Penulis:
nurhidayah@uinjkt.ac.id
FATWA-FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL
Kajian Terhadap Aspek Hukum Islam Perbankan Syariah di Indonesia
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Penulis
Nur Hidayah, Ph.D
Editor:
Dr. Imam Subchi, MA
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Copyright © 2019
Cet. Ke-1 November 2019
ISBN 978-623-7798-06-4
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dicetak oleh:
Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen)
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Alamat:
Gedung Rektorat Lantai III, Kampus I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jalan Ir. H. Djuanda No. 95 Ciputat 15412
Telp. +6221 7401925, Faks. +6221 7402982, E-mail: puslitpen@uinjkt.ac.id
Website: http://puslitpen.uinjkt.ac.id
ii | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
DAFTAR ISI
iv | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
vi | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
PENDAHULUAN
1 Ali Ausaf, The Political Economy of The Islamic State: A Comparative Study,
hukum bunga bank. Para ulam yang tergabung dalam wadah NU melalui Lajnah Bahtsul
Masail di Bandar Lampung, 1982, menetapkan status bunga bank yag masih diperselisihkan:
ada yang menetapkan haram, boleh, dan syubhat. Demikian pula Muhammadiyah melalui
Lajnah Tarjih di Sidoarjo menetapkan keharaman bank dengan sistem riba, sedangkan bunga
yang diberikan bank-bank milik Negara kepada para nasabah atau sebaliknya ditetapkan
sebagai suatu perkara yang mutasyabihat.
Fat w a-fat w a D ew an Sy ari ah N as i on al |1
Hal-hal inilah yang menumbuhsuburkan pembahasan ekonomi Islam
di tanah air akhi-akhir ini. Berbagai publikasi, penelitian, seminar,
pelatihan, bahkan lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-
formal mulai mejadikan disiplin ini sebagai objek kajian. Fenomena ini
dapat dimaklumi khususnya di masa krisis ekonomi yang berkepanjangan
di mana masyarakat mulai mencari upaya alternatif dalam membantu
penyelesaian krisis. Hal ini antara lain mampu dibuktikan oleh kemampuan
survival bank-bank syariah di tengah-tengah hantaman krisis moneter3
sehingga masyarakat mulai melirik potensi yang ditawarkan oleh lembaga-
lembaga perekonomian Islam khususnya Perbankan Syariah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu ekonomi Islam yang melahirkan
konsep lembaga keuangan syariah khususnya perbankan syariah pada
awalnya merupakan satu kesatuan dengan ilmu fiqih, khususnya fiqih
muamalah maliyah. Para fuqoha inilah yang berusaha mengistinbatkan
hukum berbagai permasalahan dari sumber-sumber utama ajaran Islam
yaitu Al-Qur’an dan Sunnah dan mensistematikakannya dalam kajian fiqih.
Dalam hal tidak ditemuinya dasar hukum suatu permasalahan baik dalam
Al-Qur’an maupun Sunnah maka dilakukan ijtihad4 untuk menentukan
hukumnya
Menurut Yusuf Qardhawi bidang ekonomi dan keuangan merupakan
salah satu lapangan ijtihad yang relatif baru pada masa kini. Kehadiran
ijtihad di bidang ini memiliki makna signifikan tersendiri karena di bidang
inilah telah terjadi perubahan yang cukup intens dan berskala besar.
Semakin modern-nya dunia bisnis, munculnya berbagai lembaga keuangan
dengan beragam jasa yang ditawarkan memunculkan pertanyaan seputar
3
Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah, Lingkup, Peluang, Tantangan, dan
Prospek, (Jakarta: Alvabet, 2000), h.ix
4 Ijtihad secara bahasa merupakan bentuk derivatid dari kata al-juhd berarti
A. Pengertian Fatwa
Secara etimologis kata fatwa merupakan bentuk mashdar dari kata fata
yaftu bermakna ‘muda, baru, penjelasan, penerangan’.13 Sedangkan menurut
istilah, sebagaimana dinyatakan Yusuf Qardhawi, ‘menerangkan hukum
syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan
oleh peminta fatwa baik secara perorangan maupun kolektif.14 The Oxford
Encyclopedia of The Modern Islamic World mendefinisikan fatwa sebagai
‘an unbinding legal opinion issued in response to the question of a
mustafti.15
Dalam masalah fatwa ini yang merupakan produk hukum, maka perlu
dijelaskan unsur-unsur yang terkait erat dengannya. Pertama, kegiatan
menerangkan hukum syara’ sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan,
13 Ibnu Manzur al-Ifriqy, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar al-Shadir, 1990), J, XV, h.147
14 Yusuf al-Qardhawy, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997), h.5
15 John L. Esposito, “Fatwa”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World,
Tradisi fatwa sendiri telah berlangsung sejak masa Nabi ketika Al-
Qur’an masih diturunkan secara bertahap. Bahkan terdapat peristiwa-
peristiwa dimana para sahabat meminta fatwa kepada Nabi kemudian
direkam dalam ayat-ayat yang sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan
tersebut seperti QS An-Nisa’ [4]:127:
سآءِ ؕ قُ ِل ہ
ّٰللاُ يُفتِيکُم فِي ِہنؐا او ياست افتُونا ا
ک فِی النِ ا
Pada masa Nabi, beliaulah sendiri dengan tuntutan wahyu dari Allah
yang berfungsi sebagai mufti dari berbagai persoalan yang muncul.
Sepeninggal beliau, tradisi ini diteruskan oleh para sahabat yang berpencar
ke berbagai daerah, sehingga masing-masing daerah memiliki mufti masing-
masing. Para mufti tersebut meneruskan ilmunya kepada murid-muridnya,
dan hal ini terus berlangsung dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
17 Istinbath, secara bahasa berarti mengeluarkan air dari dalam tanah (mata air), sedangkan
secra istilah, istinbath bermakna mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada
dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal, lihat ’Ali Ibn Muhammad al-
Jurjani, Kitab atl-Ta’rifah, (Jeddah, al-Haramain, t.th), h.10
18 Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), h. 212
19 Ijtihad secara etimologi bermakna mencurahkan segala kemampuan dan daya, Ibn al-
Manzur al-Ifriqi, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar al-Shadir, 1990), j.III, h. 133-135, secara istilah,
menurut al-Syaukani, pengerahan segala kemampuan dalam memperoleh hukum syar’I yang
bersifa ‘amali melalui cara istinbath, Muhammad ‘Ali Ibn Muhammad Asy-Syaukani, Irsyad
al-Fukhul Ila Tahqiq al-Haqq Min ‘Ilm al-Usul, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994),
h.370, sedangkan Ibnu Subki mendefinisikan ijtihad sebagai pengerahan kemampuan seorang
faqih untuk menghasilkan dugaan kuat (zhan) tentang hukum syara’, Sa’alibi (al) al-Fasi, al-
Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995),j. III, h.
493. Dari definisi-definisi tersebut dapatlah diambil intisari dari ijtihad: 1. Ijtihad adalah
pengerahan segala daya nalar secara maksimal; 2. Ijtihad dilakukan oleh orang yang mencapai
derajat tertentu dibidang keilmuwan yang disebut faqih; 3. Hasil yang diperoleh dari usaha
ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliyah; 4. Ijtihad
ditempuh melalui cara-cara istinbath
20 Anis ‘Ubadah, Tarikh al-Fiqh al-Islami ‘Ahd an-Nubuwwah was-Sahabah wat-
1. Al-Qur’an
كالم هللا المنزل على رسو ل هللا محمد المكتوب في المصاحف المنقول ا لينا نقال متواترا
Kalimat كالم هللا المنزل على رسو ل هللا محمد المكتوب في المصاحف
mengecualikan kitab-kitab yang lain, hadist qudsi, hadist Nabi, dan yang
lainnya. Kalimat المنقول ا لينا نقال متواترmengecualikan qiraat (bacaan-
bacaan) yang syadz. Dengan demikian al-Qur’an adalah kitab samawi
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang disampaikan secara
mutawattir, sehingga terjadi otentisitasnya bahkan dari qiraat yang syadz
sekalipun.
Kehujjahan al-Qur’an
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 13
yang menggali hukum Islam tidak dibenarkan menjadikan dalil lain
sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat al-Qur’an.
Apabila tidak ditemukan dalam al-Qur’an barulah beralih kepada
sumber hukum yang lain.
ض اما أا ْنزا ال ه
ّٰللاُ إِلايْكا ّٰللاُ اوَل تاتهبِ ْع أا ْه اوا اءهُ ْم اوا ْحذا ْرهُ ْم أا ْن يا ْفتِنُوكا ا
ِ ع ْن با ْع اوأا ِن ا ْحكُ ْم با ْينا ُه ْم بِ اما أا ْنزا ال ه
اس لافاا ِسقُونا ً ض ذُنُو ِب ِه ْم او ِإ هن اكث
ِ ِيرا مِنا النه ِ ّٰللاُ أا ْن ي
ِ ُصي اب ُه ْم ِب اب ْع فاإِ ْن ت ااوله ْوا فاا ْعلا ْم أانه اما ي ُِريدُ ه
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. QS. An-Nisaa: 59.
14 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Merujuk pada ayat-ayat tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa Al-Qur’an adalah pokok dari segala sumber hukum dalam
menetapkan dan memutuskan suatu permasalahan yang dihadapi oleh
manusia, termasuk menjadi sumber hukum utama dalam penetapan
hukum bisnis Islam. Semua aturan bisnis dalam Islam haruslah
didasarkan kepada Al-Qur’an, semua yang telah diharamkan oleh Al-
Qur’an maka keharamannya adalah mutlak dan tidak bisa diganggu
gugat. Demikian pula sesuatu yang diboleh dalam Al-Qur’an maka
boleh untuk melaksanakannya selama tidak ada dalil lain yang
memalingkan hukumnya.
1. Hukum-Hukum I’tiqadiyah
Yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban mukallaf
untuk beriman kepada Allah, Malaikat, Rasul-Rasul-Nya, dan Hari
Akhir.
2. Hukum-Hukum Akhlaqiyah
Yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah akhlak baik yang
terpuji maupun tercela.
3. Hukum-Hukum ‘Amaliyah
Yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah perbuatan,
perkataan, perikatan, dan kerjasama antara sesame manusia. Bagian
ketiga inilah yang disebut sebagi fiqih al-Qur’an. Selanjutnya hukum-
hukum amaliyah ini diperinci menjadi:
a. Ahkam al-Ibadah yaitu hukum yang berkaitan dengan masalah
kewajiban mukallaf seperti shalat, zakat, haji, puasa, dan jihad yang
termuat dalam 140 ayat.
b. Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah (Hukum Keluarga) yaitu hukum
yang berkaitan dengan masalah keluarga mulai dari
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 15
pembentukannya. Hukum ini mengatur tentang hubungan suami-istri
dan kerabatnya. Ayat -ayat mengenai hukum tersebut sekitar 70
ayat.
c. Ahkam al-Jinayah (Hukum Pidana) yaitu hukum yang berhubungan
dengan masalah pidana dan akibat-akibat hukumnya. Jumlah ayat
mengenainya sekitar 30.
d. Ahkam al-Murafa’at (hukum acara) yaitu hukum yang berhubungan
dengan pengadilan, kesaksian dan sumpah. Jumlahnya sekitar 13
ayat.
e. Al-Ahkam al-Dusturiyyah (hukum perundang-undangan)yaitu
hukum yang berkaitan dengan asas dan tata cara pembentukan
hukum. Jumlahnya sekitar 10 ayat.
f. Al-Ahkam al-Dauliyah (hukum Internasional) yaitu yang
berhubungan dengan pergaulan antar bangsa di dunia. Jumlah
ayatnya sekitar 25 ayat.
g. Al-Ahkam al-Madaniyah (hukum privat) yaitu yang berhubungan
dengan muamalah antar individu, masyarakat, dan badan-badan
usaha. Jumlah ayatnya sekitar 70.
h. Al-Ahkam al-Iqtishadiyah wa al-Maliyah (hukum ekonomi dan
keuangan) yaitu yang berkaitan dengan pengaturan hak-hak orang
miskin, pengaturan sumber-sumber ekonomi, hubungan ekonomi
antara individu, masyarakat, dan Negara. Jumlah ayatnya sekitar 10
ayat.23
Jumlah keseluruhan ayat hukum tersebut di atas adalah 368 ayat.
Dari jumlah tersebut sekitar 20% nya merupakan bidang yang berkaitan
dengan ekonomi dan segala perikatan yang berkaitan dengannya.
23 Abd Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Qalam, 1978), h..32
16 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
kita. Sedangakan dari segi penunjukan (dilalah)nya terhadap hukum
terbagi dua, yaitu: a. Qath’iy al-Dilalah;
Yang dimaksud dengan nash qath’iy al-dilalah yaitu nash yang
menunjukkan kepada arti yang jelas untuk dipahami, sehingga nash itu
tidak dapat ditakwilkan dan tidak menerima arti lain, seperti ayat-ayat
mawarist yang menerangkan bagian-bagian dzawil furudh.
b. Zhanniy al-Dilalah.
