Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Dosen Penghampu :
Karmuji, S. Hi., M. Sy
Kelompok 10
Disusun Oleh :
1. Ahmad Syaifulloh
2. Dian Risma Sari
3. Hetti Nur Izzah Khamelia
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat
dan kenikmatan berupa tetapnya iman dan Islam kepada kita semua sehingga
mampu menyelesaikan salah satu dari tugas yang berupa makalah untuk
menempuh mata kuliah ayat ekonomi Islam. Shalawat dan salam semoga selalu
dilimpahkan-Nya kepada Rosulullah Muhammad SAW yang diutus sebagai
rahmat dari semesta alam.
penyusun
II
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
III
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan
(azziyadah). Riba adalah tambahan yang berasal dari usaha haram yang
merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi. Pada dasarnya transaksi riba
dapat terjadi dari transaksi hutang piutang, namun bentuk dari sumber tersebut
bisa berupa pinjaman, jual beli dan lain sebagainya. Para ulama menetapkan
dengan tegas dan jelas tentang pelarangan riba, disebabkan riba mengandung
unsur eksploitasi yang dampaknya merugikan orang lain, hal ini mengacu pada
Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma’ para ulama.
Bahkan dapat dikatakan tentang pelarangannya sudah menjadi aksioma dalam
ajaran Islam. Dalam makalah ini, penyusun akan memaparkan topik-topik yang
berhubungan dengan riba mulai dari: Pengertian. Ayat Riba.Hukum Riba, Jenis-
jenis Riba, Faktor Penyebab diharamkannya Riba dan Dampak yang timbul dari
riba.
1
3. Apa saja jenis-jenis dari Riba?
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Riba
Di dalam bahasa Arab ada beberapa kata yang berakar dari susunan
huruf ر-ب-اyang mempunyai arti berbeda akan tetapi menggambarkan arti dasar
yang sama yaitu “ lebih” dan akan di gambarkan oleh 4 buah kata sebagai contoh.
Dalam al-Qur’an ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat
surat,diantaranya yaitu 30:39, 4:160, 3:130 dan juga dalam ayat yang lainya. Tiga
diantarannya turun setelah Nabi Hijrah dan satu ayat lagi ketika beliau masih di
Makkah. Yang di Makkah walaupun menggunakan kata riba 30:39, ulama
sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram karena ia
diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotif memperoleh imbalan banyak
dalam kesempatan yang lain.
3
2.2 Hukum Riba
َا َد فَُأو ٰلَِئكQQ ُرهُ ِإلَى هَّللا ِ َو َم ْن َعQلَفَ َوَأ ْمQا َسQQهُ َمQَا ْنتَهَ ٰى فَلQQََوَأ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا فَ َم ْن َجا َءهُ َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ِه ف
ار هُ ْم فِيهَا خَ الِدُون ِ ََّأصْ َحابُ الن
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”.(QS Al
Baqarah:275)
Penjelasan Ayat
ّالَّ ِذينَيَْأ ُكلُونَال ِّربَااَل يَقُو ُمونَِإاَّل َك َمايَقُو ُمالَّ ِذييَتَ َخبَّطُهُال َّش ْيطَانُ ِمن َْال َمس -
4
Yang dimaksud dengan keadaan orang-orang yang memakan riba di dunia ini,
seperti orang yang sengaja melakukan perbuatan lantara mereka gila, karena
mereka dimabukkan oleh kecintaan harta. Dan, setelah harta mampu
memperbudak pikirannya, maka jiwanya menjadi ganas, ingin sekali
mengumpulkan harta sebanyak mungkin, dan harta menjadi tujuan pokok
kehidupannya. Mereka menganggap tidak perlu susah-susah dengan menjalankan
riba, dan meninggalkan usaha lainnya. Sehingga, jiwa mereka keluar dari garis
pertengahan yang banyak dianut orang.
Jika mereka memakan riba, maka riba akan dianggap sebagai yang
dihalalkan, sama seperti jual beli. Dalam keyakinan si pemakan, hal tersebut sama
bolehnya dengan seseorang menjual barang dagangan yang harganya sepuluh
dirham, misalnya dengan bayaran kontan, atau dua puluh dirham dengan kredit.
Karena anggapan membolehkan tadi, maka dalam keyakinan mereka dibolehkan
pula memberikan sepuluh dirham terhadap orang yang membutuhkannya, dengan
syrat ia akan mengembalikannya menjadi dua puluh dirham setelah setahun.
