Dosen Pengampu :
Dr. Mohammad Anang Firdaus, M. Pd. I
Disusun oleh:
Saya sangat berterima kasih kepada orang-orang yang sangat berjasa dalam pengerjaan
makalah kami ini, diantaranya :
1. Dr. Mohammad Anang Firdaus, M.Pd.I selaku dosen pengampu mata kuliah Kajian
Teks Arab yang selalu memberikan masukan dan bimbingan kepada saya sehingga saya mampu
menyelesaikan makalah ini dengan baik.
2. Kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan dan semangat selama saya
mengerjakan makalah ini sehingga saya bisa menyelesaikan makalah kami ini tepat waktu.
Saya menyadari bahwasanya makalah ini jauh dari kata sempurna serta banyak
kekurangan-kekurangan baik dari segi kata bahasa maupun dalam hal aspek yang dibahas, oleh
karena itu saya meminta kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang dapat membuat
makalah saya ini menjadi lebih baik lagi, terimakasih.
13 Desember 2021
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teks Arab Ihtikar dan Terjemahan
Penimbunan harta atau dalam bahasa arab lebih dikenal dengan Ihtikar (ِ)اال ْحتِ َكا ِر,
ِ yaitu
penimbunan barang sehingga persediaan (Stok) hilang di pasar dan harga menjadi naik.5 Al-
Fahrius Abdi menyebutkan bahwa ihtikar artinya mengumpulkan, menahan barang, dengan
harapan mendapatkan harga yang mahal. Dan Ibnu Mandzur menyebutkan bahwa ihtikar
adalah perbuatan mengumpulkan makanan atau yang sejenis dan menahan dengan maksud
menunggu naiknya harga barang tersebut.6 Berdasarkan kedua pendapat diatas dapat dikatakan
bahwa kegiatan penimbunan harta merupakan kegiatan menahan barang yang dikumpulkan
saat harga murah kemudian menjualnya pada saat harga barang tersebut tinggi.
Lebih lanjut lagi para ulama fikih memberikan gambaran lebih jauh tentang praktek
penimbunan harta (ihtikar) tersebut, pendapat tersebut adalah sebagai berikut:7
1. Asy-Syukaini mendefenisikan bahwa Ihtikar merupakan penimbunan barang dari
peredarannya.
2. Al-Gazali mendefinisakan ihtikar sebagai penyipanan barang dagang oleh penjual
makanan untuk menunggu melonjaknya harga harga dan penjualannya ketika harga
5
Misbahuddin, E-commerce dan Hukum Islam (Makassar: Alauddin University Press,
2012), h. 115.
6
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontenporer )Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 2016(,
h. 85.
7
Ahmad Sarwat, Ensiklopedia Fikih Indonesia 7: Muamalat (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2018), h. 42.
3
melonjak.
3. Al-Maliki mendefenisikan ihtikar sebagai penyimpanan barang oleh produsen, baik
makanan, pakaian, dan segala barang yang merusak pasar.
Dari pendapat diatas dapat ditarik makna bahwa praktek tersebut merupakan suatu
penimbunan barang pada saat lapang sehingga dapat membuat bara ng tersebut akan menjadi
langkah dipasarannya dan menjaulnya pada saat harganya berangsur mulai melonjak.
Dasar hukum yang digunakan para ulama fiqh yang tidak membolehkan adanya ihtikar
adalah kandungan nilai-nilai universal al-Qur’an yang menyatakan bahwa setiap perbuatan
aniaya termasuk di dalamnya ihtikar diharamkan olehagama Islam. Adapun sumber hukum
larangan ihtikar adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
ۤ
ِالسب ْيلِ حك ِْي حال
َّ ي حوابْ ِن َّ ىِر ُس ْولهٖ م ِْن اح ْهلِ الْ ُق هرى فحل هلٰهِ حول
ِ ْ لر ُس ْولِ حولذى الْ ُق ْربهِ حوالْيح ت ههمى حوال حْم هسك ه ه
حمآِاحفح ح ُٰ ح ح
ل ِع ِاّلل ء ا
ۚ ْۗ ۤ
ٰواِاّللحِْۗا َّن ه
ِِاّللحِ حشدِيْ ُد ِٰواتَّ ُق ه اَِنهى ُك ْم ح
ِعْنهُِفحانْ تح ُه ْوا ح ِوحم ح َّ ِوحمآِ ها هتى ُك ُم
ِالر ُس ْو ُلِفح ُخ ُذ ْوهُ ح ي ْاالح ْغنيحاءِ مِ ْن ُك ْم ح
ِيح ُك ْو حِن ُد ْولحةِ ِۢ بحْح
ِالْع حقاب
Terjemahan:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul,
kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara
kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat
keras hukumannya. (QS. Al-Hasyr Ayat 7).
