Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH PERBANKAN SYARIAH

“KEDUDUKAN PERBANKAN SYARIAH DALAM PERUNDANG-UNDANGAN


BANK DI INDONESIA’’

Disusun guna memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Perbankan Syariah

Dosen Pengampu : IRFAN RIDHA, S.H., M.H.

Disusun Oleh :

MIFTAHUL ILMI (12020710147)

NUR FAZIRA (12020723488)

TASYA SALSABILA (12020723508)

VANESSA PUTRI (12020724180)

KELAS G

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF KASIM

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kami haturkan kepada Allah SWT dengan berkat karunia dan
hidayahnya kami masih diberikan kesehatan dan kesempatan untuk dapat menyelesaikan
makalah ini. Shalawat beserta salam tak lupa pula kami sampaikan kepada junjungan alam
Nabi Muhammad SAW, dengan mengucap ‘ allahumashalialasayidinamuhammad waallaali
sayidina muhammad ‘, semoga kita mendapatkan syafaatnya di yaumil akhir nanti. Kami
Ucapkan Terimakasih pula kepada dosen pengampu Bapak Irfan Ridha, S.H., M.H. selaku
dosen pada mata kuliah Perbankan Syariah.

Berikut ini kelompok tujuh persembahkan sebuah makalah dengan judul “ Kedudukan
Perbankan Syariah dalam Perundang-Undangan Bank Di Indosesia“. Dengan makalah ini kami
selaku penulis makalah berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan manfaat yang
besar bagi kita untuk mempelajari dan memahami segala bentuk dari berbagai perkembangan
mengenai Hukum Kewarisan.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT
memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat untuk semua pihak.

Wassalammualaikum wr. Wb

Pekanbaru,15 MEI 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... 2

DAFTAR ISI...................................................................................................................3

BAB I .............................................................................................................................. 4

PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4

A. LATAR BELAKANG ..................................................................................... 4


B. RUMUS MASALAH ......................................................................................5
C. TUJUAN .......................................................................................................... 5

BAB II............................................................................................................................ 6

PEMBAHASAN ............................................................................................................ 6

A. PERIODE UU N0.14 TAHUN 1967 ................................................................ 6


B. PERIODE DEREGULASI 1 JUNI 1983.......................................................... 7
C. PERIODE PAKTO 1988 .................................................................................. 8
D. PERIODE UU NO.7 TAHUN 1992 ............................................................... 11 .
E. PERIODE UU NO.10 TAHUN 1998 .............................................................. 16
F. PERIODE UU NO.21 TAHUN 2008 .............................................................. 21

BAB III .......................................................................................................................... 22

PENUTUP...................................................................................................................... 22

KESIMPULAN .............................................................................................................. 22

SARAN .......................................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 23

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkembangan bank Islam sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam di Indo-
nesia dapat dikatakan terlambat dibandingkan negara-negara lain yang mayo- ritas
penduduknya muslim. Namun secara yuridis formal kedudukan hukum perbankan
syari’ah adalah kuat dan sejajar dengan perbankan konvesional lainnya. Jika terjadi
permasalahan penyelesaian sengketa bank syariah menurut Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 dapat menggunakan 2 (dua) jalur yaitu litigasi dan
non litigasi. Jalur litigasi penyelesaian sengketa bank syariah menjadi kewenangan
absolut peradilan agama, sedangkan jalur non-litigasi para pihak dapat melakukan
pilihan tidak sekedar sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah tetapi dapat juga
menempuh alternatif lain sesuai dengan akad yang tekah disepakati. Pengawasan
terhadap penyelenggaraan Perbankan Syari’ah, selain dilakukan secara internal juga
dilakukan oleh lembaga pengawas independen yaitu Dewan Pengawas Syari’ah (DPS)
dan Dewan Syari’ah Nasional (DSN) yang memiliki tugas menjaga perbankan syari’ah
untuk menuju situasi yang ideal dan menjaga kaum musli- min. Selain itu sebagai wujud
partispasi publik, semua umat Islam mempunyai kewajiban untuk melakukan
pengawasan baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai wahana amar ma’ruf
nahi munkar terhadap penyelenggaraan perbankan syari’ah sebagai urat nadi
perekonomian Islam.Ketidakberdayaan sistem ekonomi kapitalis, sosialis dan berbagai
jenis sistem lainnya telah memberikan peluang bagi perkembangan ekonomi yang
bernuansa Islam. Sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang mandiri,
bukan diadopsi dari ekonomi liberal, komunis, kapitalis dan sebagainya. Sistem
ekonomi Islam sebagai keijaksanaan alternatif dalam mencari jalan keluar dari kemelut
ekonomi dewasa ini Di Indonesia, perbankan Islam dapat dikatakan terlambat
dibanding- kan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya muslim. Setelah
munculnya bank-bank syari’ah di negara-negara lain, pada awal tahun 1980 diskusi
mengenai bank syari’ah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Konkritnya pada

