Anda di halaman 1dari 18

IQTISHADIYAH TRANSAKSI

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih

Dosen pengampu: Hj.Sri Hidayanti,Lc,Ma

DISUSUN OLEH :

M Indra Husada (101221010094)

Mohd. Sonny Ervan Syahputra (101221010084)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERISTAS ISLAM INDRAGIRI

TEMBILAHAN
2023

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan
dalam menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tanpa rahmat dan
pertolongan-Nya, penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
syafa‟atnya kita nantikan kelak. Penulis mengucapkan terimakasih pada dosen
pengampu mata kuliah bapak , sehingga makalah dapat diselesaikan. Penulis berharap
makalah ini dapat menjadi referensi bagi mahasiswa dalam mempelajari Kehumasan
Pemerintah dalam Otonomi Daerah.
Penulis menyadari makalah ini perlu banyak penyempurnaan karena kesalahan dan
kekurangan. Penulis terbuka terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini
dapat lebih baik. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, baik terkait
penulisan maupun materi, penulis memohon maaf. Demikian yang dapat penulis
sampaikan. Akhir kata, Semoga makalah ini dapat
bermanfaat.

Tembilahan 21 Juni 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I..................................................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah........................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan Masalah......................................................................................................2
BAB II................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.................................................................................................................3
A. Pengertian Iqtishadiyah..........................................................................................3
B. Transaksi Jual Beli Dalam Islam............................................................................6
C. Dasar Hukum Jual Beli..........................................................................................6
D. Rukun dan Syarat jual beli.....................................................................................8
E. Transaksi Jual Beli yang dilarang dalam Islam...................................................11
BAB III.............................................................................................................................13
PENUTUP........................................................................................................................13
A. Kesimpulan...........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................14

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial, yaitu selalu membutuhkan bantuan dari


orang lain. Dalam Islam, sistem sosial disebut muamalah. Muamalah merupakan
ibadah dalam arti yang luas, yaitu ibadah dalam bentuk hubungan sosial yang
dinyatakan dengan sikap, ucapan, dan tindakan yang dinilai baik oleh Allah. Ruang
lingkup muamalah sangat luas, salah satunya yaitu pada sistem ekonomi dan
keuangan (Al-Ahkam Al-Iqtishadiyah wa Al-Maliyah). Transaksi dalam sistem
Ekonomi Islam terdiri dari jual beli, sewa menyewa dan upah mengupah, pinjam
meminjam, utang pituang, agunan, pemberian wakaf, dan wasiat.1 Tujuan dari
transakasi yaitu untuk memenuhi kebutuhan, dalam pandangan Islam, kebutuhan
manusia tidak bisa dipisah-pisahkan menjadi kebutuhan jasmaniyah dan ruhaniyah
melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh tidak dapat dipisahkan. Islam tidak
mengenal kebutuhan yang hanya berorientasi pada akhirat tanpa memikirkan
kebutuhan duniawi, ataupun sebaliknya, tetapi kebutuhan akhirat dan duniawi harus
seimbang. Sesuai dengan firman Allah yang berbunyi :

Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
kebahagiaan negeri akhirat, dan jangan kamu melupakan bagianmu dari
kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu. (Q.S Al Qashash: 77). Dalam memenuhi kebutuhan,
manusia memerlukan adanya suatu transaksi. Dari keseluruhan bentuk transaksi

1
atau muamalah yang umum digunakan yaitu jual beli. Jual beli merupakan kegiatan
yang telah ada sejak zaman dahulu. Karena dengan jual beli, masyarakat dapat
memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Kegiatan jual beli telah mengalami
perkembangan dari pola tradisional sampai pada pola modern, dan semakin lama
semakin berkembang sesuai dengan kemajuan zaman dan teknologi. Jual beli
sangat dianjurkan di dalam islam, selama rukun dan syaratnya dalam jual beli
terpenuhi.

