Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MEMAHAMI KONSEP BANK

DI SUSUN OLEH

NAMA : DAHLIANA EMELDA (2012020060)

VANIA VREYA CINARA (2012020058)

SEMESTER : IV (EMPAT)

UNIT : I (SATU)

MATA KULIAH : DASAR-DASAR EKONOMI ISLAM

PROGRAM STUDI : HUKUM EKONOMI SYARIAH

DOSEN PENGAMPU : AKMAL, S.H.I, MEI.

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya


sehingga makalah tentang “Memahami Konsep Bank” tersusun sampai dengan
selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya. Makalah ini merupakan laporan yang dibuat sebagai bagian dalam
memenuhi tugas mata kuliah Dasar-dasar Ekonomi Islam.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh
lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Langsa, 28 Mei 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2


DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 4
A. Latar Belakang ......................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah......................................................................................4
C. Tujuan Penulisan........................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 6
A. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional ............................... 6
B. Bentuk-bentuk Riba dan Permasalahan ............................................... 11
C. Prinsip Wadiah ........................................................................................ 13
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 16
KESIMPULAN .................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang membantu
perkembangan ekonomi suatu negara. Tumbuhnya perkembangan bank secara
baik dan sehat akan mendorong perekonomian rakyat semakin meningkat,
sebaliknya, perkembangan suatu bank mengalami krisis dapat diartikan keadaan
ekonomi suatu negara dalam keterpurukan. Pasal 2 Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang perbankan memberikan definisi bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak.
Fungsinya sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara
pihak-pihak yang surplus dengan pihak-pihak yang membutuhkan dana atau
defisit. Dalam menjalankan usahanya sebagai lembaga keuangan yang menjual
kepercayaan dan jasa, setiap bank berusaha sebanyak mungkin menarik nasabah
baru, memperbesar dana-dananya dan juga memperbesar pembarian kredit dan
jasa-jasanya. Jenis Bank menurut kegiatan usahanya dibagi menjadi dua jenis
bank, yang dibedakan berdasarkan pembayaran bunga atau bagi hasil usaha: (1)
Bank yang melakukan usaha secara konvensional, dan (2) Bank yang melakukan
usaha secara Syariah.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional?
b. Bagaimana Bentuk-bentuk Riba dan Permasalahan?
c. Bagaimana Prinsip Wadiah?

4
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk Mengetahui Bagaimama Perbedaan Bank Syariah dan Bank
Konvensional
b. Untuk Mengetahui Bagaimana bentuk-bentuk Riba dan Permasalahan
c. Untuk Mengetahui Bagaimana Prinsip Wadiah

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional

Bank syariah merupakan bank yang dalam sistem operasionalnya tidak


menggunakan sistem bunga, akan tetapi menggunakan Prinsip Dasar sesuai
dengan syariah Islam. Dalam menentukan imbalannya, baik imbalan yang
diberikan maupun diterima, bank syariah tidak menggunakan sistem bunga, akan
tetapi menggunakan konsep imbalan sesuai dengan akad yang diperjanjikan.
Sistem perbankan syariah berbeda dengan sistem perbankan konvensional karena
sistem ekonomi Islam yang cakupannya lebih luas. Oleh karena itu, perbankan
syariah tidak hanya dituntut untuk menghasilkan profit secara komersial, namun
dituntut untuk secara sungguh-sungguh menampilkan realisasi nilai-nilai syariah.
Beberapa Perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional antara lain :

1. Investasi
Bank syariah dalam menyalurkan dananya kepada pihak pengguna
dana, sangat selektif dan hanya boleh menyalurkan dananya dalam
investasi halal. Perusahaan yang melakukan kerja sama usaha dengan
bank syariah, haruslah Perusahaan yang memproduksi barang dan jasa
yang halal. Bank Syariah tidak akan membiayai proyek yang
terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan oleh Islam.1 Proyek
yang dibiayai oleh bank syariah tentunya merupakan proyek yang
jelas mengandung beberapa hal pokok antara lain :
a). Proyek yang dibiayai merupakan proyek yang halal
b). Proyek yang bermanfaat bagi masyarakat
c). Proyek yang dibiayai merupakan proyek yang menguntungkan
bagi bank maupun mitra usaha.