4
tahun 1991 dibentuk suatu Akte Pendirian PT Bank Muamalat Indonesia sebagai hasil
musyawarah nasional Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1990 yang menginginkan
adanya pendirian bank Islam di Indonesia.
Bank Syari’ah di Indonesia secara resmi yuridis diperkenalkan pada tahun 1992
sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Lahirnya undang-undang ini menandakan adanya kesepa- katan rakyat dan
bangsa Indonesia untuk menerapkan dual banking sistem atau sistem perbankan ganda
di Indonesia. Tahapan ini merupakan tahap perkenalan introduction terhadap
perbankan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tidak secara eksplisit
menyebutkan adanya apa yang disebut bank syari’ah. Hanya ada dua pasal yang dapat
dijadikan dasar yaitu Pasal 6 huruf (m) yang berkenaan dengan lingkup perbankan
umum dan Pasal 13 huruf c berkenaan dengan salah satu lingkup kegiatan Bank
Perkreditan Rakyat dengan isi yang sama menyebutkan bahwa menyediakan
pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai ketentuan yang
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Periode UU No.14 tahun 1967?
2. Apa saja tujuan dari deregulasi perbankan?
3. Apa saja isi paket kebijakan 27 oktober 1988?
4. Apa isi UU nomor 7 tahun 1992 ?
5. Tujuan dikembangkan periode UU No.10 tahun 1998
6. Upaya memberikan landasan periode UU No.21 tahun 2008

C. TUJUAN
1. Agar memahami tentang periode UU No.14 tahun 1967
2. Untuk mengetahui tujan deregulasi perbankan
3. Untuk mengetahui isi paket kebijakan 27 oktober 1988
4. Untuk mengetahui UU No.7 tahun 1992
5. Agar memahami tujuan dikembangkannya periode No.10 tahun 1998
6. Untuk mengetahui upaya landasan periode UU No.21 tahun 2008

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. KEDUDUKAN PERBANKAN SYARIAH DALAM PERUNDANG-UNDANGAN


BANK DI INDONESIA
Secara de facto Perbankan Syariah telah dikenal dalam dunia perbankan
lindomesia sejak tahun 1992, Undang-Undang Perbankan ahun 1992 secara implisit
mengenal sistem perbankan Syariah de- ngam istilah Bank Bagi Hasil. Prinsip bagi
hasil tersebut pada akhimya sangat mempengaruhi perkembangan Perbankan Syariah
ian menjadi sakah atu faktor penarik terkuat bagi sebagian besar Nasabahnya.
Secara umum Perbankan Syariah diartikan sebagai suatu sistem perbankan yang
melandaskan kegiatan Usahanya pada prinsip Syariah (hukumn-hukum Islam). Berbeda
dengan Sistem perbankan komwensional yang selama ini kita kenal dengan konsep
‘bunga’nya maka dalam Porbankan Syariah konsep bunga sama sekali tidak dikenal
Bank Syariah menawarkan sebuah konsep baru (konsep bagi basil) yang dewasa ini
dipandang jauh lebih adil bagi para pihak.
Parbankan Syariah semakin menempati posisi penting dalam sistem Perbankan
Nasional sejak diundangkannya Undang-Undang Niomor 10 tahun 1998.
Pemberlakuan Undang-Undang ini memberikan suatu harapan positif bagi sistem
Perbankan Syariah oleh karema melalui Undang-Undang ini Pemerintah telah
membuka lebar kngianam usaha parbarkan dengam berdasarkan pada prinsip Syariah.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
mendefinisikan Perbankan Syariah sebagai segala sesuatu yang menyangkut Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan,kegiatan usaha serta cara dan
proses dalam melaksana- kan kegiatan usahanya. Lebih lanjut dengan penerbitan
Undang- Undang yang bersifat lex specialis ini diharapkan Bank Syariah mampu
mewujudkan fungsinya sebagai salah satu penyokong perekonomian nasional.
Kedudukan perbankan syariah dalam berbagai periode perundang- undangan perbankan
di Indonesia, yaitu:

6
A. PERIODE UU NO. 14 TAHUN 1967
Pengaturan tentang perbankan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman
penjajahan Belanda. Untuk menertibkan praktik lembaga ne lepas uang yang banyak
terjadi waktu itu dikeluarkanlah peraturan baik dalam bentuk undnag- undang (wet)
maupun berupa surat-surat keputusan resmi dari pihak pemerintah. Di antara lembaga
keuangan yang telah berdiri sejak zaman penjajahan tersebut, yaitu De Javashe Bank
N. V, tanggal 10 Oktobber 1827 yang kemudian dikeluarkan undang-undang De
Javashe Bank Wet 1922.2 Bank inilah mudian menjadi Bank Indonesia, setelah melalui
proses nasionalisasi pada tahun 1951, dengan dikeluarkannya UU No. 24 Tahun 1951
yang mulai berlaku tanggal 6 Desember 1951.
Regulasi perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967
dengan dikeluarkannya UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Perbankan.
Undang-undang ini mengatur secara komprehensif sistem perbankan yang berlaku
pada masa itu.
Yang akan berhubungan dengan kedudukan perbankan syariah pada masa
berlakunya undang-undang ini adalah adanya pengaturan mengenai pengertian
“kredit” yang terdapat di dalamnya. Bab I, Pasal 13 huruf c menyebutkan: Kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yane dapat disamakan dengan itu
berdasarkan persetujuan meminjam antara bank dengan lain pihak dalam hal mana
pihak peminjam berkewajiban melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan jumlah bungan yang telah ditetapkan.
Dari bunyi pasal di atas tampak pengertian, bahwa dalam usaha bank yang ada
pada masa ini (perbankan konvensional) yang dalam operasinya menggunakan sistem
kredit, tidak mungkin melaksanakan kredit tanpa mengambil bunga. Hal ini
dikarenakan, konsep bunga ini melekat dalam pengertian (defenisi) kredit itu sendiri.
Sehingga, tidak dimungkinkan pula untuk didirikan sistem perbankan syariah, sebab
pemahaman kegiatan usaha bank pada masa itu haruslah dengan perangkat bunga.
Bahkan, perbankan pada masa itu ditentukan tingkat bunganya oleh pemerintah secara
seragam, agar tidak terjadi penen- tuan bunga yang sewenang-wenang oleh masing-
masing bank dan menjaga stabilitas keuangan negara.

