Disusun Oleh
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Puja dan puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah ilmiah tentang penalaran. Makalah ini telah kami susun secara maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat melancarkan pembuatan
makalah ilmiah ini. Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari hal tersebut, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan
baik dari penyusunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran agar kami dapat memperbaiki kesalahan dari makalah
ilmiah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat menjadi alat untuk menambah
wawasan dan pengetahuan pembaca, serta pedoman untuk kami dalam mempelajari
materi ini dengan lebih baik. Kami juga memohon maaf apabila dalam makalah ini
terdapat perkataan yang tidak berkenan.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. Al- Quran...............................................................................................3
2. Hadits ……………………………………………………………………..6
3. Ijma’ ………………………………………………………………………13
4. Qiyas …………………………………………………………………….18
1. Istihsan ……………………………………………………………………35
2. Istihab …………………………………………………………………….38
3. Urf ………………………………………………………………………..40
iv
BAB 3 PENUTUP
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang diridhoi Allah swt untuk manusia mengatur semua
aspek kehidupan, baik dari segi sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Islam
merupakan agama yang sempurna, sebagaimana dinyatakan surat al-Maidah ayat 3.
Islam sebagai agama yang sempurna di dalamnya terdapat sistem dan konsep yang
relevan dengan kehidupan sehari-hari. Kesempurnaan Islam sebagaimana al-Maidah
ayat 3 dilengkapi dengan sistem dan konsep ekonomi, suatu sistem yang dapat
digunakan sebagai panduan dalam menjalan kegiatan ekonomi. Ekonomi Islam
merupakan konsekuensi logis dari kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah
dipahami secara kaffah dan komprehensif oleh umatnya, sehingga dalam menjalankan
kegiatan ekonomi seorang umat Islam harus sesuai dengan sistem dan konsep dalam
Islam.
1
2. Rumusan masalah
a. Apa saja sumber-sumber ekonomi dari sumber hukum yang disepakati?
b. Apasaja sumber-sumber ekonomi Islam yang berasal dari sumber yang
diperselisihkan?
3. Tujuan
a. Mengetahui sumber-sumber ekonomi dari sumber hukum yang disepakati.
b. Mengetahui sumber-sumber ekonomi dari sumber hukum yang
diperselisihkan.
2
BAB 2
PEMBAHASAN
Dalam hukum ekonomi Islam, kita menggunakan dua sumber hukum Islam,
yaitu sumber yang disepakati dan sumber hukum yang diperselisihkan. Di bawah ini
akan dijelaskan secara rinci sumber hukum yang disepakati dan sumber hukum yang
diperselisihkan
1. Al-Quran
Al-Quran adalah sumber pertama dan utama bagi ekonomi islam, didalamnya
dapat kita temui hal ihwal yang berkaitan dengan ekonomi dan juga terdapat hukum-
hukum dan undang-undang diharamkannya riba, dan diperbolehkanya jual beli yang
terdapat pada surat Al-Baqarah: 275
3
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusanya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba) maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya.
Sumber hukum Islam yang abadi dan asli adalah kitab suci Al-Quran, Al-
Quran tidak hanya memberi tuntunan dalam keagamaan saja, Al-Quran juga
menjelaskan aturan dalam bidang social, politik, bahkan juga dalam bidang ekonomi.
Al-Quran memberikan hukum-hukum ekonomi yang sesuai dengan tujuan dan cita-
cita ekonomi islam itu sendiri. Al-Quran memberi hukum-hukum ekonomi yang
dapat menciptakan kestabilan dalam perekonomian itu sendiri. Dalam Al-Quran surat
Ar-Ruum: 39 yang berbunyi
Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
maka (yang akan berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).”
4
Larangan riba juga disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah: 278 yang
berbunyi
Contoh lain seperti perintah mencatat atau pembukuan yang baik dalam
masalah utang-piutang, Allah ungkapkan di surat Al-Baqarah: 282
Artinya: “Wahai orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskanya....”
Dan contoh terakhir adalah perintah menepati dan menghormati janji pada
surat Al-Maidah: 1
5
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. Yang demikian itu
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
dan Allah berfirman, "Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggung jawabanya.” (QS. Al-Isra: 34.)
