Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

DEWAN SYARIAH NASIONAL DAN PENYELESAIAN SENGKETA DALAM


PERBANKAN SYARIAH

Di Susun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Hukum Perbankan Syariah

Dosen Pengampu : Irfan Ridha, S.H., M.H

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 6

1. VIRGIA ANNISA ALMOND ( NIM : 12020722341 )


2. TITANIA WINIASRI SUHERI ( NIM : 12020722444 )
3. RIFAT RAMADHAN BUSTIAMA ( NIM : 12020712511 )
4. RANGGA MAHESA SIWA ( NIM : 12020712796 )

KELAS ILMU HUKUM 4D

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF QASIM RIAU

TAHUN AJARAN 2022


KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Dewan Syariah Nasional dan
Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah, ini tepat pada waktunya. Tanpa pertolongan –
Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti – nantikan syafa‟atnya di akhirat nanti.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada
bidang studi Hukum Perbankan Syariah bernama bapak Irfan Ridha S.H.,M.H. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada bapak Irfan Ridha S.H.,M.H bidang studi Hukum Perbankan
Syariah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang penulis tekuni.

Penulis menyadari, makalah yang penulis tulis ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya
dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini penulis mohon maaf sebesar – besarmya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Sekian terima kasih

Pekanbaru, 09 Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 5

A. Dewan Syariah Nasional .............................................................................................. 5


1. Hakikat dan Sejarah Dewan Syariah Nasional ........................................................ 5
2. Visi dan Misi Dewan Syariah Nasional .................................................................. 8
3. Tugas dan Wewenang Dewan Syariah Nasional ..................................................... 9
4. Mekanisme dan Tata Kerja Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia ..... 11
5. Metode Penetapan Fatwa dan Prosedur Pemberian Fatwa (DSN-MUI) .................. 13
6. Hubungan Dewan Syariah Nasional-Mejelis Ulama Indonesia dan
Komite Perbankan Syariah ..................................................................................... 15
7. Tugas dan Fungsi Komite Perbankan Syariah ........................................................ 18
B. Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah ......................................................... 19
1. Pengertian Sengketa dan Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah ... ........ 19
2. Prinsip Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah ....................................... 21
3. Tujuan Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah ....................................... 21
4. Penyelesaian Sengketa dalam Tradisi Islam ........................................................... 21
5. Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah ................................................... 24

BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 38

A. Kesimpulan .................................................................................................................. 38
B. Saran ............................................................................................................................ 40

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 41

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perbankan merupakan elemen penting dalam pembangunan suatu negara. Hal ini
tercermin dalam pengertian perbankan secara teknis yuridis, yaitu sebagai badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.1 Fungsi bank sebagai lembaga intermediasi
keuangan (financial intermediary institution) tersebut sangat menentukan bagi sukses
tidaknya pembangunan ekonomi masyarakat. Keberadaan bank dalam hal ini sangat
tergantung oleh adanya kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan menjadi ruh dari
kegiatan perbankan. 2
Kebijakan perbankan di Indonesia sejak tahun 1992 berdasarkan ketentuan
Undang- Undang RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang kemudian diperkuat
dengan Undang- UndangRI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menganut sistem perbankan ganda
(dual banking system). Dual banking system maksudnya adalah terselenggaranya dua
sistem perbankan (konvensional dan syariah secara berdampingan) yang pelaksanaannya
diatur dalam berbagai peraturan perundang- undangan yang berlaku. 3
Untuk terlaksananya dengan baik tugas-tugas lembaga keuangan, baik bank-bank
maupun nonbank, diperlukan pembinaan dan pengawasan oleh suatu lembaga yang
dibentuk secara resmi, untuk Indonesia lembaga tersebut terutama adalah Bank Indonesia
dan kementerian keuangan. Atas dasar itu, maka lembaga keuangan syariah (LKS) baik
1
Lihat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
2
Khotibul Umam, “Legislasi Fikih Ekonomi Perbankan: Sinkronisasi Peran Dewan
Syariah Nasional dan Komite Perbankan Syariah”, Jurnal Hukum Perbankan Syariah, Vol.24
No.2 Juni 2012, Hlm. 358.
3
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007), Hlm. 33.

1
bank maupun non bank juga memerlukan pembinaan dan pengawasan agar tetap berjalan
sesuai prinsip-prinsip syariah Islam. Untuk itulah dibentuk Dewan Syariah Nasional oleh
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan dibentuk pula Dewan Pengawas Syariah,
sebagai perpanjangan tangan dari DSN-MUI.4
Pada tanggal 16 Juli 2008 diundangkanlah UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Undang-undang tersebut menjadi dasar yang kuat bagi operasional
perbankan syariah dan memperkenalkan beberapa lembaga hukum baru yang ditujukan
untuk meningkatkan ketaatan bank terhadap prinsip syariah, antara lain Yaitu adanya
kewajiban, bank konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) untuk
melakukan pemisahan (spin-of) atas UUS tersebut dan dalam rangka harmonisasi fatwa
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN- MUI) sebelum menjadi materi
muatan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dibentuklah Komite Perbankan Sariah (KPS). 5
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dibentuk dalam
rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian dan
mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonomian/keuangan yang
dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Pembentukan DSN-MUI merupakan
langkah efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan
dengan masalah ekonomi/keuangan Berbagai masalah/kasus yang memerlukan fatwa
akan ditampung dan dibahas bersama agar diperoleh kesamaan pandangan dalam
penanganannya oleh masing-masing Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ada di
lembaga keuangan syariah dan juga untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam
kehidupan ekonomi dan keuangan, DSN-MUl akan senantiasa dan berperan secara
proaktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis dalam
bidang ekonomi dan keuangan. 6

4
Akhmad Mujahidin, Perbankan Syariah, (Depok: Rajawali Pers,2019), Hlm. 159.
5
Eko Dahlan Uar,”Legalisasi Dewan Syariah Nasional dan Komite Perbankan Syariah
Dalam Pandangan Fiqh Ekonomi Perbankan”, Jurnal Hukum Perbankan Syariah, Fakultas
Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon, Hlm. 107-108.
6
Nurnasrina dan P. Adiyes Putra, Kegiatan Usaha Bank Syariah, ( Yogyakarta:
Kalimedia, 2018), Hlm. 230.

2
Selain daripada itu ada berbagai permasalahan yang potensial timbul dalam
praktek perbankan syariah antara bank dengan nasabah. Kemungkinan-kemungkinan
sengketa biasanya berupa komplain karena ketidaksesuaian antara realitas dengan
penawarannya, tidak sesuai dengan aturan main yang diperjanjikan, layanan dan alur
birokrasi yang tidak masuk dalam draft akad, sorta komplain terhadap lambatnya proses
kerja. Pada awalnya yang menjadi kendala hukum bagi penyelesaian sengketa perbankan
syariah adalah hendak dibawa kemana penyelesaiannya, karena Pengadilan Negeri tidak
menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan
wewenang Pengadilan saat itu menurut UU No.7 Tahun 1989 hanya terbatas mengadili
perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqoh. Hal inilah yang
melatarbelakangi lahirnya UU No.5O Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menetapkan kewenangan lembaga
Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara di
bidang ekonomi Syariah Perbankan syariah di Indonesia saat ini berkembang dengan
pesat.7
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
mengenai Dewan Syariah Nasional dan Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini ialah
sebagai berikut:
1. Apa Hakikat dan Sejarah Dewan Syariah Nasional ?
2. Apa Visi dan Misi Dewan Syariah Nasional ?
3. Apa Tugas dan Wewenang Dewan Syariah Nasional ?
4. Bagaimana Mekanisme dan Tata Kerja Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia ?
5. Bagimana Metode Penetapan Fatwa dan Prosedur Pemberian Fatwa (DSN-MUI) ?

7
Dasrol, Hukum Perbankan Syariah (Tinjauan Tentang Murabahah), (Pekanbaru:
Taman Karya,2020), Hlm. 133.

3
6. Bagaimana Hubungan Dewan Syariah Nasional-Mejelis Ulama Indonesia dan Komite
Perbankan Syariah ?
7. Bagimana Tugas dan Fungsi Komite Perbankan Syariah ?
8. Apa Pengertian Sengketa dan Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah ?
9. Apa Prinsip Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syraiah ?
10. Apa Tujuan Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah ?
11. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam tradisi islam ?
12. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Hakikat dan Sejarah Dewan Syariah Nasional
2. Untuk Mengetahui Visi dan Misi Dewan Syariah Nasional
3. Untuk Mengetahui Tugas dan Wewenang Dewan Syariah Nasional
4. Untuk Mengetahui Mekanisme dan Tata Kerja Dewan Syariah Nasional-Majelis
Ulama Indonesia
5. Untuk Mengetahui Metode Penetapan Fatwa dan Prosedur Pemberian Fatwa (DSN-
MUI)
6. Untuk Mengetahui Hubungan Dewan Syariah Nasional-Mejelis Ulama Indonesia dan
Komite Perbankan Syariah
7. Untuk Mengetahui Tugas dan Fungsi Komite Perbankan Syariah
8. Untuk Mengetahui Pengertian Sengketa dan Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan
Syariah
9. Untuk Mengetahui Prinsip Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syraiah
10. Untuk Mengetahui Tujuan Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah
11. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa dalam tradisi islam
12. Untuk Mengetahui Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dewan Syariah Nasional


1. Hakikat dan Sejarah Dewan Syariah Nasional
Berkembangnya perbankan syariah di tanah air memberikan konsekuensi
berkembangnya juga jumlah Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang berada dalam
mengawasi masing-masing lembaga tersebut. Fenomena ini melahirkan sisi positif
sekaligus negatif. Di satu sisi hal ini tentu merupakan suatu hal yang patut disyukuri
karena memberikan kesempatan luas kepada para pakar syariah muamalah dalam
menerapkan ketentuan syariah diperbankan syariah, namun di sisi lain hal ini melahirkan
problem tersendiri. Problem ini berkaitan dengan adanya kemungkinan timbul fatwa yang
berbeda-beda dari masing-masing DPS dan hal ini tidak mustahil akan membingungkan
umat dan nasabah. Oleh karena itu, MUI sebagai payung dari lembaga dan organisasi
keIslaman di tanah air, menganggap perlu dibentuknya satu dewan syariah yang bersifat
nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk didalamnya bank-bank
syariah. Lembaga-inilah yang kelak kemudian dikenal sebagai Dewan Syariah Nasional
(DSN).8
Pada dasarnya dalam hukum Islampun perbedaan penafsiran merupakan suatu hal
yang ditolerir. Bahkan dalam sejarah, kebolehan berbeda pendapat melahirkan berbagai
mazhab dalam hukum Islam sehingga memperkaya khazanah hukum Islam. Keragaman
pendapat ini di satu sisi memberikan kemudahan bagi umat karena tersedianya berbagai
pilihan hukum. Hal ini sesuai dengan sebuah hadist:
‫اختالف امتي رحمة‬
“Perbedaan pendapat dikalangan umatku merupakan suatu rahmat”.