Macam-macam jual beli terdapat banyak jenis, salah satunya yaitu jual beli
dalam pesanan hukumnya boleh/sah jika barang yang dijual sesuai dengan sifatnya.
Terdapat dua macam jual beli dalam sistem pesanan yaitu Bai’ As Salam dan Bai’
Istishna’. Kedua jenis jual beli ini ialah jual beli suatu barang atau komoditas yang
objeknya belum ada pada penjual. Meskipun jual beli salam dan jual beli istishna’
merupakan jual beli pesanan, namun terdapat perbedaan yang signifikan diantara
kedua jenis jual beli tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Iqtishadiyah ?
2. Transaksi Jual Beli Dalam Islam ?
3. Dasar Hukum Jual Beli ?
4. Rukun Dan Syarat Jual Beli?
5. Transaksi Jual Beli yang dilarang dalam Islam?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Iqtishadiyah
2. Untuk Mengetahui Transaksi Jual Beli Dalam Islam
3. Untuk Mengetahui Dasar Hukum Jual Beli
4. Untuk Mengetahui Rukun dan Syarat jual beli
5. Untuk Mengetahui Transaksi Jual Beli yang dilarang dalam Islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Iqtishadiyah

Al-Ghazali menyatakan mempelajari ilmu Iqtishad adalah wajib bagi setiap


muslim yang bekerja (kullumuslimmuktasab) sebagaimana kewajiban menuntut
ilmu yang lain. Sedangkan tujuan mempelajarinya tidak lain adalah untuk
menghindari kesulitan dalam bermu’amalah dan hal-hal yang dapat
menjerumuskan kepada larangan-larangan agama, dan agar tidakterjadi kerusakan
dalam kehidupan ekonomi secara luas.7 Kemudian tahun 1902, istilah Iqtishad
muncul dalam buku yang membahas beberapa persoalan ekonomi, berjudul Ilm
Al-Iqtishadkarya Muhammad Iqbal (1876-1938), seorang tokoh pembaharu Islam
dari India. (Dimyati 2007:3)1

IstilahIqtishadmerupakantashrif (bentuk perubahan) dari kata qashada (


‫ (دصق‬yang terdapat dalam Al-Qur’an dan al Hadits. Iqtishad secara literal berarti
‘seimbang’ (equilibrium, balanced) dan‘tengahtengah’ (in between). Dalam kata
al-qasdu juga terkandung makna ‘al-tawassuth’ (pertengahan, moderat), dan ‘al-
i’tidal’ (sikap adil).8 Makna-makna ini sangat dekat dengan salah satu Hadits
Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Iman Ahmad sebagai berikut: “Tidak
akan miskin orang yang bersikap ‘iqtashada’ (pertengahan, moderat, adil) dalam
pengeluaran/pembelanjaan” Dalam surah Al-Nahl ayat 9, kata qashdu al-sabil
diartikan sebagai jalan yang lurus, terjemah ayatnya sebagai berikut :

َ‫يل َو ِم ْنهَا َجٓاِئ ٌر ۚ َولَوْ َشٓا َء لَهَ َد ٰى ُك ْم َأجْ َم ِعين‬


ِ ِ‫َو َعلَى ٱهَّلل ِ قَصْ ُد ٱل َّسب‬

1
Al-Misri, R. Y. 2005. Ushulul Iqtishad AlIslamiyah. Beirut. Dar al-Qalam

3
“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalanjalan
ada yang bengkok. dan Jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu
semuanya (kepada jalan yang benar).”

Dalam ayat 42 surat At-Taubah, kata (perjalanan (diartikan), ‫ )ا ًد ِصا َق‬,qaashidan


yang sederhana dan dekat

“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu Keuntungan yang mudah
diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu,
tetapi tempat yang dituju itu Amat jauh terasa oleh mereka. mereka akan
bersumpah dengan (nama) Allah: "Jikalau Kami sanggup tentulah Kami berangkat
bersama-samamu." mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah
mengetahui bahwa Sesungguhnya mereka benarbenar orang-orang yang berdusta.”

Sedangkan Al-Misri (2005:11) berpendapat bahwa istilah Iqtishad pada


hakekatnya bermakna al-Qashdu yang berarti al-tawasuth (pertengahan) dan al-
I’tidal (adil/berkeadilan). Definisi ini mengacu pada ayat al-Qur’an yang terdapat
dalam QS. Lukman: 19 dan QS. al-Maidah : 66, kedua ayat ini telah dituliskan di
atas.