2. Hadis
a. Hadis yang diriwayatkan Sa‟id bin Musayyab.
Terjemahan:
4
“Dari Sa’id ibnul Musayyib, dari Ma’mar bin Abdillah dari Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidaklah seorang menimbun kecuali dia berdosa” (HR. Muslim: 756).
b. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
Terjemahan:
”Barangsiapa menimbun suatu timbunan supaya menjualnya dengan harga yang tinggi
kepada kaum muslimin, maka dia telah berbuat dosa” (HR. Ahmad: 8617)
3. Pendapat Beberapa Ulama Tentang Ihtikar
a. Menurut Ulama Maliki ihtikar hukumnya haram secara mutlak (tidak dikhususkan bahan
makanan saja(, hal ini didasari oleh sabda Nabi Saw. “Barangsiapa menimbun maka dia
telah berbuat dosa.” )HR. Muslim(
b. Mazhab Hanafi secara umum berpendapat, ihtikar hukumnya makruh tahrim. Makruh
tahrim adalah istilah hukum haram dari kalangan usul fiqh Mazhab Hanafi yang didasarkan
pada dalil zhanni (bersifat relatif). Ulama Mazhab Hanafi tidak secara tegas menyatakan
haram dalam menetapkan hukum ihtikar karena dalam masalah ini terdapat dua dalil yang
bertentangan, yaitu berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas
melakukan jual beli sesuai kehendak mereka dan adanya larangan berbuat mudharat
kepada orang lain dalam bentuk apa pun.
c. Menurut Ulama Syafi‟i ihtikar hukumnya haram, berdasarkan hadis Nabi dan ayat al-
Qur’an yang melarangnya melakukan ihtikar.
d. Ulama Mazhab Hanbali juga mengatakan ihtikar diharamkan syariat karena membawa
mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara, karena Nabi Saw. telah melarang
melakukan ihtikar terhadap kebutuhan manusia.
Adapun menimbun barang diharamkan menurut para ulama fiqh bila memenuhi tiga kriteria
sebagai berikut:
a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu
tahun penuh. seseorang boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun
sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah Saw.
b. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan
kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya
5
dengan harga mahal.
c. Yang ditimbun ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain.
Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetapi tidak termasuk bahan
pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat maka itu tidak termasuk menimbun.
D. Jenis-Jenis Ihtikar
Dalam masalah ini para fuqaha berbeda pendapat mengenai dua hal, yaitu jenis barang
yang diharamkan menimbun dan waktu yang diharamkan orang menimbun. Para ulama berbeda
pendapat mengenai objek yang ditimbun yaitu:
1. Kelompok yang pertama mendefinisikan ihtikar sebagai penimbunan yang hanya
terbatas pada bahan makanan pokok (primer) saja.
Imam al-Gazali (ahli fikih mazhab asy-Syafi’i(, sebagian Mazhab Hambali
dimana beliau berpendapat bahwa yang dimaksud al-Ihtikar hanyalah terbatas pada
bahan makanan pokok saja sedangkan selain bahan makanan pokok (sekunder) seperti,
obat-obatan, jamu-jamuan, dan sebagainya tidak termasuk objek yang di larangan dalam
penimbunan barang walaupun sama- sama barang yang bisa dimakan karena yang
dilarang dalam nash hanyalah dalam bentuk makanan saja. Menurut beliau masalah
ihtikar adalah menyangkut kebebasan pemilik barang untuk menjual barangnya. Maka
larangan itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk oleh nash.
2. Kelompok yang kedua mendefinisikan Ihtikar yaitu menimbun segala barang-barang
keperluan manusia baik primer maupun sekunder.
