Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“ HUKUM EKONOMI SYARIAH PADA LEMBAGA PEMBIAYAAN SYARIAH”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Ekonomi Syariah

Dosen Pengampu : T. Fadlanil Muflih, S.E.I., M.E

Disusun Oleh Kelompok 10 :


Cika Audira (0204213124)
Intan Nabillah Erwin (0204213142)
Wahyudi Ramadhan (02042130730

HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya,
sehingga kami sebagai penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas kelompok ini.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak T. Fadlanil Muflih, S.E.I, M.E selaku
dosen pengampu mata kuliah Hukum Ekonomi Syariah sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Hukum Ekonomi Syariah Pada Reksadana Syariah”. Dan kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah ini.

Kami penyusun menyadari makalah ini masih ada kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Kami sangat berharap makalah ini dapat menambah
wawasan, pengalaman dan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari- hari baik oleh pembaca
maupun kami sendiri selaku penulis.

Medan, 26 November 2023

Kelompok 10

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.................................................................................................2

C. Tujuan Masalah.....................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembiayaan Syariah..........................................................................3

B. Prinsip-Prinsip Pembiayaan Syariah..................................................................4

C. Dasar Hukum Pembiayaan Syariah……………………………………………7

D. Bentuk-Bentuk Pembiayaan Syariah…………………………………………..8

E. Penggunaan Akad-Akad Pada Pembiayaan Syariah........................................10

F. Financial Technology Syariah…………………………………………………..11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...........................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia cukup pesat, hal itu ditandai


denganmeningkatnya jumlah bank syariah dan lembaga keuangan non bank.Ekonomi Islam
bukanhanya sekedar membahas tentang perbankan Islam, tetapi semua hal yang berkaitan
dengan kehidupan ekonomi manusia, diantaranya Perusahaan Pembiayaan. Pengaturan lembaga
keuangan dalam syariah islam dilandasi pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan bahwa
“maa laa yatimm al-wajib illa bihi fa huwa wajib”, yakni sesuatu yang harus ada untuk
menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (yakni melakukan
kegiatan ekonomi) adalah wajib diadakan untuk itu, pada zaman modern ini
kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga keuangan, maka lembaga
keuangan ini pun wajib untuk diadakan.

Disini terlihat pentingnya eksistensi lembaga keuangan dalamhal pembiayaaan. Dalam


Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang perusahaan pembiayaan bahwa,
perusahaan pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank danLembaga Keuangan Bukan Bank
yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yangtermasuk dalam bidang usaha lembaga
pembiayaan. Kehadiran perusahaan pembiayaan, menambah deretan berkembangnya industri
jasa
pembiayaanIndonesia.Perusahaan pembiayaan seperti ini memberikan kemudahaan kepada masy
arakat untuk memenuhi kebutuhannya, baik dalam bentuk investasi, modal kerja, atau semata-
mata untuk barang yangakan dipakai sendiri (konsumsi).Perusahaan pembiayaan merupakan
salah satu aspek yang diatur dalam syariah islam, yakni bagian muamalah sebagai bagian yang
mengatur hubungan sesama manusia.

`Di Indonesia telah banyak bermunculan Perusahaan pembiayaan yang mengadopsi


prinsip syariah. Dalam rangka merespons kegiatan usaha Perusahaan pembiayaan secara syariah,
Bappepam telah mengeluarkan Peraturan Nomor Per-03/BL/2007 tentang kegiatan Perusahaan
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam rangka memberikan kerangka hukum terhadap
segala kegiatan bagi Perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Pembiayaan syariah

1
merupakan bentuk pembiayaan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara perusahaan
pembiayaan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak lain untuk mengembalikan pembiayaan
tersebut dalam jangka waktu tertentu berdasarkan imbalan.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, dapat kami ambil beberapa rumusan permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini, rumusan masalah tersebut sebagai berikut :

1. Apa pengertian lembaga pembiayaan syariah ?


2. Apa saja prinsip-prinsip pembiayaan syariah ?
3. Apa dasar hukum pembiayaan syariah ?
4. Bagaimana bentuk-bentuk pembiayaan syariah ?
5. Bagaimana penggunaan akad pada pembiayaan syariah ?
6. Apa financial technology syariah ?