Sebab dibolehkannya ini (dua mu’amalah ini) menurut keyakinan adalah sama,
yakni perbedaan waktu.
َوَأ ْم ُرهُِإلَىاهَّلل
5
Dalam ayat ini terkandung isyarat yang menunjukkan bahwa dibolehkannya hal-
hal yang telah lalu dari hasil riba, adalah sebagai rukhshah lantaran darurat, dan
mengambil bunga yang sudah dimakan sebelum adanya larangan ini, adalah teka
yang mulia.
ٰ ُأ
ِ ََّ و َم ْن َعادفَ ولَِئ َكَأصْ َحابُالن
َارهُ ْمفِيهَاخَالِ ُدون َ
siapa saja yang kembali seperti sedia kala, yakni memakan riba setelah
adanya pengharaman, maka orang yang melakukan itu termasuk orang yang tidak
mau mendengar nasehat Allah. Padahal Allah tidak sekali-kali melarang mereka
kecuali lantaran hal yang sangat membahayakan diri mereka. Dan mereka (yang
memakan riba), adalah penghuni neraka, yang tetap didalamnya.
Ulama sepakat menetapkan Riba Fadhl pada tujuh barang seperti terdapat pada
nash, yaitu emas, perak, gandum syair, kurma, garam dan anggur kering. Pada
benda-benda ini, adanya tambahan pada pertukaran sejenis adalah diharamkan.
Adapun pada barang selain itu, para ulama berbeda pendapat:
2. Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dan Abu Hanifah, riba
fadhl terjadi pada setiap jual beli barang sejenis dan yang ditimbang.
3. Imam Syafi’i dan sebagian imam Ahmad berpendapat bahwa riba fadhl
dikhususkan pada emas, perak, dan makanan meskipun tidak ditimbang.
Untuk lebih jelas nya perbedaan pendapat tersebut akan dijelaskan di bawah ini:
1. Mazhab Hanafi
6
Illat riba fadhl menurut ulama hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar atau
ditimbang serta barang yang sejenis, seperti emas, perak, gandum, syair, kurma,
garam dan anggur kering. Dengan kata lain jika barang-barang yang sejenis
tersebut ditimbang utuk diperjualbelkan dan terdapat tambahan dari salah satunya,
terjadilah riba fadhl.
Ulama Hanafiyah mendasarkan pendapat mereka pada hadis sahih dari Said al-
Khudri dan Ubadah Ibn Shanit r.a bahwa Nabi SAW. Bersabda:
1. Mazhab Malikiyah
Illat diharamkannya riba menurut ulama Malikiyah pada emas dan perak adalah
harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan mereka berbeda pendapat
dalam hubungannya dengan riba nasi’ah dan riba fadhl.
Illat diharamkannya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekedar makanan saja
(makanan selain untuk mengibati), baik karena pada makanan tersebut terdapat
unsur penguat (makanan pokok) dan kuat disimpan lama atau tidak ada kedua
unsur tersebut.
Illat diharamkannya riba fadh pada makanan adalah makanan tersebut dipandang
sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama.
Alasan ulama Malikiyah menetapkan illat diatas antara lain, apabila dipahami agar
tidak tidak terjadi penipuan di antara manusia dan dapat saling menjaga, makanan
tersebut haruslah dari makanan yang menjadi pokok kehidupan manusia yakni
makanan pokok seperti gandum, padi, jagung dan lain-lain.
1. Madzhab Syafi’i
7
Illat riba pada emas dan perak adalah harga yakni kedua barang tersebut
dihargakan atau menilai harga suatu barang. Illat pada makanan adalah sesuatu
yang bisa dimakan dan memenuhi 3 kriteria sbb :
Dengan demikian riba dapat terjadi pada jual beli makanan yang memenuhi
kriteria di atas. Agar terhindar dari unsur riba, menurut ulama Syafi’iyah, jual beli
harus memenuhi kriteria :
1.Dilakukan waktu akad, tidak mengaitkan pembayarannya pada masa yang akan
datang.
2.Sama ukurannya.
3.Tumpang terima
Selain itu, dipandang tidak riba walaupun ada tambahan jika asalnya tidak sama
meskipun bentuknya sama, seperti menjual tepung gandum dengan tepung jagung.
