja dan M Syafi’I Antonio : Apa Dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf, 1992
Muhammad Shabri Abdul Majid : Artikel “Enam Kelemahan Utama Operasi Perbankan Islam “
(2009)
Syafi’i Antonio, Muhammad. Bank Syariah Dari Teori Keperaktek, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001.)