8
Nur Hidayah, Fatwa – Fatwa Dewan Syariah Nasional Kajian Terhadap Aspek Hukum
Islam Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen),
2020), Hlm. 139.

5
Namun disisi lain ketentuan hukum yang berbeda-beda tersebut apabila dijadiakan
hukum positif tentu akan memberikan suatu ketidakpastian hukum. Demikian pula dalam
konteks perbankan syariah nasional, perbedaan fatwa anatara satu DPS dengan DPS
lainnya akan berakibat tidak adanya standardisasi atau keseragaman pengawasan yang
efektif secara nasional serta menimbulkan adanya ketidakpastian publik (public
uncertainty) terhadap penilaian hukum syariah. 9 Karena itulah perlu ada suatu badan yang
secara legal yuridis menetapkan suatu pilihan hukum yang hendak diangkat menjadi
hukum positif sehingga menutup peluang ketidakpastian tersebut. Hal ini sebagaimana
kaidah:
‫حكم الحاكم يرفع الخالف‬
“Hukum yang ditetapkan hakim menghilangkan perbedaan pendapat”.

Di sinilah letak signifikansi kehadiran Dewan Syariah Nasional yaitu sebagai standar
dari berbagai pendapat yang ada di masyarakat. . Dalam pedoman Dasar DSN-MUI, yang
dimaksud dengan Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk MUI untuk
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan
syariah. 10 Jadi DSN merupakan bagian integral dari MUI. Dewan ini bertugas
menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian dan
sektor keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi, dan reksadana.11

Usulan pembentukan Dewan Syariah Nasional mengemukan pada tahun 1997 setelah
MUI mengadakan lokakarya tentang reksadana syariah di Jakarta yang salah satu
rekomendasinya adalah pembentukan dewan ini. Rekomendasi ini ditindaklanjuti
sehingga tersusunlah DSN secara resmi pada tahun 1998. Pada tahun ini juga
pengurusnya disahkan pada Mukernas MUI di hotel Indonesia, tepatnya pada februari
1998. Kehadiran DSN ini juga paralel dengan pembentukan Komite Ahli Pngembangan
99
Harisman, “Pengawasan dan Audit Syariah Pada Bank Syariah: Konsep, Aplikasi, dan
Kebijakan”, makalah disampaikan dalam Seminar Legal Audit Syariah, (Jakarta Fakultas
Syariah IAIN Syarif Hidayatullah 10 April 2002), Hlm. 4.
10
Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, BAB II, butir 3.
11
Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, (Jakarta:
Bank Indonesia. 1999), Hlm. 22.

6
Syariah di Bank Indonesia pada tahun yang sama yang kemudian beralih nama menjadi
Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia. Bila Biro ini mengatur dari segi regulasi/hukum
positif, maka DSN mengatur dari segi hukum Islam.

Secara yuridis DSN diakui keberadaannya dalam SK DIREKSI BI No. 32/34 tentang
Bank Umum berdasarkan prinsip syraiah sebagai badan yang memberikan pengaturan
produk dan operasional pebankan syariah sekaligus pengawas DPS-DPS diberbagi
lembaga keuangan Islam. Dalam pasal 31 SK DIR BI 32/34/1999 ini dinyatakan bahwa
untuk melakukan kegiatan-kegiatan usahanya, bank umum syariah diwajibkan untuk
memperhatikan fatwa Dewan Syariah Nasional.

Demikian pula dalam hal bank akan melakukan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam pasal 28 dan pasal 29 tersebut dan ternyata kegiatan usaha yang
dimaksud belum difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional, maka bank wajib meminta
persetujuan Dewan Syariah Nasional sebelum melaksankan kegiatan usaha tersebut. Atau
dengan kata lain SK ini memberikan kewenangan kepada Dewan untuk memberikan
pedoman dalam bentuk fatwa kepada perbankan syariah agar prinsip kesesuaian dengan
syariah (sharia compliance) yang dianut bank syariah dapat tercapai.

Secara organisasi DSN merupakan badan otonom namun demikian ia tetap


merupakan bagian integral dan dibawah MUI 12 karena ketua umum dan sekretaris MUI
memimpim dewan ini secara ex-officio. Sedangkan anggota-anggota dewan ini terdiri
dari para ulama, praktisi, dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan perekonomian
dan muamalah syariah serta memiliki akhlak karimah. Anggota Dewan ini ditunjuk dan
diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 (empat) tahun.

Jadi dapat dsimpulkan sejarah berdirinya DSN MUI adalah sebagai berikut : 13

12
Ibid.
13
Nurnasrina dan P. Adiyes Putra, Kegiatan Usaha Bank Syariah, ( Yogyakarta:
Kalimedia, 2018), Hlm. 229.

7
a. Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syari'ah yang diselenggarakan MUI Pusat pada
tanggal 29-30 Juli 1997 di Jakarta merekomendasikan perlunya sebuah lembaga yang
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan
syariah (LKS).
b. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan rapat Tim Pembentukan Dewan Syariah
Nasional (DSN) pada tanggal 14 Oktober 1997.
c. Dewan Pimpinan MUI menerbitkan SK No. Kep-754/MU1/I/1999 tertanggal 10
Februari 1999 tentang Pembentukan Dewan Syari'ah Nasional MUI.
d. Dewan Pimpinan MUI mengadakan acara ta'aruf dengan Pengurus DSN-MUI tanggal
15 Februari 1999 di Hotel Indonesia, Jakarta.
e. Pengurus DSN-MUI untuk pertama kalinya mengadakan Rapat Pleno I DSN-MUI
tanggal 1 April 2000 di Jakarta dengan mengesahkan Pedoman Dasar dan Pedoman
Rumah Tangga DSN-MUI.
f. Susunan Pengurus DSN-MUI saat ini berdasarkan Surat Keputusan Majelis Ulama
Indonesia No: Kep-487./MUM/1X/2010 tentang Susunan Pengurus Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN - MUl), Periode 2010 - 2015. Adapun
pimpinan DSN-MUI secara ex-officio dijabat oleh Ketua Umum MUI, Dr. K.H.
Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz (semoza Allah mengasihinya) selaku ketua dan
Sekretaris Jenderal MUI, Drs. H.M. ichwan Sam selaku sekretaris, serta DR, KH
Ma'ruf Amin selaku ketua pelaksana.

2. Visi dan Misi Dewan Syariah Nasional


Visi dan misi dewan syariah nasional sebagai berikut ini yaitu: 14

Visi Dewan Syariah Nasional adalah Memasyarakatkan Ekonomi Syariah dan


mensyariatkan Ekonomi Masyarakat. Dan Misinya adalah menumbuhkembangkan
ekonomi syariah dan Lembaga Keuangan/Bisnis pariah untuk kesejahteraan umat dan
bangsa.

Misi DSN-MUI:
14
Akhmad Mujahidin, Perbankan Syariah, (Depok: Rajawali Pers,2019), Hlm. 159.

8
a. Menumbuhkembangkan Lembaga Keuangan Syariah.
b. Membuat fatwa DSN-MUI.
c. Memberikan rekomendasi, sertifikasi, endorsement (pengesahan/persetujuan)
terhadap lembaga – lembaga keuangan syariah.
d. Melaksanakan pengawasan tentang kesesuaian syariah oleh DPS sebagai alat dari
DSN-MUI.
3. Tugas dan Wewenang Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI)

DSN-MUI merupakan satu-satunya lembaga yang diberi amanat oleh undang-undang


untuk menetapkan fatwa di bidang ekonomi syariah. Hal ini terlihat dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (12) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam pasal
tersebut ditegaskan bahwa Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Walaupun tidak secara tegas menyebut DSN-
MUI, namun praktik membuktikan bahwa DSN-MUI merupakan lembaga yang
mengeluarkan fatwa dimaksud dan selalu menjadi referensi bank syariah dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.

DSN-MUI sebagai lembaga yang mempunyai otoritas dalam pembuatan fatwa di


bidang ekonomi syariah mempunyai beberapa tugas dan wewenang. Dalam Pedoman
Dasar DSN-MUI yang termuat dalam Bab IV Keputusan Dewan Syariah Nasional-
Majelis Ulama Indonesia No. 1 Tahun 2000, tugas dan wewenang DSN-MUI adalah
sebagai berikut:15

 Dewan Syariah Nasional bertugas:


a. Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan
perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.
b. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.

15
Khotibul Umam, “Legalisasi Fikih Ekonomi Perbankan: Sinkronisasi Peran
Dewan Syariah Nasional dan Komite Perbankan syariah”, Jurnal Hukum Perbankan
Syariah, Yogyakarta, Vol. 24 No.2 Juni 2012, Hlm. 361.

9
c. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
d. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.

2. Dewan Syariah Nasional berwenang:

a. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di masing-


masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak
terkait.
b. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan
Bank Indonesia.
c. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang
akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan
syariah.
d. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan
dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga
keuangan da- lam maupun luar negeri.
e. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional.
f. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan
apabila peringatan tidak diindahkan.

