Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KETENTUAN ADMINISTRATIF PERBANKAN


SYARIAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Hukum Perbankan Syariah

Dosen Pengampu: Labib Nubahai, M.Si.

Disusun oleh:

1. Fiska Aftanti Awaliyah (2120210065)


2. Lina Nur Rohmah (2120210072)
3. Mutmainnah (2120210074)
4. M. Arya Manna M.A (2120210096)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, nikmat,
taufiq serta hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga sampai saat ini kita semua
diberikan kesehatan jasmani dan rohani, sehingga dapat merasakan mencari ilmu
untuk bekal kebahagiaan dunia dan akhirat. Sholawat serta salam kita haturkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw yang senantiasa kita nantikan
syafaatnya kelak di yaumul qiyamah.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Labib Nubahai,


M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Perbankan Syariah yang telah
membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami. Serta teman-teman
seperjuangan yang telah memberikan dukungannya sehingga terciptanya makalah
ini. Harapan penulis, dengan adanya makalah ini semoga dapat memberikan
manfaat ilmu pengetahuan dan wawasan bagi para akademisi dan bermanfaat bagi
pembaca.

Kudus, 08 Oktober 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

JUDUL HALAMAN............................................................................................... 1

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4

A. Latar Belakang ............................................................................................. 4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5

C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 6

A. Pendirian dan Perizinan Perbankan Syariah ................................................ 6

B. Bentuk Badan Hukum Perbankan Syariah ................................................... 9

C. Kepemilikan dan Permodalan Perbankan Syariah ..................................... 11

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 14

A. Kesimpulan ................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan Bank Islam sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam


mulai muncul pada pertengahan abad ke-20. Diawali dengan berdirinya Mit
Ghamr Local Saving Bank di Mesir. Akan tetapi akibat situasi politik saat itu,
Bank ini diambil alih oleh Nasional Bank Of Egypt dan Central Bank of Egypt
tahun 1967, sehingga kemudian beroperasi atas dasar riba. Pada tahun 1972,
sistem bank tanpa riba diperkenalkan lagi dengan berdirinya Nasser Social
Bank di Mesir. Tonggak sejarah lainnya bagi perkembangan bank Islam yaitu
dengan didirikan Islamic Developmen Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah
diprakarsai oleh Negara Anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).IDB ini
kemudian memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan dana negara-
negara muslim untuk pembangunan. Akhimya berdirinya IDB memotiva di
banyak negara lain untuk mendirikan lembaga keuangan syariah, sehingga akhir
tahun 1970-an dan awal dekade 1980-an.

Di Indonesia, perbankan Islam dapat dikatakan terlambat dibandingkan


negara-negara lain yang mayoritas penduduknya muslim. Setelah munculnya
bank-bank syari'ah di negara-negara lain, pada awal tahun 1980 diskusi
mengenai bank syari'ah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan.1
Konkritnya pada tahun 1991 dibentuk suatu Akte Pendirian PT Bank Muamalat
Indonesia sebagai hasil musyawarah nasional Majelis Ulama Indonesia pada
tahun 1990 yang menginginkan adanya pendirian bank Islam di Indonesia.
Dalam pelaksanaannya, bank-bank syariah mencoba menerapkan nilai-nilai
keadilan yang dibawa oleh sistem ekonomi Islam. Seperti halnya, bank
konvesional juga berfungsi sebagai suatu lembaga intermediasi yaitu lembaga

1
Titik Triwulan Tutik, “Kedudukan Hukum Perbankan Syariah dalam Sistem Perbankan
Nasional,” Jurnal Muqtasid 7 no. 1 (2016): 2.

4
yang mengarahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke
masyarakat yang membutuhkan, dalam bentuk fasilitas pendanaan.

Adanya sistem bagi hasil yang sesuai dengan hukum Islam serta
kepercayaan yang merupakan unsur terpenting dalam transaksi sebagian besar
masyarakat yang tahu akan keberadaan lembaga keuangan berlandaskan
prinsip- prinsip ekonomi Islam. Produk-produk pembiayaan bank syariah
khusunya pada bentuk pembiayaan, ditujukan untuk menyalurkan investasi dan
simpanan masyarakat ke sektor rill dengan tujuan produktif dalam bentuk
investasi bersama (investement financing) yang dilakukan bersama mitra usaha
(kreditor) menggunakan pola bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) dan
dalam bentuk investasi sendiri (trade financing) kepada yang membutuhkan
pembiayaan menggunakan pola jual beli (murabahah, salam, dan istishna), dan
pola sewa (ijarah dan ijarah muntahiyah bittamlik), pola pinjaman, digunakan
untuk dana talangan menggunakan pola (qardh).2

