Anda di halaman 1dari 165

FATWA-FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL

Kajian Terhadap Aspek Hukum Islam Perbankan Syariah di


Indonesia

Penulis:

Nur Hidayah, Ph.D

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

nurhidayah@uinjkt.ac.id
FATWA-FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL
Kajian Terhadap Aspek Hukum Islam Perbankan Syariah di Indonesia
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Penulis
Nur Hidayah, Ph.D

Editor:
Dr. Imam Subchi, MA
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Copyright © 2019
Cet. Ke-1 November 2019

ISBN 978-623-7798-06-4
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dicetak oleh:
Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen)
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

------------------------------------------------------------------------------------------------------
Alamat:
Gedung Rektorat Lantai III, Kampus I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jalan Ir. H. Djuanda No. 95 Ciputat 15412
Telp. +6221 7401925, Faks. +6221 7402982, E-mail: puslitpen@uinjkt.ac.id
Website: http://puslitpen.uinjkt.ac.id

ii | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i


DAFTAR ISI................................................................................................. iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ......................................... v
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Tujuan Penelitian............................................................................. 7
C. Metodologi Penelitian dan Penulisan.............................................. 8
D. Sistematika Pembahasan ................................................................. 8
BAB II FATWA DALAM HUKUM ........................................................... 10
A. Pengertian Fatwa ............................................................................. 10
B. Fungsi Fatwa dalam Hukum Islam ................................................. 12
C. Sumber-sumber Hukum dalam Ifta ................................................. 13
D. Metode Instinbat Hukum dalam Ifta ............................................... 30
BAB III PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA DAN
POSISI DEWAN SYARIAH NASIONAL .................................................. 41
A. Hakikat dan Sejarah Perbankan Syariah di Indonesia .................... 41
B. Landasan Hukum Positif Perbankan Syariah ................................. 60
C. Landasan Filosofis Perbankan Syariah ........................................... 77
D. Prinsip Operasional Bank Syariah .................................................. 129
E. Posisi Dewan Syari’ah Nasional dalam Perbankan Syariah di
Indonesia ......................................................................................... 138
1. Hakikat dan Sejarah Dewan Syariah Nasional ........................ 138
2. Tugas dan Wewenang Dewan Syariah Nasional ..................... 141
3. Mekanisme Pengambilan Keputusan Fatwa DSN ................... 142
BAB IV PEGUJIAN FATWA-FATWA DEWAN SYARI’AH
NASIONAL .................................................................................................. 147
A. Ruang Lingkup Fatwa-fatwa tentang Kegiatan Transaksi
Perbankan Syariah........................................................................... 147
1. Fatwa- Fatwa tentang Produk Penghimpunan Dana................ 147

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | iii


2. Fatwa- Fatwa tentang Produk Penyaluran Perbankan
Syariah ...................................................................................... 147
B. Pengujian Fatwa-fatwa.................................................................... 150
1. Fatwa tentang Wadiah/Giro ..................................................... 150
2. Fatwa tentang Murabahah ........................................................ 162
3. Fatwa tentang Pembiayaan Mudharabah ................................. 169
4. Fatwa tentang Ijarah ................................................................. 171
5. Fatwa tentang Hawalah ............................................................ 174
6. Fatwa tentang Wakalah ............................................................ 176
C. Pengujian Fatwa Tentang Kegiatan Akuntansi Perbankan
Syariah............................................................................................. 178
1. Fatwa Tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha ........................ 178
2. Fatwa Tentang Pencadangan Penghapusan Aktiva
Produktif Dalam Lembaga Keuangan Syariah ........................ 192
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 197
A. Kesimpulan ..................................................................................... 197
B. Saran................................................................................................ 199
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 200
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................... 207
PEDOMAN DASAR DEWAN SYARI’AH NASIONAL .......................... 207
TRANSKRIP WAWANCARA.................................................................... 214

iv | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Taransliterasi yang digunakan tesis untuk melambangakan huruf atau


katabahasa Arab yang tidak ada padanannya dalam huruf latin atau belum baku
dalam bahasa Indonesia disesuaikan dengan ejaan huruf Arab-Latin yang sudah
disahkan pemakaiannya berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri
Agama dan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor
158 tahun 1987 dan nomor 0543b/U/1987

Berikut ini adalah pedoman transliterasi yang dimaksud


1. Konsonan
‫= ا‬A ‫=ز‬Z ‫=ق‬Q
‫=ب‬B ‫=س‬S ‫=ك‬K
‫=ت‬T ‫=ش‬SY ‫=ل‬L
‫=ث‬Ŝ ‫=ص‬Ş ‫=م‬M
‫=ج‬J ‫=ض‬D ‫=ن‬N
‫=ح‬Ĥ ‫=ط‬T ‫=و‬W
‫=خ‬KH ‫=ظ‬Ž ‫=ه‬H
‫=د‬D ‫`=ع‬ ‫‘=ء‬
‫=ذ‬Ż ‫=غ‬G ‫=ي‬Y
‫=ر‬R ‫=ف‬F
2. Vokal
-------- = A ‫ى‬٦ =AI
-------- = I ‫و‬٦ = AU
-------- = U

3. Maddah (Vokal Panjang)


Vokal panjang dilambangkan dengan huruf dan tanda (garis atas) sebagai
Huruf Arab Huruf Latin Contoh
٦ A ‫قال‬
‫ى‬ I ‫قيل‬
‫و‬ U ‫يقول‬
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional |v
4. Ta’ Marbutah
a. Ta’ marbutah hidup (berharakat) ‫ ة‬/ ‫ ه‬menjadi “t”
b. Ta’ marbutah mati (berharakat sukun) ‫ ه‬/ menjadi “h”
Meskipun demikian dalam tesis ini pada umumnya penulisan kata yang
mengandung kata ta’ marbutah disukunkan.
5. Syaddah (ؐ)
Tanda syaddah dilambangkan dengan huruf yang sama dengan yang diberi
tanda syaddah misalnya ‫ = رببنا‬Rabbana
6. kata Arab-Latin dalam tesis ada sebagian yang ditulis berharakat
Misalnya : ‫ = اِن كُنتُم اَل تاعلا ُمونا‬ditulis berharakat
‫ = الحا جة تنزل‬tidak berharakat
7. Kata Sandang “al” (‫)ال‬
Kata Sandang “al” (‫ )ال‬yang diikuti oleh huruf qamariyah ditulis dengan “al”.
Misalnya : ‫ = القلم‬al-qalam, tetapi kata sandang “al” (‫ )ال‬yang diikuti huruf
syamsiyah tidak ditulis “al” melainkan ditulis langsung sesuai dengan uruf
syamsiyah tersebut. Misalnya : ‫ = الر جل‬ar-rajul

vi | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Jika dicermati dinamika perkembangan keberagaman umat Islam
Indonesia dewasa ini terasa tampak ada gairah di kalangan umat untuk
melembagakan nilai-nilai keIslaman yang dianutnya secara utuh (kâfah)
tidak hanya terbatas pada urusan ibadah namun juga pada masalah
muamalah. Fenomena ini diperkuat oleh munculnya intelektual-intelektual
muslim yang terus mensosialisasikan wacana keIslaman tidak hanya pada
isu-isu yang bersentuhan langsung dengan lingkup privat namun juga
dalam konteks ruang publik yang lebih luas seperti masalah politik dan
ekonomi. Isu pemberdayaan ekonomi umat Islam yang berbasiskan nilai-
nilai keIslaman, sebagai salah satunya terus saja didengungkan dan
bergulir. Fenomena ini ditandai oleh semakin banyak munculnya lembaga-
lembaga keuangan Islam khususnya bank-bank syariah.
Kemunculan bank-bank syariah dan lembaga-lembaga keuangan Islam
lainnya di Indonesia ini merupakan fenomena menarik yang kehadirannya
tidak terlepas dari pengaruh beberapa faktor. Pertama, kepercayaan kaum
muslimin bahwa di samping sebagai sebuah agama dalam pengertian
sebuah sistem kepercayaan, Islam juga merupakan a way of life, jalan
hidup, yang komprehensif. Islam memiliki teori politik, sistem etika, dan
juga prinsip-prinsip ekonomi tersendiri.1 Dan diyakini bahwa
mengamalkan sistem nilai tersebut merupakan suatu tugas setiap Muslim.
pula merintis upaya pendirian lembaga-lemabaga keuangan Islami di
Indonesia2 yang sebelumya hanya sebatas wacana.

1 Ali Ausaf, The Political Economy of The Islamic State: A Comparative Study,

(Michigan: University Microfilm Internasional, 1985), h.1


2 Sebelumnya terdapat banyak ikhtilaf dikalangan ulama aindonesia tentang status

hukum bunga bank. Para ulam yang tergabung dalam wadah NU melalui Lajnah Bahtsul
Masail di Bandar Lampung, 1982, menetapkan status bunga bank yag masih diperselisihkan:
ada yang menetapkan haram, boleh, dan syubhat. Demikian pula Muhammadiyah melalui
Lajnah Tarjih di Sidoarjo menetapkan keharaman bank dengan sistem riba, sedangkan bunga
yang diberikan bank-bank milik Negara kepada para nasabah atau sebaliknya ditetapkan
sebagai suatu perkara yang mutasyabihat.
Fat w a-fat w a D ew an Sy ari ah N as i on al |1
Hal-hal inilah yang menumbuhsuburkan pembahasan ekonomi Islam
di tanah air akhi-akhir ini. Berbagai publikasi, penelitian, seminar,
pelatihan, bahkan lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-
formal mulai mejadikan disiplin ini sebagai objek kajian. Fenomena ini
dapat dimaklumi khususnya di masa krisis ekonomi yang berkepanjangan
di mana masyarakat mulai mencari upaya alternatif dalam membantu
penyelesaian krisis. Hal ini antara lain mampu dibuktikan oleh kemampuan
survival bank-bank syariah di tengah-tengah hantaman krisis moneter3
sehingga masyarakat mulai melirik potensi yang ditawarkan oleh lembaga-
lembaga perekonomian Islam khususnya Perbankan Syariah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu ekonomi Islam yang melahirkan
konsep lembaga keuangan syariah khususnya perbankan syariah pada
awalnya merupakan satu kesatuan dengan ilmu fiqih, khususnya fiqih
muamalah maliyah. Para fuqoha inilah yang berusaha mengistinbatkan
hukum berbagai permasalahan dari sumber-sumber utama ajaran Islam
yaitu Al-Qur’an dan Sunnah dan mensistematikakannya dalam kajian fiqih.
Dalam hal tidak ditemuinya dasar hukum suatu permasalahan baik dalam
Al-Qur’an maupun Sunnah maka dilakukan ijtihad4 untuk menentukan
hukumnya
Menurut Yusuf Qardhawi bidang ekonomi dan keuangan merupakan
salah satu lapangan ijtihad yang relatif baru pada masa kini. Kehadiran
ijtihad di bidang ini memiliki makna signifikan tersendiri karena di bidang
inilah telah terjadi perubahan yang cukup intens dan berskala besar.
Semakin modern-nya dunia bisnis, munculnya berbagai lembaga keuangan
dengan beragam jasa yang ditawarkan memunculkan pertanyaan seputar

3
Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah, Lingkup, Peluang, Tantangan, dan
Prospek, (Jakarta: Alvabet, 2000), h.ix
4 Ijtihad secara bahasa merupakan bentuk derivatid dari kata al-juhd berarti

kemampuan dan kesanggupan. Ijtihad selanjtnya diartikan sebagai pengerahan kemampuan


dan daya. Ijtihad menurut ulama ushul usah seorang ahli fiqih yang mengguanakan seluruh
kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliyah dari dalil-dalil terperinci, lihat
M. Abu Zahroh, Usûl al-fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h.567
2|F a t w a - f a t w a D ew a n S y a ri a h N a s i o n a l
keabsahan berbagai transaksi yang terjadi antara nasabah denag pihak
pengelolanya.5
Ketika tantangan tersebut dicoba untuk diresponi, muncul berbagai
reaksi. Ada sebagian ulama secara tergesa-gesa mencari jalan termudah
untuk menentukan hukum atas persoalan-persoalan tersebut dengan sikap
penolakan, pengharaman, dan lebih jauh dengan sikap ekstrim. Ada
sebagian lain yang membuka pintu lebar-lebar untuk menerima segala
sesuatu yang baru dan memubahkannya dengan dalih demi kepentingan
umum (maslahat), atau dalih darurat. Ada pula yang berusaha keras
mengadakan penelitian pada setiap bentuk muamalah baru kemudian
dicarikan hukumnya dari pendapat ulama-ulama terdahulu dan disesuaikan
dengan dasarnya. Jika hukum itu tidak didapatkan, maka bentuk muamalah
baru ini ditolak.6 Sebenarnya pada masalah inilah ijtihad memainkan
peranan yang sangat signifikan dengan memberikan jalan penyelasaian
yang baik karena ia memiliki metodologi yang diabsahkan bahkan
dianjurkan oleh agama.
Adanya institusi ijtihad ini semakin membuka peluang bagi
pengembangan hukum Islam di masa mendatang. Terlebih lagi kebanyakan
ahli fiqih telah menetapkan kaidah bahwa hukum asala segala sesuatu
dalam bidang muamalah adalah boleh, kecuali apabila ada dalil yang
menunjukkan keharamannya.7 Ini mengimplikasikan bahwa modernisasi,
dalam arti meliputi segala macam mu’amalah, diizinkan oleh syariat Islam,
selama tidak bertentangan dengan prinsip Islam itu sendiri. Karena
kehidupan dan kebudayaan manusia selalu berkembang dan berubah, maka
syariat Islam dalam bidang muamalah, pada umumnya hanya mengatur dan
menetapkan dasar-dasar hukum secara umum. Sedangkan perinciannya

5 Yusuf Al-Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, alih bahasa Abu Barzani, (Surabaya:

Risalah Gusti, 1995), h.7-8


6 Ibid. h. 8
7 Al-Suyûty, al-Asybâh wan-Nazâir, (t.t: Maktabah Nur Asiya, t.th), h. 43-44

Fat w a-fat w a D ew an Sy ari ah N as i on al |3


FATWA DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Fatwa

Secara etimologis kata fatwa merupakan bentuk mashdar dari kata fata
yaftu bermakna ‘muda, baru, penjelasan, penerangan’.13 Sedangkan menurut
istilah, sebagaimana dinyatakan Yusuf Qardhawi, ‘menerangkan hukum
syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan
oleh peminta fatwa baik secara perorangan maupun kolektif.14 The Oxford
Encyclopedia of The Modern Islamic World mendefinisikan fatwa sebagai
‘an unbinding legal opinion issued in response to the question of a
mustafti.15

Dari definisi-definisi di atas, terlihat dua sifat menonjol dari fatwa.


Pertama, fatwa bersifat responsif, ia merupakan legal opini yang baru
dikeluarkan setelah muncul suatu pertanyaan dan umumnya peristiwa yang
ditanyakan aspek hukumnya tersebut telah terjadi atau nyata. Kedua, dari
segi kekuatan hukum, fatwa sebagai legal opini tidaklah bersifat mengikat.
Dengan kata lain mustafti baik perorangan, lembaga, maupun masyarakat
luas tidak harus mengikuti isi atau hukum yang diberikan kepadanya. Hal ini
disebabkan fatwa seorang mufti di suatu tempat bisa saja berbeda dari fatwa
mufti lain di tempat yang sama. Namun demikian, apabila fatwa ini
kemudian diadopsi menjadi keputusan pengadilan, dan hal ini memang lazim
terjadi, maka barulah ia memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Terlebih
lagi bila ia diadopsi menjadi hukum positif suatu wilayah tertentu.

Dalam masalah fatwa ini yang merupakan produk hukum, maka perlu
dijelaskan unsur-unsur yang terkait erat dengannya. Pertama, kegiatan
menerangkan hukum syara’ sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan,

13 Ibnu Manzur al-Ifriqy, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar al-Shadir, 1990), J, XV, h.147
14 Yusuf al-Qardhawy, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997), h.5
15 John L. Esposito, “Fatwa”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World,

New York: Oxford University Press, 1990, Vol.11, h.13


10 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
yang lazim disebut ifta’.16 Kedua, orang atau badan yang mengajukan
pertanyaan, disebut mustafi. Ketiga, orang yang memberikan jawaban atas
pertanyaan tersebut, disebut mufti. Dan keempat, jawaban hukum atas
pertanyaan yang diajukan, dan inilah yang disebut fatwa.

Kegiatan meminta penjelasan dari seorang ahli sebagaimana halnya


fatwa ini pada dasarnya didorong Al-Qur’an ini sebagaimana QS an-Nahl
[16]:43:

‫فاسـئالُ ۤۡوا ااه ال الذِك ِر اِن كُنتُم اَل ت اعلا ُمونا‬

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu


tidak mengetahui”.

Tradisi fatwa sendiri telah berlangsung sejak masa Nabi ketika Al-
Qur’an masih diturunkan secara bertahap. Bahkan terdapat peristiwa-
peristiwa dimana para sahabat meminta fatwa kepada Nabi kemudian
direkam dalam ayat-ayat yang sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan
tersebut seperti QS An-Nisa’ [4]:127:

‫سآءِ ؕ قُ ِل ہ‬
‫ّٰللاُ يُفتِيکُم فِي ِہنؐا‬ ‫او ياست افتُونا ا‬
‫ک فِی النِ ا‬

“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah :


“Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka”.

Pada masa Nabi, beliaulah sendiri dengan tuntutan wahyu dari Allah
yang berfungsi sebagai mufti dari berbagai persoalan yang muncul.
Sepeninggal beliau, tradisi ini diteruskan oleh para sahabat yang berpencar
ke berbagai daerah, sehingga masing-masing daerah memiliki mufti masing-
masing. Para mufti tersebut meneruskan ilmunya kepada murid-muridnya,
dan hal ini terus berlangsung dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

16 Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab atl-Ta’rifah, (Jeddah, al-Haramain, t.th), h. 32


F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 11
Fatwa merupakan produk yang dihasilkan melalui kegiatan istinbath
hukum17 suatu permasalahan baik permasalahan tersebut telah digariskan
hukumnya oleh ulama-ulama terdahulu maupun belum. Ifta’ itu sendiri
adalah sinonim dari ijtihad.18 Perbedaanya ifta lebih khusus dari ijtihad.
Ijtihad19 dilakukan terhadap suatu permasalahan baik kasusnya sudah terjadi
ataupun belum. Sedangkan ifta dilakukan terhadap suatu kasus yang sudah
terjadi dimana mufti memutuskan ketentuan hukumnya berdasarkan fakta
yang ada.

B. Fungsi Fatwa dalam Hukum Islam

Adanya pranata fatwa dalam hukum Islam, di samping qadha, telah


memberikan kontribusi yang signifikan bagi keberlakuan hukum Islam di
tengah kehidupan umatnya. Fatwa dan qadha merupakan interpretasi
sekaligus implementasi dari ketentuan hukum syariat Islam yang bersifat
global dan universal. Fatwa yang relatik spesifik untuk suatu kasus tertentu,
tempat tertentu dan masa tertentu memberikan daya fleksibilitas bagi syariat
Islam yang dianggap shalih li kulli zaman wa makan.20 Sehingga dapat
dikatakan bahwa fatwa memegang peranan penting dalam mendinamisasikan

17 Istinbath, secara bahasa berarti mengeluarkan air dari dalam tanah (mata air), sedangkan
secra istilah, istinbath bermakna mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada
dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal, lihat ’Ali Ibn Muhammad al-
Jurjani, Kitab atl-Ta’rifah, (Jeddah, al-Haramain, t.th), h.10
18 Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), h. 212
19 Ijtihad secara etimologi bermakna mencurahkan segala kemampuan dan daya, Ibn al-

Manzur al-Ifriqi, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar al-Shadir, 1990), j.III, h. 133-135, secara istilah,
menurut al-Syaukani, pengerahan segala kemampuan dalam memperoleh hukum syar’I yang
bersifa ‘amali melalui cara istinbath, Muhammad ‘Ali Ibn Muhammad Asy-Syaukani, Irsyad
al-Fukhul Ila Tahqiq al-Haqq Min ‘Ilm al-Usul, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994),
h.370, sedangkan Ibnu Subki mendefinisikan ijtihad sebagai pengerahan kemampuan seorang
faqih untuk menghasilkan dugaan kuat (zhan) tentang hukum syara’, Sa’alibi (al) al-Fasi, al-
Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995),j. III, h.
493. Dari definisi-definisi tersebut dapatlah diambil intisari dari ijtihad: 1. Ijtihad adalah
pengerahan segala daya nalar secara maksimal; 2. Ijtihad dilakukan oleh orang yang mencapai
derajat tertentu dibidang keilmuwan yang disebut faqih; 3. Hasil yang diperoleh dari usaha
ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliyah; 4. Ijtihad
ditempuh melalui cara-cara istinbath
20 Anis ‘Ubadah, Tarikh al-Fiqh al-Islami ‘Ahd an-Nubuwwah was-Sahabah wat-

Tabi’in, (t,t: Dar at-Tiba’ah, 1980), h.10


12 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
hukum Islam dalam kehidupan umat melalui respon terhadap persoalan yang
muncul sesuai dengan dimensi ruang dan waktu yang melingkupinya21.

Banyaknya kasus-kasus baru yang terjadi khususnya dalam bidang


ekonomi meniscayakan adanya fatwa dari lembaga yang kredibel dan
memahami realitas yang terjadi di masyarakat.

C. Sumber-Sumber Hukum dalam Ifta’

1. Al-Qur’an

Pengertian Al-Qur’an menurut ulama Ushul dan ulama fiqih sebagaiman


dikemukakan al-Syaukani adalah:

‫كالم هللا المنزل على رسو ل هللا محمد المكتوب في المصاحف المنقول ا لينا نقال متواترا‬

“Firman Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah Muhammad yang


tertulis dalam mushaf yang disampaikan kepada kita secara naqly dan
mutawattir”22.

Kalimat ‫كالم هللا المنزل على رسو ل هللا محمد المكتوب في المصاحف‬
mengecualikan kitab-kitab yang lain, hadist qudsi, hadist Nabi, dan yang
lainnya. Kalimat ‫ المنقول ا لينا نقال متواتر‬mengecualikan qiraat (bacaan-
bacaan) yang syadz. Dengan demikian al-Qur’an adalah kitab samawi
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang disampaikan secara
mutawattir, sehingga terjadi otentisitasnya bahkan dari qiraat yang syadz
sekalipun.

Kehujjahan al-Qur’an

Kaum muslimin dari berbagai kalangan sepakat bahwa al-Qur’an


merupakan sumber hukum utama dalam hukum Islam. Setiap mujtahid

21 Fathurrahman Djamil, Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos,


1995), h.19
22 Muhammad ‘Ali Ibn Muhammad asy-Syaukani, Op. Cit., h. 29

F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 13
yang menggali hukum Islam tidak dibenarkan menjadikan dalil lain
sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat al-Qur’an.
Apabila tidak ditemukan dalam al-Qur’an barulah beralih kepada
sumber hukum yang lain.

Al-Qur’an adalah sumber hukum bagi umat Islam dalam


menetapkan permasalahan dalam berbagai bidang kehidupan. Allah
Ta’ala berfirman:

‫ض اما أا ْنزا ال ه‬
‫ّٰللاُ إِلايْكا‬ ‫ّٰللاُ اوَل تاتهبِ ْع أا ْه اوا اءهُ ْم اوا ْحذا ْرهُ ْم أا ْن يا ْفتِنُوكا ا‬
ِ ‫ع ْن با ْع‬ ‫اوأا ِن ا ْحكُ ْم با ْينا ُه ْم بِ اما أا ْنزا ال ه‬
‫اس لافاا ِسقُونا‬ ً ‫ض ذُنُو ِب ِه ْم او ِإ هن اكث‬
ِ ‫ِيرا مِنا النه‬ ِ ‫ّٰللاُ أا ْن ي‬
ِ ‫ُصي اب ُه ْم ِب اب ْع‬ ‫فاإِ ْن ت ااوله ْوا فاا ْعلا ْم أانه اما ي ُِريدُ ه‬

...dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut


apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka
tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan
Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan
sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik. QS. Al-Maidah: 49.

Maka, apabila terjadi perbedaan pendapat maka harus


dikembalikan kepada Al-Qur’an, sebagaimana firmanNya:

‫الرسُو ال اوأُولِي األ ْم ِر ِم ْنكُ ْم فاإِ ْن تاناازا ْعت ُ ْم فِي ا‬


ُ‫ش ْيءٍ فا ُردُّوه‬ ‫ّٰللا اوأاطِ ي ُعوا ه‬‫ياا أايُّ اها ا هلذِينا آ امنُوا أاطِ ي ُعوا ه ا‬
‫س ُن تاأْ ِويال‬‫اَّلل او ْاليا ْو ِم اآلخِ ِر اذلِكا اخي ٌْر اوأا ْح ا‬
ِ ‫الرسُو ِل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِم ُنونا بِ ه‬ ِ ‫إِلاى ه‬
‫ّٰللا او ه‬

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. QS. An-Nisaa: 59.

14 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Merujuk pada ayat-ayat tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa Al-Qur’an adalah pokok dari segala sumber hukum dalam
menetapkan dan memutuskan suatu permasalahan yang dihadapi oleh
manusia, termasuk menjadi sumber hukum utama dalam penetapan
hukum bisnis Islam. Semua aturan bisnis dalam Islam haruslah
didasarkan kepada Al-Qur’an, semua yang telah diharamkan oleh Al-
Qur’an maka keharamannya adalah mutlak dan tidak bisa diganggu
gugat. Demikian pula sesuatu yang diboleh dalam Al-Qur’an maka
boleh untuk melaksanakannya selama tidak ada dalil lain yang
memalingkan hukumnya.

Kandungan Hukum Dalam Al-Qur’an

Secara global hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an terbagi


menjadi tiga macam:

1. Hukum-Hukum I’tiqadiyah
Yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban mukallaf
untuk beriman kepada Allah, Malaikat, Rasul-Rasul-Nya, dan Hari
Akhir.
2. Hukum-Hukum Akhlaqiyah
Yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah akhlak baik yang
terpuji maupun tercela.
3. Hukum-Hukum ‘Amaliyah
Yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah perbuatan,
perkataan, perikatan, dan kerjasama antara sesame manusia. Bagian
ketiga inilah yang disebut sebagi fiqih al-Qur’an. Selanjutnya hukum-
hukum amaliyah ini diperinci menjadi:
a. Ahkam al-Ibadah yaitu hukum yang berkaitan dengan masalah
kewajiban mukallaf seperti shalat, zakat, haji, puasa, dan jihad yang
termuat dalam 140 ayat.
b. Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah (Hukum Keluarga) yaitu hukum
yang berkaitan dengan masalah keluarga mulai dari
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 15
pembentukannya. Hukum ini mengatur tentang hubungan suami-istri
dan kerabatnya. Ayat -ayat mengenai hukum tersebut sekitar 70
ayat.
c. Ahkam al-Jinayah (Hukum Pidana) yaitu hukum yang berhubungan
dengan masalah pidana dan akibat-akibat hukumnya. Jumlah ayat
mengenainya sekitar 30.
d. Ahkam al-Murafa’at (hukum acara) yaitu hukum yang berhubungan
dengan pengadilan, kesaksian dan sumpah. Jumlahnya sekitar 13
ayat.
e. Al-Ahkam al-Dusturiyyah (hukum perundang-undangan)yaitu
hukum yang berkaitan dengan asas dan tata cara pembentukan
hukum. Jumlahnya sekitar 10 ayat.
f. Al-Ahkam al-Dauliyah (hukum Internasional) yaitu yang
berhubungan dengan pergaulan antar bangsa di dunia. Jumlah
ayatnya sekitar 25 ayat.
g. Al-Ahkam al-Madaniyah (hukum privat) yaitu yang berhubungan
dengan muamalah antar individu, masyarakat, dan badan-badan
usaha. Jumlah ayatnya sekitar 70.
h. Al-Ahkam al-Iqtishadiyah wa al-Maliyah (hukum ekonomi dan
keuangan) yaitu yang berkaitan dengan pengaturan hak-hak orang
miskin, pengaturan sumber-sumber ekonomi, hubungan ekonomi
antara individu, masyarakat, dan Negara. Jumlah ayatnya sekitar 10
ayat.23
Jumlah keseluruhan ayat hukum tersebut di atas adalah 368 ayat.
Dari jumlah tersebut sekitar 20% nya merupakan bidang yang berkaitan
dengan ekonomi dan segala perikatan yang berkaitan dengannya.

Sifat-Sifat Ayat-Ayat Ahkam

Nash-nash al-Qur’an semuanya adalah pasti (qath’i) bila ditinjau dari


datangnya ketetapannya, dan dari sgi dinukilnya dari Rasulullah kepada

23 Abd Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Qalam, 1978), h..32
16 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
kita. Sedangakan dari segi penunjukan (dilalah)nya terhadap hukum
terbagi dua, yaitu: a. Qath’iy al-Dilalah;
Yang dimaksud dengan nash qath’iy al-dilalah yaitu nash yang
menunjukkan kepada arti yang jelas untuk dipahami, sehingga nash itu
tidak dapat ditakwilkan dan tidak menerima arti lain, seperti ayat-ayat
mawarist yang menerangkan bagian-bagian dzawil furudh.

b. Zhanniy al-Dilalah.
Adapun nash yang zhanniy al-dilalah adalah nash yang menunjukkan
kepada arti yang masih dapat dita’wilkan atau dialihkan kepada arti yang
lain. Seperti lafal “quru” dalam QS al-Baqarah:227 yang merupakan lafal
musytarak, dapat berarti suci dan dapat berarti haidh. Atas dasar tersebut
para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan dalam menentukan
lamanya iddah bagi wanita yang dithalaq suaminya, antara tiga kali masa
haidh atau tiga kali masa suci.24

2. As-Sunnah

Istilah sunnah di kalangan ahli ushul berarti setiap perkataan, perbuatan,


atau taqrir Rasulullah saw selain al-Qur’an yang dapat dijadikan dalil
hukum. Di kalangan ulama ushul, sunnah adalah setiap perkataan,
perbuatan, atau taqrir Rasulullah saw selain al-Qur’an yang dijadikan dalil
hukum. Dalam istilah fuqoha, sunnah berarti semua yang berasal dari
Rasulullah yang bukan fardhu atau wajib.25

Allah SWT menurunkan al-Qur’an kepada manusia melalui rasul-Nya


sebagai petunjuk hidup di dunia dan pedoman menuju akhirat. Ajaran-
ajaran yang dimuat dalam al-Qur’an tidak dapat dipahami tanpa adanya
penjelasan dari Rasulullah. Segala penjelasan Rasulullah baik pernyataan
langsung atau contoh praktis itulah yang dipahami sebagai sunnah. Dengan

24 Ibid., h. 34-35
25 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis’Ulumuh wa Mustalahuh, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1989), h. 19
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 17
demikian al-Sunnah merupakan sumber hukum yang tidak dapat
dipisahkan dari al-Qur’an.

Dalam hubungannya dengan al-Qur’an al-Sunnah memiliki fungsi: 1.


Memperkuat ketentuan hukum al-Qur’an; 2. Memperjelas kemujmalan
ketentuan hukum al-Qur’an, membatasi kemutlakannya, atau mentakhsis
keumumannya; 3. Menetapkan suatu hukum yang belum ditetapkan dalam
al-Qur’an26.

Atas dasar itulah kaum muslimin juga sepakat sunnah Nabi sebagai
dalil/sumber hukum. Hanya ada segelintir kaum khawarij yang tidak
memandang sunnah sebagai dalil, yang kemudian pandangan ini
melahirkan kaum ingkar al-Sunnah27, namun ini hanyalah segolongan
kecil.

Rasulullah Shalallau Alaihi Wassalam dalam sebuah haditsnya pernah


bersabda:

‫ تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجد‬،‫عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي‬

Berpeganglah kamu sekalian pada sunnahku dan sunnah para Khulafa’


Rashidin setelahku. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah ia erat-erat
dengan gigi geraham.

Merujuk pada ayat Al-Qur’an serta hadits-hadits Nabi yang mulia


maka, Al-Hadits atau As-Sunnah adalah sumber dalam penetapan hukum
Islam dalam berbagai bidang kehidupan umat manusia termasuk dalam
masalah bisnis.

Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah dua sumber hukum Islam yang paling
utama, keduanya tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang
lainnya. Sesuatu yang diharamkan di dalam keduanya memiliki kedudukan
yang sama, sehingga jika As-Sunnah mengharamkan sesuatu maka sejatinya

26 Abd al-Wahhab Khalaf, Op.Cit.,h. 40


27 Nasrun RUsli, Ijtihad asy-Syaukani, (Jakarta:Logos, 1999), h.29
18 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
itu adalah ketetapan dari Allah Ta’ala. Tentu saja dengan catatan bahwa as-
sunnah tersebut memiliki derajat yang shahih (valid).

Sifat Hadist Hukum

Dilihat dari dari segi qath’iy dan zhanninya terbagi:

1. Dari segi Wurudnya, maka sunah mutawattirah adalah qath’iy al-Wurud


dari Rasulullah, sedangkan sunah masyhurah adalah qath’iy al-Wurud dari
sahabat, sedangakan sunnah ahad adalah zhanniyah al-Wurud dari Rasul
karena cara-cara penyampaiannya tidak memberikan keyakinan secara
qath’iy.
2. Dari segi dilalahnya tiga macam hadist diatas itu ada kalanya qath’iyat al-
dalalah dan ada kalanya zhanniyat al-dilalah.

3. Ijma’ (Kesepakatan Ulama’)

Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad, setelah


beliau wafat pada suatu masa atas suatu hukum syara.28 Mengenai kehujahan
ijma’ masih terdapat perselisihan pendapat di kalangan umat Islam. Empat
mazhab sunni mengakui ijma’ sebagi hujjah yang berdiri sendiri (Mustaqil)
dan bersifat qath’i. Meskipun demikian kebanyakan merekapun masih
meraguakan kemungkinan terjaidnya ijma’setelah masa sahabat, seperti
Syafi’i, Ahmad Ibn Hanbal, Abu Muslim al-Isfahani, Ibn Taimiyah, dan
mazhab Zahiri.29 Atau dengan kata lain mayoritas hanya mengakui ijma’pada
masa sahabat, bahkan Muhammad al-Khudluri Beik, mempersempit lagi
kemungkinan terjadi ijma’ hanya pada masa Abu Bakar dan Umar, sebelum
terjadinya perpecahan di kalangan umat.30 Adapula kalangan minoritas yang
tidak mengakui kehujahan ijma’ seperti kaum khawarij dan kaum Rawafidl31.

28
Abd al-Wahhab Khalaf, Op. Cit., h.45
29 Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., h. 157-158, lihat juga al-Syaukani, Op. Cit., h.73,
Wahbah az-Zuhaili, Op. Cit., h.., h. 30
30 Muhammad al-Khuduri Bek, Usul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr,1998), h.285
31 Nasrun RUsli, Konsep Ijtihad asy-Syaukani, (Jakarta: Logos, 1999), h.30

F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 19
Salam Madkur berpendapat bahwa ijma' adalah “Kesepakatan para
mujtahid dari umat Islam atas hukum syara' (mengenai suatu masalah) pada
suatu masa sesudah Nabi wafat. Sementara Abdul Wahab Khalaf
mengatakan bahwa Ijma' adalah bersepakatnya seluruh ulama mujtahid dari
kaum muslimin pada suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad
Shalallahu Alaihi Wassalam pada hukum syar'i yang mereka hadapi.

Ada ikhtilaf di kalangan para ulama berkenaan dengan ijma' ini seperti
disebutkan Muhammad Salam Madkur, menurut Imam Malik bahwa ijma'
yang dapat diakui adalah ijma fuqaha ulama Madinah, sedangkan menurut
kalangan Syiah, ijma' yang diakuinya adalah hanya ijma' dari kalangan
mujtahidin Syi'ah dan menurut Imam Ahmad dan Madzhab Dzahiry yang
diakui terjadi hanyalah ijma' shahabat.

Terlepas dari perbedaan tersebut maka pendapat yang paling kuat


adalah bahwa ijma’ berlaku hingga akhir zaman. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa ijma' adalah kesepakatan para ulama mujtahidin setelah wafatnya
Nabi sampai akhir zaman atas suatu masalah-masalah baru yang tidak
ditemukan dalilnya secara sharih.

Ijma’ dalam era kontemporer bermakna sama, yaitu kesepakatan dari


para ulama tentang suatu masalah fiqh yang tidak ada dasar hukumnya dari
Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Misalnya dalam masalah bunga bank, maka
ulama bersepakat (ijma’) mengenai keharamannya. Ijma’ menjadi dalil
hukum dalam penetapan hukum bisnis Islam khususnya pada permasalahan
baru yang belum ditemukan sumber hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah secara pasti.

4. Qiyas

Qiyas secara bahasa berarti mengukur dan menyamakan antara dua hal,
baik yang konkret, seperti benda-benda yang dapat dipegang, diukur dan
sebagainya, maupun benda yang abstrak seperti kebahagiaan, kepribadian
dan sebagainya. Penulis Syarh Al-Waraqat menyebutkan bahwa qiyas adalah

20 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
“Mengembalikan hukum furu' (cabang) kepada hukum Ushul (pokok)
dengan sebab adanya illat yang sama”.

Abdul Wahab Khalaf menyebutkan “Definisi qiyas menurut pendapat


ulama ushul adalah “Memutuskan sesuatu yang terjadi yang tidak ada nash
hukum tentang hal tersebut dengan sesuatu yang terjadi dan telah ada nash
hukumnya dan pada hukum yang sudah jelas nashnya, menyamakan dua
kejadian tersebut dengan ilat hukum yang sama.

Abdullah bin Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwa qiyas adalah ushul


keempat dari pokok-pokok sumber hukum Islam. Kalangan Dzahiriyah
menyelisihi hal ini, namun pendapat yang paling benar adalah pendapat
Jumhur, yaitu dipakainya qiyas sebagai dalil hukum syar'i, jika dikatakan
bahwa qiyas sebagai dalil yang bersifat dzanny, maka hal ini tidaklah tepat
karena khabar ahad juga merupakan dalil yang bersifat dzani namun tetap
dapat digunakan sebagai sumber hukum.

Sementara Ahmad Hanafi mendefinisikan qiyas dengan


“Mempersamakan hukum sesuatu perkara yang belum ada kedudukan
hukumnya dengan sesuatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya
karena adanya segi-segi persamaan antara keduanya yang disebut illat atau
sebab-sebabnya”.

Berdasarkan jenisnya maka Qiyas terbagi menjadi tiga yaitu : Qiyas


'ilat, Qiyas Dalalah dan Qiyas Syibh. Qiyas ‘illat adalah adanya sebab yang
sama sehingga hukum yang baru dihukumi dengan hukum yang lama,
sementara qiyas dalalah adalah karena adanya petunjuk yang sama dengan
hukum sebelumnya sehingga kemudian hukumnya disamakan. Sedangkan
qiyas sibh adalah qiyas yang diambil karena adanya kesamaan dalam
beberapa hal antara hukum yang terjadi saat ini dengan hukum yang telah
terjadi pada masa lalu.

Pada zaman sekarang ini urgensi dari qiyas begitu banyak, mengingat
semakin berkembangnya hal-hal baru yang tidak ada nash dalilnya baik dari

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 21


Al-Qur'an maupun Al-Sunnah, sehingga diperlukan adanya qiyas yang dapat
mengatasi semua masalah tersebut. Aplikasi qiyas dalam bidang hukum
bisnis Islam contohnya adalah mengenai zakat mal berupa uang yang
diqiyaskan dengan zakat emas dan perak pada masa lalu.

Qiyas menjadi dalil hukum dalam Islam yang saat ini semakin
berkembang, apalagi dalam ranah hukum bisnis Islam di mana diperlukan
adanya penetapan hukum yang didasarkan pada qiyas. Sehingga
pengembangan dari qiyas harus terus dilakukan untuk menjawab berbagai
persoalan yang dihadapi saat ini dan di masa yang akan datang.

5. Istihsan

Istilah istihsan secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang memiliki
akar kata hasan, yaitu kata ‫استحسانا‬-‫يستحسن‬-‫( استحسن‬ihtasana-yastahsinu-
istihsaanan) yang bermakna menganggap sesuatu yang baik atau mengikuti
sesuatu yang baik. Wahbah Al-Zuhaily berpendapat bahwa kata istihsan
menurut bahasa Arab bermakna ‫( عد الشء واعتقاده حسنا‬memilih suatu masalah
yang dianggap lebih baik dari yang lainnya). Sedangkan Abdul Wahab
Khalaf mengatakan bahwa istihsan secara bahasa adalah “Memperkirakan
sesuatu hukum yang dianggap terbaik”.

Sedangkan menurut istilah istihsan adalah “Tindakan mujtahid dalam


menghadapi suatu masalah yang lebih mengutamakan dalil qiyas yang jaly
daripada qiyas khafy, atau dari hukum yang bersifat kully (menyeluruh)
kepada hukum yang bersifat pengecualian pada dalil yang diambil dalam
pemikirannya yang lebih rajih dalam hal keadilan”.