Format fatwa tidak selalu berbentuk Tanya jawab sebagaimana yang lazim
ditemukan. Dalam banyak kasus terutama di Indonesia, format fatwa sering mengikuti
bentuk surat keputusan. Dalam surat fatwa yang demikian, fatwanya diberi nomor dan
terkadang juga judul, kemudian diikutidengan konsideran dan diakhiri dengan amar fatwa
sendiri. Konsideran memuat pertimbangan- pertimbangan mengapa fatwa itu dikeluarkan,
argumen-argumen bagi amar fatwa tersebut serta landasan syar’i fatwa yang
bersangkutan. Format fatwa seperti ini biasanya dikeluarkan oleh suatu lembaga yang
melibatkan sejumlah mufti secara kolektif dan karena itu fatwa tersebut lebih terlihat
resmi. Dengan demikian surat fatwa (ruq’ah al- fatwa) jenis ini tidak memuat pertanyaan
mustafi, dan memang barangkali fatwa ini dikeluarkan tidak karena adanya suatu

10
pertanyaan khusus langsung yang diajukan penanya kepada mufti, melainkan mungkin
dikeluarkan atas inisiatif para mufti sendiri setelah melihat adanya banyak pertanyaan di
tengah-tengah masyarakat mengenai masalah yang bersangkutan. Fatwa-fatwa Dewan
Syariah Nasional (DSN) mengambil bentuk ini sebagaimana dapat dilihat dalam
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Materi muatan fatwa tersebut segera menjadi
doktrin hukum substantifIslam (fikih). 16

Namun demikian menurut Kanny Hidaya (Wakil Sekretaris Badan Pelaksana Harian
DSN) bahwa semua fatwa muamalah yang dikeluarkan oleh DSN didasarkan pada
permintaan atau pertanyaan mustafi, misalnya dari bank maupun Bank Indonesia. Pada
tahap awal DSN-MUI dibentuk, selaku mustafi yang banyak meminta fatwa adalah PT.
Bank Muamalat Indonesia. Hingga saat ini semua fatwa yang dikeluarkan oleh DSN
belum ada yang sifatnya melarang. Dari uraian tugas dan wewenang DSN di atas, terlihat
bahwa peran yang diemban DSN sangat strategis. DSN merupakan wadah yang dapat
merefleksikan corak nilai-nilai syariah yang akan diimplementasikan dalam praktik
perbankan syariah, karena fatwa-fatwanya tidak saja bersifat mengikat, namun juga
menjadi dasar tindakan hukum perbankan syariah. Fatwa juga telah men- jadi sumber
hukum materiil dalam penyelesaian sengketa transaksi perbankan syariah di samping
akad yang bersangkutan, peraturan perundang- undangan, kebiasaan di bidang ekonomi
syariah, dan yurisprudensi.

4. Mekanisme dan Tata Kerja Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia


(DSN- MUI)

Mekanisme kerja yang disusun dalam keputusan MUI tentang Susunan Pengurus
DSN, pada dasarnya merupakan kelanjutan dari tugas dan kewenangan DSN yang sudah
dijelaskan sebelumnya. Dalam mekanisme kerja DSN terdapat tiga unsur yang harus
diperhatikan, yaitu: DSN, Badan Pelaksana Harian DSN, dan Dewan Pengawas Syariah
(DPS).

16
Khotibul Umam, “Legalisasi Fikih Ekonomi Perbankan: Sinkronisasi Peran Dewan
Syariah Nasional dan Komite Perbankan syariah”, Jurnal Hukum Perbankan Syariah,
Yogyakarta, Vol. 24 No.2 Juni 2012, Hlm. 362.

11
Mekanisme kerja yang berkaitan dengan DSN adalah: 17

1. Dewan Syariah Nasional mengesahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh


Badan Pelaksana Harian DSN.
2. Dewan Syariah Nasional melakukan rapat pleno paling tidak satu kali dalam tiga
bulan, atau bilamana diperlukan.
3. Setiap tahunnya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan
(annual report) bahwa lembaga keuangan syariah yang bersangkutan telah/tidak
memenuhi segenap ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional.

Kemudian mekanisme kerja dari Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (BPH-DSN MUI), tertuang dalam sub B, yaitu sebagai
berikut:18
1. Badan Pelaksana Harian menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai suatu
produk lembaga keuangan syariah. Usulan ataupun pertanyaan ditujukan kepada
sekretariat Badan Pelaksana Harian.
2. Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah
menerima usulan/pertanyaan harus menyam- paikan permasalahan kepada Ketua.
3. Ketua Badan Pelaksana Harian bersama anggota dan staf ahli selambat-lambatnya
20 hari kerja harus membuat memorandum khusus yang berisi telaah dan
pembahasan terhadap suatu pertanyaan/usulan.
4. Ketua Badan Pelaksana Harian selanjutnya membawa hasil pembahasan ke dalam
Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional untuk mendapat pengesahan.
5. Fatwa atau memorandum Dewan Syariah Nasional ditandatangani oleh Ketua dan
Sekretaris Dewan Syariah Nasional.
Dengan demikian pola kerja DSN sangat ideal dan cukup teratur, akan tetapi
17
Keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2000
tentang Pedoman Dasar Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (PD DSN-MUI).
18
Khotibul Umam, “Legalisasi Fikih Ekonomi Perbankan: Sinkronisasi Peran Dewan
Syariah Nasional dan Komite Perbankan syariah”, Jurnal Hukum Perbankan Syariah,
Yogyakarta, Vol. 24 No.2 Juni 2012, Hlm. 363.

12
pedoman tata kerja sebagaimana dimaksud kurang mencerminkan tujuan DSN sebagai
pemberi fatwa, pengawas syariah, dan pendorong penerapan syariah secara utuh dalam
bidang ekonomi dan keuangan. Hal ini karena DSN lebih banyak menunggu pertanyaan
sehingga mayoritas fatwa yang dikeluarkan hanya jika ada mustafi yang membawa
permasalahan ke DSN. Konsekuensinya, produk fatwa akan ada jika ada pertanyaan
masyarakat, bukan dari inisiatif dan gagasan DSN yang hendak mendorong
perkembangan fikih muamalah di Indonesia.

5. Metode Penetapan Fatwa dan Prosedur Pemberian Fatwa (DSN-MUI)


DSN-MUI juga telah membuat pedoman untuk menetapkan sebuah fatwa
sebagaimana telah ditetapkan dalam Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga
tersebut di atas, yaitu sebagai berikut:19
1. Badan Pelaksana Harian menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai suatu
produk lembaga keuangan syariah. Usulan ataupun pertanyaan ditujukan kepada
sekretariat Badan Pelaksana Harian.
2. Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah
menerima usulan/pertanyaan harus menyampaikan permasalahan kepada Ketua.
3. Ketua Badan Pelaksana Harian bersama anggota dan staf ahli selambat-lambatnya
20 hari kerja harus membuat memorandum khusus yang berisi telah dan
pembahasan terhadap suatu pertanyaan/usulan.
4. Ketua Badan Pelaksana Harian selanjutnya membawa hasil pembahasan ke dalam
Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional untuk mendapat pengesahan.
5. Fatwa atau memorandum Dewan Syariah Nasional ditandatangani oleh Ketua dan
Sekretaris Dewan Syariah Nasional.

Menurut Kanny Hidaya, bahwa dalam pembuatan fatwa, DSN menggunakan empat
sumber hukum yang disepakati oleh para ulama Sunni, yakni al-Quran, al-Hadis, Ijmak,
dan Qiyas. Selain itu DSN juga sering menggunakan salah satu sumber hukum yang

19
Khotibul Umam, “Legalisasi Fikih Ekonomi Perbankan: Sinkronisasi Peran Dewan
Syariah Nasional dan Komite Perbankan syariah”, Jurnal Hukum Perbankan Syariah,
Yogyakarta, Vol. 24 No.2 Juni 2012, Hlm. 363.

13
diperselisihkan, yaitu: Istihsan, Maslahah Mursalah, Istishab, Sadd al- Zariah, Urf,
Mazhab Sahabi, dan Shar’i Man Qablana.20 Lebih lanjut menurut Kanny Hidaya, DSN
akan melihat pada kitab-kitab fikih masyhur yang berasal dari mazhab klasik (Hanafi,
Malik, Syafii, Hambali) dan kitab-kitab fikih kontem porer. Ketika ditemukan adanya
satu pendapat yang membenarkan sesuatu perbuatan muamalah dan berbeda dengan
mayoritas (jumhur), maka menurut DSN bisa dipakai. Hal ini mendasar kan pada kaidah
hukum muamalah yakni bahwa segala perbuatan di bidang muamalah adalah boleh,
kecuali ada dalil yang secara tegas melarangnya. Contoh fatwa yang hanya didukung
oleh pendapat minoritas dapat dilihat pada fatwa jual-beli emas secara tidak tunai.
Selengkapnya mengenai proses pembahasan fatwa jual-beliemas secara tidak tunai.

Emas saat ini tidak lagi berposisi sebagai mata uang sebagaimana terjadi pada zaman
dahulu. Zaman dahulu ketika Rasulullah Saw masih hidup, posisi emas sebagai alat
tukar. Sekarang jarang negara yang menggunakan emas sebagai alat tukar. Di
kebanyakan negara, termasuk Indonesia emas sama dengan barang (sil’ah), sehingga cara
jual belinya sama dengan barang. Boleh tunai atau boleh tidak tunai. 21 Dalam temuan
pendapat yang diperoleh DSN, banyak pendapat yang melarang jual beli emas secara
tidak tunai. Akan tetapi, yang harus di cermati, aturan itu bukan di bab bai’ (jual beli)
secara umum, namun masuk dalam bab sharf (pertukaran uang). Bagi DSN, dalam
konsiderannya, memperhatikan bahwa dalam fatwa DSN ada beberapa pendapat, baik
yang pro maupun kontra.22

Bahwa proses pengambilan fatwa, menggunakan metode muqaran (perbandingan).


Kalau sudah perbandingan, maka tidak ada kaitan dengan sedikit atau banyaknya
pendapat. Yang berlaku adalah ayyul aqwali aqwa dalilan (manakah di antara pendapat
itu yang paling kuat dalilnya).17 Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka pada tanggal 3

20
Kanny Hidaya, Wakil Sekretaris BPH-DSN, 24 November 2010.
21
Kanny Hidaya, Wakil Sekretaris BPH-DSN, 24 November 2010.