1
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta : Kencana, 2010), hal 34

6
Sebaliknya bank konvesional tidak mempertimbangkan jenis
investasinya, akan tetapi penyaluran dananya dilakukan untuk
perusahaan yang menguntungkan, meskipun menurut syariat Islam
tergolong produk yang tidak halal. Misalnya, proyek perusahaan
minuman keras dapat dibiayai oleh bank konvesional apabila
proyeknya menguntungkan. Namun sebaliknya, meskipun
menguntungkan apabila produknya haram, seperti pabrik minuman
keras, maka bank syariah tidak membiayainya.

2. Return
Return yang diberikan oleh bank syariah kepada pihak investor,
dihitung dengan menggunakan sistem bagi hasil, sehingga adil bagi
kedua pihak. Dari sisi penghimpunan dana pihak ketiga, bila bank
syariah memperoleh pendapatan besar, maka nasabah investor juga
akan menerima bagi hasil yang besar, dan sebaliknya bila hasil bank
syariah kecil maka bagi hasil yang dibagikan kepada nasabah investor
juga akan menurun. Dari sisi pembiayaan, bila nasabah Mendapat
keuntungan besar maka bank syariah juga akan mendapatkan bagi
hasil yang besar dan sebaliknya bila hasil yang diperoleh nasabah
kecil maka bank syariah akan mendapat bagi hasil yang kecil. Return
yang diberikan dan atau diterima oleh bank syariah selalu berfluktuasi,
sangat bergantung pada hasil usaha yang dilakukan oleh mitra usaha
baik bank maupun nasabah. Sebaliknya, dalam bank konvesional,
return yang diberikan maupun diterima di hitung dengan mengalikan
antara persentase bunga. Bunga dihitung dengan mengalikan antara
persentase bunga dengan pokok jaminan atau pokok penempatan
dana, sehingga hasilnya akan tetap.

3. Perjanjian
Perjanjian yang dibuat antara syariah dan nasabah baik nasabah
investor maupun pengguna dana sesuai dengan kesepakatan

7
berdasarkan prinsip syariah. Dalam perjanjian telah dituangkan bentuk
return yang akan diterapkan sesuai akad yang diperjanjikan.
Perjanjiannya menggunakan akad sesuai dengan sistem syariah.
Sebaliknya perjanjian yang dilaksanakan antara bank konvensional
dan nasabah adalah menggunakan dasar hukum positif.

4. Orientasi
Orientasi bank syariah dalam memberikan pembiayaan adalah falah
dan profit oriented. Bank syariah memberikan pembiayaan semata-
mata tidak hanya berdasarkan keuntungan yang diperoleh atas
pembiayaan yang diberikan, akan tetapi juga mempertimbangkan pada
kemakmuran masyarakat. Aspek sosial kemasyarakatan menjadi
pertimbangan bagi bank syariah dalam menyalurkan dananya kepihak
pengguna dana. Bank Konvensional akan memberikan kredit kepada
nasabah bila usaha nasabah menguntungkan.

5. Hubungan bank dengan nasabah


Hubungan bank syariah dengan nasabah penggunaan dana, merupakan
hubungan kemitraan. Bank bukan sebagai kreditor, akan tetapi sebagai
mitra kerja dalam usaha bersama antara bank syariah dan debitur.
Kedua pihak memiliki kedudukan yang sama. Sehingga hasil usaha
atas kerja sama yang dilakukan oleh nasabah pengguna dana, akan
dibagi hasilkan dengan bank syariah dengan nasabah yang disepakati
bersama dan tertuang dalam akad.