Abdul Wahab Khalaf dalam kesempatan lain berpendapat bahwa


makna yang lebih komprehensif tentang ihtihsan yaitu “Pindah dari suatu
hukum mengenai suatu masalah kepada hukum lain (dalam memutuskan
persoalan tersebut) karena ada dalil syar'i yang mengharuskan demikian.

Ahmad Hanafi mendefinisikan istihsan dengan mengecualikan


(memindahkan) hukum sesuatu peristiwa dari hukum-hukum peristiwa lain
22 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
suatu masalah. Oleh karena itu fatwa sahabat memiliki peranan yang sangat
penting dalam penetapan hukum karena:

1. Para sahabat mambantu generasi selanjutnya dalam memahami nash al-


Qur’an maupun al-Sunnah.
2. Metode istinbath yang digunakan para sahabat merupakan model dalam
ijtihad, seperti riwayat yang dikeluarkan Maimun bin Mahram.
Sesungguhnya Abu Bakar itu bila ada pertikaian yang diajukan
kepadanya, ia mencarinya dalam Kitabullah. Jika penyelasaiannya terdapat
dalam kitabullah dan ia temukan dalam al-Sunnah, maka ia berhukum pada al-
Sunnah. Jika sulit menemukannya maka ia keluar bertanya kepada yang lain,
“Telah sampai kepadaku suatu kasus, apakah anda pernah melihat Rasulullah
memutuskan permasalahan tersebut?”. Terkadang kelompok (yang ditanya) itu
secara keseluruhan sepakat menyebutkan ada keputusan tentang masalah itu
dari Rasul. Jika pada kelompok itu sulit ditemukan sunnah, ia mengumpulkan
para pemimpin dan orang terkemuka untuk bermusyawarah. Jika pendapat
mereka disepakati bersama, maka ia akan memutuskan hukum dengan
pendapat tersebut. Apa yang dilakukan Abu Bakar ini dilakukan oleh
penerusnya, Umar.33

Fatwa Para Imam Mujtahid

Dalam proses penyebaran ajaran Islam dan pembinaan umat ke berbagai


pelosok, Rasulullah saw mengirim para sahabatnya dalam misi tersebut.
Setelah Rasul wafat dengan meninggalakan kekuasaan Islam yang semakin
luas, para sahabat banyak berpencar ke berbagai wilayah untuk membina umat
Islam. Setelah para sahabat wafat misi ini dilanjutkan oleh para tabi’in, tabi’ut
al-Tabi’in hingga para imam mujtahid.
Luasnya wilayah kekuasaan Islam ditambah sulitnya komunikasi di
antara mereka serta kondisi wilayah masing-masing yang berbeda-beda
mengakibatkan timbulnya berbagai macam pendapat dalam masalah hukum

33 Muhammad ‘Alias-Sayis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihad wa Atwaruh, alih bahasa M.

Ali Hasan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995). H. 19


F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 29
yang bermuara pada terbentunya madzhab-madzhab fiqih. Perbedaan
pengetahuan tentang nash khususnya al-Sunnah sangat berpengaruh terhadap
hasil ijtihad (fatwa) seorang mujtahid. Setelah banyaknya terjadi
penyalahgunaan wewenang ijtihad, maka sebagian ulama memfatwakan
tertutupnya pintu ijtihad dan mencukupkan diri dengan pendapat-pendapat
para ulama mujtahid pendiri madzhab yang dianggap sudah memiliki pondasi
dan antisipasi bagi pengembangan hukum Islam di masa mendatang. Atas
dasar itulah mereka memandang para imam mujtahid sebagai sumber hukum34.

Di antara urgensi fatwa mujtahid itu adalah:

1. Membantu umat Islam secara umum dalam memahami nash-nash al-


Qur’an dan al-Sunnah karena diantara imam mujtahid ada yang berguru
kepada para sahabat dan tabi’in yang lebih memahami tentang al-Qur’an
dan al-Sunnah.
2. metode yang digunakan para mujtahid tersebut dapat dijadikan model bagi
para mujtahid generasi selanjutnya dalam menetapkan hukum. Para imam
mujtahid ini berbeda secara masa, tempat, lingkungan, dan metode
ijtihadnya, sehingga bagi mereka yang akan menetapkan hukum terbuka
berbagai pilihan hukum.
3. Bagi mereka yang tidak mampu berijtihad, maka fatwa mujtahid
merupakan dasar hukum yang dapat dijadikan pegangan dalam beramal.

D. Metode Istinbat Hukum dalam Ifta

Ketika seorang mufti disodorkan suatu permasalahan, maka ia harus


mengistinbatkan hukum atas kasus tersebut dari sumber-sumber hukum
yang ada. Istinbat tidak akan membuahkan hasil yang memadai kecuali
dengan menempuh metode-metode yang tepat. Untuk itulah para ulama usul

34Pendapat ini menurut penulis justru menjadi kontraproduktif khususnya bagi


kebebasan berfikir umat dan mematikan kreatifitas mereka, terbukti setelah itu umat jarang
untuk tidak mengatakan tidak pernah melahirkan para ulama sekalipun para pendiri madzhab.
30 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
menyusun kaidah-kaidah istinbat yang dapat dijadikan pedoman dalam
menetapkan hukum yang diklasifikasikan menjadi tiga:35

a. Metode Bayani/Analisa kebahasaan

Metode ini berupaya untuk menjelaskan teks al-Qur’an dan Hadist


dalam menetapkan hukum dengan menetapkan hukum dengan
menggunakan analisis kaidah keabsahan. Yang dimaksud dengan
kaidah keabsahan adalah kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para ahli
bahasa dan kemudian diadopsi oleh para ulama ushul untuk melakukan
pemahaman terhadap makna lafal sebagai hasil analisa induktif sebagai
tradisi dari tradisi kebahasaan bangsa Arab sendiri, baik bahasa prosa
maupun syair/nazam.36

Karena sumber utama hukum Islam al-Qur’an dan Hadist,


menggunakan bahasa arab, maka untuk dapat mengistinbatkan hukum
dari keduanya secara memuaskan, pengetahuan mengenai seluk-beluk
bahasa Arab merupakan suatu keharusan, bahkan al-Ghazali
menyatakan kaidah kebahasaan sebagai pilar ushul fiqh dan merupakan
sandaran dalam beristinbath. Karena yang dianalisa adalah aspek bahasa
dari nash, maka metode ini digunakan untuk menjelaskan hukum yang
kasusnya telah terdapat dalam al-Qur’an dan Hadist.
Pembahasan metode bayani ini dalam kajian usul fiqh mencakup:

1. Analisa berdasarkan segi makna lafadz (bi I’tibar al-lafz lil-ma’na)

2. Analisa berdasarkan segi pemakaian makana (bi I’tibar isti’mal al-lafz lil-
ma’na)

3. Analisa berdasarkan segi terang dan samrnya makna (bi I’tibar dalalah al-
lafz ‘ala al-Ma’na bi hasab zuhur al-ma’n wa khafa’ih)

35 Ma’ruf ad-Dawalibi, al-Madkhal Ila ‘Ilm Usul al-Fiqh, (Lebanon: Dar al-Kitab al-
Jadid, 1965), Cet. V, h. 422
36 Ibid

F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 31
4. Analisa berdasarkan segi penunjukan lafadz kepada makna menurut
maksud pencipta nash (bi I’tibar kafiyyah dalalah al-lafz lil-ma’na).37

Dari segi makna lafaz, ada suatu lafal yang ditempatkan untuk
menunjukkan suatu makna tertentu (khass) dan ada pula suatu lafal yang
ditempatkan untuk menunjukkan makna umum (‘amm); ada lafal yag
mengacu kepada dua makna atau lebih (musytarak) dan ada pula dua lafal
atau lebih yang mengacu kepada satu makna (muradif); dan adapula lafal
jama’ yang mencakup satuan-satuan yang banyak, akan tetapi tidak
mencakup seluruh satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya
(jama’munakkar).

Dari segi pemakaian arti, ada lafal yang menunjuk kepada pengertian
yang asli (al-haqiqah) dan ada lafal yang menunjuk kepada pengertian yang
lain yang bukan makna asli, karena ada suatu indikasi yang menghendaki
demikian (al-majaz); selain itu ada pula suatu lafal yang mengacu kepada
pengertian yang jelas karena pengertian tersebut telah lazim dipakai (sarih),
dan ada pula lafal yang samar maksudnya karena baru diketahui karena ada
indikasi lain yang membantu untuk mengetahui maknanya (kinayah).

Dari segi terang dan samarnya makna, ada lafal yang petunjuk
maknanya jelas tanpa memerlukan lafal lain untuk memperjelasnya (wadih
ad-dalalah) dan adapula yang tidak jelas petunjuk maknanya kecuali ada
lafal lain yang membantu untuk menjelaskannya (khafi ad-dalalah)38

Dari segi penunjukan lafadz kepada makna menurut maksud pencipta


nash, ada lafal yang petunjuk teksnya mengacu kepada ungkapan eksplisit

37
Ibid, h. 179
38 Menurut Hanafiyah lafal yang petunjuk maknanya (wadhih al-dilalah) jelas terbagi
empat, yaitu: (1). Al-zhahir, (2). Al-nashsh, (3). Al-mufassar, (4). Al-muhkam;yang pertama
petunjuk maknanya jelas, lalu kejelasan makna tersebut disusul lagi yang selebihnya, dan
yang terakhir adalah yang paling jelas petunjuk maknanya; sedangkan menurut ulama
Syafi’iyyah lafal yang demikian hanya dibagi atas dua bentuk: (1). Al-zhahir (masih mungkin
menerima takwil) (2). Al-nashsh (tidak menerima takwil)
32 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
(al-mantuq) dan ada lafal yang petunjuk teksnya mengacu kepada makna
implisitnya (al-mafhum).39

Selain itu termasuk dalam metode ini adalah tata cara penyelesaian
dalil-dalil yang secara lahiriyah terlihat bertentangan (ta’arud al-adillah),
yang mencakup kompromi antara nash-nash yang berlawanan (al-jam’ wa al-
taufiq), mengamalkan dalil yang lebih kuat dan menegaskan yang lebih
lemah (tarjih)40, menghapus ketentuan dalil yang datangnya lebih dahulu
(naskh al-Mansukh), atau tidak mengamalkan kedua dalil tersebut dan
berpaling kepada dalil lain (tawaqquf).41

b. Metode Ta’lili

Metode ta’lili yaitu metode untuk menggali dan menetapkan hukum


terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam
nash baik secra qat’i maupun zanni, dan tidak juga ada ijma’ yang
menetapkan hukumnya, namun hukumnya tersirat dalam dalil yang ada.
Istinbat jenis ini ditujukan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa dengan
merujuk pada kejadian yang telah ada hukumnya karena antara dua peristiwa
itu terdapat kesamaan ilat hukum. Dalam hal ini mufti menetapkan hukum
peristiwa berdasarkan kejadian yang telah ada nashnya. Istinbat jenis ini
dilakukan menggunakan metode qiyas42 dan istihsan.43 44

39 Menurut Hanafiyah membagi lafal dalam kategori ini menjadi empat: (1). Dalalah

al-ibarah, (2). Dalalah al-Isyarat, (3). Dalalah al-dalalah, (4). Dalalah al-iqtidha
40 Pada masa kini tarjih tidak hanya diartikan sebagai upaya menyeleksi pendapat-

pendapat yang berkembang dalam mazhab tertentu, tetapi lebih luas cakupannya yaitu
meneyeleksi beragam pendapat pendapat dari beragam mazhab, kemudian diambil pendapay
tang rajih, berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, Yusuf al-Qardhawi menyebut
pendekatan istinbat dalam bentuk ini dengan ijtihad tarjihi atau intiqa’I, lihat Yusuf al-
Qardhawi, al-Ijtihad fi asy-Syari’ah al-Islamiyah Ma’a Nazrah Tahliliyyah fil-Ijtiha al-
M’asir, (Kuwait:Dar al-Qalam, 1985), h.115. Coulson menyebut upaya dalam bentuk ini
‘takhayyur’ atau electric expedient (pilihan bebas), lihat N.J. Coulson, A History of Islamic
Law, (Edinburg:Edinburg University Press, 1964), h.185
41 Urutan diatas dipaki oleh jumhur ulama dalam menyelasaikan ta’arud al-Adillah,

sedangkan melakukannya dengan urutan: naskh al-Manasukh, tarjih, al-Jam’ wal-taufiq, dan
tawaqquf
42 Qiyas, secara bahasa berarti analogy, secara istilah qiyas bermakna ‘penerapan

hukum suatu kasus yang ditegaskan hukumnya oleh nash kepada kasus yang tidak ditegaskan
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 33
Penalaran yang dipakai berusaha melihat apa yang melatarbelakangi
suatu ketentuan hukum dalam al-Qur’an atau Hadist. Dengan kata lain apa
yang menjadi illat (nilai hukum/sebab efektif) dari suatu peraturan.45
Menurut ulama, semua ketentuan hukum mengandung illat, karena tidak
layak tuhan memberi peraturan tanpa tujuan dan maksud yang baik.46

Di dalam Qur’an dan Hadist sendiri, dari berbagai ketentuan hukumnya,


ada yang disebutkan secara tegas illatnya, ada yang diisyaratkan saja, dan
ada pula yang tidak disebutkan. Dari ketentuan yang tidak disebutkan
illatnya tersebut, ada yang bisa ditemukan melalui perenungan dan ada pula
yang belum terungkap hingga kini. Kebanyakan peraturan yang tidak
diketahui illatnya adalah peraturan-peraturan di bidang ibadah murni
(mahdah). Para ulama telah merumuskan cara-cara menemukan illat dari ayat
dan hadist47 serta menyusun kategori-kategorinya. Berdasarkan kegunaan
praktisnya illat dapat dibedakan kepada tiga kategori, yaitu illat tasyri’i, illat
qiyasi, dan illat istihsani48

Illat tasyri’i ialah illat yang digunakan untuk menentukan apakah


hukum yang dapat dipahami dari nash tersebut memang harus tetap seperti
apa adanya, atau boleh diubah kepada yang lainnya. Dengan kata lain

hukumnya oleh nash atas dasar persamaan illat yang terdapat pada kedua kasus tersebut’, lihat
Abd al-Wahhab Khallaf, Op.Cit., h. 52
43 Istihsan adalah meninggalkan qiyas jaly untuk menjalankan qiyas khafi atau beralih

dari tuntutan keumuman nash kepada norma hukum yang khusus, atau meninggalkan hukum
kulli untuk menjalakann hukum istitsna’i disebabkan ada dalil yang membenarkannya, lihat
Ibid, h.79
44 Muhammad Salam Madkur, Manahij al-Ijtihad fil-Islam, (Kuwait:al-Matba’ah al-

Asriyyah, 1973), h. 396-400


45 Dalam usul fiqh, illat dirumuskan sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dan dapat

diketahui secara objektif (zahir), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya
(mundabit) dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib), yang keberadaannya merupakan
penentu adanya hukum
46 Sya’labi, Ta’lili al-Ahkam (Kairo: Dar an-Nahdah al-‘Arabiyah, 1981), h.150
47
Secara garis besar proses penemuan illat dapat dilakukan melalui tiga tahap: (1).
Takhrij al-Manat, menginventarisasi beberapa sifat yang diduga dapat dijadikan illat, (2).
tanqih al-Manat, menyeleksi beberapa sifat yang telah diinventarisasi pada tahap pertama,
dan (3). tahqiq al-Manat, membuktikan keefektifan illat, apakah dapat diterapkan pada furu’
ataukah tidak, uraian selengkapnya tentang masalah ini dapat dilihatdalam ‘Ali Hasballah,
Op. Cit, h. 189
48 Sya’labi, Op. Cit, h.142

34 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
berhubung diketahui illat pentasyri’an peraturan tersebut, maka para ulama
berani menakwilkan maknanya sesuai dengan illat yang dipahami tadi,
sehingga hukum yang muncul bergeser dari pemahaman sebelumnya atau
berbeda dengan arti harfiyahnya.

Sebagai contoh keputusan umar untuk tidak membagi-bagikan harta


rampasan perang (fa’i) berupa tanah pertanian di Irak, padahal pada masa
Rasul dan Abu Bakar, tanah tersebut dibagi-bagikan kepada tentara yang ikut
berperang. Keputusan Umar ini berdasarkan pemahamannya terhadap QS al-
Hasr ayat 7 yang menyebut: “agar kekayaan tidak menjadi monopoli orang-
orang tertentu”. Inilah yang dijadikan Umar sebagai illat bagi ketentuan
tentang rampasan perang. Ia melihat saat itu pembagian tanah pertanian yang
luas di Irak justru akan menciptakan tuan tanah baru, yang sebenarnya ingin
dihindari Qur’an.oleh sebab itu tanah tersebut harus dimiliki dan
dimanfaatkan oleh negara serta hasilnya nanti dibagi-bagikan kepada orang
yang berhak. Dalam illat tasyri’ ini tidak dipersoalkan ada qiyas atau tidak,
karena penekanan kajiannya adalah pada masalah itu sendiri. Kalau illat
tersebut ingin diberlakukan pada masalah lain, maka fungsinya berubah
menjadi illat qiyasi.

Illat qiyasi ialah illat yang digunakan untuk memberlakukan suatu


ketentuan nash pada masalah lain yang secara zhahir tidak dicakupinya.
Dengan kata lain illat ini digunakan untuk menjawab pertanyaan apakah nash
yang mengatur masalah X misalnya, juga berlaku untuk masalah Y (yang
secara harfiah tidak dicakupnya, namun antara kedua hal tersebut terdapat
kesamaan sifat). Sifat yang sama inilah yang disebut illat. Sebagai contoh
tentang keharaman khamr (minuman keras yang terdapat dari perasan kurma)
dalam surah al-Maidah ayat 90 dengan illat memabukkan. Ayat ini secara
harfiah (penalaran bayani) tidak mencakup wisky, bir, atau tuak yang bahan
dasarnya bukan kurma. Tetapi hukum ketiga minuman ini disamakan dengan
khamr, karena mengandung illat yang sama yaitu memabukkan.

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 35


Illat istihsani, yaitu illat pengecualian, maksudnya mungkin saja ada
pertimbangan khusus yang menyebabkan illat tasyri’i tadi tidak dapat
berlaku terhadap masalah yang seharusnya ia cakup, atau begitu juga qiyas
tidak dapat diterapkan karena adapertimbangan khusus yang
menyebabkannya dikecualikan. Dengan demikian, illat kategori ini mungkin
ditemukan sebagai pengecualian dari yang pertama, sebagaiman mungkin
juga menjadi pengecualian untuk kategori kedua. Yang membedakan ketiga
pengelompokan illat ini hanyalah kegunaannya dan intensitas
persyaratannya. Persyaratan untuk illat qiyasi lebih banyak daripada
persyaratan untuk illat tasyri’i dan istihsani. Dengan penjelasan di atas maka
dapat dinyatakan bahwa dalil qiyas dan istihsan telah tercakup dalam istinbat
ta’lili.

c. Metode Istishlahi

Metode istishlahi adalah metode yang digunakan untuk menggali,


menemukan, dam merumuskan hukum syara’ dengan cara menerapkan
hukum kulli untuk peristiwa yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam
nash baik qath’i maupun zhanni, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya
dengan nash yang ada, belum diputuskan dengan ijma’, serta tidak
memungkinkan mencari kaitannya dengan jalan qiyas atau istihsan. Jadi
dasar pegangan dalam ijtihad bentuk ketiga ini hanyalah jiwa hukum syara’
yang bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan manusia, baik dalam
bentuk mendatangkan manfaat ataupun menolak mudharat dalam rangka
memelihara agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta.49

Penalaran yang dipakai menggunakan ayat-ayat atau hadist-hadist yang


mengandung “konsep umum” sebagai dalil atau sandarannya. Misalnya ayat-
ayat yang menyeluruh berlaku adil; tidak boleh mencelakakan diri sendiri
dan orang lain; bahwa dalam setiap kesulitan pasti ada jalan keluar yang
meringankannya; tujuan suatu peraturan adalah untuk kemaslahatan dan

49 Muhammad Salam Madkur, Loc.Cit


36 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
lainnya. Biasanya penalaran ini dilakukan kalau masalah yang akan
diidentifikasi (takyif) tersebut tidak dapat dikembalikan kepada suatu ayat
atau hadist tertentu secara khusus. Dengan kata lain, tidak ada bandingan
yang tepat dari zaman Nabi yang bisa digunakan.

Misalnya aturan untuk pembuatan SIM, tidak ditemukan bandingan dari


Sunah Nabi untuk mengatur masalah ini. Tetapi mengatur masalah baru
tersebut―baik menerima atau menolaknya―adalah perlu karena
menyangkut hidup dan hajat orang banyak. Cara kerjanya, ayat dan hadist
tersebut digabungkan satu sama lain, sehingga kesimpulannya akan
merupakan sebuah “prinsip umum”. Prinsip umum ini dideduksikan pada
persoalan-persoalan yang ingin diselesaikan tadi. Lebih jauh, para ulama
telah membuat tiga kategori kemaslahatan yang menjadi sarana semua
perintah dan larangan Allah SWT, yaitu dlaruriyyat, hajiyyat.

Secara umum, terlebih dahulu ditentukan dalam kategori yang mana


persoalan yang akan dikualifikasi/diidentifikasi itu berada. Setelah itu diteliti
pula apakah penerimaan atau penolakannya itu tidak menimbulkan dampak
negatif pada kategori yang lebih tinggi. Sekiranya menimbulkan dampak
negatif pada kategori yang lebih tinggi, maka perbuatan itu menjadi
terlarang. Sebagai contoh tentang kasus pemanfaatan organ tubuh orang yang
meninggal dicangkokkan pada orang yang masih hidup. Dalam hal ini ada
pertentangan dalam memberikan pertolongan unutk menyempurnakan atau
menyelamatkan manusia yang hidup dan perusakan terhadap mayat. Kalau
manfaat pertolongan lebih besar dari mudharat yang ditimbulkan akibat
perusakannya,maka pencangkokan dianggap boleh. Namun untuk contoh ini
sebenarnya masih banyak khilafiyah yang mengikutinya.

Dari uraian di atas kiranya dapat dinyatakan bahwa dalam ijtihad


istishlahi telah termasuk di dalamnya dalil-dalil mashalih al-mursalah,50

50Secara bahasa masalih merupakan bentuk jama’ dari maslahah, yaitu memelihara
maksud syar’i dalam penetapan hukum: mendatangkan manfaat dan mencegah
mafsadah/bahaya. Sedangkan mursalah bermakna mutlaq, yaitu tidak merujuk kepada nash
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 37
‘urf,51 dan istishab.52 Hal ini disebabkan karena pertimbangan utama para
ulama dalam menerima dalil-dalil tersebut adalah faktor kemashlahatan.

Bentuk ijtihad bayani diterima semua golongan, termasuk di kalangan


Zahiriyah dan Syi’ah, namun bentuk ijtihad ta’lili/qiyasi dan istishlahi
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menggunakannya.
Ulama Hanafiyah, Malakiyah, dan Hanabilah menggunakan dua bentuk
terakhir ini. Ulama Zahiriyah menolak kedua bentuk terakhir ini secara
mutlak, sedangkan Syafi’iyah membatasinya pada bentuk kedua yang itupun
hanya kepada qiyas dan menolak istihsan serta menolak bentuk ketiga 53 atau
ijjtihad yang berada di luar wilayah nash.

Pada dasarnya ketiga metode istinbat tersebut di atas merupakan upaya


untuk menemukan maqashid syariah (tujuan umum syariah) yaitu merealisir

tertentu dan tidak ada dalil yang menetapkan status hukumnya akan tetapi kebutuhan manusia
menghendakinya dan syariah tidaka melarangnya. Secara istilah al-masalih al-mursalah
berarti maslahat-maslahat yang tidak ditetapkan oleh syara’ suatu hukum untuk
mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil syara’ yang memerintahkan untuk
memperhatikan atau mengabaikannya. Untuk ditetapkan suatu maslahat menjadi maslahat
mursalah diperlukan syarat-syarat: pertama, maslahat tersebut haruslah maslahat yang haqiqi
(sejati) bukan yang hanya berdasarkan wahm (perkiraan) saja; kedua, maslahat tersebut
hendaklah kemaslahatan yang umum, bukan kemaslahatan yang khusus untuk perorangan;
ketiga, kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar yang telah digariskan oleh
nash atau ijma’. Contoh maslahah mursalah adalah keputusan Abu Bakar untuk memerangi
orang-orang yang enggan membayar zakat, dan kewajiban qisash atas orang banyak yang
membunuh seseorang, lih Abd al-Wahhab al-Khallaf, Op. Cit., h. 84
51 Secra bahasa ‘urf berarti adat. Secra istilah ‘urf berati apa-apa yang telah
dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus-menerus baik berupa perkataan, perbuatan.
Sebenarnya ‘urf bukanlah dalil syara’ yang mandiri, pada umumnya ‘urf dilaksanakan untuk
memelihara al-maslahah al-mursalah. Maka terkadang qiyas ditinggalkan disebabkan oleh
‘urf ini, atas dasar inilah maka qiyas istishna’ tidaklah sah karena termasuk aqad atas obyek
yang tidak ada, lih. Ibid
52 Secara bahasa istishab bermakna meminta pertemanan. Secara syara’ bermakna

menetepkan hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang
merubahnya. Menurut sebagian ulama istishab ini terbagi menjadi dua: pertama, istishab
hukum akal atas dasr ibahah atau al-baraah al-ashliyah, misalnya segala macamperikatan dan
perjanjian yang diadakan oleh manusia untuk saling mempertukarkan harta benda dan
manfaat, selam tidak ada dalil yang menunjukkna keharamannya adalah mubah mengingat
bahwa dasar segala sesuatu dalm muamalah adalah mubah kecuali ada dalil yang menujukkan
sebalknya. Kedua, kecualiada dalil yang menunjukkan sebaliknya. Kedua, istishab hukum
syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada suatu dalilpun yang merubahnya, misalnya
apabila seorang berwudhu’, kemudian ia ragu apakah sudah batal atau belum,maka ia
dihukumi sebagi orang yang masih dalam keadaan berwudlu’, berdasarkkan istishab terhadap
hukum suatu peristiwa yang mendahuluinya secara yakin.
53Muhammad Salam Madkur, Loc.Cit

38 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
kemaslahatan umum dengan memberikan kemanfaatan dan menghindari
kemafsadatan bagi umat manusia yang bertujuan untuk memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Maqashid syariah tersebut dapat tercapai
jika perintah syariat dilaksankan sebaik-baiknya.dan sebaliknya larangan
syariat dijauhi.

Pengetahuan dan pemahaman yang benar mengenai sebsb-sebab


perintah dikhitabkan menjadi pendukung utama untuk mentaati perintah
syariat, karena sebab-sebab dikeluarkannya suatu perintahselalu mengikuti
status hukum musababnya. Artinya jika status hukum musababnya wajib,
maka wajib pula hukum sebab yang menjadi perantaranya.

Demikian pula larangan-larangan syar’i yang mempunyai perantara-


perantara yang menjadi sebab pelarangannya. Adalah tidak logis apabila
suatu perbuatan dilarang, sementara perantaranya diperbolehkan. Oleh
karena itu perantara (wasilah) dari suatu larangan lazimnya mengikuti status
hukum yang diperantarainya, yakni terlarang pula.

Berdasarkan ketentuan tersebut timbullah dua kaidah penting, fath az-


Zari’ah54 dan sad az-Zariyah.55 Dalam kedua metode ini penetapan hukum
zariah harus mempertimbangkan dua hal, pertama, dari segi akibat yang
ditimbulkan dengan ketetapan hukum tersebut, dan kedua, dari segi niat
untuk melakukannya. Dari segi pertama jika akan menimbulkan mafsadat,
harus ditutup peluangnya, baik dengan haram ataupun makruh, sesuai bobot
mafsadat yang akan ditimbulkannya. Sebaliknya jika akan menimbulkan
maslahat, harus dibuka peluangnya, baik dengan wajib, nadb, maupun ibahah
sesuai dengan bobot maslahat yang akan ditimbulkannya. Termasuk untuk
perbuatan yang akan berakibat ganda, jika lebih besar peluang maslahat,

54 Fath az-Zari’ah berarti sesuatu yang akan membawa pada perbuatan baik dan
menimbulkan maslahat, lihat Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa ad-Dilatu, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1989), h. 429
55 Sad az-Zariyah, berarti sesuatu yang akan membawa pada sesuatu yang terlarang

dan menimbulkan mafsadah, lihat Ibid


F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 39
maka harus dibuka peluang tersebut, dan jika lebih besar mafsadahnya, harus
ditutup peluang untuk melakukannya56.

Demikian pula dari segi niat, jika niat melakukan perbuatan hukum
tersebut itu baik sesuai tuntutan syari’ah, maka peluangnya harus dibuka,
baik dengan wajib, nadb, ataupun ibahah, sesuai dengan bobot maslahat
yang akan ditimbulkannya. Sementara jika niatnya buruk hatus ditutupi
peluangnya baik dengan haram maupun makruh, sesuai dengan bobot
mafsadah yang akan ditimbulkannya57. Pada pembahasan tentang sisi niat
inilah para ulama memperselisihkan status hukum hiyal58 terdapat dzari’ah
yang menurut asalnya diperbolehkan akan tetapi orang yang mengerjakannya
bermaksud menggunakannya sebagai media untuk menghindari ketentuan
syariah. Sebagian ada yang memperbolehkan sedangkan jumhur tidak
memperbolehkannya59

56 Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewab Hisbah Persis, (Jakarta: Logos,
1999), h.74
57 Ibid
58
Secara bahasa Hiyal merupakan bentuk jama’ dari hilah yang berarti mengalihkan,
secara istilah para fuqoha mendefinisikan sebagai ‘suatu siasat yang digunakan untuk
menghindari wajib syariat’ seperti mengibahkan harta benda yang sudah mencapai nishab
menjelang tahun zakat kepada orang yang diyakini akan mengembalikannya sesudah tahun
zakat tersebut lewat dalam rangka mengurangi nishab sehingga ia terhindari dari wajib zakat,
lihat ‘Ali Hasaballah, Op. Cit, h.286
59 Ibid,h. 286-290

40 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA DAN POSISI DEWAN
SYARIAH NASIONAL

A. Hakikat dan Sejarah Perbankan Syariah di Indonesia

1. Hakikat Perbankan Syariah


Secara etimologis, kata bank dapat kita telusuri dari kata banque
dalam bahasa Perancis dan dari kata banco dalam bahasa Italia, peti/
lemari, atau bangku60. Konotasi dari kedua kata itu menjelaskan dua
fungsi dasar yang ditunjukkan oleh bank komersil. Kata peti atau lemari
menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga,
seperti emas, peti berlian, peti uang, dan sebagainya. Pada abad ke-12
kata banco di Italia merujuk pada meja, counter atau tempat usaha money
changer. Arti ini menyiratkan fungsi transaksi, yaitu “penukaran uang”
atau dalam arti transaksi bisnis yang lebih luas yaitu “membayar barang
dan jasa”.
Berdasarkan pengertian etimologis di atas terlihat fugsi dasar dari
bank, yaitu: (1) menyediakan tempat untuk menitipkan uang dengan
aman (safe keeping function) dan (2) menyediakan alat pembayaran
untuk membeli barang dan jasa (transaction function).
Dalam bahasa arab bank biasa disebut dengan mashrif61 yang
berarti tempat berlangsungnya saling menukar harta, baik mengambil
atau menyimpan, atau selainnya untuk melakuakan muamalah62.
Secara perundang-undangan menurut pasal 1 UU No. 10/1998,
bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam

60 Zainul Arifin, Prinsip Operasional Bank Syariah, makalah disampaikan pada

kuliah Ekonomi Islam Ramadhan 1422 H Bank IFI Syariah, 5 Desember 2001, h. 2
61 Luis Ma’luf al-Yusu’iyy, al-Munjid fi al-Lugah wal-A’lam , (Beirut: Dar al-

Masyriq, 1986), h.50


62 Muhammad Sayyid Tahtawi, Mu’amalah al-Bunuk wa Ahkamuha al-Syyar’iyyah,

(Mesir: Dar an-Nahdah, 1997), h.121


F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 41
bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak63.
Dari pengertian-pengertian tersebut terlihat fungsi bank sebagai
financial intermediary (lembaga perantara keuangan) antara surplus unit
dengan defisit unit. Ia menjembatani antara permintaan dan penawaran
modal. Bagi masyarakat yang memiliki kelebihan dana, bank
menawarkan kepada berbagai fasilitas penyimpanan dana. Dana ini
kemudian disalurkan oleh bank dalam berbagai bentuk
kredit/pembiayaan kepada pihak-pihak yang membutuhkannya terutama
untuk kegiatan produktif yang diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam menggerakkan perekonomian rakyat.
Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, lembaga perbankan
sebagai lembaga perantara keuangan, melayani fungsi: 1. Menerima
simpanan dana nasabah; 2. Menyalurkan dana kepada pihak yang ketiga
yang membutuhkan; 3. Memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Secara historis lembaga perbankan (konvensional) muncul karena
kebutuhan modal untuk membiayai industri dan perdagangan. Lembaga
keuangan yang dikenal sebagai bank seperti yang dikenal sekarang,
mula-mula tumbuh pada abad ke-15 di Spanyol dan kemudian di Italia
pada abad ke-16. Pada abad ke-17 lembaga keuangan bank kemudian
berkembang di Belanda dan Jerman. Pelopornya adalah kaum Yahudi
yang diikuti oleh orang-orang pribumi Italia.64 Jadi asal mula
dikenalnya lembaga perbankan adalah pada zaman feodalisme di
daratan Eropa. Kemudian usaha perbankan ini dibawa ke Asia, Afrika,
dan Amerika dibawa oleh bangsa Eropa pada saat melakukan

63 Republik Indonesia, Undang―Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998

Tentang Perubahan Atas Undang―undang Nomor 10 Tahun 1992 Tentang Perbankan,


(Jakarta, Sinar Grafika: 1990) Cet. II, h. 9
64 M. Dawan Raharjo, Riba, Jakarta: Ulumul Qur’an, No.9, Vol.II. 1999, h.50

42 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
penjajahan ke negara jajahannya baik di Asia, Afrika, maupun
Amerika65.
Dalam kerangka ekonomi umat Islam, istilah bank memiliki term
tersendiri, yakni bank Islam. Ia berarti bank yang beroperasi atas dasar
prinsip (syariah) Islam. Menurut Karnaen A. Perwataatmadja, bank
Islam memiliki dua pengertian, yakni: a. Bank yang beroperasi sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam; b. Bank yang tata cara beroperasinya
mengacu kepada ketentuan-ketentuan al-Qur’an dan Hadist66.
Ada beberapa pakar yang berusaha memberikan definsi yang jelas
mengenai bank Islam, diantaranya:
1. Husain Syahtah mendefinisakan bank Islam sebagai lembaga asset Islam
yang didirikan untuk memberikan pelayanan perbankan dan pelayanan
yang menguasai segala aktifitas pendanaan dan investasi dalam berbagai
sektor yang sesuai dengan kaida-kaidah dan hukum-hukum syariat Islam
dengan sasaran untuk berpartisispasi menanamkan norma-norma,
persamaan dan akhlak yang Islami dalam bidang muamalah dan
membantu untuk mewujudkan pertumbuhan sosio-ekonomi supaya
terwujud kehidupan yang baik bagi umat Islam.67
2. Ahmad an-Najjar berpendapat bahwa bank Islam adalah lembaga asset
Islam yang didirikan untuk menghimpun segala aktifitas perbankan,
permodalan, perdagangan, aktifitas-aktifitas investasi dan pengembangan
proyek-proyek industri, pertumbuhan ekonomi, kemakmuran dan
partisispasi dalam ekonomi nasional dan internasional.68
3. Menurut Gharib al-Jamal, bank Islam adalah setiap lembaga yang
menguasai segala aktifitas perbankan serta memastikan untuk

65 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2000), h.26-27


66 Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana

Bank Islam, (Yogyakarta: Dhana Bakti Wakaf, 1992), h.1


67 Husain Syahatah, Muhasabah al-Masarif al-Islamiyyah, (tt: tpn, tth), h.7
68 Ahmad an-Najjar, 100 Sual wa 100 Jawab Haul al-Bunuk al-Islamiyyah al-Ittihad

al-Dauliy Li al-Bunuk al-Islamiyyah, (tt: tpn, 1985), h.127


F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 43
menghindari transaksi memakai bunga yang mengandung unsur riba yang
diharamkan oleh syariat.69
4. Said Mahmud Muhammad an-Nafrawi berpendapat bahwa bank Islam
adalah lembaga asset Islam yang didirikan untuk aktifitas-aktifitas
investasi, pendanaan dan memberikan pelayanan perbankan dan sosial
yang sesuai dengan kaedah-kaedah, dasar-dasar dan hukum-hukum
syariat Islam dengan sasaran membersihkan muamalah dari hal-hal yang
diharamkan dan membantu terwujudnya pertumbuhan sosio-ekonomi70.

Menurut UU No. 10/1998 Bank Umum Syariah adalah bank yang


melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Prinsip syariah
adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain
untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan prinsip penyertaan
modal (musyarakah), prinsip jual beli dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (Ijarah), atau dengan adnya pilihan dengan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah
wa iqtina’).

Sistem perbankan syariah merupakan bagian dari konsep yang lebih luas
tentang ekonomi Islam, dimana tujuannya, sebagaimana dianjurkan oleh para
ulama, adalah mempromosikan aplikasi sistem nilai dan etika Islam ke dalam
lingkungan ekonomi. Karena dasar etika inilah, maka sistem perbankan
syariah bagi kebanyakan muslim adalah bukan sekadar sistem transaksi
komersial.persepsi Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak
kalangan muslim sebagai kewajiban agamis.

69 Garib al-Jamal, al-Masarif wa Buyut at-Tamwil al-Islamiyyah, (tt: Dar al-Syuruq,


t.th), h.45
70 Sa’id Mahmud Muhammad an-Nafrawi, Muhasabah al-Takalif Ka’adat lil Takhtit

wa ar-Raqabah ‘ala Ansyitah al-Bunuk al-Islamiyyah, (tt:tpn, tth), h. 5-6


44 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Tanggung Jawab Pencantuman Label Syariah

Pencantuman label syariah dalam perbankan tidaklah sesederhana


pencantuman label syariah dalam makanan dan obat sebagaimana yang telah
dilakukan oleh LPPOM. Dalam makanan dan obat, pencantuman label
syariah tidak akan menyinggung kepentingan-kepentingan lain di luar
lembaga yang memproduksinya, sehingga dapat diterapkan secara
menyeluruh. Sedangkan pencantuman label syariah kepada perbankan sedikit
banyak akan merubah tatanan sistem perbankan nasional yang telah ada.
Penerapan secara setengah-setengah hanya akan menjadi upaya pembodohan
umat. Dan tentunya untuk melaksankannya secara komprehensif, dibutuhkan
dukungan political will yang kuat dari pemerintah, namun sayangnya ketika
itu hal yang semacam ini belum ditemui.