Dari penjelasan yang diuraikan secara rinci di atas dapat disimpulkan bahwa
makna al-Iqtishada dalah melakukan sesuatu atau mengatur sesuatu sesuai dengan
ketentuan, adil, dan seimbang. Penggunaan kata Iqtishad juga mengandung arti
berkegiatan lurus, mencari keuntungan tanpa menindas orang (golongan) lain,
mengutamakan keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat yang tingkat

4
ekonominya berbeda-beda. Iqtishad melihat persoalan pemenuhan kebutuhan
manusia tidak hanya berkaitan dengan faktor produksi, konsumsi, dan distribusi,
berupa pengelolaan sumber daya yang ada untuk kepentingan bernilai materi.
Akan tetapi, lebih dari itu, Iqtishadmelihat persoalan tersebut sangat terkait dengan
persoalan moral, ketidakadilan, dan ketauhidan. Sehingga dalam kajiannya,
Iqtishadmenempatkan individu (manusia) sebagai objek kajian, tidak hanyadengan
memposisikannya sebagai mahluk sosial, tetapi juga sekaligus sebagai mahluk
yang mempunyai potensi religius.

Oleh sebab itu, Iqtishad menggunakan filosofi nilai-nilai Islam sebagai dasar
pijakannya. Hal inilah yang secara mendasar membedakan Iqtishaddengan konsep
ekonomi yang menempatkan kepentingan individu sebagai landasannya. Konsep
Iqtishadtidak hanya berkaitan dengan proses pemenuhan kebutuhan manusia
semata,tetapi juga sekaligusterkait dengan tujuan dilakukannya proses itu, yaitu
untuk kepentingan yang lebih utama berupa kesejahteraan ukhrawi. Makna
Iqtishad yang menjadikan keadilan dan sikap pertengahan sebagai ruhnya inilah
yang diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan masyarakat Islam di
sepanjang sejarahnya, semenjak zaman Rasulullah SAW, kemudian diteruskan
oleh para Khulafa Rasyidin dan masa-masa setelahnya. Sejarah menjadi bukti,
Iqtishad yang menjadi sistem negara telah menjadikan Pemerintahan Islam
tangguh dan mampu mencapai kejayaannya selama berabad-abad. Jika pun setelah
masa jayanya, pemerintahan Islam mengalami keterpurukan, maka hal itu lebih
disebabkan oleh faktor politik, bukan karena faktor kelemahan konsepiqtishad.

Iqtishad memiliki gagasan, konsepsi, filosofi pemikiran, norma, budaya,


kultur, keyakinan, dan ideologinya yang berakar kuat pada Islam. Iqtishad tidak
bisa dipisahkan, ia terintegrasi dalam kerangka sistem Islam yang utuh dan
sempurna. Karena itu, Iqtishad adalah konsep yang genuine, ia tidak bisa
diidentikkan dengan Ekonomi Islam, yang berdasar namanya mencampuradukkan
antara Islam dengan ekonomi yang berideologi sekuler.

5
B. Transaksi Jual Beli Dalam Islam

Secara umum transaksi diartikan sebagai kegiatan yang melibatkan paling


sedikit dua belah pihak, pembeli dan penjual, yang saling melakukan pertukaran.
Adapun yang dimaksud dengan transaksi pertukaran (mu‘awad}at) adalah suatu
transaksi yang diperoleh melalui proses atau perbuatan memperoleh suatu dengan
memberikan sesuatu, melibatkan diri dalam perikatan usaha, pinjam-meminjam
atas dasar suka sama suka ataupun atas dasar ketetapan hukum dan syariah yang
berlaku. Transaksi dalam Islam harus dilandasi oleh aturan hukum-hukum Islam
karena transaksi adalah manisfestasi amal manusia yang bernilai ibadah
dihadapan Allah, yang dapat dikategorikan menjadi transaksi yang halal dan
haram. Dalam transaksi terdapat akad yang saling mempertemukan antara ijab
dan qabul yang berakibat timbulnya akibat hukum. Akad merupakan tindakan
hukum dua belah pihak yang melaksanakan pertemuan ijab dan qabul yang
menyatakan kehendak pihak lain. Tujuan akad itu adalah untuk melahirkan suatu
akibat hukum dalam transaksi jual beli.