6. Dewan Pengawas
Dewan Pengawas Syariah meliputi beberapa pihak antara lain :
komisarik, Bank Indonesia, Bapepam (untuk bank syariah yanggo
public) dan Dewan Pengawas Syariah. Semua dewan pengawas
memiliki fungsi masing-masing. Khusus Dewan Pengawas Syariah,
tugasnya ialah mengawasi jalannya operasioal bank syariah supaya

8
tidak terjadi penyimpangan atas produk dan jasa yang ditawarkan oleh
bank syariah sesuai dengan produk dan jasa bank yang telah disahkan
oleh dewan Pengawas Syariah Nasional (DSN) melalui fatwa DSN.
Dewan Pengawas Syariah (DPS) bertugas memberikan nasehat dan
saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank syariah agar
sesuai dengan prinsip syariah. DPS diangkat oleh rapat umum
pemegang saham atas rekomendasi Majelis uoama Indonesia (MUI).
Dewan Syariah Syariah (DPS) wajib dibentuk oleh bank syariah tidak
boleh menyimpang dari aturan syariah yang telah dituangkan dalam
fatwa DSN. Dewan Syariah Nasional adalah Dewan Syariah yang
tugasnya ialah untuk meneliti produk dan jasa bank syariah yang akan
diluncurkan dan memberikan fatwa tentang produk dan jasa bank
syariah.

7. Penyelesaian Sengketa
Permasalahan yang muncul di bank syariah akan diselenggarakan
musyawarah. Namun apabila musyawarah tidak dapat menyelesaikan
masalah, dalam lingkungan peradilan agama. Bank konvesional akan
menyelesaikan sengketa melalui negoisasi. Bila negoisasi tidak dapat
dilaksanakan, maka penyelesaiannya melalui pengadilan negeri
setempat.

Bank syariah dalam melakukan kegiatan usahanya secara prinsip berbeda


dengan bank konvensional meskipun dalam hal tertentu masih memiliki
kesamaan. Pada bank syariah berlandaskan pada hukum positif dan hukum Islam
sedangkan bank konvensional hanya berpedoman pada hukum positif. Sehingga
pada bank syariah dalam memberikan pembiayaan kepada masyarakat harus
memperhatikan prospek usahanya terlebih dahulu dan sudut pandang agama
sebelum menyalurkan pembiayaannya. Sedangkan pada bank konvensional tidak
memperhatikan masalah tersebut. Pada bank konvensional dan bank syariah
memiliki perbedaan dalam menyalurkan dana kepada nasabahnya. Pada bank

9
konvensional, pemberian pinjaman uang terhadap nasabah yang membutuhkan
disebut dengan kredit. Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa keuntungan
yang diperoleh dan pemberian kredit ialah berdasarkan bunga yang telah
ditetapkan oleh pihak bank.

Berbeda dengan bank syariah, di mana pemberian pinjaman dana


terhadap nasabahnya disebut dengan pembiayaan. Keuntungan yang diperoleh dan
pemberian pembiayaan tersebut tidak berdasarkan pada suku bunga tetapi
berdasarkan imbalan atau bagi hash yang telah disepakati bersama. Selain itu,
hubungan antara pihak bank dan nasabah pada bank syariah tidak hanya terbatas
pada kreditor dan debitor tetapi menggunakan sistem kemitraan dalam
menyalurkan pembiayaannya. Salah satu prinsip operasional bank syariah dalam
menjalankan kegiatan usahanya ialah prinsip jual beli. Jual beli merupakan salah
satu kegiatan transaksi ekonomi, di mana kegiatan tersebut mengakibatkan
penjualan suatu produk oleh pihak penjual terhadap pihak pembeli. Jual beli
terjadi karena adanya penawaran dan pihak penjual atau permintaan dan pihak
pembeli pada suatu tempat tertentu. Transaksi jual beli antara pihak penjual dan
pembeli terjadi karena adanya kesepakatan. Pihak pembeli sepakat untuk membeli
barang yang ditawarkan oleh pihak penjual dengan membayar seharga barang
tersebut dan pihak penjual sepakat untuk menyerahkan barang yang diinginkan
oleh pembeli Melakukan transaksi jual beli, suatu produk haruslah berada pada
pihak penjual terlebih dahulu. Bukan menjual suatu barang yang masih berada di
tempat lain atau masih menjadi milik orang lain. Hal ini didasarkan pada sabda
Rasulullah:

”Barang siapa membeli makanan, janganlah dia menjualnya hingga dia


menerimanya dengan sempurna”.