2. HADITS
Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran
dalam islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya
6
merupakan satu kesatuan. Al-qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak
memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu kehadiran
hadis, sebagi sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan keumuman isi Al-
Qur’an tersebut. Allah SWT menurunkan Al-Qur’an bagi umat manusia agar dapat
dipahami oleh manusia, maka Rasulullah SAW diperintahkan untuk menjelaskan
kandungan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadisnya. Oleh
karena itu, fungsi hadis Rasulullah SAW sebagai penjelas Al-Qur’an itu bermaca-
macam.
1. Bayan at – Taqrir
Bayan taqrir bisa juga disebut bayan tak’id dan bayan al-isbat, yaitu hadis
yang berfungsi untuk memperkukuh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an.
2. Bayan at – Tafsir
Hadis berfungsi untuk memberikan perincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan
persyaratan/batasan (taqyid) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih
bersifat umum.
3. Bayan at – Tasyri’
Yaitu, mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati
dalam Al-Qur’an.
4. Bayan an – Nasakh
Dalil syara’ yang dapat menghapus ketentuan yang telah ada, karena
datangnya kemudian.
HADIS-HADIS EKONOMI
7
Pedagang dilarang melakukan ikhtikar dengan tujuan spekulasi, sehingga ia
mendapatkan keuntungan besar diatas keuntungan normal. Larangan ikhtikar ini
terdapat dalam hadits rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Tarmidzi ::
Dari Ma’mar bin Abdullah bin Fadhlah, katana, Aku mendengar Rasulullah
SAW bersabd, “Tidak melakukan ikhtikar kecuali orang yang bersalah (berdosa)”
(HR. Tarmizi)
Suatu kegiatan masuk dalam kategori ikhtikar apabila terdapat tiga unsur berikut:
Dalam terminologi Islam, penimbunan harta seperti emas, perak dan lainnya
disebut ikhtinaz, sementara penimbunan barang-barang seperti makanan dan
kebutuhan sehari-hari disebut dengan ikhtikar. Penimbunan barang dan pencegahan
peredarannya di dalam kehidupan masyarakat sangat dicela oleh Al-Qur’an, seperti
yang di firmankan Allah SWT di dalam surah at – Taubah ayat 34-35 yang artinya :
“(34) Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang alim
Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan bathil, dan
mereka mengalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka, (bahawa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (35) Pada hari dipanaskan
emas perak itu di dalam neraka jahannam, lalu dibakarnya dahi mereka, lamung dan
8
punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu
simpan itu”
9
c. Hadis Larangan Jual Beli Talaqqi Rukban dan Hadir Libad
Praktik talaqqi rukban ini adalah suatu perbuatan seseorang dimana dia
mencegat orang-orang yang membawa barang dari desa dan membeli barang itu
sebelum tiba di pasar. Rasulullah SAW melarang praktik semacam ini dengan tujuan
untuk mencegah terjadinya kenaikan harga. Rasulullah memerintahkan suplai barang-
barang hendak dibawa langsung ke pasar. Hingga para peyuplai barang dan para
konsumen bisa mengambil manfaat dari adanya harga yang sesuai dan alami.
Hal ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah SAW “melarang menyongsong (mencegat) pedagang sebelum tiba di
pasar/talaqqi rukban”(HR. Bukhari). Substansi dari larangan jual beli talaqqi rukban
ini adalah ketidak-adilan tindakan yang dilakukan oleh para pedagang kota yang tidak
menginformasikan harga yang sesungguhnya terjadi di pasar. Pedagang itu sengaja
mencari keuntungan yang lebih dengan cara mengelabui para petani desa karena
membeli barangnya dengan harga di bawah dari harga pasar sesungguhnya.
10
calon pembeli). Maka siapa yang memebeli setelah itu, maka dia punya hak pilih, bila
dia rela maka diambilnya dan bila dia tidak suka dikembalikannya dengan menambah
satu sha’ kurma”.
