Anda di halaman 1dari 28

Prinsip Ekonomi Islam

Konsep Transaksi Terbaru dalam Ekonomi Islam

Dosen pengampu :

Ahmad Zubaidi M.A

Disusun Oleh :

Kelompok 9

1D Akuntansi

1. Hestiningrum (11200820000164)
2. Kinanti Pitrotul Aulia (11200820000099)
3. Marshanda Berlianti (11200820000100)

PRODI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020

I
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syuku
r kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inaya
h-Nya sehingga kami dapat merampungkan penulisan makalah prinsip ekonomi islam dengan
judul "konsep transaksi terbaru dalam ekonomi islam" tepat pada waktunya.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penulisan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapan
g dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran
maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Prinsip Ekonomi Islam dengan
g semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang kami miliki dan bantuan dari bebera
pa referensi. Dan kami ucapkan terimakasih kepada Pak Ahmad Zubaidi M.A selaku dosen m
ata kuliah Prinsip Ekonomi Islam yang telah memberikan tugas ini semoga makalah ini bergu
na dan dapat membantu kita di segala aspek kehidupan, kami sangat mengharapkan semoga d
ari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat mengins
pirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makala
h selanjutnya.

II
Daftar Isi

Contents
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................II

BAB I......................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................2

1.3 Tujuan..........................................................................................................................................2

BAB II.....................................................................................................................................................3

PEMBAHASAN.......................................................................................................................................3

2.1 Akad Wadiah................................................................................................................................3

2.2 Akad Wakalah..............................................................................................................................5

2.3 Akad Kafalah................................................................................................................................7

2.4 Akad Hawalah..............................................................................................................................9

2.5 Akad Rahn..................................................................................................................................12

2.6 Akad Qardh................................................................................................................................16

BAB III..................................................................................................................................................19

PENUTUPAN........................................................................................................................................19

3. 1 Kesimpulan...............................................................................................................................19

3.2 Saran..........................................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................25

III
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia sebagai mahluk sosial zoon political. Dengan demikian, maka dapat dipahami b
ahwa manusia dalam menjalankan aktivitasnya dalam kehidupan di dunia ini mendorong untu
k saling berhubungan antara satu dengan lainnya, agar dapat memenuhi kebutuhannya. Denga
n adanya hubungan satu sama lain, maka dibutuhkan satu hukum yang dapat mengatur hubun
gan tersebut, sebab jika tidak ada hukum yang mengaturnya, maka kehidupan manusia dalam
hal berhubungan antara satu dengan yang lainnya, akan terjadi kekacauan dan ketidakstabilan
dalam kehidupan manusia.

Salah satu bentuk aturan hukum yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat adalah aturan
hukum mengenai akad dalam transaksi ekonomi syari’ah.Aturan ini berfungsi untuk tetap me
njaga stabilitas dalam kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat dalam melakukan transaks
i tetap dalam hal-hal yang sesuai dengan syariat Wajar sebagai umat Islam, dalam melakukan
aktivitas-aktivitasekonomi sesuai dengan aturan dan kaidah Islam.Islam sebagai satu agama,
harus disadari tidak selalu mengurusi masalah ukhrawi saja, tetapi Islam juga mengatur dan
mengurusi masalah kehidupan duniawi.

Karena itu satu sitem ekonomi yang didasrkan pada konsep Islam, adalah sebuah sistem
ekonomi yang siap mengantarkan umatnya kepada kesejahteraan sebenarnya.Yaitu satu kesej
ahteraan yang tidak hanya terpenuhi kebutuhan jasmani manusia, melainkan juga kebutuhan r
ohani, mengingat esensi manusiajustru terletak pada rohaninya. Aktivitas-aktivitas ekonomi it
u merupakan aktivitas mu’amalah, maka dalam sector ekonomi, misalnya yang merupakan pr
insip adalah larangan riba, sistem bagi hasil, pengambilan keuntungan, pengenalan zakat, dan
lain-lain.

Oleh karena itu tugas bagi para cendikiawan muslim sepanjang zaman dalam mengemba
ngkan teknik penerapan prinsip-prinsip ekonomi tersebut yang sesuai dengan situasi dan kon
disi pada setiap masa. Berdasarkan latar bekalang tersebut, maka dalam tulisan ini akan coba
dibahas tentang akad dan dasar hukum terjadinya akad, dan yang dimaksud ekonomi syariah,
serta bentuk-bentuk dalam transaksi ekonomi syariah.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. bagaimana dengan pengertian, landasan hukum, dan rukun wadiah ?
2. jelaskan pengertian, landasan hukum, dan rukun wakalah ?
3. apa pengertian, landasan, dan rukun dari kafalah ?
4. bagaimana dengan pengertian, landasan hukum, dan rukun hwalah ?
5. jelaskan pengertian, landasan hukum, dan rukun rahn ?
6. apa pengertian, landasan hukum, dan rukun dari qardh?

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini untuk memberi informasi atau ilmu yang bermanfaat
dan berguna bagi mahasiswa lainnya. Menambah dan memperluas wawasan keilmuan bagi m
ahasiswa lainnya. Dan memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Akad Wadiah


1. Pengertian wadiah
Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-wad
i’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik i
ndividu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendaki. Karena itu, istilah wadi’ah sering disebut sebagai ma wudi’a ‘inda ghair m
alikihi liyahfadzuhu yang artinya sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supa
ya dijaga. Seperti dikatakan qabiltu minhu dzalika al-malliyakuna wadi’ah ‘indi yang ber
arti aku menerima harta tersebut darinya. Sedangkan AlQur’an memberikan arti wadi’ah
sebagai amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada
waktu pemilik meminta kembali.

Menurut ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan wadi’ah dengan, “Mengikutsertakan o


rang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, m
aupun melalui isyarat”. Wadi’ah dipraktekkan pada bank-bank yang menggunakan siste
m syariah, seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI, Bank Islam). Bank Muamalat Indone
sia mengartikan wadi’ah sebagai titipan murni yang dengan seizin penitip boleh digunak
an oleh bank. Konsep wadi’ah yang dikembangkan oleh BMI adalah wadi’ah yad ad dha
manah (titipan tentang resiko ganti rugi).

2. Landasan Hukum
a. AL Qur’an QS An Nissa’ : 58

‫ت إِ َل ٰى أَ هْ ل َِه ا َو إِ َذ ا َح َك مْ ُت ْم َب ْي َن‬ِ ‫َي أْ ُم ُر ُك ْم أَ ْن ُت َؤ ُّد وا ا أْل َ َم َان ا‬ َ ‫إِ نَّ هَّللا‬


َ ‫ظ ُك ْم ِب ِه ۗ إِ نَّ هَّللا َ َك‬
‫ان‬ ُ ‫أَ ْن َت حْ ُك ُم وا ِب ْال َع ْد ِل ۚ إِ نَّ هَّللا َ ِن ِع مَّ ا َي ِع‬ ‫َّاس‬
ِ ‫الن‬
‫ص يرً ا‬
ِ ‫َس ِم ي ًع ا َب‬
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara ma
nusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajara

3
n yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha melihat.”

b. Fatwa MUI ini berdasarkan fatwa DSN 02/DSN-MUI/IV/2000:


Tabungan Pertama: 1. Tabungan ada dua jenis: Tabungan yang tidak dibenarkan secar
a syariah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga. 2. Tabungan yang dib
enarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’a.