1. Madzhab Hambali
8
Pada madzhab ini terdapat 3 riwayat tentang illat riba, yang paling masyhur
adalah seperti pendapat ulama Hanafiyah hanya saja ulama Hanabilah
mengharamkan pada setiap jual beli sejenis yang ditimbang dengan satu kurma.
Riwayat kedua adalah sama dengan illat yang dikemukakan oleh ulama
Syafi’iyah. Riwayat ketiga, selain pada emas dan perak adalah pada setiap
makanan yang ditimbang, sedangkan pada makanan yang tidak ditimbang tidak
dikategorikan riba walaupun ada tambahan. Demikian juga pada sesuatu yang
tidak dimakan manusia.
Hal ini sesuai dengan pedapat Saib bin Musayyib yang mendasarkan pendapatnya
pada hadits Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada riba kecuali pada yang
ditimbang atau dari yang dimakan dan diminum”. (HR Daruquthni)
2.3 Jenis-jenis Riba
Jumhur ulama membagi riba dalam 2 bagian yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah :
Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah “Tambahan zat harta pada akad jual
beli yang diukur dan sejenis”
Dengan kata lain, riba fadhl adalah berlebih salah satu dari dua pertukaran
yang diperjualbelikan. Bila yang diperjualbelikan sejenis, berlebih timbangannya
pada barang-barang yang ditimbang, berlebih takarannya pada barang-barang
yang ditakar dan berlebih ukurannya pada barang-barang yang diukur.
Oleh karena itu, jika melaksanakan akad sharf (penukaran) antar barang
yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba.
Larangannya adalah menukar atau menjual komoditi yang sama (terkait dengan 6
komoditi yaitu emas, perak, gandum, biji-bijian, garam dan kurma) dengan jumlah
yang berbeda.
• Riba nasi’ah
9
dibanding utang pada benda yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau
selain dengan yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya”.
Namun, secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba
utang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi menjadi riba qordh
dan jahiliyah, sedangkan kelompok kedua ada dua macam, yaitu riba fadl dan
nasi’ah.
3. Riba fadl adalah pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau
takaran yang berbeda. Ini haram berdasarkan As-Sunnah dan ijma’ karena
merupakan sarana menuju riba nasi’ah.
َ ُمْؤ ِمنِين ُك ْنتُ ْم ِإ ْن الرِّ بَا َ ِمن بَقِ َي َما َو َذرُوا َ هَّللا اتَّقُوا آ َمنُوا َالَّ ِذين َأيُّهَا يَا
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Ibnu Abbas berkata “Suatu ketika, bani mughirah mengadu kepada gubernur
makkah, Attab bin Usaid bahwa mereka menghutangkan hartanya kepada bani
Amr bin Auf dari penduduk Tsaqif. Kemudin, bani Amr bin Auf meminta
10
penylesaian tagihan riba mereka. Atas konflik ini, Atab mengirim surat laporan
kepada Rasulullah. Sebagai jawaban, turunlah ayat ini”(HR. Abu Ya’la dan Ibnu
Mandah)
c. Penjelasan Ayat
2.5 Dampak Riba
· Pribadi seseorang
· Kehidupan masyarakat
Ekonomi
5.Monopoli
6.Penimbunan barang
7.Matinya sedekah
8.Pengurangan timbangan
11
9.Makanan semakin tidak berkualitas dan syubhat
11.Sumpah palsu
12.Kerusakan harga
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam al-Qur’an ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat
surat,diantaranya yaitu 30:39, 4:160, 3:130 dan juga dalam ayat yang lainya
• Macam-macam riba yaitu: Riba Jahiliyah, Riba Qardhi, Riba Fadli, dan
Riba Nasi’ah.
3.2 Saran
Makalah kami jauh dari kata sempurna maka dari itu penilaian saran sangat di
perluakan agar mana kita dapat lebih baik dalam membuat makalah berikut nya
13
DAFTAR PUSTAKA.
Diana, Ilfi Nur. 2012. Hadis-hadis Ekonomi. Malang: UIN Maliki Press.
Hadi, Abu Sura’I Abdul. 1993. Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M.
thalib. Surabaya: al-ikhlas.
Sabiq, Sayyid. 2013. Fiqh Sunnah Jilid 5. PT.Tinta Abadi Gemilang, cet.1
14