22
Abdul Wasik, “Jual Beli Emas Secara Kredit”, Mimbar Ulama , Edisi 345, Juli 2010,
Hlm. 44.

14
Juni 2010, DSN menetapkan Fatwa No. 77 tentang “Jual Beli Emas secara Tidak
Tunai” melalui sebuah sidang yang cukup menguras akal pikiran. Dalam Rapat Pleno
DSN MUI yang dipimpin oleh Ketua Badan Pelaksana Harian DSN MUI, KH. Ma‟ruf
Amin memutuskan bahwa jual beli emas secara tidak tunai hukumnya adalah boleh
selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang).18

Fatwa tentang sesuatu tidak boleh ada unsur mafsadat. Oleh karena itu semua
pendapat dari para ulama yang terwadahi di DSN akan didengarkan. Apabila dalam
pleno terdapat perbedaan atau dengan kata lain tidak terdapat permufakatan bulat, maka
fatwa akan diputuskan melalui mekanisme voting. Dengan voting ini apabila hanya
sedikit yang tidak setuju, maka fatwa tetap akan dikeluarkan sepanjang tidak
mengandung mafsadat di dalamnya.23

6. Hubungan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia dan Komite


Perbankan Syariah

Ada beberapa langkah penting dalam menciptakan jaminan pemenuhan prinsip


syariah, khususnya dalam operasional perbankan syariah. Langkah-langkah tersebut,
sebagai berikut:

a. Menciptakan regulasi dan sistem pengawasan yang sesuai dengan karakteristik bank
syariah.

b. Menetapkan aturan tentang mekanisme pengeluaran setiap produk bank syariah yang
memerlukan pengesahan (endorsement) dari DSN-MUI tentang kehalalan/kesesuaian
produk dan jasa keuangan bank dengan prinsip syariah.

c. Menerapkan sistem pengawasan baik untuk penilaian aspek kehati-hatian dan


kesesuaian operasional bank dengan ketentuan syariah dengan melibatkan Dewan
Pengawas Syariah dan unsur pengawasan syariah lainnya. 24

Pasca diundangkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, terkait


dengan aturan mengenai mekanisme pengeluaran produk bank syariah melibatkan dua
23
Kanny Hidaya, Wakil Sekretaris BPH-DSN, 24 November 2010.

24
Setiawan Budi Utomo, Peran DSN & DPS dalam Perbankan Syariah, (Jakarta:
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2010), Hlm. 15.

15
lembaga, yakni DSN-MUI dan KPS. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa DSN-
MUI merupakan lembaga yang mempunyai otoritas dalam pembentukan fatwa di bidang
ekonomi syariah, yang mana keberadaannya diakui oleh peraturan perundang-undangan.
Adapun mekanisme perizinan produk lebih lanjut diatur dalam Pasal 2 sampai dengan
Pasal 5 PBI No. 10/17/PBI/2008. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Bank wajib
melaporkan rencana pengeluaran Produk baru kepada Bank Indonesia. 25

Produk sebagaimana dimaksud merupakan produk yang ditetapkan dalam Buku


Kodifikasi Produk Perbankan Syariah yang diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank
Indonesia. 26 Bila bank akan mengeluarkan produk baru yang tidak termasuk dalam
Produk sebagaimana dimaksud pada Buku Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, maka
Bank wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. 27

Kemudian dalam Pasal 3 PBI No. 10/17/PBI/2008 secara lengkap disebutkan bahwa:

1. Laporan rencana pengeluaran Produk baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) harus disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum Produk baru
dimaksud akan dikeluarkan.

2. Bank Indonesia memberikan penegasan atas laporan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) paling lambat 15 (lima belas) hari sejak seluruh persyaratan dipenuhi dan
dokumen pelaporan diterima secara lengkap.

3. Bank dilarang mengeluarkan Produk baru dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila belum memperoleh penegasan tidak
keberatan dari Bank Indonesia.

4. Apabila dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah seluruh persyaratan
dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap, Bank Indonesia tidak

25
Lihat Pasal 2 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang
Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
26
Lihat Pasal 2 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang
Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
27
Lihat Pasal 2 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang
Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

16
memberikan penegasan, maka Bank dapat mengeluarkan Produk baru dimaksud.
Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud, paling lambat 15 (lima belas) hari sejak seluruh persyaratan
dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap. 28 Bank wajib melaporkan
realisasi pengeluaran Produk baru paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah Produk
baru dimaksud dikeluarkan. 29

Merujuk pada uraian tersebut di atas, maka dapatlah dipahami bahwa pada
hakikatnya materi yang tertuang dalam fatwa DSN-MUI akan tetap mempunyai kekuatan
mengikat bagi bank syariah, terlepas dari apakah fatwa tersebut kemudian dijadikan PBI
atau tidak. Alasannya bahwa selain fatwa masuk dalam ranah hukum yang hidup di
masyarakat (living law), keberadaan dari DSN-MUI dan produk hukumnya berupa fatwa
juga diakui keberadaannya oleh peraturan perundang-undangan di bidang perbankan
syariah, dengan dasar perbankan syariah yang hendak mengoperasionalkan produk baik
di bidang penghimpunan dana, penyaluran dana, maupun jasa, terdapat 2 (dua) hal yang
harus diperhatikan, yaitu: (1) harus ada Peraturan Bank Indonesia; dan/atau (2) harus ada
fatwa. Namun demikian, jika baru ada fatwa, bank syariah dapat langsung melaksanakan
produk syariah yang bersangkutan dengan terlebih dahulu mendapatkan izin atau
persetujuan dari Direktorat Perbankan Syariah (DPbS) Bank Indonesia.

Dengan demikian bahwa peran DSN-MUI sebagai otoritas yang dapat mengeluarkan
fatwa di bidang ekonomi syariah dan KPS sebagai lembaga yang menafsirkan fatwa
sebelum dijadikan PBI telah dapat dilaksanakan secara sinergis. Bahwa dengan
masuknya unsur dari DSN-MUI, Bank Indonesia, Departemen Agama, dan masyarakat
(dalam hal ini akademisi dan praktisi di bidang perbankan syariah), maka kemungkinan
terjadinya perbedaan antara fatwa dengan PBI ditinjau dari kesesuaiannya terhadap
prinsip syariah sangat kecil, bahkan tidak ada.

28
Lihat Pasal 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah.
29
Lihat Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah.

17
Hal tersebut dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yang dilakukan DSN-MUI
dalam merespon problematika hukum ekonomi yang baru: Pertama, mencari solusinya
melalui dalil yang qathi‟ (pasti, tegas, dan jelas). Jika ada maka dalil inilah yang
dijadikan pegangan. Kedua, mendasarkan pendapat para ulama (aqwal ulama). Bila
terdapat perbedaan di antara ulama maka dicari titik persamaannya dan dilakukan tarjih
(memilih pendapat yang paling kuat). Ketiga, jika poin pertama dan kedua tidak ada
maka akan dilakukan pendekatan ilhaqi, yaitu mencari padanan kasus serupa dalam
hukum Islam klasik yang juga merupakan hasil ijtihad ulama (hukum cabang).30

7. Tugas dan Fungsi Komite Perbankan Syariah

Dalam pelaksanaan tugasnya, Komite dibantu oleh Sekretariat Komite. Sekretariat


Komite dikoordinasikan oleh Direktorat Perbankan Syariah. Adapun tugas Sekretariat
Komite, yakni:

1. Melaksanakan fungsi administrasi dan korespondensi Komite.

2. Melakukan koordinasi dalam rangka pelaksanaan rapat Komite.

3. Melakukan penyusunan notulen rapat Komite.

4. Mendokumentasikan hasil-hasil rapat Komite.

5. Memberikan informasi secara berkelanjutan kepada anggota Komite.

6. Menyusun rencana anggaran Komite dan menyelesaikan proses pemberian


honorarium anggota Komite.

7. Menyusun laporan kegiatan Komite, termasuk laporan pertanggungjawaban


Komite.31

30
Ma‟ruf Amin, “Nash dan Hujjah Syar’iyyah Bidang Ekonomi Syariah”, Pidato,
Seminar “Kompilasi Nash dan Hujjah Syar‟iyyah Bidang Ekonomi Syariah yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI bekerjasama dengan Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 11-12 Juli 2006, “makalah”, Hlm. 21.
31
Lihat Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/32/PBI/2008 tentang Komite
Perbankan Syariah

18
Bank Indonesia menetapkan masa jabatan anggota Komite yang bertanggungjawab
kepada Bank Indonesia ini adalah dua tahun dan dapat diperpanjang maksimal dua kali
masa jabatan. Namun anggota dapat diberhentikan dari Komite apabila: (i) atas
permintaan sendiri; (ii) tidak memenuhi tata tertib Komite Perbankan Syariah; (iii)
dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
atau (iv) berhalangan tetap. Pemberhentian anggota Komite Perbankan Syariah yang
berasal dari institusi tertentu, akan dikoordinasikan oleh Bank Indonesia dengan institusi
yang bersangkutan. 32

Dalam praktik, kedudukan KPS adalah independen, namun secara administrasi dan
keuangan dikoordinasikan oleh Direktorat Perbankan Syariah (DPbS). Rapat Komite
diselenggarakan atas dasar usulan Bank Indonesia atau usulan Komite sendiri. Rapat
Komite dinyatakan sah apabila memenuhi kuorum yaitu dihadiri oleh lebih dari 50%
keanggotaan Komite, kemudian Pengambilan keputusan Rapat Komite dilakukan atas
dasar musyawarah untuk mencapai mufakat.33

B. Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah


1. Pengertian Sengketa dan Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah

Kata „sengketa‟ dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata „conflict‟ dan „dispute.‟
Kedua kata tersebut mengandung makna tentang adanya perselisihan, percekcokan atau
perbedaan kepentingan antara dua pihak atau lebih. Kata „conflict‟ diserap ke dalam
bahasa Indonesia menjadi „konflik,‟ sedangkan „dispute‟ diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi „sengketa‟ (Mujahidin, 2010: 46- 47). Kata „konflik‟ dan „sengketa‟
kadangkala digunakan secara bergantian. Namun, kedua kata tersebut pada dasarnya
mempunyai perbedaan yang mendasar. Konflik merupakan situasi di mana dua pihak atau
lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan. Konflik tidak akan berkembang menjadi
sengketa jika pihak yang merasa dirugikan menyatakan rasa ketidakpuasannya. Namun,
32
Lihat Pasal 15 dan Pasal 17 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/32/PBI/2008 tentang
Komite Perbankan Syariah.
33
Lihat Pasal 19 dan Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/32/PBI/2008 tentang
Komite Perbankan Syariah.