Ada beberapa syarat yang ditetapkan ulama yang menyebabkan jual beli
semacam ini menjadi terlarang, yaitu : Pertama, barang yang dijual adalah barang
yang umumnya dibutuhkan oleh banyak orang. Jika barang yang dijual tidak terlalu
dibutuhkan banyak orang, maka tidak termasuk dalam larangan. Kedua, jual beli yang
dimaksud adalah untuk harga saat itu. Adapun jika harganya dibayar secara
berangsur, maka tidak masalah. Ketiga, orang desa tersebut tidak mengetahui harga
barang yang dijual ketika sampai di kota. Jika ia mengetahuinya maka tidak masalah.
d. Konsumsi Islam
1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti ganda megenai mencari rizki yang halal dan
tidak dilarang hukum.
2. Prinsip Kebersihan
11
Makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun
menjijikan sehingga merusak selera.
3. Prinsip Kesederhanaan
Mengatur perilaku manusia mengenai makan dan minum yang tidak
berlebihan.
4. Prinsip Kemurahan Hati
Dengan menaati perintah islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita
memakan dan meminum halal.
5. Prinsip Moralitas
Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan
dan menyatakan terima kasih kepadanya setelah makan.
Tujuan Konsumsi
Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berusaha dengan baik. Islam
juga memerintahkan agar harta dikeluarkan untuk tujuan yang baik dan bermanfaat.
Disadari atau tidak sesungguhnya pola konsumsi dan gaya hidup kita cenderung
merugikan sendiri. Dimulai dari pemenuhan kebutuhan pokok (primer), sandang,
pangan, dan papan. Islam memberikan arahan yang sangat indah dengan
memperkenalkan konsep israf (berlebih-berlebih) dalam membelanjakan harta dan
tabzir. Islam memperingatkan agar jangan sampai terlena dalam berlomba-lomba
mencari harta (Q.S. at-takaatsur). Islam membentuk pribadi yang beriman, bertaqwa,
bersyukur dan menerima. Pola hidup konsumtif tidak selayaknya dilakukan oleh
pribadi yang beriman dan bertaqwa. Gaya hidup yang cocok adalah simple living
(hidup sederhana) dalam pengertian yang benar secraa syar’i.
12
mendatangkan mafaat, baik manfaat material maupun spiritual. Apalagi melakukan
pembelanjaan untuk barang-barang yang dibenci oleh Allah SWT, juga pembelian
yang mengarah pada perbuatan bid’ah dan kebiasaan buruk. Islam mengajarkan
kepada kita sikap pertengahan dalam mengeluarkan harta, tidak berlebihan dan tidak
pula kikir.
Sumber yang berasal dari hadist Rasul, yang artinya : Abu Said Al-Chodry r.a
berkata : Ketika kami dalam berpergian bersama Nabi SAW, mendadak datang
seseorang berkendaraan, sambil menoleh ke kanan ke kiri seolah-olah mengharapkan
bantuan makanan, maka Nabi SAW bersabda ; “Siapa yang mempunyai kelebihan
kendaraan harus di bantukan pada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan siapa yang
mempunyai kelebihan bekal harus dibantukan pada orang yang tidak berbekal.”
Kemudian Rasulullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan hingga kita merasa
seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan hajatnya. (H.R.
Muslim)
3. IJMA’
Suatu ketika, ‘Ali bin Abi Thalib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang
kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur’an dan as-
Sunnah, maka Rasulullah menjawab: ”Kumpulkan orang-orang yang berilmu
kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah.” Dalam riwayat lain
Rasulullah menyatakan, "Umat ku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan"
dalam pernyataan Rasulullah ini tersirat makna bahwa apabila umatnya telah
melakukan kesepakatan tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian,
maka kesepakatan itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan
kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta. Pernyataan
Rasulullah inilah yang kemudian hari menjelma ijma' salah satu sumber hukum
13
dalam Islam. Selain itu Allah swt telah mengisyaratkan bahwa Ijma’ dapat digunakan
sebagai sumber hukum dalam Islam sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an yang
artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan
ulil amri diantara kamu ." (an-Nisa': 59). Salah satu contoh nyata dalam aplikasi Ijma’
adalah pengangkatan khalifah sepeninggalan Rasullah s.a.w.
Ijma’ secara etimologi berarti االتفاقyang berarti kesepakatan. Ada juga yang
mengatakan; االعدادyang berarti mengumpulkan dan ada juga yang mengatakan; العزم
seperti yang terdapat dalam penafsiran ayat 71 surat Yunus فأجمعوا أمركم وشركاءكم.