C. Tujuan Masalah

Untuk mengetahui pengertian lembaga pembiayaan syariah, prinsip-prinsip pembiayaan


syariah, dasar hukum pembiayaan syariah,bentuk-bentuk pembiayaan syariah, penggunaan akad
pembiayaan syariah dan financial technology syariah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian pembiayaan syariah

Pembiayaan atau financing ialah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada
pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun
lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung
investasi yang telah direncanakan.1

Menurut Undang-undang perbankan No. 10 Tahun 1998, pembiayaan adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank
dan pihak lain yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu
tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Didalam perbankan syariah, pembiayaan yang diberikan kepada
pihak pengguna dana berdasarkan pada prinsip syariah. Aturan yang digunakan yaitu sesuai dengan
hukum Islam.2

Pembiayaan disebutkan dalam ketentuan pasal 1 angka 12 Undang-Undang No7 Tahun


1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 10 Tahun 1998, yaitu:
“Pembiayaan dengan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu persetujuan atau kesepakatan antara bank dnegan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai unntuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”

Secara teoritis, ada tiga hal yang menjadi penciri pembiayaan syariah, yaitu

(1) bebas bunga (interest free),

(2) berprinsip bagi hasil dan risiko (profit loss sharing), dan

(3) perhitungan bagi hasil dilakukan pada saat transaksi berakhir.

Hal ini berarti pembagian hasildilakukan setelah ada keuntungan riil, bukan berdasar
pada asumsi bahwa besarnya keuntungan usaha yang akan diperoleh di atas bunga kredit.
1
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), h. 17.
2
Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011, h. 105-106

3
Kegiatan usaha ini juga berlaku atas perusahaan pembiayaan syariah, hanya saja dalam
melakukan kegiatannya perusahaan pembiayaan syariah harus menyalurkan dananya berdasarkan
prinsip syariah. Perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah mempunyai karakteristik
yang berbeda dengan perusahaan pembiayaan konvensional. Kegiatan usaha pembiayaan dan
sumber pendanaan perusahaan pembiayaan syariah harus sesuai dengan ajaran Islam (in
complinace with syariah) yang bebas dari unsur riba, haram, dan gharar. Oleh karena itu,
perusahaan pembiayaan syariah harus diatur dalam peraturan yang jelas.3

Jadi lembaga pembiayaan syariah adalah badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan
bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha
lembaga pembiayaan. Kegiatan usaha lembaga pembiayaan adalah:

1. Perusahaan Pembiayaan, adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan Sewa
Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, dan/atau usaha Kartu Kredit.

2. Perusahaan Modal Ventura, adalah badan usaha yang melakukan usaha


pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan
(Investee Company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan
melalui pembelian obligasi konversi, dan atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil
usaha.

3. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, adalah badan usaha yang didirikan khusus untuk
melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur.4

B. Prinsip-Prinsip Pembiayaan Syariah

Islam merumuskan suatu sistem ekonomi yang sama sekali berbeda dari sistem-sistem
lainnya. Hal ini karena ekonomi Islam memiliki akar dari syariah yang menjadi sumber dan
panduan bagi setiap muslim dalam melaksanakan aktivitasnya. Islam mempunyai tujuan-tujuan
syariah (maqosid asy-syari’ah) serta petunjuk operasional (strategi) untuk mencapai tujuan
tersebut. Tujuan-tujuan itu sendiri selain mengacu pada kepentingan manusia untuk mencapai

3
Asnawi dan Herliani Yustati, Lembaga Keuangan Syariah Teori dan Prakteknya Di Indonesia ( Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2017) Hal. 78
4
Ibid. Hal. 77

4
kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik, juga memiliki nilai yang sangat penting bagi
persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi, serta menuntut tingkat kepuasan yang seimbang
antara kepuasan materi dan ruhani.5