19
konflik tersebut akan berkembang menjadi sengketa jika pihak yang merasa dirugikan
menyatakan rasa ketidakpuasannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap
sebagai penyebab kerugian, maupun kepada pihak lain. Berdasarkan penjelasan di atas
dapat dipahami bahwa konflik tidak dapat dihindari, namun sengketa bisa dihindari
apabila konflik bisa diantisipasi. Dengan kata lain, sengketa akan terjadi ketika konflik
tidak dapat dikelola dengan baik. (Rasyid, 2015b: 182; Mujahidin, 2010: 47; Usman,
2013: 3).

Penyelesaian sengketa atau yang dikenal dengan nama Ash- Shulhu berarti memutus
pertengkaran atau perselisihan atau dalam pengertian syariatnya adalah suatu jenis akad
(perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2 orang yang bersengketa 34.

Dalam kegiatan perbankan syariah, sengketa bisa terjadi antara bank syariah dengan
nasabah. Pada umumnya, faktor utama terjadinya sengketa dikarenakan tidak
terpenuhinya akad yang telah diperjanjikan antara bank syariah dengan nasabah atau
tidak terpenuhinya prinsip syariah dalam akad tersebut (Mujahidin, 2010: 41). Terkait
dengan akad (kontrak) tersebut, menurut Suadi (2017: 7), terdapat beberapa bentuk akad
yang dapat menimbulkan sengketa sehingga mesti diwaspadai, bentuk-bentuk akad
tersebut sebagai berikut:35

a. Salah satu pihak menemukan fakta bahwa syarat-syaratnya suatu akad, baik syarat
subjektif maupun syarat objektif ternyata tidak terpenuhi sehingga menuntut
pembatalan kontrak.
b. Akad diputus oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak lain, dan terdapat
perbedaan pendapat dalam menginterprestasikan isi akad oleh para pihak sehinga
menimbulkan sengketa hukum.
c. Karena salah satu pihak tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah
diperjanjikan.

34
Anshori, Abdul Gofur, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2009.
35
Abdul Rasyid & Tiska Andita Putri, “Kewenangan Lembaga Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah” Jurnal Yudisial, Vol. 12 No. 2 Agustus 2019, Hlm. 166-167.

20
d. Terjadinya perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
e. Adanya risiko yang tidak diduga pada saat pembuatan akad/force majeure/
overmach.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa sengketa bisa terjadi antara
bank syariah dengan nasabah. Pada umumya sengketa tersebut terjadi dikarenakan tidak
terlaksananya perjanjian yang telah disepakati dengan baik. Oleh karena itu, pemahaman
yang baik akan kontrak (akad) yang akan dilakukan penting untuk diketahui sehingga
sengketa bisa dihindari.

2. Prinsip Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah


Penyelesaian sengketa memiliki prinsip tersendiri agar masalah- masalah yang ada
dapat terselesaikan dengan benar. Diantara prinsip tersebut adalah sebagai berikut:36

a. Adil dalam memutuskan perkara sengketa, tidak ada pihak yang merasa dirugikan
dalam pengambilan keputusan.
b. Kekeluargaan .
c. Menjamin kerahasian sengketa para pihak.
d. Menyelesaiakan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan.
3. Tujuan Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah
Tujuan diadakannya penyelesaian sengketa ini agar setiap permasalahan-
permasalahan yang ada dalam perbankan dapat terselesailkan dengan sebagaimana
mestinya. Sehingga tidak menimbulkan persengketaan yang berujung pada ketidakadilan,
dalam Islam juga tidak diperbolehkan berselisih yang berkepanjangan karena dapat
menimbulkan persengketaan.

4. Penyelesaian Sengketa dalam Tradisi Islam

Dalam tradisi Islam terdapat beberapa jalur penyelesaian sengketa yakni jalur
penyelesaian diluar peradilan yaitu musyawarah, as-sulh, tahkim, hisbah, dan jalur
peradilan (qadha). 37

36
Maftukhatusolikhah dan Rusyid, Riba dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan
Syariah, Yogyakarta: Politea Press, 2008.

21
a. Musyawarah

Musyawarah merupakan tradisi Islam tertua dalam menyelesaikan berbagai


urusan, termasuk dalam hal menyelesaikan sengketa. Kata Syura berasal dari kata
syawara yang berarti berunding, urun rembug atau mengatakan dan mengajukan
sesuatu. Menurut Istilah, musyawarah adalah perundingan antara dua orang atau
lebih untuk memutuskan masalah secara bersama-sama sesuai dengan yang
diperintahkan Allah. Musyawarah sendiri merupakan jalan yang dianjurkan oleh Al-
Qur‟an untuk menyelesaikan berbagai persoalan manusia/masyarakat termasuk
dalam hal menyelesaikan konflik atau sengketa. Dalam hal menyelesaikan sengketa,
kedua pihak yang bersengketa melakukan pertemuan, dialog, diskusi dengan tujuan
untuk mencari titik temu (mufakat) sehingga persoalan yang disengketakan tidak
berlanjut dan dapat diselesaikan dengan baik.

b. As-Sulh (Perdamaian)

Secara bahasa, “sulh” berarti meredam pertikaian, sedangkan menurut istilah


“sulh” berarti suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri
perselisihan/pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara damai.
Perdamaian harus menjadi fundamen dalam menyelesaikan sengketa. Al-Qur‟an
sendiri menyatakan bahwa perdamaian itu adalah cara yang terbaik dalam
menyelesaikan sengketa “as-shulhu khair” Dalam kaidah fiqh juga dinyatakan
bahwa as-shulhu sayyid al-ahkam, perdamaian itu adalah hakim yang utama, atau
dalam bahasa hukum konvensional dikenal istilah premium remedium. Dalam
perjanjian perdamaian paling tidak ada tiga rukun yang harus dilakukan oleh orang
melakukan perdamaian, yakni ijab, qabul dan lafazd dari perjanjian damai tersebut.
Jika ketiga hal ini sudah terpenuhi, maka perjanjian itu telah berlangsung
sebagaimana yang diharapkan. Dari perjanjian damai itu lahir suatu ikatan hukum,
yang masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya. Perlu diketahui
bahwa perjanjian damai yang sudah disepakati itu tidak bisa dibatalkan secara

37
Thalis Noor Cahyadi, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah”, Jurnal Ekonomi
Syariah Indonesia, Vol. I, No.2 Desember 2011 Hlm. 18.

22
sepihak. Jika ada pihak yang tidak menyetujui isi perjanjian itu, maka pembatalan
perjanjian itu harus atas persetujuan kedua belah pihak.

c. Tahkim (Arbitrase)

Dalam perspektif Islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan istilah “tahkim”.


Tahkim sendiri berasal dari kata “hakkama”. Secara etimologi, tahkim berarti
menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Secara umum, tahkim
memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni
pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau
lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, orang yang
menyelesaikan disebut dengan “Hakam”.

Menurut Abu al Ainain Fatah Muhammad sebagaimana dikutip Abdul Manan


pengertian tahkim menurut istilah fiqih adalah sebagai bersandarnya dua (2) orang
yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk
menyelesaikan pertikaian para pihak yang bersengketa. Sedangkan menurut Said
Agil Husein al Munawar, pengertian “tahkim” menurut kelompok ahli hukum Islam
mazhab Hanafiyah adalah memisahkan persengketaan atau menetapkan hukum
diantara manusia dengan ucapan yang mengikat kedua belah pihak yang bersumber
dari pihak yang mempunyai kekuasaan secara umum. Sedangkan pengertian
“tahkim” menurut ahli hukum dari kelompok Syafi‟iyah yaitu memisahkan
pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah atau
menyatakan dan menetapkan hukum syarat terhadap suatu peristiwa yang wajib
dilaksanakannya. Lembaga arbitrase telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada saat
itu meskipun belum terdapat sistem Peradilan Islam yang terorganisir, setiap ada
persengketaan mengenai hak milik, hak waris dan hak-hak lainnya seringkali
diselesaikan melalui juru damai (wasit) yang ditunjuk oleh mereka yang bersengketa.

d. Hisbah

Pada konteks ini, hisbah merupakan lembaga yang dibentuk baik oleh Negara
maupun oleh non-negara (swasta, masyarakat) untuk memberikan pengawasan
terhadap kegiatan ekonomi dan bisnis termasuk dalam hal menyelesaikan sengketa

23
bisnis. Model penyelesaian dalam forum ini dalam sejarahnya lebih menekankan
pada sengketa-sengketa antara konsumen dan produsen meskipun tidak menutup
kemungkinan terhadap perkara lain. Pada konteks berikutnya lembaga hisbah ini
kemudian dikembangkan tidak saja menjadi lembaga pengawas ekonomi dan bisnis
tetapi juga menjadi lembaga pengawas kebijakan publik, yang mengawasi kerja dan
kinerja para pejabat publik, yang kemudian dikenal sebagai ombudsman.

e. Qadha (Peradilan/ Litigation)

Menurut arti bahasa, al Qadha berarti memutuskan atau menetapkan. Menurut


istilah berarti “menetapkan hukum syara‟ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk
menyelesaikannya secara adil dan mengikat”. Adapun kewenangan yang dimiliki
oleh lembaga ini adalah menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang berhubungan
dengan masalah al ahwal asy syakhsiyah (masalah keperdataan, termasuk
didalamnya hukum keluarga), dan masalah jinayat (yakni hal-hal yang menyangkut
pidana). Orang yang diberi wewenang menyelesaikan perkara di Pengadilan disebut
dengan qadhi (hakim).

Masing-masing pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketa di peradilan.