Imam Abu Yusuf (ahli fikih mazhab Hanafi), mazhab Maliki berpendapat
bahwa larangan ihtikar tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi
meliputi seluruh produk yang dibutuhkan oleh masyarakat. Menurutnya, yang menjadi
ilat (motivasi hukum) dalam larangan melakukan ihtikar tersebut adalah kemudaratan
yang menimpa orang banyak. Oleh karena itu kemudaratan yang menimpa orang
banyak tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup
seluruh produk yang dibutuhkan orang banyak.
Apabila telah terjadi penimbunan barang, maka pemerintah berhak memaksa para
pedagang untuk menjual barang tersebut dengan harga standar yang berlaku di pasar. Bahkan
6
menurut para ulama barang yang ditimbun oleh para pedagang dijual dengan harga modalnya
dan pedagang tersebut tidak dibenarkan mengambil keuntungan sebagai hukuman terhadap
mereka. Sekiranya para pedagang itu enggan menjual barangnya dengan harga pasar, maka pihak
penegak hukum (hakim) dapat menyita barang itu dan kemudian membagikannya kepada
masyarakat yang memerlukannya.
Pihak pemerintah seharusnya setiap saat memantau dan mengantisipasi agar tidak
terjadi ihtikar dalam setiap komoditas, manfaat dan jasa yang sangat diperlukan masyarakat.
Harga standar yang tidak memberatkan dan merugikan pedagang harus dipadukan dan tidak
menguntungkan sepihak antara masyarakat dan pedagang. Pemerintah tidak dibenarkan
mengekspor bahan kebutuhan warganya sampai tidak ada lagi yang dapat dikonsumsi oleh
masyarakat, sehingga membawa kemudaratan. Pengeksporan barang-barang yang diperlukan
masyarakat pada dasarnya sama dengan ihtikar dari segi akibat yang dirasakan oleh masyarakat.
Lebih parah lagi, apabila barang- barang itu dikirim ke luar negeri seperti halnya minyak tanah,
padahal masyarakat betul-betul membutuhkannya.
Secara umum, hikmah larangan perbuatan menimbun harta adalah mecegah dari segala
sesuatu yang dapat menyulitkan manusia, karena hal itu mempunyai kadar kemudharatan. Oleh
karena itu para ulama sependapat bahwa praktek penimbuanan harta atau yang sering disebut
dalam makalh ini sebagai ihtikar adalah haram.
Secara khusus hikmah pelarangan praktik pertama, menjauhkan manusia untuk saling
menzholimi antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain adanya larangan menimbun harta
akan menjauhkan manusia untuk menimbulkan kemudharatan bagi orang lain, karena
penimbunan harta akan menimbulkan sebuah kemudharatan yang sangat besar bagi masyarakat
karena mengakibatkan hilangnya barang yang sangat dibutuhkan masyarakat dipasaran sehingga
akan mengakibatkan tingginya harga barang tersebut, akbitnya harga barang dipasaran dapat
mencekik leher masyarakat karena itu adalah kebutuhan jadi mau tidak mau akan dibeli.
Kedua, memunculkan sifat kedermawanan seseorang kepada orang disekitarnya
(lingkungan sosial), artinya sikap kepedulian sosial akan menimbulkan suatu sikap untuk saling
memberi antar sesema makhluk Tuhan, sehingga praktek penimbunan harta itu memang tidak
ada, karena orang yang mempraktekannya hanya orang-orang yang mengutamakan sikap
individualitik semata.
7
Ketiga, Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan
menjauhkannya dari peredaran. Artinya praktek penimbunan harta akan melumpuhkan aktivitas
ekonomi disekitarnya baik itu produksi, distribusi ataupun dalam pengecerannya, sehingga akan
banyak aktivitas perekonomian yang akan lumpuh karena volume daya beli masyarakat akan
semakin berkurang karena adanya kenaikan harga yang sangat siknifikan, ditambahlagi dengan
lumpuhnya akativitas ekonomi akan menimbulkan kenaikan angka pengangguran di sekita lokasi
tersebut yang disebabkan tidak berjalannya praktek produksi, distribusi dan pengecaran barang,
dengan demikian dengan adanya pelarangan praaktek menimbun harta akan mendorong volume
daya beli masyarakat dengan faktor terjangkaunya harga barang dipasaran dan meluasnya
lapangan kerja karena aktvitas perekonomian berjalan sebagai mana mestinya.