3. Jenis – Jenis Wadiah

Akad berpola titipan (wadi’ah) ada dua, yaitu Wadi’ah yad Amanah dan Wadi’ah yad
Dhamanah. Pada awalnya, Wadi’ah muncul dalam bentuk yad al-amanah “tangan amana
h”, yang kemudian dalam perkembangan memunculkan yadh-dhamanah “tangan penang
gung”. Akad Wadi’ah yad Dhamanah ini akhirnya banyak dipergunakan dalam aplikasi p
erbankan syariah dalam produk-produk pendanaan. Dalam Islam wadi’ah dapat dibedaka
n menjadi dua macam, yaitu :

1. Wadi’ah yad Amanah yaitu barang yang dititipkan sama sekali tidak boleh digunak
an oleh pihak yang menerima titipan, sehingga dengan demikian pihak yang menerima tit
ipan tidak bertanggung jawab terhadap risiko yang menimpa barang yang dititipkan. Pen
erima titipan hanya punya kewajiban mengembalikan barang yang dititipkan pada saat di
minta oleh pihak yang menitipkan secara apa adanya.

2. Wadi’ah yad Dhamanah adalah titipan terhadap barang yang dapat dipergunakan at
au dimanfaatkan oleh penerima titipan. Sehingga pihak penerima titipan bertaggung jawa
b terhadap risiko yang menimpa barang sebagai akibat dari penggunaan atas suatu barang,
seperti risiko kerusakan dan sebagainya. Tentu saja penerima titipan wajib menegmbalik
an barang yang dititipkan pada saat diminta oleh pihak yang menitipkan.

4. Rukun dan Syarat- Syarat Akad Wadiah


a. Rukun Akad Wadi’ah
Rukun akad wadi’ah menurut para ulama mazhad hanafi adalah ijab dan qabul, yait
u penitip berkata kepada orang lain, 18 sedangkan Menurut jumhur ulama, rukun akad
wadi’ah ada emapat yaitu dua orang yang melakukan akad orang yang titip dan orang
yang dititipi, sesuatu yang dititipkan dansighah (ijab qabul).Qabul dari orang yang diti
tipi bisa berupa lafal misalnya, saya menerimanya. Menurut Hanafiah, rukun wadi’ah

4
hanya satu, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun wadi’ah itu
ada empat:11 Barang yang dititipkan (wadiah)
a. Orang yang menitipkan (mudi’ atau muwaddi’)
b. Orang yang menerima titipan (muda’ atau mustawda’)
c. Ijab qabul (sighat)

b. Syarat-syarat Akad Wadi’ah


Syarat-syarat wadi’ah berkaitan dengan rukun-rukun yang telah disebutkan di atas,
yaitu syarat benda yang dititipkan, syarat sighat, syarat orang yang menitipkandan sya
rat orang yang dititipi.
1) Ijab dari penitip dan qabul dari penjaga, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Lebih dari sekali telah kami jelaskan bahwa ijabdan qabultermasuk rukun. Sekedar izi
n dari pemilik untuk menjaga hartanya itu tidaklah cukup. Untuk itu, harus terdapat ke
sepakatan antara kehendaknya dan kehendak penjaga untuk menjaga harta akad akan t
erjadi.
2) Kedua belah pihak harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad-akad yang
berkaitan dengan harta. Jika seseorang yang balig dan berakal menerima titipan dari a
nak kecil atau orang gila maka dia harus menjamin barangtersebut meskipun bukan ka
rena kesalahan atau kelalaiannya.

2.2 Akad Wakalah


1. Pengertian Wakalah

Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan atau me


wakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan wakil. Al-Wakalah juga berarti penyer
ahan (al Tafwidh) dan pemeliharaan (al-Hifdh). Menurut kalangan Syafi‟iyah arti wakalah ad
alah ungkapan atau penyerahan kuasa (al-muwakkil) kepada orang lain (al-wakil) supaya mel
aksanakan sesuatu dari jenis pekerjaan yang bisa digantikan (an-naqbalu anniyabah) dan dapa
t dilakukan oleh pemberi kuasa, dengan ketentuan pekerjaan tersebut dilaksanakan pada saat
pemberi kuasa masih hidup. Wakalah dalam arti harfiah adalah menjaga, menahan atau pener
apan keahlian atau perbaikan atas nama orang lain, dari sini kata tawkeel diturunkan yang ber
arti menunjuk seseorang untuk mengambil alih atas suatu hal juga untuk mendelegasikan tuga
s apapun ke orang lain.

5
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa wakalah adalah akad yang me
mberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan suatu kegiatan dimana yang memberi ku
asa tidak dalam posisi melakukan kegiatan tersebut. Akad wakalah pada hakikatya adalah aka
d yang digunakan oleh seseorang apabila dia membutuhkan orang lain atau mengerjakan sesu
atu yang tidak dapat dilakukannya sendiri dan meminta orang lain untuk melaksanakannya.

2. Landasan Hukum

a. Al-Qur’an Salah satu dasar dibolehkannya wakalah adalah firman Allah SWT yang berke
naan dengan kisah Ash-habul Kahfi.

Surat Yusuf ayat 55 juga menerangkan:

Artinya: “Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya ak


u adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". (Qs. Yusuf:55)

b. Sunnah

َ‫اح أ ُ ِّم حَ ِب ْي َب َة رَ مْ لَ َة ِب ْنتَ أَ ِبي ُس ْفيَان‬ ِ ‫هللا صَ لَّى هللا ُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم َو َّك َل عَ مْ رو ْبنَ أ ُ َميَّة الضَّمْ ِريّ فِي َقب‬
ِ ‫ُول ِن َك‬ ِ ‫أَنَّ رَ سُو َل‬

Artinya: "Bahwasannya Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi' dan seorang Ansha
r untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits" (HR. Malik)

c. Ijma

Para ulama berpendapat dengan ijma atas dibolehkannya wakalah. Mereka mensunna
hkan wakalah dengan alasan bahwa wakalah termasuk jenis ta‟awun atau tolong men
olong atas dasar kebaikan dan takwa

3. Rukun dan Syarat Wakalah


Adapun rukun dan syarat wakalah adalah sebagai sebagai berikut:
a. Rukun wakalah
1) Orang yang memberi kuasa (al-Muwakkil)
2) Orang yang diberi kuasa (al-Wakil)
3) Perkara/hal yang dikuasakan (al-Taukil)
4) Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul)
b. Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan)

6
Muwakkil merupakan orang yang berwakil disyaratkan sah melakukan apa yang diwakilkan, s
ebab milik atau di bawah kekuasaannya orang yang berwakil disyaratkan sah melakukan apa
yang diwakilkan, sebab milik atau di bawah kekuasaannya. Syarat-syarat muwakkil adalah:
1) Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
2) Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang
bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan seb
againya.
c. Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
Syarat-syarat wakil adalah sebagai berikut:
1) Cakap hukum, cakap bertindak hukum untuk dirinya dan orang lain, memiliki pengetahua
n yang memadai tentang masalah yang diwakilkan kepadanya, serta amanah dan mampu me
ngerjakan pekerjaan yang dimandatkan kepadanya.
2) Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya.
3) Wakil adalah orang yang diberi amanat.
d. Perkara yang diwakilkan/obyek wakal
Sesuatu yang dapat dijadikan obyek akad atau suatu pekerjaan yang dapat dikerjakan orang l
ain, perkara-perkara yang mubah dan dibenarkan oleh syara’, memiliki identitas yang jelas, d
an milik sah dari al-Muwakkil, misalnya: jual-beli, sewa-menyewa, pemindahan hutang, tang
gungan, kerjasama usaha, penukaran mata uang, pemberian gaji, akad bagi hasil, talak, nikah,
perdamaian dan sebagainya.
e. Pernyataan Kesepakatan (Ijab-Qabul)
Kesepakatan kedua belah pihak baik lisan maupun tulisan dengan keikhlasan memberi dan
menerima baik fisik maupun manfaat dari hal yang ditransaksikan.

