Anda di halaman 1dari 17

DRAFT BUKU FIQH MUAMALAH II

WADI’AH

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata kuliah: Fiqh Muamalah II
Dosen: Tri Inda Fadhila Rahma, M.E.I

Disusun Oleh Kelompok 4:


M. Risqi Ananda (0506212125)
Enia Fadila Sitakar (0506213084)
Nurhalimah Tusa'diah Siregar (0506213192)
Putri Indah Lestari (0506212124)

KELAS D
SEMESTER IV
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah swt. atas limpahan rahmad dan karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Draft Buku Fiqh Muamalah II yang berjudul
“Wadi’ah”.
Terima kasih saya ucapkan kepada ibu Tri Inda Fadhila Rahma, M.E.I selaku dosen
pengampu dalam mata kuliah Fiqh Muamalah II yang sudah memberikan penulis kesempatan
untuk menyelesaikan Draft Buku ini sebagaimana mestinya untuk memenuhi proses
pengumpulan nilai.
Draft Buku ini ditulis dari buku dan jurnal yang berkaitan dengan materi pembelajaran.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih terdapat banyak kekurangan,
sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga
tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan, 11 April 2023

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................................... 2
C. Tujuan...................................................................................................................................... 2

BAB II KAJIAN TEORI ............................................................................................................. 4

A. Akad Wadi’ah.......................................................................................................................... 4
B. Landasan Akad Wadi’ah ......................................................................................................... 4
C. Konsensus Ulama Tentang Akad Wadi’ah .............................................................................. 5

BAB III PEMBAHASAN ............................................................................................................ 7

A. Tanggung Jawab Wadii Kepada Muwaddi dalam Akad Wadi’ah Dihubungkan dengan Fiqh
Muamalah ............................................................................................................................... 7
B. Rukun, Syarat, Serta Keharusan Menjaga Wadi’ah ................................................................ 7
C. Penerapan Produk Perbankan Syariah yang Menggunakan Akad Wadi’ah pada Perbankan
Syari’ah Dikaitkan dengan Fiqh Muamalah ............................................................................ 9

BAB IV PENUTUP .................................................................................................................... 13

A. Kesimpulan ............................................................................................................................ 13
B. Saran ...................................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang sangat indah. Islam adalah agama yang cocok untuk setiap
waktu dan tempat, yaitu mencakup seluruh aspek kehidupan baik dalam bermuamalah
maupun ibadah. Yang di maksud dalam bermuamalah memiliki arti yang sangat luas, salah
satunya adalah ekonomi dan perbankan.
Salah satu sarana yang berperan strategis dalam kegiatan perekonomian adalah
perbankan. Peran strategis tersebut terutama didasarkan pada fungsi utama perbankan
yaitu sebagai alat yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara
efektif dan efesien.
Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) di Indonesia menjadi solusi bagi masyarakat
yang ingin bertransaksi tanpa riba. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Perbankan
Syari’ah, hal ini turut memberikan pengaruh besar bagi eksistensi lembaga keuangan
syari’ah terhadap kepercayaan masyarakat untuk bertransaksi sesuai dengan syariat.
Mengacu pada statistik Bank Indonesia, disebutkan bahwa jumlah lembaga keuangan
syari’ah semakin meningkat setiap tahunnya, terutama pada tahun 2007-2013 telah
beroperasi sebanyak 2908 kantor. Adanya pertumbuhan tersebut menimbulkan pertanyaan
apakah pertumbuhan kuantitatif saat ini sebanding dengan kualitas LKS (pembangunan
sesuai prinsip syariah) dewasa ini? Tujuan dari diberlakukannya prinsip syari’ah dalam
bermuamalah secara umum untuk menghapuskan bunga dari transaksi keuangan dan
menjalankan aktifitasnya dengan prinsip-prinsip syari’ah, mendistribusikannya dengan
adil, dan turut membangun ekonomi negara.1 (Latifa dan Lewis. 2007).
Lembaga keuangan syari’ah seperti perbankan syariah di Indonesia keberadaannya
telah diatur dalam undang-undang, yaitu Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang
perubahan Undang-undang nomor 7 tahun tahun 1992 tentang perbankan. Hingga kini
terdapat banyak institusi bank syari’ah di Indonesia.
Keberadaan lembaga keuangan perlu dalam Islam, karena tanpanya kegiatan usaha
dan roda perekonomian tidak dapat berjalan. Bank Syariah adalah bank tanpa bunga.
Tujuan utama didirikannya lembaga keuangan yang berlandaskan etika tidak lain adalah

