Anda di halaman 1dari 15

KAIDAH DASAR AKAD DALAM BERMUAMALAH

ADALAH KERIDHAAN KEDUA BELAH PIHAK

“Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Qawaid Fiqhiyah Fil Muamalah”


Dosen pengampuh : Muuhammad Iqbal, SE, MA.

Disusun Oleh Kelompok 2 :


1. Irma Dwi Madhani (0502192100)
2. Rizla Akbar (0502193203)
3. Sofia Anggreni Siagian (0502191023)

AKUNTANSI SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah dari mata kuliah Qawaid Fiqhiyah Fil Muamalah yang berjudul “KAIDAH
DASAR AKAD DALAM BERMUAMALAH ADALAH KERIDHAAN KEDUA BELAH
PIHAK”

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Terima kasih.

Wassalamu ‘alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Medan, 26 April 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
C. Tujuan .......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 3

A. Pengertian Muamalah dan Akad .................................................................. 3


B. Dalil Qaidah keridhaan kedua belah pihak yang mengadakan akad ............ 4
C. Asas Muamalah dalam pelaksanaan Akad ................................................... 6
D. Cacat Dalam Akad ....................................................................................... 7
E. Penerapan Qaidah Fiqhiyyah Muamalah ..................................................... 8

BAB III PENUTUP ................................................................................................. 10

A. Kesimpulan ................................................................................................... 10
B. Kritik dan Sran .............................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 11

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Muamalah ialah kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara
hidup sesama manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Dan menurut Muhammad
Yusuf Musa adalah peraturan-peraturan Allah yang diikuti dan ditaati dalam hidup
bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia. Dari pengertian di atas, dapat diketahui
bahwa fiqh muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah SWT, yang ditunjukan untuk
mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan
urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan. Menurut pengertian ini, manusia, kapanpun dan
dimanapun, harus senantiasa mengikuti aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT, sekalipun
ada pemisahan antara amal dunia dan amal akhirat, sebab sekecil apapun aktivitas manusia
didunia harus didasarkan pada ketetapan Allah SWT agar kelak selamat diakhirat.
Dalam bermu'amalah manusia selalu membutuhkan bantuan dari orang lain, karena
manusia disebut sebagai makhluk sosial (Zoon Politicon). Berarti manusia tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Interaksi antar sesama
manusia dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia demi kelangsungan hidupnya.
Dalam kehidupan bermuamalah, Islam telah memberikan garis kebijaksanaan perekonomian
yang jelas. Transaksi bisnis merupakan hal yang sangat diperhatikan dan dimuliakan oleh
Islam. Perdagangan yang jujur sangat disukai oleh Allah SWT. Allah SWT memberikan
rahmat-Nya kepada orang-orang yang berbuat demikian. Perdagangan, bisa saja dilakukan
oleh individual atau perusahaan dan berbagai lembaga tertentu yang serupa.
Kegiatan bermuamalah salah satunya adalah berniaga atau berdagang. Kegiatan tersebut
merupakan anjuran dari Rasulullah SAW. Jual beli merupakan suatu perjanjian tukar-
menukar barang atau benda yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah
pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan
perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan oleh syara‟ dan disepakati.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Pengertian Muamalah dan Akad ?
2. Apa saja Dalil Qaidah keridhaan kedua belah pihak yang mengadakan akad ?

1
3. Apa Asas Muamalah dalam pelaksanaan Akad ?
4. Apa yang membuat Cacat Dalam Akad ?
5. Bagaimana Penerapan Qaidah Fiqhiyyah Muamalah ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian Muamalah dan Akad
2. Untuk mengetahui Dalil Qaidah keridhaan kedua belah pihak yang mengadakan akad
3. Untuk mengetahui Asas Muamalah dalam pelaksanaan Akad
4. Untuk mengetahui yang membuat Cacat Dalam Akad
5. Untuk mengetahui Penerapan Qaidah Fiqhiyyah Muamalah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Muamalah dan Akad