Dalam masyarakat Indonesia, selain dikenal istilah utangpiutang, juga dikenal istilah
kredit dalam perbankan konvensional dan istilah pembiayaan dalam perbankan syari’ah. Utang-
piutang biasanya digunakan oleh masyarakat dalam konteks pemberian pinjaman kepada pihak
lain. Dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa pembiayaan berdasarkan prinsip
syari’ah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil.6 Maka, setiap transaksi kelembagaan syari’ah harus dilandasi atas dasar
sistem bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran uang
dengan barang. Akibatnya, pada kegiatan mu’amalah berlaku prinsip ada barang/jasa uang
dengan barang, sehingga akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus
barang/jasa dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi.

Secara umum, prinsip kegiatan usaha pembiayaan syariah meliputi:

1. Keadilan ( ‘adl )
2. Keseimbangan ( tawazun )
3. Kemashlahatan ( maslahah )
4. Universalisme ( alamiyah )
5. Tidak mengandung gharar, maisir, riba, zhulm. Risywah dan objek haram lainnya

Dalam bisnis syariah lazimnya ada tiga skema dalam melakukan akad pada bank syariah,
yaitu:

1. Prinsip bagi hasil

Fasilitas pembiayaan yang disediakan di sini berupa uang tunai atau barang yang dinilai
dengan uang. Jika dilihat dari sisi jumlah, dapat menyediakan sampai 100% dari modal yang
diperlukan, ataupun dapat pula hanya sebagian saja berupa patungan antar bank dengan
5
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi
Operasional, Penerbit Djambatan, Jakarta, 200, h.10-11
6
UU RI Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

5
pengusaha (customer). Jika dilihat dari sisi bagi hasilnya, ada dua jenis bagi hasil (tergantung
kesepakatan), yaitu revenue sharing atau profit sharing. Adapun dalam hal presentase bagi
hasilnya dikenal dengan nisbah, yang dapat disepakati dengan customer yang mendapat faslitas
pembiayaan pada saat akad pembiayaan. Prinsip bagi hasil ini terdapat dalam produk-produk:

a. Mudaharabah, yaitu akad kerja sama uaha antara dua pihak di mana pihak pertama shahibul
maal menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan
akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau
kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.7

b. Musyarakah, yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di
mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

c. Muzara’ah, yaitu akad kerja sama atau percampuran pengolahan pertanian antara pemilik
lahan dengan penggarap dengan sistem bagi hasil atas dasar hasil panen. Adapun jenis-jenis
muzara’ah adalah: (a) muzara’ah, yaitu kerja sama pengolahan lahan di mana benih berasal dari
pemilik lahan; (b) mukhabarah, yaitu kerja sama pengolahan lahan di mana benih berasal dari
penggarap.8

2. Prinsip jual beli

Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, di mana bank
akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen
bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut
kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin/mark-up). 9
Prinsip ini dilaksanakan karena adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat
keuntungan bank ditetapkan di muka dan menjadi bagian antar harga barang yang
diperjualbelikan. Prinsip ini terdapat dalam produk:

7
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 95.
8
Suhartono Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah (Jakarta: Zikrul Hakim, 2003), h. 56.
9
Muhammad, Bank Syariah: Analis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman (Yogyakarta: Ekonisi, 2006), h. 18

6
a. Bai‘ al-Murabahah, yaitu akad jual beli barang tertentu. Dalam transaksi jual beli tersebut,
penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan
keuntungan yang diambil.

b. Bai‘ al-muqayyadah, yaitu jual beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang
(barter). Aplikasi jual beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi
ekspor yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa).

c. Bai‘ al-mutlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang. Uang berperan
sebagai alat tukar. Jual beli semacam ini menjiwai semua produk lembaga keuangan yang
didasarkan atas prinsip jual beli.

d. Bai‘ as-salam, yaitu akad jual beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas
barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan
diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati.

e. Bai‘ al-istisna, yaitu kontrak jual beli di mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu,
tetapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan
barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian.