Ijma’ secara terminolgi didefinisikan oleh beberapa ahli diantaranya : (1) Al Ghazali :
Ijma’ yaitu kesepakatan umat Muhammad Saw secara khusus atas suatu urusan
agama (2) Al Amidi : Ijma’ adalah kesepakatan ahlul halli wal ‘aqdi atau para ahli
yang berkompoten mengurusi umat dari umat Nabi Muhammad pada suatu masa atau
hukum suatu kasus. (3) Al-tufi : Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari umat
Islam pada zamannya tentang problematika agama. (4) Al-Nazam : Ijma’ adalah
setiap perkatan yang memiliki argumentasi meskipun hanya satu qaul.
Dari pengertian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan penting yaitu ijma'
merupakan hasil dari berbagai proses argumentasi yang dieksposisikan oleh para
mujtahid pada masanya setelah meninggalnya nabi Muhammad SAW baik dengan
perkataan maupun perbuatan. Adapun yang memiliki legalitas ber ijma' adalah orang-
orang yang professional dalam bidang syari'ah. Hal ini disebabkan oleh dua alasan;
Pertama, ijma' merupakan landasan hukum yang wajib untuk diikuti dan tercela jika
ditinggalkan. Kedua, ijma' terkadang menentukan hukum satu perkara dan
menafsirkan teks-teks wahyu, menganalogikannya (ta'wil) atau mencari alasan (ta'lil)
hukum dari teks (nas).
14
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan
ia ke neraka jahannam” dan QS An Nisa ayat 59 ” Hai orang-orang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu.” Firman Allh Swt
diperkuat oleh Hadits Riwayat Tirmidzi, Daud dan Ahmad Bin Hambal ‘Ummati la
tajtami’u ’alal khata’ (Umatku tidak akan melakukan kesepakatan yang salah).
Ummati la tajtami’u ’aladholalah (Umatku tidak akan melakukan kesepakatan
terhadap sesuatu kesesatan).
Di era kontemporer saat ini, potret ijma' dapat dijumpai dalam forum-forum
ilmiah seperti Majma’ a-Fiqh al-Islami, Majma’ Nuhuts al-Islamiyah, Dar al-Ifta’ dan
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia. Sebagian dari aplikasi ijma'
dalam problematika ekonomi syari’ah dan bisnis keuangan sebagai berikut:
Menurut Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) Nomor 01 tahun 2004 yang
berbunyi: Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba; 1. Bunga (interest/fa’idah)
adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang
diper-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil
pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan
pada umumnya berdasarkan persentase; 2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa
ٌ
imbalan ( )ب عوضyang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran ()زادة األجل
yang diperjanjikan sebelumnya, inilah yang disebut riba nasi’ah; Kedua: Hukum
15
Bunga (Interest); 1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba
yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian,
praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram
hukumnya; 2. Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan
oleh bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya
maupun dilakukan oleh individu; Ketiga: Bermu’amalah dengan lembaga keuangan
konvensional; 1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan
syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang
didasarkan kepada perhitungan bunga; 2. Untuk wilayah yang belum ada kantor
/jaringan lembaga keuangan syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di
lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.
Kesepakatan tentang haramnya bunga bank ini, jauh sebelum keluarnya fatwa
MUI telah diputuskan status hukumnya adalah haraman, sebagaimana ditetapakan
pada Konsul Kajian Islam dunia tahun 1965, Majma’ Buhuts al Islamiyah tahun
1965, Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1970, Majma’ al-Fiqh
al-Islamy, 1985, Fatwa Mufti Negara Mesir tahun 1989, Bahstsul Masaail Muktamar
NU 1937 dan beberapa fotum ilmiah lainnya.
16
memberi keuntungan diantara para pelakunya, meminimalkan risiko dalam pasar
modal dan sebagainya.
Asuransi yang disebut juga pertanggungan, yaitu perjanjian antara dua pihak
atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan dederita tertanggung; yang
timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Asuransi konvensional adalah usaha
asuransi yang dijalankan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.