2.3 Akad Kafalah


1. PENGERTIAN

Dalam pengertian bahasa kafalah berarti adh dhamman (jaminan), sedangkan menurut
pengertian syara’ kafalah adalah proses penggabungan tanggungan kafiil menjadi tanggungan
ashiil dalam tuntutan/permintaan dengan materi sama atau hutang, atau barang atau pekerjaan

2. DASAR HUKUM KAFALAH

Dalam hukum Islam, seseorang diperkenankan mendelegasikan suatu tindakan tertentu


kepada orang lain yang mana orang lain tersebut bertindak atas nama pemberi kuasa atau yan
g mewakilkan sepanjang kegiatan yang didelegasikan diperkenankan oleh agama. Dalil yang
dipergunakan, antara lain adalah :

7
a. AL-QUR’AN:

Penyeru – penyeru itu berkata : Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat menge
mbalikannya akan memperoleh bahan makanan ( seberat ) beban unta dan aku menjamin terh
adapnya (QS. Yusuf : 72). Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ta
qwa, dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran.” (QS. al-
Ma’idah : 2)

b. AL-HADITS:

Hadis Nabi riwayat Bukhari: “Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW jenazah seora
ng laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah saw bertanya, ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Saha
bat menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lai
n, Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Sahabat menjawab. ‘Ya’. Rasul
ullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau mensalatkannya). Lalu Ab
u Qatadah berkata, ‘Saya menjamin hutangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun mensha
latkan jenazah tersebut.” (HR. Bukhari dari Salamah bin Akwa’).

Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: “Perdamaian dapat dilakukan di antara
kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang menghar
amkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”.

3. RUKUN DAN SYARAT-SYARAT DALAM KAFALAH

Menurut kelompok Hanafiah, rukun Kafalah itu hanya ijab qabul. Ijab merupakan per
nyataan menjamin sesuatu dari pihak yang memberi jaminan (kafil) dan qabul adalah penerim
aan jaminan dari pihak yang diberi jaminan (Madmun lah) tanpa harus terkait dengan mengg
unakan sesuatu lafaz tertentu. Menurut Jumhur ulama tidak sependapat dengan pandangan k
elompok hanafiah. Mereka berpendirian bahwa rukun dan syarat Kafalah itu adalah sebagai b
erikut:

o Dhamin, kafil, atau zaim, yaitu orang yang menjamin dimana ia disyaratkan sudah baligh, b
erakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya(mahjur) dan dilakukan dengan sekehendak sen
diri

o Madmun lah, yaitu orang yang berpiutang, syaratnya ialah bahwa yang berpiutang diketahu
i oleh orang yang menjamin. Madmun lah disebut juga makful lah, madmun lah disyaratkan d

8
ikenal oleh penjamin karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan, hal ini dilakukan demi k
emudahan dan kedisiplinan.

o Madmun ‘anhu atau makful ‘anhu adalah orang yang berutang.

o Madmun bih atau makful bih adalah utang, disyaratkan pada makful bih dapat diketahui da
n tetap keadaannya, baik sudah tetap maupun akan tetap. o Lafadz, disyaratkan keadaan lafad
z itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.

4. PENERAPAN KAFALAH

Menurut Abdul Ghofur Anshori secara fiqih terdapat tiga macam kafalah yang dapat
diimplementasikan dalam produk perbankan syariah yaitu:

• Kafalah bi nafs, yaitu jaminan dari diri peminjam (personal guarantee);

• Kafalah bil maal, yaitu jaminan pembayaran hutang atau pelunasan hutang. penerapannya d
alam perbankan dapat berbentuk jaminan uang muka (advance payment) atau jaminan pemba
yaran (payment bond)

• Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun tertentu. Dalam perban
kan modern hal ini dapat diterapkan untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek (performance b
onds) atau jaminan penawaran (bid bonds).

2.4 Akad Hawalah


1. PENGERTIAN

Pengertian Hawalah secara etimologi, berarti pengalihan, pemindahan, perubahan wa


rna kulit, memikul sesuatu di atas pundak. Sedangkan secara terminologi menurut Hanafiyah,
yang dimaksud dengan hawalah adalah pemindahan kewajiban membayar hutang dari orang
yang berhutang (al-muhil) kepada orang yang berhutang lainnya (al-muhal’alaih). Menurut M
alikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, hawalah adalah pemindahan atau pengalihan hak untuk menu
ntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada pihak lain

Jadi dapat disimpulkan bahwa hawalah adalah akad pengalihan hutang atau piutang dari piha
k yang berhutang atau berpiutang kepada pihak lain yang wajib menanggung atau meneriman
ya.

2. DASAR HUKUM HAWALAH

a. Al Hadist.

9
Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu keza
liman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahk
an) kepada pihak yang mampu, terimalah (HR. Bukhari).

b. Ijma Ulama

Para ulama sepakat (ijma) atas kebolehan akad hawalah/ hiwalah. Menurut pengikut mazha
b Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az-Zahiriyah, hukumnya wajib bagi muhal menerima hi
walah berdasarkan perintah pada hadits tersebut. Sedangkan menurut jumhur ulama perintah
pada hadist tersebut untuk menerima hiwalah hukumnya sunnah, bukan wajib, sebab mungki
n saja muhal’alaih sulit ekonomi atau sulit membayar hutang, maka dalam hal ini ia tidak waj
ib menerima hawalah, bahkan hukumnya bukan sunnah.

c. Kaidah Fiqih

Artinya: Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya. Artinya: Bahaya (beban berat) harus dihilangkan

d. Fatwa DSN - MUI

Sebagai dasar akad Hawalah Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia telah
mengeluarkan fatwa sebagai berikut :

a. Fatwa DSN-MUI No. 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah

b. Fatwa DSN-MUI No. 34/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah

c. Fatwa DSN-MUI No. 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil Ujrah

3. RUKUN DAN SYARAT-SYARAT DALAM HAWALAH

Menurut mazhab Hanafi, rukun hawalah hanya ijab (pernyataan melakukan hawalah) d
ari pihak pertama dan kabul (pernyataan menerima hawalah) dari pihak kedua dan ketiga. Sed
angkan menurut jumhur ulama yang terdiri dari mazhab Maliki, Hanbali, dan Syari’i, rukun h
awalah ada enam, yaitu:

1) Pihak pertama adalah pihak yang berhutang dan berpiutang (muhil)

2) Pihak kedua adalah pihak yang berpiutang disebut sebagai (muhal)

3) Pihak ketiga adalah pihak yang berhutang dan berkewajiban membayar hutang ke
pada muhil disebut sebagai (muhal‘alaih)

10
4) Hutang muhil kepada muhal (muhal bih 1)

5) Hutang muhal’alaih kepada muhil (muhal bih 2) 6) Ijab qabul (sighat )

Syarat bagi pihak pertama (muhil) :

1) Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu balig dan bera
kal. Hawalah tidak sah jika dilakukan oleh anak-anak meskipun aia sudah mengerti
(mumayyiz), ataupun dilakukan oleh orang yang gila.