Kendala Dasar Hukum

Sebelum berlakunya UU No. 7/1967 yang ketika itu berlaku tidak


mengenal bank syariah. UU ini menetapkan one banking system yang hanya
mengenal sistem bunga.
Meskipun berbagai kendala ditemui, namun upaya-upaya menuju
kepada hal tersebut terus diperjuangkan dan dilakukan. Upaya intensif
pendirian bank syariah di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988 di saat
pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi
liberalisasi industri perbankan. Para ulama waktu itu telah berusaha untuk
mendirikan bank bebas bunga, tapi tidak ada satupun perangkat hukum yang
dapat ditunjuk kecuali bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga
sebesar 0% setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga
bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, tanggal 19-22 Agustus 1990, barulah
upaya ini terus bergulir.
Rekomendasi hasil lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan
tersebut ditujukan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI), kepada
pemerintah, dan kepada seluruh umat Islam. Kepada MUI diamanatkan agar
mengambil prakarsa dalam membentuk komisi perbankan bebas bunga,
52 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
pembentukan Badan Pelaksana Harian Pengembangan Sumber Daya,
perintisan Baitul Mal Nasional, dan kerjasama dengan perguruan tinggi dan
lembaga-lembaga penelitian dalam rangka penentuan arah kebijakan
pengembangan Sumber Daya Umat. Kepada pemerintah diharapkan agar
memberikan keleluasan dan peluang kepada berbagai pihak untuk
mengambil prakarsa mempersiapkan sistem dan produk perbankan bebas
bunga dan menghimpun dana wakaf, zakat, infaq, dan shadaqah. sedangakan
kepada umat Islam diserukan agar mengembangkan sikap dan perilaku hemat
dan gemar menabung, menggairahkan pengelolaan zakat, infaq, shadaqah,
mengefektifkan dan mengefisiensikan pemanfaatan masjid untuk beribadah
dan meningkatkan kualitas hidup umat, serta mengembangkan kesadaran
Ukhuwah Islamiyah dalam tukar-menukar informasi dan peningkatan
kerjasama proyek-proyek konkret amalan shalihan, dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup manusia dan da’wah bil hal. 77

Kerja keras komisi perbankan bebas bunga membuahkan hasil dengan


berdirinya Bank Muamalah Indonesia. Secara kelembagaan Bank Muamalah
(selanjutnya disebut BMI) mereupakan bank syariah yang pertama berdiri di
Indonesia. Sebagai institusi pertama yang menerapkan sistem syariah, BMI
menjadi simbol monumental kebangkitan sistem ekonomi syariah di
Indonesia. Apalagi saat BMI mulai beroperasi pada 1 Mei 1992, sistem
perbankan indonesia sepenuhnya masih merupakan sistem konvensional.78
Secara hukum, keberadaan bank syariah ketika itu diatur dalam
UUNo.7/1992 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam PP No. 72.1992.
dalam UU ini tidak secara tegas disebutkan bank syariah, bank berdasarkan
prinsip bagi hasil. Di luar keduanya, praktis tidak ada peraturan perundang-
undangan lainnya yang mendukung beroperasinya perbankan syariah.
Ketiadaan perangkat hukum pendukung ini memaksa perbankan syariah
menyesuaikan produk-produknya dengan hukum positif (peraturan umum
perbankan) yang berlaku di Indonesia, yang notabene berbasis

77 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta:Alvabet, 2002), h.8


78 www. Tazkiya.com , Profil Lembaga keuangan Syariah-Bank Syariah, p.1
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 53
bunga/konvensional. Akubatnya ciri-ciri syariah yang melekat padanya
menjadi tersamar dan bank Islam di Indonesia tampil sebagai layaknya bank
konvensional.
Selain itu pada masa berlakunya UU No. 7/1992 ini hanya
dimungkinkan berdirinya bank umum yang keseluruhannya beroperasi atas
dasar bagi hasil. Oleh karenanya praktis pada fase ini hanya ada satu bank
umum syariah, yaitu BMI. Oleh karena untuk mendirikan sebuah bank
umum dibutuhkan modal yang tidak sedikit, maka sebagai jalan keluarnya
masyarakat yang tertarik mendirikan lembaga keuangan syariah namun
kurang dari segi permodalan harus berpuas diri dengan hanya mendirikan
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Bahkan upaya ini masih dirasa
kurang khususnya untuk menjangkau masyarakat Islam lapis bawah. Untuk
mengatasinya maka didirikanlah lembaga-lembaga simpan pinjam yang
disebut Baitul Mal wat Tamwil yang juga merupakan salah satu realisasi
rekomendasi lokakarya bunga bank MUIdalam rangka menggerakkan
perekonomian umat dikalangan grass root.
Meskipun demikian, fase ini ditandai pula oleh berdirinya lembaga-
lembaga keuangan syariah di luar bank syariah. Setelah dua tahun beroperasi,
BMI mensponsori pendirian asuransi Islam pertama di Indonesia, yaitu
Syarikat Takaful Indonesia, dan menjadi salah satu pemegang sahamnya.
Selanjutnya pada 1997, BMI mensponsori lokakarya Ulama tentang
Reksadana Syariah yang kemudian diikuti dengan beroperasinya lembaga
reksadana syariah oleh PT Reksadana. Pada tahun yang sama, berdiri pula
sebuah lembaga pembiayaan (multifinance) syariah, yaitu BNI-Faisal Islamic
Finance Company.
Seiring tumbangnya rezim Soeharto, dimulailah masa reformasi dengan
dibukanya kran kebebasan kehidupan demokrasi. Dengan semakin tingginya
kesadaran umat akan hak-hak mereka dan semakin berkembangnya lembaga-
lembaga keuangan syariah khususnya perbankan syariah, moment ini segera
dimanfaatkan umat yang berbuah pada disahkannya UU No. 10/1998 yang
mengakui eksistensi bank syariah serta memungkinkan suatu bank
54 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
konvensional melakukan dual banking system dengan membuka kantor
cabang tersendiri yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah.
Dengan disahkannya UU No. 10/1998 tentang perubahan UU No.
7/1992 tentang perbankan, maka secara tegas Sistem Perbankan Syariah
ditempatkan sebagai bagian dari Sistem Perbankan Nasional. UU tersebut
telah ditindaklajuti dengan ketentuan pelaksanaan dalam beberapa Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yaitu tentang Bank
Umum, Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah. Hal yang sangat penting
dari peraturan baru itu adalah bahwa bank-bank umum dan bank-bank
perkreditan rakyat konvensional dapat menjalankan transaksi perbankan
syariah melalui pembukaan kantor-kantor cabang syariah, atau
mengkonversikan kantor cabang konvensional menjadi kantor cabang
syariah. Perangkat hukum itu diharapkan telah memberi dasar hukum yang
lebih kokoh dan peluang yang lebih besar dalam pengembangan perbankan
syariah di Indonesia.
Kini jumlah bank umum syariah di Indonesia telah bertambah dengan
telah beroperasinya Bank Syariah Mandiri, kantor cabang Syariah Bank IFI,
kantor-kantor cabang BNI, kantor cabang Bank Jabar dan kantor cabang
Bank Bukopin, di samping Bank Muamalah Indonesia dan 78 BPR Syariah
yang telah ada. Jumlah ini akan bertambah lain dengan pembukaan kantor-
kantor cabang syariah beberapa bank lainnya.
Tentunya perkembangan ini perlu disambut gembira selain diresponi
dengan semakin mengembangkan sistem perbankan syariah yang kokoh yang
mampu mensinergikan kepentingan dunia bisnis perbankan dan kepentingan
penerapan nilai-nilai Islam dalam kegiatan ekonomi.
Perbankan syariah adalah sistem perbankan yang didasarkan kepada
prinsip-prinsip syariah, seluruh aktifitas yang dijalankan harus sesuai dengan
syariat Islam. Sehingga seluruh aktifitasnya tidak boleh menggunakan akad-
akad yang diharamkan dalam Islam seperti; riba, gharar, maisir dan akad
batil lainnya.

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 55


Kehadiran perbankan syariah sejatinya telah lama diharapkan
kehadirannya oleh umat Islam, K.H Mas Mansyur, ketua pengurus besar
Muhammadiyah periode 1937-1944 pernah menyatakan kalau umat Islam di
Indonesia terpaksa mengunakan jasa bank konvensional karena belum
memiliki lembaga yang bebas riba. Statement ini menunjukan bahwa ke
depan harus ada bank yang bebas dari riba dan sesuai dengan ajaran Islam.

Gagasan pendirian Bank Syariah di Indonesia kembali didengungkan


pada tahun 1970-an. Diskusi dan pembahasan mengenai Bank Syariah
mengemuka pada seminar hubungan Indonesia-Timur Tengah pada tahun
1974 dan 1976. Seminar yang diprakarsai oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu
Kemasyarakatan dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika mendiskusikan
mengenai pentingnya umat Islam memiliki sistem perbankan yang berbasis
syariah.

Namun gagasan tersebut belum bisa segera direalisasikan karena masih


belum adanya kebijakan dari pemerintah mengenai bank syariah, Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1967 hanya mengatur masalah perbankan dan
sama sekali tidak menyinggung sistem perbankan syariah. Selain itu masih
terjadi perdebatan mengenai status bunga bank di kalangan cendekiawan,
walaupun akhirnya perdebatan tersebut berujung dengan perlunya segera
mendirikan perbankan Islam.

Pada awal tahun 1980-an kembali digelar diskusi mengenai Bank


Syariah sebagai pilar ekonomi Islam bagi masyarkaat di Indonesia. Tokoh-
tokohh yang terlibat dalam diskusi tersebut diantaranya adalah; Karnaen A.
Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A. M. Saefuddin, dan M. Amien
Azis. Diskusi ini memutuskan untuk mendirikan ide perbankan syariah
dalam skala relatif terbatas, diantaranya di Bandung pada lembaga Bait At-
Tamwil Salman Institut Teknologi Bandung (ITB) dan di Jakarta pada
Koperasi Ridho Gusti. Sehingga M. Darwam menulis dalam sebuah buku
bahwa bank Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan
bunga (riba), serta menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna
56 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
pemgembangan usaha ekonomi masyarakat yaitu dengan menerapkan sistem
mudharabah, musyarakah dan murabahah.

Pada tahun 1983 pemerintah Indonesia pernah berencana menerapkan


“sistem bagi hasil” dalam perkreditan yang merupakan konsep dari
perbankan syariah. Saat itu kondisi perbankan Indonesia memang parah-
parahnya karena Bank Indonesia tidak bisa mengendalikan tingkat suku
bunga di bank-bank yang membumbung tinggi. Sehingga pemerintah
mengeluarkan deregulasi tanggal 1 Juni 1983 yang menimbulkan
kemungkinan bank mengambil untung dari bagi hasil sistem kredit.

Namun, diskusi itu juga belum memberikan kabar gembira bagi umat
muslim atas tekad pendirian bank Islam di Indonesia. Kemudian gagasan ini
muncul kembali pada tahun 1988, disaat pemerintah mengeluarkan Paket
Kebijakan Oktober (PAKTO) yang berisi liberalisme Industri Perbankan.
Walaupun lebih banyak bank konvensional yang berdiri, beberapa bank
daerah yang berasaskan syariah juga mulai bermunculan. Pada saat itulah
para ulama Indonesia berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi
tidak ada satupun perangkat hukum untuk dijadikan dasar pendiriannya,
kecuali bahwa bank dapat menetapkan bunga sebesar 0%. Sehingga gagasan
masih gagal dilakukan oleh para ulama di Indonesia.

Tahun 1990, MUI membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank


Islam di Indonesia. Ini merupakan cikal bakal lahirnya perbankan syariah di
Indonesia. Pada tahun 1991, bank syariah pertama di Indonesia yaitu Bank
Muamalat pun lahir. Saat krisis ekonomi tahun 1998 Bank Muamalat bisa
bertahan dari krisis yang membuat belasan bank konvensional lain
tersungkur tak berdaya. Terinspirasi dengan tegarnya Bank Muamalat
menghadapi krisis, maka pada tahun 1998 berdirilah Bank Syariah Mandiri
menjadi bank syariah kedua di Indonesia. Bank Syariah Mandiri ini
merupakan anak perusahaan dari Bank Mandiri serta merupakan gabungan
dari beberapa bank yang dimiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 57


Tahun 1998 keberadaan perbankan syariah telah mendapatkan
pengakuan dari pemerintah dengan diundangkannya UU No. 10/1998 tentang
Perubahan UU No. 7 1992 tentang perbankan. Selanjutnya Pada tahun 1999
dikeluarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang
memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk dapat pula
menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip syari’ah. Pada periode 1992
sampai dengan 1998, terdapat dua bank syari’ah yaitu Bank Muamalah dan
Bank Syariah Mandiri dan 78 Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS)
yang telah beroperasi.

Selanjutnya perkembangan perbankan syariah semakin banyak dengan


berdirinya PT. Bank Mega Syariah pada tahun 2001, PT. Bank Bukopin
Syariah dan PT. BRI Syariah tahun 2004. Hingga tahun 2004 terdapat Unit
Usaha Syariah (UUS) dari perbankan konvensional yaitu: Bank IFI Syari’ah,
Bank Danamon Syari’ah, BRI Syari’ah, Bank Niaga Syari’ah, Bank
Permata Syari’ah, BNI Syari’ah, BII Syari’ah, Bank Riau Syari’ah, Bank
Jabar Syari’ah, BPD Sumut Syari’ah, BPD DKI Syari’ah, BPD Lombak
NTB, BPD Aceh Syari’ah, BPD Kalsel Syari’ah, HSBC Syari’ah dan BTN
Syari’ah.

Statistik Perbankan Syari’ah yang dirilis oleh Bank Indonesia


menunjukkan bahwa sampai dengan bulan November tahun 2007, jumlah
bank syari’ah mencapai 143 bank. Tiga diantaranya adalah Bank Umum
Syari’ah (BUS); Bank Muamalah, Bank Syariah Mandiri dan Bank Syariah
Mega Indonesia, dan 26 merupakan Unit Usaha Syari’ah (UUS), serta 114
sisanya merupakan Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS).

Pada tahun 2008 bertambah dua Bank Umum Syariah yaitu unit Usaha
Syariah yang melakukan spin-off (BRI Syariah dan Bank Syariah Bukopin),
pada tahun 2009 bertambah satu lagi Bank Umum Syariah di Indonesia yaitu
BNI Syariah. Pada tahun 2010 s.d. sekarang terjadi perkembangan yang
pesat dengan pertambahan 6 Bank Umum Syariah di Indonesia yaitu BJB

58 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Banten Syariah, Bank Viktoria Syariah, Bank Panin Syariah, BCA Syariah,
Maybank Syariah Indonesia, BTPN Syariah.

Pertumbuhan yang paling pesat terjadi pada tahun 2008 s.d. 2013,
setelah disahkannya UU nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah.
Jika dilihat dari jumlah Unit Usaha Syariah di Indonesia dari tahun 2000 s.d.
tahun 2014 perbankan syariah juga selalu mengalami peningkatan. Begitu
juga dengan jumlah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah selalu mengalami
peningkatan dari tahun 2000 s.d. 2014.

Kronologis perkembangan bank syariah dapat dilihat pada tabel berikut


ini:

Hingga tahun 2018 terdapat 13 Bank Umum Syariah (BUS), 21 Unit


Usaha Syariah (UUS) dan 168 BPRS dengan total aset BUS dan UUS
sebesar Rp. 423.944 Miliar. Detail statistik di atas digambarkan dalam
tabel di bawah ini.

Total Aset
BUS/UUS Jumlah Jumlah
(Miliar
/BPRS Bank Kantor
Rupiah)

BUS 13 1.822 292.289

UUS 21 348 131.655

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 59


BPRS 168 458 -

Total 202 2628 423.944

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan tahun 2018.

Merujuk kepada sejarah perbankan syariah di Indonesia dapat


disimpulkan bahwa perkembangannya sangat signifikan, sehingga optimis
di masa yang akan datang perbankan syariah akan menguasai pasar
perbankan di Indonesia, tentunya hal ini harus didukung oleh seluruh
lapisan masyarakat serta layanan yang semakin baik dari managemen
perbankan syariah dan tetap konsisten dengan syariah Islam.

B. LANDASAN HUKUM POSITIF PERBANKAN SYARIAH DI


INDONESIA

Bank Syariah di Indonesia memiliki landasan hukum yang kokoh,


sejak berdirinya bank syariah pertama di Indonesia yaitu Bank
Muamalat Indonesia (BMI) atau yang lebih dikenal dengan Bank
Muamalah. Undang-undang yang mengatur perbankan syariah di
Indonesia adalah:

1. UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Bank Muamalah Indonesia sebagai bank pertama yang


menggunakan prinsip syariah (bagi hasil) didasarkan UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang ini sejatinya
adalah peraturan perbankan nasional yang muatannya lebih banyak
mengatur bank konvesional dibandingkan dengan bank syariah.
Undang-undang ini tidak banyak mengatur mengenai bank syariah,
bahkan istilah “bank syariah” pun tidak ada. Kalimat yang adalah
adalah bahwa bank boleh beroperasi berdasarkan prinsip
pembagian hasil keuntungan atau prinsip bagi hasil (profit sharing)

60 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
(lihat Pasal 1 butir 12 & Pasal 6 huruf m). Tidak adanya istilah
“perbankan syariah” atau Perbankan Islam karena memang pada
waktu itu kondisinya masih belum stabil untuk menerima ekonomi
Islam.

Meskipun UU No. 7 Tahun 1992 mengizinkan bank


beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak ada petunjuk lebih
lanjut bagaimana bank tersebut mesti dijalankan. Oleh karena itu,
untuk memberikan pemahaman dan petunjuk yang jelas, maka
pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72
Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Menurut Pasal 1 butir 1 PP No. 72, yang dimaksud dengan bank
berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum atau Bank
Prekreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil. Adapun yang dimaksud dengan
prinsip bagi hasil sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 ayat (1)
adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan Syari’at.

Mengenai aktivitas bisnis bank, PP No. 72 mengatur


secara jelas bahwa bank umum dan bank prekreditan rakyat (BPR)
yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil tidak boleh secara
bersamaan melakukan aktivitas bisnis berdasarkan prinsip
konvensional. Begitu juga sebaliknya, bank umum dan BPR
konvensional juga tidak boleh melakukan aktivitas bisnis
berdasarkan prinsip bagi hasil. (lihat Pasal 6).

Kemudian, untuk memastikan aktivitas bank bagi hasil


tidak bertentangan dengan prinsip syariah, maka PP No. 72 juga
mengatur bahwa bank bagi hasil harus mendirikan Badan
Pengawas Syariah (BPS). Fungsi utama BPS ini adalah untuk
mengawasi dan memastikan bahwa produk-produk yang
ditawarkan oleh bank ini betul-betul sesuai dengan prinsip syariah.

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 61


Adapun secara struktural, posisi BPS di dalam bank bersifat
independen, terpisah

dari menajemen bank dan tidak mempunyai peran dalam operasional


bank. BPS dalam menjalankan aktivitasnya selalu berkonsultasi dengan
Majelis Ulama Indonesia.

Merujuk pada penjelasan sebelumnya, dapat dipahami bahwa sejak


diberlakukanya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan
Pemerintahnya, maka bank syariah di Indonesia telah menjadi
kenyataan. Hal ini dianggap sebagai front gate beroperasinya bank
syariah di Indonesia. Namun, peraturan-peraturan tersebut masih
dianggap belum memadai untuk mendorong perkembangan bank
syariah, karena sekedar mengatur bank yang beroperasi berdasarkan
prinsip bagi hasil, namun tidak secara definitif dan komprehensif
mengatur akitifitas bank berdasarkan prinsip syariah.

2. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Undang-undang kedua yang mengatur perbankan syariah adalah


UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan hasil amandemen UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan. Secara substantif undang-undang ini
lebih lengkap (exhaustive) dan sangat membantu perkembangan
perbankan syariah di Indonesia. UU No. 10 Tahun 1998 secara tegas
menggunakan kata bank syariah dan mengatur secara jelas bahwa bank,
baik bank umum dan BPR, dapat beroperasi dan melakukan pembiayaan
berdasarkan pada prinsip syariah. (lihat Pasal 1 butir 12, Pasal 7 huruf c,
Pasal 8 ayat (1 & 2), Pasal 11 ayat (1) & (4a), Pasal 13, Pasal 29 ayat (3)
dan Pasal 37 ayat (1) huruf c).

Adapun yang dimaksud dengan prinsip syariah, menurut Pasal 1


butir 13, adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank
dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiyaan kegiatan
62 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah,
antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah),
pembiayaan berdasarkan prinsip pernyertaan modal (musharakah), prinsip
jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabah), atau
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan
(ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang
yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Ketentuan
di atas menunjukkan perluasanan eksistensi bank syariah dalam
melaksanakan kegiatannya, di mana dalam UU sebelumnya hal tersebut
tidak diatur secara jelas.

Selanjutnya, UU No. 10 Tahun 1998 ini juga membolehkan bank


konvensional untuk menjalankan aktifitasnya berdasarkan prinsip syariah
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia. (Pasal 6 huruf
m). Dalam hal ini, bank konvensional yang hendak menjalankan kegiatan
syariah harus mendirikan kantor cabang atau sub kantor cabang. Adapun
untuk BPR tetap tidak dibolehkan untuk menjalankan aktifitas secara
konvensional dan syariah secara bersamaan. Perbedaan lainnya adalah
diberikannya wewenang kepada Bank Indonesia untuk mengawasi dan
mengeluarkan peraturan mengenai bank syariah. Sebelumnya
kewenangan tersebut diberikan kepada kementrian keuangan. Sejarah
mencatat, bagaimana Bank Indonesia sangat aktif dalam mengembangan
perbankan syariah. Banyak Peraturan Bank Indonesia yang telah
dikeluarkan demi menunjang kelancaran operasional bank syariah.

3. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan


perbankan syariah masih dianggap belum kuat, sehingga kemudian
diusulkan kembali undang-undang yang secara spesifik mengatur
perbankan syariah. Maka pada tahun 2008, disahkanlah Undang-Undang
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UU ini terdiri dari 70

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 63


pasal dan dibagi menjadi 13 bab. Secara umum struktur Hukum
Perbankan Syariah ini sama dengan Hukum Perbankan Nasional.

Aspek baru yang diatur dalam UU ini adalah terkait dengan tata
kelola (corporate governance), prinsip kehati-hatian (prudential
principles), menajemen resiko (risk management), penyelesaian sengketa,
otoritas fatwa dan komite perbankan syariah serta pembinaan dan
pengawasan perbankan syariah. Bank Indonesia tetap mempunyai peran
dalam mengawasi dan mengatur perbankan syariah di Indonesia, namun
saat ini pengaturan dan pengawasan perbankan, termasuk perbankan
syariah di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan amanah
UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Selain undang-undang mengenai perbankan syariah, ditetapkan pula


berbagai peraturan yang mendukung berjalannya perbankan syariah di
Indonesia. Diantaranya adalah:

a. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/17/PBI/2008 Tentang Produk


Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

b. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/18/PBI/2008 Tentang


Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah.

c. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/23/PBI/2008 Tentang Giro


Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum
Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

d. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/24/PBI/2008 Tentang Perubahan


Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/pbi/2006 Tentang
Penilaian Aktifa Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah.

e. Peraturan Bank Indonesia nomor : 10/16/2008 Tentang Perubahan


Atas Peraturan Bank Indonesia nomor 9/19/PBI/2007 tentang

64 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.

Selain Peraturan Bank Indonesia (PBI), terdapat peraturan lain yang di


keluarkan oleh Bank Indonesia yakni Surat Edaran Bank Indonesia.
Beberapa surat Edaran bank Indonesia yang telah dikeluarkan di tahun
2008 khususnya yang berkaitan dan mengikat Bank Syariah ialah sebagai
berikut :

a. Surat Edaran No. 10/14/DPbs tahun 2008 Tentang Pelaksanaan


Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran
Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah

b. Surat Edaran No. 10/35/DPbs tahun 2008 Tentang Restrukturisasi


Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Di Indonesia

c. Surat Edaran No. 10/36/DPbs tahun 2008 Atas Perubahan Surat


Edaran No. 8/22/DPbs tahun 2006 Tentang Penilaian Kualitas Aktifa
Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prisnip
Syariah.

d. Surat Edaran No. 10/31/DPbs tahun 2008 Produk Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah.

Berdasarkan berbagai peraturan mengenai perbankan syariah di


Indonesia dapat disimpulkan bahwa kedudukan bank syariah di Indonesia
berdasarkan aspek hukumnya sudah cukup kuat. Walaupun demikian
masih diperlukan adanya kelanjutan dari peraturan-peraturan tersebut
sehingga nantinya akan semakin mengokohkan perbankan Islam di
Indonesia.

Hukum Bisnis Syariah Pada Perbankan Syariah

Perbankan syariah sebagai lembaga keuangan syariah tetap tunduk


kepada seluruh peraturan yang berlaku di Indonesia, sehingga dalam
aspek hukumnya masih mengikuti seluruh peraturan yang juga mengatur

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 65


bank konvensional kecuali pada transaksi khusus yang harus berdasarkan
syariah Islam.

Aspek hukum syariah yang ada dalam perbankan syariah meliputi


akad transaksi yang digunakan, rukun dan syarat yang harus dipenuhi,
hak dan kewajiban bagi pihak yang berakad, serta penyelesaian sengketa
di Pengadilan Agama. Akad-akad yang digunakan dalam perbankan
syariah adalah; murabahah, mudharabah, ijarah, rahn, wakalah, kafalah,
hiwalah dan yang lainnya.

1. Akad Al-Murabahah

Secara bahasa murabahah berasal dari kata ar-ribhu yang berarti


‫( النه اما ُء‬an-namaa’) yaitu tumbuh dan berkembang. Kata ini juga berarti
al-irbaah, karena salah satu dari dua orang yang bertransaksi
memberikan keuntungan kepada yang lainnya. Sedangkan secara istilah,
murabahah adalah:

‫األو ِل َم َع ِزيَا َد ِة ِربْحٍ َمعلُ ْوم‬


َّ ‫بَ ْي ٌع بِمِث ِل الث َم ِن‬

Jual beli dengan harga awal disertai dengan tambahan keuntungan

Merujuk pada definisi ini maka akad murabahah adalah transaksi


penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan
yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Pembayaran atas akad jual
beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal yang membedakan
murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual harus
memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya
serta jumlah keuntungan yang diperoleh.

Dasar hukum dari keabsahan murabahah adalah firman Allah


Ta’ala dalam salah satu ayatNya:

ِ ‫اوأا اح هل هللاُ ْال اب ْي اع او اح هر ام‬


‫الر ابا‬

..dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. QS. Al-
Baqarah: 275.
66 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
. ‫اض ِمنكُ ْم‬ ‫يااأايُّ اها الهذِينا اءا امنُوا َلاتاأْكُلُوا أا ْم اوالاكُم با ْيناكُم ِب ْالبااطِ ِل ِإَله أا ْن تاكُونا تِ اج ا‬
‫ارةً ا‬
ٍ ‫عن ت اار‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. QS. An-Nisaa: 29.

ْ ‫ح أان تا ْبتاغُوا فا‬


‫ضالً ِمن هر ِبكُ ْم‬ ٌ ‫علا ْيكُ ْم ُجناا‬ ‫لاي ا‬
‫ْس ا‬

Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Rabbmu. QS. Al-Baqarah:198.

Adapun dalil dari Sunnah Nabi adalah:

‫ او خ ْالطُ البُر‬,‫ضة‬ ‫ اوال ُمقـا ا‬,‫لى أا اج ٍل‬


‫ار ا‬ ٌ ‫ ثاالا‬:‫سله ام قاالا‬
‫ البا ْي ُع إِ ا‬:‫ث فِ ْي ِه هن البا اركاة‬ ‫علا ْي ِه اوآ ِل ِه او ا‬
‫ى هللاُ ا‬ ‫صل ه‬‫أا هن النهبِي ا‬
‫ ا‬.‫ت َلا ل ِْل ابي ِْع‬
) ‫(ر اوا ُه ا ْب ُن اما اجه‬ ِ ‫ش ِعي ِْر ل ِْل اب ْي‬
‫ِبال ه‬

Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan


pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah),
dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan
tidak untuk dijual. HR. Ibnu Majah.

Merujuk kepada ayat dan hadits tersebut maka akad murabahah


merupakan akad jual beli yang sah secara Islam. Ia diimplementasikan
dalam perbankan syariah dalam produk pembiayaan serta modal usaha.

Akad murabahah dianggap sah apabila terpenuhi rukun dan


syaratnya, adapun rukun-rukun Murabahah adalah;

1. Aqid (orang-orang yang berakad); yaitu pihak penjual dan pembeli.

2. Mau’qud A’laihi (Obyek Murabahah); yaitu barang atau jasa yang


diperjualbelikan.

3. Tsaman (Harga), yaitu sejumlah uang yang harus diserahkan pihak


pembeli kepada penjual.

4. Sighat; Ijab (serah) dan Qabul (terima); yaitu bukti penyerahan


barang dan sejumlah uang serta penerimaan dari pihak lainnya.

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 67


Adapun syarat-syarat dari Murabahah adalah;

a. Penjual dan pembeli adalah seorang yang sudah dewasa, berakal dan
tidak dalam keadaan dipaksa.

b. Obyek atau jasa yang diperjualbelikan harus suci dan halal sesuai
dengan syariat Islam.

c. Harga disepakati bersama oleh penjual dan pembeli, selain itu


penjual memberitahu modal dan keuntungan dari jual beli tersebut.

d. Ijab dan qabul boleh menggunakan lisan atau tulisan atau dengan
isyarat.

e. Tidak unsur yang diharamkan dalam jual beli ini, seperti riba,
kecurangan dan hal yang diharamkan lainnya.

Merujuk kepada rukun dan syarat dalam jual beli murabahah, maka
dalam implementasinya di perbankan syariah pihak bank sebagai
penjual dan pihak nasabah sebagai pembeli. Obyek jual beli bisa berupa
modal kerja, murabahah investasi dan murabahah konsumtif. Aplikasi
murabahah pada perbankan syariah dapat dilihat pada bagan berikut:

Pihak nasabah akan mengajukan pembiayaan ke bank dengan


cara mengajukan permohonan, bernegosiasi dan memutuskan barang
dengan spesifikasi seperti apa yang akan dibeli. Selanjutnya pihak bank
68 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
akan membeli barang tersebut kepada supplier dengan spesifikasi yang
diminta nasabah. Selanjutnya dilakukan akad murabahah, karena
keterbatasan wewenang bank maka pihak bank akan memerintahkan
kepada supplier untuk mengirimkan barang tersebut kepada nasabah.
Setelah nasabah menerima barang beserta dokumennya maka nasabah
akan membayar kepada bank baik secara cash ataupun kredit.

2. Akad Al-Mudharabah

Mudharabah secara bahasa berasal dari kata ‫ الضرب‬adh-dharbu


yang berarti memukul atau berjalan. Ia bermakn proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara terminilogi
mudharabah adalah akad kerjasama antara dua orang (pemodal dan
pengelola), dengan keuntungan dibagi menurut kesepakatan, dan
kerugian ditanggung oleh pemodal selama kerugian itu bukan akibat
kelalaian pengelola.

Landasan syari’ah dari akad ini adalah firman Allah ta’ala:

ِ‫ّٰللا‬ ْ ‫ض يا ْبتاغُونا م ِْن فا‬


‫ض ِل ه‬ ِ ‫األر‬
ْ ‫ضى اوآخ ُارونا ياض ِْربُونا فِي‬ ‫عل اِم أا ْن ا‬
‫سياكُو ُن ِم ْنكُ ْم ام ْر ا‬ ‫ا‬

Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit
dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah. QS. Al-Muzzamil : 20.

Perintah berjalan di muka bumi untuk mencari karunia Allah


Ta’ala disebutkan pula dalam firmanNya:

‫ِيرا لهعالهكُ ْم ت ُ ْف ِل ُحونا‬


ً ًۭ ‫ٱَّلل اكث‬
‫وا ه ا‬۟ ‫ٱَّلل اوٱذْكُ ُر‬ ۟ ُ‫ض اوٱ ْبتاغ‬
ْ ‫وا مِن فا‬
ِ ‫ض ِل ه‬ ۟ ‫صلا ٰوة ُ فاٱنتاش ُِر‬
ِ ‫وا فِى ْٱأل ا ْر‬ ‫ت ٱل ه‬ ِ ُ‫فاإِذاا ق‬
ِ ‫ضيا‬

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka


bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung. QS Al-Jumu’ah : 10.

ۖ ‫ٱَّلل عِندا ْٱل ام ْشعا ِر ْٱل اح ار ِام‬


‫وا ه ا‬ ٍ ٍۢ ‫ع ار ٰفا‬
۟ ‫ت فاٱذْكُ ُر‬ ْ ‫وا فاض ًۭ ًْال مِن هربِكُ ْم ۚ فاإِذاآ أافا‬
‫ضتُم م ِْن ا‬ ۟ ُ‫ح أان تا ْبتاغ‬ ٌ ‫علا ْيكُ ْم ُجناا‬‫ْس ا‬ ‫لاي ا‬
‫اوٱذْكُ ُرو ُه اك اما اه اد ٰىكُ ْم او ِإن كُنتُم مِن قا ْب ِلِۦه لامِنا ٱل ه‬
‫ضا ٓ ِلينا‬

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 69


Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada
Allah di Masy`arilharam. dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah
sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu
sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. QS. Al-Baqarah :
198.

Sumber hukum dari hadits Nabi adalah riwayat dari Ibnu abas
bahwa Abbas dan Abdul Muthalib jika memberikan dana kemitra usahanya
secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi
lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika
menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas
dana tersebut disampaikanlah syarat-sarat tersebut kepada Rasulullah dan
beliau membolehkannya. HR.Thabrani.

Pada sebuah riwayat lainnya, Rasulullah bersabda:

‫ت اَل ل ِْلباي ِْع‬


ِ ‫ِير ل ِْلبا ْي‬
ِ ‫شع‬‫ اوإِ ْخ االطُ ْالب ُِر بِال ه‬، ُ‫ضة‬ ‫ ْالبا ْي ُع إلاى أا اج ٍل او ْال ُمقا ا‬: ُ‫ث فِي ِه هن ْالبا ار اكة‬
‫ار ا‬ ٌ ‫ثا اال‬

Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan; jual beli secara tangguh,
mudharabah, dan mencampur tepung dengan gandum untuk keperluan
rumah, bukan untuk dijual. HR. Ibnu Majah.

Ulama telah sepakat (Ijma’) mengenai bolehnya akad mudharabah


sebagaimana perkataan Imam Zailai yang menyatakan bahwa para sahabat
telah bersepakat terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara
mudharabah.

Rukun dan syarat mudharabah adalah sebagai berikut:

1. Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal/shahibul


mal) dan pengelola (mudharib).

2. Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.

3. Pelafalan perjanjian.

70 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelasakan bahwa rukun
Mudharabah ada lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan
transaksi dan dua pelaku transaksi. Ini semua ditinjau dari perinciannya dan
semuanya tetap kembali kepada tiga rukun di atas.

Adapun syarat-syarat dari Mudaharabah adalah:

1) Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola
modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki
kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian mereka
berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada
hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim
atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan
melakukan perbuatan riba atau perkara haram. Namun sebagian lainnya
tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama
dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti
adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak
muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.

2) Modal dalam akad Mudharabah yang diserahkan harus diketahui dan


penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus
berupa alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata uang secara
umum. Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan nilai
barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga
nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Jenis usaha
yang akan dijalankan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Islam
serta mengandung unsur yang diharamkan dalam Islam. Keuntungan
dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

3) Ijab dan Qabul disyaratkan harus dipahami oleh kedua belah pihak, baik
dengan ucapan, tulisan atau isyarat.

Akad mudharabah diaplikasikan perbankan syariah dalam bentuk


pembiayaan permodalan. Ada dua produk yang ditawarkan yang

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 71


dengan cara-cara yang halal dan sesuai syariah yang menekankan prinsip
keseimbangan. Prinsip keseimbangan ini tercermin dalam kaidah:

‫الغنم با لغرم‬

”Keuntungan harus diserati resiko82”.

‫الخرج بالضمان‬

"Hasil usaha diperoleh seimbang dengan biaya (yang dikeluarkannya)."

Karenanya, Islam tidak mengakui keuntungan yang tidak disertai resiko,


karena berarti resiko akan dipikul oleh pihak lain dan ini mengakibatkan
perbuatan dzalim melalui eksploitasi salah satu pihak terhadap pihak
lainnya.

Prinsip Keadilan

a. Larangan riba
Secara bahasa, riba bermakna bertambah, berkembang, atau tumbuh83.
Secara terminology, riba berarti mengambil tambahan dari harta pokok
atau modal, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam,
secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam84.

Larangan riba dalam Alquran diturunkan secara bertahap. Hal ini sesuai
dengan karakteristik syariat Islam yang bila hendak menegaskan hukum
larangan terhadap suatu perbuatan yang telah menjadi kebiasaan
masyarakat akan dilakukan dilakukan secara bertahap sehingga umat
berada dalam kondisi siapa ketika menerima hukum yang final. Ayat
pertama diturunkan di Mekah adalah QS al-Rum: 39:

‫ّٰللا فاأُو ٰلائِكا ُه ُم‬


ِ ‫ّٰللا ۖ او اما آتا ْيت ُ ْم م ِْن زا كااةٍ ت ُ ِريدُونا او ْجها ه‬ ِ ‫او اما آتا ْيت ُ ْم م ِْن ِربًا ِل اي ْرب اُو فِي أا ْم اوا ِل النه‬
ِ ‫اس فا اال اي ْربُو ِع ْندا ه‬
‫ض ِع ُفونا‬ ْ ‫ْال ُم‬

82 Syaikh (al-) Ahmad ibn asy-Syaikh Muhammad al-Zarqo, Syarhnal-Qawaid al-

Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1989), h. 437


83 Ragib (al-) Isfahani, al-Mufradah fi Garib al-Qur’an, (Kairo: Mustafa al- Bab al-

Halab, 1961), h. 186-187


84 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema

Insani Press, 2001), h. 37


F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 79
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah
pada harta manusia maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah maka (yang berbuat demikian) itulah orang-
orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.

Ayat ini menegaskan bahwa bunga akan menjauhkan keberkahan Allah


dalam kekayaan, sedangkan sedekah akan meningkatkannya berlipat
ganda." ,

Kedua, QS al-Nisa: 161, diturunkan pada permulaan periode Madinah:

‫اس ِب ْالبااطِ ِل اوأا ْعتادْناا ل ِْلكااف ِِرينا ِم ْن ُه ْم ا‬


‫عذاابًا‬ ِ ‫ع ْنهُ اوأا ْك ِل ِه ْم أا ْم اوا ال النه‬ ِ ‫اوأا ْخ ِذ ِه ُم‬
‫الر ابا اوقادْ نُ ُهواْ ا‬ ‫أالِي ًما‬

“Dan disebabkan mereka memakan riba (bunga) padahal sesungguhnya


mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang
lain dengan cara yang batil. Kami telah menyediakan bagi orang-orang
kafir di antara mereka itu azab yang pedih”.

"Ayat ini mengutuk dengan keras praktik riba, selaras dengan larangan
riba pada kitab-kitab terdahulu. Pada tahap kedua ini, Alquran
menyejajarkan orang yang mengambil riba dengan mereka yang
mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam
kedua belah pihak dengan siksa Allah yang sangat pedih.

Ketiga, QS Ali Imran: 130-132 diturunkan pada kira-kira tahun ke-2 atau
ke-3 H:

ْ‫ار الهتِي أ ُ ِعدهت‬


‫ّٰللا لاعالهكُ ْم ت ُ ْف ِل ُحون اواتهقُوا النه ا‬
‫عفاةً ۖ اواتهقُوا ه ا‬ ِ ‫ياا أايُّ اها الهذِينا آ امنُوا اَل تاأْكُلُوا‬
ْ ‫الرباا أا‬
‫ضعاافًا ُّم ا‬
‫ضا ا‬
‫ل ِْلكااف ِِرينا‬

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba (bunga)


dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapatkan keuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka yang
disediakan untuk orang-orang kafir.

80 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Ayat ini menyerukan kaum muslimin untuk menjauhi riba jika mereka
menghendaki kesejahteraan yang diinginkan (dalam pengertian Islam yang
sebenarnya).

Wahyu keempat, QS al-Baqarah:275-281, diturunkan menjelang


selesainya misi Rasulullah:

‫طا ُن مِنا ْال ام ِس ذالِكا بِأانه ُه ْم قاالُوا إِنه اما ْالبا ْي ُع ِمثْ ُل‬
‫ش ْي ا‬‫الرباا َلا ياقُو ُمونا إَِله اك اما ياقُو ُم الهذِي ياتا اخبهطُهُ ال ه‬ ِ ‫الهذِينا ياأْكُ ُلونا‬
‫عادا‬‫هللا او ام ْن ا‬ ِ ‫ف اوأا ْم ُر ُه ِإلاى‬ ‫ظةُُؐ ِمن هر ِب ِه فاانتا اهى فالاهُ اما ا‬
‫سلا ا‬ ِ ‫الر ابا اوأا اح هل هللاُ ْال اب ْي اع او اح هر ام‬
‫الر ابا فا امن اجآ اء ُه ام ْو ِع ا‬ ِ
‫ار أاث ٍِيم‬
ٍ ‫ت اوهللاُ َلا يُحِ بُّ كُ هل اكفه‬ ِ ‫صداقاا‬ ِ ُ‫} يا ْم اح ُق هللا‬275{ ‫ار ُه ْم فِي اها خاا ِلدُونا‬
‫الرباا اوي ُْربِي ال ه‬ ِ ‫ص احابُ ال هن‬ْ ‫فاأ ُ ْو الئِكا أا‬
‫ف‬ٌ ‫الزكااةا لا ُه ْم أاج ُْرهُ ْم عِن اد ار ِب ِه ْم اوَلا خ ْاو‬ ‫ت اوأاقاا ُموا ال ه‬
‫صالاةا او اءات ُاوا ه‬ ‫} ِإ هن الهذِينا اءا امنُوا او ا‬276{
‫ع ِملُوا ال ه‬
ِ ‫صا ِل احا‬
}278{ ‫الرباا إِن كُنتُم ُّمؤْ ِمنِينا‬ ِ ‫ِي مِنا‬ ‫} ياآأايُّ اها الهذِينا اءا امنُوا اتهقُوا هللاا اوذا ُروا اماباق ا‬277{ ‫علا ْي ِه ْم اوَلا هُ ْم ياحْزا نُونا‬ ‫ا‬
}279{ ‫ظلا ُمونا‬ ْ ُ ‫اظ ِل ُمونا اوَلا ت‬
ْ ‫وس أا ْم اوا ِلكُ ْم َلا ت‬
ُ ‫سو ِل ِه او ِإن ت ُ ْبت ُ ْم فالاكُ ْم ُر ُء‬
ُ ‫هللا او ار‬
ِ ‫ب ِمنا‬ ٍ ‫فاإِن له ْم تا ْف اعلُوا فاأْذانُوا ِب اح ْر‬
‫} اواتهقُوا يا ْو ًما‬280{ ‫صدهقُوا اخي ُْرُؐ هلكُ ْم إِن كُنت ُ ْم تا ْعلا ُمونا‬ ‫س ارةٍ اوأا ْن تا ا‬ ‫اوإِن كاانا ذُو عُس اْرةٍ فاناظِ ارة ٌ إِلاى ام ْي ا‬
ْ ‫سباتْ اوهُ ْم َلاي‬
281{ ‫ُظلا ُمونا‬ ‫ت ُ ْر اجعُونا فِي ِه إِلاى هللاِ ث ُ هم ت ُ اوفهى كُ ُّل نا ْف ٍس هما اك ا‬

“Orang-orang yang memakan (mangambil) riba (bunga) tidak dapat berdiri


melainkan seperti berdirinya orang-orang yang kesurupan setan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah
dikarenakan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya, jual beli itu sama
dengan riba, ' padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,
lalu berhenti (tidak mengambil rıba) maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) maka ia adalah
penghuni neraka, ia kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, beramal saleh, menegakkan


shalat, dan membayar zakat, mereka mendapat pahala dari sisi Tuhannya.
Tidak ada kekhawatiran atas mereka dan mereka tidak (pula) bersedih hati.
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 81


tinggalkanlah sisa-sisa riba (yang belum pungut) jika kamu orang-orang yang
benman.