17
Majelis Ulama’ Fiqh pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada tanggal
10 Sya’ban 1398 M, di Mekkah di pusat Rabithah al-Alam al-Islami meneliti
persoalan asuransi dengan berbagai jenisnya yang bermacam-macam, setelah
sebelumnya menelaah tulisan para ulama dalam persoalan tersebut, dan juga setelah
melihat keputusan Majelis Kibar al-Ulama’ di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan
kesepuluh di kota Riyadh tanggal 14/1/97M, dengan SK No. 55, tentang haramnya
asuransi berbasis bisnis dengan berbagai jenisnya.
4. QIYAS
18
karenanya memiliki kekuatan hukum yang sah jika keempat syarat dan ketentuan
dipenuhi.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-
Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (an-Nisâ’: 59)
“Qiyas adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk makna yang sesuai
dengan khabar yang sudah ada dalam al-Qur’an dan sunnah”.
19
Adapun cara mengoperasionalkan qiyas ini yakni dimulai dengan
mengeluarkan hukum yang ada pada kasus yang disebutkan dalam nash, setelah itu
kita teliti illatnya. Selanjutnya kita cari dan teliti illat yang ada pada kasus yang tidak
disebutkan dalam nash, sama ataukah tidak. Jika sudah diyakini bahwa illat yang ada
dalam kedua kasus tersebut ternyata sama maka kita menggunakan ketentuan hukum
pada kedua kasus itu berdasarkan keadaan illat. Dasar hukum Qiyas sebagai dasar
hujjah, ialah Al Qur’an, Al Hadits, perbuatan para sahabat dan akal.
Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa
unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur berikut:
1. Ashal (asal); yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi ukuran
atau tempat menyerupakan/ menqiyaskan. Dalam istilah ushul
disebut ashal ( )االصلatau maqis ‘alaih ( )المقيس عليهatau musyabbah bih ( مشبه
)به.
2. Far’ (cabang); yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yang
diserupakan atau yang diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-
far’u ( )الفرعatau al-maqis ( )المقيسatau al-musyabbah ()المشبه.
3. Hukum ashal ( ;)حكم االصلyaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok
yang kemudian akan menjadi hukum pula bagi cabang.
4. Illat ( ;)العلةyaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya atau
suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far’.
Money changer bisa disebut sebagai “pedagang uang” atau pedagang valuta
asing. Para pedagang valuta asing ini memanfaatkan kegiatan perdagangan
internasional dalam bekerja. Tukar menukar uang dalam Islam adalah al-Sarf (money
changer). Dimana seacara ushul fiqih bisa di artikan sebagai jual beli alat bayar
(emas dengan emas, perak dengan perak, dan mata uang ) dengan alat bayar sejenis
atau beda jenis. Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam pertukaran
20
uang, dalam kasus pertukaran uang (al-Sarf), hukum yang berlaku antara lain : Harus
sama nilai nominalnya, (jika uangnya sama).
Money changer sendiri berkaitan dengan istilah pasar uang (money market).
Dimana pasar uang sendiri adalah mekanisme untuk memperdagangkan dana jangka
pendek, yaitu dana berjangka dengan waktu kurang dari satu tahun. Fungsi dan tujuan
utama dari pasar uang adalah untuk mempertemukan para pemilik dana dengan pihak
yang membutuhkan dana. Money changer adalah tempat pertukaran atau jual beli
mata uang asing yang konsepnya secara langsung atau secara kasat mata (bisa
dipegang, diraba, dan diterawang) uangnya.Pada intinya kegiatan dalam money
chenger adalah kegiatan penukaran mata uang dengan mengambil keuntungan dari
jasa tersebut.
Prinsip kerja money changer sendiri adalah nilai tukar antara mata uang
negara satu dengan yang lainnya tidaklah selalu sama. Hal ini bergantung pada
mekanisme pasar internasional. Apabila mata uang suatu negara selalu digunakan
dalam transaksi internasional, maka nilai tukarnya akan semakin kuat, begitu juga
sebaliknya, apabila mata uang suatu negara jarang digunakan dalam transaksi
internasional, maka nilai tukarnya semakin lemah.