2) Ada pernyataan persetujuan (ridha).

Syarat bagi pihak kedua (muhal)

1) Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu balig dan bera
kal, sebagaimana pihak pertama (muhil)

2) Mazhab Hanafi, sebagian besar mazhab Maliki dan Syafi’i mensyaratkan ada pers
etujuan pihak kedua (muhal) terhadap pihak pertama (muhil) yang melakukan hawal
ah. Mazhab Hambali tidak menetapkan persyaratan itu kepada pihak kedua (muhal)
karena mereka berpendapat bahwa kalimat perintah pada hadis tersebut menunjukka
n bahwa hawalah itu wajib, sehingga tidak diperlukan persetujuan dari pihak kedua
(muhal) dan pihak ketiga (muhal ‘alaih).

4.BERAKHIRNYA HAWALAH

Akan hawalah akan berakhir apabila terdapat hal-hal sebagai berikut :

a) Salah satu pihak yang melakukan akan itu memfasakh (membatalkan) akad hawalah

b) Pihak ketiga (muhal ‘alaih) melunasi hutang yang dialihkan itu pada pihak kedua (muhal).

c) Apabila pihak kedua (muhal) wafat, sedangkan pihak ketiga (muhal ‘alaih) merupakan ahli
waris yang mewarisi harta pihak kedua (muhal).

d) Pihak kedua (muhal) menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang da
lam akad hawalah itu kepada pihak ketiga (muhal ‘alaih).

e) Pihak kedua (muhal) membebaskan pihak ketiga (muhal ‘alaih) dari kewajibannya untuk m
embayar hutang yang dialihkan itu.

f) Hak pihak kedua (muhal) menurut mazhab Hanafi, tidak dapat dipenuhi karena attawa yait
u pihak ketiga (muhal ‘alaih) mengalami muflis (bangkrut) atau wafat dalam keadaan muflis

11
atau dalam keadaan tidak ada bukti otentik tentang akad hawalah, pihak ketiga (muhal ‘alaih)
mengingkari itu.

g) mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, selama akad hawalah sudah berlaku tetap, karena sya
rat yang ditetapkan sudah dipenuhi maka akad hawalah tidak dapat berakhir karena at-tawa.

5. PENERAPAN HAWALAH

Pada praktiknya akad hawalah umum diterapkan pada lembaga-lembaga keuangan yang
diantaranya adalah pembiayaan pembiayaan factoring dan pembiayaan Letter of Credit untuk
keperluan impor barang.

a) Penerapan hawalah pada pembiayaan Factoring

Pembiayaan factoring atau anjak piutang merupakan transaksi pembiayaan oleh suatu lembag
a keuangan yang bertindak sebagai (Muhal Alaih) dengan cara mengambil alih piutang dari p
enjual/ pemberi jasa (Muhal) atas hutang pembeli / penerima jasa (Muhil).

1) Kontraktor (Muhil) berhutang kepada supplier material (Muhal) atas pembelian bahan-bah
an bangunan.

2) Muhal mengalihkan piutangnya (atas hutang muhil) kepada lembaga pembiayaan syariah
(Muhal Alaih) atas pengetahuan kontraktor (muhil)

3) Atas pengalihan ini lembaga keuangan syariah membayar sejumlah uang sebesar hutang m
uhil setelah dikurangi Ujrah.

4) Pada sa’at jatuh tempo hutang kontraktor (muhil) melakukan pembayaran kepada lembaga
keuangan syariah (Muhal)

2.5 Akad Rahn


1. Pengertian Akad Rahn
Secara etimologis al-rahn berarti tetap dan lama, sedangkan al-habs berarti menah
an terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari
barang tersebut. Makna gadai (rahn) dalam bahasa hokum perundang-undangan disebut s
ebagai barang jaminan, agunan, dan rungguhan.
Akad rahn dalam istilah terminologi positif disebut dengan barang jaminan, agun
an dan runggahan. Dalam islam rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi um
at Islam, tanpa adanya imbalan.
Sedangkan menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah menjadika
n suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan uta
ng, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang terse
but.

12
Selain Pengertian rahn yang dikemukakan diatas, terdapat juga pengertian gadai
(rahn) yang diberikan oleh para ahli yaitu sebagai berikut:
a. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengemukakan gadai (rahn) adalah menjadikan materi
(barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yan
g berutang tidak bisa membayar utangnya itu.
b. Hanafiyah mendefinisikan rahn adalah Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan ter
hadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik se
luruhnya maupun sebagian.
c. Malikiyah mendefinisikan gadai (rahn) adalah sesuatu yang bernilai harta yang diambil d
ari pemiliknya sebagai jaminan untuk utang yang tetap (mengikat) atau menjadi tetap.
d. Menurut Ahmad Azhar Basyir, gadai (rahn) menurut istilah ialah menjadikan sesuatu ben
da bernilai menurut pandangan syara‟ sebagai tanggungan hutang; dengan adanya benda
yanmg menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.
e. Menurut Muhammad Syafi'i Antonio ar-rahn adalah menahan salah satu harta salah satu
harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas pinjaman yang diterim
anya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan a
tau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali sel
uruh atau sebagian piutang.
Berdasarkan pengertian rahn (gadai) yang dikemukakan oleh beberapa ahli diatas, da
pat diketahui bahwa rahn (gadai) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi m
ilik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang diterimanya, dan barang ya
ng diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak yang menahan (murtahin) memper
oleh jaminan untuk mengambi kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai
dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang d
itentukan.
Sifat rahn secara umum dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma, sebab apa y
ang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan
sesuatu. Yang diberikan murtahin kepada rahin adalah utang,bukan penukar ataas barang
yang digadaikan.
Jadi pada intinya pelaksannaan gadai adalah suatu kegiatan hutang piutang antara ked
ua belah pihak, dengan menjadikan suatu barang yang berharga atau bernilai sebagai jam
inannya.

2. Dasar Rukun ar-Rahn


a. Al Qur’an
Dalam surat al-Baqarah ayat 283 Allah berfirman :
  ْ‫وض ٌة ۖ َف إِ ن‬َ ‫َو إِ ْن ُك ْن ُت ْم َع َل ٰى َس َف ٍر َو َل ْم َت ِج ُد وا َك ات ًِب ا َف ِر َه انٌ َم ْق ُب‬
ُ‫َّق هَّللا َ َر بَّه‬ ِ ‫ض ا َف ْل ُي َؤ ِّد الَّ ِذ ي ْاؤ ُت ِم َن أَ َم َان َت ُه َو ْل َي ت‬ً ْ‫ض ُك ْم َب ع‬ ُ ْ‫أَ ِم َن َب ع‬
‫َّه آث ٌِم َق ْل ُب ُه ۗ َو هَّللا ُ ِب َم ا‬ُ ‫َّه ادَ َة ۚ َو َم ْن َي ْك ُت مْ َه ا َف إِ ن‬
َ ‫ۗ َو اَل َت ْك ُت ُم وا الش‬
َ ُ‫َت عْ َم ل‬
ٌ‫ون َع لِيم‬
Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) se
dang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tang
gungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu m