Adapun nash yang zhanniy al-dilalah adalah nash yang menunjukkan
kepada arti yang masih dapat dita’wilkan atau dialihkan kepada arti yang
lain. Seperti lafal “quru” dalam QS al-Baqarah:227 yang merupakan lafal
musytarak, dapat berarti suci dan dapat berarti haidh. Atas dasar tersebut
para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan dalam menentukan
lamanya iddah bagi wanita yang dithalaq suaminya, antara tiga kali masa
haidh atau tiga kali masa suci.24
2. As-Sunnah
24 Ibid., h. 34-35
25 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis’Ulumuh wa Mustalahuh, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1989), h. 19
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 17
demikian al-Sunnah merupakan sumber hukum yang tidak dapat
dipisahkan dari al-Qur’an.
Atas dasar itulah kaum muslimin juga sepakat sunnah Nabi sebagai
dalil/sumber hukum. Hanya ada segelintir kaum khawarij yang tidak
memandang sunnah sebagai dalil, yang kemudian pandangan ini
melahirkan kaum ingkar al-Sunnah27, namun ini hanyalah segolongan
kecil.
تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجد،عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي
Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah dua sumber hukum Islam yang paling
utama, keduanya tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang
lainnya. Sesuatu yang diharamkan di dalam keduanya memiliki kedudukan
yang sama, sehingga jika As-Sunnah mengharamkan sesuatu maka sejatinya
28
Abd al-Wahhab Khalaf, Op. Cit., h.45
29 Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., h. 157-158, lihat juga al-Syaukani, Op. Cit., h.73,
Wahbah az-Zuhaili, Op. Cit., h.., h. 30
30 Muhammad al-Khuduri Bek, Usul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr,1998), h.285
31 Nasrun RUsli, Konsep Ijtihad asy-Syaukani, (Jakarta: Logos, 1999), h.30
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 19
Salam Madkur berpendapat bahwa ijma' adalah “Kesepakatan para
mujtahid dari umat Islam atas hukum syara' (mengenai suatu masalah) pada
suatu masa sesudah Nabi wafat. Sementara Abdul Wahab Khalaf
mengatakan bahwa Ijma' adalah bersepakatnya seluruh ulama mujtahid dari
kaum muslimin pada suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad
Shalallahu Alaihi Wassalam pada hukum syar'i yang mereka hadapi.
Ada ikhtilaf di kalangan para ulama berkenaan dengan ijma' ini seperti
disebutkan Muhammad Salam Madkur, menurut Imam Malik bahwa ijma'
yang dapat diakui adalah ijma fuqaha ulama Madinah, sedangkan menurut
kalangan Syiah, ijma' yang diakuinya adalah hanya ijma' dari kalangan
mujtahidin Syi'ah dan menurut Imam Ahmad dan Madzhab Dzahiry yang
diakui terjadi hanyalah ijma' shahabat.
4. Qiyas
Qiyas secara bahasa berarti mengukur dan menyamakan antara dua hal,
baik yang konkret, seperti benda-benda yang dapat dipegang, diukur dan
sebagainya, maupun benda yang abstrak seperti kebahagiaan, kepribadian
dan sebagainya. Penulis Syarh Al-Waraqat menyebutkan bahwa qiyas adalah
20 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
“Mengembalikan hukum furu' (cabang) kepada hukum Ushul (pokok)
dengan sebab adanya illat yang sama”.
Pada zaman sekarang ini urgensi dari qiyas begitu banyak, mengingat
semakin berkembangnya hal-hal baru yang tidak ada nash dalilnya baik dari
Qiyas menjadi dalil hukum dalam Islam yang saat ini semakin
berkembang, apalagi dalam ranah hukum bisnis Islam di mana diperlukan
adanya penetapan hukum yang didasarkan pada qiyas. Sehingga
pengembangan dari qiyas harus terus dilakukan untuk menjawab berbagai
persoalan yang dihadapi saat ini dan di masa yang akan datang.
5. Istihsan
Istilah istihsan secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang memiliki
akar kata hasan, yaitu kata استحسانا-يستحسن-( استحسنihtasana-yastahsinu-
istihsaanan) yang bermakna menganggap sesuatu yang baik atau mengikuti
sesuatu yang baik. Wahbah Al-Zuhaily berpendapat bahwa kata istihsan
menurut bahasa Arab bermakna ( عد الشء واعتقاده حسناmemilih suatu masalah
yang dianggap lebih baik dari yang lainnya). Sedangkan Abdul Wahab
Khalaf mengatakan bahwa istihsan secara bahasa adalah “Memperkirakan
sesuatu hukum yang dianggap terbaik”.
2. Analisa berdasarkan segi pemakaian makana (bi I’tibar isti’mal al-lafz lil-
ma’na)
3. Analisa berdasarkan segi terang dan samrnya makna (bi I’tibar dalalah al-
lafz ‘ala al-Ma’na bi hasab zuhur al-ma’n wa khafa’ih)
35 Ma’ruf ad-Dawalibi, al-Madkhal Ila ‘Ilm Usul al-Fiqh, (Lebanon: Dar al-Kitab al-
Jadid, 1965), Cet. V, h. 422
36 Ibid
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 31
4. Analisa berdasarkan segi penunjukan lafadz kepada makna menurut
maksud pencipta nash (bi I’tibar kafiyyah dalalah al-lafz lil-ma’na).37
Dari segi makna lafaz, ada suatu lafal yang ditempatkan untuk
menunjukkan suatu makna tertentu (khass) dan ada pula suatu lafal yang
ditempatkan untuk menunjukkan makna umum (‘amm); ada lafal yag
mengacu kepada dua makna atau lebih (musytarak) dan ada pula dua lafal
atau lebih yang mengacu kepada satu makna (muradif); dan adapula lafal
jama’ yang mencakup satuan-satuan yang banyak, akan tetapi tidak
mencakup seluruh satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya
(jama’munakkar).
Dari segi pemakaian arti, ada lafal yang menunjuk kepada pengertian
yang asli (al-haqiqah) dan ada lafal yang menunjuk kepada pengertian yang
lain yang bukan makna asli, karena ada suatu indikasi yang menghendaki
demikian (al-majaz); selain itu ada pula suatu lafal yang mengacu kepada
pengertian yang jelas karena pengertian tersebut telah lazim dipakai (sarih),
dan ada pula lafal yang samar maksudnya karena baru diketahui karena ada
indikasi lain yang membantu untuk mengetahui maknanya (kinayah).
Dari segi terang dan samarnya makna, ada lafal yang petunjuk
maknanya jelas tanpa memerlukan lafal lain untuk memperjelasnya (wadih
ad-dalalah) dan adapula yang tidak jelas petunjuk maknanya kecuali ada
lafal lain yang membantu untuk menjelaskannya (khafi ad-dalalah)38
37
Ibid, h. 179
38 Menurut Hanafiyah lafal yang petunjuk maknanya (wadhih al-dilalah) jelas terbagi
empat, yaitu: (1). Al-zhahir, (2). Al-nashsh, (3). Al-mufassar, (4). Al-muhkam;yang pertama
petunjuk maknanya jelas, lalu kejelasan makna tersebut disusul lagi yang selebihnya, dan
yang terakhir adalah yang paling jelas petunjuk maknanya; sedangkan menurut ulama
Syafi’iyyah lafal yang demikian hanya dibagi atas dua bentuk: (1). Al-zhahir (masih mungkin
menerima takwil) (2). Al-nashsh (tidak menerima takwil)
32 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
(al-mantuq) dan ada lafal yang petunjuk teksnya mengacu kepada makna
implisitnya (al-mafhum).39
Selain itu termasuk dalam metode ini adalah tata cara penyelesaian
dalil-dalil yang secara lahiriyah terlihat bertentangan (ta’arud al-adillah),
yang mencakup kompromi antara nash-nash yang berlawanan (al-jam’ wa al-
taufiq), mengamalkan dalil yang lebih kuat dan menegaskan yang lebih
lemah (tarjih)40, menghapus ketentuan dalil yang datangnya lebih dahulu
(naskh al-Mansukh), atau tidak mengamalkan kedua dalil tersebut dan
berpaling kepada dalil lain (tawaqquf).41
b. Metode Ta’lili
39 Menurut Hanafiyah membagi lafal dalam kategori ini menjadi empat: (1). Dalalah
al-ibarah, (2). Dalalah al-Isyarat, (3). Dalalah al-dalalah, (4). Dalalah al-iqtidha
40 Pada masa kini tarjih tidak hanya diartikan sebagai upaya menyeleksi pendapat-
pendapat yang berkembang dalam mazhab tertentu, tetapi lebih luas cakupannya yaitu
meneyeleksi beragam pendapat pendapat dari beragam mazhab, kemudian diambil pendapay
tang rajih, berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, Yusuf al-Qardhawi menyebut
pendekatan istinbat dalam bentuk ini dengan ijtihad tarjihi atau intiqa’I, lihat Yusuf al-
Qardhawi, al-Ijtihad fi asy-Syari’ah al-Islamiyah Ma’a Nazrah Tahliliyyah fil-Ijtiha al-
M’asir, (Kuwait:Dar al-Qalam, 1985), h.115. Coulson menyebut upaya dalam bentuk ini
‘takhayyur’ atau electric expedient (pilihan bebas), lihat N.J. Coulson, A History of Islamic
Law, (Edinburg:Edinburg University Press, 1964), h.185
41 Urutan diatas dipaki oleh jumhur ulama dalam menyelasaikan ta’arud al-Adillah,
sedangkan melakukannya dengan urutan: naskh al-Manasukh, tarjih, al-Jam’ wal-taufiq, dan
tawaqquf
42 Qiyas, secara bahasa berarti analogy, secara istilah qiyas bermakna ‘penerapan
hukum suatu kasus yang ditegaskan hukumnya oleh nash kepada kasus yang tidak ditegaskan
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 33
Penalaran yang dipakai berusaha melihat apa yang melatarbelakangi
suatu ketentuan hukum dalam al-Qur’an atau Hadist. Dengan kata lain apa
yang menjadi illat (nilai hukum/sebab efektif) dari suatu peraturan.45
Menurut ulama, semua ketentuan hukum mengandung illat, karena tidak
layak tuhan memberi peraturan tanpa tujuan dan maksud yang baik.46
hukumnya oleh nash atas dasar persamaan illat yang terdapat pada kedua kasus tersebut’, lihat
Abd al-Wahhab Khallaf, Op.Cit., h. 52
43 Istihsan adalah meninggalkan qiyas jaly untuk menjalankan qiyas khafi atau beralih
dari tuntutan keumuman nash kepada norma hukum yang khusus, atau meninggalkan hukum
kulli untuk menjalakann hukum istitsna’i disebabkan ada dalil yang membenarkannya, lihat
Ibid, h.79
44 Muhammad Salam Madkur, Manahij al-Ijtihad fil-Islam, (Kuwait:al-Matba’ah al-
diketahui secara objektif (zahir), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya
(mundabit) dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib), yang keberadaannya merupakan
penentu adanya hukum
46 Sya’labi, Ta’lili al-Ahkam (Kairo: Dar an-Nahdah al-‘Arabiyah, 1981), h.150
47
Secara garis besar proses penemuan illat dapat dilakukan melalui tiga tahap: (1).
Takhrij al-Manat, menginventarisasi beberapa sifat yang diduga dapat dijadikan illat, (2).
tanqih al-Manat, menyeleksi beberapa sifat yang telah diinventarisasi pada tahap pertama,
dan (3). tahqiq al-Manat, membuktikan keefektifan illat, apakah dapat diterapkan pada furu’
ataukah tidak, uraian selengkapnya tentang masalah ini dapat dilihatdalam ‘Ali Hasballah,
Op. Cit, h. 189
48 Sya’labi, Op. Cit, h.142
34 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
berhubung diketahui illat pentasyri’an peraturan tersebut, maka para ulama
berani menakwilkan maknanya sesuai dengan illat yang dipahami tadi,
sehingga hukum yang muncul bergeser dari pemahaman sebelumnya atau
berbeda dengan arti harfiyahnya.
c. Metode Istishlahi
50Secara bahasa masalih merupakan bentuk jama’ dari maslahah, yaitu memelihara
maksud syar’i dalam penetapan hukum: mendatangkan manfaat dan mencegah
mafsadah/bahaya. Sedangkan mursalah bermakna mutlaq, yaitu tidak merujuk kepada nash
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 37
‘urf,51 dan istishab.52 Hal ini disebabkan karena pertimbangan utama para
ulama dalam menerima dalil-dalil tersebut adalah faktor kemashlahatan.
tertentu dan tidak ada dalil yang menetapkan status hukumnya akan tetapi kebutuhan manusia
menghendakinya dan syariah tidaka melarangnya. Secara istilah al-masalih al-mursalah
berarti maslahat-maslahat yang tidak ditetapkan oleh syara’ suatu hukum untuk
mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil syara’ yang memerintahkan untuk
memperhatikan atau mengabaikannya. Untuk ditetapkan suatu maslahat menjadi maslahat
mursalah diperlukan syarat-syarat: pertama, maslahat tersebut haruslah maslahat yang haqiqi
(sejati) bukan yang hanya berdasarkan wahm (perkiraan) saja; kedua, maslahat tersebut
hendaklah kemaslahatan yang umum, bukan kemaslahatan yang khusus untuk perorangan;
ketiga, kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar yang telah digariskan oleh
nash atau ijma’. Contoh maslahah mursalah adalah keputusan Abu Bakar untuk memerangi
orang-orang yang enggan membayar zakat, dan kewajiban qisash atas orang banyak yang
membunuh seseorang, lih Abd al-Wahhab al-Khallaf, Op. Cit., h. 84
51 Secra bahasa ‘urf berarti adat. Secra istilah ‘urf berati apa-apa yang telah
dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus-menerus baik berupa perkataan, perbuatan.