Keempat, Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan
persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab
terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya dan
maju secara ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok.
Bahkan, negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara yang
kurang maju perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang dibutuhkan
oleh negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan distribusi
kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.
Berdasarkan hikmah diatas maka dapat dilihat bahwa pelarangangan praktik
penimbunan harta mempunyai kemaslahatan yang luar biasa karena bukan hanya menyangkut
masalah ibadah, akan tetapi aspek sosial dan ekonomipun mempunyai dampak yang baik.
Sehingga jika aturan ini dilakukan maka akan memberikan dampak posisitif yang luar biasa bagi
kehidupan umat muslim secara khususnya.
8
BAB III
STUDI KASUS & ANALISIS
A. Deskripsi Kasus
9
kelangkaan masker yang diduga disebabkan penimbunan masker. Saat digerebek, polisi
mengamankan 10 orang, masing-masing berinisial YRH ,EE, F, DK, SL, SF, ER, D, S, dan LF.
"Kami berhasil mengamankan sekitar 10 orang, yakni pegawainya, mulai dari penanggung jawab
sampai sopirnya," ungkap Yusri.
Empat hari berselang, polisi kembali menggerebek lokasi yang diduga menjadi tempat
penimbunan masker di Perumahan Bukit Permai, Ciracas, Jakarta Timur, 4 Maret 2020. Polisi
menangkap seorang penyuplai masker inisial FN (28). Adapun barang bukti yang disita berupa
32.100 masker dengan rincian 23.100 masker tanpa merek dan 9.000 masker merek Sensi.
Namun, seiring pengungkapan kasus penimbunan masker, masyarakat saat itu juga
sudah tidak lagi menggunakan masker medis yang semula dicari, tetapi jenis masker lain. Saat
itulah permintaan dan pasokan akan penggunaan masker medis mulai cenderung normal.
Penimbun merugi, bahkan dihukum. Kini masker medis hingga hand sanitizer sudah bisa
ditemukan di berbagai supermarket atau apotek.
Mengenai kasus di atas kita harus memahami terlebih dahulu makna penimbunan harta
dan maksud dari penimbunan tersebut. Dalam konteks pemaknaan Al-Qur’an sendiri, menimbun
harta dapat dikategorikan pada dua makna, yaitu:
1. Menimbun harta untuk kebutuhan hidup dan menyimpan harta untuk kepentingan
pribadi asalkan tidak menyebabkan kekacauan ekonomi, tanpa memberi mudarat pihak
lain dan tetap memiliki makna sosial. Hal ini dibenarkan dan sejalan dengan fitrah
manusia untuk menumbuhkan dan memperbanyak harta. Al-Qur’an sendiri
menghendaki kita mencari harta
(QS. al-Jumu’ah/62: 10(.
10
carilah karunia dan ingatlah Allah banyak – banyak agar kamu beruntung.”8
2. Menimbun harta untuk menahan dengan sengaja pada waktu tertentu sehingga harta
tersebut sedikit beredar di pasaran untuk kemudian dijual dengan harga yang mahal
pada waktu orang banyak sangat membutuhkan demi mencari keuntungan yang besar.
Inilah yang masuk pada kategori ihtikâr dan tidak dibenarkan dalam agama.
Lebih jauh, hadis memperjelas kedudukan mereka (pelaku penimbunan), yakni
pendosa/berdosa. Al-Raghib al-Isfahanî mengatakan yaitu “orang yang sengaja melakukan
dosa.”9
Dalam kata tersebut terkandung maksiat yang besar, Yusuf Qardhawi menerangkan
bahwa kata khati’un (orang yang berbuat berdosa, salah) bukanlah kata yang ringan. Kata ini
disebutkan al-Qur’an untuk menyebutkan sifat orang yang sombong dan angkuh seperti Fir’aun,
Haman dan teman-temannya.10
Berdasarkan hadis di atas, pelaku iḥtikār penimbunan masker di Perumahan Bukit
Permai, Ciracas, Jakarta Timur berdosa karena perbuatannya itu bisa membuat orang lain
menjadi kesulitan mendapatkan keperluannya, apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini.