Jual beli merupakan akad yang umum digunakan oleh masyarakat, karena
dalam setiap pemenuhan kebutuhannya, masyarakat tidak bisa berpaling untuk
meninggalkan akad ini. Jual beli dalam Islam adalah suatu perjanjian tukar
menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara suka rela diantara kedua
belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain yang menerimanya
sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan dalam syara dan
disepakati. yang dimaksud sesuai dengan ketetapan hukum ialah memenuhi
persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dalam jual beli. Ketentuan yang dimaksud
berkenaan dengan rukun dan syarat yang terhindar dari hal-hal yang dilarang.
Rukun dan syarat yang harus diikuti itu merujuk pada petunjuk Nabi SAW.

C. Dasar Hukum Jual Beli

Jual beli disyariatkan berdasarkan Alquran, Hadis dan Ijma yakni:

6
1. Alquran

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,


Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui. Apabila Telah
ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. Dan
apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk
menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah).
Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan
perniagaan", dan Allah sebaikbaik pemberi rezki.(Q.S Al-Jumuah [62]: 9-11).

2. Hadis

Berkaitan dengan Q.S Al-Jum’ah ayat 9-11 ayat ini diturunkan hadis
riwayat Bukhari dan Muslim dari Abuhurairah, pada saat Nabi sedang
berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba datanglah rombongan unta membawa
barang dagang, maka cepat-cepatlah sahabat Rasulullah SAW
mengunjunginya sehingga tinggal dua belas orang. Allah memerintahkan Nabi
SAW supaya menyampaikan nasehat kepada mereka yang mengutamakan
harta dunia berbanding nilai akhirat karena di sisi Allah yang bermanfaat bagi
akhirat jauh lebih baik dari pada keuntungan dan kesenangan dunia yang
diperolehnya, karena kebahagiaan akhirat itu kekal, sedangkan keuntungan
dunia akan lenyap.

“Dari Ubaidullah bin Iizar, ia berkata: akau bertemu kakek tua yang
termasuk orang Arab, maka ku berkata kepadanya: apakah engkau telah
bertemu salah satu sahabat Nabi? Ia menjawab: benar, maka aku berkata:
siapa? Ia menjawab Amr bin Ash R. Maka aku berkata padanya: kalau begitu
apakah yang ia katakan? Ia menjawab: aku mendengar ia berkata: bekerjalah

7
untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk
akhiratmu seakan-akan kamu mati esok hari”

3. Ijma

Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa
nmanusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan
orang lainnya. Namu demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang
dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.2

D. Rukun dan Syarat jual beli


1. Rukun Jual Beli
a. Penjual haruslah pemilik harta yang akan dijualnya atau orang yang diberi
kuasa untuk menjualnya, orang dewasa, dan tidak bodoh.
b. Pembeli haruslah orang yang dibolehkan membelanjakan harta, tidak
boleh orang bodoh dan anak kecil yang belum diizinkan untuk itu.
c. Transaksi berbentuk ijab dan qabu>l, dengan suatu ungkapan seperti,
jualah kepadaku dengan harga sekian, kemudian penjual mengatakan aku
jual kepadamu dan memberikan barang.
d. Barang yang dijual harus mubah} dan bersih sehingga dapat diterima dan
diketahui walaupun hanya sifatnya oleh pembeli.

Menurut ulama Hanafiyah rukun jual beli hanya satu yaitu ijab (ungkapan
pembeli dari pembeli) dan qabu>l (ungkapan menjual dari penjual). Menurut
mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (rid}a)
kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi, karena
unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diketahui, maka

2
Dimyati. 2007. Teori Keuangan Islam,Rekonstruksi Metodologis Terhadap
Konsep Keuang

8
yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak melakukan transaksi jual beli
menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan qabu>l, atau melalui cara
saling memberikan barang dan harga barang.