Sebenarnya ‘urf bukanlah dalil syara’ yang mandiri, pada umumnya ‘urf dilaksanakan untuk
memelihara al-maslahah al-mursalah. Maka terkadang qiyas ditinggalkan disebabkan oleh
‘urf ini, atas dasar inilah maka qiyas istishna’ tidaklah sah karena termasuk aqad atas obyek
yang tidak ada, lih. Ibid
52 Secara bahasa istishab bermakna meminta pertemanan. Secara syara’ bermakna
menetepkan hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang
merubahnya. Menurut sebagian ulama istishab ini terbagi menjadi dua: pertama, istishab
hukum akal atas dasr ibahah atau al-baraah al-ashliyah, misalnya segala macamperikatan dan
perjanjian yang diadakan oleh manusia untuk saling mempertukarkan harta benda dan
manfaat, selam tidak ada dalil yang menunjukkna keharamannya adalah mubah mengingat
bahwa dasar segala sesuatu dalm muamalah adalah mubah kecuali ada dalil yang menujukkan
sebalknya. Kedua, kecualiada dalil yang menunjukkan sebaliknya. Kedua, istishab hukum
syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada suatu dalilpun yang merubahnya, misalnya
apabila seorang berwudhu’, kemudian ia ragu apakah sudah batal atau belum,maka ia
dihukumi sebagi orang yang masih dalam keadaan berwudlu’, berdasarkkan istishab terhadap
hukum suatu peristiwa yang mendahuluinya secara yakin.
53Muhammad Salam Madkur, Loc.Cit
38 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
kemaslahatan umum dengan memberikan kemanfaatan dan menghindari
kemafsadatan bagi umat manusia yang bertujuan untuk memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Maqashid syariah tersebut dapat tercapai
jika perintah syariat dilaksankan sebaik-baiknya.dan sebaliknya larangan
syariat dijauhi.
54 Fath az-Zari’ah berarti sesuatu yang akan membawa pada perbuatan baik dan
menimbulkan maslahat, lihat Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa ad-Dilatu, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1989), h. 429
55 Sad az-Zariyah, berarti sesuatu yang akan membawa pada sesuatu yang terlarang
Demikian pula dari segi niat, jika niat melakukan perbuatan hukum
tersebut itu baik sesuai tuntutan syari’ah, maka peluangnya harus dibuka,
baik dengan wajib, nadb, ataupun ibahah, sesuai dengan bobot maslahat
yang akan ditimbulkannya. Sementara jika niatnya buruk hatus ditutupi
peluangnya baik dengan haram maupun makruh, sesuai dengan bobot
mafsadah yang akan ditimbulkannya57. Pada pembahasan tentang sisi niat
inilah para ulama memperselisihkan status hukum hiyal58 terdapat dzari’ah
yang menurut asalnya diperbolehkan akan tetapi orang yang mengerjakannya
bermaksud menggunakannya sebagai media untuk menghindari ketentuan
syariah. Sebagian ada yang memperbolehkan sedangkan jumhur tidak
memperbolehkannya59
56 Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewab Hisbah Persis, (Jakarta: Logos,
1999), h.74
57 Ibid
58
Secara bahasa Hiyal merupakan bentuk jama’ dari hilah yang berarti mengalihkan,
secara istilah para fuqoha mendefinisikan sebagai ‘suatu siasat yang digunakan untuk
menghindari wajib syariat’ seperti mengibahkan harta benda yang sudah mencapai nishab
menjelang tahun zakat kepada orang yang diyakini akan mengembalikannya sesudah tahun
zakat tersebut lewat dalam rangka mengurangi nishab sehingga ia terhindari dari wajib zakat,
lihat ‘Ali Hasaballah, Op. Cit, h.286
59 Ibid,h. 286-290
40 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA DAN POSISI DEWAN
SYARIAH NASIONAL
kuliah Ekonomi Islam Ramadhan 1422 H Bank IFI Syariah, 5 Desember 2001, h. 2
61 Luis Ma’luf al-Yusu’iyy, al-Munjid fi al-Lugah wal-A’lam , (Beirut: Dar al-
42 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
penjajahan ke negara jajahannya baik di Asia, Afrika, maupun
Amerika65.
Dalam kerangka ekonomi umat Islam, istilah bank memiliki term
tersendiri, yakni bank Islam. Ia berarti bank yang beroperasi atas dasar
prinsip (syariah) Islam. Menurut Karnaen A. Perwataatmadja, bank
Islam memiliki dua pengertian, yakni: a. Bank yang beroperasi sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam; b. Bank yang tata cara beroperasinya
mengacu kepada ketentuan-ketentuan al-Qur’an dan Hadist66.
Ada beberapa pakar yang berusaha memberikan definsi yang jelas
mengenai bank Islam, diantaranya:
1. Husain Syahtah mendefinisakan bank Islam sebagai lembaga asset Islam
yang didirikan untuk memberikan pelayanan perbankan dan pelayanan
yang menguasai segala aktifitas pendanaan dan investasi dalam berbagai
sektor yang sesuai dengan kaida-kaidah dan hukum-hukum syariat Islam
dengan sasaran untuk berpartisispasi menanamkan norma-norma,
persamaan dan akhlak yang Islami dalam bidang muamalah dan
membantu untuk mewujudkan pertumbuhan sosio-ekonomi supaya
terwujud kehidupan yang baik bagi umat Islam.67
2. Ahmad an-Najjar berpendapat bahwa bank Islam adalah lembaga asset
Islam yang didirikan untuk menghimpun segala aktifitas perbankan,
permodalan, perdagangan, aktifitas-aktifitas investasi dan pengembangan
proyek-proyek industri, pertumbuhan ekonomi, kemakmuran dan
partisispasi dalam ekonomi nasional dan internasional.68
3. Menurut Gharib al-Jamal, bank Islam adalah setiap lembaga yang
menguasai segala aktifitas perbankan serta memastikan untuk
Sistem perbankan syariah merupakan bagian dari konsep yang lebih luas
tentang ekonomi Islam, dimana tujuannya, sebagaimana dianjurkan oleh para
ulama, adalah mempromosikan aplikasi sistem nilai dan etika Islam ke dalam
lingkungan ekonomi. Karena dasar etika inilah, maka sistem perbankan
syariah bagi kebanyakan muslim adalah bukan sekadar sistem transaksi
komersial.persepsi Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak
kalangan muslim sebagai kewajiban agamis.
Namun, diskusi itu juga belum memberikan kabar gembira bagi umat
muslim atas tekad pendirian bank Islam di Indonesia. Kemudian gagasan ini
muncul kembali pada tahun 1988, disaat pemerintah mengeluarkan Paket
Kebijakan Oktober (PAKTO) yang berisi liberalisme Industri Perbankan.
Walaupun lebih banyak bank konvensional yang berdiri, beberapa bank
daerah yang berasaskan syariah juga mulai bermunculan. Pada saat itulah
para ulama Indonesia berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi
tidak ada satupun perangkat hukum untuk dijadikan dasar pendiriannya,
kecuali bahwa bank dapat menetapkan bunga sebesar 0%. Sehingga gagasan
masih gagal dilakukan oleh para ulama di Indonesia.
Pada tahun 2008 bertambah dua Bank Umum Syariah yaitu unit Usaha
Syariah yang melakukan spin-off (BRI Syariah dan Bank Syariah Bukopin),
pada tahun 2009 bertambah satu lagi Bank Umum Syariah di Indonesia yaitu
BNI Syariah. Pada tahun 2010 s.d. sekarang terjadi perkembangan yang
pesat dengan pertambahan 6 Bank Umum Syariah di Indonesia yaitu BJB
58 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Banten Syariah, Bank Viktoria Syariah, Bank Panin Syariah, BCA Syariah,
Maybank Syariah Indonesia, BTPN Syariah.
Pertumbuhan yang paling pesat terjadi pada tahun 2008 s.d. 2013,
setelah disahkannya UU nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah.
Jika dilihat dari jumlah Unit Usaha Syariah di Indonesia dari tahun 2000 s.d.
tahun 2014 perbankan syariah juga selalu mengalami peningkatan. Begitu
juga dengan jumlah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah selalu mengalami
peningkatan dari tahun 2000 s.d. 2014.
Total Aset
BUS/UUS Jumlah Jumlah
(Miliar
/BPRS Bank Kantor
Rupiah)
60 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
(lihat Pasal 1 butir 12 & Pasal 6 huruf m). Tidak adanya istilah
“perbankan syariah” atau Perbankan Islam karena memang pada
waktu itu kondisinya masih belum stabil untuk menerima ekonomi
Islam.
Aspek baru yang diatur dalam UU ini adalah terkait dengan tata
kelola (corporate governance), prinsip kehati-hatian (prudential
principles), menajemen resiko (risk management), penyelesaian sengketa,
otoritas fatwa dan komite perbankan syariah serta pembinaan dan
pengawasan perbankan syariah. Bank Indonesia tetap mempunyai peran
dalam mengawasi dan mengatur perbankan syariah di Indonesia, namun
saat ini pengaturan dan pengawasan perbankan, termasuk perbankan
syariah di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan amanah
UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
64 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
d. Surat Edaran No. 10/31/DPbs tahun 2008 Produk Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah.
1. Akad Al-Murabahah
..dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. QS. Al-
Baqarah: 275.
66 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
. اض ِمنكُ ْم يااأايُّ اها الهذِينا اءا امنُوا َلاتاأْكُلُوا أا ْم اوالاكُم با ْيناكُم ِب ْالبااطِ ِل ِإَله أا ْن تاكُونا تِ اج ا
ارةً ا
ٍ عن ت اار
Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Rabbmu. QS. Al-Baqarah:198.
a. Penjual dan pembeli adalah seorang yang sudah dewasa, berakal dan
tidak dalam keadaan dipaksa.
b. Obyek atau jasa yang diperjualbelikan harus suci dan halal sesuai
dengan syariat Islam.
d. Ijab dan qabul boleh menggunakan lisan atau tulisan atau dengan
isyarat.
e. Tidak unsur yang diharamkan dalam jual beli ini, seperti riba,
kecurangan dan hal yang diharamkan lainnya.
Merujuk kepada rukun dan syarat dalam jual beli murabahah, maka
dalam implementasinya di perbankan syariah pihak bank sebagai
penjual dan pihak nasabah sebagai pembeli. Obyek jual beli bisa berupa
modal kerja, murabahah investasi dan murabahah konsumtif. Aplikasi
murabahah pada perbankan syariah dapat dilihat pada bagan berikut:
2. Akad Al-Mudharabah
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit
dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah. QS. Al-Muzzamil : 20.
Sumber hukum dari hadits Nabi adalah riwayat dari Ibnu abas
bahwa Abbas dan Abdul Muthalib jika memberikan dana kemitra usahanya
secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi
lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika
menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas
dana tersebut disampaikanlah syarat-sarat tersebut kepada Rasulullah dan
beliau membolehkannya. HR.Thabrani.
Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan; jual beli secara tangguh,
mudharabah, dan mencampur tepung dengan gandum untuk keperluan
rumah, bukan untuk dijual. HR. Ibnu Majah.
3. Pelafalan perjanjian.
70 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelasakan bahwa rukun
Mudharabah ada lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan
transaksi dan dua pelaku transaksi. Ini semua ditinjau dari perinciannya dan
semuanya tetap kembali kepada tiga rukun di atas.
1) Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola
modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki
kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian mereka
berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada
hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim
atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan
melakukan perbuatan riba atau perkara haram. Namun sebagian lainnya
tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama
dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti
adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak
muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.
3) Ijab dan Qabul disyaratkan harus dipahami oleh kedua belah pihak, baik
dengan ucapan, tulisan atau isyarat.
الغنم با لغرم
الخرج بالضمان
Prinsip Keadilan
a. Larangan riba
Secara bahasa, riba bermakna bertambah, berkembang, atau tumbuh83.
Secara terminology, riba berarti mengambil tambahan dari harta pokok
atau modal, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam,
secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam84.
Larangan riba dalam Alquran diturunkan secara bertahap. Hal ini sesuai
dengan karakteristik syariat Islam yang bila hendak menegaskan hukum
larangan terhadap suatu perbuatan yang telah menjadi kebiasaan
masyarakat akan dilakukan dilakukan secara bertahap sehingga umat
berada dalam kondisi siapa ketika menerima hukum yang final. Ayat
pertama diturunkan di Mekah adalah QS al-Rum: 39:
"Ayat ini mengutuk dengan keras praktik riba, selaras dengan larangan
riba pada kitab-kitab terdahulu. Pada tahap kedua ini, Alquran
menyejajarkan orang yang mengambil riba dengan mereka yang
mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam
kedua belah pihak dengan siksa Allah yang sangat pedih.
Ketiga, QS Ali Imran: 130-132 diturunkan pada kira-kira tahun ke-2 atau
ke-3 H:
80 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Ayat ini menyerukan kaum muslimin untuk menjauhi riba jika mereka
menghendaki kesejahteraan yang diinginkan (dalam pengertian Islam yang
sebenarnya).