7
B. PERIODE DEREGULASI 1 JUNI 1983
Deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1983. Pada tahun tersebut, BI
memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga.

Pemerintah berharap dengan kebijakan deregulasi perbankan maka akan


tercipta kondisi dunia perbankan yang lebih efisien dan kuat dalam menopang
perekonomian.
Kebijakan Deregulasi perbankan ini kemudian terus terjadi dengan rangkaian
kebijakan-kebijakan lainnya. Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket
Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88). Memasuki tahun 1990-an, BI
mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan
bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan
menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi
jenis bank, yaitu bank umum dan BPR. UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai
ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi
pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak
melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan
ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang
yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap
perbankan.

➢ TUJUAN DEREGULASI PERBANKAN


Berdasarkan dokumen “Sejarah Bank Indonesia: Perbankan Periode 1983-
1997”, ada beberapa sasaran atau tujuan strategis baik Pemerintah maupun BI
melakukan deregulasi perbankan, diantaranya adalah:
• Meningkatkan peran perbankan dalam pembangunan ekonomi.
• Menciptakan alat-alat moneter berdasarkan mekanisme pasar dan
menjaga.
• Kestabilan moneter dengan menggunakan alat yang diciptakannya.
• Melakukan pengendalian devisa dan mendorong ekspor nonmigas.
• Menunjang pengembangan pasar modal.
• Menunjang pengembangan usaha kecil dan koperasi.

Untuk mencapai sasaran strategis tersebut baik BI dan Pemerintah menetapkan


beberapa langkah strategis yaitu diantaranya adalah :
8
• Menstimulus perbankan sebanyak mungkin membiayai pemberian
kreditnya dengan dana simpanan masyarakat dan mengurangi
ketergantungan bank-bank pada KLBI.
• Mendorong perbankan untuk menciptakan produk-produk jasa
perbankan baru maupun meningkatkan efisiensi dalam operasi bank.
• Kredit (Macet) dan Praktek Rent-seeking

Deregulasi perbankan mendorong aturan-aturan mengenai bank menjadi lebih mudah,


baik dari sisi pembuatan bank baru atau operasional bank itu sendiri. Salah satu perubahan yang
signifikasi terjadi adalah meningkatnya kredit investasi ke sektor industri. Pada periode 1973-
1982 rata-rata kredit investasi hanya sebesar 30,1 persen. Angka ini kemudian meningkat pesat
setelah dilakukannya deregulasi perbankan. Tercatat terjadi peningkatan sebesar 177,26 persen
pada kredit investasi pada akhir tahun 1983.

Sebelum Deregulasi Sesudah Deregulasi

Pada periode 1973-1982 rata-rata kredit Terjadi peningkatan sebesar 177,26 persen
investasi sebesar 30,1 persen. 47,03 % pada kredit investasi pada akhir tahun
(1981) dan 50,4% (1982) 1983.

Kebijakan deregulasi perbankan yang memiliki tujuan mulia ini kemudian terdistorsi
akibat maraknya praktek para pemburu rente (Rent-seekers) saat itu. Sebelum menganalisis
pola rent seekingyang terjadi, penulis akan mencoba mencari definisi dan apa saja yang lazim
terjadi dalam praktek rent-seeking. Berdasarkan definisi di atas maka praktek rent-seeking itu
memiliki beberapa ciri:

i. Mencoba menerapkan praktek monopoli, khususnya sumber daya.


ii. Adanya praktek merayu atau melobby Pemerintah guna
mencari perlindungan atau mendapatkan hak guna sumber
daya.

Deregulasi perbankan yang dikeluarkan pada 1 Juni 1983 mencatat beberapa hal. Di
antaranya: memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menentukan suku bunga
deposito. Kemudian dihapusnya campur tangan Bank Indonesia terhadap penyaluran kredit.
Deregulasi ini juga yang pertama memperkenalkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat
Berharga Pasar Uang (SPBU). Aturan ini dimaksudkan untuk merangsang minat berusaha di
9
bidang perbankan Indonesia di masa mendatang Lima tahun kemudian ada Paket Kebijakan 27
Oktober 1988 (Pakto 88) yang terkenal itu.