3. Prinsip sewa-menyewa

Selain akad jual beli yang telah dijelaskan sebelumnya, ada pula akad sewa-menyewa
yang dilaksanakan dalam perbankan syari’ah. Prinsip ini terdiri atas dua jenis akad, yaitu: Akad
ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri. Dan
Akad ijarah muntahiya bi at-tamlik, yaitu sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa
atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa.
Sifat pemindahan kepemilikan ini pula yang menandakan dengan ijarah biasa.

C. Dasar Hukum Pembiayaan Syariah

Dasar hukum Reksadana syariah yaitu :

1) Al-Qur’an (QS. An-Nisa Ayat 29)


‫َيَأُّيَها اَّلِذ ْيَن َء اَم ُنوا اَل َتْأُك ُلوا َأْم َٰو َلُك م َبْيَنُك م ِباْلَٰب ِط ِل ِإآَّل َأْن َتُك وُن ِتَٰج َر ًة َعن َتَر اٍضِّ ْنُك م َو اَل َتْقُتُلوْا َأْنُفَس ُك ْم ِإَّن ٱهّلل َك اَن ِبُك ْم‬
‫َر ِح ْيًم ا‬

7
”Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha
Penyayang kepadamu.”

2) Hadits

HR. Tirmidzi dari Amr bun Auf “Perdamaian itu boleh antara orangorang Islam kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Orang Islam
wajib memenuhi syarat-syarat yang mereka disepakati kecuali syarat yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram.”

3) Ijma

Disamping dalam Al-Quran dan Al-Hadits juga terdapat ijma tentang kebolehan wakalah
para ulama sepakat atas kebolehan akad wakalah ini, bahkan menganjurkannya, karena
termasuk kedalam jenis ta'awun (tolong-menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa, yang oleh
Al-Quran diserukan dan disunahkan oleh rasulullah SAW

4) Fatwa Mui

Fatwa DSN MUI Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Mudharabah, Fatwa


DSN mui Nomor:09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Musyarakah, dan Fatwa DSN
mui Nomor:09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah

4. Bentuk-Bentuk Pembiayaan Syariah

a) Sewa Guna Usaha (leasing)

Sewa guna usaha (leasing) syariah adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna
usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee)
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran sesuai dengan prinsip
syariah.10

10
Asnawi dan Herliani Yustati, Lembaga Keuangan Syariah Teori dan Prakteknya Di Indonesia ( Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2017) Hal. 78

8
b) Anjak Piutang Syariah

“Wakalah bil Ujrah dan Qardh” (Piutang Eksportir) adalah pengalihan utang dari pihak
yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayarnya). Fatwa Dewan Syariah
Nasional Nomor: 67/DSN-MUI/III/2008 Tentang Anjak Piutang Syariah Pertama: Ketentuan
Umum Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan Anjak Piutang Secara Syariah adalah pengalihan
penye lesaian piutang atau tagihan jangka pendek dari pihak yang berpiutang kepada pihak lain
yang kemudian menagih piutang tersebut kepada pihak yang berutang atau pihak yang ditunjuk
oleh pihak yang berutang sesuai prinsip syariah11.

Anak piutang dilakukan berdasarkan akad wakalah bil ujrah. Wakalah bil ujrah adalah
pelimpahan kuasa oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal yang boleh diwakilkan dengan
pemberian keuntungan. Perlu ditekankan disini bahwa secara umum pengurusan piutang tersebut
haruslah tidak dilakukan dengan cara yang dilarang oleh syariah

c) Usaha kartu kredit (credit card)

Syariah Kartu kredit syariah atau yang lazim disebut bithaqah al-l’timan adalah kartu
kredit yang pada dasarnya berfungsi sebagaimana kartu kredit lainnya serta terikat dengan
peraturan yang berlaku dan dijalankan dengan prinsip serta kebijakan yang bersifat syariah. Hal
ini diatur dalam ketentuan umum fatwa Dewan Syariah Nasional—Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) No. 54/DSN-MUI/X/2006, tentang kartu kredit syariah. Salah satu hal yang
membedakan kartu kredit syariah dengan kartu kredit konvensional adalah tidak adanya bunga di
dalam kartu kredit syariah, namun terdapat penerapan akad yang di dalam kartu kredit syariah.

d) Pembiayaan konsumen (consumer finance).

Kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan


pembayaran secara angsuran. Adiwarman A. Karim dalam bukunya “ Bank Islam,Analisis Fiqih
dan Keuangan “ menyebutkan bahwa konsumsi adalah kebutuhan individual meliputi kebutuhan
barang maupun jasa yang tidak dipergunakan untuk tujuan usaha. Dengan demikian yang
dimaksud dengan pembiayaan konsumtif adalah jenis pembiayaan yang diberikan untuk tujuan
di luar usaha dan bersifat perseorangan. Pembiayaan konsumen ( consumer finance ) adalah

11
Asnawi dan Herliani Yustati, Lembaga Keuangan Syariah Teori dan Prakteknya Di Indonesia ( Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2017) Hal. 80

9
kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan
pembayaran secara angsuran. 1 2

Pembiayaan konsumen termasuk ke dalam jasa keuangan dalam bentuk perusahaan


pembiayaan yang dapat dilakukan oleh bank ataupun Lembaga keuangan non bank dalam bentuk
pembiayaan. Sedangkan pembiayaan konsumen syariah adalah kegiatan pembiayaan untuk
pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara nagsuran sesuai
dengan prinsip syariah. Perusahaan pembiayaan syariah dapat melakukan pembiayaan untuk
memenuhi kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran menggunakan akad yang
ditetapkan oleh syariah yaitu akad murabahah, salam dan istishna.

5. Penggunaan Akad-Akad Pada Pembiayan Syariah

a. Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang atau upah mengupah atas suatu jasa
dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Ijarah juga diinterpretasikan
sebagai suatu akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri

b. Ijarah Muntahiya Bittamlik. Ijarah Muthahia Bit-Tamlik (IMBT) adalah sejenis perpaduan
antara kontrak jual-beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan
kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula yang
membedakan dengan ijarah biasa.

c. Kafalah Akad kafalah atau yang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai penjamin
transaksi, artinya bank selaku penerbit kartu kredit akan bertindak sebagai pihak penjamin di
dalam berbagai macam transaksi yang dilakukan oleh nasabah selaku pemegang kartu terhadap
merchant dan/atau atas kegiatan penarikan tunai yang dilakukan di mesin ATM selain milik bank
penerbit kartu kredit tersebut. Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa, dalam hal ini bank
bertindak sebagai penjamin nasabah, yang artinya bank memberikan jaminan tersebut kepada
pihak merchant.

12
Asnawi dan Herliani Yustati, Lembaga Keuangan Syariah Teori dan Prakteknya Di Indonesia ( Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2017) Hal. 82

10
d. Akad qardh adalah pemberian pinjaman yang dilakukan oleh pihak bank kepada pihak nasabah
selaku pengguna kartu kredit, untuk mengambil sejumlah uang tunai melalui kartu kredit syariah
yang dimilikinya pada mesin ATM.

e. Mudaharabah, yaitu akad kerja sama uaha antara dua pihak di mana pihak pertama shahibul
maal menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan
akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau
kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut13

f. Salam adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan cara pemesanan dan
pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati para pihak.

c. Istisna’. Istishna didefinisikan akad pembiayaan untuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni)
dan penjual (pembuat, shani) dengan harga yang disepakati para pihak.14

6. Financial Technology (Fintech) Syariah

Fintech Syariah adalah kombinasi, inovasi yang ada dalam bidang keuangan dan
teknologi yang memudahkan proses transaksi dan investasi berdasarkan nilai-nilai syariah.
“Walaupun fintech Syariah ini merupakan terobosan baru tetapi mengalami perkembangan yang
pesat. Islam merupakan agama yang komprehensif sehingga dalam bidang keuangan ini harus
memiliki aturan yang sesuai dengan prinsipnya sesuai syariah. Pada dasarnya akad yang terdapat
dalam fintech syariah tidak bertentangan selagi tidak melanggar prinsip syariah. Selain itu,
fintech syariah merujuk kepada salah satu asas muamalah yaitu an-taradhin yang memiliki arti
saling ridho diantara keduanya. Asas inilah yang menjadi bagian terpenting atas sah nya suatu
transaksi.”15

