Oleh Kelompok 10
2.
3.
Dua puluh lima tahun keberadaan perbankan syariah sejak didirikannya Bank Muamalat
Indonesia pada tahun 1992 merupakan masa yang cukup mature untuk mengevaluasi keberadaan
dan juga performance dari industri perbankan syariah di negeri ini. Dengan adanya 4 Bank Umum
Syariah (BUS), 27 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 128 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)
(Bank Indonesia, 2008), kami melihat besarnya peran industri perbankan syariah terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama pada sektor riil.
Potensi ini harus direvitalisasikan dengan adanya pernyataan dari Kamar Dagang Indonesia
(Kadin), sebagaimana dikutip dari harian (Detikfinance.com, 8 Oktober 2009), meminta agar
perbankan nasional untuk lebih banyak menyalurkan kredit ke sektor riil agar pertumbuhan
ekonomi tahun depan lebih berkualitas dan tidak hanya berfokus pada kredit konsumsi yang
membuat pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas.
Perbankan nasional harus meningkatkan komitmennya dalam penyaluran kredit di sektor riil
seperti manufaktur, infrastruktur, dan ketahanan pangan.. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan untuk memperkuat posisi industri perbankan syariah di Indonesia.
Peranan perbankan syariah seharusnya dilihat sebagai peluang strategis untuk industri
perbankan nasional dan juga perekonomian Indonesia di masa mendatang. Dengan demikian, ada
beberapa catatan kritis yang ingin kami sampaikan.
Pertama, walaupun UU Perbankan Syariah telah disahkan oleh Pemerintah bersama DPR RI
pada pertengahan Juni 2008 lalu. Tetapi, perkembangan industri perbankan syariah di negeri ini
masih terbilang sangat lambat. Total aset perbankan syariah hanya sebesar 2% total aset
perbankan nasional.
Sangat berbeda dengan Malaysia. Pertumbuhan perbankan syariah di negeri jiran ini melaju
dengan sangat cepat dan diprediksikan pada akhir tahun 2010 nanti Malaysia mentargetkan total
aset industri perbankan syariah akan tumbuh sebesar 20%. Sangat besar perbedaan total aset
perbankan syariah kita dengan negeri jiran ini.
Dengan disahkannya UU perbankan syariah seharusnya pertumbuhan industri perbankan
syariah harus lebih baik lagi. Oleh karena itu, perlunya sosialisi yang intensif dan political will
dari pemerintah agar dengan sungguh-sungguh memberikan perhatian terhadap perkembangan
industri perbankan syariah di tanah air.
Kedua, industri perbankan syariah masih banyak memberikan pembiayan yang berupa kredit
konsumsi (Debt Financing). Data terbaru dari Bank Indonesia menunjukkan kredit konsumsi
dengan kontrak ('aqd) murabahah atau transaksi jual beli merupakan komposisi pembiayaan
terbesar industri perbankan syariah yang mencapai 60%. Sedangkan komposisi pembiayaan yang
berupa equity financing atau kredit mudharabah (sistem bagi hasil) dan musyarakah (sistem
partnership) masih di bawah 40%.
Ini adalah pertanda bahwa fungsi dan peran alami perbankan syariah belum lagi pro kepada
perkembangan sektor riil. Oleh karena itu, perbankan syariah seharusnya lebih inovatif untuk
mengembangkan produk-produk pembiayaan yang mengutamakan investasi kepada sektor riil
seperti kredit mudharabah dan musyarakah ini.
Ketiga, permasalahan pembiayaan murabahah yang tidak syariah compliance. Kredit
konsumsi murabahah (debt financing) seolah-olah memberikan kesan bahwa perbankan syariah
mencoba melepaskan diri untuk mengambil risiko dalam berusaha. Dalam Fiqh Muamalat, ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan kontrak murabahah antaranya barang
yang akan dijual harus exist dan dimiliki oleh penjual.
Dalam contoh kasus, untuk kredit perumahan dengan menggunakan kontrak murabahah,
secara ideal, bank syariah seharusnya membeli dulu rumah yang akan dijual kepada nasabah
daripada developer. Dengan kata lain bank harus memiliki rumah yang akan dijual kepada
nasabah dan keuntungan yang diambil dari transaksi jual beli adalah halal sebagaimana Allah
telah berfirman dalam QS Al Baqarah 275. Telah Allah halalkan jual beli dan Allah
mengharamkan riba.
Pada kenyataanya bank syariah tidak memiliki rumah yang akan dijualkan kepada nasabah.
Bank hanya memberikan pinjaman (loan) dan tidak melakukan transaksi jual beli secara murni,
disebabkan bank tidak mau mengambil risiko kredit yang tinggi dan cenderung untuk bermain
aman. Dengan demikian kredit murabahah sama saja seperti pinjaman kredit bank konvensional.
Bank hanya memberikan pinjaman dan nasabah harus mengembalikan pinjaman kepada bank
ditambah dengan pembayaran bunga.
Bunga bank sudah jelas haram karena kontrak yang dipakai ialah kontrak pinjaman dan
mengambil keuntungan dari uang yang dipinjamkan adalah riba. Di dalam ekonomi syariah uang
bukan sebagai komoditi untuk meraup keuntungan melainkan ia adalah sebagai alat tukar di
dalam perdagangan.
Dengan demikian terlihatlah tidak adanya perbedaan mendasar antara pembiayaan murabahah
dan pinjaman berbunga (interest loan). Pada kenyataanya, sistem penghitungan keuntungan
murabahah dengan pinjaman berbunga bisa dikatakan sama.
Pada bank konvensional penghitungan pinjaman berbunga ditunjukkan dengan persamaan D
= L (1 + rt), di mana D = Debt (Hutang), L = Loan (pinjaman), rt = Rate of Interest (tingkat suku
bunga). Sedangkan pembiayaan murabahah menggunakan model persamaan Pm = Pc (1 + rt),
dimana Pm = Price of Murabahah (harga jual Pembiayaan murabahah), Pc = Price of cost (harga
beli) dan rt = rate of profit (tingkat keuntungan). Walaupun secara matematika penghitungan
keuntungan antara perbankan konvensional dan perbankan syariah sama, tetapi secara filosofi dan
kontrak seharusnya berbeda.
Jadi perbankan syariah harus lebih berani untuk mengambil risiko pembiayaan karena di
dalam Fiqh Muamalat keuntungan boleh diperoleh dengan adanya jual beli, risk sharing, dan juga
investasi yang bersifat bagi hasil serta partnership. Apabila bank syariah memberikan kredit
murabahah maka transaksi jual beli secara murni harus dilakukan. Walaupun total aset perbankan
syariah masih dibawah 2%.
Dengan adanya peningkatan mutu dan pelayanan serta produk simpanan dan pembiayaan
yang inovatif dan lebih syariah compliance, perbankan syariah akan berkembang dan tumbuh
secara significant. Penulis yakin bahwa industri perbankan syariah akan memberikan dampak
positif kepada perkembangan perekonomian nasional kita ke depan.
Terutama pada sektor riil dan juga usaha kecil dan menengah (UKM). Tentu saja dengan
harapan perbankan syariah harus lebih berani mengambil risiko dan juga mengutamakan produk
pembiayaan mudharabah dan musyarakah sebagai senjata pamungkas di masa yang akan datang.
Sederhananya, hubungan antara bank dengan nasabah dalam praktek perbankan syariah
bersifat kemitraan. Kontras dengan bank konvensional yang sifatnya debitur dengan kreditur.
Lebih detailnya sebagai berikut :