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba itu) maka
ketahuilah bahwa Allah dan arsul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertobat (dari pengambilan riba), bagimu pokok hartamu, kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh
sampai dia mendapatkan kelapangan. Dan menyedahkan (sebagian atau
seluruh utang itu) lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. Dan
perihalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu
semua yang dikembalikan kepada Allah. Kemudian, masing-masing diri
diberikan balasan yang sempurna terhadap apa yang telah diperbuatnya
sedangkan mereka sedikitpun tidak dianiaya”.

Ayat ini mengutuk keras mereka yang mengambil riba, menegaskan


perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menuntut kaum
muslimin agar menghapuskan seluruh utang-piutang yang mengandung riba,
menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, dan mengikhlaskan
kepada peminjam yang mengalami kesulitan.

Selain ayat-ayat Al-Quran, banyak pula hadits-hadits yang menyatakan


dengan tegas larangan riba.

Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari


harta pokok atau modal secara bathil. Secara juristikal, riba mengandung dua
pengertian:

a. Tambahan uang yang diberikan ataupun diambil dimana pertukaran uang


tersebut dengan uang yang sama, misal dollar for dollar excange.

b. Tambahan nilai uang pada satu sisi yang sedang malkukan kontrak tatkla
komoditas yang diperdagangkan secara barter itu pada jenis yang sama.

82 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum
terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara
bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Mengenai
hal ini Allah mengingatkan dalam firman-Nya:

‫ايا أايُّ اها الهذِينا آ امنُوا َل تاأْكُلُوا أا ْم اوالاكُ ْم اب ْيناكُ ْم ِب ْالبااطِ ِل‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta


sesamamu dengan jalan bathil. QS. An Nisa: 29.

ٍ ‫الرباا إِ ْن كُ ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِينا فاإِ ْن لا ْم تا ْفعالُوا فاأْذانُوا بِ اح ْر‬


‫ب مِنا ه‬
ِ‫ّٰللا‬ ِ ‫ِي مِنا‬ ‫ياا أايُّ اها الهذِينا آ امنُوا اتهقُوا ه ا‬
‫ّٰللا اوذا ُروا اما باق ا‬
‫ظ ال ُمونا‬ ْ ُ ‫اظ ِل ُمونا اوَل ت‬
ْ ‫وس أا ْم اوا ِلكُ ْم َل ت‬
ُ ‫سو ِل ِه او ِإ ْن ت ُ ْبت ُ ْم فالاكُ ْم ُر ُء‬
ُ ‫او ار‬

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan


sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. QS. Al Baqarah: 278-
279.

Alasan-alasan yang dikemukakan kelompok pertama yang


mengharamkan riba nasi’ah besar maupun kecil ialah sebagai berikut :

1. Surat Ar-Rum ayat 39

‫ّٰللا فاأُولائِكا هُ ُم‬


ِ ‫ّٰللا او اما اءاتا ْيت ُ ْم م ِْن زا كااةٍ ت ُ ِريدُونا او ْجها ه‬ ِ ‫او اما اءاتا ْيت ُ ْم م ِْن ِربًا ِليا ْرب اُو فِي أا ْم اوا ِل النه‬
ِ ‫اس فا اال يا ْربُو ِع ْندا ه‬
‫ض ِع ُفونا‬ ْ ‫ْال ُم‬

Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu masudkan untuk mencapai
keridlaan Allah, maka (yang berbuat demikin) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya).

2. Surat Ali Imron ayat 130


Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 83
‫ّٰللا لا اع هل ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحونا‬
‫عفاةً اواتهقُوا ه ا‬ ِ ‫يااأايُّ اها الهذِينا اءا امنُوا اَل تاأْكُلُوا‬
ْ ‫الرباا أا‬
‫ض اعافًا ُم ا‬
‫ضا ا‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan


berlipat ganda dan bertawalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.

3. Al-Baqarah ayat 275 :

ِ ‫ّٰللاُ ْال اب ْي اع او اح هر ام‬


....‫الر ابا‬ ‫ اوأا اح هل ه‬...

Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

4. Surat Al-Baqarah ayat 276 :

ِ ‫ص ادقاا‬
... ‫ت‬ ‫الر ابا اوي ُْر ِبي ال ه‬ ‫اي ْم اح ُق ه‬
ِ ُ‫ّٰللا‬

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.

5. Surat Al-Baqarah ayat 278 – 279 :

ٍ ‫ فاإِ ْن لا ْم تا ْفعالُوا فاأْذانُوا بِ اح ْر‬. ‫الرباا ِإ ْن كُ ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِينا‬


ِ‫ب مِنا ّٰللاه‬ ‫يااأايُّ اها الهذِينا اءا امنُوا اتهقُوا ه ا‬
‫ّٰللا اوذا ُروا اما باق ا‬
ِ ‫ِي مِنا‬
...‫او ارسُو ِل ِه‬

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan


sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.

)‫الرباا او ُم او ِكلاهُ اوكااتِباهُ اوشاا ِهدا ْي ِه (رواه المسلم‬


ِ ‫ع ْن اجابِ ٍر لاعانا ارسُ ْو ُل هللاِ آ ِك ال‬
‫ا‬

Dari jabir, Rasulullah melaknat riba, yang mewakilkannya, penulisnya


dan yang menyaksikannya. HR. Muslim

Ubadah bin Al-Shamit

‫س ِعي ِْر‬ ‫ب اواْلفِض ِة ِب ْال ِف ه‬


‫ض ِة اوال ِب هر ِبال ِب ِر اوال ه‬ ِ ‫ب ِبالذه اه‬ ِ ‫ع ْن باي ِْع االذه اه‬
‫ يا ْن اهى ا‬.‫هللا ص م‬ ِ ‫س ِم ْعتُ ارسُ ْو ُل‬ ‫ ا‬:‫عبدة قاالا‬
‫ع ْينًا بِعاي ٍْن فا ام ْن اا ْزداا ْاوا ِْزدااداقعد ازلى‬
‫س اواءٍ ا‬ ِ ‫ح بِالم ِْل‬
‫ح ااَلا ا‬
‫س اوا ًء بِ ا‬ ِ ‫س ِعي ِْر اوالته ام ِر بِالته ام ِر اوالم ِْل‬
‫بِال ه‬

Ubadah berkata; saya mendengar rasulullah SAW. Melarang jual beli


emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma
dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali dengan sama (dalam
84 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
timbangan/takaran) dan kontan. Barang siapa melebihkan salah satunya,
ia termasuk dalam praktek riba.

Dalam kitab Al-Majmu’ disebutkan bahwa hadits Ubadah tersebut


diriwaytkan oleh Imam Muslim. Dan dijelaskan pula bahwa riba itu haram,
baik yang ada di negeri Islam (dar Al-Islam) maupun dinegeri musuh (dar
Al-hard).

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka kelompok pertama mengharamkan


riba secara keseluruhan, baik riba nasi’ah maupun riba fadl.

Sedangkan argumen yang dikemukakan oleh kelompok kedua (yang


mengharamkan riba ad’afan muda’afan dan tidak mengharamkan tambahan
yang kecil) adalah sebagai berikut : riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an
adalah yang masyur dan dikenal dengan sebutan riba jahiliyah (riba al-
jahiliyah). Riba ini merupakan riba nasi’ah (riba an-nasi’ah, riba tangguhan
waktu), (ad’afan muda’afan), yaitu riba yang berlipat ganda.

Mahmud Syaltut mengemukakan, riba itu dikaitkan batas pengertiannya


dengan urf dimana ayat Al-qur’an diturunkan mengenai hal itu. Dan yang
dimaksudkan dengan riba disini adalah riba yang berlipat ganda, yang
dilarang Allah.

Mereka juga beralasan dengan hadits yang berbunyi; la riba illa fi al-
nasi’ah (tidak ada riba kecuali pada tangguhan waktu).

Di dalam al-manar disebutkan, yang dimaksud riba pada alladzina


ya’kuluna al-riba (orang-orang yang memakan riba) adalah riba -riba adh-
‘afan mudha’afan (riba yang berlipat ganda) sesuai dengan kaidah
kembalinya ma’rifah yang kedua terhadap yang pertama, dan sesuai pula
dengan kaidah membawa yang mutlaq kepada muqayyah.

Tahapan Pengharaman Riba

Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur’an tidak diturunkan


sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap:

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 85


Tahap Pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada
dzhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu
perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah .

‫ّٰللا فاأُولائِكا هُ ُم‬


ِ ‫ّٰللا او اما آتا ْيت ُ ْم م ِْن زا كااةٍ ت ُ ِريدُونا او ْجها ه‬ ِ ‫او اما آتا ْيت ُ ْم م ِْن ِربًا ِليا ْرب اُو فِي أا ْم اوا ِل النه‬
ِ ‫اس فاال يا ْربُو ِع ْندا ه‬
‫ض ِع ُفونا‬ ْ ‫ْال ُم‬

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalanya). QS. Ar-Rum: 39.

Ayat ini menjelaskan bahwa riba itu tidak akan menambah harta yang
mereka punya, dan juga riba tidak membuat harta mereka berkembang
dengan pesat. Akan tetapi sebaliknya, riba akan membuat harta mereka
hilang dengan sendirinya karena tidak ada keridhoan Allah di dalam
hartanya tersebut.

Berbeda dengan harta zakat, harta zakat pada zohirnya berkurang, tapi
pada hakikatnya harta zakat itu berkembang. Karena harta zakat itu diridhoi
oleh Allah SWT.

Pada ayat ini Allah SWT belum memberikan hukum kepada harta riba.
Allah hanya memberitakan kepada manusia bahwa harta riba itu tidak baik
dan hanya menyusahkan orang lain.

Tahap Kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah


mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang
memakan riba.

ِ ‫ِيرا اوأا ْخ ِذ ِه ُم‬


‫الر ابا اوقادْ نُ ُهوا‬ ً ‫ّٰللا اكث‬ ‫ع ْن ا‬
ِ ‫س ِبي ِل ه‬ ‫ص ِد ِه ْم ا‬ ‫ت أُحِ لهتْ لا ُه ْم او ِب ا‬ٍ ‫ط ِي ابا‬ ‫فا ِبظُ ْل ٍم مِنا الهذِينا هاادُوا اح هر ْمناا ا‬
‫علا ْي ِه ْم ا‬
‫اس بِ ْالبااطِ ِل اوأا ْعتادْناا ل ِْلكااف ِِرينا ِم ْن ُه ْم ا‬
‫عذاابًا أالِي ًما‬ ِ ‫ع ْنهُ اوأا ْك ِل ِه ْم أا ْم اوا ال النه‬
‫ا‬

Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas


mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)

86 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia)
dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan
untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. QS. An
Nisa: 160-161.

Ayat ini menjelaskan bahwa sebab orang-orang Yahudi berbuat zolim, maka
mereka diharamkan memakan makanan yang baik-baik yang sebelumnya
dihalalkan bagi mereka. Itu di sebabkan karena mereka banyak mengganggu dan
menghalangi manusia untuk berada di jalan Allah.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah mengharamkan riba kepada kaum
Yahudi. Dikarenakan mereka memakan harta benda saudaranya dengan cara
yang bathil atau salah. Yaitu mereka melakukan peraktek ribawi. Allah
mengancam memberi balasan kepada orang-orang Yahudi yang memakan harta
riba.

Dalam ayat ini dijelaskan juga bahwa Allah hanya mengaharamkan riba
kepada kaum Yahudi saja. Allah belum mengharamkan riba kepada kaum
muslimin.

Tahap Ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan


yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga
dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak
dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman :

‫ّٰللا لا اعلهكُ ْم ت ُ ْف ِل ُحونا‬


‫عفاةً اواتهقُوا ه ا‬ ِ ‫ايا أايُّ اها الهذِينا آ امنُوا َل تاأْكُلُوا‬
ْ ‫الر ابا أا‬
‫ض اعافًا ُم ا‬
‫ضا ا‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-
ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan. QS. Ali Imran: 130.

Ayat ini menjelaskan bahwa secara umum harus dipahami bahwa kriteria
berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 87


berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan
sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu.

Karena mereka memahami ayat ini, jika memakan harta riba dengan berlipat
ganda barulah dilarang, namun jika tidak berlipat ganda tidak dilarang atau
mereka menganggap itu bukan riba.

Dalam ayat ini Allah memanggil orang-orang yang beriman. Pertanda


bahwa riba juga diharamkan bagi mereka orang-orang yang beriman, bukan
hanya diharamkan kepada orang-orang Yahudi saja.

Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan
menyangkut riba.

‫ّٰللا او ارسُو ِل ِه اوإِ ْن ت ُ ْبت ُ ْم فالاكُ ْم‬ ٍ ‫الرباا إِ ْن كُ ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِينا بِ اح ْر‬
ِ ‫ب مِنا ه‬ ‫ياا أايُّ اها ا هلذِينا آ امنُوا اته ُقوا ه ا‬
‫ّٰللا اوذا ُروا اما باق ا‬
ِ ‫ِي مِنا‬
ْ ُ ‫اظ ِل ُمونا اوَل ت‬
‫ظلا ُمونا‬ ْ ‫وس أا ْم اوا ِلكُ ْم َل ت‬
ُ ‫ُر ُء‬

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-
sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa
Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak pula dianiaya. Q.S. Al Baqarah: 278-279.

Allah menjelaskan bahwa orang yang memakan harta riba, bagaikan orang
yang kemasukan syaiton atau sering kita sebut kesurupan. yaitu Allah
memasukan riba ke dalam perut mereka itu, lalu barang itu memberatkan
mereka.hingga mereka sempoyongan bangun jatuh. Itu menjadi tanda dihari
kiamat sehingga semua orang mengenalnya. Begitulah seperti yang dikatakan
sa’id bin jubair. Itu disebabkan karena mereka menganggap bahwa riba sama
dengan jual beli. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Dan jika mereka berhenti untuk tidak melaksanakan riba lagi, maka Allah
akan ridho kepadanya. Namun jika mereka terus melaksanakan riba, Allah

88 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
menyiapkan untuk mereka neraka yang penuh dengan azab dan mereka kekal di
dalamnya.

‫ار أاث ٍِيم‬


ٍ ‫ّٰللاُ َل يُحِ بُّ كُ هل اكفه‬ ِ ‫صداقاا‬
‫ت او ه‬ ‫الرباا اوي ُْربِي ال ه‬ ‫يا ْم اح ُق ه‬
ِ ُ‫ّٰللا‬

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.

Dijelaskan bahwa perbedaan antara riba dan sedekah itu sangatlah berbeda.
Karena riba berfungsi memusnahkan harta, sedangkan sedekah berfungsi
menyuburkan harta.

‫علا ْي ِه ْم اوَل‬ ٌ ‫الزكااةا لا ُه ْم أاج ُْرهُ ْم ِع ْن اد ار ِب ِه ْم اوَل خ ْاو‬


‫ف ا‬ ‫ت اوأاقاا ُموا ال ه‬
‫صالةا اوآت ُاوا ه‬ ِ ‫صا ِل احا‬ ‫ِإ هن الهذِينا آ امنُوا او ا‬
‫ع ِملُوا ال ه‬
‫هُ ْم ياحْزا نُونا‬

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan


shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Dijelaskan bahwa orang-orang yang beriman,mereka tidak memiliki


kehawatiran dab bersedih hati. Karena mereka sudah begitu dekat kepada Allah,
sehingga menutup kemungkinan mereka berbuat praktek ribawi.

‫الرباا ِإ ْن كُ ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِينا‬ ‫ياا أايُّ اها الهذِينا آ امنُوا اتهقُوا ه ا‬
‫ّٰللا اوذا ُروا اما باق ا‬
ِ ‫ِي مِنا‬

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.

Dijelaskan bahwa Allah menyuruh orang-orang yang beriman untuk


bertaqwa kepada Allah dan meninggalkan praktek ribawi.

ْ ُ ‫اظ ِل ُمونا اوَل ت‬


‫ظلا ُمونا‬ ْ ‫وس أا ْم اوا ِلكُ ْم َل ت‬
ُ ‫ّٰللا او ارسُو ِل ِه او ِإ ْن ت ُ ْبت ُ ْم فالاكُ ْم ُر ُء‬ ٍ ‫فاإِ ْن لا ْم تا ْف اعلُوا فاأْذانُوا ِب اح ْر‬
ِ ‫ب مِنا ه‬

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 89


Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jikalau kita cermati bersama
asbabun nuzulnya. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabary meriwayatkan
bahwa:

Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan


dengan Rasulullah bahwa semua hutang mereka, demikian juga piutang
(tagihan) mereka yang ber-dasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan
hanya pokoknya saja.

Setelah Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai


Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah
administrasinya. Adalah Bani Amr bin Umair bin Auf yang senantiasa
meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman
jahiliyah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba.
Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang
banyak. Maka datanglah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan
(riba) dari Bani Mughirah – seperti sediakala – tetapi Bani Mughirah setelah
memeluk Islam menolak untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Maka
dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi
masalah ini Gubernur Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah dan
turunlah ayat di atas

Rasulullah lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itaba’ jikalau


mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jikalau
mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.

Jadi, jika kita tidak meninggalkan praktek ribawi, maka kita akan diperangi
oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan jika meninggalkan dan menjauhi praktek ribawi,
insyaAllah kita akan mendapat ridho dari Allah dan Allah akan menjaga harta
kita serta kita dijauhkan dari siksa-Nya yang sangat pedih.

‫س ارةٍ اوأا ْن تا ا‬
‫صدهقُوا اخي ٌْر لاكُ ْم ِإ ْن كُ ْنت ُ ْم تا ْعلا ُمونا‬ ‫اظِرة ٌ ِإلاى ام ْي ا‬ ُ ‫او ِإ ْن كاانا ذُو‬
‫عس اْرةٍ فان ا‬

90 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
tiu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

Maksud darai perkataan “wa inkana dzuu ‘usratin fa nadhiratun ila


maysarah” itu memberikan semangat kepada pihak yang menghutangi supaya
benar benar memberikan tempo kepada pihak yang berhutang sampai ia benar
benar mampu.

Dalam pengertian syariah, riba memiliki dua kategori yang masing-


masingnya memiliki karakteristik tersendiri:

1. Riba Nasiah

Kata nasiah sesuai kebutuhan ‘mashdar’ dari akar kata ‫نسئ ― ينسئ‬
yang berarti menunggu, menangguhkan, atau menunggu. Secara istilah
berarti pembayaran premi yang harus dibayarkan oleh pinjaman kepada
pemberi pinjaman di samping pengenbalian pokok sebugai syarat
pinjaman atau perpanjangan batas jatuh tempo. Dalam arti inilah riba
digunakan dalam QS Al-Baqaraly 275

Dalam hadits pun riba jenis ini disinggung antara lain:

)‫َلربا اَلفي النسيئة (رواه البخر ي ومسلم عن ابن عباس‬

“Tidak ada riba kecuali nasiah”. (HIR Bukhari-Muslim dari Ibn Abbas)

Secara implisit larangan riba nasiah menunjukkan bahwa penetapan


suatu keuntungan positif di depan suatu pinjaman Sebagai imbalan karena
menunggu, menurut syariah, tidak diperbolehkan. Bentuknya dapat
berupa prosentase keuntungan dari pokok atau pemberian hadiah atau
pelayanan yang diterima sebagai suatu persyaratan pinjaman. Intinya
adalah penentuan keuntungan posistif di depan. Karena dalam etika bisnis
Islam, keuntungan tidak dapat diklaim hanya dengan berjalannya waktu,
ia harus diperoleh dengan suatu transaksi penyeimbang yang juga disertai
kemungkinan menanggung resiko.

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 91


2. Riba Fadl

Fadl, secara bahasa bermakna kelebihan. Secara istilah umum, riba


fadl merupakan pertukaran antar barang sejenis dengan kadar dan
takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu
termasuk dalam jenis barang ribawi.85 Riba jenis ini terjadi pada
transaksi pembelian dari tangan ke tangan dan penjualan komoditas.
Dalam praktik Perbankan konvensional riba jenis ini dapat ditemui
anatar lain dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan
secara tunai.

Dalil yang landasan terlarangnya riba fadl antara lain hadist:

‫ الذ هب با لذ هب والفضة بالفضة والبر والبر‬: ‫ قال رسول هللا صلعم‬:‫عن عبادة بن الصامت رض قال‬
‫ فاذااختلف هذه اَلصناف‬,‫والشعير بالشعير والتمر با لتمر والملح بالملح مثال بمثل سواء بسواء يدا بيد‬
)‫فبيعوا كيف شئتم اذا كان يدا بيد (رواه مسلم‬

Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah saw bersabda, “Emas dengan


emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai,
kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (serupa dengan serupa,
setara dengan setara, dan dari tangan ke tangan). Jika barang-barang itu
berbeda-beda, kamu dapat menjual apa yang kamu kehendaki, dengan
syarat pertukaran itu dari tangan ke tangan”. (HR Muslim, Bab al-Sharf
wa Ba’i a-Dzahb bil Wariq Naqdan)

Penyebutan hanya enam komoditas ini menimbulkan pertanyaan


apakah larangan ini dapat diqiyaskan kepada komoditas-komoditas
lainnya. Terhadap dua komoditas pertama, emas dan perak, secara
umum disimpulkan bahwa semua komoditas yang dipergunakan sebagai
alat tukar (uang) termasuk dalam cakupan riba fadhl. Sedangkan
terhadap empat komoditas lainnya, terdapat perbedaan di kalangan
fuqaha. Menurut Hanafi, Hambali, Imami, dan Zaidi, semua barang
yang dapat dijual berpotensi terkena riba fadl. Sedangkan Syafi’i dan

85Muhammad Syafi’i Antonio, Op. Cit.,h. 41


92 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Hambali berpendapat bahwa riba fadl dapat terjadi pada semua
komoditas yang mempunyai karakteristik dapat dimakan. Menurut
Maliki semua barang yang dapat dijadikan bahan makanan dan
disimpan lama berpotensi menimbulkan riba fadhl. Sedangkan madzhab
Dzahiri membatasi riba fadl hanya kepada enam komoditas yang secara
spesifik disebutkan oleh Rasulullah.

Pada dasarnya illat dari ketentuan ini adalah keadilan dan interaksi
yang jujur pada transaksi di tempat. Karenanya setiap pertukaran yang
menimbulkan ketidakadilan bagi salah satu pihak dikategorikan riba
fadhl. Larangan riba fadhl dimaksudkan untuk menjamin keadilan dan
membuang semua bentuk eksploitasi melalui pertukaran yang tidak adil
dan sebagai sad dzariah terhadap sarana-sarana yang akan
menghantarkan kepada riba.

Jika riba nasiah berhubungan dengan pinjaman maka riba fadhl


berkaitan dengan perdagangan. Riba fadhl mengacu kepada semua
ketidakadilan dan eksploitasi. Ia menuntut terhapusnya kecurangan,
ketidakpastian atau spekulasi, dan monopoli atau monopsoni.

Dengan larangan riba ini diharapkan akan mendorong


terbentuknya kecenderungan masyarakat untuk tidak bersikap
memastikan dan bergeser ke arah sikap berani menghadapi resiko. Hal
ini sesuai dengan prinsip tidak ada penerimaan tanpa menghadap resiko
(no return without risk).

Larangan riba ini mengimplikasikan fungsi uang sebagai sarana


pertukaran, karena itu tidak boleh digunakan sebagai komoditi. Dari
berbagai hadist dapat diambil kesimpilan bahwa uang hanya dipakai
untuk menilai suatu harta/mal atau jasa/amal. Oleh karena itu
kepemilikan uang semata-mata tidak boleh memberikan
tambahan/uang. Dengan kata lain, uang (ataupun harta/mal lainnya)
tidak dapat memperoleh hasil semata-mata menurut waktu (time value)

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 93


atau potensi kegunaan (oppurtunity cost). Demikian pula dalam
perdagangan internasional, perubahan nilai tukar antar valuta adalah
merupakan fungsi dari perdagangan anyara sistem ekonomi tersebut.
Sehingga menurut syariah tidak boleh memperoleh hasil atau
keuntungan semata-mata akibat perubahan nilai tukar valuta. Tetapi
memperoleh imbal jasa dari pertukaran valuta merupakan hasil yang
halal atas resiko penyedian dan penyimpanan mata uang tersebut.

Sesungguhnya alasan mendasar mengapa al-Qur’an menetapkan


ancaman yang begitu keras terhadap bunga adalah bahwa Islam hendak
menegakkan suatu sitem ekonomi dimana semua bentuk eksploitasi
dihapuskan, terutama ketidakadilan dalam bentuk dimana penyedia
dana dijamin dengan suatu keuntungan positif tanpa bekerja apapun
atau menanggung resiko, sedangkan pelaku bisnis meskipun sudah
mengelola dan bekerja keras, tidak dijamin dengan keuntungan positif
demikian. Islam hendak menegakkan keadilan penyedia dana dan
pelaku bisnis.

Ibnu Rusyd menyebutkan : riba terdapat pada dua perkara, yaitu


pada jual beli tanggungan, pinjaman atau lainnya. Riba dalam
tanggungan (adz-dzimmah) ada dua macam. Satu diantara dua macam
riba ini sudah disepakati oleh para ulama tentang keharamannya, yaitu
riba jahiliyah. Riba dalam jual beli ada dua macam, yaitu nasi’ah dan
twadul. Ada ulama yang membagi riba atas riba fald, riba yad, riba nasa
dan riba qard.

Al-Jaziri membagi riba atas riba nasi’ah dan riba fadl. Pembagian
seperti ini banyak digunakan oleh para ulama, antara lain Ali Al-Sayis
dan Ali Ash-Shabuni, dalam kitab tafsir masing-masing.

Sedangkan Ibnu Qayim membagi riba atas dua bagian : jaiy dan
khafy. Riba jaliy adalah riba nasi’ah, diharamkan karena mendatangkan
mudlarat yang besar. Riba yang sempurna (riba al-kamil) adalah riba

94 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
nasi’ah. Riba ini berjalan pada masa jahiliyah. Riba khafiy diharamkan
untuk menutup terjadinya riba jaliy.

Riba yang mengharamkannya disepakati oleh para ulama adalah


riba jahiliyah, yang dilarang dalam Al-Qur’an. Gambarannya, mereka
meminjamkan uang atau barang, bertangguh waktu dan ditentukan ada
tambahan. Peminjam berkata : “tangguhkan pembayaran, aku tambah”.

Riba pada jual beli ada dua macam; nasi’ah dan tafadul.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia menolak adanya riba fadl,
berdasarkan hadis yang ia riwayatkan dari nabi yang berbunyi : La riba
ill fi an-nasi’ah (tidak ada riba kecuali pada tangguhan waktu). Jumhur
fuqaha berpendapat terdapat riba pada keduanya (riba nasi’ah dan riba
fadl).

Secara garis besar, pandangan-pandangan tentang hukum riba di


atas dapat dibagi atas dua kelompok. Kelompok pertama
mengharamkan riba, besar ataupun kecil. Kelompok kedua
mengharamkan riba yang melipat ganda. Tambahan yang kecil menurut
kelompok kedua, tidak termasuk riba yang dihramkan. Setiap pinjaman
yang disyaratkan ada tambahan waktu pengambilan, menurut kelompok
pertama adalah haram. menurut kelompok kedua, yang diharamkan
adalah tambahan pengembalian pinjaman yang berlipat ganda.

Pada kenyataannya, Islam bukanlah satu-satunya agama yang


melarang pembayaran bunga. Banyak pemikir zaman dahulu yang
berpendapat bahwa pembayaran bunga adalah tidak adil. Bahkan
meminjamkan uang dengan bunga dilarang pada zaman Yunani kuno.
Aristoteles adalah orang yang amat menentang dan melarang bunga,
sedang Plato juga mengutuk dipraktekannya bunga.86 Dalam kitab
perjanjian lama, larangan riba dapat diketahui dari Leviticus 25:37,

86 M.M Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Bangkit Daya Insani,

1995). H. 12-13
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 95
Deutronomi 23:19, Exodus 25:25, dan dalam kitab perjanjian baru,
Luke: 3587.

b. Prinsip Berbagi Hasil dan Resiko

Konsekuensi dari larangan riba mengakibatkan bank syariah


hanya beroperasi atas dasar perolehan keuntungan baik berupa
perdagangan, sewa, ataupun pembiayaan atas dasr kontrak loss
sharing88. Perbedaan antara ketiga transaksi dengan riba adalah pada
resiko yang harus ditanggung pihak-pihak yang terlibat. Pada yang
pertama resiko ditanggung secara merata oleh masing-masing pihak
sedangkan pada yang kedua resiko ditanggung lebih banyak, kalau
bukan hanya, pada satu pihak inilah maka riba dilarang.

Dalam realita, dunia bisnis tidaklah dapat dilepaskan dari resiko.


Resiko bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Justru ketika muncul
kesempatan dengan konsekuensi resiko harus dihadapi dan dikelola
sehingga menghasilkan keuntungan seperti yang diharapkan. Oleh
karena itu dalam Islam dikenal prinsip no return without risk. Kaidah
ini mengimplikasikan bahwa perolehan keuntungan dibenarkan dengan
cara melibatkan diri pada usaha produktif sehingga berkontribusi pada
ekonomi.

Karakteristik yang membedakan ekonomi dan keuangan yang Islami


dengan yang konvensional merefleksikan pemahaman yang berbeda
tentang nilai modal dan tenaga kerja. Sebagi ganti hubungan kreditor-
debitor, keuangan Islam bersandar pada penanggungan resiko yang
berimbang antara penyedia modal (shahibul mal) dengan mudharib.
Praktik ini berasal dari ajaran sentral tentang perbankan Islam yang
didasarkan pada al-Qur’an: larangan riba.

87 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum

Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1999), h.9


88 Fuad al-Omar and Mohammed Abdel-Haq, Islamic Banking Theory, Practice and

Challenges, (London: Zed Books, 1996), h.23


96 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Di samping keadilan distributif, prinsip berbagi hasil dan resiko juga
melahirkan efisiensi alokasi sumber-sumber ekonomi serta stabilitas
ekonomi. Efisiensi alokasi diperoleh karena pembiayaan biasanya
diberikan kepada peminjam yang palimh amanah dan tidak mesti
kepada proyek-proyek yang paling produktif. Karena bagaimanapun
produktif dan profitablenya suatu proyek, jika ditangani oleh orang
yang kurang amanah, maka terbuka kemungkinan terjadinya
kecurangan yang akan merugikan salah satu pihak. Dari segi stabilitas,
dalam sistem perbankan Islam, inflasi akan berada pada titik terendah
karena penawaran moda akan proporsional dan terkait denag kegiatan
ekonomi, misalnya mudharabah dan musyarakah untuk membiayai
usaha produktif dan bukan untuk konsumsi sehingga tidak akan
berkontribusi pada inflasi. Hal ini berbeda dengan perekonomian
berbasis bunga yang rentan kepada inflasi karena penciptaan
uang/kredit tidak dihubungkan dengan investasi produktif89.

Oleh karena dalam menghadapi krisis moneter yang diwarnai oleh


tingkat bunga yang sangat tinggi, perbankan syariah terbebas dari
negatif spread. Konsep Islam sangatlah menjaga keseimbangan antara
sektor rill dan sektor moneter sehingga pertumbuhan pembiayaannya
tidak akan lepas daripertumbuhan sektor rill yang dibiayainya. Pada
saat perekonomian lesu, maka yield yang diterima perbankan Islam
menurun, dan pada giliranyya return yang dibagi-bagikan kepada para
penabung juga turun. Sebaliknya, pada saat perekonomian booming,
maka return yang dibagi-hasilkan akan booming juga. Dengan kata lain
kinerja kinerja perbankan syariah ditentukan oleh sektor rill, dan bukan
sebaliknya. Dalam pandangan Islam, uang hanyalah berfungsi sebagi
alat tukar dan bukan merupakan barang atau komoditas. Islam tidak
mengenal timme value of money, tetapi Islam mengenal economics

89 Fuad al-Omar and Mohammed Abdel-Haq, Op.Cit., h. 12


Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 97
value of time. Jadi yang berharga menurut pandangan Islam adalah
waktu itu sendiri.90

3. Etika/Moratilas Usaha

a. Larangan investasi pada usaha maksiat dan merusak lingkungan

Dalam Islam aturan syariat ditetapkan demi kemaslahatn


manusia. Ada hal-hal terlarang yang mesti dijauhi karena memang
menimbulkan madharat pada manusia dan lingkungannya. Oleh
karena itu, dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksankan
tidak terlepas dari saringan syariah. Karenanya bank syariah tidak
akan mungkin membiayai usaha yang terkandung didalamnya hal-
hal yang diharamkan.

Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan


disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok sesuai dengan
syariah, diantaranya:

1. Apakah obyek pembiayaan itu halal atau haram?


2. Apakah proyek itu menimbulkan kemudhratan kepada
masyarakat?
3. Apakah proyek itu berkaitan dengan perbuatan asusila?
4. Apakah proyek berkaitan dengan perjudian?
5. Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata illegal atau
berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal?
6. Apakah proyek itu dapat merugikan syiar Islam, baik secara
langsung maupun tidak langsung91?
Berkaitan dengan isu lingkungan, bank syariah juga
dipersyaratkan melakukan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan) dalam perjanjian kredit atau pembiayaan berdasarkan

90 Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah Lingkup, Pelluang, Tantangan, dan

Prospek, (Jakarta: Alvabet, 2000), h. ix


91 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema

Insani Press, 2001), h. 33-34


98 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
prinsip syariah bagi perusahaan berskala besar dan/atau beresiko
tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian
lingkungan sebagaimana diamanatkan pasal 8 penjelasan atas UU
No. 10/1998. Hal ini juga terkait dengan prinsip syariah Islam yang
ingin mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kemudharatan.
b. Larangan Spekulasi (Masyir)
Masyir merupakan transaksi yang juga dilarang dalam al-
Qur’an, dan merupakan pengecualian kedua, setelah riba, terhadap
kebolehan jual beli atas dasar sukarela. Larangan maysir tercantum
dalam QS al-Manidah: 90-91:

‫ان فاا ْجتانِبُوهُ لاعالهكُ ْم‬ ‫ش ْي ا‬


ِ ‫ط‬ ‫ع ام ِل ال ه‬
‫س م ِْن ا‬ ٌ ‫صابُ او ْاأل ا ْز اَل ُم ِر ْج‬ ‫ياا أايُّ اها الهذِينا آ امنُوا إِنه اما ْال اخ ْم ُر او ْال ام ْيس ُِر او ْاأل ا ْن ا‬
‫ع ِن‬ ِ ‫ع ْن ِذ ْك ِر ه‬
‫ّٰللا او ا‬ ‫صدهكُ ْم ا‬ُ ‫ضا اء فِي ْال اخ ْم ِر او ْال ام ْيس ِِر اويا‬ ‫طا ُن أا ْن يُوقِ اع با ْيناكُ ُم ْالعاد اااوةا اوا ْلبا ْغ ا‬
‫ش ْي ا‬ ‫ت ُ ْف ِل ُحون أنه اما ي ُِريدُ ال ه‬
‫ص االةِ ۖ فا اهلْ أا ْنت ُ ْم ُم ْنتا ُهونا‬
‫ال ه‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,


berjudi, (berkobar untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan


permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar
dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”

Maysir mengandung arti kekayaan yang diperoleh dengan mudah.


Maysir yang terbesar adalah dalam situasi zero-sum game dimana
keuntungan suatu pihak merupakan kerugian pihak lain. Kaidah
pelarangan maysir atau judi tercermin dari kegiatan bank syariah yang
melarang investasi yang tidak terkait dengan sektor rill. Kondisi ini pada

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 99


gilirannya diharapkan akan membentuk kecenderungan masyarakat untuk
menghindari judi didalam aktifitas investasinya.92

Gejolak krisis yang menimpa indonesia sejak 1998 merupakan


konsekuensi logis dari lepasnya kerkaitan sektor moneter dengan sektor
rill. Sektor moneter yang dijadikan uang sebagai barang komoditas, telah
berkembang melampaui batas-batas negara, sedangkan sektor rill selalu
tertinggal dibelakang karena adanya kebutuhan waktu untuk memproses
barang dari input menjadi output. Harga-harga saham pun terus menerus
menggelembung, seperti gelembung udara yang suatu saat akan peceh.
Inilah yang disebut dengan Bubble Economics karena harga-harga saham
itu sama sekali tidak mencerminkan kinerja perusahaan emiten yang
sebenarnya93.inilah salah satu akibat dari praktik yang tergolong masyir
ini, yang menimbulkan kemudharatan dalam skala besar. Itulah sebabnya
Islam mencela dan melarang praktik masyir.

c. Larangan Gharar (ketidakpastian)


Gharar mengandung arti keraguan, tipuan, atau tindakan yang
bertujuan merugikan orang lain. Al-Shan’any dan Al-Sayyid Sabiq
memaknai gharar ini sebagai transaksi yang penuh tipuan dan diduga
tidak didasarkan atas kesukarelaan sehingga termasuk perbuatan
memakan harta orang lain secra bathil.94 Secara istilah gharar dapat
didefinisikan sebagai suatu situasi dimana para pihak yang berkontrak
tidak menguasai informasi tentang obyek kontak mereka.95 Informasi itu
baik dalam spesifikasi obyek, cara/waktu penyerahan maupun cara/waktu
pembayaran.

92
Harisman, Loc. Cit
93 Zainul Arifin, Op. Cit., h.vi-vii
94 Muhsmmad Ibn Isma’il al-Kahlani as-San’ani, Subul as-Salam, (Bandung:
Dahlan, t.th), J.III, h.15, lihat juga as-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fiqr,
1983), J.III, h. 144
95 Fuad al-Omar and Mohammed Abdel Haq, Islamic Banking, (London: Zed Books,

1996), h.xii
100 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan dua sebab utama
yang menimbulkan unsur gharar dalam transasksi. Pertama, kurangnya
informasi atau pengetahuan (jahalah) pada pihak yang melakukan
kontrak. Jahalah ini menyebabkan tidak dimilikinya kontrol atau skill
pada pihak yang melakukan transaksi. Kedua, karena tidak adanya (non-
exist) obyek.96 Oleh karena itu, agar terhindar gharar, pihak-pihak yang
melakukan kontrak harus: a. Berkeyakinan bahwa baik suyek kontrak
maupun harga jelas dan dapat diserah-terimakan; b. Memerinci
karakteristik dan jumlah nilai pengganti; c. Menyatakan waktu serah
terima, jika diperlukan97. Karena ketidakjelasan dalam item-item ini akan
menghadapkan pihak-pihak yang berkontrak pada resiko yang membawa
kepada spekulasi.

Kaidah pelarangan gharar yang diterapkan pada setiap transaksi yang


dilakukan oleh bank syariah harus memenuhi persyaratan terhindar dari
ketidakjelasan, sehingga transparansi dalam berbagi kegiatan perbankan
syariah sangat diutamakan.
Landasan-landasan filosofis diatas melahirkan ketentuan akad dalam
hukum Islam. Secara bahasa akad merupakan bentuk masdhar dari akar
kata aqada ya’qidu yang bermakna ikatan, persetujuan, dan
permufakatan98. Dalam hukum Islam aqad didefinisikan sebagai
‘perikatan dan persetujuan antara dua pihak dalam transaksi yang sah
secara hukum, memiliki akibat hukum, dan mengikat99.

Akad secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu kata ‫ الربط‬ar-
rabthu yang berarti menghubungkan, mengaitkan, atau mengikat antara
beberapa ujung sesuatu. Makna lainnya yaitu ikatan, mengencangkan,
menjamin, atau perjanjian, kalimat ‫ع اق اد ال اح ْب ال‬
‫‘( ا‬aqdu al-habl) bermakna

96 Iggi, H, Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2000), h. 52
97Fuad al-Omar and Mohammed Abdel Haq, Op.Cit., h. 10
98Al-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fiqr, 1983), J.III, h. 127
99 Ala’ Eddin Kharofa, Transaction inIslamic Law, (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen,

1997), h.28
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 101
mengikat tali. Sesuatu yang terikat dalam bahasa Arab disebut ma`qud
(yang terikat).