13
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 95
14
Nur Rianto Al Arif. Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah. (Bandung: Alfabeta, 2010), 56-59.
15
Dodi Yarli, Analisis Akad Tijarah Pada Transaksi Fintech Syariah Dengan Pendekatan Maqhasid, Jurnal Pemikiran
Hukum dan Hukum Islam, Hal. 250.

11
Finance technology syariah lebih mengedepankan akad bisnis syariah yang sesuai dengan
syarat dan rukun-rukunnya. Berkaitan dengan syarat Rasulullah SAW sudah berpesan: “Kaum
muslimin (bermuamalah) sesuai dengan syarat-syarat diantara mereka, kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.”(HR. Abu Dawud & Tirmidzi).

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia menetapkan fatwa No: 117/DSN-
MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip
Syariah. Hal ini dilakukan karena layanan pembiayaan berbasis teknologi untuk pelaku usaha
skala mikro, kecil dan menengah (UMKM) sebagai upaya memperoleh akses pendanaan lebih
cepat, mudah dan efisien saat ini semakin berkembang melalui sarana fintech syariah.
Masyarakat Indonesia memerlukan penjelasan mengenai ketentuan dan batasan hukum terkait
layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu,
DSN-MUI menetapkan fatwa tentang layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi
berdasarkan prinsip syariah untuk dijadikan pedoman.

Pada dasarnya tak ada perbedaan dengan fungsi dari fintech syariah dengan
konvensional. Sebab, kedua jenis tersebut sama-sama ingin memberikan layanan keuangan.
Perbedaan dari keduanya hanyalah akad pembiayaan saja yang mana mengikuti aturan-aturan
dari syariat islam. Ada tiga prinsipsyariah yang harus dimiliki fintech ini yaitu tidak boleh maisir
( bertaruh), gharar ( ketidakpastian)dan riba ( jumlah bunga melewati ketetapan).16
Sebagai lembaga pengawas, OJK memang belum memberikan regulasi pasti terhadap
keberadaan perusahaan teknologi keuangan berbasis syariah. Jadi, aturan fintech konvensional
dan syariah masih sama. Namun, Dewan Syariah Nasional MUI telah mengeluarkan fatwa jika
para fintech syariah harus mengikuti aturan dalam islam, salah satu yang menjadi masalah
terpenting adalah riba atau bunga yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan regulasi mengenai FinTech pada
Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tanggal 26 Desember 2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dalam peraturan tersebut disampaikan bahwa
simpan meminjam uang berbasis teknologi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk
mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka

16
Dodi Yarli, Analisis Akad Tijarah Pada Transaksi Fintech Syariah Dengan Pendekatan Maqhasid, Jurnal Pemikiran
Hukum dan Hukum Islam, Hal. 255