Sejak deregulasi 1 Juni 1983, peranan perbankan (bank pemerintah) semakin menonjol
dalam mobilisasi dana dan alokasi perkreditan. Namun bank pemerintah sebagai ujung tombak
pelaksanaan kebijakan tersebut masih memiliki keterbatasan dalam melaksanakan kebijakan
tersebut, yaitu terbatasnya kemampuan bank pemerintah dalam memobilisasi dana masyarakat
hal ini jelas karena terbatasnya jumlah sumber daya manusia dan kantor-kantor bank milik
pemerintah di seluruh wilayah Indonesia. Disamping itu resesi ekonomi dan jatuhnya harga
minyak bumi kembali terjadi. Dengan terjadinya peristiwa tersebut telah memberikan dampak
kepada berkurangnya dana yang tersedia untuk melanjutkan pembangunan. Berdasarkan
keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa peran dana yang dihimpun masyarakat sangatlah
penting, apalagi disituasi perekonomian yang sedang tidak menentu. Oleh sebab itu pemerintah
juga menginginkan peranan lembaga keuangan nasional khususnya bank swasta nasional untuk
semakin aktif dalam membantu proses restrukturalisasi ekonomi nasional. Namun dalam paket
deregulasi sebelumnya ditahun 1983 pemerintah tidak melibatkan peran bank swasta. Untuk
dapat mewujudkan keinginan tersebut sekaligus untuk memenuhi kebutuhan dana
pembangunan dalam rangka Pelita V pada 27 Oktober 1988 Pemerintah Indonesia memutuskan
untuk mengeluarkan paket kebijakan deregulasi baru dalam bidang perbankan. Dalam rangka
meningkatkan penghimpunan dana yang juga harus didukung oleh ketersediaan jumlah bank
maka Paket 27 Oktober 1988 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia telah berhasil
meningkatkan jumlah bank yang ada di Indonesia secara signifikan.

Kebijakan Deregulasi yang berarti pengurangan suatu aturan atau kendala sangat
diperlukan mengingat keadaan ekonomi Indonesia yang terancam jatuh di tahun 1982 pasca
jatuhnya harga minyak bumi. Aturan yang rumit dan kaku hanya akan menghambat suatu
perkembangan dalam hal ini perkembangan ekonomi. Dengan dikeluarkannya kebijakan
deregulasi pertama yaitu dalam bidang perbankan maka Pemerintah Indonesia berusaha
menyelamatkan ekonomi Indonesia dengan kekuatan sendiri. Dana-dana yang berhasil
dihimpun berdasarkan ketentuan dalam Paket 1 Juni 1983 dan 27 Oktober 1988 berhasil
menutup kekurangan dana pembangunan sebagai akibat dari jatuhnya harga minyak. Setelah
dana yang luar biasa besar dapat dihimpun maka dikeluarkan kebijakan deregulasi lanjutan
seperti Paket 29 Januari 1990, 28 Februari 1991 dan 29 Mei 1993 (kebijakan deregulasi dalam
bidang lain) yang mengatur penyaluran dana (kredit) serta penekanan profesionalitas
perbankan. Untuk tetap menjaga perekonomian Indonesia agar tetap stabil deregulasi atau

10
perubahan, pengurangan suatu aturan tetap diperlukan dimasa-masa selanjutnya mengingat
keadaan ekonomi yang selalu dinamis.

C. PERIODE PAKTO 1988

Paket kebijaksanaan Oktober 1988 atau Pakto 88 merupakan paket


kebijakan ekonomi deregulasi perbankan pada era Orde Baru. Paket tersebut adalah
aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Hanya dengan modal
Rp 10 miliar (pada tahun 1988) siapapun dapat mendirikan bank baru. Paket
Oktober 1988 (Pakto 88) dianggap telah banyak mengubah kehidupan perbankan
nasional. Keberhasilan itu dinyatakan dalam angka-angka absolut seperti jumlah
bank, kantor cabang, jumlah dana yang dihimpun, jumlah kredit yang disalurkan,
tenaga kerja yang mampu dipekerjakan, serta volume usaha dalam bentuk aset dan
hasil-hasilnya.

Paket Ekonomi Oktober 1988 sendiri merupakan kelanjutan dari Paket


Ekonomi Juni 1983 atau Pakjun 1983. Tepatnya pada 1 Juni, pemerintahan Orde
Baru meluncurkan Paket Kebijakan Juni, yang beken dengan singkatan Pakjun 83.
Pakjun 83 ini menderegulasi aturan di bidang moneter dan perbankan. Pemerintah
membebaskan penyaluran kredit perbankan melalui pencabutan pagu suku bunga
dan kredit, termasuk kredit-kredit khusus yang dikeluarkan Bank Indonesia.

Awalnya, tak banyak yang tahu kebijakan ini karena proses keluarnya paket
ini dalam suasana rahasia dan mendesak. Perbankan tak diajak 'ngobrol' atau diskusi
oleh pemerintah sebelum membuat Pakjun 83. Akan tetapi, perbankan senang
dengan kebijakan ini karena sebelumnya pemerintah sangat membatasi penyaluran
kredit perbankan nasional. Namun, Pakjun 83 ` tidak mampu mendongkrak kinerja
kredit perbankan secara maksimal. Bank Indonesia mencatat, total penyaluran
kredit perbankan tahun 1981/1982 Rp 8,05 triliun, kemudian naik menjadi Rp 11,27
triliun pada tahun buku 1982/1983.