1
Latifa, A. M., & Lewis, M. K. (2007). Perbankan Syariah; Prinsip, Praktik, dan Prospek.

1
upaya umat Islam untuk mendasarkan seluruh aspek kehidupan ekonominya berdasarkan
al-Qur'an dan As-Sunnah.
Sebagaimana diketahui, bank syari’ah didirikan sebagai reformasi dari bank
konvensional yang beroperasi dengan sistem bunga, yang oleh sebagian ulama dianggap
riba. Inilah mengapa bank syari’ah tidak beroperasi dengan sistem bunga, tetapi dengan
sistem bagi hasil.
Pada fase perkembangan saat ini, perbankan syari’ah tidak hanya memiliki peluang,
melainkan juga berbagai permasalahan. Nasabah dan masyarakat secara umum masih
melihat bank syari’ah sama dengan bank konvensional karena margin yang harus dibayar
oleh nasabah tak kalah tinggi dengan bunga. Sisi sumber daya manusia (SDM) di
perbankan syari’ah turut menjadi bahasan sebagai salah satu pesoalan yang harus segera
dituntaskan.
Hal-hal diatas, diakui ataupun tidak, merupakan titik lemah perbankan syari’ah yang
menjadi prioritas pikiran kita bersama. Padahal kunci keberhasilan perbankan syariah
lebih bergantung pada kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan keuangan bank yang
bersangkutan.. Untuk meraih kepercayaan tersebut adalah dengan tingkat kualitas
informasi yang diberikan kepada publik. Bank syari’ah harus mampu meyakinkan publik
bahwa ia memiliki kemampuan dan kapasitas di dalam mencapai tujuan-tujuan finansial
maupun tujuan-tujuan yang sesuai dengan syariat Islam ekonomi umat.
Bahkan bank syari’ah pun bukannya tanpa masalah dalam hal ini. Dalam praktiknya,
terdapat isu-isu yang dapat merusak kepercayaan publik jika dibiarkan berlanjut oleh bank
syari’ah. Selain itu, dari sudut pandang bank syari’ah juga perlu dikaji bagaimana cara
terbaik untuk melaksanakan akad tersebut agar tidak merugikan kedua belah pihak, baik
pihak bank maupun nasabah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penguraian di atas, maka di dapati bahwa draft buku ini akan membahas
masalah mengenai akad wadi’ah dalam bank syari’ah berdasarkan perspektif fiqh
muamalah.

C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah pada membahas akad wadi’ah yang secara singkat
diartikan sebagai penitipan dengan tinjauan fiqih dan praktiknya. Wadi’ah sebagai akad

2
seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan barang atau hartanya untuk dijaga secara
layak, sesuai dengan kebiasaaan pemiliknya secara transparan atau dengan isyarat yang
bermakna sama.2 (Al-Jaziri . 1969)