طا ُن مِنا ْال ام ِس ذالِكا بِأانه ُه ْم قاالُوا إِنه اما ْالبا ْي ُع ِمثْ ُل
ش ْي االرباا َلا ياقُو ُمونا إَِله اك اما ياقُو ُم الهذِي ياتا اخبهطُهُ ال ه ِ الهذِينا ياأْكُ ُلونا
عاداهللا او ام ْن ا ِ ف اوأا ْم ُر ُه ِإلاى ظةُُؐ ِمن هر ِب ِه فاانتا اهى فالاهُ اما ا
سلا ا ِ الر ابا اوأا اح هل هللاُ ْال اب ْي اع او اح هر ام
الر ابا فا امن اجآ اء ُه ام ْو ِع ا ِ
ار أاث ٍِيم
ٍ ت اوهللاُ َلا يُحِ بُّ كُ هل اكفه ِ صداقاا ِ ُ} يا ْم اح ُق هللا275{ ار ُه ْم فِي اها خاا ِلدُونا
الرباا اوي ُْربِي ال ه ِ ص احابُ ال هنْ فاأ ُ ْو الئِكا أا
فٌ الزكااةا لا ُه ْم أاج ُْرهُ ْم عِن اد ار ِب ِه ْم اوَلا خ ْاو ت اوأاقاا ُموا ال ه
صالاةا او اءات ُاوا ه } ِإ هن الهذِينا اءا امنُوا او ا276{
ع ِملُوا ال ه
ِ صا ِل احا
}278{ الرباا إِن كُنتُم ُّمؤْ ِمنِينا ِ ِي مِنا } ياآأايُّ اها الهذِينا اءا امنُوا اتهقُوا هللاا اوذا ُروا اماباق ا277{ علا ْي ِه ْم اوَلا هُ ْم ياحْزا نُونا ا
}279{ ظلا ُمونا ْ ُ اظ ِل ُمونا اوَلا ت
ْ وس أا ْم اوا ِلكُ ْم َلا ت
ُ سو ِل ِه او ِإن ت ُ ْبت ُ ْم فالاكُ ْم ُر ُء
ُ هللا او ار
ِ ب ِمنا ٍ فاإِن له ْم تا ْف اعلُوا فاأْذانُوا ِب اح ْر
} اواتهقُوا يا ْو ًما280{ صدهقُوا اخي ُْرُؐ هلكُ ْم إِن كُنت ُ ْم تا ْعلا ُمونا س ارةٍ اوأا ْن تا ا اوإِن كاانا ذُو عُس اْرةٍ فاناظِ ارة ٌ إِلاى ام ْي ا
ْ سباتْ اوهُ ْم َلاي
281{ ُظلا ُمونا ت ُ ْر اجعُونا فِي ِه إِلاى هللاِ ث ُ هم ت ُ اوفهى كُ ُّل نا ْف ٍس هما اك ا
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba itu) maka
ketahuilah bahwa Allah dan arsul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertobat (dari pengambilan riba), bagimu pokok hartamu, kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh
sampai dia mendapatkan kelapangan. Dan menyedahkan (sebagian atau
seluruh utang itu) lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. Dan
perihalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu
semua yang dikembalikan kepada Allah. Kemudian, masing-masing diri
diberikan balasan yang sempurna terhadap apa yang telah diperbuatnya
sedangkan mereka sedikitpun tidak dianiaya”.
b. Tambahan nilai uang pada satu sisi yang sedang malkukan kontrak tatkla
komoditas yang diperdagangkan secara barter itu pada jenis yang sama.
82 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum
terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara
bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Mengenai
hal ini Allah mengingatkan dalam firman-Nya:
ايا أايُّ اها الهذِينا آ امنُوا َل تاأْكُلُوا أا ْم اوالاكُ ْم اب ْيناكُ ْم ِب ْالبااطِ ِل
Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu masudkan untuk mencapai
keridlaan Allah, maka (yang berbuat demikin) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya).
ِ ص ادقاا
... ت الر ابا اوي ُْر ِبي ال ه اي ْم اح ُق ه
ِ ُّٰللا
Mereka juga beralasan dengan hadits yang berbunyi; la riba illa fi al-
nasi’ah (tidak ada riba kecuali pada tangguhan waktu).
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalanya). QS. Ar-Rum: 39.
Ayat ini menjelaskan bahwa riba itu tidak akan menambah harta yang
mereka punya, dan juga riba tidak membuat harta mereka berkembang
dengan pesat. Akan tetapi sebaliknya, riba akan membuat harta mereka
hilang dengan sendirinya karena tidak ada keridhoan Allah di dalam
hartanya tersebut.
Berbeda dengan harta zakat, harta zakat pada zohirnya berkurang, tapi
pada hakikatnya harta zakat itu berkembang. Karena harta zakat itu diridhoi
oleh Allah SWT.
Pada ayat ini Allah SWT belum memberikan hukum kepada harta riba.
Allah hanya memberitakan kepada manusia bahwa harta riba itu tidak baik
dan hanya menyusahkan orang lain.
86 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia)
dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan
untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. QS. An
Nisa: 160-161.
Ayat ini menjelaskan bahwa sebab orang-orang Yahudi berbuat zolim, maka
mereka diharamkan memakan makanan yang baik-baik yang sebelumnya
dihalalkan bagi mereka. Itu di sebabkan karena mereka banyak mengganggu dan
menghalangi manusia untuk berada di jalan Allah.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah mengharamkan riba kepada kaum
Yahudi. Dikarenakan mereka memakan harta benda saudaranya dengan cara
yang bathil atau salah. Yaitu mereka melakukan peraktek ribawi. Allah
mengancam memberi balasan kepada orang-orang Yahudi yang memakan harta
riba.
Dalam ayat ini dijelaskan juga bahwa Allah hanya mengaharamkan riba
kepada kaum Yahudi saja. Allah belum mengharamkan riba kepada kaum
muslimin.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-
ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan. QS. Ali Imran: 130.
Ayat ini menjelaskan bahwa secara umum harus dipahami bahwa kriteria
berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga
Karena mereka memahami ayat ini, jika memakan harta riba dengan berlipat
ganda barulah dilarang, namun jika tidak berlipat ganda tidak dilarang atau
mereka menganggap itu bukan riba.
Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan
menyangkut riba.
ّٰللا او ارسُو ِل ِه اوإِ ْن ت ُ ْبت ُ ْم فالاكُ ْم ٍ الرباا إِ ْن كُ ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِينا بِ اح ْر
ِ ب مِنا ه ياا أايُّ اها ا هلذِينا آ امنُوا اته ُقوا ه ا
ّٰللا اوذا ُروا اما باق ا
ِ ِي مِنا
ْ ُ اظ ِل ُمونا اوَل ت
ظلا ُمونا ْ وس أا ْم اوا ِلكُ ْم َل ت
ُ ُر ُء
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-
sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa
Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak pula dianiaya. Q.S. Al Baqarah: 278-279.
Allah menjelaskan bahwa orang yang memakan harta riba, bagaikan orang
yang kemasukan syaiton atau sering kita sebut kesurupan. yaitu Allah
memasukan riba ke dalam perut mereka itu, lalu barang itu memberatkan
mereka.hingga mereka sempoyongan bangun jatuh. Itu menjadi tanda dihari
kiamat sehingga semua orang mengenalnya. Begitulah seperti yang dikatakan
sa’id bin jubair. Itu disebabkan karena mereka menganggap bahwa riba sama
dengan jual beli. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Dan jika mereka berhenti untuk tidak melaksanakan riba lagi, maka Allah
akan ridho kepadanya. Namun jika mereka terus melaksanakan riba, Allah
88 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
menyiapkan untuk mereka neraka yang penuh dengan azab dan mereka kekal di
dalamnya.
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
Dijelaskan bahwa perbedaan antara riba dan sedekah itu sangatlah berbeda.
Karena riba berfungsi memusnahkan harta, sedangkan sedekah berfungsi
menyuburkan harta.
الرباا ِإ ْن كُ ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِينا ياا أايُّ اها الهذِينا آ امنُوا اتهقُوا ه ا
ّٰللا اوذا ُروا اما باق ا
ِ ِي مِنا
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.
Jadi, jika kita tidak meninggalkan praktek ribawi, maka kita akan diperangi
oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan jika meninggalkan dan menjauhi praktek ribawi,
insyaAllah kita akan mendapat ridho dari Allah dan Allah akan menjaga harta
kita serta kita dijauhkan dari siksa-Nya yang sangat pedih.
س ارةٍ اوأا ْن تا ا
صدهقُوا اخي ٌْر لاكُ ْم ِإ ْن كُ ْنت ُ ْم تا ْعلا ُمونا اظِرة ٌ ِإلاى ام ْي ا ُ او ِإ ْن كاانا ذُو
عس اْرةٍ فان ا
90 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
tiu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
1. Riba Nasiah
Kata nasiah sesuai kebutuhan ‘mashdar’ dari akar kata نسئ ― ينسئ
yang berarti menunggu, menangguhkan, atau menunggu. Secara istilah
berarti pembayaran premi yang harus dibayarkan oleh pinjaman kepada
pemberi pinjaman di samping pengenbalian pokok sebugai syarat
pinjaman atau perpanjangan batas jatuh tempo. Dalam arti inilah riba
digunakan dalam QS Al-Baqaraly 275
“Tidak ada riba kecuali nasiah”. (HIR Bukhari-Muslim dari Ibn Abbas)
الذ هب با لذ هب والفضة بالفضة والبر والبر: قال رسول هللا صلعم:عن عبادة بن الصامت رض قال
فاذااختلف هذه اَلصناف,والشعير بالشعير والتمر با لتمر والملح بالملح مثال بمثل سواء بسواء يدا بيد
)فبيعوا كيف شئتم اذا كان يدا بيد (رواه مسلم
Pada dasarnya illat dari ketentuan ini adalah keadilan dan interaksi
yang jujur pada transaksi di tempat. Karenanya setiap pertukaran yang
menimbulkan ketidakadilan bagi salah satu pihak dikategorikan riba
fadhl. Larangan riba fadhl dimaksudkan untuk menjamin keadilan dan
membuang semua bentuk eksploitasi melalui pertukaran yang tidak adil
dan sebagai sad dzariah terhadap sarana-sarana yang akan
menghantarkan kepada riba.
Al-Jaziri membagi riba atas riba nasi’ah dan riba fadl. Pembagian
seperti ini banyak digunakan oleh para ulama, antara lain Ali Al-Sayis
dan Ali Ash-Shabuni, dalam kitab tafsir masing-masing.
Sedangkan Ibnu Qayim membagi riba atas dua bagian : jaiy dan
khafy. Riba jaliy adalah riba nasi’ah, diharamkan karena mendatangkan
mudlarat yang besar. Riba yang sempurna (riba al-kamil) adalah riba
94 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
nasi’ah. Riba ini berjalan pada masa jahiliyah. Riba khafiy diharamkan
untuk menutup terjadinya riba jaliy.
Riba pada jual beli ada dua macam; nasi’ah dan tafadul.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia menolak adanya riba fadl,
berdasarkan hadis yang ia riwayatkan dari nabi yang berbunyi : La riba
ill fi an-nasi’ah (tidak ada riba kecuali pada tangguhan waktu). Jumhur
fuqaha berpendapat terdapat riba pada keduanya (riba nasi’ah dan riba
fadl).
86 M.M Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Bangkit Daya Insani,
1995). H. 12-13
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 95
Deutronomi 23:19, Exodus 25:25, dan dalam kitab perjanjian baru,
Luke: 3587.
87 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum
3. Etika/Moratilas Usaha
92
Harisman, Loc. Cit
93 Zainul Arifin, Op. Cit., h.vi-vii
94 Muhsmmad Ibn Isma’il al-Kahlani as-San’ani, Subul as-Salam, (Bandung:
Dahlan, t.th), J.III, h.15, lihat juga as-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fiqr,
1983), J.III, h. 144
95 Fuad al-Omar and Mohammed Abdel Haq, Islamic Banking, (London: Zed Books,
1996), h.xii
100 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan dua sebab utama
yang menimbulkan unsur gharar dalam transasksi. Pertama, kurangnya
informasi atau pengetahuan (jahalah) pada pihak yang melakukan
kontrak. Jahalah ini menyebabkan tidak dimilikinya kontrol atau skill
pada pihak yang melakukan transaksi. Kedua, karena tidak adanya (non-
exist) obyek.96 Oleh karena itu, agar terhindar gharar, pihak-pihak yang
melakukan kontrak harus: a. Berkeyakinan bahwa baik suyek kontrak
maupun harga jelas dan dapat diserah-terimakan; b. Memerinci
karakteristik dan jumlah nilai pengganti; c. Menyatakan waktu serah
terima, jika diperlukan97. Karena ketidakjelasan dalam item-item ini akan
menghadapkan pihak-pihak yang berkontrak pada resiko yang membawa
kepada spekulasi.
Akad secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu kata الربطar-
rabthu yang berarti menghubungkan, mengaitkan, atau mengikat antara
beberapa ujung sesuatu. Makna lainnya yaitu ikatan, mengencangkan,
menjamin, atau perjanjian, kalimat ع اق اد ال اح ْب ال
‘( اaqdu al-habl) bermakna
Utama, 2000), h. 52
97Fuad al-Omar and Mohammed Abdel Haq, Op.Cit., h. 10
98Al-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fiqr, 1983), J.III, h. 127
99 Ala’ Eddin Kharofa, Transaction inIslamic Law, (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen,
1997), h.28
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 101
mengikat tali. Sesuatu yang terikat dalam bahasa Arab disebut ma`qud
(yang terikat).