Merasa pergerakan ekonomi belum maksimal, pemerintahan Soeharto


melalui Gubernur BI Adrianus Mooy kemudian menelurkan beragam paket
kebijakan (lihat tabel).[3] Paket kebijakan paling fenomenal pada era Soeharto
adalah paket paket kebijakan 27 Oktober 1988 atau Pakto 88. Pakto 88 membabat

11
habis aturan yang menyulitkan pendirian bank. "Pakto angin segar bagi industri
perbankan di Tanah Air dan menjadi titik balik industri perbankan nasional," ujar
Pengamat Ekonomi dan Direktur Institute for Development Economic and Finance
(INDEF) Enny Sri Hartati.

Salah satu ketentuan fundamental (dasar) dalam Pakto 88 adalah pendirian


bank swasta nasional dipermudah. Cukup dengan modal minimum Rp 10
miliar,publik dapat mendirikan bank umum. Adapun untuk pendirian bank
perkreditan rakyat (BPR), syaratnya modal minimum sebesar Rp 50 juta.
Kemudahan juga diberikan untuk pembukaan kantor cabang baru hingga tingkat
kecamatan, untuk semua bank maupun BPR. Hasilnya, industri perbankan nasional
pun booming. Bank yang ada langsung memanfaatkan kebijakan ini untuk ekspansi
dengan membuka kantor cabang di mana-mana. Bank-bank baru pun tumbuh seperti
jamur di musim penghujan.

Bank Indonesia mencatat pada September 1988, jumlah perbankan nasional


hanya 108 bank umum yang terdiri dari enam bank pemerintah, 64 bank swasta, 27
BPD, 11 bank campuran. Total kantor bank umum pada periode itu sebanyak 1.359
unit. Tetapi setelah adanya Pakto 88, pada akhir tahun buku 1988/1999 jumlahnya
meningkat menjadi 1.525 unit. Puncak penambahan bank adalah tahun 1994, di
mana jumlah bank swasta mencapai 166 unit, bank campuran 40 unit, dan BPR
9.196 unit. Bank-bank milik pemerintah yang menguasai lebih dari 50% pasar
perbankan pun berkembang. Penghimpunan dana masyarakat dan kredit bank
pemerintah semaking meningkat.

Daftar isi Paket Kebijakan 27 Oktober 1988

o Izin pembukaan kantor cabang atau pendirian BPR dipermudah


dengan persyaratan modal ringan.
o BI mengizinkan patungan antar bank asing dengan bank swasta
nasional (joint venture) dengan komposisi kepemilikan asing
maksimal 85% dan minimum 15% bank nasional. Modal minimum
bank campuran sebesar Rp 50 miliar.
o Penurunan giro wajib minimum (GWM) dari 15% hutang lancar
menjadi 2% dari total dana pihak ketiga (DPK).

12
o Bank boleh melakukan diferensiasi produk dalam bentuk tabungan
dan deposito, sebelumnya hanya ada Tabanas dan Taska.
o Kemudahan bagi bank swasta mendapatkan izin perdagangan valuta
asing.

Salah satu tujuan adanya Pakto 88 (menurut pemerintah) antara lain


mengurangi modal investasi lari ke luar negeri sehingga pemerintah memberikan
kelonggaran pada swasta untuk membuka bank. Hanya dengan modal Rp 10 miliar
sebuah bank sudah bisa didirikan. Walau batas modal pendirian itu belakangan
diketatkan menjadi Rp 50 miliar dan kemudian Rp 150 miliar, jumlah bank-bank
swasta di Indonesia kontan saja melonjak pesat. Jika sebelum Pakto ada 65 bank
yang beroperasi, setelah Pakto 88 jumlah bank-bank swasta sudah melebihi angka
200 (belum termasuk bank perkreditan rakyat di pelosok yang jumlahnya ratusan).

Selain itu, Pakto 88 juga memiliki tujuan menggerakkan ekonomi non


migas. "Saat itu pemerintah memang ingin menggenjot perekonomian melalui
sektor perbankan, karena sumber ekonomi utama saat itu, yakni industri migas
melemah," menurut Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Doddy
Ariefianto.[2] Dari tahun 1970-an, hingga awal 1980-an, Indonesia sedang jaya-
jayanya karena industri migas. Harga minyak yang tinggi menjadikan penerimaan
negara surplus. Akan tetapi, setelah harga minyak melemah, pemerintah harus
mencari sumber perekonomian yang lain, salah satunya perbankan.