13
empercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yan
g menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatin
ya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang tanggungan (b
org) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.” (QS. Al-Baqar
ah : 283)
Para ulama fiqh sepakat bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam perjalanan dan
dalam keadaan hadir di tempat, asal barang jaminan itu bisa langsung dipegang/di
kuasai secara hukum oleh si piutang. Maksudnya, karena tidak semua barang jami
nan bisa dipegang / dikuasai oleh si pemberi piutang secara langsung, maka paling
tidak ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status al-
Marhun (menjadi jaminan hutang). Misalnya, apabila barang jaminan itu berbentu
k sebidang tanah, maka yang dikuasai adalah surat jaminan tanah itu.

b. Hadits
Dibolehkannya ar-rahn, juga dapat ditunjukkan dengan amalan Rasulullah Shallall
ahu ‘alaihi wa sallam , bahwa beliau pernah melakukan sistem gadai ini, sebagaim
ana dikisahkan Ummul-Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anha :

‫ ٍد‬S‫ا ِم ْن َح ِدي‬Sً‫هُ ِدرْ ع‬Sَ‫ ٍل َو َرهَن‬S‫ي إِلَى أَ َج‬ ْ ‫لَّ َم‬S‫ ِه َو َس‬Sْ‫لَّى هَّللا ُ َعلَي‬S‫ص‬
ٍّ ‫و ِد‬Sُ‫ا ِم ْن يَه‬S‫ طَ َعا ًم‬S‫ت ََرى‬S‫اش‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli dari seorang Yahudi b


ahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya. [HR al Bukh
ari, no. 2513 dan Muslim, no. 1603].
Menurut kesepakatan pakar fiqh, peristiwa Rasul SAW. merahn-kan baju besi
nya itu, adalah kasus ar-rahn pertama dalam islam dan dilakukan sendiri oleh Ras
ulullah saw. Berdasarkan ayat dan hadis-hadis diatas, para ulama fiqh sepakat men
gatakan bahwa akad ar-rahn itu dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang ter
kandung di dalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia.

c. Ijma’
Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan u
lama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bant
uan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butu
hkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupa
n di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan
umatnya. Di samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 25/DS
NMUI/III/2002, tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman dengan mengg
adaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ul
ama berpendapat bahwa rahn disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pa
da waktu bepergian.
3. Rukun dan Syarat Akad Rahn
a. Rukun Rahn

14
Gadai memiliki empat rukun: rahin, murtahin, marhun dan marhun bih. Rahin
adalah orang yang memberikan gadai. Murtahin adalah orang yang menerima gad
ai. Marhun atau rahn adalah harta yang digadaikan untuk menjamin utang. Marhu
n bih adalah utang. Menurut jumhur ulama, rukun gadai ada empat, yaitu: ‘aqid, s
highat, marhun, dan marhun bih. Ada beberapa syarat yang terkait dengan gadai.
1) Syarat ’Aqid
Syarat yang harus dipenuhi oleh „aqid dalam gadai yaitu rahin dan mur
tahin adalah ahliyah (kecakapan). Kecakapan menurut Hanafiah adalah kecaka
pan untuk melakukan jual beli. Sahnya gadai, pelaku disyaratkan harus berakal
dan mumayyiz.
2) Syarat Shighat
Menurut Hanafiah, shighat gadai tidak boleh digantungkan dengan sya
rat, dan tidak disandarkan kepada masa yang akan datang. Hal ini karena akad
gadai menyerupai akad jual beli, dilihat dari aspek pelunasan utang. Apabila a
kad gadai digantungkan dengan syarat atau disandarkan kepada masa yang aka
n datang, maka akad akan fasid seperti halnya jual beli. Syafi’iyah berpendapa
t bahwa syarat gadai sama dengan syarat jual beli, karena gadai merupakan ak
ad maliyah.
3) Syarat Marhun
Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat marhun sama dengan syarat-sy
arat jual beli. Artinya, semua barang yang sah diperjualbelikan sah pula digada
ikan. Secara rinci Hanafiah mengemukakan syarat-syarat merhun adalah sebag
ai berikut :
a) Barang yang digadaikan bisa dijual, yakni barang tersebut harus ada pada
waktu akad dan mungkin untuk diserahkan. Apabila barangnya tidak ada
maka akad gadai tidak sah.
b) Barang yang digadaikan harus berupa maal (harta). Dengan demikian, tida
k sah hukumnya menggadaikan barang yang tidak bernilai harta.
c) Barang yang digadaikan harus haal mutaqawwin, yaitu barang yang boleh
diambil manfaatnya menurut syara’, sehingga memungkinkan dapat digun
akan untuk melunasi utangnya.
d) Barang yang digadaikan harus diketahui (jelas), seperti halnya dalam jual
beli.
e) Barang tersebut dimiliki oleh rahin. Tidak sah menggadaikan barang milik
orang lain tanpa ijin pemiliknya.
f) Barang yang digadaikan harus kosong, yakni terlepas dari hak rahin. Tidak
sah menggadaikan pohon kurma yang ada buahnya tanpa menyertakan bua
hnya itu.
g) Barang yang digadaikan harus sekaligus bersama-sama dengan pokoknya
(lainnya). Tidak sah menggadaikan buahbuahan saja tanpa disertai dengan
pohonnya, karena tidak mungkin menguasai buah-buahan tanpa menguasai
pohonnya.
h) Barang yang digadaikan harus terpisah dari hak milik orang lain, yakni bu
kan milik bersama. Akan tetapi menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabi
lah, barang milik bersama boleh digadaikan.

15
Berdasarkan fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN)- MUI No. 25/ DSN-
MUI/III/2002, tanggal 22 Juni 2002, bahwa semua barang dapat diterima seba
gai agunan pinjaman.
4) Syarat Marhun Bih
Marhun bih adalah suatu hak yang karenanya barang gadaian diberikan
sebagai jaminan kepada rahin. Menurut Hanafiah, marhun bih harus memenuh
i syarat-syarat sebagai berikut :
a) Marhun bih harus berupa hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya, y
aitu rahin, karena tidak perlu memberikan jaminan tanpa ada barang yang
dijaminnya.
b) Pelunasan utang memungkinkan untuk diambil dari marhun bih. Apabila ti
dak memungkinkan pembayaran utang dari marhun bih, maka rahn hukum
nya tidak sah.
c) Hak marhun bih harus jelas (ma’lum), tidak boleh majhul (samar/tidak jela
s).

2.6 Akad Qardh


1. Pengertian Qardh
Secara bahasa qardh berarti al-qat’ yang artinya potongan karena harta orang y
ang memberikan pinjaman (kreditur) diberikan kepada orang yang meminjam (debitu
r).
Secara istilah, menurut Hanafiah qardh adalah harta yang memiliki kesepadan
an yang diberikan untuk ditagih kembali atau dengan kata lain, suatu transaksi yang di
maksudkan untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang lain un
tuk dikembalikan yang sepadan dengan itu.
Secara terminologis qardh adalah memberikan harta kepada orang yang akan
memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya di kemudian hari.
Mazhab-mazhab yang lain mendefinisikan qardh sebagai bentuk pemberian harta dari
seseorang (kreditur) kepada orang lain (debitur) dengan ganti harta yang sepadan yan
g menjadi tanggungannya (debitur), yang sama dengan harta yang di ambil, dimaksud
kan sebagai bantuan kepada orang yang diberi saja.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah qardh adalah penyediaan dana
atau tagihan antara lembaga keuangan Syari’ah dengan pihak peminjam yang mewaji
bkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam w
aktu tertentu. Definisi yang dikemukakan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
di atas bersifat aplikatif dalam akad pinjam-meminjam antara nasabah dan Lembaga
Keuangan Syari’ah.
Dari beberapa definisi di atas maka penulis dapat menyimpulkan pengertian qa
rdh, adalah memberikan harta kepada peminjam untuk dimanfaatkan dan dikembalika
n sesuai kesepakatan di lain waktu.