1. Pengertian Muamalah
Pengertian muamalah secara etimologi, kata muamalah berasal dari ‫ م َعا َملَة‬-‫ي َعا ِمل‬-‫ع َم َل‬
َ
berarti saling bertindak, saling berbuat, saling mengamalkan. Sedangkan pengertian secara
terminologi muamalah dapat dilihat sebagai muamalah secara luas dan muamalah secara
sempit.
Pengertian muamalah secara luas, al-Dimyati memberikan rumusan:
‫ص ْي ُل ال ُّد ْنيَ ِوىْ لِيَ ُكوْ نَ َسبَبًا لألَ ِخ ِر‬
ِ ‫التَّ ْخ‬
“Menghasilkan duniawi, supaya menjadi sebab suksesnya masalah ukhrawi.”
Muhammad Yusuf Musa mengatakan muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang
harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.
Dari pengertian tersebut, berarti muamalah secara luas adalah segala peraturan yang
diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam hidup dan
kehidupan di dunia (pergaulan sosisial) mencapai suksesnya kehidupan dunia dan akhirat.
Adapun muamalah dalam arti sempit, Hudhari Bek memberikan rumusan pengertian yaitu:
‫ت َج ِم ْي ُع ْال ُعقُوْ ِد الَّتِ ْى بِهَا يَتَبَا َد ُل َمنَفِ َعهُ ْم‬
ُ َ‫ال ُم َعا َمال‬
“Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.”
Sedangkan ulama yang lain, Rasyid Ridha memberikan pengertian, yaitu “muamalah
adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah
ditentukan”.
Dari pengertian muamalah secara sempit, dapat dipahami bahwa muamalah itu adalah
aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam kaitannya
untuk memperoleh dan mengembangkan harta benda.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa muamalah adalah peraturan yang
diciptakan Allah untuk mengatur hal – hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesame
umamat manusia untuk memenuhi keperluan hidup sehari hari.
Al-Fikri membagi muamalah secara sempit kepada dua bagian, yaitu:

3
1. Al-Muamalah al-Madiyah yaitu muamalah bersifat kebendaan, karena objek fiqh
muamalah adalah harta benda yang halal, yang haram dan yang syubhat untuk diperjual
belikan.
2. Al-Muamalah al-Adabiyah. Masuk dalam bagian ini adalah: saling meiedhai dalam
bermuamalah, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, kejujuran, penipuan,
pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya
dengan peredaran harta dalam kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan akhlak
dalam bermuamalah.
2. Pengertian Akad
Akad menurut etimologi memiliki beberapa arti, yaitu al-Rabth berarti mengikat. Tetapi
bisa pula berarti al-Aqd berarti sambungan, dan bisa pula berarti al-‘Ahd berarti janji. Istilah
‘ahdu dalam al-Qur’an mengacu kepada pernyataan seseorang untuk mengerjakan sesuatu
atau untuk tidak mengerjakan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain.
Sedangkan ‘aqdu, mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu apabila seseorang
mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut serta menyatakan
pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan dua
buah janji dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain
disebut akad.
Akad menurut terminologi yaitu :
x‫ِّت التَّ َراضْ ى‬ ٍ ‫ب بِقَبُوْ ٍل َعلَى َوجْ ٍه َم ْش ُر ُو‬
ُ ‫ع يُثَب‬ ِ ُ‫إِرْ تِبَاط‬
ِ ‫اال ْي َجا‬
“Perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan kedua belah
pihak.”
Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa, pertama, akad merupakan keterikatan atau
pertemuan ijab dan kabul yang berpengaruh terhadap munculnya akibat hukum baru. Kedua,
akad merupakan tindakan hukum dari kedua belah pihak. ketiga, dilihat dari tujuan
dilangsungkannya akad, ia bertujuan untuk melahirkan akibat hukum baru. Maksud
diadakanya ijab dan kabul, untuk menunjukkan adanya suka redha timbal-balik terhadap
perikatan yang dilakukan oleh dua pihak yang bersangkutan.
Dapat di simpulkan bahwa akad terjadi diantara dua pihak dengan keridhaan, dan
menimbulkan kewajiban atas masing-masing secara timbal balik. Maka dari itu sudah jelas

4
pihak yang menjalin ikatan perlu memperhatikan terpenuhinya hak dan kewajiban masing-
masing pihak tanpa ada pihak yang terlangar haknya.
B. Dalil Qaidah keridhaan kedua belah pihak yang mengadakan akad
a. Dalil Al – Qur’an
1. Al-Qur’an pada Surah al-Maidah ayat 1:
‫ بالعقود‬x‫ياأيهاالذين ءامنوا أوفوا‬
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”
2. Al-Qur’an pada surah An-Nisa ayat 29:
‫اض ِّمن ُك ْم‬
ٍ ‫ارةً عَن ت ََر‬ ِ َ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُو ا ال تَأْ ُكلُو ا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
َ ‫اط ِل إِال أَن تَ ُكونَ تِ َج‬
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka di antara kamu.”
3. Al-Qur’an pada surah Al-Imran ayat 76:
َ‫بَلَى َم ْن أَوْ فَى بِ َع ْه ِد ِه َواتَّقَى فَإِ َّن ه ال ّل يُ ِحبُّ ْال ُمتَّقِين‬
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan
bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”
Ayat ini telah jelas melarang segala bentuk kebathilan dalam bertransaksi seperti
yang telah dijelaskan pada landasan hukum di atas. Dalam hal ini penipuan (Tadlis) atau
Taghrir, menyangkut aspek :
a. Kuantitas, misal mengurangi timbangan.
b. Kualitas, misal penjual menyembunyikan cacat barang.
c. Waktu penyerahan, seperti tidak menyerahkan barang yang dibeli tepat pada waktunya.
d. Harga, misal memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan harga pasar dengan
menaikkan harga produk di atas pasar. Ini akan mengakibatkan harga yang tidak adil.
Harga yang adil adalah nilai harga dimana orang-orang menjual barangnya dapat diterima
secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual itu ataupun barang-
barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu.
b. Hadis Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Ibnu Maja dari Abi Said al-Khudry ra:
“Dari Abi Said al -Khudr bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya jual beli itu
harus dilakukan dengan suka sama suka.”
Diperkuat Sabda Nabi Muhammad SAW berikut:

5
‫اض‬ َ ‫قن اثـْنَا ِن إِ الَّ عَن‬
ٍ ‫تر‬ َّ ‫يخَتر‬
َ َ‫ال ال‬ ِ َ‫ع َْن أ‬
ِ َّ‫بى هُ َريـْ َرةَ رض ع َِن الن‬
َ َ‫بى ص م ق‬
(‫)روه ابوداود و التر مذى‬
“Dari Abi Hurairah R.A dari Nabi SAW bersabda: janganlah dua orang yang berjual beli
berpisah, sebelum saling meridhai”. (Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi).
Hadits di atas membukti bahwa dalam melaksanakan jual beli keridhaan selalu
dituntut. Dari dalil Al-Quran dan Hadits ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa jual beli
hukumnya adalah boleh dengan ketentuan harus suka sama suka dan tidak saling
menzhalimi.
C. Asas Muamalah dalam pelaksanaan Akad
Dalam hukum muamalah telah ditetapkan beberapa asas akad yang berpengaruh kepada
pelaksanaan akad yang dilaksanakan oleh pihak-pihak yang bertransaksi, sebagai berikut:
a. Asas kebebasan berakad. Asas kebebasan berakad didasarkan firman Allah dalam
Al-Quran pada surah al-Maidah ayat 1:
‫ بالعقود‬x‫ياأيهاالذين ءامنوا أوفوا‬
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”
Akad mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat
oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Kebebasan berkontrak pada ayat ini
disebutkan dengan kata “akad-akad” atau dalam teks aslinya adalahal-‘uqud, yaitu
bentuk jamak menunjukkan keumuman artinya orang boleh membuat bermacam-macam
perjanjian dan perjanjian-perjanjian itu wajib dipenuhi. Namun kebebasan berkontrak
dalam hukum Islam ada batas-batasnya yakni sepanjang tidak makan harta sesama
dengan jalan batil.
b. Asas konsensualisme. Asas konsensualisme juga didasarkan surat An-Nisa ayat 29 yang
telah dikutip di atas yakni atas dasar kesepakatan bersama.
c. Asas ibadah. Asas ibadah merupakan asas yang berlaku umum dalam seluruh muamalat
selama tidak ada dalil khusus yang melarangnya. Ini didasarkan qaidah Fiqhiyah yakni
hukum ashl dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.
d. Asas keadilan dan keseimbangan prestasi. Asas keadilan dan keseimbangan prestasi
asas yang menegaskan pentingnya kedua belah pihak tidak saling merugikan. Transaksi

6
harus didasarkan keseimbangan antara apa yang dikeluarkan oleh satu pihak dengan apa
yang diterima.
e. Asas kejujuran. Asas kejujuran dalam bermuamalah menekankan pentingnya nilai-nilai
etika di mana orang harus jujur, transparan dan menjaga amanah.
D. Cacat Dalam Akad
Tidak setiap akad mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk terus dilaksanakan.
Namun ada akad-akad tertentu yang mungkin menerima pembatalan, hal ini karena
disebabkan adanya beberapa cacat yang bisa menghilangkan keridhaan atau kehendak
sebagian pihak. Adapun faktor-faktor yang merusak keridhaan seseorang adalah sebagai
berikut :
a. Paksaan/Intimidasi,Yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya
dengan ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas
berbuat dan hilangnya keredhaan. Suatu akad dianggap dilakukan di bawah intimidasi
atau paksaan bila terdapat hal-hal seperti, yaitu :
1. Pihak pemaksa mampu melaksanakan ancamannya.
2. Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan
terhadapnya.
3. Ancaman itu ditujukan kepada dirinya atau keluarganya terdekat.
4. Orang yang diancam itu tidak mempunyai kesempatan dan tidak berkemampuan
untuk melindungi dirinya.
Apabila salah satu dari hal-hal tersebut di atas tidak ada, maka paksaan itu
dianggap main-main, sehingga tidak berpengaruh sama sekali terhadap akad yang
dilakukan. Ahmad Azhar Basyir mengatakan, apabila akad dilaksanakan adanya
unsur pemaksaan, mengakibatkan akad yang dilakukan menjadi tidak sah. Abdul
Manan mengatakan, apabila akad dibuat dengan cara pemaksaan, maka dianggap
cacat hukum, sehingga dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan.
b. Kekeliruan atau kesalahan
Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad. Kekeliruan bisa
terjadi pada dua hal :