Kebijakan 88 memang berdampak positif bagi perbankan Indonesia, yang


pada periode sebelumnya susah berkembang."Selain untuk memoderenkan
perbankan nasional, Pakto 88 juga berhasil mendorong perekonomian nasional," 1

D. Periode UU No. 7 Tahun 1992

UU 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan diterbitkan dalam rangka


mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, kesinambungan dan peningkatan pelaksanaan
pembangunan nasional yang berasaskan kekeluargaan, perlu senantiasa dipelihara
dengan baik. Guna mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan pembangunan

1"Bank Dikuasai Asing, Pemerintah Harus Belajar dari Krisis 1998". SINDOnews.com. Diakses tanggal 2017-10-
29.

13
ekonomi harus lebih memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan
unsur-unsur pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas
nasional. 2

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang


Perbankan ini kemudian diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
disahkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret 1992 oleh Presiden Soeharto. UU 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan diundangkan oleh Menteri/Sekretaris Negara
Moerdiono pada tanggal 25 Maret 1992 di Jakarta.f diundangkan dan ditempatkan
pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31. Penjelasan Atas
UU 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan ditempatkan pada Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3472.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan mencabut:

o Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 tanggal 14 September 1929 tentang


Aturan-aturan mengenai Badan-badan Kredit Desa dalam propinsi-propinsi
di Jawa dan Madura di luar wilayah kotapraja-kotapraja;
o Undang-undang Nomor 12 Tahun 1962 tentang Bank Pembangunan Swasta
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2489);
o Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2842).

Dasar hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan


adalah:

o Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945;
o Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2387);

14
o Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok
Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2832);
o Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral (Lembaran
Negara Tahun 1968 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2865);
o Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang
Bentuk-bentuk Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor
16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890) menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2904);

Agar kemajuan yang dialami oleh lembaga perbankan dapat


ditingkatkan secara berkelanjutan dan benar-benar dapat memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi pelaksanaan pembangunan nasional, dan untuk
menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi, sehingga segala potensi,
inisiatif dan kreasi masyarakat dapat dikerahkan dan dikembangkan menjadi
suatu kekuatan riil bagi peningkatan kemakmuran rakyat, maka pembinaan dan
pengawasan perbankan serta landasan gerak perbankan yang selama ini
didasarkan kepada ketentuan Undang-undang Perbankan 1967 perlu
dikembangkan dan disempurnakan. Dengan penyempurnaan itu, maka
perbankan dapat menjadi lebih siap dan mampu berperan secara lebih baik
dalam mendukung proses pembangunan yang semakin dihadapkan pada
tantangan perkembangan perekonomian internasional

Melalui upaya penyempurnaan tersebut dimaksudkan agar perbankan


Indonesia memiliki sikap tanggap terhadap perkembangan pembangunan
nasional, sehingga peranannya dalam peningkatan taraf hidup rakyat banyak,
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta peningkatan pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas nasional dapat terwujud secara lebih nyata, dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.

15
E. PERIODE UU NO. 10 TAHUN 1998
Pada tahun 1998, dikeluarkan Undang-undang No.10 Tahun 1998
tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Pada undang-undang ini terdapat beberapa perubahan yang memberikan
peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia.
Dari UU tersebut dapat disimpulkan, bahwa sistem perbankan syariah
dikembangkan dengan tujuan sebagai berikut:
1) Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak
menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya sistem perbankan
syariah yang berdampingan dengan sistem per bankan konvensional
(dual banking system), mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan
secara lebih luas, terutama dari segmen yang selama ini belum dapat
tersentuh oleh sistem perbankan konvensional yang menerapkan sistem
bunga.
2) Membuka peluang pembiayaan bagi pengembanganusaha berdasarkan
prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterankan adalah
hubungan antar-investor yang harmonis (mutual investor relationship).
Sementara dalam bank kon vensional konsep yang diterapkan adalah
hubungan debitor kreditor (debitor to creditor relationship).
3) Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki
beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga
yang berkesinambungan (perpetual inte rests ffect), membatasi kegiatan
spekulasi yang tidak produktif, pembiayaan ditujukan kepada usaha-
usaha yang lebih me merhatikan unsur moral.

Undang-undang ini juga memberikan penegasan terhadap konsep


perbankan Islam dengan mengubah penyebutan "Bank Berdasarkan Prinsip
Bagi Hasil" pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, menjadi "Bank
Berdasarkan Prinsip Syariah". Penyebutan tersebut terdapat pada Pasal 1 Ayat
(3), Ayat (4), Ayat (12), dan Ayat (13). Bahkan pada Pasal 1 Ayat (13) yang
menerangkan tentang pengertian prinsip syariah dalam perbankan ini juga
terdapat penguatan kedudukan Hukum Islam bidang perikatan dalam tatanan

16
hukum positif. Pasal 1 Ayat (13) ini menyebutkan sebagai berikut:14

"Bahwa prinsip syariah adalah aturan perjanjian ber dasarkan hukum


Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan/atau
pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai
dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah). pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musyarakah), prinsip jual-beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni
tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas
barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ljarah wa Iqtina').

Masalah hukum yang diatur undang-undang ini selain berupa penegasan


terhadap eksistensi perbankan Islam di Indonesia adalah menyangkut
kelembagaan dan operasional bbank Islam. Secara keseluruhan permasalahan
hukum tersebut anatar lain meliputi:

1) Macam bank Islam.