Maka, dalam arti luas, akad adalah ikatan antara beberapa pihak. Makna
ini lebih dekat dengan makna istilah fiqih yang bersifat umum, yakni keinginan
seseorang untuk melakukan sesuatu, baik keinginan tersebut bersifat pribadi
(diri sendiri), seperti talak, sumpah ataupun terkait dengan keinginan pihak lain
untuk mewujudkannya, seperti jual beli, sewa menyewa, dan lainnya,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab Nadzariyat al ‘Aqd li
Ibnu Taimiyah.
Akad merupakan peristiwa hukum antara dua pihak yang berisi ijab dan
kabul, secara sah menurut syara’ dan menimbulkan akibat hukum. Akad yang
ada dalam Lembaga Keuangan Syariah ada yang merupakan dana kebajikan
(tabarru’) dan ada juga akad yang dijadikan dasar sebuah instrumen untuk
102 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
transakasi yang tujuannya memperoleh keuntungan (tijarah). Tentunya ini
adalah hal yang berbeda dan pastilah dalam akad itu ada beberapa penjabaran
dan penjelasan bagaimana akad itu seharusnya bisa dilakukan. Menurut
madzhab Maliki Syafii dan Hanbali akad adalah “Segala sesuatu yang
diinginkan seseorang untuk melakukannya, baik krena keinginan satu pihak
seperti waqaf dan thalaq atau karena keinginan dua pihak seperti jual beli dan
gadai”.
ص ْي ِد اوأا ْنت ُ ْم ُح ُر ٌم ِإ هن ايا أايُّ اها الهذِينا آ امنُوا أا ْوفُوا ِب ْال ُعقُو ِد أُحِ هلتْ لاكُ ْم اب ِهي امةُ األ ْن اع ِام ِإَل اما ُيتْلاى ا
علا ْيكُ ْم ا
غي اْر ُمحِ ِلي ال ه
ّٰللا يا ْحكُ ُم اما ي ُِريد
ها
Ibnu Katsir menukil perkataan dari Ibnu Abbas berpendapat bahwa Allah
Ta’ala dalam ayat ini memerintahkan orang-orang yang beriman agar memenuhi
dan melaksanakan akad-akad yang telah disepakati. Maka akad menjadi hal
yang sangat diperhatikan dalam Islam, setiap permasalahan bisnis akan
dikembalikan kepada akad yang telah disepakati.
Adapun hadits dari Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam dalam sebuah riwayat:
Hadist dari Abdullah bin Yusuf, beliau mendapatkan hadist dari Malik dan
beliau mendapatkan Hadist dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar Rodliyallohu
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 103
‘anhuma. Sesungguhnya Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dua
orang yang jual beli, masing-masing dari keduanya boleh melakukan khiyar atas
lainnya selama keduanya belum berpisah kecuali jual beli khiyar.” (HR Bukhori
dan Muslim).
Riwayat ini menunjukan bahwa akad menjadi hal yang sangat penting dalam
transaksi bisnis sehingga sah tidaknya suatu transaksi akan sangat dipengaruhi
oleh akad yang dilakukan. Demikian pula persyaratan yang ada dalam sebuah
akad maka harus dipenuhi.
Merujuk pada ayat dan hadits mengenai akad dapat disimpulkan bahwa akad
dalam bisnis Islam adalah hal yang membedakan antara satu akad dengan akad
lainnya. Ia juga menjadi pembeda dengan akad yang ada di luar Islam, walaupun
seolah-olah sama tapi hakikatnya sangat berbeda. Sebagai contoh seseorang
yang memberikan uang kepada orang lain, maka dalam hukum bisnis Islam bisa
berupa hibah, hadiah, utang, mudharabah, musyarakah, wadi’ah dan yang
lainnya.
Sah tidaknya suatu akad akan sangat ditentukan oleh rukun dan syarat yang
harus ada. Rukun akad dipahami sebagai segala sesuatu yang bisa digunakan
untuk mengungkapkan kesepakatan atas dua kehendak, atau sesuatu yang bisa
disamakan dengan hal itu dari tindakan, isyarat atau korespondensi.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul,
sedangkan orang yang melakukan akad dan hal yang menjadikan
berlangsungnya akad tidak masuk ke dalam rukun, ia hanya sebagai pelengkap
saja. Adapun Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga
rukun yaitu:
104 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
3. Ijab dan qabul (sighat).
Beberapa ulama lainnya menambahkan rukun akad menjadi empat hal yaitu:
2. Ma’qud alaih, ialah harga dan benda-benda atau objek yang diakadkan,
seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah
(pemberian), gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.
4. Shighat al-aqd, ialah ijab qabul. Ijab dan qabul merupakan ungkapan yang
menunjukkan kerelaan/ kesepakatan dua pihak yang melakukan
kontrak/akad.
106 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Ketiga obyek akad harus bisa diserahkan saat akad atau setelahnya. Jika
jual beli yang berlangsung tunai maka obyek harus diserahkan pada saat
akad, sedangkan bila ditangguhkan maka harus juga bisa diserahkan pada
waktu yang ditentukan. Maka tidak boleh bertransaksi dengan barang yang
belum dikuasai seperti burung yang sedang terbang di udara, ikan yang
sedang berenang atau barang-barang yang tidak bisa dihadirkan ketika akad
atau waktu yang ditentukan selanjutnya. Syarat ini juga mengharuskan
bahwa obyek akad harus jelas bukan yang masih majhul (belum dikenal).
3. Syarat Sighat
Agar Ijab dan Qabul sah secara syar’i maka harus ada beberapa syarat di
dalamnya, yaitu;
2. Ada kesesuaian antar ijab dan qabul. Ijab dan qabul dilaksanakan secara
simultan dalam artian adanya kesamaan maksud dan tujuan sehingga
tidak terjadi kesalahpahaman.
3. Ijab qabul nyambung dan berurutan, maksudnya adalah bahwa antara ijab
dan qabul berlangsung secara simultan.
4. Satu (1) majlis akad atau kondisi yang bisa membuat dua pihak membuat
kesepakatan.
Pertama, Syarat shahih adalah syarat yang sesuai dengan substansi akad,
mendukung dan memperkuat substansi akad, dibenarkan oleh syara’ atau
sesuai dengan ‘urf (kebiasaan) masyarakat. Contoh syarat yang sesuai
dengan substansi akad adlah syarat yang diajukan oleh penjual untuk
membayarkan harga barang, atau menyerahkan barang bagi pembeli. Adapun
syarat yang mendukung substansi akad adalah seorang penjual meminta kafil
(penjamin) atau barang jaminan lainnya (kolateral). Syarat yang dibenarkan
syara’ adalah syarat adanya hak khiyar (memilih) bagi salah satu pihak yang
bertransaksi. Sedangkan syarat yang sesuai dengan ‘urf adalah adanya
garansi atas objek transaksi semisal mobil, barang elektronik dan lainnya.
Kedua, Syarat fasid adalah syarat yang tidak sesuai dengan salah satu
kriteria yang ada dalam syarat shahih .Dalam arti, ia tidak sesuai dengan
substansi akad atau mendukungnya, tidak ada nash atau tidak sesuai dengan
urf (kebiasaan) masyarakat, dan syarat itu memberikan manfaat begi salah
satu pihak.misalnya, menjual rumah dengan syarat penjual harus
menempatinya selama satu tahun, dan kasu lainnya yang se-tipe.
108 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
usaha dan hutang. Kerja sama ini juga dibolehkan menurut mayoritas
ulama, namun dilarang oleh Syafi”i. Kemungkinan yang ditolak oleh
Imam Syafi”i adalah bentuk aplikasi lain dari Syirkatul Mufawadhah,
yakni ketika dua orang melakukan perjanjian untuk bersekutu dalam
memiliki segala keuntungan dan kerugian, baik karena harta atau karena
sebab lainnya.
Inan adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dengan modal
yang mereka miliki bersama untuk membuka usaha yang mereka lakukan
sendiri, lalu berbagi keuntungan bersama. Jadi modal berasal dari mereka
semua, usaha juga dilakukan mereka bersama, untuk kemudian
keuntungan juga dibagi pula bersama.
Wujuh adalah kerjasama dua pihak atau lebih dalam keuntungan dari
apa yang mereka beli dengan nama baik mereka.Tak seorangpun yang
memiliki modal. Namun masing-masing memilik nama baik di tengah
masyarakat. Mereka membeli sesuatu (untuk dijual kembali) secara
hutang, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama. Syirkah semacam
ini juga dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah, namun
tidak sah menurut kalangan Malikiyah dan Syafi”iyah.
Abdan, adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-
masing hanya memberikan kontribusi kerja atau amal, tanpa memberikan
kontribusi modal. Syirkah jenis ini disebut juga syirkah ‘amal.
Konstribusi kerja tersebut bisa berupa kerja pikiran misalnya penulis
naskah atau kerja fisik misalnya tukang batu. Boleh juga dilakukan oleh
pekerjaan yang berbeda, tetapi perlu diketahui pula pekerjaan yang
dilakukan itu adalah pekerjaan yang halal bukan pekerjaan yang haram.
Keuntungan yang diperoleh dari syirkah ini dibagi berdasarkan
kesepakatan yang telah diatur sebelumnya, porsinya boleh sama atau
tidak sama di antara syarik (mitra usaha)
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak
zaman nabi, bahkan telah dipraktekan oleh bangsa Arab sebelum turunya
Islam, hal ini dipraktekan oleh Nabi Muhammad Saw. Di saat berdagang,
beliau melakukan akad Mudharabah dengan Khadijah.
118 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Menurut Ibdalsyah, dan Hendri Tanjung (2014) mudharabah
adalah kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dimana
pemilik modal menyerahkan modalnya untuk dikelola oleh pekerja,
sedangkan keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan. Dalam konsep
mudharabah ini dasarnya adalah berbagi baik untung maupun rugi,
disebut dengan loss and profit sharing.
ياا أايُّ اها الهذِينا آ امنُوا ِإذاا تاداايا ْنت ُ ْم ِبداي ٍْن ِإلاى أا اج ٍل ُم ا
ُس ًّمى فاا ْكتُبُوه
a. Dari segi penentuan, bunga ditetapkan pada waktu akad denga asumsi
harus selalu untung, rasio rasio/nisbah bagi hasil meskipun ditetapkan
pda waktu akad namun yang dijadikan pedoman adalah
(kemungkinan) untung-rugi.
b. Dari segi besarnya, persentase bunga didasarka padajumlah uang
(modal) yang dipinjamkan sedangkan pada bagi hasil besarnya rasio
didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
c. Dari segi pembayaran, bunga dibayarka secara tetap seperti yang
diajanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh
pihak nasabah untung atau rugi, sedangakan pembayaran bagi hasil
bergantung padakeuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha
merugi, kerugian akan ditanggung bersam oleh kedua belah pihak.
d. Dari segi jumlah, nominal bunga tidak meningkat sekalipun jumlah
keuntungan meningkat atau keadaan ekonomi sedang “booming”,
sedangkan jumlah pembagian laba akan meningkat sesuai dengan
peningkatan jumlah pendapatan.
e. Dari segi eksistensinya, bunga hampir selalu diragukan (kalau tidak
dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam,sedangkan eksistensi
bagi hasil tidak ada ang meragukannya101.
102 Fuad al-Omar and Mohammed Abdel Haq, Islamic Banking, (London: Zed Books,
1996), h.12
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 131
syariah, maka produk itu dimodifikasi agar sesuaidengan produk
syariah103.
103 Cecep Maskanul Hakim, Deviasi Produk Syaria Dalam Perbankan, makalah
disampaikan pada Kuliah Ekonomi Syariah, Bank IFI, 6 Desember 2001
104 Ibid
132 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
misalnya pada penyesuaian giro dengan wadiah, sedangkan metode
asimilatif terlihat, misalnya pada pembiayaan mudharabah dan
musyarakah yang tidak ditemui padanannya di perbankan konvensional.
134 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
k. Melakukan kegiatan usaha kartu debit berdasrkan prinsip ujr;
l. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan prinsipwakalah;
m. Melaukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank sepanjang disetujui
oleh Dewan Syariah Nasional.
105 Bank Indonesia, petunjuk pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, (Jakarta:
136 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Surat Berharga Mudharabah, Qardh, Bay ‘al Dayn
14
Safe Deposit Box Wadiah ‘Amanah
15
Jual Beli Valas Sharf
16
Gadai Rahn
17
107Harisman, Pengawasan dan Audit Syariah Pada Bank Syariah: Konsep, Aplikasi,
dan Kebijakan, makalah disampaikan dalam Seminar Legal Audit Syariah, (Jakarta Fakultas
Syariah IAIN Syarif Hidayatullah 10 April 2002), h.4
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 139
Di sinilah letak signifikansi kehadiran Dewan Syariah Nasional yaitu
sebagai standar dari berbagai pendapat yang ada di masyarakat. .