2. Syarat-syarat Jual Beli

Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang
tepat, harus direalisasikan beberapa syaratnya terlebih dahulu. Ada yang
berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan ada kaitan dengan objek
yang diperjual-belikan 3

a. Berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi


dalam melakukan aktivitas itu, yakni dengan kondisi yang sudah akil
baligh serta berkemampuan memilih. Tidak sah transaksi yang
dilakukan anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang
dipaksa.
b. Berkaitan dengan objek jual belinya yaitu:
a) Barang yang diperjual belikan mestilah bersih materinya/
ketentuan ini didasarkan pada Q.S Al-Araf ayat 157.
b) Barang atau uang yang dijadikan objek transaksi itu sesuatu
yang diketahui secara transparan, baik kualitas maupun
jumlahnya, dan apabila berbentuk suatu yang ditimbang jelas
imbangannya dan apabila sesuatu yang ditakar harus jelas
takarannya.
c) Objek jual beli tersebut harus bermanfaat, bisa diserah
terimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.
d) Tidak sah menjual belikan barang najis atau barang haram
seperti darah, bangkai dan daging babi. Karena benda-benda
tersebut menurut syariat tidak dapat digunakan. Di antara

3
Chapra, M. U. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi, (terj.) Ikhwan Abidin, Th

9
bangkai tidak ada yang dikecualikan selain ikan dan belalang.
Dari jenis darah juga tidak ada yang dikecualikan selain hati
(lever) dan limpa, karena ada dalil yang mengindikasikan
demikian.
e) Tidak sah menjual barang yang belum menjadi hak milik,
karena ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap itu.
Tidak ada pengecualian, melainkan dalam jual beli salam.
Yakni sejenis jual beli dengan menjual barang yang
digambarkan kriterianya secara jelas dalam kepemilikan,
dibayar dimuka, yakni dibayar terlebih dahulu tetapi barang
diserahterimakan belakangan. Karena ada dalil yang
menjelaskan disyariatkannya jual beli ini
f) Tidak sah juga menjual barang yang tidak ada atau yang
berada di luar kemampuan penjual untuk menyerahkannya
seperti menjual Mala>qih, Mad}amin atau menjual ikan yang
masih dalam air, burung yang masih terbang di udara dan
sejenisnya. Mala>qih adalah anak yang masih dalam tulang
sulbi pejantan. Sementara mad}amin adalah anak yang masih
dalam tulang dada hewan betina. Adapun jual beli fud}uli
yakni orang yang bukan pemilik barang juga bukan orang
yang diberi kuasa, menjual barang milik orang lain, padahal
tidak ada pemberian surat kuasa dari pemilik barang. Ada
perbedaan pendapat tentang jual beli jenis ini. Namun yang
benar adalah tergantung izin dari pemilik barang. 4

4
Polli, W.I.M, Tonggak-Tonggak Sejarah Pemikiran Ekonomi, 2010,
Surabaya: Brilian Internasional

10
g) Tidak memberikan batasan waktu. Tidak sah menjual barang
untuk jangka masa tertentu yang tidak diketahui. Seperti orang
yang menjual rumahnya kepada orang lain dengan syarat
apabila sudah dibayar, maka jual beli itu dibatalkan. Itu
disebut dengan jual beli pelunasan.
E. Transaksi Jual Beli yang dilarang dalam Islam
1. Terlarang Sebab Ahliah (Ali Akad)
a. Jual Beli Orang Gila
Berdasarkan kesepakatan ulama fikih bahwa jual beli orang
gila tidak sah, dan begitu pula serjenisnya seperti jual beli orang yang
sedang mabuk.
b. Jual Beli Anak Kecil Ulama fikih sepakat bahwa jual beli anak
kecil (belum mumayyiz) dipandang tidak sah, kecuali dalam
perkara yang ringan.
c. Jual Beli Orang Buta Jual beli orang buta dianggap tidak sah
menurut sebagian ulama sebab ia tidak dapat membedakan barang
yang jelek dan yang baik.
d. Jual Beli Terpaksa Jual beli orang terpaksa dianggap tidak sah
karena didalam akad tidak terdapat unsur keridaan antara kedua
belah pihak.5
e. Menjual Barang yang Bukan Miliknya. Seorang muslim tidak
boleh menjual belikan barang dagang yang bukan miliknya, atau
menjual belikan suatu yang belum menjadi miliknya, karena hal itu
akan menyakitkan baik bagi pembeli maupun penjual apabila
nantinya tidak dapat menerima barang yang diperjual belikan.