Pada prinsipnya, bank syariah harus berpegang teguh pada landasan


syariah. Khususnya dalam praktik jual beli yang menjadi salah satu produk bank
syariah. Bank syariah dalam melakukan kegiatan jual beli tidak hanya sebatas
untuk mencari keuntungan pada margin yang telah ditetapkan bersama. Slogan

10
“syariah” pada nama bank janganlah hanya sebagai indikator penggerak roda
perekonomian untuk mendapat simpati umat Islam. Oleh karena itu, bank syariah
harus membuktikan kapasitasnya sebagai bank yang berlandaskan pada prinsip
syariah.

Bank konvensional dan bank syariah dalam beberapa hal memiliki


persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer,
teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum untuk memperoleh
pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan dan sebagainya.
Perbedaan mendasar diantara keduanya yaitu menyangkut aspek legal, struktur
organisasi, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja. Menurut Boeson (2007)
dalam Donna (2007) paling tidak ada 3 prinsip dalam operasional bank syari’ah
yang berbeda dengan bank konvensional, terutama dalam pelayanan terhadap
nasabah, yang harus dijaga oleh banker : (1) prinsip keadilan, yakni imbalan atas
dasar bagi hasil dan margin keuntungan ditetapkan atas kesepakatan bersama
antara nasabah dan bank, (2) prinsip kesetaraan, yakni nasabah menyimpan dana
penggunaan dana dan bank memiliki hak, kewajiban, beban terhadap resiko, dan
keuntungan yang tertimbang, dan (3) prinsip ketentraman bahwa produk bank
Syari’ah mengikuti prinsip dan kaidah muamalah islam (menerapkan prinsip
islam dan menerapkan zakat). Persamaan kedua sistem perbankan tersebut terletak
pada teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer, syarat-
syarat umum untuk memperoleh kredit, misalnya KTP, NPWP, proposal, laporan
keuangan dan lainnya.

B. Bentuk-bentuk Riba dan Permasalahan

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing


adalah riba utang piutang dan jual beli. Kelompok utang piutang terbagi menjadi
riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok jual beli terbagi menjadi riba
fadhl da riba nasi’ah. Penjelasan riba itu dapat kita lihat dibawah ini :

1. Riba Fadhl

11
Riba fadhl adalah tambahan pada salah satu dua ganti kepada yang
lain ketika terjadi tukar menukar sesuatu yang sama secara tunai.
Islam telah mengharamkan jenis riba ini dalam transaksi karena
khawatir pada akhirnya orang akan jatuh kepada riba yang hakiki
yaitu riba an-nasi’ah yang sudah menyebar dalam transaksi tradisi
masyarakat Arab.

Karena perbuatan ini bisa mendorong seseorang untuk melakukan riba


yang hakiki, maka menjadi hikmah Allah dengan mengharamkan
sebab ia bisa menjerumuskan mereka kedalam perbuatan haram dan
siapa yang membiarkan kambingnya berada di sekitar kawasan
larangan hampir saja ia masuk ke dalamnya sebagaimana yang
disabdakan oleh Rosulullah.

2.Riba Al-Yadd (tangan)

Yaitu jual beli dengan mengakhirkan penyerangan kedua barang ganti


atau salah satunya tanpa menyebutkan waktunya.

3.Riba An Nasi'ah

Merupakan jual beli dengan mengakhirkan tempo pembayaran. Riba


jenis ini yang terkenal di zaman jahiliah. Salah seorang dari mereka
memberikan hartanya untuk orang lain sampai waktu tertentu dengan
syarat dia mengambil tambahan tertentu dalam setiap bulannya
sedangkan modalnya tetap dan jika sudah jatuh tampo ia akan
mengambil modalnya, dan jika belum sanggup membayar, maka
waktu dan bunganya akan bertambah.

Riba dalam jenis transaksi ini sangat jelas dan tidak perlu diterangkan
sebab semua unsure dalam riba telah terpenuhi semua seperti
tambahan dari modal, dan tempo yang menyebabkan tambahan.