140 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Demikian pula dalam hal bank akan melakukan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 dan pasal 29 tersebut dan ternyata
kegiatan usaha yang dimaksud belum difatwakan oleh Dewan Syariah
Nasional, maka bank wajib meminta persetujuan Dewan Syariah Nasional
sebelum melaksankan kegiatan usaha tersebut. Atau dengan kata lain SK
ini memberikan kewenangan kepada Dewan untuk memberikan pedoman
dalam bentuk fatwa kepada perbankan syariah agar prinsip kesesuaian
dengan syariah (sharia compliance) yang dianut bank syariah dapat
tercapai.
Secara organisasi DSN merupakan badan otonom namun demikian
ia tetap merupakan bagian integral dan dibawah MUI111 karena ketua
umum dan sekretaris MUI memimpim dewan ini secara ex-officio.
Sedangkan anggota-anggota dewan ini terdiri dari para ulama, praktisi,
dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan perekonomian dan
muamalah syariah serta memiliki akhlak karimah. Anggota Dewan ini
ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 (empat) tahun.
Dalam Pedoman Dasar DSN MUI Bab IV butir 1 diatur tugas DSN yaitu:
111 Ibid
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 141
2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan
yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen
Keuangan dan Bank Indonesia
3. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-
nama yang akan duduk sebagi Dewan Pengawas Syariah pada suatu
lembaga keuangan syariah.
4. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang
diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas
moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.
5. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional.
6. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil
tindakan apabila peringatan tidak diindahkan112
Dari uraian tugas dan wewenang diatas, terlihat betapa strategisnya peran
yang dimiliki DSN. Ia merupakan wadah yang dapat menentukan corak nilai-
nilai syariah yang akan diimplementasikan dalam perbankan syariah nasional
karena fatwa-fatwanya ini tidak saja bersifat mengikat namun juga menjadi
dasr tindakan hukum perbankan syariah. Bahkan fatwanya merupakan
landasan bagi ketentuan/peraturan yang akan dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang seperti Depkeu dan BI. Tentu ini akan menjadi tantangan
tersendiri bagi DSN.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, DSN dibantu oleh suatu badan
yang dinamakan Badan apelaksana Harian Dewan Syariah Nasional,
diangkat BPH-DSN inipun ditunjuk dan diangkat oleh MUI.
144 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
ketentuan-ketentuan yang mengatur kegiatan ang bersankutan agar sesuai
dengan syariah. Pada kasus-kasus tertentu, fatwa memberikan pilihan
hukum dengan tetap memberikan prefrensi kepada salah satunya, seperti
dalam fatwa tentang prinsip distribusi hasil usaha dan sistem distribusi
hasil usaha.
146 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
BAB IV
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, salah satu tugas Dewan
Syariah Nasional adalah mengeluarkan fatwa-fatwa atas jenis-jenis kegiatan
keuangan beserta produk dan jasa keuangan syariah. Secara umum fatwa-
fatwa tersebut dikelompokkan menjadi tiga bagian. Pertama, kelompok fatwa
untuk kegiatan transaksi yang dilakukan oleh perbankan syariah baik dalam
penghimpinan dana (pembiayaan) maupun jasa-jasa perbankan. Kedua,
kelompok fatwa untuk investasi syariah116. Untuk memberi gambara tentang
persoalan-persoalanyang dibicarakan dalam fatwa-fatwa tersebut berikut ini
adalah daftar fatwa yang telah dikeluarkan DSN sejak awal pembentukannya
hingga 18 April 2001 yang telah dihimpun dala buku himpunan fatwa dewan
syariah nasional disertai dengan catatan tentang tanggal dikeluarkannya117.
116 Ma’ruf Amin, “Kata Pengantar”, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Untuk Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonnesia-Bank Indonesia, 2001), h.V
117 Ibid
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 147
c. Fatwa tentang Jual Beli Istishna’, 4 April 2000
B.2. Pembiayaan Berdasarkan Transaksi Bagi Hasil
a. Fatwa tentang Pembiayaan Mudhrabah (Qardh), 4 April 2000
b. Fatwa tentang Pembiayaan Musyarakah, 13 April 2000
B.3. Pembiayaan Berdasrkan Transaksi Sewa
Fatwa tentang Pembiayaan Ijarah, 13 April 2000
B.4. Pembiayaan lainnya
Fatwa tentang Hawalah, 13 April 2000
B.5. Fatwa-Fatwa tentang Jasa Perbankan
a. Fatwa tentang Wakalah, 13 April 2000
b. Fatwa tentang Kafalah, 13 April 2000
c. Fatwa tentang al-Qardh, 9 April 2001
118 Cek merupakan surat perintah tanpa syarat dari nasabah kepada bank yang
memelihara rekening giro nasabah tersebut membeyar sejumlah uang kepadapihak yang
disebutkan di dalamnya atau kepada pemegang cek tersebut, lihat Kasmir, Bank dan Lembaga
Keuangan Lainnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), Cet. IV, h.66
119 Bilyet Giro merupakan surat perintah dari nasabah kepada bank yang memelihara
rekening giro nasabah tersebut untuk memindahbukukan sejumlah uang dari rekening yang
bersangkutan kepada pihak penerima yanag disebutkan namanya pada bank yang sama atau
bank lainnya, lihat Ibid., h.69
120 Kasmir, Op. Cit., h.70
150 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
perbedaan illat anatara ashal dengan furu’. Inilah salah satu jenis qiyas yang
disebut oleh Yusuf Qardhawi sebagai qiyas yang tidak pada tempatnya.150
150 Yusuf al-Qardawi, al-Ijtihad al-Mu’asir baina al-Indibat wa Infirat, pent. Abu
menjadi tiga: a. Harga pokok yang bisa di mark-up, yaitu item-item yang mempengaruhi
barang seperti jahitan dan celupan b. Harga pokok yang tidak bisa di mark-up, yaitu item-
item yang tidak mempengaruhi barang , yaitu hal-hal yang bukan termasuk kontribusi penjual
seperti ongkos transportasi c. Tidak termasukharga pokok dan tidak bisa di mark-up seperti
jasa makelar, sedangkan menurut Abu Hanifah mark-up bisa dilakukan terhadap ketiga item,
lihat muhammad ibn Ahmad muhammad ibn Ahmad muhammad ibn Ahmad Ibn Rusyd,
Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th), J.II, h. 166
153 Dewan Syariah Nasional, Op.Cit., h. 21
162 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Namun demikian sebagai lembaga keuangan, berdasarkan peraturan yang
ada bank tidak dimungkinkan berfungsi pula sebagai retailer dengan
memiliki persediaan barang untuk dijual. Maka dalam prakteknya yang
diterapkan bukanlah murabahah murni tetapi murabahah kepada pemesan
pembelian. Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah
murabahahal-amir bi al-syira’ (murabahah to the purchase orderer)154
dalam murabahah jenis ini dua pihak atau lebih saling bernegosiasi dan
berjanji untuk melaksanakan kesepakatan dimana pemesan meminta pembeli
membeli asset yang selanjutnya akan dibeli oleh pemesan dengan harga
pokok ditambah keuntungan155.
Pada dasarnya ada dua alasan mengapa transaksi murabahah ini
dilakukan. Pertama, untuk mencari pengalaman satu pihak yang berkontrak
(pemesan pembelian) meminta pihak lain (pembeli) untuk membeli sebuah
aset. Pemesan berjanji untuk ganti membeli aset tersebut. Kedua, mencari
pembiayaan. Pemesan meminta pembeli untuk membeli asset dan berjanji
untuk membelinya ditambah keuntungan dengan persyaratan pembeli
menjual asset tersebut kepadanya secra cicilan. Pembelian secara cicilan
merupakan motif utama dari pembiayaan murabahah156. Dan dalam
prakteknya murabahah yang lazim digunakan dalam praktik perbankan
adalah murabahah yang dilakukan secara cicilan (al-bay bi al-tsaman al-
ajil)157.
Pada dasarnya penjualan secara cicilan bukanlah kondisi murabahah,
akan tetapi sebagaiman dijelaskan di atas, pembiayaan secara cicilan
merupakan motif utama orang bertransaksi dengan bank. Maka didasarkan
atas kebiasaan yang berlaku inilah, fatwa menetapkan kebolehan murabahah
yang dilakukan secara cicilan. Dalam menetapkan hukum ini dewan
154 Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393 H), J.
VII, h. 105
155 AAOFI, “Juristic rules for the transaction of murabahah and murabahah to the
purchase orderer”, Accounting, Auditing, And Governance Standards For Islamic Financial
Institution, (Bahrain, AAOIFI, 2000)
156 Ibid
157 Syafi’i Antonio, Op. Cit. H. 103
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 163
menggunakan metode istishlahy dengan bersandar pada kebiasaan dunia
perbankan yang melakukan transaksi secara cicilan. Oleh karenakebiasaan
ini tidak bertentangan dengan nash maka ia dianggap sebagai ‘urf shahihah
yang diadopsi. Selain itu jual belisecara cicilan bukanlah suatu
yangdiharamkan dalam syariat Islam, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah
hadist:
، ْال اب ْي ُع ِإلاى أا اج ٍل، ُث فِي ِه هن ْال اب ار اكة
ٌ ثاالا: سله ام صلهى هللا ا
عل ْي ِه و ا ِ سو ُل
هللا ا ُ قاا ال ار: قاا ال، ب ُ ع ْن
ٍ ص اه ْي ا
ْ
ت َلا لِلباي ِْع ْ
ِ لِلبا ْي، ِير
ِ شع ْ ُ ا
اوأ ْخالاط الب ُِر بِال ه، ضة ُ او ْال ُمقا ا
ار ا
“Dari Shuhaib bahwasanya Nabi saw bersabda: ada tiga hal yang
mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai , muqaradhah (mudharabah),
dan mencampur gandum denga jewawut untuk keperluan rumah tangga,
bukan untuk dijual”. (HR Ibnu Majah)158
Selain itu didasarkan atas ‘Urf tijary, alasan kebutuhan manusia juga
menjadi landasan fatwa membolehkan akad murabahah ini dilakukan secara
cicilan. Sekali lagi dalam hal ini dewan menempuh metode istishlahi.
Meskipun tidak ada dalil spesifik yang menyatakan kebolehan akad ini tetapi
karena ada kebutuhan masyarakat banyak terhadap akad ini yang seandainya
tidak dilakukan akan menyebabkan kemadharatan, karena sulitnya memiliki
uang dalam jumlah besar dalam suatu waktu dalam membeli barang, maka
untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat banyak terseebut khususnya
untuk memelihara harta (hifdz al-mal) yang termasuk dalam hal-hal yang
perlu dipelihara maka ditetapkanlah keboehan akad ini.
Meskipun kebolehan akad ini secara cicilan telah ditetapkan dengan
bersandar pada metodologi yang valid, fatwa tetap memberikan aturan dalam
pelaksanaannya agar akad ini, khususnya murabahah al-amir bi al-asyira’,
yang melibatkan tiga pihak, pemesan, pembeli dan penjual, terhindar dari
akad ribawi. Oleh karena itu dalam salah satu butirnya fatwa ini menyatakan
bahwa jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang
158 Hadist ini bersanad dha’if, lihat muhammad ibn Isma’il al-Shan’any, Subul as-
Salam, (Bandung: Dahlan, t.th.), J. III. H. 76, muhammad Ibn ‘Ali asy-Syaukani menyatakan
bahwa sanad hadist ini terdapat dua rawi yang tidak diketahui, lhat muhammad ibn ‘Ali asy-
Syaukani, OP. Cit., J.V, h. 301
164 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
dari pihak ketiga, akad jual belimurabahah harus dilakukan setelah barang,
secara prinsip, menjadi milik bank’. Hal ini dikarenakan secara syariah
murabahah merupakan jual beli yang sifatnya satu kali (one shot deal),
namun dalam perbankan ia menjadi modal yang digunakan berkali-kali
(revolving)159.
Sebagaiman terlihat dalam murabahah al-amir bi al-syira, terjadidua
akad. Akad pertama antara pihak penjual dan pembeli, dan akad kedua antara
pembeli dalam hal ini pihak bank dan pemesan yaitu nasabah pembiayaan.
Akad pertama terjadi karena adanya pesanan dari calon nasabah, dan bank
terikat dengan akad tersebut. Sedangkan untuk akad kedua ini masih terjadi
perselisihan pendapat dikalangan umat mengenai sifatnya. Para ulama
terdahulu menganggap akad ini tidak mengikat dan pendapat ini juga
dipegang oleh al-Majma’ al-Fiqh al-Islamy (The Islamic Fiqh Academy)160.
Pendapat ini didasarkan atas alasan bahwa jika akad kedua dihukumi
mengikat maka akan termasuk kategori bay al-fudhuly161 yaitu melanggar
syarat ma’qud ‘alaih berupa kepemilikan sempurna sang ‘aqid terhadap
barang tersebut. Oleh karena itu, menurut pendapat ini akad kedua bersifat
tidak mengikat, pemesan boleh memilih antara meneruskan akad atupun
membetalkannya.