7
1. Pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata cincin itu
terbuat dari tembaga.
2. Pada sifat obyek akad, seperti orang membeli baju warna ungu,tetapi ternyata
warna abu-abu. Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak
awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang
sah, akan tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa
mengajukan pembatalan ke pengadilan.
c. Penyamaran Harga Barang (Ghubn). Ghubn secara bahasa artinya pengurangan. Dalam
istilah ilmu fiqih, artinya tidak wujudnya keseimbangan antara obyek akad (barang) dan
harganya, seperti lebih tinggi atau lebih rendah dari harga sesungguhnya. Di kalangan
ahli fiqh ghubn yakni :
1. Penyamaran ringan. Penyamaran ringan ini tidak berpengaruh pada akad.
2. Penyamaran berat yakni penyamaran harga yang berat, bukan saja mengurangi
keredhaan, akan tetapi menghilangkan keredhaan. Maka akad penyamaran berat ini
adalah batil.
3. Penipuan (al-Khilabah). Penipuan yaitu menyembunyikan cacat pada obyek akad
agar tampil tidak seperti yang sebenarnya. Maka pihak yang merasa tertipu berhak
fasakh.
4. Penyesatan. Menggunakan rekayasa yang dapat mendorong seseorang untuk
melakukan akad yang disangka menguntungkannya, tetapi sebenarnya tidak
menguntungkannya. AdapunTaqrir tidak mengakibatkan tidak sahnya akad, tetapi
pihak korban dapat mengajukan fasakh.
Ulama satu pendapat dalam bermuamalah, diwajibkan saling ridha di antara orang
yang bermuamalah Keridhaan bertransaksi direaliasikan dalam akad.
E. Penerapan Qaidah Fiqhiyyah Muamalah
‫ت ز َم اه بالت َع اق ِد‬
ِ ‫ت ْي َج تُه هي َم ا اِل‬
ِ َ‫رض ى المتعاق د ْي ِن و ن‬
َ ‫األصل في العقد‬
“Pada dasarnya pada akad adalah keridhaan kedua belah pihak yang mengadakan akad
hasilnya apa yang saling diiltizamkan oleh perakadan itu.”
Ketika terjadi suatu akad, di mana salah satu pihak tidak menghendaki (berakad
dalam keadaan terpaksa), maka akad itu dipandang tidak sah atau batal. Seperti dalam
akad hibah, bila mana pihak yang memberikan mau mengadakan akad tersebut karena

8
adanya paksaan maka akad itu tidak sah. Meskipun mulanya, terjadinya suatu akad itu
merupakan kehendak kedua belah pihak, namun apabila dikemudian hari pada akad itu
tidak disetujui oleh salah satu pihak, maka akad dipandang batal, seperti akad jual beli
yang mengandung tipuan. Pada hakikatnya jual beli itu dikehendaki oleh masing-masing
pihak, tetapi pada iltizamnya tidak disetujui oleh salah satu pihak, karena merasa
dirugikan dengan adanya tipuan yang ada pada iltizam tersebut, dengan demikian akad
jual beli menjadi batal.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya dalam hidup dan kehidupan di dunia (pergaulan
sosisial) mencapai suksesnya kehidupan dunia dan akhirat serta aturan-aturan Allah yang
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam kaitannya untuk memperoleh dan
mengembangkan harta benda. Dalam bermuamalah akad terjadi diantara dua pihak
dengan keridhaan, dan menimbulkan kewajiban atas masing-masing secara timbal balik.
Maka dari itu sudah jelas pihak yang menjalin ikatan perlu memperhatikan terpenuhinya
hak dan kewajiban masing-masing pihak tanpa ada pihak yang terlangar haknya.
Adapun faktor-faktor yang merusak keridhaan seseorang adalah sebagai berikut :
Paksaan/Intimidasi, Kekeliruan atau kesalahan, Penyamaran harga barang.
B. Kritik dan Saran
Dalam makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang
terdapat dalam isi makalah ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dari
pembaca agar makalah ini bisa sempurna dengan arahan dan bimbingan dari pembaca.
Semoga makalah ini dapat menambahkan pengetahuan bagi kita semua dan apa
yang diperoleh bermanfaat bagi kita semua.

10
DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Fathurrahman. 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Banjarmasin : Lembaga Pemberdayaan


Kualitas Ummat (LPKU).

11

Anda mungkin juga menyukai