Untuk memperkuat nilai tukar mata uang suatu negara, negara tersebut harus
menjual banyak barang keluar negeri, agar pembeli dari negara lain menukarkan mata
uangnya kedalam mata uang negara penjual tersebut. Dalam hal ini pedagang valuta
asing berperan sebagai perantara jual beli internasional dengan menyediakan jasa
penukaran mata uang asing
21
jual beli dalam Islam, yaitu saling memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan. Istilah lain yang digunakan tukar menukar uang dalam Islam adalah al-
Sarf (money changer). Pengertian al-Sarf secara bahasa adalah memindah dan
mengembalikan, sedangkan secara istilah fuqaha adalah, jual beli alat bayar (emas
dengan emas, perak dengan perak, dan mata uang ) dengan alat bayar sejenis atau
beda jenis. Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam pertukaran uang,
dalam kasus pertukaran uang (al-Sarf), hukum yang berlaku antara lain:
22
keluarnya ialah beras ketan dijual terlebih dahulu dan uangnya
digunakan untuk membeli beras dolog
Hadith Nabi riwayat Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi SAW. bersabda:
Hadits Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id alKhudri, Nabi s.a.w. bersabda:
“Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan
janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual
perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan
23
sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak
tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.”
Dalam hadis lain disebutkan, dari Abu Minhal, ia berkata, "Saya bertanya
kepada al-Bara' bin 'Azib dan Zaid bin Arqam tentang al-sharf (jual beli
uang), maka mereka berkata: Pada zaman Rasulullah SAW kami adalah
pedagang dan kami bertanya kepada Rasulullah SAW tentang al-sharf itu.
Beliau bersabda: Jika dilakukan dengan cara tunai maka tidak apa-apa dan
jika dilakukan penundaan (ditangguhkan penyerahan salah satu uang tersebut)
maka tidak boleh." (HR Bukhari).
Jika pertukaran itu dalam mata uang yang sama, nilainya harus sama dan tidak
boleh ada yang dilebihkan. Misalnya, rupiah dengan rupiah maka nilai nominalnya
harus sama, tidak boleh menukar Rp 1.000 dengan Rp 1.100 karena itu termasuk riba
yang disebut dengan riba al-fadhl.Sedangkan, jika mata uangnya berbeda, seperti
rupiah dengan dolar AS, hanya disyaratkan transaksi itu harus tunai dan ada serah
terima antara pembeli dan penjual pada saat transaksi.
24
Transaksi money changer atau jasa-jasa money changer skala internasional
yang menggunakan nilai kurs, pada praktiknya sudah sesuai dengan prinsip syariah.
Karena transaksinya berdasarkan on the spot (tunai) dan mata uang yang hendak
ditukarkan telah dikonversi pada mata uang yang ingin ditukar dengan menggunakan
kurs, sehingga nilai nominalnya sama.
Kita juga dapat melihat kasus yang sama terkait penukaran nilai mata uang
banyak di jumpai ketika peristiwa menjelang hari raya idul fitri. Dimana sejumlah
orang menukarkan uangnya yang berpecahan besar menjadi pecahan kecil dengan
jumlah yang sama. Namun,kerap kali kita temui ketika penukar menukarkan uangnya
ada biaya yang harus dibayarkan kepada orang yang akan ditukarkan. Hal ini dinilai
menguntungkan sebab, para pemilik pecahan kecil tersebut mendapatkan keuntungan
dari hasil jasa tukar uang tersebut. Rata-rata dijual dengan tambahan 10%. Jika
uangnya 100 ribu, maka harus bayar 110 ribu. Atau 100 ribu ditukar dengan 90 ribu
receh.
Transaksi semacam ini jelas terindikasi riba fadhl. Riba Fadl merupakan jenis
riba kedua,yaitu riba yang dilibatkan pada transaksi pembelian dari tangan ke tangan
dan penjualan komoditas. Ia meliputi semua transaksi di tempat yang melibatkan
25
pembayaran konstan di satu pihak dan pengiriman komoditas segera di lain pihak.
Uang kertas masuk barang ribawi, sebagaimana dipandang oleh kalangan ulama
Malikiah dan Syafiiah. Menurut mereka, ‘illah (logika) keharaman pada emas dan
perak adalah digunakan sebagai mata uang -alat tukar- (al-tsamaniah) dan uang
kertas pada masa sekarang ini digunakan memang sebagai mata uang. Bahkan
menurut kalangan ulama Hanafiah, semua yg dapat ditakar dan ditimbang adalah
barang ribawi, tidak boleh ada perbedaan dalam pertukaran barang sejenis di
dalamnya. Secara umum dapat disimpulkan uang masuk ke dalam cakupan riba fadl.