Kebutuhan masker dan hand sanitizer telah menjadi kebutuhan prioritas masyarakat pada
umumnya. Namun, untuk mendapatkannya sulit dikarenakan perilaku pedagang yang
memanfaatkan keadaan dengan menimbun barang-barang yang menjadi perhatian utama
masyarakat di masa sekarang. Selain masyarakat sulit mendapatkannya, harga barang jua
melonjak tinggi sehingga masyarakat yang tergolong ekonomi lemah tidak dapat membeli
barang tersebut meskipun sangat dibutuhkan. Dalam kondisi seperti ini, tidak terlihat lagi
manusia sebagai mahluk sosial yang saling membatu sesamanya, melainkan membuat mereka
yang susah semakin susah.
Menimbun dilarang karena ada unsur tadqiyah yaitu membuat kesulitan kepada
masyarakat umum baik dari sisi barang maupun harga. Barang yang ditimbun dapat menyulitkan
pihak-pihak tertentu dan menyebabkan harga barang melambung. Hal ini tidak sesuai dengan
tujuan syariat Islam yakni menciptakan kemaslahatan dengan mendatangkan manfaat dan
membuang kesengsaraan. Terlebih perilaku ini hanya untuk mendapatkan keuntungan di atas
8
Ma’had Tahfidz Yanbu’ul Qur’an Kudus, Al-Quddūs Al-Qur’an Terjemah Bi Rosm Utsmani, 551.
9
Al-Raghib Al- Isfahani, Al-Mufradat fî Gharib al-Qur’an )Beirut: Dâr al-Ma’rifah,
1998), 288.
10
Qardhâwî, Al-Halâl wa al-Harâm fî al-Islâm (Kairo: Dâr al-Mishriyyah, 1988), 354.
11
penderitaan orang lain. Disinilah agama berperan penting sebagai barometer penekan terhadap
perilaku manusia.
Di masa covid 19 ini, bukan hanya krisis ekonomi yang terjadi akan tetapi krisis moral
dan kasih sayang juga akan terjadi jika iḥtikār terus dilakukan. Di mana manusia tidak peduli
dengan yang lainnya mereka hanya mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan penderitaan
orang lain. Sehingga akibatnya akan terjadi krisis ekonomi, seperti mahalnya harga barang dan
sulitanya seseorang untuk mendapatkan bahan-bahan makanan pokok maupun bahan-bahan
lainnya yang ditimbun oleh para pedagang atau oknum-oknum yang memanfaatkan situasi
pandemi COVID 19 ini demi meraih keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memikirkan nasib
saudaranya yang menderita akibat dari perilakunya tersebut.
12
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Saya menyadari bahwa makalah yang saya buat masih memilki banyak kekurangan baik
dari segi teknik penyajian maupun bahasanya. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun untuk penyempurnaan makalah ini.
13
DAFTAR PUSTAKA
Husen, La Ode. Hukum Persaingan Usaha; Hakikat Fungsi KPPU di Indonesia. Cet. I; Makassar:
CV. Social Politic Jenius. 2017.
Misbahuddin. E-commerce dan Hukum Islam. Makassar: Alauddin University Press. 2012.
Nadratuzzaman, Muhamad. Produk Keuangan dalam Islam di Indonesia dan Malaysia. Jakarta:
PT. Raja Gramedia Pustaka Utama. 2017.
Nasution, Mustafa Edwin. Pengantar Eksklusif Ekonomi Islam. Cet. V; Jakarta: Kencana. 2016.
Mustofa, Imam. Fiqih Mu’amalah Kontenporer. Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 2016.
Sarwat, Ahmad. Ensiklopedia Fikih Indonesia 7: Muamalat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
2018.
Ma’had Tahfidz Yanbu’ul Qur’an Kudus. Al-Quddūs Al-Qur’an Terjemah Bi Rosm Utsmani.
Kudus: CV Mubarokatan Thoyyibah, 2014.
Qardhâwî. Al-Halâl wa al-Harâm fî al-Islâm. Kairo: Dâr al-Mishriyyah, 1988
Isfahani, Al-Raghib Al-. Al-Mufradat fî Gharib al-Qur’an. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1998.
14