2
Al-Jaziri, A. (1969). Kitab Al-Fiqh 'Ala Mazahib al-'Arabah.

3
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Akad Wadi’ah
Wadi’ah memiliki arti secara etimologi yakni amanah, sedangkan menurut Haroen
(2007) dalam Widayatsari (2013) secara terminologi dapat didefinisikan seperti yang
dikemukakan oleh ulama.3 Ulama Hanfiyah mengartikan wadi’ah mengikutsertakan orang
lain dalam memelihara harta, baik yang diungkapkan secara jelas ataupun melalui isyarat.
Menurut ulama Malikiayah, Syafi’iyah, dan Hababilah mengungkapkan bahwa wadi’ah
merupakan mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
Menurut At-Thayar et al (2004) dalam Afif (2014) waid’ah sebagai pemberian kuasa oleh
penitip kepada orang yang menjaga hartanya tanpa kompensasi (ganti rugi).4
Maka waid’ah merupakan merupakan suatu akad yang bersifat tolong-menolong
sesama manusia untuk menyempurnakan amanat (Sjahdeini, 1999).5 Secara fiqh wadi’ah
ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya agar dijaga orang lain, sehingga
lebih ditekankan pada makna memberikan itu sendiri.6 (Shuib et al, 2016)

B. Landasan Akad Wadi’ah


Dasar hukum atau landasan syariat akad wadi’ah diisyaratkan dalam al-Qur’an, As-
Sunnah, dan Ijma’ antara lain:
Allah berfirman:
“...maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (titipan/hutang) dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya...” (Qs. Al-Baqarah: 283)
“Dan saling tolong-menolonglah kalian di dalam kebajikan dan ketaqwaan” (Qs. Al-
Maidah: 2)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya (pemiliknya)...” (Qs. An-Nisa: 58)
Ibnu Mas’ud menafsirkan kata amanat pada ayat 58 QS. An-Nisa ialah dengan mencakup
perintah Allah layaknya wudhu, shalat, puasa, zakat, junub, berlaku adil dengan ukuran,

3
Widayatsari, A. (2013). Akad Wadiah dan Mudharabah dalam Penghimpunan Dana Pihak Ketiga Bank
Syariah.
4
Afif, M. (2016). Tabungan: Implementasi Akad Wadi’ah atau Qard? (Kajian Praktik Wadi’ah di Perbankan
Indonesia).
5
Sjhadeini, R. S. (1999). Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam tata Hukum Perbankan Indonesia.
6
Shuib, M. S., Bakar, A. A., Osman, A. F., Hashim, H., & bin Fadzil, A. (2016). Implementation of Al-Wadiah
(saving instrument) Contract in Contemporary Gold Transaction.

4
dan menjaga titipan. Dengan begitu semua bentuk ibadah kepada Allah atau hal-hal yang
berkaitan dengan amanat itu sendiri wajib untuk dikerjakan. Para ulama berpendapat
bahwa akad wadi'ah diperbolehkan dalam Islam. Hal ini merujuk pada perilaku saling
tolong-menolong sesama manusia yang saling membutuhkan:
Rasulullah saw bersabda: “Penuhi amanah orang yang memberi amanah kepadamu dan
jangan mengkhianati orang yang telah mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