2. Landasan Hukum Qardh


a. Al Qur’an

16
Sُُۜ ‫يرةً ۚ َوٱهَّلل ُ يَ ْقبِضُ َويَ ْب‬S
‫ ِه‬S ‫ۜصطُ َوإِلَ ْي‬ ْ َ‫ ِعفَهۥُ لَ ٓۥهُ أ‬S ‫ُض‬
َ Sِ‫ َعافًا َكث‬S ‫ض‬ ً ْ‫رضُ ٱهَّلل َ قَر‬S
َ ٰ ‫نًا فَي‬S ‫ا َح َس‬S ‫ض‬ ِ S‫َّمن َذا ٱلَّ ِذى يُ ْق‬
َ‫تُرْ َجعُون‬

Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang ba
ik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan memperlipat gandaka
n pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempit
kan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”(Q.S. Al-B
aqarah: 245)
b. Hadits

َ ‫ب ْا‬ ُ ُ ‫صلَّى هللاِ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َرأَي‬


‫لجنَّ ِة‬ ِ ‫ي بِي َعلَى بَا‬ ِ ‫ْت لَ ْيلَةَ أس‬
Sَ ‫ْر‬ َ ِ‫ك قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬ ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬ِ ‫ع َْن أَن‬
َ‫ض ُل ِمن‬ َ ‫ض أَ ْف‬
ِ ْ‫اجب ِْري َْل َما بَا ُل ْالقَر‬ِ َ‫ت ي‬ُ ‫ص َدقَةُ بِ َع ْش ِر أَ ْمثَالِهَا َو ْالقَرْ ضُ بِثَ َمانِيَ ِة َع َش َر فَقُ ْل‬ َّ ‫َم ْكتُوْ با ً ال‬
‫َ َّن السَّا ئِ َل يَسْأ َ ُل َو ِع ْن َدهُ َو ْال ُم ْستَ ْق ِرضُ الَ يَ ْستَ ْق ِرضُ إِالَّ ِم ْن َحا َج ٍة‬S‫ال َِِأل‬
َ َ‫ص َدقَ ِة ق‬َّ ‫ال‬

Artinya: Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah bersabda,” aku melihat pada
waktu malam di-isra‟kan, pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali
lipat dan qardh delapan belas kali. Aku bertanya, Wahai Jibril, mengapa qardh le
bih utama dari sedekah? Ia menjawab, karena peminta-minta sesuatu dan ia puny
a, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan.”(H
R. Ibnu Majjah)

c. Ijma’
Para ulama menyatakan bahwa Qardh diperbolehkan. Qardh bersifat mandub
(dianjurkan) bagi muqridh (orang yang mengutangi) dan mubah bagi muqtaridh (o
rang yang berutang) kesepakatan ulama ini didasari kebiasaan manusia yang tidak
bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang
memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam meminjam suda
h menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sanga
t memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.

3. Rukun dan Syarat Qardh


Rukun dan syarat qardh dalam fiqh mu’amalah ada tiga yaitu :
a. Shighat
Yang dimaksud dengan shighat adalah ijab qabul. Tidak ada perbedaan diantar
a fuqaha bahwa ijab qabul itu sah dengan lafaz utang dan dengan semua lafaz yan
g menunjukkan maknanya, seperti kata, “aku memberimu utang”, atau “aku meng
utangimu”. Demikian pula qabul sah dengan semua lafaz yang menunjukkan kere
laan, seperti “aku berutang” atau “aku menerima”, atau “aku ridha” dan lain seba
gainya.
b. ‘Aqidain
Yang dimaksud dengan ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah
pemberi utang dan pengutang. Adapun syarat bagi pengutang adalah merdeka, bal
ig, berakal sehat, dan pandai (rasyid, dapat membedakan baik buruk).
c. Harta yang diutangkan
Rukun harta yang diutangkan adalah sebagai berikut:

17
1) Harta berupa harta yang ada padannya, maksudnya harta yang satu sama l
ain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang mengakibatkan per
bedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat di takar, ditimbang,
ditanam, dan dihitung.
2) Harta yang diutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah mengutangkan
manfaat (jasa).
3) Harta yang diutangkan diketahui, yaitu diketahui kadarnya dan diketahui s
ifatnya.
Sedangkan syarat qardh dalam fiqh Islam ada empat yaitu :
1) Akad qardh dilakukan dengan shighat ijab qabul atau bentuk lainnya yang bisa m
enggantikannya, seperti cara mu’athah (melakukan akad tanpa ijab qabul) dalam
pandangan jumhur ulama, meskipun menurut Syafi’iyah cara mu’athah tidaklah
cukup sebagaimana dalam akad-akad lainnya.
2) Adanya kapabilitas dalam melakukan akad. Artinya, baik pemberi maupun pener
ima pinjaman adalah orang baligh, berakal, bisa berlaku dewasa, berkehendak ta
npa paksaan, dan boleh untuk melakukan tabarru’ (berderma), karena qardh adal
ah bentuk akad tabarru’, oleh karena itu, tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, o
rang gila, orang bodoh, orang yang dibatasi tindakannya dalam membelanjakan h
arta, orang yang dipaksa, dan seorang wali yang tidak sangat terpaksa atau ada k
ebutuhan. Hal itu karena mereka semua bukanlah orang yang diperbolehkan mel
akukan akad tabarru’.
3) Menurut Hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah harta mitsli. Sedangkan da
lam pandangan jumhur ulama boleh dengan harta apa saja yang bisa dijadikan ta
nggungan, seperti uang, biji-bijian, dan harta qimiy seperti hewan, barang tak ber
gerak dan lainnya.
4) Harta yang dipinjamkan jelas ukurannya, baik dalam takaran, timbangan, bilanga
n, maupun ukuran panjang supaya mudah dikembalikan, dan dari jenis yang belu
m tercampur dengan jenis lainnya seperti gandum yang bercampur dengan jelai
(sejenis padipadian) karena sukar mengembalikan gantinya.

18
BAB III

PENUTUPAN
3. 1 Kesimpulan
Wadi’ah yad Amanah yaitu barang yang dititipkan sama sekali tidak boleh digunakan
oleh pihak yang menerima titipan, sehingga dengan demikian pihak yang menerima titipan
tidak bertanggung jawab terhadap risiko yang menimpa barang yang dititipkan.Rukun dan
Syarat- Syarat Akad Wadiah a. Rukun Akad Wadi’ah Rukun akad wadi’ah menurut para
ulama mazhad hanafi adalah ijab dan qabul, yaitu penitip berkata kepada orang lain, 18
sedangkan Menurut jumhur ulama, rukun akad wadi’ah ada emapat yaitu dua orang yang
melakukan akad orang yang titip dan orang yang dititipi, sesuatu yang dititipkan dansighah
(ijab qabul).Qabul dari orang yang dititipi bisa berupa lafal misalnya, saya menerimanya.

Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun wadi’ah itu ada empat:11 Barang yang
dititipkan (wadiah) a. Orang yang menitipkan (mudi’ atau muwaddi’) b. Orang yang
menerima titipan (muda’ atau mustawda’) c. Ijab qabul (sighat)b. Syarat-syarat Akad
Wadi’ah Syarat-syarat wadi’ah berkaitan dengan rukun-rukun yang telah disebutkan di atas,
yaitu syarat benda yang dititipkan, syarat sighat, syarat orang yang menitipkandan syarat
orang yang dititipi.

Menurut kalangan Syafi‟iyah arti wakalah adalah ungkapan atau penyerahan kuasa (al-
muwakkil) kepada orang lain (al-wakil) supaya melaksanakan sesuatu dari jenis pekerjaan
yang bisa digantikan (an-naqbalu anniyabah) dan dapat dilakukan oleh pemberi kuasa,
dengan ketentuan pekerjaan tersebut dilaksanakan pada saat pemberi kuasa masih
hidup.Wakalah dalam arti harfiah adalah menjaga, menahan atau penerapan keahlian atau
perbaikan atas nama orang lain, dari sini kata tawkeel diturunkan yang berarti menunjuk
seseorang untuk mengambil alih atas suatu hal juga untuk mendelegasikan tugas apapun ke
orang lain.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa wakalah adalah akad yang
memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan suatu kegiatan dimana yang memberi
kuasa tidak dalam posisi melakukan kegiatan tersebut.Akad wakalah pada hakikatya adalah
akad yang digunakan oleh seseorang apabila dia membutuhkan orang lain atau mengerjakan

19
sesuatu yang tidak dapat dilakukannya sendiri dan meminta orang lain untuk
melaksanakannya.

Rukun dan Syarat Wakalah Adapun rukun dan syarat wakalah adalah sebagai sebagai
berikut: a. Rukun wakalah 1) Orang yang memberi kuasa (al-Muwakkil) 2) Orang yang diberi
kuasa (al-Wakil) 3) Perkara/hal yang dikuasakan (al-Taukil) 4) Pernyataan Kesepakatan (Ijab
dan Qabul) b. Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan) Muwakkil merupakan orang yang
berwakil disyaratkan sah melakukan apa yang diwakilkan, sebab milik atau di bawah
kekuasaannya orang yang berwakil disyaratkan sah melakukan apa yang diwakilkan, sebab
milik atau di bawah kekuasaannya.c. Syarat-syarat wakil (yang mewakili) Syarat-syarat wakil
adalah sebagai berikut: 1) Cakap hukum, cakap bertindak hukum untuk dirinya dan orang
lain, memiliki pengetahuan yang memadai tentang masalah yang diwakilkan kepadanya, serta
amanah dan mampu mengerjakan pekerjaan yang dimandatkan kepadanya.d. Perkara yang
diwakilkan/obyek wakal Sesuatu yang dapat dijadikan obyek akad atau suatu pekerjaan yang
dapat dikerjakan orang lain, perkara-perkara yang mubah dan dibenarkan oleh syara’,
memiliki identitas yang jelas, dan milik sah dari al-Muwakkil, misalnya: jual-beli, sewa-
menyewa, pemindahan hutang, tanggungan, kerjasama usaha, penukaran mata uang,
pemberian gaji, akad bagi hasil, talak, nikah, perdamaian dan sebagainya.

Dalam hukum Islam, seseorang diperkenankan mendelegasikan suatu tindakan tertentu


kepada orang lain yang mana orang lain tersebut bertindak atas nama pemberi kuasa atau
yang mewakilkan sepanjang kegiatan yang didelegasikan diperkenankan oleh agama.Hadis
Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum
muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”.

Ijab merupakan pernyataan menjamin sesuatu dari pihak yang memberi jaminan (kafil)
dan qabul adalah penerimaan jaminan dari pihak yang diberi jaminan (Madmun lah) tanpa
harus terkait dengan menggunakan sesuatu lafaz tertentu.Mereka berpendirian bahwa rukun
dan syarat Kafalah itu adalah sebagai berikut: o Dhamin, kafil, atau zaim, yaitu orang yang
menjamin dimana ia disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan
hartanya(mahjur) dan dilakukan dengan sekehendak sendiri o Madmun lah, yaitu orang yang
berpiutang, syaratnya ialah bahwa yang berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin.

20
Sedangkan secara terminologi menurut Hanafiyah, yang dimaksud dengan hawalah
adalah pemindahan kewajiban membayar hutang dari orang yang berhutang (al-muhil)
kepada orang yang berhutang lainnya (al-muhal’alaih).Menurut Malikiyah, Syafi’iyah,
Hanabilah, hawalah adalah pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran
hutang dari satu pihak kepada pihak lain Jadi dapat disimpulkan bahwa hawalah adalah akad
pengalihan hutang atau piutang dari pihak yang berhutang atau berpiutang kepada pihak lain
yang wajib menanggung atau menerimanya.

Sedangkan menurut jumhur ulama yang terdiri dari mazhab Maliki, Hanbali, dan Syari’i,
rukun hawalah ada enam, yaitu: 1) Pihak pertama adalah pihak yang berhutang dan
berpiutang (muhil) 2) Pihak kedua adalah pihak yang berpiutang disebut sebagai (muhal) 3)
Pihak ketiga adalah pihak yang berhutang dan berkewajiban membayar hutang kepada muhil
disebut sebagai (muhal‘alaih) 4) Hutang muhil kepada muhal (muhal bih 1) 5) Hutang
muhal’alaih kepada muhil (muhal bih 2) 6) Ijab qabul (sighat ) Syarat bagi pihak pertama
(muhil) : 1) Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu balig dan
berakal.

Syarat bagi pihak kedua (muhal) 1) Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam
bentuk akad, yaitu balig dan berakal, sebagaimana pihak pertama (muhil) 2) Mazhab Hanafi,
sebagian besar mazhab Maliki dan Syafi’i mensyaratkan ada persetujuan pihak kedua
(muhal) terhadap pihak pertama (muhil) yang melakukan hawalah.Mazhab Hambali tidak
menetapkan persyaratan itu kepada pihak kedua (muhal) karena mereka berpendapat bahwa
kalimat perintah pada hadis tersebut menunjukkan bahwa hawalah itu wajib, sehingga tidak
diperlukan persetujuan dari pihak kedua (muhal) dan pihak ketiga (muhal ‘alaih).

Akan hawalah akan berakhir apabila terdapat hal-hal sebagai berikut : a) Salah satu pihak
yang melakukan akan itu memfasakh (membatalkan) akad hawalah b) Pihak ketiga (muhal
‘alaih) melunasi hutang yang dialihkan itu pada pihak kedua (muhal).d) Pihak kedua (muhal)
menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hawalah itu
kepada pihak ketiga (muhal ‘alaih).f) Hak pihak kedua (muhal) menurut mazhab Hanafi,
tidak dapat dipenuhi karena attawa yaitu pihak ketiga (muhal ‘alaih) mengalami muflis
(bangkrut) atau wafat dalam keadaan muflis atau dalam keadaan tidak ada bukti otentik
tentang akad hawalah, pihak ketiga (muhal ‘alaih) mengingkari itu.