2) Pendirian bank Islam.
3) Konversi bank konvensional menjadi bank Islam.
4) Pembukaan kantor cabang, yang meliputi sisi keuangan dan modal
kerja.
5) Badan Pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional yang
menyangkut mengenai fungsi DPS sebagai penasihat, mediator,dan
perwakilan.
6) Kegiatan usaha dan produk-produk bank Islam.
7) Pengawasan Bank Indonesia terhadap bank Islam.
8) Sanksi-sanksi pidana dan administrative.

Sebagai pelaksanaan dari undang-undang ini, kemudian diikuti dengan


dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk Surat Keputusan
(SK) Direksi Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang lebih
kuat dan kesempatan yang luas bagi pengembangan perbankan syariah di
Indonesia." Pada masa awal sebagai pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan
operasional bank berdasarkan prinsip syariah dikeluarkan SK Direksi BI No.
32/34/ KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip
17
Syariah, dan SK Direksi BI NO. 32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang
Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip. Syariah. Kedua SK tersebut kemudian
diganti dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI), yaitu untuk Bank Umum Syariah
diatur oleh PBI No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umumi
yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah jo PBI No.
7/PBI/2005 tanggal 25 September 2005 tentang Perubahan Atas PBI No.
6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah, dan untuk Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) diatur dengan
PBI No. 6/17 PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakya
Berdasarkan Prinsip Syariah.

Pemberlakuan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 ini merupakan momen


pengembangan perbankan syariah di Indonesia Undang undang tersebut membuka
kesempatan untuk pengembangan jaringan perbankan syariah, antara lain melalui izin
pembukaan Kantor Cabang Syariah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain.
bank konvensional dapat melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Landasan dan kepastian hukum yang kuat bagi para pelaku bisnis serta masyarakat
luas ini meliputi:

a. Pembangunan aspek kelembagaan dan kegiatan usaha dan Bank Islam


sebagaimana yang diamanatkan dlam Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang No. 10 Thun
1998. Pasal tersebut menjelaskan, bahwa bank umum dapat memilih untuk melakukan
kegiatan usaha berdasrkan sistem konvensional atau berdasarkan prinsip syariah atau
melakukan kegiatan tersebut. Dalam hal bank umum melakukan kegiatan usaha
berdasarkan syariah, maka kegiatan tersebut dilakukan dengan membuka satuan kerja
dan kantor cabang khusus, yaitu Unit Usaha Syariah dan Kantor Cabang Syariah.
Sedangkan, BPR harus memilih kegiatan usaha salah satu dari keduannya, melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah saja, atau berdasarkan sistem
konvensional saja.
b. Bank Umum konvensional yang akan membuka kantor cabang

Syariah wajib melaksanakan:

18
1) Pembentukan Unit Usaha Syariah (UUS)
2) Memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ditempatkan oleh
Dewan Syariah Nasional (DSN)
3) Menyediakan modal kerja yang disisikan oleh bank dalam suatu
rekening tersendiri atas nama UUS yang dapat digunakan untuk
membayar biaya kantor dan izin-zin berkaitan dengan kegiatan
operasional maupun non operasional Kantor Cabang Syariah (KCS).
Pada periode ini juga diatur mengenai ketentuan kliring instrumen
moneter dan pasar uang antarbank. Di dalam penjelasan Undang undang No. 23
Tahun 1990 jo. Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia telah
diamanatkan, bahwa untuk meng antisipasi perkembangan prinsip syariah,
maka menjadi tugas dan fungsi BI untuk mengakomodasi prinsip tersebut.
Untuk mengatur kelancaran lau lintas pembayaran anatarbank serta pelaksanaan
Pasar Uang Antarbank berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS), telah dikeluarkan
peraturan tersendiri sehubungan dengan sifat khusus dari sistem perbankan
syariah. Di antara peraturan tersebut anatara lain, peraturan Bank Indonesia
(PBI) Nomor 2/4/PBI/2000 tentang kliring bagi Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah Umum Konvensional, PBI No. 2/7/PBI/2000 Tanggal 23
Februari 2000 tentang Giro Wajib Minimum (GWM), yang kemudian khusus
tentang perbankan syariah diatur lebih lanjut oleh PBI No. 6/21/PBI/2004
tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank
Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan
PBI No. 2/8/PBI/2000 Tanggal 23 Februari 2000 tentang Pasar Uang Antarbank
Berdasarkan Prinsip Syariah jo PBI No. 7/26/PBI/2005 tanggal 8 Agustus 2005
tentang Perubahan Atas PBI No. 2/8/2000 tentang PUAS.
Demikian pula untuk mengatur tentang pengelolaan likuiditas bank
Islam, Bank Indonesia telah mengeluarkan PBI No. 2/9/PBI/ 2000 tanggal 23
Februari 2000 tenntang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) jo PBI No.
6/7/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang perubahan atas PBI No.
2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, dan ketentuan tentang
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Islam (FPJPS) pada PBI No.
5/3/PBI/ 2003 yang dikeluarkan pada tanggal 4 Februari 2003 jo PBI No. 7/
23/PBI/2005 tanggal 3 Agustus 2005 tentang Perubahan Atas PBI No.