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan


masalah penting sebagai berikut:

1. Pendirian dan Perizinan Perbankan Syariah


2. Bentuk Badan Hukum Perbankan Syariah
3. Kepemilikan dan Permodalan Perbankan Syariah

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan
penulisan dari makalah ini adalah:
1. Mengetahui Pendirian dan Perizinan Perbankan Syariah
2. Mengetahui Bentuk Badan Hukum Perbankan Syariah
3. Mengetahui Kepemilikan dan Permodalan Perbankan Syariah

2
Titik Triwulan Tutik, “Kedudukan Hukum Perbankan Syariah,”: 3.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendirian dan Perizinan Perbankan Syariah

Ada beberapa syarat dan ketentuan umum perizinan kelembagaan


perbankan Syariah. Jadi, setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha Bank
Syariah sebelumnya wajib memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah dari
Bank Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk
memperoleh izin tersebut, sekurang kurangnya tentang:3

a. Susunan organisasi dan kepengurusan;


b. Permodalan;
c. Kepemilikan;
d. Keahlian di bidang Perbankan Syariah;
e. Kelayakan usaha.

Seperti yang diketahui bahwa produk perbankan Syariah itu ada tiga,
yaitu Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah, dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah. Untuk pendirian perbankan Syariah ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi yang terdiri dari syarat permodalan, kepemilikan dan perizinan.

1. Bank Umum Syariah


Pengertian Bank Umum Syariah sendiri menurut pasal 1 angka 8 UU
No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah bank Syariah yang
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Beberapa syarat pendirian Bank Umum Syariah terdapat pada Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan RI Nomor 16/POJK.03/2022 Tentang Bank Umum
Syariah;4

3
Undang-Undang RI, “21 Tahun 2008, Perbankan Syariah,” (16 Juli 2008).
4
POJK RI, “16/POJK.03 Tahun 2022,” Bank Umum Syariah, (30 Agustus 2022).

6
Pada pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa persyaratan dan mekanisme
pendirian Bank terdiri atas;
a. Modal disetor
b. Kepemilikan
c. Perizinan.

Pada pasal 11 menyatakan bahwa:

1. Modal disetor untuk mendirikan Bank ditetapkan paling sedikit Rp.


10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah)
2. OJK dapat menetapkan modal disetor untuk pendirian Bank yang
berbeda dari yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan pertimbangan tertentu.
3. Kewajiban modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk pendirian Bank hasil pemisahan unit Syariah.

Sedangkan terkait syarat kepemilikan dijelaskan pada pasal 12, yang


intinya menyatakan bahwa:

1. Bank dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:


a. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia
b. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia
dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara
kemitraan; atau
c. Pemerintah daerah
2. Kepemilikan bagi warga negara asing dan/atau badan hukum
Indonesia dengan warga negara asing paling banyak 99% dari modal
disetor Bank.

Pada pasal 13 menjelaskan bahwa perizinan pendirian Bank dilakukan


dalam dua tahap;

a. Persetujuan prinsip
b. Izin usaha

7
2. Usaha Unit Syariah
Bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
Syariah dengan terselenggaranya dua sistem perbankan (konvensional dan
Syariah secara berdampingan). Operasi bank Syariah tidak berdiri sendiri
melainkan masih menginduk pada bank konvensional. Model seperti inilah
yang disebut dengan Unit Usaha Syariah.
Menurut POJK RI Nomor 12 Tahun 2023 tentang Unit Usaha Syariah,
pengerian Unit Usaha Syariah yang kemudian disingkat UUS adalah unit
kerja dari kantor pusat BUK (Bank Umum Konvensional) yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor unit atau unit yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip Syariah. BUK yang akan melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip Syariah wajib membuka UUS.5
Terkait permodalan tertuang pada pasal 3 yaitu dana usaha pembukaan
UUS ditetapkan dan dipelihara paling sedikit Rp 1.000.000.000.000,00
(satu triliun rupiah)

Perizinan tertuang pada pasal 5, antara lain;

1. UUS dibuka dan melakukan kegiatan usaha setelah memperoleh izin


dari OJK dan diberikan dalam bentuk izin usaha
2. Permohonan untuk memperoleh izin usaha dapat diajukan oleh BUK
kepada OJK, disertai pemenuhan syarat pembukaan UUS.
3. BUK yang mengajukan permohonan izin usaha UUS harus mmberikan
penjelasan mengenai keseluruhan rencana pembukaan UUS.
3. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Pengertian Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) menurut Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah bank
Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas

5
POJK RI, “12 Tahun 2023, Unit Usaha Syariah,” (12 Juli 2023).

8
pembayaran. Syarat dan ketentuan mengenai pendirian BPRS tertuang pada
POJK RI No. 26 tahun 2022 tentang BPRS, antara lain;6
Sesuia ketentuan pasal 2 menyatakan bahwa BPRS harus berbadan
perseroan terbatas. Sedangkan pasal 4 menjelaskan bahwa;
1. BPRS didirikan dan/atau dimiliki oleh;
a. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang
seluruh pemiliknya warga negara Indonesia.
b. Pemerintah daerah
c. Ataupun dari keduanya sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b.
Sedangkan pada pasal 6 menjelaskan tentang permodalan;
1. Modal disetor pendirian BPRS ditetapkan paling sedikit
a. Rp 75.000.000.000,00 (tujuh puluh lima miliar rupiah)
b. Rp 35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah)
c. Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)
2. Namun OJK dapat mempertimbangkan dalam penetapan jumlah
modal disetor BPRS yang lebih tinggi daripada jumlah modal disetor
sebagaimana yang disebutkan pada ayat (1).

Peraturan tentang perizinan tertuang pada pasal 9 terdapat dua tahap, yaitu;

a. Persetujuan prinsip
b. Izin usaha

B. Bentuk Badan Hukum Perbankan Syariah

Badan hukum bank Syariah di Indonesia sebelumnya pernah diatur


dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/2004 dan PBI
No.6/17/PBI/2004. Namun setelah terbitnya UU No. 21 Tahun 2008 ketentuan
mengenai bentuk badan hukum bank syariah dalam peraturan tersebut diubah

6
POJK RI, “26 Tahun 2022, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah,” (26 Desember 2022).

9
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 UU Perbankan Syariah tersebut.
Pentingnya ketegasan mengenai bentuk badan hukum suatu usaha bank, antara
lain agar terdapat kejelasan mengenai kekayaan yang terpisah, mengenai
pengesahan pendiriannya serta pengurus yang berwenang mewakili bank
bersangkutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU Perbankan Syariah bentuk
badan Bank Syariah hanya satu, yaitu Perseroan Terbatas.7

Undang-Undang Perbankan membedakan secara tegas bentuk hukum


untuk bank umum, bentuk hukum untuk bank perkreditan rakyat.8 Menurut
bentuk badan usaha, jenis kelembagaan bank dapat dibedakan atas;

a. Bentuk hukum suatu bank umum dapat berupa:


a. Perseroan terbatas;
b. Koperasi;
c. Perusahaan Daerah
b. Bentuk hukum suatu bank perkreditan rakyat dapat berupa:
1) Perusahaan Daerah
2) Koperasi;
3) Perseroan Terbatas; atau
4) Bentuk lain yang ditetapkan dngan peraturan pemerintah.9

Inilah bentuk badan hukum yang diperkenankan untuk menjalankan


usaha bank syariah di Indonesia. Dengan demikian, selain dalam bentuk badan
hukum sebagaimana disebutkan di atas, seperti bentuk usaha perseorangan,
firma atau perusahaan komanditer dan termasuk perusahaan persero, sama
sekali tidak dimungkinkan untuk menjalankan usaha sebagai bank Syariah.
Perlu diketahui bahwa perusahaan perseroan terbatas merupakan persekutuan

7
Cik Basir, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan
Mahkamah Syariah,” (Jakarta: Kencana, 2009), 58.
8
Yuhelson, “Buku Ajar Hukum Perbankan Syariah”, (Yogyakarta: Zahir Publishing,
2018), 28.
9
Dedi Sunardi, “Hukum Perbankan dan Perbankan Syariah”, (Serang: A-Empat, 2021),
48.

10
yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian sesuai
dengan ketentuan UU No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT)10

C. Kepemilikan Dan Permodalan Perbankan Syariah

Kepemilikan Bank Umum Syariah terdapat dalam Undang-Undang No.


21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Disebutkan pada pasal 9 bahwa:

(1) Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga
negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan; atau
c. pemerintah daerah.

Kepemilikan juga diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan


Republik Indonesia Nomor 16/POJK.03/2022 Tentang Bank Umum
Syariah, diantaranya adalah sebagai berikut:

Dalam Pasal 31 menyatakan bahwa sumber dana yang digunakan untuk


kepemilikan Bank dilarang:

a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apa pun
dari Bank dan/atau pihak lain di Indonesia; dan
b. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.

Pasal 32 menjelaskan bahwa:

(1) Kepemilikan Bank oleh badan hukum sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 12 ayat (1) paling tinggi sejumlah modal sendiri bersih badan
hukum yang bersangkutan.
(2) Ketentuan modal sendiri bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dipenuhi pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan

10
Cik Basir, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah,” 59.

11
penyetoran modal untuk pendirian Bank atau pada saat badan hukum
yang bersangkutan melakukan penambahan modal disetor Bank.