Sedangkan menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah menjadikan suatu
barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang

21
memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.Selain
Pengertian rahn yang dikemukakan diatas, terdapat juga pengertian gadai (rahn) yang
diberikan oleh para ahli yaitu sebagai berikut: a.Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
mengemukakan gadai (rahn) adalah menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang
dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya
itu.c.Malikiyah mendefinisikan gadai (rahn) adalah sesuatu yang bernilai harta yang diambil
dari pemiliknya sebagai jaminan untuk utang yang tetap (mengikat) atau menjadi tetap.

Berdasarkan pengertian rahn (gadai) yang dikemukakan oleh beberapa ahli diatas, dapat
diketahui bahwa rahn (gadai) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si
peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima
tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan
untuk mengambi kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud bila
pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang ditentukan.Sifat
rahn secara umum dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma, sebab apa yang diberikan
penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu.Dasar
Rukun ar-Rahn

a. Al Qur’an Dalam surat al-Baqarah ayat 283 Allah berfirman : ‫َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َعلَ ٰى َسفَ ٍر َولَ ْم تَ ِجدُوا‬
ِ َّ‫اؤتُ ِمنَ أَ َمانَتَهُ و َو ْليَت‬
ُ‫ق هَّللا َ َربَّهُ ۗ َواَل تَ ْكتُ ُموا ال َّشهَا َدةَ ۚ َو َم ْن يَ ْكتُ ْمهَا فَإِنَّه‬ ْ ‫ض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْليُ َؤ ِّد الَّ ِذي‬
ُ ‫ضةٌ ۖ فَإ ِ ْن أَ ِمنَ بَ ْع‬
َ ‫َان َم ْقبُو‬
ٌ ‫َكاتِبًا فَ ِره‬
‫ آثِ ٌم قَ ْلبُهُ ۗ َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َعلِي ٌم‬Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).

akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian.dan Barangsiapa
yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.Maksudnya, karena tidak semua barang
jaminan bisa dipegang / dikuasai oleh si pemberi piutang secara langsung, maka paling tidak
ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status al-Marhun
(menjadi jaminan hutang).

Secara rinci Hanafiah mengemukakan syarat-syarat merhun adalah sebagai berikut :


a)Barang yang digadaikan bisa dijual, yakni barang tersebut harus ada pada waktu akad dan
mungkin untuk diserahkan.c)Barang yang digadaikan harus haal mutaqawwin, yaitu barang

22
yang boleh diambil manfaatnya menurut syara’, sehingga memungkinkan dapat digunakan
untuk melunasi utangnya.

Menurut Hanafiah, marhun bih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a) Marhun
bih harus berupa hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya, yaitu rahin, karena tidak
perlu memberikan jaminan tanpa ada barang yang dijaminnya.

Pengertian Qardh Secara bahasa qardh berarti al-qat’ yang artinya potongan karena harta
orang yang memberikan pinjaman (kreditur) diberikan kepada orang yang meminjam
(debitur).Secara istilah, menurut Hanafiah qardh adalah harta yang memiliki kesepadanan
yang diberikan untuk ditagih kembali atau dengan kata lain, suatu transaksi yang
dimaksudkan untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang lain untuk
dikembalikan yang sepadan dengan itu.

Mazhab-mazhab yang lain mendefinisikan qardh sebagai bentuk pemberian harta dari
seseorang (kreditur) kepada orang lain (debitur) dengan ganti harta yang sepadan yang
menjadi tanggungannya (debitur), yang sama dengan harta yang di ambil, dimaksudkan
sebagai bantuan kepada orang yang diberi saja.Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
qardh adalah penyediaan dana atau tagihan antara lembaga keuangan Syari’ah dengan pihak
peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau
cicilan dalam waktu tertentu.Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan memperlipat
gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.

Qardh bersifat mandub (dianjurkan) bagi muqridh (orang yang mengutangi) dan mubah
bagi muqtaridh (orang yang berutang) kesepakatan ulama ini didasari kebiasaan manusia
yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya.Rukun dan Syarat Qardh
Rukun dan syarat qardh dalam fiqh mu’amalah ada tiga yaitu : a. Shighat Yang dimaksud
dengan shighat adalah ijab qabul.Tidak ada perbedaan diantara fuqaha bahwa ijab qabul itu
sah dengan lafaz utang dan dengan semua lafaz yang menunjukkan maknanya, seperti kata,
“aku memberimu utang”, atau “aku mengutangimu”.‘Aqidain Yang dimaksud dengan
‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi utang dan pengutang.c.Harta
yang diutangkan Rukun harta yang diutangkan adalah sebagai berikut: 1) Harta berupa harta
yang ada padannya, maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak

23
banyak berbeda yang mengakibatkan perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat
di takar, ditimbang, ditanam, dan dihitung.

Sedangkan syarat qardh dalam fiqh Islam ada empat yaitu : 1) Akad qardh dilakukan
dengan shighat ijab qabul atau bentuk lainnya yang bisa menggantikannya, seperti cara
mu’athah (melakukan akad tanpa ijab qabul) dalam pandangan jumhur ulama, meskipun
menurut Syafi’iyah cara mu’athah tidaklah cukup sebagaimana dalam akad-akad
lainnya.Artinya, baik pemberi maupun penerima pinjaman adalah orang baligh, berakal, bisa
berlaku dewasa, berkehendak tanpa paksaan, dan boleh untuk melakukan tabarru’
(berderma), karena qardh adalah bentuk akad tabarru’, oleh karena itu, tidak boleh dilakukan
oleh anak kecil, orang gila, orang bodoh, orang yang dibatasi tindakannya dalam
membelanjakan harta, orang yang dipaksa, dan seorang wali yang tidak sangat terpaksa atau
ada kebutuhan.

Sedangkan dalam pandangan jumhur ulama boleh dengan harta apa saja yang bisa
dijadikan tanggungan, seperti uang, biji-bijian, dan harta qimiy seperti hewan, barang tak
bergerak dan lainnya.4)Harta yang dipinjamkan jelas ukurannya, baik dalam takaran,
timbangan, bilangan, maupun ukuran panjang supaya mudah dikembalikan, dan dari jenis
yang belum tercampur dengan jenis lainnya seperti gandum yang bercampur dengan jelai
(sejenis padipadian) karena sukar mengembalikan gantinya.

3.2 Saran

Kami Harapan ssemoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya sendiri dan para
pembaca sekalian. Penulisan inin tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih
terdapat keselahan dan jauh dari kata sempurna. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut
dengan pedoman pada banyak sumber dan serta dari banyak kritikan yang telah diberikan.

24
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.walisongo.ac.id/5974/3/BAB%20II.pdf

http://eprints.walisongo.ac.id/7196/4/BAB%20II.pdf

http://eprints.stainkudus.ac.id/459/5/05.%20BAB%20II.pdf

http://digilib.uinsby.ac.id/3020/3/Bab%202.pdf

file:///C:/Users/USER/Downloads/3273-6676-1-SM.pdf

file:///C:/Users/USER/Downloads/7578-19210-1-SM.pdf

http://repository.radenintan.ac.id/1123/3/BAB_II.pdf

https://almanhaj.or.id/14353-gadai-ar-rahn.html

http://digilib.uinsby.ac.id/13229/5/Bab%202.pdf

http://eprints.walisongo.ac.id/7051/3/BAB%20II.pdf

25

Anda mungkin juga menyukai