C. Konsensus Ulama Tentang Akad Wadi’ah


Konsensus para ulama melegitimasi bahwa akad wadi’ah sebagai kebutuhan
manusia. Dasar penerima simpanan adalah yad amanah yang mengartikan orang tersebut
tidak bertanggungjawab atas segala hal yang terjadi pada barang atau aset yang dititipkan
seperti kerusakan dan kehilangan selama bukan berasal dari kelalaian dari orang yang
dititipkan objek wadiah tersebut. Sesuai dengan perkembangan zaman, penerima memiliki
kemungkinan untuk menggunakan barang yang dipercayakan kepadanya, seperti untuk
kegiatan ekonomi tertentu. Jadi, jika si penerima titipan ingin menggunakannya, ia harus
mendapat izin dari pemiliknya, sehingga status si penerima menjadi yaddhamanah (tangan
penjamin). Ijma' para ulama dalam kitab mubdi membolehkan akad ini dan menyepakati
bahwa wadi'ah adalah sunnah.. Praktiknya di Indonesia sendiri didasari oleh Fatwa Dewan
Syariah Nasional (DSN) No: 01/DSN MUI/IV/2000, menetapkan giro yang dibolehkan
secara syari’ah yaitu giro yang berlandaskan prinsip mudharabah dan wadi’ah.
Ulama mazhab Hanafiyah menyatakan bahwa akad wadi’ah dapat berhasil jika
dibuat oleh dua orang yang harus berakal sehat dan dapat membedakan antara baik dan
buruknya sesuatu dan selanjutnya ialah baligh. Syarat harta yang dapat dititipkan harus
berupa benda yang dapat dititipkan dan dijaga. Kesepakatan ulama atas akad wadi'ah
lainnya merupakan kewajiban yang harus ditegakkan, dan jika menepatinya maka akan
mendapat pahala. Oleh karena itu, penting untuk ditekankan bahwa akad wadi'ah bukanlah
komoditas atau jaminan bagi pihak lain. Perlu diketahui bahwa jika akad ini telah
dilakukan dan ingin dikembalikan kepada pemilik harta, para ulama fiqh (empat mazhab:
Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Syafi'i, dan Imam Maliki) setuju bahwa itu tidak
dapat diwakilkan, hal ini dikarenakan mungkin harta yang dititipkan kepada penerima
merupakan milik pribadi si penitip. Tentu saja, ini berbeda dengan akad sewa-menyewa
yang memperbolehkan sanak keluarga untuk diwakilkan.
Adapun permasalahan furuhiyah yang mungkin ditemui dalam pelaksanaan akad
wadi’ah disampaikan oleh Ibnu Jizyi dari Mahzab Imam Maliki dalam Afif (2014)
5
permasalahan tersebut muncul dalam bentuk penjualan harta titipan.7 Abu Hanifah percaya
bahwa keuntungan dari kegiatan ini harus digunakan untuk amal. Sedangkan ulama lain
berpendapat bahwa keuntungan sepenuhnya hak muwaddi dan waddi berhak atas upah
sesuai denganbiaya yang dikeluarkan untuk memelihara harta tersebut. Masalah lainnya
adalah berkenaan dengan meminta upah kepada muwaddi, merujuk pada hukum wadi’ah
merupakan sunnah dan berlandaskan tolong-menolong maka hal ini tidak diperbolehkan.
Jika waddi membutuhkan biaya untuk membeli barang-barang yang berhubungan dengan
barang yang dititipkan, itu sepenuhnya menjadi tanggungjawab muwaddi.

7
Afif, M. (2016). Tabungan: Implementasi Akad Wadi’ah atau Qard?(Kajian Praktik Wadi’ah di Perbankan
Indonesia).

6
BAB III
PEMBAHASAN

A. Tanggung Jawab Wadii Kepada Muwaddi dalam Akad Wadi’ah Dihubungkan


dengan Fiqh Muamalah
Wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun
badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan
menghendakinya.8 Barang yang dititipkan dalam fiqih disebut wadi’ah, menurut bahasa,
wadi’ah adalah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaga (Ma
Wudi’a ’Inda Ghair Malikihi Layahfadzuhu), berarti bahwa wadi’ah ialah memberikan,
makna yang kedua wadi’ah dari segi bahasa adalah menerima, seperti yang dikatakan
seseorang: “awda’tubu” berarti saya telah menerima harta darinya (Qabiltu minhu dzalika
al-Mal Liyakuna Wadi’ah ‘Indi), secara bahasa wadi’ah memiliki 2 makna, yakni
memberikan harta untuk dijaga dan pada penerimaannya.9
Dalam Islam, wadi’ah dapat dipahami sebagai titipan murni dari satu pihak kepada
pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang wajib dijaga dan dikembalikan kapan
saja yang menitipkan menghendakinya. Menurut pasal 20 ayat 17 komplikasi Hukum
Ekonomi Syari’ah (2009), wadi’ah adalah titipan dana antara pemilik dengan penerima
titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.
Jika kita mengetahui pengertian wadi'ah, maka dapat kita pahami bahwa pengertian
wadi'ah adalah perwalian, yaitu akad antara satu orang dengan orang lain dengan
menitipkan harta benda. Barang titipan jika rusak tidak wajib diganti, tetapi jika rusak
karena kelalaian maka harus diganti.