12
C. Prinsip Wadiah

Secara umum pengertian al-wadi’ah diyakini sebagai titipan atau


simpanan murni. Dipandang dari pendapat ulama’ klasik dan kontemporer, maka
terdapat perbedaan makna secara tekstual sehingga praktek dan pemahaman akad
wadi’ahberbeda. Pendapat ulama’ klasik mengenai al-wadi’ah adalah akad
seseorang kepada orang lain dengan menitipkan sesuatu benda untuk dijaga
dengan baik. Jika terdapat kerusakan pada benda titipan, dan kerusakan itu bukan
karena kelalaian penerima titipan, maka penerima titipan tidak wajib
menggantinya. Sebaliknya jika kerusakan akibat kelalaian penerima titipan maka
penerima titipan wajib untuk menggantinya.2

Lebih lanjut, pendapat ulama’ kontemporer membagi al-wadi’ah menjadi


dua jenis. Pertama, wadi’ah yad-amanah yaitu titipan yang tidak memberikan
kewenangan kepada penerima titipan atau penyimpan untuk menggunakan barang
atau dana yang dititipkan. Kedua, wadi’ah yad-dhamanah yaitu penerima titipan
berhak menggunakan dana/barang titipan untuk didayagunakan tanpa ada
kewajiban penerima titipan untuk memberikan imbalan kepada penitip dengan
tetap pada kesepakatan dapat diambil sewaktu-waktu ketika diperlukan.3 Produk
perbankan syari’ah yang menggunakan akad wadi’ah atau titipan dana
dikategorikan menjadi Giro, Tabungan, Deposito ataupun Safe Deposit Box.
Menurut ulama’ fiqih, titipan dana di perbankan konvensional merupakan refleksi
dari bentuk qardh (pinjaman). Hal ini seharusnya berbeda dengan bank syari’ah,
ketika menggunakan prinsip titipan dengan akad wadi’ah, dimana pihak
perbankan hanya bertindak sebagai penerima titipan, bukan pihak yang
bertanggung jawab penuh terhadap dana yang dititipkan.4

Pendapat ini sesuai dengan al-qur’an dan hadits yang digunakan sebagai
dasar hukum wadi’ah, bahwa tidak ada tanggung jawab penuh bagi penerima

2
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 179.
3
Adrian Sutedi, Perbankan Syari’ah : Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2009), 92.
4
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 179.

13
titipan selama tidak melakukan kelalaian atau memberikan jaminan kepada
penitip. Ulama sepakat bahwa konsep wadi’ah yad-dhamanah berdasarkan prinsip
kepercayaan (yad-amanah), bukan merupakan prinsip penggantian (yad-
dhamanah). Artinya ketika aset mengalami kerusakan yang disebabkan bukan
karena kelalaian penyimpan, maka penerima titipan tidak berkewajiban
mengganti. Selain itu, penerima titipan berkewajiban mengembalikan aset segera
ketika penitip memintanya. Nasabah yang menabung di bank syari’ah
menggunakan berbagai produk dan akad yang berbeda. Akad umum yang
digunakan nasabah untuk menabung atau menitipkan dananya di bank syari’ah
yaitu akad wadi’ah dan mudharabah.

Perbankan syari’ah menggunakan konsep wadi’ah yad-dhamanah, hal ini


berbeda dengan hukum wadi’ah yang sebenarnya. Prinsip wadi’ah yad-dhamanah
yang diterapkan di perbankan syari’ah lebih sesuai dengan hukum qardh
(piutang). Sebab, pihak bank telah memanfaatkan uang nasabah yang dititipkan
untukkebutuhan penyaluran dana sekaligus investasi. Hakikatnya akad yang
digunakan ini bukanlah wadi’ah (titipan), melainkan piutang yang diterima oleh
pihak bank dari nasabahnya. Sehingga bank merasa berhak menggunakan uang
nasabah yang dititipkan. Sementara nasabah tidak mengetahui alur perputaran
uang yang diserahkan, hanya berhak menerima kembali uang secara utuh beserta
tambahannya yang disebut dengan bonus atau athoya. Sementara al-wadi’ah
secara fiqhiyyah diartikan sebagai kepercayaan murni tanpa resiko berdasarkan
akad tabarru’, artinya para pihak sepakat tidak menjadikan profit sebagai motivasi
perbuatannya.