Akad menurut istilah didefinisikan oleh beberapa ahli, Al-Jashash


mendefiniskannya dengan sesuatu yang menjadi komitmen seseorang
untuk dilakukan atau komitmen seseorang yang menuntut agar orang lain
melakukan suatu perbuatan tertentu yang dia inginkan. Sementara Al-
Jurjani berpendapat bahwa akad adalah ikatan antara beberapa pihak yang
melakukan transaksi melalui ijab dan qabul.

Wahbah Az-Zuhaili mendefinisikan Akad adalah hubungan/keterkaitan


antara ijab dan qabul atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki
implikasi hukum tertentu. Dengan ungkapan lain, akad merupakan keterkaitan
antara keinginan / statemen kedua pihak yang dibenarkan oleh syara’ dan akan
menimbulkan implikasi hukum tertentu.

Berdasarkan pengertian ini maka jual-beli, nikah, dan semua transaksi


komersial dan ganti rugi bisa disebut akad. Demikian pula sumpah untuk
melakukan perbuatan tertentu di masa mendatang juga disebut akad. Karena
sumpah termasuk di antara komitmen untuk melakukan sesuatu di masa
mendatang.

Maka, dalam arti luas, akad adalah ikatan antara beberapa pihak. Makna
ini lebih dekat dengan makna istilah fiqih yang bersifat umum, yakni keinginan
seseorang untuk melakukan sesuatu, baik keinginan tersebut bersifat pribadi
(diri sendiri), seperti talak, sumpah ataupun terkait dengan keinginan pihak lain
untuk mewujudkannya, seperti jual beli, sewa menyewa, dan lainnya,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab Nadzariyat al ‘Aqd li
Ibnu Taimiyah.

Akad merupakan peristiwa hukum antara dua pihak yang berisi ijab dan
kabul, secara sah menurut syara’ dan menimbulkan akibat hukum. Akad yang
ada dalam Lembaga Keuangan Syariah ada yang merupakan dana kebajikan
(tabarru’) dan ada juga akad yang dijadikan dasar sebuah instrumen untuk

102 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
transakasi yang tujuannya memperoleh keuntungan (tijarah). Tentunya ini
adalah hal yang berbeda dan pastilah dalam akad itu ada beberapa penjabaran
dan penjelasan bagaimana akad itu seharusnya bisa dilakukan. Menurut
madzhab Maliki Syafii dan Hanbali akad adalah “Segala sesuatu yang
diinginkan seseorang untuk melakukannya, baik krena keinginan satu pihak
seperti waqaf dan thalaq atau karena keinginan dua pihak seperti jual beli dan
gadai”.

DASAR HUKUM AKAD

Ayat Al-Qur’an yang menjadi dalil bagi akad adalah firmanNya:

‫ص ْي ِد اوأا ْنت ُ ْم ُح ُر ٌم ِإ هن‬ ‫ايا أايُّ اها الهذِينا آ امنُوا أا ْوفُوا ِب ْال ُعقُو ِد أُحِ هلتْ لاكُ ْم اب ِهي امةُ األ ْن اع ِام ِإَل اما ُيتْلاى ا‬
‫علا ْيكُ ْم ا‬
‫غي اْر ُمحِ ِلي ال ه‬
‫ّٰللا يا ْحكُ ُم اما ي ُِريد‬
‫ها‬

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu


binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-
Nya. QS. Al-Maidah: 1.

Ibnu Katsir menukil perkataan dari Ibnu Abbas berpendapat bahwa Allah
Ta’ala dalam ayat ini memerintahkan orang-orang yang beriman agar memenuhi
dan melaksanakan akad-akad yang telah disepakati. Maka akad menjadi hal
yang sangat diperhatikan dalam Islam, setiap permasalahan bisnis akan
dikembalikan kepada akad yang telah disepakati.

Adapun hadits dari Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam dalam sebuah riwayat:

ِ ‫ع ْن ُه اما أا هن ارسُو ال‬


‫هللا‬ ‫ي ه‬
‫ّٰللاُ ا‬ ‫ض ا‬ِ ‫ ار‬، ‫هللا ب ِْن عُ ام ار‬ِ ‫ع ْب ِد‬ ‫ع ْن ا‬ ‫ ا‬، ٌ‫ أا ْخ اب ارناا اما ِلك‬، ‫ف‬
‫ ا‬، ‫ع ْن نااف ٍِع‬ ‫هللا ْب ُن يُوسُ ا‬ ‫احدهثاناا ا‬
ِ ُ‫ع ْبد‬
‫صاحِ بِ ِه اما لا ْم ياتاف هارقاا إَِله با ْي اع‬‫علاى ا‬ ‫ار ا‬ ِ ‫ان كُ ُّل اواحِ ٍد ِم ْن ُه اما بِ ْالخِ يا‬
ِ ‫ ْال ُمتاباايِعا‬: ‫صلى صلى هللا عليه وسلم قاا ال‬
ِ ‫ْالخِ اي‬
‫ أخرجه البخارى ومسلم‬.‫ار‬

Hadist dari Abdullah bin Yusuf, beliau mendapatkan hadist dari Malik dan
beliau mendapatkan Hadist dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar Rodliyallohu
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 103
‘anhuma. Sesungguhnya Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dua
orang yang jual beli, masing-masing dari keduanya boleh melakukan khiyar atas
lainnya selama keduanya belum berpisah kecuali jual beli khiyar.” (HR Bukhori
dan Muslim).

Riwayat ini menunjukan bahwa akad menjadi hal yang sangat penting dalam
transaksi bisnis sehingga sah tidaknya suatu transaksi akan sangat dipengaruhi
oleh akad yang dilakukan. Demikian pula persyaratan yang ada dalam sebuah
akad maka harus dipenuhi.

Merujuk pada ayat dan hadits mengenai akad dapat disimpulkan bahwa akad
dalam bisnis Islam adalah hal yang membedakan antara satu akad dengan akad
lainnya. Ia juga menjadi pembeda dengan akad yang ada di luar Islam, walaupun
seolah-olah sama tapi hakikatnya sangat berbeda. Sebagai contoh seseorang
yang memberikan uang kepada orang lain, maka dalam hukum bisnis Islam bisa
berupa hibah, hadiah, utang, mudharabah, musyarakah, wadi’ah dan yang
lainnya.

RUKUN DAN SYARAT AKAD

Sah tidaknya suatu akad akan sangat ditentukan oleh rukun dan syarat yang
harus ada. Rukun akad dipahami sebagai segala sesuatu yang bisa digunakan
untuk mengungkapkan kesepakatan atas dua kehendak, atau sesuatu yang bisa
disamakan dengan hal itu dari tindakan, isyarat atau korespondensi.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul,
sedangkan orang yang melakukan akad dan hal yang menjadikan
berlangsungnya akad tidak masuk ke dalam rukun, ia hanya sebagai pelengkap
saja. Adapun Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga
rukun yaitu:

1. Orang yang berakad (‘aqid).

2. Sesuatu yang diakadkan (ma’qud alaihi)

104 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
3. Ijab dan qabul (sighat).

Beberapa ulama lainnya menambahkan rukun akad menjadi empat hal yaitu:

1. ‘Aqid, adalah pihak yang berakad. Terkadang masing-masing pihak terdiri


dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa beberapa orang.

2. Ma’qud alaih, ialah harga dan benda-benda atau objek yang diakadkan,
seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah
(pemberian), gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.

3. Maudhu’ al-‘aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.


Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad.

4. Shighat al-aqd, ialah ijab qabul. Ijab dan qabul merupakan ungkapan yang
menunjukkan kerelaan/ kesepakatan dua pihak yang melakukan
kontrak/akad.

1. Syarat Aqid (Pihak yang Berakad):

Al-‘Aqid adalah orang atau pihak-pihak yang melakukan akad,


keberadaannya sangat penting karena merupakan rukun dari akad. Jika ia
tidak ada maka batal akad tersebut. Ulama Malikiyah dan Hanafiyah
mensyaratkan aqid harus berakal, yakni mumayyiz, anak yang agak besar
yang pembicaraan dan jawaban yang dilontarkannya dapat dipahami, serta
berumur minimal tujuh tahun. Maka mereka menganggap tidak sah suatu
akad yang dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh, orang gila dan orang
yang berada di bawah pengampuan.

Adapun syarat-syarat seorang aqid adalah sebagai berikut;

a. Ahliyah; memili kecakapan dan kepatutan untuk melakukan akad.


Lumrahnya jika suadah baligh dan berakal

b. Wilayah: hak kewenangan seseorang yang dapat legalitas syar’i untuk


bertransaksi atas suatu obyek tertentu. (pemilik asli atau wali dari
pemilik)

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 105


Merujuk kepada syarat tersebut maka seorang aqid haruslah betul-betul
pihak-pihak yang memahami akad yang akan dilakukannya sekaligus
mengetahui hak dan kewajiban sebagai implikasi dari akad yang
dilakukannya.

2. Syarat Ma’qud Alaih

Ma’qud Alaihi adalah obyek akad atau benda-benda yang dijadikan


akad yang bentuknya tampak dan membekas. Obyek tersebut bisa berupa
benda, seperti barang dagangan, benda bukan harta seperti dalam pernikahan,
dan dapat pula berbentuk manfaat seperti dalam akad sewa-menyewa
(ijarah). Islam memberikan aturan yang membolehkan atau tidak
membolehkan suatu barang atau jasa dijadikan obyek akad, secara umum
syarat ma’qud alaihi adalah halal dan suci. Adapun secara rinci adalah
sebagau berikut;

Pertama, Harus ada ketika akad. Pada dasarnya ketika akad


berlangsung obyek akad haruslah sudah ada. Maka tidak diperbolehkan
menjual anak kambing yang masih ada dalam kandungan induknya atau
menjual suatu barang yang belum pasti keberadaannya. Walaupun demikian
diperbolehkan jual beli barang yang belum ada dengan syarat spesifikasinya
sudah jelas, akad yang digunakan adalah jual beli salam atau istishna’.
Misalnya adalah jual beli rumah yang belum jadi, maka akadnya boleh
walaupun obyek akadnya belum ada. Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam
mensyaratkan jual beli salam ini dengan keharusan jumlah yang jelas,
takaran yang jelas, kualitas yang jelas dan waktu penyerahan yang jelas.

Kedua, Harus berupa mal muttaqawwim, maksudnya adalah bahwa


obyek akad tersebut adalah harta yang dianggap sah secara syar’i sehingga
khamr, daging babi, barang yang najis, bangkai dan darah adalah harta yang
tidak boleh menjadi obyek akad. Selanjutnya harta itu haruslah suci baik
dari segi dzatnya maupun cara memperolehnya.

106 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Ketiga obyek akad harus bisa diserahkan saat akad atau setelahnya. Jika
jual beli yang berlangsung tunai maka obyek harus diserahkan pada saat
akad, sedangkan bila ditangguhkan maka harus juga bisa diserahkan pada
waktu yang ditentukan. Maka tidak boleh bertransaksi dengan barang yang
belum dikuasai seperti burung yang sedang terbang di udara, ikan yang
sedang berenang atau barang-barang yang tidak bisa dihadirkan ketika akad
atau waktu yang ditentukan selanjutnya. Syarat ini juga mengharuskan
bahwa obyek akad harus jelas bukan yang masih majhul (belum dikenal).

3. Syarat Sighat

Menurut Hanafiyah, ijab adalah ungkapan yang pertama kali


dilontarkan oleh salah satu pihak yang akan melakukan akad. Dimana ia
menunjukkan maksud / kehendak dengan penuh kerelaan, baik datangnya
dari pihak penjual atau pembeli. Qabul adalah sebaliknya. Untuk menetapkan
apakah itu ijab atau qabul, sangat bergantung pada awal lahirnya ungkapan
tersebut, tidak memandang siapa yang mengungkapkannya.

Ijab menurut ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu


yang menunjukan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang
menyerahkan maupun yang menerima, sedangkan qabul adalah orang yang
berkata setelah orang yang menucapkan ijab yang menunjukan keridhaan
atas ucapan orang pertama. Contohnya adalah penjual mengucapkan ijab
“Saya jual barang ini kepadamu dengan harga Rp10.000” kemudian pembeli
akan menjawab dengan ijab “Ya.. Saya beli barang ini darimu dengan harga
Rp10.000”. Tentu saja di zaman sekarang dalam penerapannya tidak hanya
menggunakan kata-kata, namun menggunakan isyarat atau tindakan pun
dianggap sudah mewakili ucapan tersebut.

Agar Ijab dan Qabul sah secara syar’i maka harus ada beberapa syarat di
dalamnya, yaitu;

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 107


1. Ada kejelasan maksud di antara dua pihak, maksudnya masing-masing
pihak secara jelas dan dipahami oleh kedua belah pihak mengenai
maksud dan tujuan berakad.

2. Ada kesesuaian antar ijab dan qabul. Ijab dan qabul dilaksanakan secara
simultan dalam artian adanya kesamaan maksud dan tujuan sehingga
tidak terjadi kesalahpahaman.

3. Ijab qabul nyambung dan berurutan, maksudnya adalah bahwa antara ijab
dan qabul berlangsung secara simultan.

4. Satu (1) majlis akad atau kondisi yang bisa membuat dua pihak membuat
kesepakatan.

Menurut madzhab Hanafi seperti disebutkan oleh Az-Zuhaili, syarat


yang ada dalam akad, dapat dikategorikan menjadi 3 bagian, yakni; syarat
shahih, fasid (rusak), dan syarat batil.

Pertama, Syarat shahih adalah syarat yang sesuai dengan substansi akad,
mendukung dan memperkuat substansi akad, dibenarkan oleh syara’ atau
sesuai dengan ‘urf (kebiasaan) masyarakat. Contoh syarat yang sesuai
dengan substansi akad adlah syarat yang diajukan oleh penjual untuk
membayarkan harga barang, atau menyerahkan barang bagi pembeli. Adapun
syarat yang mendukung substansi akad adalah seorang penjual meminta kafil
(penjamin) atau barang jaminan lainnya (kolateral). Syarat yang dibenarkan
syara’ adalah syarat adanya hak khiyar (memilih) bagi salah satu pihak yang
bertransaksi. Sedangkan syarat yang sesuai dengan ‘urf adalah adanya
garansi atas objek transaksi semisal mobil, barang elektronik dan lainnya.

Kedua, Syarat fasid adalah syarat yang tidak sesuai dengan salah satu
kriteria yang ada dalam syarat shahih .Dalam arti, ia tidak sesuai dengan
substansi akad atau mendukungnya, tidak ada nash atau tidak sesuai dengan
urf (kebiasaan) masyarakat, dan syarat itu memberikan manfaat begi salah
satu pihak.misalnya, menjual rumah dengan syarat penjual harus
menempatinya selama satu tahun, dan kasu lainnya yang se-tipe.
108 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
usaha dan hutang. Kerja sama ini juga dibolehkan menurut mayoritas
ulama, namun dilarang oleh Syafi”i. Kemungkinan yang ditolak oleh
Imam Syafi”i adalah bentuk aplikasi lain dari Syirkatul Mufawadhah,
yakni ketika dua orang melakukan perjanjian untuk bersekutu dalam
memiliki segala keuntungan dan kerugian, baik karena harta atau karena
sebab lainnya.

Inan adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dengan modal
yang mereka miliki bersama untuk membuka usaha yang mereka lakukan
sendiri, lalu berbagi keuntungan bersama. Jadi modal berasal dari mereka
semua, usaha juga dilakukan mereka bersama, untuk kemudian
keuntungan juga dibagi pula bersama.

Wujuh adalah kerjasama dua pihak atau lebih dalam keuntungan dari
apa yang mereka beli dengan nama baik mereka.Tak seorangpun yang
memiliki modal. Namun masing-masing memilik nama baik di tengah
masyarakat. Mereka membeli sesuatu (untuk dijual kembali) secara
hutang, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama. Syirkah semacam
ini juga dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah, namun
tidak sah menurut kalangan Malikiyah dan Syafi”iyah.

Abdan, adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-
masing hanya memberikan kontribusi kerja atau amal, tanpa memberikan
kontribusi modal. Syirkah jenis ini disebut juga syirkah ‘amal.
Konstribusi kerja tersebut bisa berupa kerja pikiran misalnya penulis
naskah atau kerja fisik misalnya tukang batu. Boleh juga dilakukan oleh
pekerjaan yang berbeda, tetapi perlu diketahui pula pekerjaan yang
dilakukan itu adalah pekerjaan yang halal bukan pekerjaan yang haram.
Keuntungan yang diperoleh dari syirkah ini dibagi berdasarkan
kesepakatan yang telah diatur sebelumnya, porsinya boleh sama atau
tidak sama di antara syarik (mitra usaha)

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 117


b. Mudharabah

Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak
zaman nabi, bahkan telah dipraktekan oleh bangsa Arab sebelum turunya
Islam, hal ini dipraktekan oleh Nabi Muhammad Saw. Di saat berdagang,
beliau melakukan akad Mudharabah dengan Khadijah.

Mudharabah berasal dari kata Ad-dharb fil al-ardh yaitu bepergian


untuk urusan dagang. Kalimat di atas dapat difahami pula sebagai
bepergian dalam rangka menjalankan usaha, hal itu sesuai dengan kalimat
yang terdapat dalam firman Allah surat al-Muzammil (73) ayat 20:

‫ّٰللا‬ ْ ‫ض اي ْبتاغُونا م ِْن فا‬


ِ ‫ض ِل ه‬ ِ ‫األر‬
ْ ‫اوآخ ُارونا ايض ِْربُونا فِي‬

... dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian


karunia Allah.

Muhammad Syafi’i Antonio menyatakan bahwa: “Sangat


disayangkan, dewasa ini masih banyak kalangan yang melihat bahwa
Islam tidak berurusan dengan bank dan pasar uang, karena yang
pertama adalah dunia putih sementara yang kedua adalah dunia hitam,
penuh tipu daya dan kelicikan. oleh karena itu, tidak mengherankan bila
beberapa cendekiawan dan ekonom melihat Islam, dengan sistem nilai
dan tatanan normatifnya, sebagai faktor penghambat pembangunan (an
obstacle to economic growth). Penganut paham liberalisme dan
pragmatisme sempit ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan
akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-
nilai normatif dan rambu rambu Ilahi.

Pengertian dari segi etimologi (bahasa) Mudharabah adalah suatu


perumpamaan (ibarat) seseorang yang memberikan (menyerahkan)
harta benda (modal) kepada orang lain agar digunakan perdagangan
yang menghasilkan keuntungan bersama dengan syarat-syarat tertentu
dan jika rugi maka kerugian di tanggung pemilik modal.

118 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Menurut Ibdalsyah, dan Hendri Tanjung (2014) mudharabah
adalah kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dimana
pemilik modal menyerahkan modalnya untuk dikelola oleh pekerja,
sedangkan keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan. Dalam konsep
mudharabah ini dasarnya adalah berbagi baik untung maupun rugi,
disebut dengan loss and profit sharing.

Menurut Muhammad (2005) Mudharabah berasal dari kata dharb,


berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini
lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam
menjalankan usaha. Kata Mudharabah ini mempunyai beberapa
sinonim, yaitu muqaradhah, qiradh, atau muamalah. Masyarakat Irak
menggunakannya dengan istilah mudharabah atau kadang kala juga
muamalah, masyarakat Islam Madinah atau wilayah Hijaz lainnya
menyebutnya dengan muqaradhah atau qiradh.

Menurut Nabil. A. Mudharabah merupakan wahana utama bagi


lembaga keuangan Islam untuk memobilisasi dana masyarakat dan
untuk menyediakan berbagai fasilitas , antara lain pembiayaan , bagi
hasil para pengusaha.

Menurut M. Umar Capra, Mudharabah juga disebut dengan istilah


lain, yaitu qirad. Dengan demikian investor disebut Muqarid. istilah
Mudharabah dipakai oleh Mazhab Hanafi, Hambali dan Zaydi.
Sedangkan Qirad dipakai oleh Mazhab Maliki dan Syafi’i.

Menurut Elias, G Kazarian. Mudharabah adalah suatu transaksi


pembiayaan berdasarkan syariah, juga digunakan sebagai transaksi
pembiayaan perbankan Islam, yang dilakukan oleh para pihak
berdasarkan kepercayaan.

Menurut Abdul Rahman L. Doi Mudharabah dalam terminologi


hukum adalah suatu kontrak dimana suatu kekayaan (property) atau
persedian (stock) tertentu (Ra’su Al-mal) ditawarkan oleh pemiliknya

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 119


atau pengurusnya (rabb al-mal) kepada pihak lain untuk membentuk
suatu kemitraan (join partnership) yang di antara ke dua belah pihak
dalam kemitraan itu akan berbagi keuntungan, pihak yang lain boleh
memperoleh keuntungan karena kerjanya (Mudharib) Kontrak ini
adalah Contract of co-partnership.

Mudharabah Menurut Ahli Fiqih merupakan suatu perjanjian di


mana seseorang memberikan hartanya kepada orang lain berdasarkan
prinsip dagang dimana keuntungan yang diperoleh akan dibagi
berdasarkan pembagian yang disetujuioleh para pihak, misalnya
setengah atau seperempat darikeuntungan.

Maka ditinjau dari hukum Islam Akad mudharabah diperbolehkan.


Baik menurut Al-quran, Sunnah, maupun Ijma. Mudharabah disebut
juga qiradh atau muqaradah. Maka keduanya sama mudharabah adalah
istilah yang digunakan di Irak, sedangkan istilah Qiradh digunakan oleh
masyarakat Hijaz.“Akad Mudharabah adalah persetujuan kongsi antara
harta dari salah satu pihak dengan kerja dari pihak lain”

Akad Mudharabah dapat dibuat secara Formal maupun Nonformal,


secara tertulis maupun lisan, namun mengingat ketentuan Al-Quran
Surat Al-Baqarah ayat: 282:

‫ياا أايُّ اها الهذِينا آ امنُوا ِإذاا تاداايا ْنت ُ ْم ِبداي ٍْن ِإلاى أا اج ٍل ُم ا‬
ُ‫س ًّمى فاا ْكتُبُوه‬

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak


secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.

Mudharabah Mutlaqah merupakan bentuk kerjasama yang


dibangun antara pemilik dana dan pengelola dana tanpa adanya
pembatasan oleh pemilik dana dalam hal tempat ataupun investasi
objeknya. Dalam hal ini, pemilik dana memang memberikan
kewenangan penuh atas hartanya untuk dikelola oleh pengelola dana.
Kontrak mudharabah muthlaqah dalam perbankan syariah biasa
120 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
tanpa persetjuan atau pemberian kuasa dari pemilik sah obyek
tersebut.
2. Obyek tersebut haruslah ada ketika akad
Obyek tersebut haruslah ada pada saat kontrak, karenanya dilarang,
misalnya, menjual binatang yang mash dalam kandungan. Namu
persyaratan ini dikecualikan untuk salam dan istishna’ yang
penyerahan barangnya dilakukan kemudian. Ini memberikan
konsekuensi bahwa jika obyek akad merupakan barang yang nyata
maka ia harus ada pada saat kontrak, namun jika obyeknya berupa
janji untuk menyerahkan atu untuk membuat, maka obyek janji itu
tidak harus ada pada saat kontrak, namun demikian ia haruslah
jelas dalam arti dapat diketahui dandapat diserahkan.
3. Obyek tersebut dapat diserahterimakan
Obyek akad haruslah dapta diserahterimakan. Jika akad berupa
kewajiban untuk dilaksankan, maka kewajiban tersebut haruslah
dapat dilaksanakan secara pasti. Karenanya fuqaha melarang,
misalnya jual beli burung yang terbnag di udara.
4. Ukuran yang pasti/jelas
Terakhir, obyek akad harus dapat ditentukan secara pasti dalam hal
jenis, kuantitas, dan harganya. Demikian pula bila obyek akad
mberupa pekerjan, maka ifat dannilai pekerjaan tersebut juga harus
ditentukan secara jelas.

D. PRINSIP OPERASIONAL BANK SYARIAH

1. Profit-Loss Sharing Sebagai Karakteristik Dasar Bank Syariah

Perbedaan signifikan antara bank syariah dengan bank konvensional


adalah dihindarkannya praktek riba dalam bentuk bunga dalam
operasional bank syariah, sedangkan pada bnak kovensional bunga justru
dasar operasionalnya. Sebagai gantinya bank syariah mengadopsi sistem

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 129


profit-loss/risk sharing. Sistem ini mendasrkan pada kaidah yang berlaku
dalam fiqih muamalah, no return without risk.

Ini mengindikasikan bahwa keuntungan tidak boleh diklaim tanpa


adanya kemungkinan menaggung resiko. Implikasi dari prisip ini adalah
didorongnya berbagai kegiatan investasi yang bukan berkontribusi positif
terhadap ekonmi rill.

Untuk mengetahui lebih rinci perbedaan bunga dengan bagi hasil, M.


Syafi’i Antonio memberikan ilustrasi tentang beberapa karakteristik yang
membedakan bunga dengan bagi hasil:

a. Dari segi penentuan, bunga ditetapkan pada waktu akad denga asumsi
harus selalu untung, rasio rasio/nisbah bagi hasil meskipun ditetapkan
pda waktu akad namun yang dijadikan pedoman adalah
(kemungkinan) untung-rugi.
b. Dari segi besarnya, persentase bunga didasarka padajumlah uang
(modal) yang dipinjamkan sedangkan pada bagi hasil besarnya rasio
didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
c. Dari segi pembayaran, bunga dibayarka secara tetap seperti yang
diajanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh
pihak nasabah untung atau rugi, sedangakan pembayaran bagi hasil
bergantung padakeuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha
merugi, kerugian akan ditanggung bersam oleh kedua belah pihak.
d. Dari segi jumlah, nominal bunga tidak meningkat sekalipun jumlah
keuntungan meningkat atau keadaan ekonomi sedang “booming”,
sedangkan jumlah pembagian laba akan meningkat sesuai dengan
peningkatan jumlah pendapatan.
e. Dari segi eksistensinya, bunga hampir selalu diragukan (kalau tidak
dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam,sedangkan eksistensi
bagi hasil tidak ada ang meragukannya101.

101M. Syafi’i Antonio, Op.Cit, h. 61


130 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Praktek sitem profit-risk sharing ini sebenarnya berasal dari ajaran
inti perbankan Islam yang berdasarkan Al-Qur’an yaitu larangan riba.
Selain berdasrkan prinsip distributiveyang dijunjungnya, sistem ini juga
mendasarkan atas prinsip efisiensi alokasi dana, stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi. Dai segi efisiensi alokasi dana, pembiayaan
diprioritaskan untuk nasabah yang paling terpercaya dan tidak selalu
kepada proyek yang paling produktif dan profitable. Karena bagaimanpun
produktif dan profitablenya suatu proyek, jika ditangani oleh orang yang
kurang amanah, maka terbuka kemungkinan terjadinya kecurangan yang
merugikan salah satu pihak. Sedangkan untuk stabilitas dan pertumbuhan
ekonomi, perbankan Islam dapat menekan inflasi karena pemanfaatan
modal berkorelasi langsung dengan kegiatan ekonomi rill102.]

1. Produk-produk dan Mekanisme Profit Loss/Sharing Perbankan


Syariah

Berbicaa tentang operasional perbankan syariah tentu terkait


pembahasan tentang produk-produk perbankan syariah. Sejauh ini ada
dua metode dalam penerapan produk syariah dalam perbankan. Pertama,
metode akomodatif yaitu metode yang berasumsi bahwa produk
perbankan konvensional memilki dasar dalam prinsip syariah.
Konsejuensi dari metode ini adalah produk perbankan konvensional
dicarikan dasarnya dalam akad-akad syariah. Apabila ada sifat aka
syariah ang tidak bisa memenuhi unsur produk perbankan, maka sifat itu
ditinggalkan, meskipun untuk sementara. Metode seperti banyak dipakai
oleh malaysia. Metode kedua adalah asimilatif yang me,akai asumsi
bahwa produk syariah harus menjadi dasar dari produk perbankan.hal ini
berarti bahwa produk perbankan adalah pelaksanaan administratif produk
syariah. Jika produk perbankan tidak memenuhi unsur-unsur dari akad

102 Fuad al-Omar and Mohammed Abdel Haq, Islamic Banking, (London: Zed Books,

1996), h.12
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 131
syariah, maka produk itu dimodifikasi agar sesuaidengan produk
syariah103.

Kedua metode ini memiliki kelebihan dan tantangannya sendiri.


Metode akomodatif memungkinkan bank syariah mengembangkan
produknya secara intensif sesuai dengan perkembangan di dunia
perbankan. Tidak heran bila pasar uang secara syariah sudah dapat
ditemui pada perbankan yang memakai metode ini. Tetapi metode ini
kemudian mendapat kritik secara luas karena cenderung kehilangan
esensi syariahnya, dan membuat perbankan syariah tidak berbeda dengan
dengan perbankan konvensional. Sedangka metode asimilatif
memungkinkan perbankan syariah terlihat berbeda jelas dari perbakan
biasa. Secar ideal, metode asimilatif menciptak sistem perbankan yang
merupakan alternatif terbaik sebagi pengganti dari perbankan
konvensional. Akan tetapi metode ini juga tidak kurang kendalanya.
Sistem legal merupakan sandungan terbesar baginya, selain SDM di
perbankan syariah dan masyarakat yang belum siap menerima kondisi
idenya104.
Untuk kasus indonesia kedua metode ini tampaknya bercampur, karena
pengetahuan dan praktek perbankan syariah dipengaruhi oleh berbagai
seperti undang-undang perbankan, sistem hukum dan perpajakan, sumber
daya manusia dalam perbankan syariah dan kesiapan masyarakat
indonesia dalam menerima perbankan syariah. Oleh karena itu kondisi
perbankan syariah, ditinjau dari kesesuaian anatara produk syariah dan
produk perbankan merupakan kondisi tengah. Artinya perbankan syariah
tidak dapat lagi dikatakan perbankan konvensional, karena ada beberapa
unsur yang bebeda. Tetapi juga tidak dapat dikatakan sebagai perbankan
syariah secara penuh, karena ada sebagian unsurnya yang menggunakan
praktek perbankan konvensional. Metode akomodatif bisa terlihat,

103 Cecep Maskanul Hakim, Deviasi Produk Syaria Dalam Perbankan, makalah
disampaikan pada Kuliah Ekonomi Syariah, Bank IFI, 6 Desember 2001
104 Ibid

132 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
misalnya pada penyesuaian giro dengan wadiah, sedangkan metode
asimilatif terlihat, misalnya pada pembiayaan mudharabah dan
musyarakah yang tidak ditemui padanannya di perbankan konvensional.

Untuk lebih jelas tentang operasional dan produk perbamkan syariah


dapat dilihat dari perundang-undangan yang berlaku yang merupakan
dasar hukum bagi Perbankan Syariah Nasional. Pasal 6 Undang-undang
No. 10 tahun 1998 menentukan bahwa bank usah bank umum dalam
menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan
prinsip syariah ditetapkan dengan ketentuan Bank Indonesia. Berdasarkan
pasal 6 dan pasal 13 undang-undang tersebut, kegitan-kegiatan usaha
yang dapat dilakukan dengan menetapkan prinsip syariah oleh suatu bank
di Indonesia ditetapkan dalam pasal 28 dan pasal 29 SK DIR BI
32/34/1999.

Kegiatan-kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank umum yang


melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah di Indonesia menurut
pasal 28 dan pasal 29 SK DIR BI 32/34/1999 tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang
meliputi:
1. Giro berdasarkan prinsip wadiah;
2. Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah;
3. Depositi berjangka berdasarkan prinsip mudharabah;
4. Bentuk lain berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudhrabah.
2. Melakukan penyaluran dana melalui:
1. Transaksi jual beli berdasarkan:
a. Murabahah
b. Istishna
c. Ijarah
d. Salam
e. Jual beli lainnya

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 133


2. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip:
a. Mudharabah
b. Musyarakah
c. Bagi hasil lainnya
3. Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip:
a. Hiwalah
b. Rahn
c. Qardh

c. Membeli, menjual, dan atau meminjam atas resiko sendiri surat-surat


berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata
(underlying transaction) berdasarkan prinsip jual beli atau hiwalah;

d. Membeli surat-surat berharga Pemerintah dan atau Bank Indonesia yang


diterbitkan atas dasar Prinsip Syariah;

e. Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan atau nasabah


berdasarkan prinsip wakalah;

f. Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan


melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan
prinsip wakalah;
g. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga
berdasarkan prinsip wadi’ah yang amanah;
h. Melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya untuk
kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip
wakalah;
i. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lain dalam
bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek berdasarkan
prinsip ujr;
j. Memberikan fasilitas letter of credit (L/C) berdasarkan prinsip wakalah,
murabahah, mudharabah, musyarakah, dan wadi’ah, serta memberikan
fasilitas garansi Bank berdasarkan prinsip kafalah;

134 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
k. Melakukan kegiatan usaha kartu debit berdasrkan prinsip ujr;
l. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan prinsipwakalah;
m. Melaukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank sepanjang disetujui
oleh Dewan Syariah Nasional.

Selain melakukan usaha sebagimana dimaksud dalam pasal 28 SK DIR


BI 32/34 tersebut, menurut pasal 29 Bank UmumSyariah:

1. Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal


28, Bank dapat pula:
a. Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan prinsip sharf;
b. Melakukan kegiatan penyertaan modal berdasarkan prinsip
musyarakah dan atau mudharabah pada Bank atau perusahaan lain
yang melakukan kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
c. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan
prinsip musyarakah dan atau mudharabah untuk mengatasi akibat
kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali
penyertaannya; dan
d. Bertindak sebagi pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun
berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan dalam
perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.
2. Bank dapat bertindak sebagi lembaga baitul mal yang menerima dana
yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah, atau dana social
lainnya dan menyalurkan kepada yang berhak dalam bentuk santunan
dan atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan).
Dalam praktiknya, ketentuan dalam pasal 28 ini dijabarkan oleh
bank syariah menjadi produk-produk penghimpunan dana, penyaluran
dan dan jasa perbankan. Berikut tabel yang menyajikan produk-produk
tersebut berikut prinsip syariah yang melandasinya105.
Penghimpunan Dana

105 Bank Indonesia, petunjuk pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, (Jakarta:

BI, 1999),h. 49-50


F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 135
No Produk/Jasa Prinsip Syariah

Giro Wadi’ah Yad Dhamanah


1
Tabungan Wadi’ah Yad Dhamanah dan Mudharabah
2
Deposito Mudharabah
3
Simpanan Khusus Mudharabah Muqayyadah
4

Penyaluran Dana dan Jasa Perbankan

Produk /Jasa Prinsip Syariah


No
Dana Talangan Qardh
1
Penyertaan Musyarakah
2
Sewa Beli Ijarah Muntahiyah Bintamlk (Ijarah
3
Wa Iqtina)

Pembiayaan Modal Kerja Mudharabah,musyarakah, atau


4
murabahah

Pembiayaan Proyek Mudharabah atau musyarakah


5
Pembiayaan sektor pertanian Bai Salam
6
Pembiayaan untuk akuisisi asset Ijarah Muntahiyah Bin Tamlik
7
Pembiayaan Ekspor Mudharabah, Musyarakah, dan
8
Murabahah

Anjak Piutang Hiwalah


9
Letter of Credit (L/C) Wakalah
10
Garansi Bank Kafalah
11
Inkasso, Transfer Wakalah dan Hawalah
12
Pinjaman Sosial Qardhul Hasan
13

136 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Surat Berharga Mudharabah, Qardh, Bay ‘al Dayn
14
Safe Deposit Box Wadiah ‘Amanah
15
Jual Beli Valas Sharf
16
Gadai Rahn
17

Selanjutnya bank akan mengelola dana yang terhimpun dari nasabah


penyimpan giro, tabungan, dan deposito. Dalam hal ini bank berfungsi sebagai
mudharib (pengelola), sedangkan nasabah penyimpan bertindak sebagai shaibul
mal (penyandang dana). Di antara keduanya diadakan akad mudharabah
diseratai penyertaan pembagian keuntungan masing-masing pihak berdasarkan
nisbah.
Kemudian dana yang terhimpun tersebut disalurkan menjadi produk-
produk pembiayaan. Dalam hal ini bank bertindaksebagai shahibul mal
(penyandang dana, baik yang berasal dari tabungan, deposito, giro maupun dari
bank sendiri berupa modal pemegang saham), sementara nasabah pembiayaan
berfungsi sebagai mudharib. Namun dalam perkembangannya, para nasabah
pembiayaan tidak membatasi pada akad mudharabah saja. Sesuai dengan dan
nature usahanya, para nasabah pembiayaan ini ada yang memperoleh dana
dengan sistem perkongsian, jual beli, sewa-menyewa, dan lain-lain. Keuntungan
yang diperoleh dari pembiayaan inilah yang nantinya akan dibagikan antara para
nasabah penyimpan dengan bank sesuai nisbah. Mekanismenya keuntungan
bank dari beragam jenis usaha yang dilakukannya, terdiri dari bagi hasil atas
kontrak jual beli, hasil sewa atas kontrak ijarah, serta fee atas jasa-jasa lainnya,
dikumpulkan dikumpulkan dalam satu pool, selanjutnya akan didistribusikan
kepada nasabah penyimpan berdasarkan nisbah yang disepakati setelah
dikurangi dengan biaya-biaya yang terjadi.
Untuk lebih detailnya berikut perhitungan distribusi bagi hasil kepada
nasabah penyimpan yang dilakukan melalui tahap-tahap:

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 137


1. Bank menetapkan jumlah relatif (bobot) masing-masing dana simpanan yang
berhak atas bagi-hasil usaha bank menurut tipenya, dengan cara membagi
setiap tipe dana-dana dengan seluruh jumlah dana-dana yang ada pada bank
dikalikan 100% (seratus persen);
2. Bak menetapkan jumlah pendapatan bagi-hasil untuk masing-masing tipe
dengan cara mengalikan persentase (jumlah relatif/ bobot) dari masing-
masing dana simpanan pada huruf a dengan jumlah pendapatan bank;
3. Bank menetapkan porsi bagi hasil untuk masing-masing tipe dana simpanan
sesuai dengan nisbah perjanjian;
4. Bank menghitung jumlah relatif biaya operasional terhadap volume dana,
kemudian mendistribusikan beban tersebut sesuai dengan porsi dana dari
masing-masing tipe simpanan;
5. Bank mendistribusikan bagi-hasil untuk setiap pemegang rekening menurut
tipe simpanannya sebanding dengan jumlah simpanannya106.

E. POSISI DEWAN SYARIAH NASIONAL DALAM PERBANKAN


SYARIAH DI INDONESIA

1. Hakikat dan Sejarah Dewan Syariah Nasional

Berkembangnya perbankan syariah di tanah air memberikan


konsekuensi berkembangnya juga jumlah Dewan Pengawas Syariah
(DPS) yang berada dalam mengawasi masing-masing lembaga tersebut.
Fenomena ini melahirkan sisi positif sekaligus negatif. Di satu sisi hal
ini tentu merupakan suatu hal yang patut disyukuri karena memberikan
kesempatan luas kepada para pakar syariah muamalah dalam
menerapkan ketentuan syariah diperbankan syariah, namun di sisi lain
hal ini melahirkan problem tersendiri. Problem ini berkaitan dengan
adanya kemungkinan timbul fatwa yang berbeda-beda dari maisng-
masing DPS dan hal ini tidak mustahil akan membingungkan umat dan

106Zainul Arifin, Op. Cit., h.64-65


138 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
nasabah. Oleh karena itu, MUI MUI sebagai payung dari lembaga dan
organisasi keIslaman di tanah air, menganggap perlu dibentuknya satu
dewan syariah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga
keuangan, termasuk didalamnya bank-bank syariah. Lembaga-inilah
yang kelak kemudian dikenal sebagai Dewan Syariah Nasional (DPS).

Pada dasarnya dalam hukum Islampun perbedaan penafsiran


merupakan suatu hal yang ditolerir. Bahkan dalam sejarah, kebolehan
berbeda pendapat melahirkan berbagai mazhab dalam hukum Islam
sehingga memperkaya khazanah hukum Islam. Keragaman pendapat ini
di satu sisi memberikan kemudahan bagi umat karena tersedianya
berbagai pilihan hukum. Hal ini sesuai dengan sebuah hadist:

‫اختالف امتي رحمة‬

“Perbedaan pendapat dikalangan umatku merupakan suatu rahmat”.