B. Rukun, Syarat, Serta Keharusan Menjaga Wadi’ah


Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahkan kepadamu, dan janganlah
kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi,
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa‟ 5/381).

8
Adi Warman A. Karim. (2004). Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, hlm. 23.
9
Ahmad Basri bin Ibrahim, Azman bin Mohd Noor. (2011). The Application of Wadi„ah Contract By Some
Financial Institutions in Malaysia, International Journal of Business and Social Science Vol. 2 No. 3 [Special
Issue – January 2011], hlm. 256.

7
Rukun wadi’ah antara lain:
1. Muwaddi (orang yang menitipkan).
2. Wadii (orang yang dititipi barang).
3. Wadi’ah (barang yang dititipkan).
4. Shigot (Ijab dan qobul).
Mereka yang merasa mampu dan mau menerima barang titipan adalah sangat baik
dan memiliki nilai ibadah yang mendapat pahala selain memiliki nilai sosial yang tinggi.
Akan tetapi agar titipan tersebut tidak akan menimbulkan masalah dikemudian hari, maka
disyaratkan:10
1. Barang titipan itu tidak memberatkan dirinya maupun keluarganya.
2. Tidak memungut biaya pemeliharaan.
3. Kalau sudah sampai waktunya diambil atau disampaikan kepada yang berhak.
Dengan demikian, jika barang titipan rusak karena kelalaian si penerima, maka dia wajib
menggantinya.
Adapun kriteria kelalaian meliputi:
1. Orang yang diberi amanah titipan menyerahakan kepada orang lain tanpa
sepengetahuan sang pemilik.
2. Barang titipan dipakai atau dibawa pergi sehingga mengakibatkan kerusakan atau
kerugian.
3. Menyia-nyiakan barang titipan.
4. Berkhianat, yaitu bila diminta untuk memberikan barang titipan tapi tidak
dikabulkan, dengan sebab yang jelas.
5. Kelalaian atau kecerobohan dalam merawat barang titipan.
6. Ketika yang dititipi barang itu sakit atau meninggal tidak berwasiat kepada ahli
warisnya atau keluarganya tentang barang titipan, sehingga mengakibatkan barang
rusak dan hilang.
Hukum menerima wadi’ah atau barang titipan itu ada 4 (empat), yaitu:11
1. Wajib, yaitu bila tidak ada orang yang dapat dipercaya lagi, kecuali hanya dia satu-
satunya.
2. Haram, bila dia tidak sanggup menjaga sebagaimana mestinya, karena seolah-olah
dia membiarkan pintu yang rusak atau hilangnya barang titipan.

10
Zainul Arifin. (1999). Memahami Bank Syariah.
11
Abdul Ghofur Anshori. (2007). Perbankan Syari’ah di Indonesia, hlm. 72