Uang sebagai alat penukar dan alat penyimpanan kekayaan tidak diragukan
lagi telah menimbulkan hukum permintaan dan penawaran uang yang dikendalikan
oleh bunga yang berfungsi sebagai harga uang.
26
Dari hadits Ubadah bin Shamit mensyaratkan transaksi antara mata uang yang
sama harus sama nilai dan nominalnya. Sedangkan, hadis Umar al-Faruq
mensyaratkan transaksi antara mata uang yang sama itu harus tunai. Sedangkan,
transaksi antara mata uang yang berbeda boleh tidak sama, tetapi harus tunai.
Sedangkan, transaksi antara uang dan barang itu tidak termasuk dalam kedua hadis
tersebut di atas. Oleh karena itu, tidak diharuskan tunai dan sama. Hal yang menjadi
referensi adalah kesepakatan kedua belah pihak.
Pada prinsip syariah prakterk jual beli valuta asing dapat dianalogikan dan
dikategorikan dengan pertukaran anatar emas dan perak atau dikenal dalam
termonologi fiqih denga istilah ( al-sharf) yang disepakati para ulama tentang
keabsahannya. Aktivitas perdagangan valuta asing, harus sesuai dengan norma-norma
syariah, antara lain harus terbebas dari unsur riba, maisir, gharar. Karena itu
perdagangan valas harus memperhatikan batasan sebagai berikut ;
27
4. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak uang diyakini mampu
menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
5. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau dengan kata lain,
tidak dibenarkan jual beli tanpa hak kepemilikan (ba’i al-fudhuli).
6. Hukum asal jual beli adalah halal
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (al-
Baqarah: 275)
2. Perbedaan kurs mata uang antara satu negara dan negara lain dianggap oleh
para ulama sebagai perbedaan jenis, layaknya perbedaan jenis emas dan
perak.
Ketika terjadi tukar-menukar mata uang yang berbeda jenis, terjadi perbedaan
nilai mata uang (kurs). Akan tetapi, transaksi tersebut wajib taqabudh
yadan bi yadin, karena jenis mata uang yang ditukar adalah sesama benda riba
yang transaksi tukar-menukarnya harus secara taqabudh; sebagaimana
disebutkan dalam hadits,
28
Dengan memperhatikan beberapa batasan tersebut, terdapat beberapa tingkah
laku perdagangan valas yang harus diperhatikan :
Pertukaran mata uang atau jual beli valas untu kebutuhan sektor riil, baik
transaksi barang maupun jasa, hukumnya boleh (jaiz) menurut hukum Islam. Namun,
bila motifnya untuk spekulasi, sebagaimana yang banyak terjadi saat ini, maka
hukumnya haram.
Uang bukan komuditas. Dalam ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadikan
sebagai komoditas, namun dalam perdagangan valuta, yang secara jelas, telah
dijadikan sebagai komoditas. Menurut Taqiyuddin An-Nabhani dalam buku An-
Nizham al –Iqtishadi al-Islami, mengatakan bahwa uang adalah standar nilai pada
barang dan jasa (199-297). Demikian pula Thahir Abdul Muhsin Sulaiman dalam
buku ‘ Ilajul Musykilah al-Iqtishadi bil Islam, memandang uang sebagai medium
of exchange.
29
berbelanja atau membayar jada di luar negeri, sebagaimana yang dibutuhkan para
jamaah haji, dan sebagainya.
Dalam transaksi maya, tidak ada sektor riil (barang atau jasa) yang
diperjualbelikan. Mereka hanya memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang
untuk tujuan spekulasi. Selisih dan tambahan (gain) yang diperoleh dan jual beli itu
termasuk kepada riba. Karena gain itu diperoleh bighairi ‘iwadhin, yakni tanpa ada
sektor riil yang dipertukarkan, kecuali mata uang itu sendiri.Tegasnya, gain (harga
beli lebih besar dari harga jual) yang diperoleh dalam perdagangan valas adalah riba.