Sejumlah pihak berkedudukan sebagai penggugat/pemohon, Sentara pihak atau
pihak-pihak lainnya berkedudukan sebagai tergugat/termohon. Para penegak hukum
terutama hakim, menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan
kepadanya.

5. Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah

Sebuah konflik terjadi apabila dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan
kepentingan berkembang menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan
telah menyatakan rasa tidak pas atau keprihatinanya, baik secara langsung kepada pihak
yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain. 38 Penyelesaian

38
Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi, " Sengketa dan Penyelesainnya" Bulletin
Musyawarah Nomor 1 tahun 1. Jakarta: Indonesia Centre for Environmental Law 1997. hlm. 1.

24
sengketa dapat dilakukan melalui dua proses, yaitu penyelesaian sengketa di dalam
pengadilan dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan.

Bentuk-bentuk Pilihan sengketa diluar Pengadilan dapat dibagi menjadi dua, yaitu
arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa. 39

A. Arbitrase

M.N.Purwosutjipto mengartikan perwasitan sebagai suatu peradilan perdamaian,


dimana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat
mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa, dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang
ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.

Dengan demikian,perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan secara


tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa atau perselisihan
perdata kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Dengan adanya kesepakatan
tertulis tadi, berarti meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa
ke Pengadilan Negeri. Selanjutnya Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut
campur tangan dalam menyelesaikan sengketa yang sudah ditetapkan melalui arbitrase.

Kekuatan penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah:

1. Cepat dan hemat biaya. Arbitase lebih murah dari litigasi, sebab tidak ada kerungkinan
kasasi terhadap putusan arbitase.
2. Pilihan arbiter. Kebebasan untuk memilih arbiter, kecuali untuk hal-hal yang berkaitan
dengan pajak atau kepailitan.
3. Kerahasian. Di dalam arbitrase, proses acaranya dilakukan secara tertutup, tidak
terbuka untuk umum, sehingga para pihak dapat merasa aman bahwa penyelesaian
sengketa mereka tidak akan diketahui oleh publik.
4. Bersifat non preseden. Pada system hukum yang prinsip preseden mempunyai
pengaruh penting dalam pengambilan ke- putusan, maka keputusan arbitrase
umumnya tidak memiliki nilai atau sifat preseden.
39
Bank dan Asuransi Islam di Indonesia Diterbitkan oleh Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.

25
5. Kepekaan arbiter. Kepekaan arbiter terhadap perangkat aturan yang akan diterapkan
oleh arbiter pada perkara-perkara yang ditanganinya.
6. Kepercayaan dan keamanan. Secara relative memberikan rasa aman terhadap keadaan
tidak menentu atau ketidakpastian sehubung dengan system hukum yang berbeda.
B. Alternatif Penyelesaian Sengketa APS (ADR)
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS
dikemukakan bahwa negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan
masalah sengketa bisnisnya di luar Pengadilan, baik melalui konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi atau penilaian para ahli. 40
1. Konsultasi

Menurut Black's law Dictionary, konsultasi adalah aktivitas konsultasi tau


perundingan seperti klien dengan penasihat hukumnya. Selain itu konsultasi juga
dipahami sebagai pertimbangan orang- orang (pihak) terhadap suatu masalah. Konsultasi
sebagai pranata alternative penyelesaian sengketa dalam praktinya dapat membentuk
nyawa konsultan untuk dimintai pendapatnya dalam upaya penyelesaian suatu masalah.41

2. Negoisasi

Menurut Goodpaster adalah suatu proses untuk mencapai kesepakatan dengan pihak
lain,sedangkan menurut Fisher dan Ury, negoisasi merupakan komunikasi dua arah yang
dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki
kepentingan yang sama maupun berbeda, tapa keterlibatan pihak ketiga penengah,baik
pihak ketiga yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediator) atau pihak ketiga
yang berwenang mengambil keputusan(ajudikator).42

40
Thalis Noor Cahyadi, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah”, Jurnal Ekonomi
Syariah Indonesia, Vol. I, No.2 Desember 2011 Hlm. 24.
41
Pasal 60 Undang-Undang No.30 tahun 1 999 tentang.Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah, (Bandung: al Ma'arif, 1996), Hlm. 189.
42
Burhanuddin Susanto. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. (Yogyakarta: Ull
Press. 2008).

26
3. Mediasi

Menurut Black's Law Dictionary, adalah Private, informal dispute resolution process
in which neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement.
the mediator has no power to impose a decision on the parties.

Tidak seperti arbiter atau hakim, seorang mediator tidak membuat keputusan
mengenai sengketa yang terjadi, tapi hanya membantu para pihak untuk mencapai tujuan
mereka dan menemukan pemecahan masalah. Mediasi menawarkan win-win solution
tidak seperti arbitrase dan litigasi, ada yang menang dan ada yang kalah.43

Mediasi memiliki beberapa kekuatan, antara lain:

a. Control dipegang oleh para pihak.


b. Efisien.
c. Komunikasi yang lebih efektif.
d. Fleksibel.
e. Pribadi dan rahasia.
f. Dasar bagi penyelesaian sengketa.
4. Konsiliasi

Black‟s Law Dictionary menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan konsiliasi adalah
penciptaan penyesuaian pendapat dan penyelesaian suatu sengketa dengan suasana
persahabatan dan tanpa ada rasa permusuhan yang dilakukan di pengadilan sebelum
dimulainya persidangan dengan maksud untuk menghindari proses legitasi. Dari definisi
tersebut dapat dipahami bahwa pada dasarnya konsiliasi adalah bentuk ADR yang dapat
dilakukan dalam proses non ADR, yaitu litigasi dan arbitrase. Dengan kata lain yang
dimaksud dengan ADR berbentuk Konsiliasi merupakan institusi perdamaian yang bisa
muncul dalam proses pengadilan dan sekaligus menjadi tugas hakim untuk
menawarkannya sebagaimana disebutkan dalam pasal 1851 KUH Perdata. Konsiliasi
mempunyai kekuatan hukum mengikat sama dalam konsultasi dan negosiasi, yakni 30

43
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2010

27
hari terhitung setelah penandatangannya dan dilaksanakan dalam waktu 30 hari terhitung
sejak pendaftarannya. (Vide pasal 6 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999)44.

5. Penilaian Ahli

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990 adalah pendapat (penilaian) ahli. Dalam


rumusan pasal 52 UndangUndang ini dinyatakan bahwa para pihak dalam suatu
perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas
hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan
pelaksanaan dari tugas lembaga arbitrase sebagaimana tersebut dalam pasal 1 ayat 8
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi lembaga arbitrase adalah badan
yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat
mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

C. Penyelesaian sengketa pada bank syariah

Penyelesaian sengketa antara nasabah dan perbankan syariah diatur dalam Peraturan
Bank Indoneia nomor 9/19/PB/2007 pada pasal 4.45 Menyatakan bahwa penyelesaian
sengketa antara bank dan nasabah dapat dilakukan melalui musyawarah, kemudian jika
tidak dapat terpenuhi maka diselesaikan melalui mediasi. Terakhir, jika melalui mediasi
juga belum selesai maka diselesaikan melalui arbitrase syariah atau melalui lembaga
peradilan bedasarkan peraturan perundang-undang yang berlaku. Sekarang akan dibahas
cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase, pengadilan agama dan pengadilan umum.

 Penyelesaian Sengketa dalam Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Lain

Yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah atau arbitrase
dijelaskan lebih lanjut lagi dalam Pasal 6 UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif penyelesaian Sengketa. Pengertian arbitrase dalam Prespektif Islam dapat
44
Thalis Noor Cahyadi, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah”, Jurnal Ekonomi
Syariah Indonesia, Vol. I, No.2 Desember 2011 Hlm. 25.
45
Zubairi Hasan, Undang Undang Perbankan Syariah, Titik Temu Hukum Islam dan
Hukum Nasional, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta), Hlm. 225

28
disepadankan dengan istilah tahkim.Tahkim berasal dari kata hakkama, secara etimologis
berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian tersebut erat
kaitannya dengan pengertian menurut terminologisnya. 46

Gagasan berdirinya lembaga Arbitrase Islam Di Indonesia diawali dengan


berternunya para pakar, cendekiawan muslim, praktisi hukum para kyai dan ulama untuk
bertukar pikiran tentang perlunya Lembaga Arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuaan ini
dimotori oleh Dewan Pimpinan MUI pada tanggal 22 April 1992. Setelah mengadakan
beberapa kali rapat dan setelah diadakan beberapa kali penyempurnaan terhadap
rancangan struktur organisasi dan prosedur beracara berakhirnya pada tanggal 23 Oktober
1993 telah diresmikan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). 47 Sekarang sudah
mengganti nama menjadi Badan Arbitrase Syari‟ah Nasional (Basyarnas) yang
diputuskan dalam Rekernas MUl tahun 2002.

Dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan


kehakiman pasal 3 ayat (I) dijelaskan tentang kedudukan Basyarnas bahwa "Penyelesaian
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap
diperbolehkan,akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial
setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi dari pengadilan".48 Dari penjelasan
tersebut maka keududukan dari basyarnas atau badan arbitrase nasional berada dibawah
peradilan agama, tanpa adanya izin guna mengesahkan putusan dari basyaras, maka
penyelesaan sengketa belum dianggap selesai.

Selain kedudukan,Basyarnas juga memiliki kewenangan sebagai lembaga permanen


yang didirikan oleh MUI yaitu menyelesaiakan kemungkinan terjadinya sengketa
muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, dan jasa.
Disamping itu badan ini dapat memberikan sesuatu rekomendasi atau pendapat hukum,

46
A.Rahmat Rosyadi, Arbitrase dalam prespektif Islam dan Hukum Positif;, (Bandung:
Citra Aditya Bakti), 2002, Hlm. 43.
47
NJ. Coulson, a History of Islamic Law, (Edinburg; University Press), 1991, Hlm. 10.
48
Warkum Sumitro, Asas-asas perhankan Islam & Lembaga-lembaga terkait (BAMUI,
dan Pasar Modal Svari'ah di Indonesia), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, Hlm.167.

29
yaitu pendapat yang mengikat tanpa adanya sesuatu persoalan tertentu yang berkenaan
dengan pelaksanaan perjanjian.