8
3. Makruh, menitipkan kepada orang yang dapat menjaganya tetapi ia tidak percaya
pada orang itu, bahkan dikhawatirkan kemudian hari dia akan berkhianat terhadap
barang titipan itu.
Wadii (orang yang dititipi) tidaklah menanggung barang titipan kecuali jika dia melakukan
jinayat (berindak salah) terhadap barang titipan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Daruquthni.
“Bagi orang yang dititipi yang bukan pengkhianat tidaklah menanggung.”
Amr bin Syu’aib juga meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang dititipkan wadii’ah, maka dia tidaklah menanggungnya.” (HR. Ibnu
Majah, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Abu Bakar ra pernah memutuskan tentang wadi’ah yang ada dalam sebuah kantong,
lalu hilang karena kantong tersebut bolong, bahwa ia (orang yang dititipi) tidak
menanggungnya. Bahkan Urwah bin Az Zubair pernah meminta dititipkan kepada Abu
Bakar bin Abdurrahman bin Harits bin Hisyam harta dari harta milik bani Mush’ab, lalu
ternyata harta tersebut tertimpa musibah ketika masih berada di Abu Bakar atau sebagian
harta itu, maka Urwah mengutus seseorang untuk memberitahukan, “Bahwa kamu tidak
perlu menanggungnya. Kamu hanyalah orang yang diamanahi.” Lalu Abu Bakar berkata,
“Saya telah mengetahui bahwa saya tidak menanggung, akan tetapi nanti orang-orang
Quraisy menyebutkan bahwa diriku sudah tidak amanah”, lalu Abu Bakar menjual harta
miliknya dan melunasinya.
Orang yang menerima titipan harus menjaganya di tempat yang aman. Jika barang
titipan berupa hewan, maka muuda’ harus memberinya makan. Jika tidak diberi makan
tanpa ada perintah dari pemiliknya, lalu hewan itu mati, maka muuda’ harus
menggantinya, karena memberi makan hewan adalah diperintahkan. Selain dia harus
menanggungnya, dia juga berdosa karena tidak memberi makan dan minum kepada hewan
tersebut hingga mati, karena wajib baginya memberi makan dan minum sebagai
pemenuhan terhadap hak Allah Ta’ala, dimana hewan tersebut memiliki kehormatan.

C. Penerapan Produk Perbankan Syari’ah yang Menggunakan Akad Wadi’ah


pada Perbankan Syariah Dikaitkan dengan Fiqh Muamalah
Dalam penjelasan UU Perbankan Syari’ah tahun 2008, Pasal 19 ayat 1 huruf a
berbunyi:

9
“Yang dimaksud dengan akad wadi’ah adalah akad barang titipan antara pihak yang
memiliki barang dan pihak yang diberi amanah dengan tujuan untuk menjaga keamanan
dan keutuhan barang itu.”
Definisi ini sesuai dengan pengertian wadi’ah dalam ilmu fiqh. Dalam kitab I’anatut
Thalibin karya Ad Dimyathy dijelaskan bahwa wadi’ah adalah: “Sebuah akad yang
ditujukan untuk menjaga suatu barang/harta.”
Diketahui bahwa wadi’ah adalah titipan murni dari seseorang kepada orang lain, baik
individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan sesuai dengan
keinginan si penitip. Selanjutnya, menurut Bank Indonesia, wadi’ah adalah akad penitipan
barang/uang antara pihak yang memiliki barang/uang dengan pihak yang diberi amanah
dengan tujuan untuk menjaga keselamatan dan keutuhan barang/uang itu.12
Dari segi akadnya, ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu : Pertama, wadiah yad amanah
adalah akad penitipan barang/uang yang mana penerima titipan tidak boleh menggunakan
barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan
barang/uang titipan yang bukan akibat dari kelalaian penerima titipan. Kedua, wadiah yad
dhamanah adalah akad penitipan barang/uang yang mana penerima titipan dengan atau
tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang dan harus bertanggung
jawab atas kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan tersebut.
Dalam penerapannya, produk perbankan syari’ah dengan akad wadi’ah menerapkan
prinsip wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah. Untuk kedua produk tersebut,
perbankkan syari’ah justru menerapkan prinsip wadi’ah yad dhamanah. Padahal, akad
wadi’ah yad dhamanah secara nama tidak ditemukan dalam literatur fiqh klasik dan bila
dikaji prinsip ini ditemukan dua akad yang sifatnya bertentangan tetapi dipaksakan.
Terdapat unsur dua akad dalam prinsip wadi’ah yad dhamanah, karena pada
praktiknya baik produk giro wadi’ah maupun produk tabungan wadi’ah, bank
mensyaratkan nasabah untuk memberikan kewenangan kepada pihak bank atas
pengelolaan titipan/asetnya, dan bank mempunyai hak sepenuhnya atas hasil yang didapat
dari pemanfaatan titipan nasabah, dengan kata lain bank tidak bertanggung jawab
membagi hasilnya tersebut.
Padahal menurut prinsip wadi’ah, pemanfaatan suatu titipan dalam bentuk apapun
hukumnya terlarang, karena jika ada unsur penggunaan oleh pihak yang dititipi maka
akadnya pun berubah. Di dalam fiqh, yang demikian dikatakan sebagai prinsip pinjam-