Akan tetapi fatwa menghukumi akad kedua ini bersifat mengikat dengan
berlandaskan kepada metode shad al-dzariyah, yaitu untuk menghindari
bahaya dibatalkannya akad oleh pemesan yang akan menimbulkan kerugian
pada salah satu pihak yang berakad, dalam hal ini adalah bank. Selain itu
pilihan ini juag didasarkan pada argumen bahwa konteks jual beli murabahah
jenis ini di mana ‘belum ada barang’ berbeda dengan ‘menjual tanpa
159 Cecep Maskanul Hakim, Deviasi Produk Syariah Dalam Perbankan, makalah
disampaikan pada kuliah ekonomi syariah bank IFI, Jakarta, 6 Desember 2001
160 AAOIFI, Loc. Cit
161 Bay al-Fudhuly adalah jual beli atas barang yang merupakanmilik orang lain tanpa
166 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
kerugian riil yang ditanggung bank akibat pesananan ini yang ternyata
dibatalkan.
Sedangkan arbun merupakan sejumlah uang yang dibayarkan di muka
kepada pembeli, jika pembeli memutuskan untuk meneruskan transaksi dan
membeli barang, maka uang arbun yang telah diserahkan tersebut akan
diperhitungkan sebagai bagian dari harga, namun jika pembelian dibatalkan
maka uang arbun menjadi hak penjual sebagi hibah dari pembeli. 165
Dalam menetapkan kebolehan akan arbun ini fatwa melakukan metode
bayani dengan bersandar pada hadist:
)عن زيد ابن اسلم انه سئل رسول هللا صلعم عن العربان في البيع فاحله (رواه عبد الرزاق
“Dari Zaid bin Aslam bahwasannya Rasulullah Saw ditanya tentang
‘urbun (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya.”(HR
‘Abd al-Razaq) 166
Jika dianalisa dengan metode ibarat nash maka jelas hadist ini
memberikan pengertian kebolehan ‘urbun.
Namun demikian jika ditelusuri literaure tentang ‘urbun ini maka terdapat
hadist lain yang bertentangan maknanya dengan hadist di atas:
) نهى رول هللا صلعم عن بيع العربان (رواه ما لك: عن عمر وبن شعيب قال
“Dari Umar bin Syu’aib ia berkata: Nabi Saw melarang jual beli (dengan
metode) ‘urbun” (HR Malik) 167
Apabila diselidiki segi tsubut hadist-hadist tersebut, maka keduanya
hadist dha’if. Hadist pertama merupakan hadist mursal karena di dalam
sanadnya terdapat Ibrahim bin Abi Yahya yang merupakan perawi yang
lemah. 168
Sedangkan hadist kedua merupakan hadist munqathi’ karena
dalam rangkaian sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dikenal. 169
165 Ibid, lihat juga Al-Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 156, Wahbah al-Zuhaily, Op. Cit., J.
IV , h. 448
166 Abu ‘Amr Yusuf ibn ‘Abd Allah ibn ‘Abd Allah ibn ‘ Abd al-Barr al-Namiry, al-
Tahmid li ibn ‘Abd al-Barr, (Maghribi: Wizarah ‘Umum al-Awraq wa al-Syu’un al-
Islamiyyah, 1387 H), J. XXIV,h. 179
167 Muhammad ibn Isma’il al-Shan’any, Op. Cit., J. III, h. 17
168 Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukani, Op.Cit., J. III, h.45
169 Muhammad ibn Isma’il al-Shan’any, Loc. Cit
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 167
Terdapat dalil-dalil yang saling bertentangan ini, apabila menggunakann
metode Jumhur, maka metode pertama yang ditempuh adalah al-jam’ wa al-
taufiq, namun karena kedua hadist saling menunjukkan hukum yang
bertentangan, maka metode ini tidak mungkin dilakukan. Karenanya
digunakan metode selanjutnya yaitu tarjih atau ‘pernyataan akan adanya nilai
tambah pada salah satu dari dua dalil yang sederajat, dimana nilai tambah itu
bukan beupa dalil yang mandiri. 170
Maka dalam hal ini Dewan mentarjih hadist pertama dengan bersandar
kepada dua metode. Pertama, maslahat, untuk mendatangkan manfaat agar
nasabah bersungguh-sungguh dengan akad tersebut dan menghindari
mafsadat (sad al-dzariah) agar bank tidak menanggung sendiri kerugian
yang diakibatkan oleh ketidaksungguhan nasabah dalam bertransaksi. Kedua,
mengadopsi ‘urf tijary yang telah lazim mempraktikan dunia perbankan,
meminta uang muka terhadap kebanyakan transaksi yang dilakukan tidak
secara tunai. Namun demikian Dewan memodifikasi ‘urbun ini dengan
sedikit merubah ketentuannya sehingga menjadi:
a. Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal
membayar sisa harga.
b. Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal
sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut;
dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi
kekurangannya. 171
170 ‘Abd al-‘Aziz al-Bukhari, Kasyf al-Asrar ‘ala Ushul al-Bazdawi, (t.tp.:Maktab al-
168 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
hadist kedua melarang praktik ini karena mengandung unsur gharar dan
termasuk perbuatan memakan harta orang lain secara batil.173 Sementara
Ibnu Sirin dan Ibnu Musayyab serta Ibnu Umar membolehkannya apabila
nasabah tidak merasa cocok dengan barang, uang urbun dikembalikan setelah
dikurangu kerugian riil. 174
175
Al-Sayyid Sabiq, Op. Cit., J. III, h. 214 , lihat juaga Dewan Syariah Nasional,
“Fatawa atentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)”, Op. Cit. , h. 47
170 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
apabila kerugian tersebut disebabkan karena sang mudharib melakukan
kesalahan yang disengaja, kelalaian atau side streaming sebagai justifikasi
terhadap kebolehan meminta jaminan kepada mudharib.
Selaras dengan fatwanya tentang prinsip distribusi hasil usaha
yang akan dijelaskan lebih rinci dibawah, Dewan menetapkan kewajiban
mudharib untuk menanggung biaya operasional. Ketentuan ini
padadasarnya akan menimbulkan permasalahan-permasalahan tersendiri.
Pertama, aturan ini kurang sesuai dengan syariah, karena dalam keadaan
titik impas/Break Event Point (BEP) sekalipun, dana shahibul mal terjamin
padahalprinsip mengatakan no return without risk dan sebaliknya sang
mudharib terpaksa tidak hanya menanggung kerugian kehilangan tenaga
dan waktunya tetapi juga dana untuk menutupi biaya baik dalam kedaan
titik impas maupun kerugian.
Kedua, ketentuan ini akan memperkecil bagian keuntungan yang
seharusnya menjadi hak mudharib. Ketiga, biaya yang menjadi tanggungan
mudharib semata akan menimbulkan efek inflasi akibat tingginya biaya
modal yang turut mempengaruhi tingkat harga barang dan jasa. Inflasi ini
tentu akan berdampak kurang baik bagi perekonomian makro.atas dasar
itulah seharusnya biaya operasional tidak harus dibebankan secara
eksklusif kepada mudharib, tetapi idealnya dimasukkan kedalam rekening
mudharabah.
178
M. Umer Chapra, Loc. Cit
Syafi’i Antonio, OP. Cit., h.118
179
180 Wahhab al-Zuhaily, Op. Cit., h.830
172 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
tidak ditemukan dalil yang membatalkan ketentuan ini maka hukum ini
masih terus diberlakukan. Bahkan pada masa Nabi dijumpai praktek-praktek
yang semakin memperkuat ini seperti hadist:
اعطوا اَل جير اجره قبل ان يجف عرقه
Selain itu praktek ijarah tidak hanya berlaku dalam sewa tenaga kerja,
sebagaimana disinggung oleh dalil-dalil diatas, namun juga dipraktekkan
dalam sewa benda-benda yang dapat diambil manfaatnya, seperti hadist:
صلهى هللاُ ا
علا ْي ِه ُ فانا اهاناا ار،س ِع اد ِب ْال اماءِ ِم ْن اها
ِ س ْو ُل
هللا ا ع او اما ا علاى الس اهوا ِق ْي مِنا ه
ِ الز ْر ض ِب اما ا كُنها نُ ْك ِري اْأل ا ْر ا
ب أا ْو فِ ه
ض ٍة ٍ ع ْن ذالِكا اوأا ام ارناا أا ْن نُ ْك ِريا اها بِذا اه
سله ام ا
اوآ ِل ِه او ا
“Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka
Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar
kami menyewakannya dengan emas atau perak” (HR Abu Dawud dari Sa’ad
ibn Abi Waqqash)
Dalam menetapkan hukum kebolehan ijarah ini Dewan mentarjih
pendapat jumhur yang bersepakat atas kebolehan ijarah dan memarjuhkan
pendapat minoritas yang melarang, antara lain ‘Asham dan ibn ‘Aliyah.
Pendapat kedua ini beragumen bahwa transaksi pertukaran hanya terjadi
dengan adanya serah terima antara barang dengan harga pada saat akad.
Sedangkan dalam ijarah, manfaat sebagai obyek transaksi tidak ada
(belumlah nyata) ketika akad sehingga termasuk transaksi gharar. Namun
argumen ini terbantahkan bahwa meskipun tidak ada pada waktu akad, akan
tetapi obyek ini dapat terpenuhi segera ketika barang itu mulai dimanfaatkan,
berdasarkan akad janji (al-wa’d) dari pihak pemberi sewa kepada penyewa
akan manfaat yang terkandung dalam obyek tersebut182. Oleh karenanya
181 Meskipun hadist ini berstatus dhaif namun banyak hadist-hadist lain yang
1996). h.3
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 173
syara’ memandang manfaat sebagai obyek transaksi yang diperjanjikan ini
termasuk hal-hal yang dapat terpenuhi dan tidak merusak akad183.
Bantahan inipun semakin diperkuat oleh metode ta’lili yang
digunakan Dewan, dengan bersandar pada illat istihsani. Berdasarkan qiyas
jali, sebagaimana pendapat minoritas, ijarah termasuk akad yang terlarang
karena obyek transaksi tidak ada pada saat akad. Meskipun demikian, Dewan
mengabaikan qiyas jali ini dan beralih kepada qiyas khafi yang
membolehkannya karena ada dalil yang menjustifikasinya yaitu kebutuhan
masyarakat terhadap akad ini dalam rangka memelihara kemashlahatan
mereka184.
183 Muhammad ibn Ahmad Ibnu rusyd, Op. Cit., J. II, h. 166
184 Muhammad Sayyid Tanthawy, Mu’amalah Al-Bunuk Wa Ahkamu Al-Syar’iyyah,
(Mesir:Dar al-Nahdlah, 1997), h.36
185 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum
186 Dalam sanadnya terdapat perawi yang lemah, meskipun demikian, hadist ini hadist
ini diriwayatkan dari jalur-jalur yang menguatkan, lihat Muhammad ibn Isma’il al-Shan’any,
Op.Cit,. J.III, h.61-62
187 Ibid, lihat juga al-Sayyid Sabiq, Op.Cit., h. 217
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 175
Dengan demikian hasil kajian dan anlisa Dewan dalam tema ini bukanlah
sesuatu yang benar-benar baru, Jumhur ulama dan mayoritas Hanabilah serta
Al-Dzahiriyah telah menyatakan hukum akad ini. Hanya saja Dewan
mentarjih pendapat jumhur untuk untuk menyatakan hukum akad ini sebagai
istishab dengan metode analisa seperti telah dikemukakan diatas. Dan bila
dihubungkan dengan konteks sekarang segala jenis akad yang ada
diperbankan memang sifatnya opsional, nasabah memiliki kebebasan untuk
memilih antara melakukan transaksi tersebut ataupun tidak.
188
Dewan Syariah Nasional, Op.Cit., h.62
176 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
investor lain tidaka akan menanggung kerugian akibat biaya operasional
tersebut. Dengan kata lain bank menjamin nilai nominal investasi nasabah,
karena pendapatan paling rendah yang akan dialami oleh bank adalah nol dan
tidak mungkin terjadi pendapatan negatif.212 Hal ini tentu tidaklah sejalan
dengan syariah karena bertentangan dengan prinsip no return without risk.