Beralih dari penyelesaian sengketa dalam arbitrase. Dalam penyelesaian sengketa ada
alternative lain penyelesaian sengketa. Dalam hal ini, penyelesaian sengketa
diseslesaikan dengan dibantu seorang mediator Pelaksanaannya pun diatur dalam pasal 6
UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa yang
menjelaskan tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Sengketa atau beda pendapat
dalam bidang Perdata Islam dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternative
penyelesaian sengketa yang didasarkan pada iktikad dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi.

Secara terminology, cara alternative ini dikenal dengan Ash-shulhu, yang berarti
memutuskan pertengkaran dan perselisihan. Dalam pengertian syariat Ash-shulhu adalah
suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengahiri perlawanan (sengketa) antara dua orang
yang bersengketa. 49

Apabila sengketa tersebut tidak diselesaikan,maka berdasarkan kesepakatan tertulis


para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau
lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Apabila para pihak tersebut
dalam waktu 14 hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator tidak berhasil juga mencapai kata sepakat atau mediator tidak berhasil
mempertemukan kedua belah pihak,maka para pihak dapat menghubungi Lembaga
Alternative penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.

Setelah penunjuk mediator oleh lembaga Alternative penyelesaian sengketa, dalam


waktu paling lama 7 hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai. Usaha penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui mediator tersebut dengan memegang teguh
kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk
tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang terkait. Kesepakatan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para
49
Sayyid Sabiq, Figih Sunnah ( Terjemah jilid 1 3), Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1997,
Hlm. 189.

30
pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan dipengadilan dalam
waktu 30 hari sejak penandatanganan.

Kecenderungan mengenai pemilihan alternative penyelesaian lain dalam


menyelesaikan sengketa dikarenakan beberapa alasan, sebagai berikut: 50

a. Kurang percayanya pada sistim pengadilan dan pada saat yang sama kurang
dipahaminya keuntungan atau kelebihan sistem arbitrase dibanding pengadilan.
b. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga Arbitrase mulai menurun disebabkan
banyaknya klausul-klausul arbitrase yang tidak berdiri sendiri, melainkan mengikuti
klausul kemungkinan pengajuan sengketa ke pengadilan jika putusan arbitrasenya
tidak berhasil diselesaikan.
 Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga


peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. Hakim harus
memperhatikan rujukan yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani kasus
tersebut sebagai bahan pertimbangan dan untuk menghindari lamanya proses
penyelesaian. 51

Dengan diamandemennya Undang-undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan


Agama oleh UU No.3 Tahun 2006 tentang perubahan UU No 7 tahun 1989 tentang
peradilan Agama, maka perdebatan mengenai siapa yang berwenang untuk
menyelesaikan sengketa perbankan syari'ah sudah terjawab.

Adapun sengketa dibidang ekonomi syari'ah yang menjadi kewenangan pengadilan


Agama adalah. 52

50
Sugiri Permana. Makalah ; Sengketa Perbankan Syariah, Hlm. 1.
51
M.N. Purwasujipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Buku Kedelapan:
Penyelesaian Sengketa pada Lembaga Ekonomi Syariah.
52
Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syari 'ah, Makalah
diklat Calon Hakim Angkatan ke-2 di Banten, 2007, Hlm. 8.

31
a. Sengketa dibidang Ekonomi Syari'ah antara Lembaga keuangan dan lembaga
pembiayaan syari‟ah dengan nasabahnya.
b. Sengketa di bidang Ekonomi syari‟ah antara sesama lembaga keuangan dan lembaga
pembiayaan syari‟ah.
c. Sengketa dibidang Ekonomi syari'ah antara orang-orang yang beragama islam yang
mana akad perjanjiannya disebut dengan jelas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan
adalah berdasarkan prinsip-prinsip syari'ah.

Selain dalam hal diatas,pasal 49 UU No 3 tahun 2006 juga mengatur tentang


kompetensi absolute (kewewenangan mutlak) peradilan agama. Oleh karena itu, pihak-
pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip-prinsip syari‟ah53 tidak dapat
melakukan pilihan hukum untuk diadili dipengadilan yang lain. Dalam pasal tersebut yang
berbunyi;

"Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan


menyelesaiakan perkara di tingkat pertama antara orang- orang yang beragama islam di
bidang:

o Perkawinan
o Waris
o Wasiat
o Hibah
o Wakaf
o Zakat
o Infak
o Sedekah dan
o Ekonomi syariah”

Penjelasan pasal 49 huruf i adalah yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain
meliputi:

53
Susanto, Burhanuddin. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: UI.2008

32
o bank syariah
o lembaga keuangan mikro syariah
o asuransi syariah
o rea54suransi syariah
o reksadana syariah
o obligasi syariah
o sekuritas syariah
o pembiayaan syariah
o pegadaian syariah dana pension lembaga keuangan syariah
o bisnis syariah.
 Prosedur Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama.
1. Penyelesaian Melalui Proses Persidangan (Litigasi)

Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan kepadanya,


hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk
mengetahui substansinya serta ikhwal yang senantiasa ada menyertai substansi perkara
tersebut.55

Hal ini perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya pemeriksaan perkara tersebut
dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim harus sudah mempunyai resume
tentang perkara yang ditanganinya sebelum dimulainya proses pemeriksaan
dipersidangan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hal memeriksa perkara ekonomi
syariah khususnya perkara perbankan syariah ada beberapa hal penting yang harus
dilakukan terlebih dahulu antara lain yaitu:

a. Pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang


mengandung klausula arbitrase. Pentingnya memastikan terlebih dahulu
apakah perkara tersebut termasuk sengketa perjanjian yang mengandung

54
Zubairi Hasan, Undang-undang Perbankan Svariah, Titik Temu Hokum Islam dan
Hukum Nasional, (PT raja Grafindo persada, Jakarta), Hlm. 226.
55
Maftukhatusolikhah dan Rusyid, Riba dan Penvelesaian Sengketa Dalam Perbankan
Syariah, Yogyakarta : Politea Press, 2008.

33
klausula arbitrase atau bukan, tidak lain dimaksudkan agar jangan sampai
pengadilan agama yang memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata di
luar jangkauan kewenangan absolutnya. Sementara pemeriksaan terhadap
perkara tersebut sudah berjalan sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus.
Kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak menjangkau sengketa
atau perkara perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase. Oleh
karena itu, hal ini sangat penting untuk diperhatikan dan dipastikan terlebih
dahulu sebelum proses pemeriksaan perkara tersebut berjalan lebih jauh.
Bahkan seharusnya hal ini dilakukan sebelum mengupayakan perdamaian bagi
para pihak. Jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang
mengandung klausula arbitrase, maka tidak perlu lagi hakim melanjutkannya
dengan mengupayakan perdamaian karena jelas perkara tersebut tidak
termasuk wewenang absolute lingkungan peradilan agama. Termasuk dalam
hal mengupayakan perdamaiannya, pengadilan agama tidak berwenang.
Perkara yang mengandung klausula arbitrase adalah jika dalam perjanjian
tersebut terdapat klausula yang pada prinsipnya menyatakan bahwa apabila
terjadi perselisihan atau sengketa (disputes) di antara mereka mengenai
perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara melalui suatu badan
arbitrase yang telah mereka tentukan, berarti perjanjian tersebut jelas
mengandung apa yang dinamakan dengan klausula arbitrase. 56

Adapun sikap yang tepat bagi pengadilan agama, jika perkara tersebut merupakan
sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase sebelum memeriksanya lebih
jauh adalah menjatuhkan putusan negative berupa pernyataan hukum yang menyatakan
bahwa pengadilan agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.

b. Pelajari secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerjasama antar para
pihak Setelah dipastikan bahwa perkara perbankan syariah yang ditangani
tersebut bukan merupakan perkara perjanjian yang mengandung klausula

56
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1999.

34
arbitrase, lalu dilanjutkan dengan upaya perdamaian bagi para pihak.57
Selanjutnya apabila upaya damai ternyata tidak berhasil, hal penting lainnya
yang harus dilakukan adalah mempelajari lebih jauh perjanjian atau akad yang
mendasari kerjasama para pihak yang menjadi sengketa tersebut. Adapun
hukum perjanjian yang dapat dijadikan acuan dalam hal ini, baik yang diatur
dalam KUHPerdata dari Pasal 1233 sampai Pasal 1864 yang disebut dengan
perjanjian nominaat maupun hukum perjanjian yang tidak diatur dalam KUH-
Perdata,seperti kontrak production sharing, kontrak join venture,kontrak
karya, leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim dan lain-lain yang disebut
dengan perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup,
dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat. 58

Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut dalam penerapannya tentu saja harus


relevan dengan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam islam baik yang diatur
dalam Al-Quran, As-Sunnah atau pendapat ulama dibidang tersebut. Dengan perkataan
lain dalam hal ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut ternyata dalam penerapannya
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum islam, maka hakim harus
mengutamakan ketentuan-ketentuan hukum islam.

2. Prinsip utama dalam menangani perkara perbankan syariah

Adapun prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam
menangani perkara perbankan syariah khususnya dan bidang perkara ekonomi syariah
pada umumnya, bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak
boleh bertentangan dengan prinsip syariah.59 Hal ini jelas merupakan prinsip fundamental
dalam menangani dan menyelesaikan perkara perbankan syariah di pengadilan agama
karena perbankan syariah seperti ditegaskan Pasal 1 ayat (7) jo. UU No.21 Tahun 2008

57
Maftukhatusolikhah dan Rusyid, Riba dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan
Syariah, Yogyakarta : Politea Press, 2008.
58
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1999.
59
Anshori, Abdul Gofur. Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta : Gajah Mada
University Press, 2009.

35
dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak lain berdasarkan prinsip syariah. Oleh
karena itu, jika terjadi sengketa berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut jelas tidak
mungkin diselesaikan dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan prinsp syariah.