12
Adi Warman Azram karim. (2003). Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan, hlm 95.

10
meminjam (qard). Melalui sekilas gambaran seputar prinsip wadi’ah yad dhamanah yang
di dalamnya terkandung unsur wadi’ah dan qard, namun lebih layak berlandaskan qard.
Wadi’ah pada hakikatnya adalah membantu pihak penitip, dan pihak yang dititipi
sebagai penolong. Karena itu sifat dari wadi’ah adalah amanah. Dalam kitab I’anatut
Thalibin karya Ad Dimyathy dijelaskan bahwa wadi’ah adalah: “Akad yang betujuan
menjaga suatu barang/harta. Dalam pelaksanaan praktek wadi’ah, dana nasabah yang
dititipkan di bank syari’ah mendapat jaminan aman, dan perbankan syari’ah wajib
menanggung segala resiko yang tejadi pada dana nasabah. Selanjutnya, perbankan syari’ah
tidak hanya menawarkan jaminan tetapi juga keuntungan, yang kemudian dikenal dengan
istilah “bagi hasil”.
Jika kita membandingkan menabung di perbankan syari’ah dan menabung di bank
konvensional, dengan menabung di perbankan konvensional, setidaknya kita mendapatkan
dua keuntungan: Pertama, dana aman dan kedua, bunga tabungan yang didapatkan setiap
bulan. Sedangkan besaran bunga yang diperoleh setiap bulan, sesuai dengan suku bunga
yang ditetapkan bank. Dengan memahami kedua konsep transaksi tersebut, kita dapat
melihat adanya kemiripan antara konsep wadi’ah bank syari’ah dengan tabungan
konvensional, jika mengacu bahwa menitipkan uang harus mendapat kelebihan.
Jika diperhatikan lebih dalam, maka jelaslah bahwa wadi’ah yang ada di perbankan
syari’ah bukanlah wadi’ah yang ada dalam kitab-kitab fiqh. Wadi’ah di perbankan syari’ah
yang saat ini dioperasikan, lebih sesuai dengan hukum dain/piutang, karena bank
menggunakan dana nasabah dalam berbagai proyeknya. Karena alasan ini, banyak dari
ulama skearang yang mengkritik penamaannya dengan wadi’ah. Dan sebagai gantinya
para ulama tersebut menyarankan untuk menggunakan istilah lain seperti al-hisab, al-jari
atau yang secara bahasa bermakna account.
Oleh karena itu apa yang diterapkan oleh perbankan syari’ah sebenarnya adalah akad
pinjam-meminjam (hutang-piutang), yang kemudian disebut dengan wadi’ah. Jika
demikian, maka tidak diragukan lagi bahwa keuntungan yang diperoleh nasabah darinya
adalah bunga (riba), berdasarkan kaidah fiqh yang telah disepakati oleh ulama: “Setiap
piutang yang mendatangkan keuntungan maka itu adalah riba”. (al-Qawaid an-Nuraniyah,
hlm. 116).
Adanya hak untuk menggunakan barang, mengambil hasilnya dan menanggung
kerugianadalah perbedaan utama antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang). jadi, jika
ketiga tanda ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka akad itu menjadi akad hutang-

11
piutang, bukan wadi’ah. Dengan segala akibatnya, berbagai hukum hutang-piutang
berlaku pada praktek wadi’ah yang diterapkan oleh perbankan syari’ah.
Masalah ini harus dikuasai dan selalu diingat agar tidak disesatkan oleh perubahan
nama riba. Masyarakat saat ini telah mengubah nama riba menjadi bunga atau faidah, dan
mengubah nama piutang menjadi tabungan atau wadi’ah. Piutang (al-qardhu) adalah suatu
akad berupa pemberian harta kepada orang yang akan mempergunakannya dan kemudian
ia wajib mengembalikan gantinya. Akad tabungan atau wadi’ah adalah menyerahkan
barang atau harta kepada orang yang menjaganya.