Pasal 35 menjelaskan:

(1) Pihak yang menjadi pemilik Bank paling sedikit harus memenuhi
persyaratan:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. memiliki komitmen terhadap pengembangan Bank yang sehat; dan
d. tidak termasuk sebagai pihak yang dilarang menjadi pihak utama
lembaga jasa keuangan.
(2) Dalam hal pihak yang memiliki saham Bank berbentuk badan hukum,
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi pemilik
maupun pengurus dari badan hukum tersebut

Modal merupakan bagian dari dana yang dapat digunakan bank


dalam aktivitas kesehariannya. Hal penting berkaitan dengan masalah dana
adalah bagaimana melakukan aktivitas manajemen dana untuk
mendapatkan tujuan bank syariah secara efektif dan efesien. Kemudian
lebih lanjut dikemukakan bahwa modal adalah sejumlah uang dan/atau aset
yang diberikan oleh penyedia kepada mudharib untuk tujuan usaha. Dengan
syarat sebagai berikut:

a) Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya


b) Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal
didalam bentuk aset, maka aset tersebut dinilai pada waktu akad.
c) Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan mudharib,
baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam
akad.11

11
Nur Syamsu, “Struktur Modal Pada Perbankan Syariah,” Bilancia 10 no. 1 (2016): 75.

12
Sumber utama modal bank syariah adalah modal inti (core capital)
dan kuasi ekuitas. Modal inti adalah modal yang berasal dari para pemilik
bank, yang terdiri dari:

(1) Modal yang disetor oleh para pemilik saham, yaitu dana yang disertakan
oleh pemilik dengan cara membeli saham perusahaan tersebut.
(2) Cadangan, yaitu sebagian laba bank yang tidak bagi disisihkan untuk
menutup timbulnya risiko kerugian di masa mendatang.
(3) Laba ditahan, yaitu modal berasal dari laba yang seharusnya dibagikan
kepada pemegang saham, namun ditahan untuk menambah modal.

Sedangkan Kuasi Ekuitas adalah dana-dana yang tercatat dalam


rekening-rekening bagi hasil kerugian bank dan melindungi kepentingan
para pemegang rekening titipan (wadi’ah) atau pinjaman (qard), terutama
atas aktiva yang didanai oleh model sendiri dan dana-dana wadi’ah atau
qard.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah


terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh izin tersebut,
sekurang kurangnya tentang:

1. Susunan organisasi dan kepengurusan;


2. Permodalan;
3. Kepemilikan;
4. Keahlian di bidang Perbankan Syariah;
5. Kelayakan usaha.

Seperti yang diketahui bahwa produk perbankan Syariah itu ada tiga, yaitu Bank
Umum Syariah, Unit Usaha Syariah, dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Untuk
pendirian perbankan Syariah ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yang terdiri
dari syarat permodalan, kepemilikan dan perizinan.

Badan hukum bank Syariah di Indonesia sebelumnya pernah diatur dalam


Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/2004 dan PBI No.6/17/PBI/2004.
Namun setelah terbitnya UU No. 21 Tahun 2008 ketentuan mengenai bentuk badan
hukum bank syariah dalam peraturan tersebut diubah sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 7 UU Perbankan Syariah tersebut. Pentingnya ketegasan mengenai
bentuk badan hukum suatu usaha bank, antara lain agar terdapat kejelasan mengenai
kekayaan yang terpisah, mengenai pengesahan pendiriannya serta pengurus yang
berwenang mewakili bank bersangkutan.

Kepemilikan Bank Umum Syariah terdapat dalam Undang-Undang No. 21


Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Modal merupakan sejumlah uang dan
/atau aset yang diberikan oleh penyedia kepada mudharib untuk tujuan usaha.

14
DAFTAR PUSTAKA

Basir, Cik. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan


Mahkamah Syariah. Jakarta: Kencana, 2009.
Sunardi, Dedi. Hukum Perbankan dan Perbankan Syariah. Serang: A-Empat, 2021.
Syamsu, Nur. "Struktur Modal Pada Perbankan Syariah." Bilancia 10 no. 1, 2016.
Tutik, Titik Triwulan. "Kedudukan Hukum Perbankan Syariah dalam Sistem
Perbankan Nasional." Jurnal Muqtasid 7 no. 1, 2016.
Yuhelson. Buku Ajar Hukum Perbankan Syariah. Yogyakarta: Zahir Publishing,
2018.

15

Anda mungkin juga menyukai