Namun disisi lain ketentuan hukum yang berbeda-beda tersebut


apabila dijadiakan hukum positif tentu akan memberikan suatu
ketidakpastian hukum. Demikian pula dalam konteks perbankan syariah
nasional, perbedaan fatwa anatara satu DPS dengan DPS lainnya akan
berakibat tidak adanya standardisasi atau keseragaman pengawasan
yang efektif secara nasional serta menimbulkan adanya ketidakpastian
publik (public uncertainty) terhadap penilaian hukum syariah107. Karena
itulah perlu ada suatu badan yang secara legal yuridis menetapkan suatu
pilihan hukum yang hendak diangkat menjadi hukum positif sehingga
menutup peluang ketidakpastian tersebut. Hal ini sebagaimana kaidah:
‫حكم الحاكم يرفع الخالف‬

“Hukum yang ditetapkan hakim menghilangkan perbedaan pendapat”.

107Harisman, Pengawasan dan Audit Syariah Pada Bank Syariah: Konsep, Aplikasi,
dan Kebijakan, makalah disampaikan dalam Seminar Legal Audit Syariah, (Jakarta Fakultas
Syariah IAIN Syarif Hidayatullah 10 April 2002), h.4
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 139
Di sinilah letak signifikansi kehadiran Dewan Syariah Nasional yaitu
sebagai standar dari berbagai pendapat yang ada di masyarakat. .

Dalam pedoman Dasar DSN-MUI, yang dimaksud dengan Dewan


Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk MUI untuk menangani
masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan
syariah108. Jadi DSN merupakan bagian integral dari MUI. Dewan ini
bertugas menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam
kegiatan perekonomian dan sektor keuangan pada khususnya, termasuk
usaha bank, asuransi, dan reksadana109.

Usulan pembentukan Dewan Syariah Nasional mengemuka pada


tahun 1997 setelah MUI mengadaka lokakarya tentang reksadana syariah
di Jakarta yang salah satu rekomendasinya adalah pembentukan dewan
ini. Rekomendasi ini ditindaklanjuti sehingga tersusunlah DSN secara
resmi pada tahun 1998. Pada tahun. Pada tahun ini juga pengurusnya
disahkan pada Mukernas MUI di hotel Indonesia, tepatnya pada februari
1998110. Kehadiran DSN ini juga paralel dengan pembentukan Komite
Ahli Pngembangan Syariah di Bank Indonesia pada tahun yang sama
yang kemudian beralih nama menjadi Biro Perbankan Syariah Bank
Indonesia. Bila Biro ini mengatur dari segi regulasi/hukum positif, maka
DSN mengatur dari segi hukum Islam.
Secara yuridis DSN diakui keberadaannya dalam SK DIREKSI BI
No. 32/34 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip syraiah sebagai
badan yang memberikan pengaturan produk dan operasional pebankan
syariah sekaligus peengawas DPS-DPS diberbagi lembaga keuangan
Islam. Dalam pasal 31 SK DIR BI 32/34/1999 ini dinyatakan bahwa
untuk melakukan kegiatan-kegiatan ushanya, bank umum syariah
diwajibkan untuk memperhatikan fatwa Dewan Syariah Nasional.
108 Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, BAB II, butir
3
109 Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, (Jakarta:
Bank Indonesia. 1999), h. 22
110 Cecep Maskanul Hakim, Wawancara Pribadi, (Jakarta: DSN, 2002)

140 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Demikian pula dalam hal bank akan melakukan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 dan pasal 29 tersebut dan ternyata
kegiatan usaha yang dimaksud belum difatwakan oleh Dewan Syariah
Nasional, maka bank wajib meminta persetujuan Dewan Syariah Nasional
sebelum melaksankan kegiatan usaha tersebut. Atau dengan kata lain SK
ini memberikan kewenangan kepada Dewan untuk memberikan pedoman
dalam bentuk fatwa kepada perbankan syariah agar prinsip kesesuaian
dengan syariah (sharia compliance) yang dianut bank syariah dapat
tercapai.
Secara organisasi DSN merupakan badan otonom namun demikian
ia tetap merupakan bagian integral dan dibawah MUI111 karena ketua
umum dan sekretaris MUI memimpim dewan ini secara ex-officio.
Sedangkan anggota-anggota dewan ini terdiri dari para ulama, praktisi,
dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan perekonomian dan
muamalah syariah serta memiliki akhlak karimah. Anggota Dewan ini
ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 (empat) tahun.

2. Tugas dan Wewenang Dewan Syariah Nasional

Dalam Pedoman Dasar DSN MUI Bab IV butir 1 diatur tugas DSN yaitu:

1. Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan


perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.
2. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan
3. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah
4. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan
Sedangkan kewenangan DSN sebagaiman diatur dalam butir 2
ketentuan yang sama adalah:
1. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di
masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan
hukum pihak terkait

111 Ibid
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 141
2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan
yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen
Keuangan dan Bank Indonesia
3. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-
nama yang akan duduk sebagi Dewan Pengawas Syariah pada suatu
lembaga keuangan syariah.
4. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang
diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas
moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.
5. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional.
6. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil
tindakan apabila peringatan tidak diindahkan112
Dari uraian tugas dan wewenang diatas, terlihat betapa strategisnya peran
yang dimiliki DSN. Ia merupakan wadah yang dapat menentukan corak nilai-
nilai syariah yang akan diimplementasikan dalam perbankan syariah nasional
karena fatwa-fatwanya ini tidak saja bersifat mengikat namun juga menjadi
dasr tindakan hukum perbankan syariah. Bahkan fatwanya merupakan
landasan bagi ketentuan/peraturan yang akan dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang seperti Depkeu dan BI. Tentu ini akan menjadi tantangan
tersendiri bagi DSN.

3. Mekanisme Pengambilan Keputusan Fatwa DSN

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, DSN dibantu oleh suatu badan
yang dinamakan Badan apelaksana Harian Dewan Syariah Nasional,
diangkat BPH-DSN inipun ditunjuk dan diangkat oleh MUI.

112Lihat juga petunjuk pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, h. 22-23


142 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Untuk menjalankan fungsi penetapan fatwa, DSN telah menetapkan
mekanismenya tersendiri. Pertama-tama usulan atau pertanyaan hukum
mengenai suatu produk lembaga keuangan syariah diajukan kepadaDSN
melalui BPH. Usulan atau pertanyaan ini diajukan secara tertulis kepada
sekretariat BPH. Kemudian sekeretariat yang dipimpin oleh sekretaris paling
lambat 1 (satu) hari kerja setelah menerima usulan/pertanyaan harus
menyampaikan permasalahan kepada ketua. Lalu ketua BPH bersama
anggota dan staf ahli selambat-lambatnya 20 hari kerja harus membuat
memorandum khusus yang berisi telaah dan pembahasa terhadap sesuatu
pertanyaan/usulan. Ketua BPH selanjutnya membawa hasil pembahasan
kedalam Rapat Pleno yang diselenggarakan oleh DSN tersebut dimaksudkan
untuk:

1. Menetapkan, mengubah, atau mencabut berbagai fatwa dan pedoman


kegiatan lembaga keuangan syariah
2. Mensahkan atau mengklarifikasi hasil kajian terhadap usulan atau
pertanyaan mengenai suatu produk atau jasa lembagakeuangan syariah113.

Dalam perjalanannya dapat dikatakan DSN terus melakukan perbaikan


dan peningkatan. Pada tahun berdirinya DSN belum mengeluarkan fatwa
tentang operasional lembaga keuangan syariah. Hal ini dapat dimaklumi
karena sebagi organisasi baru, DSN lebih banyak melakukan upaya
konsolidasi ke dalam seperti pembentukan AD/ART. Sejak tahu 2000
barulah fatwa-fatwa tersebut mulai dihasilkan.

Dilihat dari cakupannya, pada tahun 2000 fatwa-fatwa yang dikeluarkan


DSN secara keseluruhannya berkaitan dengan operasional perbankan syariah
baik berupa produk/jasa maupun akuntansi karena hal inilah yang dinilai
penting mengingat kegiatan transaksi yang telah dijalankan oleh perbankan
syariah ketika itu belum memperoleh ketentua hukum syariahnya secara
tegas. Kemudian di tahun 2001 cakupan fatwa menjadi lebih luas, tidak saja

113 Dewan Syariah Nasional, Pedoman Rumah Tangga DSN-MUI, h.3


Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 143
menyangkut kegiatan transaksi dan akuntansi peebankan syariah tetapi juga
tentang lembaga keuangan lainnya yaitu reksadana. Ini tentu sejalan dengan
fungsi DSN yang tidak saja menangani lembaga perbankan syariah namun
juga lembaga-lembaga keuangan lainnya seperti asuransi dan reksadana.
Adapun format fatwanya berbentuk pernyataan-pernyataan yang
diumumkan oleh DSN. Bentuk lahiriah fatwa selalu sama, diawali dengan
basmalah. Kemudian dilanjutkan dengan perimbangan-pertimbanganyang
umumnya berisi latar belakang dikeluarkannya fatwa. Khusus fatwa tentang
transaksi perbankan syariah, pertimbangan yang diungkapkan adalah
keperluan masyarakat terhadap transaksi tersebut dan penggunaannya di
dunia perbankan, dengan disertai penjelasan definisi transaksi yang
bersangkutan. Untuk transaksi-transaksi yang ekuivalen dengan produk
perbankan konvensional, seperti fatwa tentang tabungan, giro, dan deposito,
pertimbangan ini biasanya memiliki item yang menyatakan bahwa transaksi
tersebut tidak semuanya dapat dibenarkan oleh hukum Islam. Dan
pertimbangan ini umumnya ditutup dengan pernyataan yang menegaskan
fungsi fatwa sebagai pedoamn pelaksanaan transaksi tersebut agar sesuai
dengan ketentuan syariah (sharia compliance).
Setelah memaparkan pertimbangan, barulah fatwa memaparkan dalil-
dalil, yang dipergunakan sebagai dasar pembuatan fatwa. Dalil selalu
dimulai berdasarkan ayat Al-Qur’an disertai hadist-hadist yang
bersangkutan. Sumber selanjutnya, bila terdapat, bila terdapat adalah
ijma’ dan qiyas. Dalil-dalil pokok ini hampir selalu dilengkapi oleh
kaidah-kaidah fiqih, dan kaidah fiqih yang hampir selalu dikutip dalam
setiap fatwa adalah kaidah yang menyatakan bahwa pada dasarnya semua
bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya. Dalil-dalil menurut akal menurut akal (rasional)
juaga terkadang diberikan sebagai keterangan pendukung.

Setelah pemaparan dalil barulah pernyataan sebenarnya dari fatwa itu


diberikan yang selain berbentuk status hukum juga yang terpenting adalah

144 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
ketentuan-ketentuan yang mengatur kegiatan ang bersankutan agar sesuai
dengan syariah. Pada kasus-kasus tertentu, fatwa memberikan pilihan
hukum dengan tetap memberikan prefrensi kepada salah satunya, seperti
dalam fatwa tentang prinsip distribusi hasil usaha dan sistem distribusi
hasil usaha.

Setelah paparan inti barulah kemudian fatwa diakhiri oleh bagian


penutup. Pada bagian penutup selalu ada tiga hal yang dicantumkan:
tempat dan tanggal dikeluarkannya fatwa, serta tanda tangan ketuadan
sekretaris DSN yang secara ex-officio merupakan ketua dan sekretaris
MUI.
Bila dibandingkan dengan fatwa MUI, terlihat adanya kesamaan antara
format fatwa dan sumber-sumber hukum atau dalil-dalil yang menjadi dasar
pengambilan keputusan hukum fatwa antara DSN dan MUI. Hal ini tidaklah
mengherankan karena pada dasarnya DSN merupakan badan otonom yang
berada dibawah MUI, hanya saja maslah yang ditangani DSN terbatas dalam
masalah pengembangan ekonomi umat.
Pada dasarnya metodologi pengambilan keputusan hukum fatwa yang
ditempuh oleh DSN juga mengikuti metodologi pengambilan keputusan hukum
yang dipaki oleh komisi fatwa MUI114. Dalam berfatwa keduanya bersandar
kepada dalil-dalil Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas sesuai dengan urutan
tingkatan ini115. Selain itu terkadang dalil-dalil menurut akal (rasio) juga
diberikan sebagi keterangan pendukung.
Namun bila dilihat dari segi isi, ada sedikit perbedaan antara fatwa yang
dikeluarkan DSN dan MUI. Fatwa yang dikeluarkan DSN sifatnya lebih banyak
berupa pengaturan berbagai transaksi dan operasional di perbankan syariah agar
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Ini berbeda dengan fatwa MUI yang
sifatnya merupakan penetapan status hukum suatu kasus atau perkara.

114Cecep Maskanul Hakim, Wawancara Pribadi, Jakarta, 6 Maret 2002


115Mohammad Atho Mudzar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: INIS,
1993), H.87
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 145
Sejalan dengan MUI, dalam masalah yang terjadi secara khilafiyah, maka
yang difatwakan oleh DSN adalah pendapat yang paling kuat dalilnya serta
membawa kemashlahatan. Bahkan bila terjadi benturan antara dalil yang shahih
dengan maslahat, terkadang pertimbangan kemaslahatan ini lebih didahulukan
daripada dalil yang shahih tersebut dengan pertimbangan bahwaada
kemungkinan pendapat yang didukung dalil shahih tersebut tidak membawa
maslahat pada masa sekarang.
Akan tetapi dalam masalah khilafiyah, DSN tidak selalu memberikan
fatwa yang ditarjihnya, tetapi tekadang memberikan hak pilih (option) dengan
preferensi khusus, seperti dalam masalah prinsip dan sistem distribusi bagi hasil.

146 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
BAB IV

PENGUJIAN FATWA-FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL


TENTANG PERBANKAN SYARIAH

A. Ruang Lingkup Fatwa-Fatwa Tentang Kegiatan Transaksi Perbankan


Syariah

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, salah satu tugas Dewan
Syariah Nasional adalah mengeluarkan fatwa-fatwa atas jenis-jenis kegiatan
keuangan beserta produk dan jasa keuangan syariah. Secara umum fatwa-
fatwa tersebut dikelompokkan menjadi tiga bagian. Pertama, kelompok fatwa
untuk kegiatan transaksi yang dilakukan oleh perbankan syariah baik dalam
penghimpinan dana (pembiayaan) maupun jasa-jasa perbankan. Kedua,
kelompok fatwa untuk investasi syariah116. Untuk memberi gambara tentang
persoalan-persoalanyang dibicarakan dalam fatwa-fatwa tersebut berikut ini
adalah daftar fatwa yang telah dikeluarkan DSN sejak awal pembentukannya
hingga 18 April 2001 yang telah dihimpun dala buku himpunan fatwa dewan
syariah nasional disertai dengan catatan tentang tanggal dikeluarkannya117.

Fatwa-Fatwa Tentang Kegiatan Transaksi Perbankan Syariah

1. Fatwa-Fatwa Tentang Produk Penghimpunan Dana

a. Fatwa tentang Giro, 1 April 2000


b. Fatwa tentang Tabungan, 1 April 2000
c. Fatwa tentang Deposito, 1 April 2000

2. Fatwa-Fatwa Tentang Produk Penyaluran Dana/Pembiayaan

B.1. Pembiayaan Berdasarkan Transaksi Jual Beli


a. Fatwa tentang Murabahah, 1 April 2000
b. Fatwa tentang Jual Beli Saham, 1 April 2000

116 Ma’ruf Amin, “Kata Pengantar”, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional

Untuk Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonnesia-Bank Indonesia, 2001), h.V
117 Ibid

F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 147
c. Fatwa tentang Jual Beli Istishna’, 4 April 2000
B.2. Pembiayaan Berdasarkan Transaksi Bagi Hasil
a. Fatwa tentang Pembiayaan Mudhrabah (Qardh), 4 April 2000
b. Fatwa tentang Pembiayaan Musyarakah, 13 April 2000
B.3. Pembiayaan Berdasrkan Transaksi Sewa
Fatwa tentang Pembiayaan Ijarah, 13 April 2000
B.4. Pembiayaan lainnya
Fatwa tentang Hawalah, 13 April 2000
B.5. Fatwa-Fatwa tentang Jasa Perbankan
a. Fatwa tentang Wakalah, 13 April 2000
b. Fatwa tentang Kafalah, 13 April 2000
c. Fatwa tentang al-Qardh, 9 April 2001

B.6 Fatwa Tentang Kegiatan Akuntansi Perbankan Syariah

a. Fatwa Tentang Uang Muka Dalam Murabahah, 16 September 2000


b. Fatwa Tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga
Keuangan Syariah, 16 Sepetember 2000
c. Fatwa Tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga
Keuangan Syariah, 16 Sepetember 2000
d. Fatwa Tentang Diskon Dalam Murabahah, 16 Sepetember 2000
e. Fatwa Tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-Nunda
Pembayaran, 16 Sepetember 2000
f. Fatwa Tentang Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif Dalam
Lembaga Keuangan Syariah, 16 September 2000

Fatwa tentang Investasi Syariah

Fatwa Tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksadana


Syariah, 18 April 2001

Memperhatikan keputusan-keputusan yang pernah dikeluarkan


dalam kurun waktu ini, bidang-bidang yang merupakan tugas Dewan
148 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Pengawas Syariah belumlah terisi secara merata dan berimbang.
Perhatian dewan lebih banyak tertuju kepada masalah perbankan syariah
khususnya kegiatan transaksi, 13 dari 20 fatwa. Padahal cakupan tugas
dewan, sebagaimana ditegaskan dalam pedoman Dasar DSN-MUI, tidak
hanya perbankan syariah namun juga lembaga-lembaga keuangan syariah
lainnya sperti asuransi, paar uang, dan pasar modal syariah.

Selain itu bila diperhatika tanggal-tanggal penetapan fatwa


terlihat bahwa umumnya Dewa bersidang untuk menetapkan beberapa
keputusan dalam satu hari. Tercatat, misalnya pada 1 April 2000, 5 buah
fatwa pada hari yang sama. Demikian pula kesemua 6 fatwa tentang
kegiatan akuntansi perbankan syariah ditetapkan pada 16 September
2000. Apabila mengingat kesibukan para anggita Dewan yang umumnya
merupakan tokoh masyarakat, terlebih lagi kedudukan mereka di Dewan
ini hanyalah sebagai tenaga paruh waktu, mungkin hal ini dapat
dimaklumi. Namun tentunya alasan ini diharapkan tidak mengurangi
kualitas fatwa yang dihasilkan mengingat bahwa fatwa ini akan
dipedomani oleh seluruh lembaga kkeuangan syariah yang tersebar di
seluruh indonensia dan sedikit banyak akan mempengaruhi transaksi
muamalah uma Islam di Indonesia.

Terlepas dari hal itu semua, sebagaimana dijelaskan dalam bab 1


tentang pembatasan masalah, pengujian dalam tesis ini dibatasi hanya
pada fatwa-fatwa tentang kegiatan transaksi dan akuntansi di perbankan
syariah. Namun demikian semua fatwa akan dibahas disini, hanya 8 buah
saja yang dijadikan sample. Pemilihan sample dilakukan berdasarkan
metode random sampling sederhana. Meskipun demikian masing-masing
sample diambil dari kelompoknya masing-masing berdasrkan klasifikasi
produk sebagaimana pengaturan pasal 28 dan pasal 29 SK DIR BI
32/34/1999.

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 149


B. Pengujian Fatwa-Fatwa Tentang Transaksi Perbankan Syariah

1. Fatwa Tentang Wadiah/Giro

Dalam Undang-undang Perbankan No. 10 tahun 1998 pasal 1 dijelaskan


bahwa yang dimaksud dengan giro adalah simpanan dana yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan penggunaan cek, bilyet
giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau denagn cara
pemindahbukuan. Sedangakan pengertian simpanan adalah dan yang
dipercayakan oleh masyarakat kepada bank dalam bentuk giro, deposito
berjangka, sertifikat deposito, tabungan atau yang dapat dipersamakan
dengan itu. Pengertian dapat ditarik setiap saat, maksudnya bahwa uang
yang sudah disimpan di rekening giro tersebut dapat ditarik brkali-kali
dalam sehari, dengan catatan dana yang tersedia masih mencukupi,
disamping harus juga memenuhi persyaratan lain yang ditetapkan oleh
bank yang bersangkutan. Sedangkan pengertian penarikan adalah
diambilnya uang tersebut dari rrekening giro sehingga menyebabkan giro
tersebut berkurang, yang ditarik secara tunai maupun ditarik secara non-
tunai (pemindah-bukuan). Penarikan secara tunai dilakukan dengan
menggunakan cek118 sedangkan penarikan non-tunai dilakuakan dengan
menggunakan bilyet giro (BG)119. Sedangkan yangdimaksud dengan
sarana perintah pembayaran lainnya adalah surat perintah kepada bank
yang dibuat secara tertulis pada kertas yang ditandatangani oleh
pemegang rekening atu kuasanya untuk membayar sejumlah uang tertentu
kepada pihak lain pada bank yang sama atau bank lain. Surat perintah ini
dapt bersifat tunai atau pemindahbukuan 120.

118 Cek merupakan surat perintah tanpa syarat dari nasabah kepada bank yang

memelihara rekening giro nasabah tersebut membeyar sejumlah uang kepadapihak yang
disebutkan di dalamnya atau kepada pemegang cek tersebut, lihat Kasmir, Bank dan Lembaga
Keuangan Lainnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), Cet. IV, h.66
119 Bilyet Giro merupakan surat perintah dari nasabah kepada bank yang memelihara

rekening giro nasabah tersebut untuk memindahbukukan sejumlah uang dari rekening yang
bersangkutan kepada pihak penerima yanag disebutkan namanya pada bank yang sama atau
bank lainnya, lihat Ibid., h.69
120 Kasmir, Op. Cit., h.70

150 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
perbedaan illat anatara ashal dengan furu’. Inilah salah satu jenis qiyas yang
disebut oleh Yusuf Qardhawi sebagai qiyas yang tidak pada tempatnya.150

2. Fatwa Tentang Murabahah

Secara bahasa murabahah merupakan bentuk mashdar dari fi’il tsulatsy


mazid berarti mengambil keuntungan. Secara istilah murabahah didefinisikan
sebagai ‘menjual barang dengan harga pembeliannya ditambah dengan
keuntungan tertentu151. Pada transaksi ini penjual harus memberitahukan
pembeli dengan harga beli barang dan menetapkan jumlah keuntungan yang
ditambah kepada harga beli152. Sedangkan fatwa mendifinisikan murabahah
sebagai ‘menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada
pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai
laba’153.
Dalam menetapkan kebolehan murabahah ini dewan menggunakan
metode bayani dengan berdalil kepada ayat:
‫ٱلربا ٰو ۟ا‬
ِ ‫ٱَّللُ ْٱلبا ْي اع او اح هر ام‬
‫اوأا اح هل ه‬
“dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.(QS
Al-Baqarah [2]: 275)
Dalam ayat ini lafal al-bay’ adalah isim mufrad yang dita’rifkan dengan
al-Jinsiyah. Oleh karena itu ia merupakan lafal ‘am yang mencakup seluruh
satuan-satuannya yang dapat dimasukkan kedalam pengertian al-bai
termasuk ba’i al-murabahah ini.

150 Yusuf al-Qardawi, al-Ijtihad al-Mu’asir baina al-Indibat wa Infirat, pent. Abu

Barzani, (Surabaya: Risalah Gusti 1995), h. 87-89


151 As-Sayyid Sabiq, OP. Cit., h.149
152 Menegenai item-item yang dapat ditambahkan padaharga beli, Malik memerinci

menjadi tiga: a. Harga pokok yang bisa di mark-up, yaitu item-item yang mempengaruhi
barang seperti jahitan dan celupan b. Harga pokok yang tidak bisa di mark-up, yaitu item-
item yang tidak mempengaruhi barang , yaitu hal-hal yang bukan termasuk kontribusi penjual
seperti ongkos transportasi c. Tidak termasukharga pokok dan tidak bisa di mark-up seperti
jasa makelar, sedangkan menurut Abu Hanifah mark-up bisa dilakukan terhadap ketiga item,
lihat muhammad ibn Ahmad muhammad ibn Ahmad muhammad ibn Ahmad Ibn Rusyd,
Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th), J.II, h. 166
153 Dewan Syariah Nasional, Op.Cit., h. 21

162 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Namun demikian sebagai lembaga keuangan, berdasarkan peraturan yang
ada bank tidak dimungkinkan berfungsi pula sebagai retailer dengan
memiliki persediaan barang untuk dijual. Maka dalam prakteknya yang
diterapkan bukanlah murabahah murni tetapi murabahah kepada pemesan
pembelian. Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah
murabahahal-amir bi al-syira’ (murabahah to the purchase orderer)154
dalam murabahah jenis ini dua pihak atau lebih saling bernegosiasi dan
berjanji untuk melaksanakan kesepakatan dimana pemesan meminta pembeli
membeli asset yang selanjutnya akan dibeli oleh pemesan dengan harga
pokok ditambah keuntungan155.
Pada dasarnya ada dua alasan mengapa transaksi murabahah ini
dilakukan. Pertama, untuk mencari pengalaman satu pihak yang berkontrak
(pemesan pembelian) meminta pihak lain (pembeli) untuk membeli sebuah
aset. Pemesan berjanji untuk ganti membeli aset tersebut. Kedua, mencari
pembiayaan. Pemesan meminta pembeli untuk membeli asset dan berjanji
untuk membelinya ditambah keuntungan dengan persyaratan pembeli
menjual asset tersebut kepadanya secra cicilan. Pembelian secara cicilan
merupakan motif utama dari pembiayaan murabahah156. Dan dalam
prakteknya murabahah yang lazim digunakan dalam praktik perbankan
adalah murabahah yang dilakukan secara cicilan (al-bay bi al-tsaman al-
ajil)157.
Pada dasarnya penjualan secara cicilan bukanlah kondisi murabahah,
akan tetapi sebagaiman dijelaskan di atas, pembiayaan secara cicilan
merupakan motif utama orang bertransaksi dengan bank. Maka didasarkan
atas kebiasaan yang berlaku inilah, fatwa menetapkan kebolehan murabahah
yang dilakukan secara cicilan. Dalam menetapkan hukum ini dewan

154 Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393 H), J.
VII, h. 105
155 AAOFI, “Juristic rules for the transaction of murabahah and murabahah to the
purchase orderer”, Accounting, Auditing, And Governance Standards For Islamic Financial
Institution, (Bahrain, AAOIFI, 2000)
156 Ibid
157 Syafi’i Antonio, Op. Cit. H. 103

F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 163
menggunakan metode istishlahy dengan bersandar pada kebiasaan dunia
perbankan yang melakukan transaksi secara cicilan. Oleh karenakebiasaan
ini tidak bertentangan dengan nash maka ia dianggap sebagai ‘urf shahihah
yang diadopsi. Selain itu jual belisecara cicilan bukanlah suatu
yangdiharamkan dalam syariat Islam, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah
hadist:
، ‫ ْال اب ْي ُع ِإلاى أا اج ٍل‬، ُ‫ث فِي ِه هن ْال اب ار اكة‬
ٌ ‫ ثاالا‬: ‫سله ام‬ ‫صلهى هللا ا‬
‫عل ْي ِه و ا‬ ِ ‫سو ُل‬
‫هللا ا‬ ُ ‫ قاا ال ار‬: ‫ قاا ال‬، ‫ب‬ ُ ‫ع ْن‬
ٍ ‫ص اه ْي‬ ‫ا‬
ْ
‫ت َلا لِلباي ِْع‬ ْ
ِ ‫ لِلبا ْي‬، ‫ِير‬
ِ ‫شع‬ ْ ُ ‫ا‬
‫ اوأ ْخالاط الب ُِر بِال ه‬، ‫ضة‬ ُ ‫او ْال ُمقا ا‬
‫ار ا‬
“Dari Shuhaib bahwasanya Nabi saw bersabda: ada tiga hal yang
mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai , muqaradhah (mudharabah),
dan mencampur gandum denga jewawut untuk keperluan rumah tangga,
bukan untuk dijual”. (HR Ibnu Majah)158
Selain itu didasarkan atas ‘Urf tijary, alasan kebutuhan manusia juga
menjadi landasan fatwa membolehkan akad murabahah ini dilakukan secara
cicilan. Sekali lagi dalam hal ini dewan menempuh metode istishlahi.
Meskipun tidak ada dalil spesifik yang menyatakan kebolehan akad ini tetapi
karena ada kebutuhan masyarakat banyak terhadap akad ini yang seandainya
tidak dilakukan akan menyebabkan kemadharatan, karena sulitnya memiliki
uang dalam jumlah besar dalam suatu waktu dalam membeli barang, maka
untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat banyak terseebut khususnya
untuk memelihara harta (hifdz al-mal) yang termasuk dalam hal-hal yang
perlu dipelihara maka ditetapkanlah keboehan akad ini.
Meskipun kebolehan akad ini secara cicilan telah ditetapkan dengan
bersandar pada metodologi yang valid, fatwa tetap memberikan aturan dalam
pelaksanaannya agar akad ini, khususnya murabahah al-amir bi al-asyira’,
yang melibatkan tiga pihak, pemesan, pembeli dan penjual, terhindar dari
akad ribawi. Oleh karena itu dalam salah satu butirnya fatwa ini menyatakan
bahwa jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang

158 Hadist ini bersanad dha’if, lihat muhammad ibn Isma’il al-Shan’any, Subul as-

Salam, (Bandung: Dahlan, t.th.), J. III. H. 76, muhammad Ibn ‘Ali asy-Syaukani menyatakan
bahwa sanad hadist ini terdapat dua rawi yang tidak diketahui, lhat muhammad ibn ‘Ali asy-
Syaukani, OP. Cit., J.V, h. 301
164 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
dari pihak ketiga, akad jual belimurabahah harus dilakukan setelah barang,
secara prinsip, menjadi milik bank’. Hal ini dikarenakan secara syariah
murabahah merupakan jual beli yang sifatnya satu kali (one shot deal),
namun dalam perbankan ia menjadi modal yang digunakan berkali-kali
(revolving)159.
Sebagaiman terlihat dalam murabahah al-amir bi al-syira, terjadidua
akad. Akad pertama antara pihak penjual dan pembeli, dan akad kedua antara
pembeli dalam hal ini pihak bank dan pemesan yaitu nasabah pembiayaan.
Akad pertama terjadi karena adanya pesanan dari calon nasabah, dan bank
terikat dengan akad tersebut. Sedangkan untuk akad kedua ini masih terjadi
perselisihan pendapat dikalangan umat mengenai sifatnya. Para ulama
terdahulu menganggap akad ini tidak mengikat dan pendapat ini juga
dipegang oleh al-Majma’ al-Fiqh al-Islamy (The Islamic Fiqh Academy)160.
Pendapat ini didasarkan atas alasan bahwa jika akad kedua dihukumi
mengikat maka akan termasuk kategori bay al-fudhuly161 yaitu melanggar
syarat ma’qud ‘alaih berupa kepemilikan sempurna sang ‘aqid terhadap
barang tersebut. Oleh karena itu, menurut pendapat ini akad kedua bersifat
tidak mengikat, pemesan boleh memilih antara meneruskan akad atupun
membetalkannya.
Akan tetapi fatwa menghukumi akad kedua ini bersifat mengikat dengan
berlandaskan kepada metode shad al-dzariyah, yaitu untuk menghindari
bahaya dibatalkannya akad oleh pemesan yang akan menimbulkan kerugian
pada salah satu pihak yang berakad, dalam hal ini adalah bank. Selain itu
pilihan ini juag didasarkan pada argumen bahwa konteks jual beli murabahah
jenis ini di mana ‘belum ada barang’ berbeda dengan ‘menjual tanpa

159 Cecep Maskanul Hakim, Deviasi Produk Syariah Dalam Perbankan, makalah
disampaikan pada kuliah ekonomi syariah bank IFI, Jakarta, 6 Desember 2001
160 AAOIFI, Loc. Cit
161 Bay al-Fudhuly adalah jual beli atas barang yang merupakanmilik orang lain tanpa

sizin sang pemilik, lihat Al-Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 133


F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 165
kepemilikan barag’. Selain itu pula janji (wa’d) pihak bank untuk membeli
barang tersebut bisa dijadikan justifikasi untuk mengikat pemesan.162
Selanjutnya disebabkan karena murabahah umumnya dilakukan secara
cicilan maka fatwa memutuskan kebolehan untuk meminta jaminan kepada
nasabah pembiayaan163. Dalam menetapkan hukum ini dewan menempuh
metode bayani dengan bersandar pada ayat:
ٌؐ‫سفَ ٍر َولَ ْم ت َِجدُوا كَاتِ ًبا فَ ِرهَا ٌن َم ْق ُبوضَة‬
َ ‫علَ ٰى‬
َ ‫َو ِإنْ كُ ْنت ُ ْم‬
“Jika kamu dalamperjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. (QS Al-Baqarah [2]:
283)
Berdasarkan analisa ibarat nash maka disimpulkan kebolehan meminta
jamnan untuk transaksi yang tidak dilakukan secara tunai. Karena ba’i
murabah bi tsaman al-ajil ini menimbulkan hutang antara nasabah
pembiayaan dengan bank, maka bank berhak meminta jaminan kepada sang
nasabah tersebut.
Sebagai salah satu jal beli yang dilakukan dengan penangguhan
pembayaran, murabahah memang mengandung kemungkinan dibatalkannya
akad oleh nasabah. Untuk mengantisipasi hal ini, Dewan memfatwakan
kebolehan bank meminta nasabah untuk membayar uang muka saat
menandatangani kesepakatan awal pemesananan. Uang muka yang boleh
diminta oleh bank syariah dapat didasarkan atas akad Hamisy Jidyah ataupun
akad Arbun.
Hamisy Jidyah merupakan sejumlah uang (muka) yang dibayar oleh
pemesan pembelian atas permintaan dari pembeli untuk memastikan bahwa
pemesan serius dengan pesenannya.164 Jika pemesan membatalkan pembelian
barang tersebut, maka Hamisy Jidyah akan dikembalikan setelah dikurangi

162 M. Syafi’i Antonio, Op. Cit., h. 104


163 Dewan Syariah Nasional, “Fatwa Tentang Murabahah”, Op .Cit., h. 27
164 AAOIFI, OP.CIT., h. 150

166 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
kerugian riil yang ditanggung bank akibat pesananan ini yang ternyata
dibatalkan.
Sedangkan arbun merupakan sejumlah uang yang dibayarkan di muka
kepada pembeli, jika pembeli memutuskan untuk meneruskan transaksi dan
membeli barang, maka uang arbun yang telah diserahkan tersebut akan
diperhitungkan sebagai bagian dari harga, namun jika pembelian dibatalkan
maka uang arbun menjadi hak penjual sebagi hibah dari pembeli. 165
Dalam menetapkan kebolehan akan arbun ini fatwa melakukan metode
bayani dengan bersandar pada hadist:
)‫عن زيد ابن اسلم انه سئل رسول هللا صلعم عن العربان في البيع فاحله (رواه عبد الرزاق‬
“Dari Zaid bin Aslam bahwasannya Rasulullah Saw ditanya tentang
‘urbun (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya.”(HR
‘Abd al-Razaq) 166
Jika dianalisa dengan metode ibarat nash maka jelas hadist ini
memberikan pengertian kebolehan ‘urbun.
Namun demikian jika ditelusuri literaure tentang ‘urbun ini maka terdapat
hadist lain yang bertentangan maknanya dengan hadist di atas:
)‫ نهى رول هللا صلعم عن بيع العربان (رواه ما لك‬: ‫عن عمر وبن شعيب قال‬
“Dari Umar bin Syu’aib ia berkata: Nabi Saw melarang jual beli (dengan
metode) ‘urbun” (HR Malik) 167
Apabila diselidiki segi tsubut hadist-hadist tersebut, maka keduanya
hadist dha’if. Hadist pertama merupakan hadist mursal karena di dalam
sanadnya terdapat Ibrahim bin Abi Yahya yang merupakan perawi yang
lemah. 168
Sedangkan hadist kedua merupakan hadist munqathi’ karena
dalam rangkaian sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dikenal. 169

165 Ibid, lihat juga Al-Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 156, Wahbah al-Zuhaily, Op. Cit., J.
IV , h. 448
166 Abu ‘Amr Yusuf ibn ‘Abd Allah ibn ‘Abd Allah ibn ‘ Abd al-Barr al-Namiry, al-

Tahmid li ibn ‘Abd al-Barr, (Maghribi: Wizarah ‘Umum al-Awraq wa al-Syu’un al-
Islamiyyah, 1387 H), J. XXIV,h. 179
167 Muhammad ibn Isma’il al-Shan’any, Op. Cit., J. III, h. 17
168 Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukani, Op.Cit., J. III, h.45
169 Muhammad ibn Isma’il al-Shan’any, Loc. Cit

F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 167
Terdapat dalil-dalil yang saling bertentangan ini, apabila menggunakann
metode Jumhur, maka metode pertama yang ditempuh adalah al-jam’ wa al-
taufiq, namun karena kedua hadist saling menunjukkan hukum yang
bertentangan, maka metode ini tidak mungkin dilakukan. Karenanya
digunakan metode selanjutnya yaitu tarjih atau ‘pernyataan akan adanya nilai
tambah pada salah satu dari dua dalil yang sederajat, dimana nilai tambah itu
bukan beupa dalil yang mandiri. 170
Maka dalam hal ini Dewan mentarjih hadist pertama dengan bersandar
kepada dua metode. Pertama, maslahat, untuk mendatangkan manfaat agar
nasabah bersungguh-sungguh dengan akad tersebut dan menghindari
mafsadat (sad al-dzariah) agar bank tidak menanggung sendiri kerugian
yang diakibatkan oleh ketidaksungguhan nasabah dalam bertransaksi. Kedua,
mengadopsi ‘urf tijary yang telah lazim mempraktikan dunia perbankan,
meminta uang muka terhadap kebanyakan transaksi yang dilakukan tidak
secara tunai. Namun demikian Dewan memodifikasi ‘urbun ini dengan
sedikit merubah ketentuannya sehingga menjadi:
a. Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal
membayar sisa harga.
b. Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal
sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut;
dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi
kekurangannya. 171

Pada dasarnya pendapat Dewan ini bukanlah sesuatu yang baru.


Kontroversi serupa ini telah terjadi dikalangan ulama. Mazhab Hanabillah
dengan berstandar kepada hadist pertama membolehkan ‘urbun karena hal ini
telah menjadi kebiasaan yang dipraktikan manusia dalam muamalah mereka
172
diberbagai tempat dan masa. Adapun Jumhur dengan berpegang kepada

170 ‘Abd al-‘Aziz al-Bukhari, Kasyf al-Asrar ‘ala Ushul al-Bazdawi, (t.tp.:Maktab al-

Shani’, 1370 H), J.II, h. 1198


171 Dewan Syariah Nasional, Op. Cit. , h. 26-27
172 Wahbah al-Zuhaily, Op.Cit., J.IV, h. 211

168 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
hadist kedua melarang praktik ini karena mengandung unsur gharar dan
termasuk perbuatan memakan harta orang lain secara batil.173 Sementara
Ibnu Sirin dan Ibnu Musayyab serta Ibnu Umar membolehkannya apabila
nasabah tidak merasa cocok dengan barang, uang urbun dikembalikan setelah
dikurangu kerugian riil. 174

3. Fatwa Tentang Pembiayaan Mudharabah

Pada dasarnya pembiayaan mudharabah ini memiliki aturan yang hampir


sama dengan akad-akad penghimpunan dana berdasarkan mudharabah (giro,
tabungan dan deposito) hanya saja dalam akad-akad yang disebut terakhir ini
bank bertindak sebagai mudharib dan nasabah penyimpanan bertindak
sebagai shahibul mal dan nasabah pembiayaan bertindak sebagai mudharib.
Dan inilah yang disebut mudharabah bertingkat (two-tier-mudharabah).

Dalam menetapkan mudharabah ini Dewan menggunakan metode bayani


dengan bersandar kepada hadist:
‫ اوَلا‬،‫صاحِ بِ ِه أا ْن َلا يا ْس ُلكا بِ ِه باح ًْرا‬
‫ع الى ا‬ ‫اربا ًة اِ ْشت اار ا‬
‫ط ا‬ ‫ض ا‬‫ب إِذاا دافا اع ْال اما ال ُم ا‬ ‫ع ْب ِد ْال ُم ا‬
ِ ‫ط ِل‬ ُ ‫سيِدُناا ْالعاب‬
‫هاس ْب ُن ا‬ ‫كانا ا‬
ُ‫صلهى هللا‬
‫ فابالا اغ ش ْارطُهُ ارسُ ْو ال هللاِ ا‬، ‫ضمِنا‬ ‫ فاإِ ْن فاعا ال ذالِكا ا‬،ٍ‫طباة‬ْ ‫ي بِ ِه داابهةً ذااتا اكبِ ٍد ار‬ ‫ اوَلا يا ْشت ِار ا‬،‫يا ْن ِز ال بِ ِه اوا ِديًا‬
).‫سله ام فاأ ا اجازا هُ (رواه الطبراني فى األوسط عن ابن عباس‬
‫علا ْي ِه اوآ ِل ِه او ا‬
‫ا‬

“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia


mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak
menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu
dilanggar ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan
yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.”
(HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).