12
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan
barang untuk dijaganya secara layak. Bila ada kerusakan pada barang tersebut, tidak wajib
diganti, tapi bila kerusakan itu diakibatkan oleh kelalaiannya orang yang dititipkan maka
diwajibkan menggantinya.
Wadi’ah di bank syari’ah bukanlah wadi’ah yang diterangkan dalam kitab-kitab fiqh.
Wadi’ah bank syari’ah yang saat ini dioperasikan, lebih sesuai dengan hukum
dain/piutang, karena pihak bank menggunakan uang nasabah dalam berbagai proyeknya.
Adanya hak untuk menggunakan barang, memiliki hasilnya dan menanggung kerugian
adalah perbedaan antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang). Jadi, bila ketiga karakter ini
telah diterapkan pada akad wadi’ah, maka secara jelas dan hukum akad ini berubah
menjadi akad hutang piutang dan bukanlah akad wadi’ah.

B. Saran
Perlu adanya penyesuaian prinsip akad tersebut berlandaskan dalil, hadist, dan fiqh.
Peninjuan aspek keperilakuan juga dapat memberikan sinyal mengapa bank-bank syari’ah
melalukan hal demikian melalui masalah keagenan di dalamnya. Maka penulis
mengungkapkan berkenaan dengan fiqh dan pelaksanaan akad wadi’ah di Indonesia dan
memberikan pendekatan aspek keperilakuan sebagai dasar/asas pelaksanaan akad tersebut
pada perbankan syari’ah di Indonesia.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori. (2007). Perbankan Syari’ah di Indonesia. Yogyakarya: Gadjah Mada
University Pres, hlm. 72.
Adi Warman Azram karim. (2003). Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, hlm 95.
Afif, M. (2016). Tabungan: Implementasi Akad Wadi’ah atau Qard?(Kajian Praktik Wadi’ah
di Perbankan Indonesia). Jurnal Hukum Islam, 12(2), 251-264.
Ahmad Basri bin Ibrahim, Azman bin Mohd Noor. (2011). The Application of Wadi„ah
Contract By Some Financial Institutions in Malaysia, International Journal of Business
and Social Science Vol. 2 No. 3 [Special Issue – January 2011], hlm. 256.
Al-Jaziri, A. (1969). Kitab Al-Fiqh 'Ala Mazahib al-'Arabah.
Desminar, D. (2019). Akad Wadiah Dalam Perspektif Fiqih Muamalah. Menara Ilmu, 13(3),
25-35.
Latifa, A. M., & Lewis, M. K. (2007). Perbankan Syariah; Prinsip, Praktik, dan Prospek.
Jakarta: Ilmu Semesta.
Shuib, M. S., Bakar, A. A., Osman, A. F., Hashim, H., & bin Fadzil, A. (2016). Implementation
of Al-Wadiah (saving instrument) Contract in Contemporary Gold Transaction. Journal
of Business, 1(4), 35-38.
Sjhadeini, R. S. (1999). Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam tata Hukum Perbankan
Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Widayatsari, A. (2013). Akad Wadiah dan Mudharabah dalam Penghimpunan Dana Pihak
Ketiga Bank Syariah. Economic: Journal of Economic and Islamic Law, 3(1), 1-21.
Zainul Arifin. (1999). Memahami Bank Syariah. Jakarta : Pustaka Alvabet

14

Anda mungkin juga menyukai