19
5/3/PBI/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah.
Selain itu, agar profitabilitas pengelolaan dan bank bank Islam dapat
ditingkatkan, Bank Indonesia telah melakukan koordinasi dengan instansi
pemerintah yang terkait, yaitu Departemen Keuangan Direktorat Jenderal
Lembaga Keuangan Nonbank, Direk torat Jenderal Asuransi, Bapepam, dan
sebagainya.
Namun demikian, pada periode Undang-undang No. 10 Tahun 1998 ini
juga dapat dilihat adanya beberapa permasalahan hukum yang masih harus
diatur lebih lanjut dan pengaturan tersendiri yang perlu dipertimbangkan dalam
regulasi perbankan nasional yang akan datang. Masalah-masalah tersebut antara
lain sebagai berikut:
1. Bank Islam tunduk pada dua sistem hukum yang berbeda.
2. Eksistensi Dewan Pengawas Syariah.
3. Pengawasan Bank Islam masih berdasarkan pendekatan konvensional.
4. Bank Sentral memakai standar interest.
5. Belum memadainya peraturan pelaksanaan bank Islam.
6. Hukum Perdata tetap menjadi acuan dalam dokumentasi dan legitimasi.

Dari masalah-masalah tersebut, maka masih dirasakan pentingnya


dikeluarkan ketentuan tersendiri tentang Sistem Perbankan Syariah untuk itulah
maka diupayakan pembuatan Rancangan Undang undang tersendiri tentang
Perbankan Syariah yang diharapkan sudah dapat disahkan dalam waktu dekat."
Demikian pula perlu dipikirkan kedudukan perbankan syariah dalam
pengaturan tentang otoritas jasa keuangan (OJK) yang akan datang, sehingga
jelas sistwm pengawasan yang akan diterapkan untuk Lembaga Keuangan
Syariah, khususnya bank Islam. Hal ini berkaitan dengan pengawasan terhadap
kesesuaian operasional bank islam dengan ketentuan hukum islam yang menjadi
dasar operasionalnya.

Saat ini operasional perbankan syariah masih mengacu pada ketentuan


fatwa Majelis Ulama Indonesia. Hingga saat ini, kedudukan fatwa belumlah
mendapat pengakuan yang kuat dalam tata urutan peraturan perundang-
undangan, sehingga dalam pengaturan ke depan, perlu pula dipertimbangkan
pengukuhan kedudukan fatwa dalam tata urutan perundang-undangan Indonesia
dan kedudukan Majelis Ulama Indonesia bagi pengaturan umat Islam, agar
masing-masing fatwa yang dikeluarkan oleh MUI memiliki kekuatan hukum
20
yang jelas.

F. UU NOMOR 21 TAHUN 2008

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan


syariah menandai bahwa sistem perbankan nasional telah memasuki tahapan baru.
Upaya untuk memberikan suatu landasan dan payung hukum yang lebih memadai
guna pemurnian sistem bank berdasarkan prinsip syariah telah terbukti dengan
terbitnya Undang Undang ini.

Pasal 16 Undang-Udang ini merupakan salah satu pasal yang memuat


ketentuan terpenting mengenai perubahan kegiatan usaha bank umum menjadi bank
syariah. Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh bank umum dapat menjadi bank
umum tersendiri setelah mendapat izin dari Bank Indonesia. Dalam
perkembangannya kini telah banyak pula diterbitkan peraturan bank Indonesia yang
memberikan pe ngaturan tentang perbankan syariah. Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/3/2008 merupakan salah satu contoh pengaturan tentang syarat syarat
konversi bagi suatu bank umum untuk dapat menjalankan usahanya berdasarkan
prinsip syariah.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan bank Islam sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam di Indo-
nesia dapat dikatakan terlambat dibandingkan negara-negara lain yang mayo- ritas
penduduknya muslim. Namun secara yuridis formal kedudukan hukum perbankan
syari’ah adalah kuat dan sejajar dengan perbankan konvesional lainnya.
Deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1983. Pada tahun tersebut, BI
memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga. Pemerintah
berharap dengan kebijakan deregulasi perbankan maka akan tercipta kondisi dunia
perbankan yang lebih efisien dan kuat dalam menopang perekonomian.Kebijakan
Deregulasi perbankan ini kemudian terus terjadi dengan rangkaian kebijakan-kebijakan
lainnya. Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi
Perbankan 1988 (Pakto 88). Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket
Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati
dalam pengelolaannya.
B. Saran
Penulis juga sebenarnya menginginkan penyusunan makalah yang sempurna
dan mudah dipahami. Namun masih banyak kekurangan dalam makalah ini yang perlu
diperbaiki oleh penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
mendukung dan membangun penulisan makalah ini agar menjadi lebih baik lagi dan
sebagai bahan evaluasi selanjutnya.

22
DAFTAR PUSTAKA

"Bank Dikuasai Asing, Pemerintah Harus Belajar dari Krisis 1998". SINDOnews.com. Diakses tanggal
2017-10-29.
https://drive.google.com/file/d/1kMB7AgjCTqv6eTb_6BvJCpby_hKtJHvo/view?usp=drivesdk

23

Anda mungkin juga menyukai