5
Rahardjo, M. D. 1999, Wacana Ekonomi Islam Kontemporer, Surabaya:
Risalah Gust

11
f. Jual Beli Utang Dengan Utang Seorang muslim dilarang menjual
utang dengan utang, karena hal itu sama dengan jual beli yang
tidak ada dengan suatu yang tidak ada. Islam tidak membenarkan
hal yang demikian
2. Terlarang Sebab Shighat
a. Jual Beli Mu‘at}ah Jual beli mu‘at}ah adalah jual beli yang telah
disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun
harganya, tetapi tidak memakai ijab dan qabul.
b. Jual Beli Dengan Isyarat atau Tulisan Disepakati kesahihan aqad
dengan isyarat atau tulisan khususnya bagi yang uz|ur sebab sama
dengan ucapan. Selain itu, isyarat juga menunjukkan apa yang ada
dalam hati aqid. Apabila isyarat tidak dapat dipahami dan
tulisanpun tidak dapat dibaca maka transaksi tidak sah.
c. Jual Beli Barang ang tidak Ada di Tempat Ulama telah sepakat
bahwa jual beli ini dianggap ntidak sah karena tidak memenuhi
syarat in‘iqad (terjadinya akad).

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Iqtishada dalah melakukan sesuatu atau mengatur sesuatu sesuai dengan


ketentuan, adil, dan seimbang. Penggunaan kata Iqtishad juga mengandung arti
berkegiatan lurus, mencari keuntungan tanpa menindas orang (golongan) lain,
mengutamakan keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat yang tingkat
ekonominya berbeda-beda. Iqtishad melihat persoalan pemenuhan kebutuhan
manusia tidak hanya berkaitan dengan faktor produksi, konsumsi, dan distribusi,
berupa pengelolaan sumber daya yang ada untuk kepentingan bernilai materi.
Akan tetapi, lebih dari itu, Iqtishadmelihat persoalan tersebut sangat terkait
dengan persoalan moral, ketidakadilan, dan ketauhidan. Sehingga dalam
kajiannya, Iqtishadmenempatkan individu (manusia) sebagai objek kajian, tidak
hanyadengan memposisikannya sebagai mahluk sosial, tetapi juga sekaligus
sebagai mahluk yang mempunyai potensi religius.

Transaksi dalam Islam harus dilandasi oleh aturan hukum-hukum Islam


karena transaksi adalah manisfestasi amal manusia yang bernilai ibadah
dihadapan Allah, yang dapat dikategorikan menjadi transaksi yang halal dan
haram. Dalam transaksi terdapat akad yang saling mempertemukan antara ijab
dan qabul yang berakibat timbulnya akibat hukum

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Misri, R. Y. 2005. Ushulul Iqtishad AlIslamiyah. Beirut. Dar al-Qalam

Dimyati. 2007. Teori Keuangan Islam,Rekonstruksi Metodologis Terhadap Konsep


Keuang

Ash-Shadr, M.B. 1981. Iqtishaduna, Dirasah Maudhu’iyyah Tatanawalu bi an-Naqdi


wa al-Bahtsi al-Madzahib al-Iqtishadiyah li al-Markisiyah wa al-
Ra’samaliyah wa al-Islam fii Asasiha al-Fikriyah wa Tafashiiluha. Cetakan
ke XIV. Beirut: Daarut Ta’aruf li al Mathbu’at

Chapra, M. U. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi. Surabaya. Risalah Gusti.

D. De Almagro and L. Ternera-, “Ketentuan Transaksi Dalam Islam,” pp.


35–51.

Chapra, M. U. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi, (terj.) Ikhwan Abidin, The Future
of Economics: An Islamic Perspective. Jakarta. Gema Insani Press

Polli, W.I.M, Tonggak-Tonggak Sejarah Pemikiran Ekonomi, 2010, Surabaya:


Brilian Internasional

Rahardjo, M. D. 1999, Wacana Ekonomi Islam Kontemporer, Surabaya: Risalah Gust

14

Anda mungkin juga menyukai