12
melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui
sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. FinTech Syariah dalam menjalani
kegiatan usahanya di Indonesia wajib mengikuti ketentuan selain dari Peraturan OJK Nomor
77/POJK.01/2016 tanggal 26 Desember 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi juga harus mengikuti ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) No: 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis
Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah danuntuk Fintech Syariah yang menerbitkan
uang elektronik syariah harus mengikuti ketentuan FatwaDewan Syariah Nasional-Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) No: 116/DSN-MUI/IX/2017
Konsep Akad Fintech Bidang Syariah
Dalam hal pembiayaan syariah tidak akan menjumpai kredit yang diberikan akad sebagai
pinjaman melainkan dengan akad murabahah, ijarah wa iqtina, serta musyarakah mutanaqishah.
Yang masing masing akad tersebut tentunya mempunyai aturan yang berbeda dan tidak terdapat
unsur riba.
Akad Murabahah bisa di artikan sebagai akad jual beli penyelenggara FinTech
akan bertindak sebagai pembeli atas benda ataupun produk yang diinginkan nasabah. Kemudian
peminjam akan menjual produk tersebut kepada nasabah dengan margin keuntungan tertentu
yang disepakati yang akan menjadi keuntungan.
Akad ijarah wa iqtina merupakan akad sewa menyewa. Artinya Fintech bertindak untuk
membeli suatu produk yang diinginkan nasabah, selanjutnya Fintech menyewakan produk
tersebut kepada nasabah dalam kurun waktu tertentu, yang nantinya nasabah dapat membeli
barang tersebut sehingga berganti kepemilikan.
Sementara akad musyarakah mutanaqishas, baik Fintech maupun nasabah sama
samamenaruh modal untuk sesuatu hal yang nantinya nasabah bisa membeli bagian dari fintech
untukmemiliki benda tersebut sepenuhnya.Dalam hal pemasaran digital para pelaku bisnis
FinTech Syariah ini juga harus mengikutirambu rambu syarat dan rukun yang berlaku, sehingga
dapat terhindari dari unsur riba dan maupungharar. Contoh seperti pemberian cashback dan
diskon yang diberikan kepada investor juga harushati hati, karena ini sifatnya adalah investasi
jangan sampai terjadi ketidak jelasan skemanya.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Lembaga pembiayaan syariah merupakan adalah badan usaha di luar bank dan lembaga
keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam
bidang usaha lembaga pembiayaan. Pembiayaan syariah ialah penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu persetujuan atau kesepakatan antara bank dnegan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai unntuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

Secara umum, prinsip kegiatan usaha pembiayaan syariah meliputi:

1. Keadilan ( ‘adl )
2. Keseimbangan ( tawazun )
3. Kemashlahatan ( maslahah )
4. Universalisme ( alamiyah )
5. Tidak mengandung gharar, maisir, riba, zhulm. Risywah dan objek haram lainnya

Dasar hukum pembiayaan syariah sama seperti pada bank syariah pada umunya yaitu Al-
Qur’an QS. An-Nisa Ayat 29 yang artinya :”Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam
perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”

Bentuk-bentuk Lembaga pembiayaan syariah meliputi: sewa Guna Usaha (leasing), anjak
Piutang Syariah, usaha kartu kredit (credit card) dan pembiayaan konsumen (consumer finance).

Dalam pembiayaan syariah menggunakan berbagai akad seperti : ijarah,ijarah Muntahiya


Bittamlik, kafalah, qardh, mudaharabah, salam dan istisna’.

Fintech Syariah adalah kombinasi, inovasi yang ada dalam bidang keuangan dan
teknologi yang memudahkan proses transaksi dan investasi berdasarkan nilai-nilai syariah,
berupa layanan produk keuangan menggunakan teknologi yang memudahkan akses keuangan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Asnawi.Herliani Yustati. 2017. Lembaga Keuangan Syariah Teori dan Prakteknya Di Indonesia
( Yogyakarta : Pustaka Pelajar)

Ismail. 2011. Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group

Muhammad Syafi’i. Muhammad, Antonio. 2001. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik (Jakarta:
Gema Insani Press)

Muhammad. 2006. Bank Syariah: Analis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman
(Yogyakarta: Ekonisi)

Muhammad. 2005 . Manajemen Pembiayaan Bank Syariah (Yogyakarta: UPP AMP YKPN )

Rianto. Nur, Al Arif. 2010. Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah. (Bandung: Alfabeta)

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia. 2000. Bank Syariah: Konsep,
Produk dan Implementasi Operasional. Jakarta:Penerbit Djambatan

UU RI Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan

Yarli. Dodi. Analisis Akad Tijarah Pada Transaksi Fintech Syariah Dengan Pendekatan
Maqhasid, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam. Vol.4. No 1. Hal 27-45

Zulkifli. Suhartono. 2003. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah (Jakarta: Zikrul Hakim)

15

Anda mungkin juga menyukai