Hal ini penting diingatkan dan dipahami karena seperti diketahui hukum formil, dan
bahkan mungkin sebagian hukum materil,dalam hal ini seperti HIR/R.Bg, RV dan
KUHPerdata, yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah di
lingkungan peradilan agama, pada awalnya memang bukan dibuat dengan tujuan untuk
menegakkan dan melindungi hukum materil islam. 60

Oleh karena itu, meskipun ketentuan-ketentuan hukum tersebut secara umum tidak
banyak yang bertentangan dengan hukum islam, tetapi tidak mustahil mash ada bagian-
bagian dari ketentuan- ketentuan tersebut yang apabila diterapkan apa adanya justru akan
bertentangan atau dianggap tidak relevan dengan prinsip syariah yang menjadi dasar
perbankan syariah dalam menjalankan segala aktivitasnya sehingga hal itu menimbulkan
persoalan baru.

 Konteks Peradilan Umum dalam Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah


Undang Undang Dasar 1945 dan Undang Undang Kekuasaan Kehakiman secara
tegas telah menyebutkan bahwa pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
merupakan bagian dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Namun dalam kontek
penyelesaian sengketa perbankan syariah, Peradilan Umum diposisikan sejajar bersama-
sama alternative penyelesaian sengketa non-ligitasi lainnya. Hal ini terkesan unik karena
sebuah badan ligitasi ditempatkan pada posisi non-ligitasi.
Sebaliknya akan lebih rancu lagi jika pengadilan dalam lingkungan Preradilan
Umum pada penyelesaian sengketa perbankan syariah tetap diposisikan sebagai salah
satu forum ligitasi. Ini karena sengketa perbankan syariah juga telah diamanatkan sebagai
bagian dari kompetensi lembaga ligitasi lain, dalam hal ini Peradilan Agama. Maka
apabila Peradilan Umum juga berperan serta sebagai penyelesaian sengketa secara
ligitasi, maka hal tersebut akan bertentangan dengan asas kepastian hukum sebab tidak

60
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1999.

36
mungkin satu kompetensi yang sama dijalankan oleh dua lembaga ligitasi yang berbeda.
Dapat dikatakan hal ini menjadi dualisme wewenang peradilan.
Oleh sebab itu, lebih tepat jika pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
diposisikan sebagai salah satu pilihan forum non ligitasi penyelesaian sengketa perbankan
syariah. tetapi dalam prakteknya, sejak disahkan Undang Undang nomor 3 tahun 2006
tentang Pengadilan Agama tidak ada perkara perbankan syariah yang diajukan di
Peradilan Umum.
Tetapi pada sisi lain pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum memegang
peranan tunggal untuk mengeksekusi putusan arbitrase syariah. berdasarkan Pasal 59
Undang Undang nomer 48 tahun 2009 dan Penjelasannya dijelaskan bahwa hal putusan
arbitrase syariah tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak, maka eksekusi
putusan dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Umum. Pasal ini
mereduksi sebagian kompetensi Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa
perbankan syariah karena eksekusi putusan arbitrase syariah pada dasarnya merupakan
bagian dari penyelesaian sengketa perbankan syariah. 61

61
Murtadho Ridwan, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Indonesia”, Jurnal
Hukum Perbankan Syariah, Vol. 1, 2017, Hlm. 54-55.

37
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam kamus bahasa Indonesia kata "dewan" adalah badan yang terdiri beberapa orang
yang pekerjaanya memutuskan sesuatu dengan jalan berunding, pengawas berasal dari kata
awas yang berarti pengawas. Sedangkan "syariah" adalah segala titah Allah yang berhu-
bungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak. Syariah juga bisa
diartikan sebagai nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah.

Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk MUI untuk menangani masalah-
masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah. Visi Dewan Syariah
Nasional adalah Memasyarakatkan Ekonomi Syariah dan mensyariatkan Ekonomi
Masyarakat. Dan Misinya adalah menumbuhkembangkan ekonomi syariah dan Lembaga
Keuangan/Bisnis pariah untuk kesejahteraan umat dan bangsa.

Dewan Syariah Nasional bertugas:

1. Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian


pada umumnya dan keuangan pada khususnya.
2. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.
3. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
4. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.

Dewan Syariah Nasional berwenang:

1. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di masing-masing


lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait.
2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank
Indonesia.
3. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan
duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah.

38
4. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam
pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan da- lam
maupun luar negeri.
5. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan
penyimpangan dari fatwa yang telah di- keluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
6. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila
peringatan tidak diindahkan.

Mekanisme kerja yang disusun dalam keputusan MUI tentang Susunan Pengurus DSN,
pada dasarnya merupakan kelanjutan dari tugas dan kewenangan DSN yang sudah peneliti
jelaskan sebelumnya. Dalam mekanisme kerja DSN terdapat tiga unsur yang harus
diperhatikan, yaitu: DSN, Badan Pelaksana Harian DSN, dan Dewan Pengawas Syariah
(DPS). Dewan pengawas syariah adalah lembaga independen atau hakim khusus dalam figh
muamalat (Fiqh Al-Muamalat). Namun DPS bisa juga anggota di luar ahli fiQh tetapi ahli
juga dalam bidang lembaga keuangan Islam dan figh muamalat. Dewan pengawas syariah
lembaga yang berkewajiban mengarahkan, meriview, dan mengawasi aktivitas lembaga
keuangan agar dapat diyakinkan bahwa mereka mematuhi aturan dan prinsip syariah Islam.

DSN-MUI juga telah membuat pedoman untuk menetapkan sebuah fatwa sebagaimana
telah ditetapkan dalam Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga tersebut di atas, yaitu
sebagai berikut:
1. Badan Pelaksana Harian menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai suatu
produk lembaga keuangan syariah. Usulan ataupun pertanyaan ditujukan kepada
sekretariat Badan Pelaksana Harian.
2. Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah
menerima usulan/pertanyaan harus menyam- paikan permasalahan kepada Ketua.
3. Ketua Badan Pelaksana Harian bersama anggota dan staf ahli selambat-lambatnya
20 hari kerja harus membuat memorandum khusus yang berisi telaah dan
pembahasan terhadap suatu pertanyaan/usulan.
4. Ketua Badan Pelaksana Harian selanjutnya membawa hasil pembahasan ke dalam
Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional untuk mendapat pengesahan.
5. Fatwa atau memorandum Dewan Syariah Nasional ditandatangani oleh Ketua dan

39
Sekretaris Dewan Syariah Nasional.

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan dua proses, yaitu penyelesaian sengketa
di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Proses penyelesaian tertua adalah melalui proses
litigasi di dalam pengadilan. Pengadilan dijadikan the first and last resort dalam penyelesaian
sengketa. Setiap penyelesaian sengketa yang timbul di dalam masyarakat diselesaikan melalui
pengadilan, karena dianggap bisa memberikan keputusan yang adil namun ternyata belum
memuaskan banyak pihak, terutama pihak-pihak yang bersengketa, karena hanya
menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversial yang belum mampu merangkul
kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya,
membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan di antara
pihak yang bersengketa, serta banyak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Hal tersebut
meresahkan masyarakat dan dunia bisnis, sebab jika mengandalkan pengadilan sebagai satu-
satunya penyelesaian sengketa, tentu dapat mengganggu kinerja pebisnis dalam menggerakan
kinerja bisnis dalam menggerakan perekonomian, serta memerlukan biaya yang relatif besar.
Untuk itu dibutuhkan instrument yang lebih efesien dan efektif dalam menyelesaikan
sengketa bisnis.
B. Saran

Penulis menyadari bahwa pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih baik dalam menjelaskan suatu pembahasan dengan sumber – sumber yang
lebih banyak lagi, semoga apa yang penulis bahas dalam makalah ini dapat memberikan
wawasan yang mendalam terhadap para pembaca. Penulis mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dari para pembaca untuk penulisan makalah agar lebih baik lagi.

40
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Z. (2010). Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.

Anshori, A. G. (2007). Perbankan Syariah di Indonesia . Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Cahyadi, T. N. (2011). Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. Ekonomi Syariah Indonesia.

Coulson, N. (1991). A History Of islamic Law. Edinburg: University Press.

Dasrol. (2020). Hukum Perbankan Syariah. Pekanbaru: Taman Karya.

Gofur, A. A. (2009). Perbankan Syariah Di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University


Press.

Harisman. (2002). Pengawasan dan Audit Syariah Pada Bank Syariah: Konsep, Aplikasi dan
Kebijakan. Seminar Legal Audit Syariah.

Hasan, Z. (2010). Undang-Undang Perbankan Syariah (Titik Temu Hukum Islam dan Hukum
Nasional). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Hidayah, N. (2020). Fatwa - Fatwa Dewan Syariah Nasional Kajian Terhadap Aspek Hukum
Islam Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Penerbitan
(Puslitpen).

Mujahidin, A. (2016). Hukum Perbankan Syariah. Depok: PT RajaGrafindo Persada.

Putra, N. d. (2017). Kegiatan Usaha Bank Syariah . Yogyakarta: Kalimedia.

Putra, N. d. (2018). Kegiatan Usaha Bank Syariah. Yogyakarta Kalimedia.

Putri, A. R. (2019). Kewenangan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. Jurnal


Yudisial.

Rasyid, M. d. (2008). Riba dan Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah. Yogyakarta:
Politea Press.

41
Ridwan, M. (2017). Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Indonesia. Hukum Perbankan
Syariah.

Rosyadi, A. R. (2002). Arbitrase dalam Prespektif Islam dan Hukum Positif. Bandung: Citra
Aditya.

Sabiq, S. (1997). Fiqh Sunnah Terjemah Jilid 1. Bandung: PT. Al-Ma'arif.

Sudikno, M. (1999). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Susanto, B. (2008). Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

Susanto, B. (2008). Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

Uar, E. D. (n.d.). Legalisasi Dewan Syariah Nasional dan Komite Perbankan Syariah dalam
Pandangan Fiqh Ekonomi Perbankan. Hukum Perbankan Syariah.

Umam, K. (2012). Legislasi Fikih Ekonomi Perbankan: Sinkronisasi Peran Dewan Syariah
Nasional dan Komite Perbankan Syariah. Hukum Perbankan Syariah.

Utomo, S. B. (2010). Peran DSN & DPS dalam Perbankan Syariah. Jakarta: Direktorat
Perbankan Syariah Bank Indonesia.

42

Anda mungkin juga menyukai