Prinsip Titipan (Wadi’ah) dalam segi bahasa dapat diartikan sebagai


meninggalkan atau meletakkan sesuatu kepada orang lain untuk dipelihara dan
dijaga. Dari aspek teknis wadia’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu
pihak ke pihak lainnya, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga
dan dikembalikan kapan saja si penitip kehendaki. Landasan Hukumnya adalah
QS. An-nisaa (4) : 58. Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)

14
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.5

Simpanan/tabungan yang berakad wadiah ada dua, yaitu wadiah yad-


amanah dan wadiah yad-dhamanah. Wadiah Yad-Amanah yaitu akad yang
menyatakan bahwa penerima titipan tidak boleh memanfaatkan barang yang
dititipkan. Tetapi harus tetap menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima
titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai penitipan. Wadi’ah
Amanah yang dimaksud disini biasanya berupa dana ZIS (Zakat,infak dan
shadaqoh) yang dimiliki oleh 8 asnaf mustahik dan disalurkan baik dalam bentuk
mustahik produktif maupun konsumtif. Wadi’ah Yad-Dhamanah dapat diartikan
sebagai titipan murni dimana dana yang dititipkan boleh digunakan (diambil
manfaatnya) oleh penitip. Penyimpan mempunyai kewajiban untuk bertanggung
jawab terhadap kehilangan dana tersebut. Semua keuntungan yang diperoleh dari
titipan tersebut menjadi hak penerima titipan. Sebagai imbalan kepada pemilik
dana dapat diberikan semacam insentif berupa bonus yang tidak disyaratkan
sebelumnya.6

5
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta:
Ekonisia, 2003), hal 57
6
Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah (Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2005), hlm 22-23

15
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Sistem perbankan syariah berbeda dengan sistem perbankan


konvensional karena sistem ekonomi Islam yang cakupannya lebih luas. Bank
syariah dalam melakukan kegiatan usahanya secara prinsip berbeda dengan bank
konvensional meskipun dalam hal tertentu masih memiliki kesamaan. Pada bank
syariah berlandaskan pada hukum positif dan hukum Islam sedangkan bank
konvensional hanya berpedoman pada hukum positif. Pada bank konvensional dan
bank syariah memiliki perbedaan dalam menyalurkan dana kepada nasabahnya.
Pada bank konvensional, pemberian pinjaman uang terhadap nasabah yang
membutuhkan disebut dengan kredit. Berbeda dengan bank syariah, di mana
pemberian pinjaman dana terhadap nasabahnya disebut dengan pembiayaan.

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing


adalah riba utang piutang dan jual beli. Kelompok utang piutang terbagi menjadi
riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok jual beli terbagi menjadi riba
fadhl da riba nasi’ah. Prinsip Titipan (Wadi’ah) dalam segi bahasa dapat diartikan
sebagai meninggalkan atau meletakkan sesuatu kepada orang lain untuk dipelihara
dan dijaga. Dari aspek teknis wadia’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari
satu pihak ke pihak lainnya, baik individu maupun badan hukum, yang harus
dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip kehendaki. Simpanan/tabungan
yang berakad wadiah ada dua, yaitu wadiah yad-amanah dan wadiah yad-
dhamanah. Wadiah Yad-Amanah yaitu akad yang menyatakan bahwa penerima
titipan tidak boleh memanfaatkan barang yang dititipkan. Tetapi harus tetap
menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya
kepada penitip sebagai penitipan

16
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, 2010, Perbankan Syariah, Jakarta : Kencana


Suhendi, Hendi, 2010, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Sutedi, Andrian, 2009, Perbankan Syari’ah : Tinjauan dan Beberapa
Segi Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia
Djuwaini, Dimyauddin, 2008, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Sudarsono, Heri, 2003, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi
dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia
Wiroso, 2005, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank
Syariah, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia

17

Anda mungkin juga menyukai