Dari ibarat nash ini dapat ditarik pengertian bahwa mudharabah


dibolehkan, bahkan mudharabah muqayyadah juga diperkenankan. Selain
itu Dewan juga bersandar kepada hadist:

173 Muhammad ibn Isma’il al-Shan’any, Loc.Cit


174 Al-Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 157
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 169
‫ اوخ ْالطُ ْالب ُِر‬,ُ‫ضة‬
‫ او ْال ُمقا ار ا‬,‫ى أا اج ٍل‬
‫ اا ْلبا ْي ُع ِإلا ا‬:ُ‫ث فِ ْي ِه هن اا ْلبا ار اكة‬
ٌ ‫ ثاالا‬: ‫سله ام قاا ال‬ ‫صلهي هللاُ ا‬
‫علا ْي ِه او ا‬ ‫ي ا‬ ‫ا هٍن النه ِب ه‬
)‫ت َلا ل ِْلباي ِْع (رواه ابن ماجه عن صهيب‬ ِ ‫ش ِعي ِْر ل ِْلبا ْي‬
‫بِال ه‬
“Nabi bersabda, ‘ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak
secara tunai , muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum denga
jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual”. (HR Ibnu
Majah).
Dari analisa ibarat nash dapat ditarik kesimpulan bahwa
mudharabah bukan saja dibolehkan bahkan diberkahi. Karena pada
dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah)175 maka dalam
mudharabah tidak ada ganti rugi. Masing-masing pihak berkontribusi
sesuai fungsinya, shahibul mal dengan hartanya dan mudharib dengan
tenaga/skill dan waktunya. Apabila terjadi keuntungan keduanya berhak
atas nisabah keuntungan sesuai kesepakatan. Adapun dalam hal terjadi
kerugian, maka bank selku shahibul mal menanggung kerugian modal
kecuali jika mudharib melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau
menyalahi perjanjian. Sedangkan mudharib menanggung resiko kehilangan
waktu dan tenaganya. Ketentuan bahwa kerugian akibat normal business
loss harus ditanggung oleh bank selaku shahibul mal ini mengacu kepada
qaidah fiqh:
‫الغنم بالغرم‬

“Keuntungan harus disertai oleh kesediaan menanggung resiko”.

Namun demikian fatwa berupaya memperkecil resiko kerugian ini


dengan membolehkan bank selaku shahibul mal meminta mudharib
menyediakan jaminan dana pembiayaan tersebut. Bila ditilik kepada
ketentuan fiqh, sebenarnya permintaan penyediaan jaminan ini tidaklah
diperbolehkan mengingat bahwa akad ini merupakan akad yang didasarkan
atas amanah anatara kedua belah pihak. Dalam hal ini fatwa menggunakan
hilah kebolehan shahibul mal meminta ganti rugi modal kepada mudharib

175
Al-Sayyid Sabiq, Op. Cit., J. III, h. 214 , lihat juaga Dewan Syariah Nasional,
“Fatawa atentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)”, Op. Cit. , h. 47

170 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
apabila kerugian tersebut disebabkan karena sang mudharib melakukan
kesalahan yang disengaja, kelalaian atau side streaming sebagai justifikasi
terhadap kebolehan meminta jaminan kepada mudharib.
Selaras dengan fatwanya tentang prinsip distribusi hasil usaha
yang akan dijelaskan lebih rinci dibawah, Dewan menetapkan kewajiban
mudharib untuk menanggung biaya operasional. Ketentuan ini
padadasarnya akan menimbulkan permasalahan-permasalahan tersendiri.
Pertama, aturan ini kurang sesuai dengan syariah, karena dalam keadaan
titik impas/Break Event Point (BEP) sekalipun, dana shahibul mal terjamin
padahalprinsip mengatakan no return without risk dan sebaliknya sang
mudharib terpaksa tidak hanya menanggung kerugian kehilangan tenaga
dan waktunya tetapi juga dana untuk menutupi biaya baik dalam kedaan
titik impas maupun kerugian.
Kedua, ketentuan ini akan memperkecil bagian keuntungan yang
seharusnya menjadi hak mudharib. Ketiga, biaya yang menjadi tanggungan
mudharib semata akan menimbulkan efek inflasi akibat tingginya biaya
modal yang turut mempengaruhi tingkat harga barang dan jasa. Inflasi ini
tentu akan berdampak kurang baik bagi perekonomian makro.atas dasar
itulah seharusnya biaya operasional tidak harus dibebankan secara
eksklusif kepada mudharib, tetapi idealnya dimasukkan kedalam rekening
mudharabah.

4. Fatwa Tentang Ijarah

Ijarah secara bahasa bermakana menjual manfaat/kegunaan. Secara istilah


ijarah berarti akad untuk mendapatkan manfaat dengan pembayaran176.
Fatwa mendefinisikan ijarah sebagai akad pemindahan hak guna (manfaat)
atas suatu barang atu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran
sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu
sendiri177. Adapun rurkun-rukun yang harus terpenuhi dalam suatu akad

176 M. Umer Chapra, OP. Cit., h. 201


177 Dewan Syariah Nasional, OP.Cit., h.55
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 171
ijarah adalah: 1. Mu’jar (orang/barang yang diupah/sewa); 2. Musta’jir
(orang yamg menyewa/mengupah); 3. Shigat (Ijab dan Qabul); 4. Upah dan
manfaat178

Dalam menetapkan hukum kebolehan ijarah ini, dewan menggunakan


metode bayani dengan bedalil pada QS al-Baqarah [2] 233:
‫سله ْمتُم همآ اءاتا ْيتُم ِب ْال ام ْع ُروفِ اواتهقُوا ا‬
‫هللا اوا ْعلا ُموا أا هن‬ ‫ض ُعوا أا ْوَلاداكُ ْم فاالا ُجناا اح ا‬
‫علا ْيكُ ْم ِإذاا ا‬ ِ ‫او ِإ ْن أا اردْت ُ ْم أان تا ْست ْار‬
ُؐ‫ير‬
ُ ‫ص‬ِ ‫هللاا بِ اما تا ْع املُونا با‬
“.....Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertaqwalah kepada Allah/ dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa
yang kamu kerjakan”.
Secara jelas ayat diatas mengungakapkan kebolehan ijarah ini dengan
menggunakan lafal ‫علا ْيكُ ْم‬
‫( فاالا ُجناا اح ا‬tiada dosa atas kamu). Kesimpulan tersebut
diambil dengan analisis makna ungkapan lafal (ibarah al-nash). Selanjutnya
, fatwa memahami isim isyarat ‫ ما‬pada kalimat ِ‫ همآ اءاتا ْيتُم بِ ْال ام ْع ُروف‬dalam ayat
ini menunjukkan makna ‘am termasuk didalamnya jasa penyewaan atau
leasing179. Hal inipun diperkuat oleh ketentuan syariat yang berlaku pada
umat terdahulu (syar’ man qablana) yang dikisahkan oleh al-Qur’an:
ِ ‫قاالاتْ ِإ ْحدا ٰى ُه اما ٰيآأابا‬
ُّ ‫ت ٱ ْستاـْٔ ِج ْرهُ ۖ ِإ هن اخي اْر ام ِن ٱ ْستاـْٔ اج ْرتا ْٱلقا ِو‬
‫ى ْٱألامِي ُن‬
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Hai ayahku! Ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya”.(QS Al-Qashas [28]: 26)
Pada ayat ini tersurat ketentuan ijarah yang dibelakukan pada jasa
tenaga kerja. Dewan menerapkan hukum kebolehan ijarah pada ayat ini
dengan berpegang kepada pendapat yang berpendirian bahwa ketentuan
hukum umat terdahulu (syar’ man qablana) berlaku pula pada umat
Muhammad selama tidak ada ketentuan lain yang menghapusnya180. Karena

178
M. Umer Chapra, Loc. Cit
Syafi’i Antonio, OP. Cit., h.118
179
180 Wahhab al-Zuhaily, Op. Cit., h.830

172 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
tidak ditemukan dalil yang membatalkan ketentuan ini maka hukum ini
masih terus diberlakukan. Bahkan pada masa Nabi dijumpai praktek-praktek
yang semakin memperkuat ini seperti hadist:
‫اعطوا اَل جير اجره قبل ان يجف عرقه‬

“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”. (HR Ibnu Majah)181

Selain itu praktek ijarah tidak hanya berlaku dalam sewa tenaga kerja,
sebagaimana disinggung oleh dalil-dalil diatas, namun juga dipraktekkan
dalam sewa benda-benda yang dapat diambil manfaatnya, seperti hadist:
‫صلهى هللاُ ا‬
‫علا ْي ِه‬ ُ ‫ فانا اهاناا ار‬،‫س ِع اد ِب ْال اماءِ ِم ْن اها‬
ِ ‫س ْو ُل‬
‫هللا ا‬ ‫ع او اما ا‬ ‫علاى الس اهوا ِق ْي مِنا ه‬
ِ ‫الز ْر‬ ‫ض ِب اما ا‬ ‫كُنها نُ ْك ِري اْأل ا ْر ا‬
‫ب أا ْو فِ ه‬
‫ض ٍة‬ ٍ ‫ع ْن ذالِكا اوأا ام ارناا أا ْن نُ ْك ِريا اها بِذا اه‬
‫سله ام ا‬
‫اوآ ِل ِه او ا‬
“Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka
Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar
kami menyewakannya dengan emas atau perak” (HR Abu Dawud dari Sa’ad
ibn Abi Waqqash)
Dalam menetapkan hukum kebolehan ijarah ini Dewan mentarjih
pendapat jumhur yang bersepakat atas kebolehan ijarah dan memarjuhkan
pendapat minoritas yang melarang, antara lain ‘Asham dan ibn ‘Aliyah.
Pendapat kedua ini beragumen bahwa transaksi pertukaran hanya terjadi
dengan adanya serah terima antara barang dengan harga pada saat akad.
Sedangkan dalam ijarah, manfaat sebagai obyek transaksi tidak ada
(belumlah nyata) ketika akad sehingga termasuk transaksi gharar. Namun
argumen ini terbantahkan bahwa meskipun tidak ada pada waktu akad, akan
tetapi obyek ini dapat terpenuhi segera ketika barang itu mulai dimanfaatkan,
berdasarkan akad janji (al-wa’d) dari pihak pemberi sewa kepada penyewa
akan manfaat yang terkandung dalam obyek tersebut182. Oleh karenanya

181 Meskipun hadist ini berstatus dhaif namun banyak hadist-hadist lain yang

menguatkannya, lihat Muhammad ibn Isma’il al-Shan’any, h.81


182 Fuad al-Omar dan Mohammed Abdul Haq, Islamic Banking, (London: Zed Books,

1996). h.3
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 173
syara’ memandang manfaat sebagai obyek transaksi yang diperjanjikan ini
termasuk hal-hal yang dapat terpenuhi dan tidak merusak akad183.
Bantahan inipun semakin diperkuat oleh metode ta’lili yang
digunakan Dewan, dengan bersandar pada illat istihsani. Berdasarkan qiyas
jali, sebagaimana pendapat minoritas, ijarah termasuk akad yang terlarang
karena obyek transaksi tidak ada pada saat akad. Meskipun demikian, Dewan
mengabaikan qiyas jali ini dan beralih kepada qiyas khafi yang
membolehkannya karena ada dalil yang menjustifikasinya yaitu kebutuhan
masyarakat terhadap akad ini dalam rangka memelihara kemashlahatan
mereka184.

5. Fatwa Tentang Hawalah

Secara harfiah hawalah bermakna pengalihan, pemindahan. Yaitu


pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya. Secara harfiah ‘Abidin dari mazhab Hanafi memaknai
hawalah sebagai ‘pemindahan kewajiban membayar utang dari orang yang
berutang (al-Muhil) kepada orang yang berutang lainnya (al-muhal ‘alaih),
Kammal bin Hummam dari mazhab yang sama memaknai sebagai
‘pengalihan kewajiban membayar utang dari beban pihak pertama kepada
pihak lain yang berutang kepadanya atas dasar saling mempercayai’.
Sedangkan menurut mazhab Maliki, Hanbali, Dan Syafi’i, hawalah
bermakna ‘pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran
hutang dari satu pihak kepada pihak lain.185
Dari definisi-difinisi tersebut terlihat sedikit perbedaan dimana
tampaknya mazhab hanafi menekankan pada segi kewajiban membayar
utang, sedangkan ketiga mazhab lainnya menekankan pada segi hak
menerima pembayaran utang.

183 Muhammad ibn Ahmad Ibnu rusyd, Op. Cit., J. II, h. 166
184 Muhammad Sayyid Tanthawy, Mu’amalah Al-Bunuk Wa Ahkamu Al-Syar’iyyah,
(Mesir:Dar al-Nahdlah, 1997), h.36
185 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum

Perbankan Indonesia, (Jakarta:Grafiti, 1999), h.93


174 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Terlepas dari perbedaan tersebut, akad ini mempersyaratkan adanya muhil
(orang yang berhutang sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal (orang yang
berpiutang kepada muhil), muhal’alaih (orang yang berhutang kepada muhil
dan wajib membayar hutang kepada muhtal), sighat (ijab qabul).
Dalam metetapkan status hukum hawalah ini Dewan menggunakan
metode bayani dengan beristidlal kepada hadist:
‫ فاذا ااتبع احدكم غلى ملى فليتبع‬,‫مطل الغني ظلم‬
“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman.
Dan jika salah seorang diantara kamu diikutkan (dihawalahkan) kepada
orang yang mampu, terimalah hawalah itu”186
Dalam hadist terdapat lafal amr yang berebntuk fi’il amr yang dimasuki
lam al-amr yang merupakan jawab syarat dari kalimat Dewan ‫فاذا ااتبع احدكم‬
‫ غلى ملى‬memahami lafal amr ini menunjukkan makna nadb didasarkan atas
qarinah bahwa sebelum perintah ini Nabi mengungkapkan pula kemungkinan
lain yang diperintahkan beliau itu, yang bisa dilakukan pula jika kondisinya
sesuai dengan pilihan tersebut. Pilihan itulah qarinah yang menurunkan
bobot pesan perintahnya, sehingga diambil kesimpulan bahwa pesan hukum
yang dikemukakan hadist ini bukan wajib, tetapi nadb. Karena sifatnya yang
nadb tersebut maka akd ini bersifat tidak lazim (tidak mengikat). Muhal
memiliki pilihan untuk menyetujui akad ini yang berarti utangnya beralih
dari muhil kepada muhal ‘alaih ataupun menolaknya yang berarti ia tetap
harus menunaikan kewajibannya kepada orang yang berpiutang.
Akan tetapi pendapat ini bukanlah sesuatu yang baru. Jumhur ulama telah
menyatakan bahwa lafal amr dalam hadist ini menunjukkan istishab.
Sedangkan mayoritas Hanabilah, Daud al-Dzahiri, Ibnu Jurair, Abu Tsaur
dan Ahmad berpendapat bahwa amr dalam lafal ini menunjukkan wajib
karenanya muhal wajib menerima hawalah ini187.

186 Dalam sanadnya terdapat perawi yang lemah, meskipun demikian, hadist ini hadist

ini diriwayatkan dari jalur-jalur yang menguatkan, lihat Muhammad ibn Isma’il al-Shan’any,
Op.Cit,. J.III, h.61-62
187 Ibid, lihat juga al-Sayyid Sabiq, Op.Cit., h. 217

F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 175
Dengan demikian hasil kajian dan anlisa Dewan dalam tema ini bukanlah
sesuatu yang benar-benar baru, Jumhur ulama dan mayoritas Hanabilah serta
Al-Dzahiriyah telah menyatakan hukum akad ini. Hanya saja Dewan
mentarjih pendapat jumhur untuk untuk menyatakan hukum akad ini sebagai
istishab dengan metode analisa seperti telah dikemukakan diatas. Dan bila
dihubungkan dengan konteks sekarang segala jenis akad yang ada
diperbankan memang sifatnya opsional, nasabah memiliki kebebasan untuk
memilih antara melakukan transaksi tersebut ataupun tidak.

6. Fatwa Tentang Wakalah

Wakalah secara bahasa berarti penyerahan, pendelegasian, atau


pemberian mandat. Dalam fatwa wakalah dimaknai sebagai ‘pelimpahan
kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh
diwakilkan’.188 Dalam akad ini unsur-unsur yang harus terpenuhi adalah: 1.
Muwakkil (orang yang mewakilkan); 2. Wakil (orang yang mewakili); 3.
Tawkil (hal-hal yang diwakilkan); 4. Sighat (Ijab dan qabul).
Dalam menetapkan fatwa tentang wakalah ini, Dewan menggunakan
metode bayani dengan beristidlal kepada dua ayat Al-Qur’an. Pertama,
tentang kisah Ashhaabul Kahfi:
‫ض يا ْو ٍم قاالُوا اربُّكُ ْم أا ْعلا ُم‬ ‫سا اءلُوا با ْينا ُه ْم قاا ال قاائِ ٌل ِم ْن ُه ْم اك ْم لابِثْت ُ ْم قاالُوا لابِثْناا يا ْو ًما أا ْو با ْع ا‬ ‫او اكذالِكا باعاثْنااهُ ْم ِلياتا ا‬
‫ف‬ ْ ‫ط‬ ٍ ‫ط اعا ًما فا ْلياأْتِ ُك ْم ِب ِر ْز‬
‫ق ِم ْنهُ او ْلياتا ال ه‬ ‫ظ ْر أايُّ اها أا ْزكاى ا‬ ُ ‫ِب اما لا ِبثْت ُ ْم فاا ْب اعثُوا أا احدا ُك ْم ِب او ِرقِ ُك ْم اه ِذ ِه ِإ الى ْال امدِينا ِة فا ْليا ْن‬
‫اوَل يُ ْشع اِر هن بِ ُك ْم أا احدًا‬
“Dan demikian kami bangkitkan mereka agar saling bertanya diantara
mereka sendiri. Berkatalah ssalah seorang diantara mereka , ‘sudah berapa
lamakah kamu berada disini?’ Mereka menjawab, ‘Kita sudah berada (disini)
satu atau setengah hari.’ Berkata (yang lain lagi), ‘Tuhan kamu lebih
mengetahui berapa lamanya kamu berada (disini). Maka, suruhlah salah
seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini dan
hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik dan hendaklah ia
membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut,

188
Dewan Syariah Nasional, Op.Cit., h.62
176 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
investor lain tidaka akan menanggung kerugian akibat biaya operasional
tersebut. Dengan kata lain bank menjamin nilai nominal investasi nasabah,
karena pendapatan paling rendah yang akan dialami oleh bank adalah nol dan
tidak mungkin terjadi pendapatan negatif.212 Hal ini tentu tidaklah sejalan
dengan syariah karena bertentangan dengan prinsip no return without risk.
Selain itu revenue sharing juga kurang sejalan dengan identitas bank syariah
beserta fungsinya dalam mengedukasi umat untuk gemar berinvestasi dan
membentuk kecenderungan masyarakat untuk tidaka bersifat memastikan
tetapi justru bergeser kke arah sikap berani menghadapi resiko.213

Namun dengan argumentasi bahwa para nasabah belum terbiasa


menerima kondisi berbagi hasil dan berbagi resiko dab juga pertimbangan
tingkat persaingan yang sangat ketat dengan dunia perbankan konvensional,
maka dalam fatwanya DSN memberikan preferensi prinsip revenue sharing
ketimbang profit sharing sebagai metode pembagian hasil usaha.214 Dalam
hal ini Dewan menggunakan metode ta’lili, yaitu illat istihsani dalam
penerapan fatwa. Menurutnya, qiyas jaly yang menetapkan profit sharing
sebagai prinsip distribusi hasil usaha diabaikan karena qiyas khafi yang
menetapkan revenue sharing lebih dikuatkan oleh faktor maslahat. 215

Kemaslahatn yang diamaksud Dewan adalah untuk memperoleh


kemanfaatan, yaitu memberikan tingkat keuntungan yang mampu
berkompetisi dengan bank konvensional.dengan semakin tingginya tingkat
keuntungan diberikan kepada nasabah semakin banyak nasabah yang tertarik
menanamkan dananya di bank syariah, disamping itu pula untuk
menghindari kemudharatan, yaitu menghindari daya saing bank syariah yang
rendah agar tidak ditinggalkan oleh nasabah. Dewan memperkuat

212 Zainul Arifin , Op. Cit., h.66


213 Hariisman, Arah Dan Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah Di Indonesia,
Makalah Disampaikan Dalam Seminar Second Economics Day UI, Jakarta, 20 Februari 2002
214 Cecep Maskanul Hakum, Wawancara Pribadi, Jakarta, 6 Maret 2002
215 Dewan Syariah Nasional, “Fatwa Tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha Dalam

Lembaga Keuangan Syariah”, Op. Cit., h.90


186 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
argumennya bahwa tidak ditemukan dalil yang mengharamkan pratkik
revenue sharing ini sebagaimana kaidah:

‫اَلصلفي المعامالت اَلٍباحة اٍَل ان يدخل دليل على تحريمها‬

“Pada dasarnya segala bentuk muammalah boleh dilakukan kecuali ada


dalil yang mengharamkannya.”216

Padahal kaidah-kaidah fiqih secara tegas menyatakan:

‫الغنم با لغرم‬

“keuntungan harus disertai kesediaan menanggung resiko”

‫الخرج بالضمان‬

“Hasil usaha muncul disertai dengan biaya”

Kedua prinsip ini dideduksi dari nash-nash yang mengatur tentang


ketentuan pegambilan keuntungan dalam muammalah yang selalu harus
disertai dengan kesediaan menanggung resiko sehingga resiko ditanggung
secara merata oleh para pihak yang terlibat, dan tidak dibebankan secara
eksklusif kepada salah satu pihak yang akan mengakibatkan timbulmya
kezaliman karena eksploitasi salah satu pihak atas pihak lain. Kaidah ini
ditetapkan dengan tujuan untuk mewujudkan keadilan dalam berusaha
sehingga terwujud kesejahteraan bersama. Ketentuan ini bersandar salah
satunya kepada hadist:

‫له غنمه وعليه غرمه‬

“Bagi dia keuntungannya dan atasnya pula tanggung jawab


biayanya”.(HR. Malik dan al-Syafi’i dan Abu Hurairah) 217

Adapun kaidah lain yang dijadikan argumen Dewan dalam fatwa ini
adalah:

216 Kaidah Ini Merupakan Derivatif Dari Al-Qawaid Al-Khamsah Yang Kedua, ‘Al-
Yaqin La Yuzal Bi Al Syak’, Lihat Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, (Jakarta, Kalam
Mulia, 1996), Cet. II, h. 25-27
217 Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i, Musnad Al-Imam Al-Syafi’i, (Beiru Dar Al-Kutub

Al-‘Ilmiyyah, 1980), h. 148


F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 187
‫اينماوجدت المصلحة فثم حكم هللا‬

“Dimana terdapat kemaslahatan disana terdapat hukum Allah”218

Maka inilah yang disebut oleh Yusuf Qardhawi sebagai maslahat semu
bukan maslahat hakiki karena asumsi kemaslahatan hanya didasarkan atas
perkiraan semata219, tidak didasarkan atas nash.220

Dalam ushul fiqih pun dalah satu syarat penggunaan maslahat sebagai
dasar dalam penetapan hukum adalah bahwa maslahat ini tidaklah
bertentangan dengan nash.221

Selain itu dalil lain yang diajukan Dewan:

‫َل ضرروَلضرر‬

“tidakboleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula


membahayakan orang lain.”222

Menjadi kounterproduktif dalam hal ini karena justru dengan tidak


dimasukkannya biaya sebagai faktor pengurang pendapatan dan malah
membebani seluruh biaya kepada bank akan menimbulkan efek negatif
kepada bank yang bersangkutan dimana tingkat keuntungan bank akan
mengecil. Hal ini akan berimplikasi kepada kinerja bank yang bersangkutan.
Bukanlah suatu hal yang mustahil pemegang saham bank, dalam rangka
memperoleh tingkay dividen yang tetap signifikan, menekan biaya
operasional. Yang langsung merasakan dampak dari kebijakan ini tentunya
adalah karyawan, dimana insentif karyawan akan kurang dari standar, yang

218
Yusuf Al-Qardhawi, Op. Cit., h. 96
219 Dalam hal ini dewan menganggap bahwa kemaslahatan nasabah penyimpan yang
jumlahnya jauh lebih banyak didahulukan ketimbang nasabah pembiayaan yang jumlahnya
jauh lebih kecil
220 Ibid., h.98
221 Abd Al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Al-Fiqh,(Kairo: Dar Al-Qalam, 1978), h.87
222 Al-Syaikh Ahmad Ibn Al-Syaikh Muhammad Al-Zarqo, Op.Cit., h.177

188 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
selanjutnya mempengaruhi performance para karyawan dan berdampak
kurang baik pada kinerja bank yang bersangkutan.223

Apabila unsur persaingan yang menjadi alasan seharusnya bank justru


memacu lembaga dan karyawannya agar mampu membuktikan kemampuan
bersaing yang fair dibuktikan melalui kinerja yang dapat mencapai tingkat
profabilitas yang tinggi, bukan dengan cara melepaskan hak (tanazu’u al-
haq)224 salah satu pihak demi pihak lainnya.

Bila dianalisa lebih lanjut dengan teori maslahat, pada dasarnya


maslahat yang di[erjuangkan dewan untuk mempertahankan tingkat
persaingan dengan menetapkan revenue sharing, tingkatannya janyalah
tahsiniyah, karena toh dengan profit sharing nasabah juga tetap memperoleh
keuntungan. Di sisi lain, tingkat kemaslahatan profit sharing lebih tinggi,
yaitu hajiyat, kalau bukan termasuk dharuriyyat, karena menyangkut
kelangsungan hidup bank yang bersangkutan termasuk pula para
karyawannya. padahal dalam konsep ini kemaslahatan yang lebih tinggi
harus diprioritaskan dan bukan justru mengorbankan kemaslahatn yang lebih
tinggi hanya demi mewujudkan kemaslahatan yang lebih rendah.225

Apalagi ketentuan ini juga diterapkan dalam skim pembiayaan


mudharabah, melalui butir yang menyatakan mudharib menanggung biaya
operasional mudharabah.226 Tentunya hal ini menimbulkan kesulitan bagi
nasabah pembiayaan. Selain efek inflasi yang ditimbulkan akibat mahalnya
biaya modal, seperti telah disinggung dalam pembahasan fatwa tentang

223 Keadaan ini tentu sangat mempengaruhi loyalitas karyawan, dan nampaknya ini

terjadi pada salah satu bank umum syariah dimana insentif yang dirasa kurang memadai
menyebabkan tingkat turn over karyawan yang tinggi karena bank kurang mampu
mempertahankan karyawan berkinerja baik namun tidak puas dengan renumerasi yang
diperoleh, sehingga bank harus terus melakukan rekrutmen dan pelatihan karyawan-karyawan
baru, Duddy Yustiadi, Presentasi Teknik Perhutungan Bagi Hasil Dari Sudut Pandang
Investor Dan Bank, Workshop Analisa Keuangan Syariah, Jakarta:P3EIN IAIN Jakarta, 15
Mei 2002
224 Cecep Maskanul Hakim, 0p.Cit., h. 2
225 Al-Buthi, Dawabith Al-Maslahat Fi Al-Syari’at Al-Islamiyat, (Beirut: Mu’assasat

Al-Risalat, t.th), h. 249-254


226 Dewan Syariah Nasional,”Fatwa Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh),”

Op.Cit., h. 44
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 189
pembiayaan mudharabah, sistem ini juga mengakibabtkan kecilnya
keuntungan yang diterima sang mudharib karena keuntungan yang
diperolehnya itu harus dikurangi biaya terlebih dahulu. D samping itu dengan
mekanisme ini bank menikmati keuntungan yang sebagiannya disubsidi oleh
bagian yang seharusnya menjadi hak nasabah pembiayaan. Ini dapat terlihat
dari ilustrasi financial/income statement (laporan rugi-laba) perusahaan yang
beroperasi dalam sistem ekonomi Islam.227

INCOME STATEMENT
COMPANY X
1 July-31 December 1983
$
1. Revenue from sales 400 000
2. Less: admistrative expenses = 30 000
Depreciation charges = 30 000
Direct labour cost = 70 000
Factory overhead cost = 35 000
Material phurchases =115 000
Total operating cost =280 000
280 000
3. Equals : net oprating income 120 000
4. Less : service charge anddebt payments 38 707
5. Equals : pre-devidend income 81 293
6. Less : Mudharabah devidend payments
(40 per cent payout ratio) 32 517
7. Equals : pre-zakah income 48 776
8. Less : zakah levy
(2.5 per cent of pre-zakah income) 1 219
9. Equals retained earnings 47 557

227
Masadul alam choudhury, op.cit., h. 46
190 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Dari ilustrasi diatas jelas bahwa revenue merupakan fungsi dari variabel
quantitas barang/jasayang terjual dan variabel harga, atau dirumuskan:
R= f (QxP)
Di mana R= renvenue, Q= quantitas, dan P= price. Dari financial
statement dan formula tersebut terlihat bahwa revenue sharing merupakan
sistem distribusi bagi hasil yang tidak menciptakan iklim berusaha yang
Islami karena melahirkan hubungan yang timpang antara pihak-pihak yang
terlibat dimana disatu pihak, dalam hal ini bank menikmati keuntungan tanpa
disertai resiko; sedangkan di sisi lain, dalam hal ini nasabah pembiayaan,
menanggung seluruh resiko dengan menanggung biaya secara eksklusif. Hal
ini tentu ironis sekali, karena justru akan mendatangkan kedzaliman lain
yang sebenarnya ingin dihindarkan oleh bank syariah dalam upayanya dalam
menerapkan ajaran yang melarang riba.
Bila dianalisa dengan teori maqashid al-Syariah, pada dasarnya tujuan
ditetapkan peraturan dibidang muamalah adalah memelihara kepentingan
harta dalam rangka menciptakan kesejakteraan manusia melalui muamalah
yang menjunjung prinsip keadilan diantara para pihak yang terlibat dan
menghindari kedzaliman sebagaimana QS Al-Baqarah [2] : 279

‫َلتظلمون وَلتظلمون‬

“(Hendaklah) kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”

Serta QS al-Nisa’[4] : 29:


‫اض ِم ْنكُ ْم او اَل تا ْقتُلُوا‬
ٍ ‫ع ْن ت اار‬ ‫ياا أايُّ اها الهذِينا آا امنُوا اَل تاأْكُلُوا أا ْم اوالاكُ ْم با ْيناكُ ْم بِ ْالبااطِ ِل ِإ هَل أا ْن تاكُونا تِ اج ا‬
‫ارةً ا‬
‫ّٰللا كاانا ِب ُك ْم ارحِ ي ًما‬ ‫أا ْنفُ ا‬
‫سكُ ْم ِإ هن ه ا‬
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil)
harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan sukarela diantaramu....”

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 191


Pada kasus ini aturan mengenai tata cara pemilikan harta yang sah dan
larangan mengambil harta otang lain dengan cara yang tidak sah, yang
menduduki peringkat dharuriyyat, memiliki prioritas lebih tinggi dan tidak
dapat dikemudiankan hanya demi mewujudkan kepentingan yang sifatnya
tahsiniyat semata, dalam hal ini memperhatikan tingkat persaingan
denganmemberikan keuntungan yang ekuivalen dengan bank konvensional.
Kepentingan yang terakhir disebut bukanlah tidak mungkin diwujudkan
namun tentunya cara-caranya haruslah sesuai dengan syariah, bukan dengna
cara mendzalimi hak salah satu pihak.

2. Fatwa Tentang Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif Dalam


Lembaga Keuangan Syariah

Sebagai lembaga yang bergerak di dunia bisnis, bank tidaklah kebal dari
kemungkinan rugi. Namun tentunya sebagai lembaga yang profit oriented,
kerugian tersebut harus diantisipasi sedemikian rupa misalnya melalui
diversifikasi investasi sehingga kerugian investasi di suatu tempat dapat
dikompensasi oleh investasi di tempat lainnya. Hal inipun berlaku pada bank
syariah. Terlebih lagi bank syariah yang beroperasi berdasarkan profit-loss
sharing system tentunya harus mengelola dana secara lebih bijaksana, agar
masyarakat tidak kehilangan kepercayaan terhadap lembaga yang membawa
label syariah ini dan agar tidak ditinggalkan nasabahnya hanya karena
memberikan tingkat keuntungannya yang rendah, atau bahkan mengalami
kerugian. Dalam keadaan rugi, karena menganut system profit loss sharing
ini, maka nasabahpun harus memikul resiko kerugian. Ini berarti kerugian
harus dibagikan juga kepadanasabah berdasarkan proporsi dana yang
tertanam di bank.

Dalam menjawab tantangan inilah para ekonom muslim telah


memberikan suatu alternatif dan merupakan suatu terobosan baru dalam
khazanah fiqih mauamalah yaitu perlunya pencadangan dana dalam
mengantisipasi kerugian yang mungkin timbul terutama dari skim
192 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
pembiayaan ekuitas (mudharabah/musyarakah) yang secara nature beresiko
tinggi. Sehingga ketika kerugian benar-benar terjadi cadangan tersebut dapat
digunakan untuk menutupinya dan nasabah tidak kehilangan simpanan
pkoknya, kecuali jika kerugian sedemikian besar sehingga tidak cukup
ditutup oleh cadangan tersebut.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah dari manakah sumber dana


pencadangan tersebut. Tokoh-tokoh seperti Siddiqi, Irsyad Ahmad, dan
Najjar, misalnya menawarkan skim asuransi simpanan yang ditopang oleh
dukungan bank sentral, peran serta semua bank umum, serta para nasabah
penyimpan.228sementara umer chapra mengusulkan dana cadangan tersebut
diambil dari keuntungan ataulaba.229 Namun Chapra tidak memberikan
penjelasan lebih rinci tentang bagian keuntungan siapa yang harus disisihkan
untuk cadangan ini, apakah bagian nasabah atau bagian bank. Sami hamud
sejalan dengan Chapra bahwa cadangan harus disisihkan dari keuntungan
namun ia memerinci bahwa bagian keuntungan nasabahlah yang harus
disisihkan untuk cadangan ini, bahkan seandainya kerugian yang telah
diantisipasi tersebut tidak terjadi, maka dana cadangan yang menganggur
tersebut harus disedekahkan.230

Dalam hal ini Sami Hamud mendasarkan pada akad mudharabah dimana
kerugian merupakan tanggungan shahibul mal, yaitu nasabah penyimpan
sehingga sehingga cadangan yang dimaksudkan untuk mengantisipasi
kerugian pun harus disishkan dari keuntungan yang menjadi hak nasabah.

Dalam konteks bank syariah di Indonesia, tuntutan mengadakan


mengadakan cadangan ini tidak saja berasal dari ketentuan ekonomi Islam
seperti disinggung diatas namun juga ketentuan hukum positif. UU No.
10/1998 Pasal 37 B menyatakan bahwa:

228 Muhammed Nejatullah Siddiqi, Op. Cit., h.15


229 M Umer Chapra, Op.Cit., h. 189
230 Frank E. Vogel And Samuel L. Hayes, Islamics Law And Finance, (The Hague:

Kluwer Law International, 1998), h. 132-133


F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 193
1) Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank
yang bersangkutan.
2) Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana
dimamksud dalam ayat (1) dibentuk lembaga penjamin simpanan.

Dalam penjelasan atas UU No. 10/1998 Pasal 37 B ayat (2) ini


dinyatakan: (2). Pemebentukan Lembaga Penjamin Simpanan diperlukan
dalam rangka melindungi kepntingan nasabah dan sekaligus
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank.

Dalam menyelenggarakan penjaminan simpanan dana masyarakat


pada bank, Lembaga Penjamin Simpanan dapat menggunakan:
a. Skim dana bersama;
b. Skim asuransi;
c. Skim lainnya yang disetujui oleh Bank Indonesia.

Sambil menunggu kehadiran lembaga penjamin simpanan, DSN


tampil dengan fatwanya tentang pencadangan penghapusan aktiva
produktif yang memang sangat dibutuhkan oleh lembaga-lembaga
keuangan syariah, khususnya bank-bank syariah. Ini dapat terlihat dalam
konsideran fatwanya, yaitu: a. Dalam rangka mengurangi resiko kerugian
yang mungkin terjadi dalam pembiayaan yang diberikan; b. Agar praktek
pencadangan tersebut tidak menimbulkan kerugian atau beban berat bagi
pihak-pihak terkait.

Dalam fatwanya Dewan membolehkan pencadangan yang dilakukan


oleh lembaga keuangan syariah. Adapun dana yang digunakan untuk
pencadangan diambil dari bagian keuntungan yang menjadi hak LKS
sehingga tidak merugikan nasabah.

Dalam menetapkan fatwanya ini Dewan menempuh metode istishlahi.


Mekipun tidak ada dalil eksplisit yang mengatur tentang ketentuan ini,
namun adanya kemaslahatn didalamnya dalam rangka melindungi
kepentingan nasabah dan juga menjaga nama baik bank serta

194 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank, demi mewujudkan
ekonomi umat yang selaras dengan syariah maka ditetapkan kebolehan
pencadangan ini.

Dan dalam mewujudkan kemaslahahtan ini Dewan menggunakan


metode Sad al-Dzariyah. Untuk alasan melindungi kepentingan nasabah
dan mejaga kemampuan saing bank syariah, Dewan menfatwakan dana
yang digunakan untuk pencadangan diambil dari bagian keuntungan yang
menjadi hak bank syariah. Bila dikaitkan dengan pembahasan
sebelumnya berarti bahwa keuntungan yang akan diterima bank selain
dikurangi terlebih dahulu dengan unsur biaya juga akan dikurangi dana
cadangan. Hal ini tentu akan semakin memperkecil tingkat keuntungan
bank.

Secara ideal apabila akad yang digunakan antara bank dengan nasabah
penyimpan adalah mudharabah maka kerugian harus ditanggung oleh
nasabah selaku shahibul mal karena dalam akad ini tanggung jawab
finansial ada di tangannya, berarti pula dana cadangan harus diambil dari
bagian keuntungan nasabah. Dan seandainya akad yang digunakan adalah
musyarakah maka kerugian harus ditanggung bersama antara para pihak
yang berakad sesuai proporsi modalnya. Sebagaimana perkataan ‘Ali

‫الربح على ماشر طاوالوضيعة على قدر المالين‬

“Keuntungan berdasarkan apa yang masing-masing pihak


persyaratkan, dan keuntungan harus dibebankan secara proporsional
sesuai modal.”231

Ini berarti cadangan juga harus diambil dari bagian keuntungan kedua
belah pihak, bank dan nasabah. Namun kedua pilihan ini tidak diambil
Dewan.

231 Muhammad ibn Ahmad Ibn Rusyd, Op.Cit.,h.253, lihat juga al-Khatib, Mughni al-

Muhtaj Sharh al Minhaj, ( Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Araby, t.th), J. II, h.215
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 195
Fatwa Dewan untuk menyisihkan keuntungan yang menjadi hak bank
menjadi dana cadangan ini tampaknya dilatarbelakangi oleh dua alasan.
Pertama, peraturan perundang-undangan yang berlaku mengisyaratkan
kewajiban menjamin dana nasabah dibebankan kepada bank syariah dan
dalam hal ini siyasah syar’iyah melandasi Dewan dalam fatwanya.
Kedua, Dewan mengambil ‘urf tijary yang berlaku di dunia perbankan
dimana bank biasa menyisihkan bagian keuntungan para pemegang
saham untuk dicadangkan demi antisipasi kerugian atau keuntungan di
tahun yang akan datang.232 Meskipun demikian, seandainya prinsip no
return without risk tetap dijunjung, fatwa tidak seharusnya hanya
membebankan dana cadangan kerugian ini kepada bank

232Kasmir, Op. Cit, h.62


196 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah diuraikan dalam bab – bab inti sebagai pembahasan dari kandungan
tulisan ini, dapat disimpulkan beberapa point penting.

1. Fatwa dalam Islam merupakan upaya menerangkan hukum suatu


permasalahan, baik terhadap permasalahan yang telah disinggung oleh
ulama – ulama terdahulu maupun terhadap persoalan-persoalan baru
dengan menggunakan metode-metode istinbath, baik bayani, qiyasi,
maupun istishlahi dengan tetap merujuk kepada sumber-sumber hukum
Islam, Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Fatwa Sahabat, dan Fatwa Ulama
Mujtahid.
2. Kehadiran bank syariah di Indonesia di Indonesia merupakan wujud
implementasi hukum Islam di bidang muamalah-maliyah. Operasional
bank ini menggunakan sistem profit-loss sharing yang membentuk
hubungan kemitraan antara bank dan nasabah dengan berlandaskan
pada prinsip-prinsip produktivitas dan universalitas, keadilan, serta
etika/moralitas usaha. Produk-produk yang ditawarkannya pun masing-
masing memiliki landasan syariah.
3. Seiring tumbuhnya bank-bank syariah di tanah air, maka dibutuhkanlah
kehadiran dewan pengawas syariah, selanjutnya disebut Dewan
Pengawas Syariah (DPS) di lembaga-lembaga tersebut untuk
mengawasi operasional bank-bank syariah agar tetap sejalan dengan
prinsip syariah serta sebuah dewan pengawas yang bersifat nasional,
yang kemudian disebut Dewan Syariah Nasional (DSN), untuk
menyatukan pendapat dewan-dewan pengawas tersebut disamping
untuk lebih memberikan kepastian hukum baik bagi bank-bank syariah
tersebut mapun para pengguna jasa perbankan syariah. Salah satu tugas
Dewan Syariah Nasinonal ini adalah menetapkan fatwa terhadap produk
– produk serta operasional bank-bank syariah.