Selain itu revenue sharing juga kurang sejalan dengan identitas bank syariah
beserta fungsinya dalam mengedukasi umat untuk gemar berinvestasi dan
membentuk kecenderungan masyarakat untuk tidaka bersifat memastikan
tetapi justru bergeser kke arah sikap berani menghadapi resiko.213
الغنم با لغرم
الخرج بالضمان
Adapun kaidah lain yang dijadikan argumen Dewan dalam fatwa ini
adalah:
216 Kaidah Ini Merupakan Derivatif Dari Al-Qawaid Al-Khamsah Yang Kedua, ‘Al-
Yaqin La Yuzal Bi Al Syak’, Lihat Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, (Jakarta, Kalam
Mulia, 1996), Cet. II, h. 25-27
217 Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i, Musnad Al-Imam Al-Syafi’i, (Beiru Dar Al-Kutub
Maka inilah yang disebut oleh Yusuf Qardhawi sebagai maslahat semu
bukan maslahat hakiki karena asumsi kemaslahatan hanya didasarkan atas
perkiraan semata219, tidak didasarkan atas nash.220
Dalam ushul fiqih pun dalah satu syarat penggunaan maslahat sebagai
dasar dalam penetapan hukum adalah bahwa maslahat ini tidaklah
bertentangan dengan nash.221
َل ضرروَلضرر
218
Yusuf Al-Qardhawi, Op. Cit., h. 96
219 Dalam hal ini dewan menganggap bahwa kemaslahatan nasabah penyimpan yang
jumlahnya jauh lebih banyak didahulukan ketimbang nasabah pembiayaan yang jumlahnya
jauh lebih kecil
220 Ibid., h.98
221 Abd Al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Al-Fiqh,(Kairo: Dar Al-Qalam, 1978), h.87
222 Al-Syaikh Ahmad Ibn Al-Syaikh Muhammad Al-Zarqo, Op.Cit., h.177
188 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
selanjutnya mempengaruhi performance para karyawan dan berdampak
kurang baik pada kinerja bank yang bersangkutan.223
223 Keadaan ini tentu sangat mempengaruhi loyalitas karyawan, dan nampaknya ini
terjadi pada salah satu bank umum syariah dimana insentif yang dirasa kurang memadai
menyebabkan tingkat turn over karyawan yang tinggi karena bank kurang mampu
mempertahankan karyawan berkinerja baik namun tidak puas dengan renumerasi yang
diperoleh, sehingga bank harus terus melakukan rekrutmen dan pelatihan karyawan-karyawan
baru, Duddy Yustiadi, Presentasi Teknik Perhutungan Bagi Hasil Dari Sudut Pandang
Investor Dan Bank, Workshop Analisa Keuangan Syariah, Jakarta:P3EIN IAIN Jakarta, 15
Mei 2002
224 Cecep Maskanul Hakim, 0p.Cit., h. 2
225 Al-Buthi, Dawabith Al-Maslahat Fi Al-Syari’at Al-Islamiyat, (Beirut: Mu’assasat
Op.Cit., h. 44
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 189
pembiayaan mudharabah, sistem ini juga mengakibabtkan kecilnya
keuntungan yang diterima sang mudharib karena keuntungan yang
diperolehnya itu harus dikurangi biaya terlebih dahulu. D samping itu dengan
mekanisme ini bank menikmati keuntungan yang sebagiannya disubsidi oleh
bagian yang seharusnya menjadi hak nasabah pembiayaan. Ini dapat terlihat
dari ilustrasi financial/income statement (laporan rugi-laba) perusahaan yang
beroperasi dalam sistem ekonomi Islam.227
INCOME STATEMENT
COMPANY X
1 July-31 December 1983
$
1. Revenue from sales 400 000
2. Less: admistrative expenses = 30 000
Depreciation charges = 30 000
Direct labour cost = 70 000
Factory overhead cost = 35 000
Material phurchases =115 000
Total operating cost =280 000
280 000
3. Equals : net oprating income 120 000
4. Less : service charge anddebt payments 38 707
5. Equals : pre-devidend income 81 293
6. Less : Mudharabah devidend payments
(40 per cent payout ratio) 32 517
7. Equals : pre-zakah income 48 776
8. Less : zakah levy
(2.5 per cent of pre-zakah income) 1 219
9. Equals retained earnings 47 557
227
Masadul alam choudhury, op.cit., h. 46
190 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Dari ilustrasi diatas jelas bahwa revenue merupakan fungsi dari variabel
quantitas barang/jasayang terjual dan variabel harga, atau dirumuskan:
R= f (QxP)
Di mana R= renvenue, Q= quantitas, dan P= price. Dari financial
statement dan formula tersebut terlihat bahwa revenue sharing merupakan
sistem distribusi bagi hasil yang tidak menciptakan iklim berusaha yang
Islami karena melahirkan hubungan yang timpang antara pihak-pihak yang
terlibat dimana disatu pihak, dalam hal ini bank menikmati keuntungan tanpa
disertai resiko; sedangkan di sisi lain, dalam hal ini nasabah pembiayaan,
menanggung seluruh resiko dengan menanggung biaya secara eksklusif. Hal
ini tentu ironis sekali, karena justru akan mendatangkan kedzaliman lain
yang sebenarnya ingin dihindarkan oleh bank syariah dalam upayanya dalam
menerapkan ajaran yang melarang riba.
Bila dianalisa dengan teori maqashid al-Syariah, pada dasarnya tujuan
ditetapkan peraturan dibidang muamalah adalah memelihara kepentingan
harta dalam rangka menciptakan kesejakteraan manusia melalui muamalah
yang menjunjung prinsip keadilan diantara para pihak yang terlibat dan
menghindari kedzaliman sebagaimana QS Al-Baqarah [2] : 279
َلتظلمون وَلتظلمون
Sebagai lembaga yang bergerak di dunia bisnis, bank tidaklah kebal dari
kemungkinan rugi. Namun tentunya sebagai lembaga yang profit oriented,
kerugian tersebut harus diantisipasi sedemikian rupa misalnya melalui
diversifikasi investasi sehingga kerugian investasi di suatu tempat dapat
dikompensasi oleh investasi di tempat lainnya. Hal inipun berlaku pada bank
syariah. Terlebih lagi bank syariah yang beroperasi berdasarkan profit-loss
sharing system tentunya harus mengelola dana secara lebih bijaksana, agar
masyarakat tidak kehilangan kepercayaan terhadap lembaga yang membawa
label syariah ini dan agar tidak ditinggalkan nasabahnya hanya karena
memberikan tingkat keuntungannya yang rendah, atau bahkan mengalami
kerugian. Dalam keadaan rugi, karena menganut system profit loss sharing
ini, maka nasabahpun harus memikul resiko kerugian. Ini berarti kerugian
harus dibagikan juga kepadanasabah berdasarkan proporsi dana yang
tertanam di bank.
Dalam hal ini Sami Hamud mendasarkan pada akad mudharabah dimana
kerugian merupakan tanggungan shahibul mal, yaitu nasabah penyimpan
sehingga sehingga cadangan yang dimaksudkan untuk mengantisipasi
kerugian pun harus disishkan dari keuntungan yang menjadi hak nasabah.
194 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank, demi mewujudkan
ekonomi umat yang selaras dengan syariah maka ditetapkan kebolehan
pencadangan ini.
Secara ideal apabila akad yang digunakan antara bank dengan nasabah
penyimpan adalah mudharabah maka kerugian harus ditanggung oleh
nasabah selaku shahibul mal karena dalam akad ini tanggung jawab
finansial ada di tangannya, berarti pula dana cadangan harus diambil dari
bagian keuntungan nasabah. Dan seandainya akad yang digunakan adalah
musyarakah maka kerugian harus ditanggung bersama antara para pihak
yang berakad sesuai proporsi modalnya. Sebagaimana perkataan ‘Ali
Ini berarti cadangan juga harus diambil dari bagian keuntungan kedua
belah pihak, bank dan nasabah. Namun kedua pilihan ini tidak diambil
Dewan.
231 Muhammad ibn Ahmad Ibn Rusyd, Op.Cit.,h.253, lihat juga al-Khatib, Mughni al-
Muhtaj Sharh al Minhaj, ( Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Araby, t.th), J. II, h.215
F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l | 195
Fatwa Dewan untuk menyisihkan keuntungan yang menjadi hak bank
menjadi dana cadangan ini tampaknya dilatarbelakangi oleh dua alasan.
Pertama, peraturan perundang-undangan yang berlaku mengisyaratkan
kewajiban menjamin dana nasabah dibebankan kepada bank syariah dan
dalam hal ini siyasah syar’iyah melandasi Dewan dalam fatwanya.
Kedua, Dewan mengambil ‘urf tijary yang berlaku di dunia perbankan
dimana bank biasa menyisihkan bagian keuntungan para pemegang
saham untuk dicadangkan demi antisipasi kerugian atau keuntungan di
tahun yang akan datang.232 Meskipun demikian, seandainya prinsip no
return without risk tetap dijunjung, fatwa tidak seharusnya hanya
membebankan dana cadangan kerugian ini kepada bank
A. Kesimpulan
Setelah diuraikan dalam bab – bab inti sebagai pembahasan dari kandungan
tulisan ini, dapat disimpulkan beberapa point penting.
1. Fatwa bukanlah suatu ketetapan hukum yang kebal dari perubahan, maka
tatkala kondisi-kondisi yang melingkupinya telah berubah, maka fatwa
pun perlu peninjauan ulang sebagaimana kaidah perubahan fatwa selaras
dengan perubahan masa dan tempat serta kondisi. Dengan semakin
bertambah kuantitas bank-bank syariah di tanah air diharapkan pula
terjadi peningkatan kualitas khususnya dalam mensinergikan misi
pembumian nilai-nilai syariah dalam kehidupan umat dengan kepentingan
bisnis dunia perbankan syariah. Di sinilah Dewan Syariah Nasional
diharapkan dapat menjawab tantangan tersebut sehingga fatwa-fatwa
yang dihasilkan dapat merespon dinamika yang terjadi dengan tetap
menjaga keselarasan dengan norma-norma syariah. Karenanya wawasan
yang luas dalam bidang syariah dan juga ekonomi merupakan suatu
kemestian bagi para anggota DSN khususnya dan umunya seluruh DPS.
2. Diperlukan suatu langkah inovatif oleh DSN agar dapat melalukan
pendekatan kepada pihak eksekutif dan legislatif, bersama elemen –
elemen masyarakat lainnya yang memiliki visi sama, untuk membentuk
Undnag-Undang Perbankan Syariah yang mandiri, agar berbagai kendala
hukum yang ada selama ini yang menghambat pengembangan bank
syariah khususnya yang terkait dengan pelaksanaan prinsip kesesuain
syariah tidak lagi dijumpai.
Al-Qur’an al-Karim
Abd Al-Wahhab Ibrahim Abu Sulaiman, Al-Fikr Al-Usuli, Jeddah: Dar Asy-
Syuruq, 1983
Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Qalam, 1978
Abu Hamid Al-Gazali, Al-Mustafa Fi ‘Ilm Al-Usul, Beirut: Dar Al-Kutub Al-
‘Ilmiyyah, 1983
Abu Umar Yusuf Ibn ‘Abd Allah Ibn Abd Al-Barr Al-Namiri, Al-Tahmid Li Ibn
‘Abd Al-Barr, Magribi: Wizarah ‘Umum Al-Awraq Wasy-Syu’un Al-
Islamiyyah, 1387
Ahmad an-Najjar, 100 Sual wa 100 Jawab Haul al-Bunuk al-Islamiyyah al-
Ittihad al-Dauliy Li al-Bunuk al-Islamiyyah, tt: tpn, 1985
200 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Ala’ Eddin Kharofa, Transaction inIslamic Law, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen,
1997
Ali Ausaf, The Political Economy of The Islamic State: A Comparative Study,
Michigan: University Microfilm Internasional, 1985
Ali Hasaballah, Usul At-Tasyri’ Al-Islami, Mesir: Dar Al- Ma’arif, 1964
Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab atl-Ta’rifat, Beirut: Riyad as-sulh, 1969
Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewab Hisbah Persis, Jakarta: Logos,
1999
----, pengawasan dan audit syariah pada bank syariah: konsep, aplikasi, dan
kebijakan,
Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyyah, I’lam Al-Muwaqi’in, Beirut: Dar Al- Fikr, t.th.
202 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
John L. Esposito, “Fatwa”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic
World, New York: Oxford University Press, 1995
Kahar Masyhur, Beberapa Pendapat Tentang Riba, Jakarta: Kalam Mulia, 1999
Khatib (al) asy-Syabainiyy, Mugni al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, Beirut: Dar al-
Fikr, 1994
M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, pent. Ikhwan Abidin, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000
M.M Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Jakarta: PT Bangkit Daya
Insani, 1995
Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Cairo: Ddar al-Fikr al-‘Arabi, 1958
Muhammad Ibn Umar Ibn Husain al-Quraisy ar-Razi, at-Tafsir al-Kabir, Kairo:
al-Matba’ah al-Bahaiyyah al-Misriyyah, 1938
204 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Sidqiyy Ibn Ahmad al-Burnu, al-Wajiz Fi Idah Qawait al-Fiqh al-Kulilyah,
Saudi Riyad: Muassasah al-Risalah, 1983
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001
Ratno Lukito, “Syariat Islam dalam Ruang Polisentris Hukum”, Kompas, Senin,
22 April 2002
Sa’alibi (al) al-Fasi, al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional | 205
Sayyid Al-Sabiq, Fiqh As-Sunah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1983, J.III
Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000
----, Ijtihad Dalam Syari’at Islam, terj. Drs Ahmad Syathori, Jakarta: Bulan
Bintang: 1987
206 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
KEPUTUSAN
DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Tentang
Menimbang :
Memperhatikan :
Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Sabtu tanggal
1 April 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
MUKADDIMAH
Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan
lil alamin). Ajarannya mencakup semua aspek kehidupan, tidak terkecuali
bidang ekonomi yang dalam perkembangannya saat ini dan mendatang
dirasakan semakin kompleks. Apalagi pada millenium ke-3 mendatang akan
terjadi perubahan-perubahan yang amat cepat dimana pengaruh era keterbukaan
(globalisasi) yang cenderung mengabaikan batas-batas geografis.
208 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
Pengembangan lembaga-lembaga keuangan terutama lembaga keuangan
syariah juga mengalami kemajuan-kemajuan yanng pesat, dan adalah pada
saatnya untuk melakukan pemantauan, pengawasan dan arahan yang
memungkinkan pengembangan lembaga-lembaga keuangan tersebut.
1. DASAR PEMIKIRAN
210 | F a t w a - f a t w a D e w a n S y a r i a h N a s i o n a l
1. Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam
kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada
khususnya.
2. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.
3. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
4. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
2. Dewan Syariah Nasional berwenang :
Di tetapkan di : Jakarta
Tanggal : 26 Dzulhijjah 1420H
01 April 2000 M
Ketua, Sekretaris,