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 197


4. Dalam merumuskan fatwa-fatwanya, Dewan Syariah Nasional
menggunakan ketiga metode istinbath di atas. Untuk masalah-masalah
yang secara eksplisit tentang giro berdasarkan bunga, murabahah,
ijarah, hawalah, dan wakalah. Jika terdapat perbedaan pendapat ulama
tentang masalah tersebut, Dewan biasanya melakukan tarjih dengan
mengambil pendapat yang lebih kuat. Dalam kasus-kasus yang hanya
implisit diatur oleh nash, namun ditemui kesamaan illat dengan kasus
yang diatur secara ekplisit oleh nash, maka Dewan menempuh metode
ta’lili, baik besandar pada illat jaly seperti dalam giro berdasarkan
mudharabah dan pembiayaan mudharabah maupun berdasarkan pada
illat khafi yang dikuatkan oleh faktor maslahat(Istihsan) seperti dalam
giro berdasarkan wadiah dan revenue sharing. Adapun dalam kasus-
kasus baru yang tidak ditemukan dalil-dalil yang secara khusus
mengaturnya, DSN menempuh metode istishlahi seperti dalan masalah
pencadangan kerugian.
5. Secara keseluruhan disimpulkan bahwa pertimbangan masalahat
sangatlah menonjol dalam penetapan fatwa-fatwa DSN, bahkan dalam
kasus-kasus tertentu terkesan kemaslahatan para nasabah penyimpan
menjadi prioritas. Ini dapat terlihat misalnya dalam fatwa tentang giro
berdasarkan wadiah, pembiayaan mudhrabah, prinsip distribusi hasil
usaha, dan pencadangan kerugian. Hal ini mungkin salah satu imbas
karena bank syariah yang beroperasi di tanah air berada dalam dual
banking system dimana bank konvensional, yang sangat memihak
kepentingan nasabah penyimpan dan sebaliknya mengeksploitir nasabah
kreditor, demikian dominan. Meskipun merupakan pendatang baru,
bank syariah tetap harus ikut dalam kompetisi ini jika tidak ingin
ditinggalkan nasabah. Maka tidak jarang karena faktor persaingan ini
penggunaan dalil kemaslahatan lebih mendapat prioritas sehingga
terkadang melahirkan kembali hubungan debitor kreditor seperti dalam
perbankan konvensional yang seharusnya diganti dengan hubungan
kemitraan yang menjunjung prinsip no return without risk.
198 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
2. Saran

1. Fatwa bukanlah suatu ketetapan hukum yang kebal dari perubahan, maka
tatkala kondisi-kondisi yang melingkupinya telah berubah, maka fatwa
pun perlu peninjauan ulang sebagaimana kaidah perubahan fatwa selaras
dengan perubahan masa dan tempat serta kondisi. Dengan semakin
bertambah kuantitas bank-bank syariah di tanah air diharapkan pula
terjadi peningkatan kualitas khususnya dalam mensinergikan misi
pembumian nilai-nilai syariah dalam kehidupan umat dengan kepentingan
bisnis dunia perbankan syariah. Di sinilah Dewan Syariah Nasional
diharapkan dapat menjawab tantangan tersebut sehingga fatwa-fatwa
yang dihasilkan dapat merespon dinamika yang terjadi dengan tetap
menjaga keselarasan dengan norma-norma syariah. Karenanya wawasan
yang luas dalam bidang syariah dan juga ekonomi merupakan suatu
kemestian bagi para anggota DSN khususnya dan umunya seluruh DPS.
2. Diperlukan suatu langkah inovatif oleh DSN agar dapat melalukan
pendekatan kepada pihak eksekutif dan legislatif, bersama elemen –
elemen masyarakat lainnya yang memiliki visi sama, untuk membentuk
Undnag-Undang Perbankan Syariah yang mandiri, agar berbagai kendala
hukum yang ada selama ini yang menghambat pengembangan bank
syariah khususnya yang terkait dengan pelaksanaan prinsip kesesuain
syariah tidak lagi dijumpai.

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 199


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, penerjemah Anshari Thayib,


Surabaya: Bina Ilmu, 1997

AAOFI, Accounting, Auditing, And Governance Standards For Islamic


Financial Institution, Bahrain, AAOIFI, 2000

‘Abd al-‘Aziz al-Bukhari, Kasyf al-Asrar ‘ala Ushul al-Bazdawi, (t.tp.:Maktab


al-Shani’, 1370 H), J.II, h. 1198

Abd ar-Rahman as-Syuti, al-Asybah wan-Nazair fi Qawa’id wa Furu Fiqh asy-


Syafi’iyyah Beirut: Dar al-Kutub al-Amaliyah, 1983

Abd Al-Wahhab Ibrahim Abu Sulaiman, Al-Fikr Al-Usuli, Jeddah: Dar Asy-
Syuruq, 1983

Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, Beirut: Muassasat ar-Risalah,


1987

Abd Mujib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, Jakarta Kalam Mulia, 1996

Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Qalam, 1978

Abu Hamid Al-Gazali, Al-Mustafa Fi ‘Ilm Al-Usul, Beirut: Dar Al-Kutub Al-
‘Ilmiyyah, 1983

Abu Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muwafafqat Fi Usul Asy-Syar’iyyah, Beirut: Dar Al-


Ma’rifah, 1975

Abul A’la al-Maududi, Riba, Lahore: Islamic Publication, 1951

Abu Umar Yusuf Ibn ‘Abd Allah Ibn Abd Al-Barr Al-Namiri, Al-Tahmid Li Ibn
‘Abd Al-Barr, Magribi: Wizarah ‘Umum Al-Awraq Wasy-Syu’un Al-
Islamiyyah, 1387

Ahmad an-Najjar, 100 Sual wa 100 Jawab Haul al-Bunuk al-Islamiyyah al-
Ittihad al-Dauliy Li al-Bunuk al-Islamiyyah, tt: tpn, 1985

200 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Ala’ Eddin Kharofa, Transaction inIslamic Law, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen,
1997

Ali Ausaf, The Political Economy of The Islamic State: A Comparative Study,
Michigan: University Microfilm Internasional, 1985

Ali Hasaballah, Usul At-Tasyri’ Al-Islami, Mesir: Dar Al- Ma’arif, 1964

Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab atl-Ta’rifat, Beirut: Riyad as-sulh, 1969

Anis ‘Ubadah, Tarikh al-Fiqh al-Islami ‘Ahd an-Nubuwwah was-Sahabah wat-


Tabi’in, t,t: Dar at-Tiba’ah, 1980

Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaaan Kantor Bank Syariah,


(Jakarta: BI, 1999

Bank Syariah, Mendekatkan Sektor Rill dan Keuangan, Kompas, Jakarta, 21


Februari 2002

Buthi, Dawabith Al-Maslahat Fi Al-Syari’at Al-Islamiyat, Beirut: Mu’assasat


Al-Risalat, t.th

Cecep Maskanul Hakim, Wawancara Pribadi, Jakarta, 6 Maret 2002

Cecep Maskanul Hakim, Deviasi Produk Syaria Dalam Perbankan, makalah


disampaikan pada Kuliah Ekonomi Syariah, Bank IFI, 6 Desember 2001

Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewab Hisbah Persis, Jakarta: Logos,
1999

Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta:


DSN-BI. 2001

Duddy Yustiadi, Presentasi Teknik Perhutungan Bagi Hasil Dari Sudut


Pandang Investor dan Bank, Workshop Analisa Keuangan Syariah,
Jakarta:P3EIN IAIN Jakarta, 15 Mei 2002

Fathurrahman Djamil, metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta:


Logos, 1995

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 201


Frank E. Vogel And Samuel L. Hayes, Islamics Law And Finance, The Hague:
Kluwer Law International, 1998

Fuad al-Omar and Mohammed Abdel-Haq, Islamic Banking Theory, Practice


and Challenges, London: Zed Books, 1996

Garib al-Jamal, al-Masarif wa Buyut at-Tamwil al-Islamiyyah, tt: Dar al-Syuruq,


t.th

Hariisman, Arah Dan Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah Di


Indonesia, Makalah Disampaikan Dalam Seminar Second Economics
Day UI, Jakarta, 20 Februari 2002

----, pengawasan dan audit syariah pada bank syariah: konsep, aplikasi, dan
kebijakan,

Makalah Disampaikan Dalam Seminar Legal Audit Syariah, Fakultas Syariah


IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 10 april 2002

Hasbi As-Shiddiqy, Peradilan Dan Hukum Acara Islam, Semarang: Al-Ma’arif,


1964

Husain Syahatah, Muhasabah Al-Masarif Al-Islamiyyah, tt: tpn, tth

Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyyah, I’lam Al-Muwaqi’in, Beirut: Dar Al- Fikr, t.th.

Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar, Beirut: Dar al-Fikr, t.th

Ibn al-Manzur al-Ifriqi, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar al-Shadir, 1990

Ibn Qudamah, al-Mugni, Cairo: Dar al-Manar, 1367

Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Semarang: Usaha


Keluarga, t.th

Iggi, H, Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal, Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama, 2000

Jaluddin Abdurrahman as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi, Beirut: Dar al-Fikr, 1972

202 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
John L. Esposito, “Fatwa”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic
World, New York: Oxford University Press, 1995

Kahar Masyhur, Beberapa Pendapat Tentang Riba, Jakarta: Kalam Mulia, 1999

Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana


Bank Islam, Yogyakarta: Dhana Bakti Wakaf, 1992

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 2000

Khatib (al) asy-Syabainiyy, Mugni al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, Beirut: Dar al-
Fikr, 1994

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT


Gramedia, 1991

Luis Ma’luf al-Yusu’iyy, al-Munjid fi al-Lugah wal-A’lam , Beirut: Dar al-


Masyriq, 1986

M. Dawan Raharjo, Riba, Jakarta: Ulumul Qur’an, No.9, Vol.II. 1999

M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, pent. Ikhwan Abidin, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000

M.M Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Jakarta: PT Bangkit Daya
Insani, 1995

Masadul Alam Choudory, Contributions To Islamic Economic Theory, New


York: St. Martin’s Press, 1986

Monzer Kahf, Ekonomi Islam, pent. Machnun Husein, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 1979

Muhammad Abd al-Mun’im Abu Zaid, al-Mudharabah wa Tatbiqatuh al-


‘Amaliyyah fi al-Masarif al-Islamiyyah, al-Qahirah: al-Ma’ahad al-‘Alim
li al-Fikr al Islamiyy, 1996

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 203


Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis’Ulumuh wa Mustalahuh, Beirut: Dar
al-Fikr, 1989

Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Cairo: Ddar al-Fikr al-‘Arabi, 1958

Muhammad ‘Alias-Sayis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihad wa Atwaruh, alih bahasa


M. Ali Hasan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995

Muhammad ‘Ali Ibn Muhammad Asy-Syaukani, Irsyad al-Fukhul Ila Tahqiq


al-Haqq Min ‘Ilm al-Usul, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994

----, Nail al-Autar, Beirut:Dar al-Fikr, 1983

Muhammad al-Khuduri Bek, Usul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr,1998

Muhammad Atho Mudzar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta:


INIS, 1993

Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393 H

----, Musnad Al-Imam Al-Syafi’i, (Beiru Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1980

Muhsmmad Ibn Isma’il al-Kahlani as-San’ani, Subul as-Salam, Bandung:


Dahlan, t.th

Muhammad Ibn Umar Ibn Husain al-Quraisy ar-Razi, at-Tafsir al-Kabir, Kairo:
al-Matba’ah al-Bahaiyyah al-Misriyyah, 1938

Muhammad Musa Tuwana, Al-Ijtihad Wa Mada Hajatuna Ilaih Fi Haza Al-


‘Asr, Kairo: Pustaka, 1984

Muhammad Nejatullah Siddiqi, Bank Islam, Pent. Asep Hikmat Suhendi,


Bandung: Pustaka, 1984

Muhammad Salam Madkur, Manahij al-Ijtihad fil-Islam, Kuwait:al-Matba’ah


al-Asriyyah, 1973

Muhammad Sayyid Tahtawi, Mu’amalah al-Bunuk wa Ahkamuha al-


Syyar’iyyah, (Mesir: Dar an-Nahdah, 1997

204 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Sidqiyy Ibn Ahmad al-Burnu, al-Wajiz Fi Idah Qawait al-Fiqh al-Kulilyah,
Saudi Riyad: Muassasah al-Risalah, 1983

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001

Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih


Islami, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1993

Mulya E. Siregar, Perkembangan dan Dinamika Perbankan Syariah


Internasional, makalah disampaikan pada Kuliah Ekonomi Islam
Ramadhan 1422 H pada tanggal 29 November 2001 di Bank IFI Jakarta

N.J. Coulson, A History of Islamic Law, Edinburg:Edinburg University Press,


1964

Nasrun RUsli, Konsep Ijtihad asy-Syaukani, Jakarta:Logos, 1999

Ragib (Al-) Al-Isfahani, Al-Mufradah Fi Garib Al-Qur’an, Kairo: Mustafa Al-


Bab Al-Halab, 1961

Ratno Lukito, “Syariat Islam dalam Ruang Polisentris Hukum”, Kompas, Senin,
22 April 2002

Republik Indonesia, Undang―Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun


1998 Tentang Perubahan Atas Undang―undang Nomor 10 Tahun 1992
Tentang Perbankan, Jakarta, Sinar Grafika: 1999

Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Universitas Yarsi, 1999

Rudjito, Manajemen Aplikasi Perbankan Syariah Sebuah Solusi Menuju


Perbaikan Perekonomian Nasional, makalah disampaikan dalam shariah
Economics Day, Jakarta: FE UI, 2002

Sa’id Mahmud Muhammad an-Nafrawi, Muhasabah al-Takalif Ka’adat lil


Takhtit wa ar-Raqabah ‘ala Ansyitah al-Bunuk al-Islamiyyah, tt:tpn, tth

Sa’alibi (al) al-Fasi, al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 205
Sayyid Al-Sabiq, Fiqh As-Sunah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1983, J.III

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata


Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1999

Syaikh (al-) Ahmad ibn asy-Syaikh Muhammad al-Zarqo, Syarhnal-Qawaid al-


Fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1989

Sya’labi, Ta’lili al-Ahkam Kairo: Dar an-Nahdah al-‘Arabiyah, 1981

Tata Huberta, “Dilema Suku Bunga”, Kompas, Rabu 5 Juli 2002

Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000

Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamiyy Wa Adillatuh, Beirut: Dar Al-Fikr,


1989

----, usul al-fiqh al-Islamiyy, Beirut: Dar Al-Fikr, 1986

Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islamdan Lembaga-Lembaga Terkait,


BAMUI dan Takaful di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1996

www. Tazkiya.com , Profil Lembaga keuangan Syariah-Bank Syariah

Yusuf al-Qardawi, al-Ijtihad al-Mu’asir baina al-Indibat wa Infirat, pent. Abu


Barzani, Surabaya: Risalah Gusti 1995

----, Ijtihad Dalam Syari’at Islam, terj. Drs Ahmad Syathori, Jakarta: Bulan
Bintang: 1987

----, Al-Fatawa Al-Bayn Al-Indibat Wat-Tasayyub, Jakarta: Gema Insani Press,


1997

Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Alvabet, 2002

----, Memahami Bank Syariah Lingkup, Pelluang, Tantangan, dan Prospek,


Jakarta: Alvabet, 2000

----, Prinsip Operasional Bank Syariah, makalah disampaikan pada kuliah


Ekonomi Islam Ramadhan 1422 H Bank IFI Syariah, 5 Desember 2001.

206 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1

DEWAN SYARI'AH NASIONAL


MAJELIS ULAMA INDONESIA

KEPUTUSAN
DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

No: 01 Tahun 2000

Tentang

PEDOMAN DASAR DEWAN SYARI'AH NASIONAL

MAJELIS ULAMA INDONESIA (PD DSN-MUI)

Dewan Syariah Nasional setelah

Menimbang :

a. bahwa Dewan Syari'ah Nasional, disingkat dengan nama DSN, dibentuk


oleh Majelis Ulama Indonesia dengan tugas mengawasi dan mengarahkan
lembaga-lembaga keuangan syari'ah untuk mendorong penerapan nilai-nilai
ajaran Islam dalam kegiatan perekonomian dan keuangan.
b. bahwa DSN diharapkan dapat berperan secara proaktif dalam menanggapi
perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis dalam bidang ekonomi
dan keuangan.
c. bahwa untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan tugas dan fungsi DSN,
perlu ditetapkan Pedoman Dasar Dewan Syari'ah Nasional.

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 207


Mengingat :

1. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia


Periode 1995-2000.
2. SK. Majelis Ulama Indonesia No. Kep-754/MUI/II/1999 tanggal 10
Pebruari 1999 tentang Pembentukan Dewan Syari'ah Nasional.

Memperhatikan :
Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Sabtu tanggal
1 April 2000.

MEMUTUSKAN

Menetapkan :

LAMPIRAN II SURAT KEPUTUSAN DEWAN PIMPINAN MAJELIS


ULAMA INDONESIA NO: KEP-754/MUI/II/99 TENTANG
PEMBENTUKAN DEWAN SYARIAH NASIONAL SEBAGAI PEDOMAN
DASAR DEWAN SYARIAH NASIO-NAL YANG ISINYA ADALAH
SEBAGAI BERIKUT:

MUKADDIMAH

Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan
lil alamin). Ajarannya mencakup semua aspek kehidupan, tidak terkecuali
bidang ekonomi yang dalam perkembangannya saat ini dan mendatang
dirasakan semakin kompleks. Apalagi pada millenium ke-3 mendatang akan
terjadi perubahan-perubahan yang amat cepat dimana pengaruh era keterbukaan
(globalisasi) yang cenderung mengabaikan batas-batas geografis.

208 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Pengembangan lembaga-lembaga keuangan terutama lembaga keuangan
syariah juga mengalami kemajuan-kemajuan yanng pesat, dan adalah pada
saatnya untuk melakukan pemantauan, pengawasan dan arahan yang
memungkinkan pengembangan lembaga-lembaga keuangan tersebut.

Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah yang membahas pandangan


syariah tentang Reksadana dan rekomendasi lokakarya yang antara lain
mengusulkan agar dibentuk Dewan Syraiah Nasional untuk mengawasi dan
mengarahkan lembaga-lembaga keuangan syariah. Oleh sebab itu, dipandang
perlu adanya pedoman dasar mengenai Dewan Syariah Nasional tersebut, yang
meliputi :

1. DASAR PEMIKIRAN

1. Dengan semakin berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syariah di


tanah air akhir-akhir ini dan adanya Dewan Pengawas Syariah pada
setiap lembaga keuangan, dipandang perlu didirikan Dewan Syariah
Nasional yang akan menampung berbagai masalah/kasus yang
memerlukan fatwa agar diperoleh kesamaan dalam penanganannya dari
masing-masing Dewan Pengawas Syariah yang ada di lembaga keuangan
syariah.
2. Pembentukan Dewan Syariah Nasional merupakan langkah efisiensi dan
koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan
dengan masalah ekonomi/keuangan.
3. Dewan Syariah Nasional diharapkan dapat berfungsi untuk mendorong
penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi.
4. Dewan Syariah Nasional berperan secara pro-aktif dalam menanggapi
perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis dalam bidangn
ekonomi dan keuangan.

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 209


2. PENGERTIAN

1. Lembaga Keuangan Syariah adalah lembaga keuangan yang


mengeluarkan produk keuangan syariah dan yang mendapat izin
operasional sebagai lembaga keuangan syariah.
2. Produk Keuangan Syariah adalah produk keuangan yang mengikuti
syariah Islam.
3. Dewan Syariah Nasional adalah Dewan yang dibentuk oleh MUI untuk
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas
lembaga keuangan syariah.
4. Badan Pelaksana Harian - Dewan Syariah Nasional adalah badan yang
sehari-hari melaksanakan tugas Dewan Syariah Nasional.
5. Dewan Pengawas Syariah adalah badan yang ada di lembaga keuangan
syariah dan bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan Dewan Syariah
Nasional di lembaga keuangan syariah.

3. KEDUDUKAN, STATUS DAN ANGGOTA

1. Dewan Syariah Nasional merupakan bagian dari Majelis Ulama


Indonesia.
2. Dewan Syariah Nasional membantu pihak terkait, seperti Departemen
Keuangan, Bank Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun
peraturan/ketentuan untuk lembaga keuangan syariah.
3. Anggota Dewan Syariah Nasional terdiri dari para ulama, praktisi dan
para pakar dalam bidang yang terkait dengan muamalah syariah.
4. Anggota Dewan Syariah Nasional ditunjuk dan diangkat oleh MUI
untuk masa bakti 4 (empat) tahun.

4. TUGAS DAN WEWENANG

1. Dewan Syariah Nasional bertugas :

210 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
1. Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam
kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada
khususnya.
2. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.
3. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
4. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
2. Dewan Syariah Nasional berwenang :

1. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah dimasing-


masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum
pihak terkait.
2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan
yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen
Keuangan dan Bank Indonesia.
3. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama
yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga
keuangan syariah.
4. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan
dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga
keuangan dalam maupun luar negeri.
5. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional.
6. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan
apabila peringatan tidak diindahkan.

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 211


MEKANISME KERJA

1. Dewan Syariah Nasional.


a. Dewan Syariah Nasional mensahkan rancangan fatwa yang diusulkan
oleh Badan Pelaksana Harian DSN.
b. Dewan Syariah Nasional melakukan rapat pleno paling tidak satu kali
dalam tiga bulan, atau bilamana diperlukan.
c. Setiap tahunnya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan
tahunan (annual report) bahwa lembaga keuangan syariah yang
bersangkutan telah/tidak memenuhi segenap ketentuan syariah sesuai
dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
2. Badan Pelaksana Harian
a. Badan Pelaksana Harian menerima usulan atau pertanyaan hukum
mengenai suatu produk lembaga keuangan syariah. Usulan ataupun
pertanyaan ditujukan kepada sekretariat Badan Pelaksana Harian.
b. Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris paling lambat 1 (satu) hari kerja
setelah menerima usulan /pertanyaan harus menyampaikan permasalahan
kepada Ketua.
c. Ketua Badan Pelaksana Harian bersama anggota dan staf ahli selambat-
lambatnya 20 hari kerja harus membuat memorandum khusus yang berisi
telaah dan pembahasan terhadap suatu pertanyaan/usulan.
d. Ketua Badan Pelaksana Harian selanjutnya membawa hasil pembahasan
ke dalam Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional untuk mendapat
pengesahan.
e. Fatwa atau memorandum Dewan Syariah Nasional ditandatangani oleh
Ketua dan Sekretaris Dewan Syariah Nasional.

3. Dewan Pengawas Syariah

a. Dewan Pengawas Syariah melakukan pengawasan secara periodik pada


lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya.

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 212


b. Dewan Pengawas Syariah berkewajiban mengajukan usul-usul
pengembangan lembaga keuangan syraiah kepada pimpinan lembaga
yang bersangkutan dan kepada Dewan Syariah Nasional.
c. Dewan Pengawas Syariah melaporkan perkembangan produk dan
operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada Dewan
Syariah Nasional sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun
anggaran.
d. Dewan Pengawas Syariah merumuskan permasalahan-permasalahan
yang memerlukan pembahasan Dewan Syariah Nasional.

6.PEMBIAYAAN DEWAN SYARIAH NASIONAL

1. Dewan Syariah Nasional memperoleh dana operasional dari bantuan


Pemerintah (Depkeu), Bank Indonesia, dan sumbangan masyarakat.
2. Dewan Syariah Nasional menerima dana iuran bulanan dari setiap
lembaga keuangan syariah yang ada.
3. Dewan Syariah Nasional mempertanggung-jawabkan
keuangan/sumbangan tersebut kepada Majelis Ulama Indonesia.

Di tetapkan di : Jakarta
Tanggal : 26 Dzulhijjah 1420H
01 April 2000 M

DEWAN SYARIAH NASIONAL


MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua, Sekretaris,

Prof. KH. Ali Yafie Drs. H. Nazri Adlani

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 213


Lampiran 2

TRANSKRIP WAWANCARA PENELITIAN TESIS

Nara Sumber : H. Cecep Maskanul Hakim, M.Ec

Tanggal : 6 Maret 2002

Tempat : Sekretariat DSN-MUI

1. Bagaimanakah sejarah berdirinya Dewan Syariah Nasional (DSN)?


DSN didirikan pada tahun 1998, namun cikal bakalnya sudah ada sejak
1997 setelah MUI mengadakan lokakarya tentang reksadana syariah di
Jakarta. Pada tahun 1998 disusunlah DSN. Pada tahun itu juga
penguerusnya disyahkan pada mukernas MUI di hotel indonesia,
tepatnya pada februari 1998.
2. Secara struktural organisasi, apa hubungan DSN dengan MUI?
DSN itu seperti LPPOM, ia merupakan badan otonom tetapi tetap,
ketua dan sekretaris MUI memimpin DSN secara ex-officio. Selain itu
DSN dilengkapi pula dengan Badan Pengurus Harian (BPH) yang setiap
rabu mengadakan pertemuan untuk membahas rancangan fatwa. Selain
itu BPH juga mengembang tugas-tugas administrative seperti
menangani surat-surat masuk, meneliti bahan-bahan fatwa, meneliti
calon-calon DPS yang akan ditempatkan di LKS-LKS.
3. Selama ini siapa yang menanggung dana operasional DSN?
Tentunya MUI sebagai organisasi pusat. Selain itu DSN juga mendapat
dana bantuan dari Bank Indonesia (BI) dan kita harapkan juga dari
departemen keuangan serta dari iuran lembaga keuangan syariah (LKS)
berupa iuran keanggotaan dan dan iuran bulanan, seperti dari BMI dan
BSM.
4. Apakah pihak-pihak ini juga turut mempengaruhi isi fatwa yang
diambil?

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 214


MUI jelas karena harus sejalan dengan komisi fatwa. Sedangkan BI
bantuannya bersifat tidak mengikat dan tidak mempengaruhi isi fatwa.
Adapun LKS sejauh yang menyangkut fatwa selama itu tidak pernah
terjadi. Karena memang DSN sifatnya independen.
5. Apa tujuan didirikannya DSN?
Sebenarnya tujuan utamanya itu adalah menghindari fatwa-fatwa yang
bertentangan dari DPS-DPS yang ada di LKS. Adapun tujuan tambahan
lain adalah memasyarakatkan, mengembangkan, dan mengawasi
operasonal lembaga-lembaga keuangan syariah.
6. Siapa yang mengajukan usul materi yang akan dijadikan bahan fatwa?
Sekarang ini kebanyakan berdasarkan pertanyaan yang masuk dari
LKS-LKS. Tetapi dulu atas inisiatif DSN khususnya Badan Pelaksana
Harian dengan cara meneliti dari sumber-sumber, dari kitab-kitab
kuning dan praktik dunia keuangan seperti perbankan dan asuransi.
7. Berapa lama suatu fatwa diproses sejak diusulkan?
Tidak tentu, sebab yang menetapkan itu rapat pleno, bukan badan
pelaksana harian, kadang-kadang dua bulan sekali, tiga bulan sekali,
meskipun idealnya sebulan sekali, namun karena kendala waktu,
keuangan dan kesibukan para anggota menyebabkan pertemuan tersebut
tidak dapat dilakukan sebulan sekali.
8. Tahap-tahap apa saja yang harus dilalui sebelum suatu fatwa
ditetapkan?
Pertama dibahas di BPH, terus diajukan ke DSN, baru dikeluarkan
fatwanya. Kemudian ditandatangani oleh ketua dalam bentuk fatwa, dan
terkadang juga dalam bentuk SK.
9. Sumber-sumber apa saja yang dijadikan landasan hukum fatwa oleh
DSN?
Yang pertama adalah kitab-kitab fiqih lama, kemudian kitab-kitab fiqih
kontemporer, selanjutnya hasil-hasil keputusan muktamar seperti
rabitah alam islami, dan juga hasil-hasil keputusan lembaga-lembaga
otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan.
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 215
Adapun sumber-sumber hukum yang dijadikan landasan fatwa-fatwa
adalah al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’, al-Qiyas, dan juga qawaid
fiqhiyah dengan berlandaskan usul fiqh.
10. Apabila ada suatu pilihan hukum manakah yang akan dipilih?
Yang dipilih adalah yang paling maslahah. Bisa jadi ada yang paling
shahih namun tidak maslahah pada masa sekarang maka yang paling
maslahah lah yang dipilih. Maslahah adalah apa yang berlaku di dalam
masyarakat, apabila diubah secara tiba-tiba, maka akan timbul
penolakan. Tarkul ‘Adah ‘Adawah (meninggalkan adat kebiasaan akan
menimbulkan permusuhan). Namun tentunya pertimbangan maslahat ini
dibatasi oleh waktu.
11. Bagaimanakah corak hukum fatwa DSN? Apakah mengikuti salah satu
mazhab fiqih?
Ya, kebanyakan fatwa DSN merujuk pertama-tama kepada mazhab
Syafi’i, tetapi kemudian karena mazhab Syafi’i memiliki kendala-
kendala untuk diterapkan secara konsisten dalam konteks masyarakat
Muslim Indonesia, maka akhirnya kita terbuka terhadap mazhab-
mazhab lainnya, seperti Hanbali dan Hanafi, terutama yang terakhir
disebut yang agak liberal.
12. Apakah DSN juga melakukan talfiq?
Ya, namun dalam rangka mengikuti maslahat yang berlaku, misalnya
dalam mudharabah. Menurut mazhab Syafi’i mudharabah tersebut
sebenarnya pembagian keuntungan kotor, artinya si nasabah yang
menerima pembiayaan tidak boleh mengambil dari modal untuk
keperluan biaya-biaya. Namun menurut mazhab hanafi boleh. Nah,
dalam maslah ini ulama tidak mau menetapkan suatu keputusan karena
nanti malah membatasi, justru menjadi kaku. Padahal perbedaan ini
untuk meluaskan, untuk memperkaya. Kalau ada yang mengatakan
nasabah boleh mengambil biaya, berarti mengikuti mazhab hanafi,
kalau ada bank yang mengatakan nasabah tidak boleh, biaya harus
diambil dari uang nasabah, bukan dari modal, berarti mengikuti mazhab
216 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Syafi’i. Nah, talfiqnya justru bukan di tataran pendapat ulama tetapi di
dalam praktik. Jadi dilihat dari substansinya sebenarnya bukan talfiq,
tetapi dalam rangka mengambil maslahat.
13. Fatwa sebagai produk hukum merupakan produk budaya
masyarakatnya, faktor-faktor sosial-budaya-politik apa sajakah yang
mempengaruhi pengambilan keputusan hukum fatwa DSN?
Yang utama adalah urf tijary atau tradisi dan budaya yang berlaku
dalam bidang bisnis dan keuangan, seperti perbankan dan asuransi.
Tradisi yang berlaku dimasyarkat kita sebenarnya merupakan
pengembangan tradisi fiqh khususnya dari mazhab Syafi’i, misalnya
tradisi gadai. Namu yang kita adopsi dalam fatwa-fatwa DSN bukanlah
urf dalam masyarakat umum dalam pengertian ini tetapi urf tijary.
Seperti masalah biaya pmeliharaan untuk barang gadai. Dalam mazhab
Hanafi untuk gadai tidak ada biaya pemeliharaan, yang ada adalah biaya
nafkah. Seperti seseorang menggadaikan kuda atau kambing, maka si
penggadai harus menyerahkan biaya nafkah kepada penerima gadai.
Sedangkan barang seperti emas atau benda tetap tidak membutuhkan
biaya tersebut. Namun jumhur membolehkan persyaratan biaya ini. Dan
dalam urf tijari, memang biaya pemeliharaan seperti asuransi, biaya
pengamananan, dan sejenisnya merupakan suatu hal yang lazim. Maka
bertemulah di sini urf tijary dengan pendapat jumhur.
Adapun urf politik memang ada yaitu dalam hal yang bersifat
pengaturan yang dilakukan oleh lembaga otoritas dalam hal ini Bank
Indonesia, seperti fatwa tentang pencadangan penghapusan aktiva
produktif, bahkan AAOIFI dan IMF pun telah menetapkan hal tersebut.
Lalu fatwa ini sifatnya time frame, dengan berlalunya waktu itu kan
bisa diubah. Kalau saya pribadi melihat ada qaul jadid dan qaul qadim,
sebagaiman dalam mazhab Syafi’i ada qaul qadim dan qaul jadid.
Karena itu sifatnya time frame (terbatas pada waktu dan tempat).
Apakah pengaruh ini cukup signifikan?

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 217


Ya, karena berpengaruh pada pengaturan di perbankan, dalam lembaga
keuangan syariah juga berpengaruh.
14. Khusu untuk fatwa tentang prinsip distribusi hasil usaha, mengapa
pilihannya dijatuhkan pada prinsip bagi hasil (revenue sharing) dan
bukan bagi untung (profit sharing)?
Revenue sharing yang dimasud adalah bukan bagi hasil tetapi
merupakan keuntungan kotor. Yang dimaksud dengan revenue sharing
dalam fatwa tersebut adalah modalnya pertama-tama dihitung dulu.
Setelah modal dihitung baru keuntungannya dibagi. Sedangkan costnya
itu tidak diperhitungkan. Artinya dalam hal ini kita mengikuti mazhab
Syafi’i. Revenue sharing itu hanya istilah akuntansi, istilah ekonomi,
karena walaupun kita melakukan revenue sharing, kita memberikan
nasabah bagi hasil. Misalnya pendapatan itu 120 juta, pada kenyatannya
bukan 120 juta yang dibagi, namun yang 20 juta itu yang dibagi.
Sedangkan yang 100 juta itukan modal, dikembalikan dulu kepada
bank. Nah, kalau yang disebut profit sharing misalkan, ada ongkos 1
juta maka yang dibagi 19 juta karena itu pendapatan bersih. Tetapi
dalam revenue sharing yang 20 juta itu yang dibagi. Memang inilah
yang terjadi karena
1. Kalau bank melakukan profit sharing dengan nasabah penyimpan,
maka bank akan memotong biaya dari keuntungan yang dihasilkan
oleh bank dari pembiayaan. Nah, persoalan pertama yang muncul,
berapa ukuran cost yang diperlukan oleh bank. Tidak jelas. Tiap
bank akan berbeda-beda.
2. Kalau dipotong ongkosnya untuk bank sebelum dibagi-bagi kepada
nasabah, maka ratenya akan jauh lebih kecil dari bank konvensional
yang didasarkan pada suku bunga, untuk melihat maslahat. Hal ini
dikarenakan nasabah bank syariah masih suka membanding-
bandingkan. Dengan bagi hasil saja yang ada sekarang itu,
pendapatan yang diperoleh nasabah lebih kecil dari suku bunga di
pasar, apalagi dengan profit distribution.
218 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Artinya costnya sudah diambil dulu, tentu akan jauh lebih kecil,
mungkin hanya 1/2nya. Nah itu akan menjadi negatif. Ini akan
menimbulkan kesan- negatif bagi bank-bank syariah. Daya
saingnya akan lebih rendah. Kita memang menyadari bahwa istilah
revenue sharing yang dimaksud fatwa tersebut, meskipun tidak
tertulis dalam fatwa, sifatnya time frame/sementara karena bank-
bank syariah belum bisa memberikan hasil yang lebih baik, maka
digunakan revenue sharing, sebab revenue sharing disini bukan
bagi pendapatan tetapi bagi untung kotor. Dan memang dalam
istilah perbankan yang dimaksud revenue sharing adalah gross
profit, bukan revenue distribution. Begitulah dalam urf perbankan.
Nah kalau itu dikatakan tidak mendidik yah boleh-boleh saja, tetapi
kita bukan tidak sadar membuat fatwa seperti ini bahwa yang betul
istilahnya bukan bagi pendapatan. Pada prakteknya bank juga sadar
bahwa nasabah-nasabahnya yang mendapat pembiayaan bagi hasil
itu harus dibagi-bagi. Itu sudah mafhum di dunia perbankan baik
bank umum, BPRS sampai BMT itu sudah tahu. Nah bahwa ada
yang menyalah-artikan, yah kita lihat nanti perkembangannya
sejauh mana. Saya berharap ini tidak terlalu lama, inikan masalah
waktu. Performance/kinerja bank syariah belum optimal. Yang saya
tahu kalau di Malaysia, Islamic banking bisa memberi profit yang
lebih tinggi daripada bank konvensional, demikian juga yang di
Timur Tengah karena kinerjanya lebih bagus demikian pula sistem
distribusi dana, di samping costnya juga yang lebih rendah. Faktor-
faktor inilah yang membuat mereka bisa memeberikan pendapatan
yang lebih kompetitif kepada nasabah penabung.
15. Sejauh ini bagaimana efektifitas fatwa DSN?
Kebanyakan dilaksanakan sejauh menyangkut kasus yang sifatnya
produk. Jadi saya kira efektif. Tapi sejauh yang menyangkut larangan
transaksi ini belum bisa diukur karena baru satu fatwa yang terkait
dengan hal itu. Di mana kita tidak menyetujui suatu transaksi yang
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 219
dilakukan oleh suatu bank syariah namun oleh bank syariah tersebut
tetap melakukannya.
16. Bagaimana DSN menjembatani kepentingan LKS dan nasabahnya?
Saya melihat bahwa DSN tidak selalu merujuk kepada kedua maslahat
itu sebab kita berpikir bahwa syariah itu bertujuan untuk memelihara
semua kepentingan. Orang menjadi penjual tentu ingin mendapat
untung, yang penting caranya yang betul. Nasabah sebagai pembeli juga
diatur, mendapat barang yang optimal dengan uang yang dikeluarkan.
Kita hanya sebatas memeriksa, memfatwakan, memelihara kepentingan
supaya bank syariah ini sesuai dengan syariah dan nasabahnya pun yang
datang ke bank juga transaksinya sesuai dengan syariah. Apakah itu
kemudian nasabah dirugikan dalam arti bahwa pendapatannya lebih
kecil dari bank syariah yang lain, itu berarti solusinya ada pada bank,
bukan pada DSN. Sejauh bank tersebut melakukan segala sesuatunya
sesuai dengan syariah, soal kemudian nasabah di sini lebih diuntungkan
ketimbang bank syariah yang lain, nah itu sudah politik dagang, strategi
bisnis. Kita menjaga agar nasabah di bank syariah tidak dirugikan, tidak
mendapatkan yang lebih kecil dari apa yang didapatkan di bank
konvensional. Tetapi itu bukan saja tugas DSN tetapi juga semua pihak:
para manajer, komisaris, bankir, dan para anggota DSN.
17. Sejauh ini adakah fatwa-fatwa yang sebenarnya tidak ada dalam
ketentuan syariah, namun dalam rangka kompetisi, fatwa tersebut harus
dikeluarkan?
Apabila yang dimaksud adalah fatwa itu berhubungan dengan bank
syariah dan itu tidak ada kaitannya dengan masalah syariah, maka itu
hampir tidak ada karena semuanya diatur dalam syariah. Masalahnya
adalah apakah relevansinya tinggi atau tidak seperti metode
pembukuan, apa harus cash atau accrual, barangkali secara syariah tiu
sifatnya teknis. Kalau dibilang tidak ada hubungannya dengan syariah,
itu tidak betul. Masalahnya adalah sejauh mana tingkat relevansinya.
Dalam bank syariah masalah metode pembukuan ini relevansinya itu
220 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
besar karena mengatur hak dan kewajiban menyangkut kepentingan
nasabah. Apakah sudah waktunya nasabah menerima pendapatan atau
belum. Itukan sudah diatur. Sedangkan masalah tentang revenue dan
profit distribution, misalnya itu dekat sekali relevansinya dan perlu
difatwakan.
18. Sebagi orang dalam DSN bagaimana bapak menilai kinerja DSN?
Saya kira lamban. Selama ini yang efektif adalah badan pengurus
harian. Sedangkan anggota-anggota DSN ini karena belum full timer,
maka banyak kesibukan-kesibukan lain yang terkadang menjadi
hambatan untuk kinerja DSN yang optimal.
19. Kelemahan substansi?
Pada kitab-kitab fiqih klasik, satu masalah terkadang terjadi sampai
sampai lima pendapat yang berbeda, ada yang mengatakan boleh, tidak,
makruh, misalnya. Meskipun kita berusaha memilih yang paling arjah,
namun terkadang pendapat yang muncul itu tidak satu. Banyak faktor
yang mendorong hal itu, bisa jadi didorong maslahah, kepentingan atau
bahan yang mesti dibaca tidak tersedia. Tetapi sejauh ini fatwa yang
menyangkut transaksi, bahannya cukup banyak tersedia. Hanya fatwa-
fatwa yang menyangkut teknis perbankan yang memang tidak dijumpai
dikitab-kitab fiqih klasik. Adapun kelemahan substansial lainnya adalah
pada masalah sumber daya manusia. Kebanyakan anggota DSN adalah
para ulama, hanya sedikit pakar dibidang keuangan.

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 221

Anda mungkin juga menyukai