Pelarangan riba yang secara tegas terdapat dalam Al-Qur’an (QS. 2 : 275-279), pada
hakikatnya, merupakan pelarangan terhadap transaksi maya. Firman Allah, “Allah
menghalalkan jual beli (sektor riil), dan mengharamkan riba (transaksi maya).
30
Akibat lain adalah goncang dan ambruknya perusahaan yang tergantung pada
bahan impor yang pada gilirannya mengakibatkan kesulitan operasional dan
sering menimbulkan PHK di mana-mana. Demikian pula, suku bunga
perbankan menjadi tinggi, APBN harus direvisi karena disesuaikan dengan
dollar. Defisit APBN pun semakin membengkak secata tajam.
Demikianlah keburukan jatuhnya nilai mata uang rupiah yang dipicu oleh
permainan spekulasi valas. Berdasarkan dampak negatif itu, perdagangan
valas untuk kepentingan spekulasi, amat dilarang dalam Islam.
31
jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di
sektor riil.
Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi
mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang
mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen
yang tepat, biasanya satu peristiwa politik yang minimbulkan ketidakpastian.
permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah menguat.
Penguatan rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para
spekulan.
Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan
melepaskan rupiah sekaligus dalam jumlah besar. Pasar akan kebanjiran
rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan meraup
keuntungan dari selisih harga harga beli dan harga jual. Makin besar
selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain.
32
berlaku sebaliknya, yakni orang yang bisa mengalami kerugian milyaran dolar
AS.
1. Pada dasarnya jual beli valas dibolehkan, bila jual beli itu dimaksudkan
untuk kebutuhan transaksi sektor riil (barang dan jasa), misalnya untuk
membayar barang-barang yang diimport kepada eksportir luar negeri atau
untuk berpergian dan belanja di luar negeri.
2. Perdagangan valas untuk kepentingan spekulasi adalah haram, karena
mengandung unsur riba dan maysir, serta menimbulkan dampak negatif
(mudharat) bagi perekonomian masyarkat umum (maslahat ‘ammah).
Kerena itu alasan-alasan itu, umat Islam harus menghindarinya.Spekulasi
valas artinya, seseorang membeli uang asing hanya untuk
memperoleh gain (selisih) harga beli dan harga jual. Seseorang spekulan
membeli mata uang asing, misalnya dolar, ketika harganya turun dan
melepaskannya ketika harga naik dan begitulah seterusnya.Selisih harga
beli dan harga jual menjadi keuntungan spekulan. Selisih yang diperoleh
tanpa ada ‘iwadh atau transaksi sektor riil adalah riba. Sedangkan
kemungkinan dan ketidakpastian nilai tukar mata uang yang berakibat
bagi kerugian dan keuntungan si spekulan tergolong kepada judi.
3. Perlu ditegaskan kembali bahwa dalam perdagangan
valas, gain yang diperoleh adalah riba, karena gain itu bukan hasil
kegiatan bisnis sektor barang atau jasa, tetapi hasil pertukaran mata uang
semata.
4. Perdagangan valas telah menjadikan uang sebagai komoditas dan kegiatan
ini disebut dengan transaksi maya, karena dalam kegiatan bisnis ini terjadi
perputaran arus uang dalam jumlah besar, tetapi tidak ada kegiatan sektor
riilnya (bai’ barang dan jasa). Padahal menurut ekonomi Islam, fungsi
33
uang tidak boleh sebagai komoditas.Dalam ekonomi Islam, segala bentuk
transaksi maya dilarang. Bila transaksi ini dibolehkan, maka pasar uang
akan tumbuh jauh lebih cepat daripada pertumbuhan pasar barang dan
jasa. Pertumbuhan yang tidak seimbang ini akan menjadi sumber krisis
dan bencana seperti yang terjadi sekarang ini, sebab uang telah dijadikan
sebagai komoditas yang diperdagangkan secara spekulatif.\
5. Perdagangan valas telah memicu secara signifikan bagi kejatuhan rupiah.
Sedangkan kejatuhan rupiah berarti kehancuran ekonomi suatu negara
atau rakyat umum
34
B. DALIL- DALIL YANG DIPERSELISIHKAN
1. ISTIHSAN
1. Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu : (1) “Beralih dari
penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat dari padanya.”
(qiyas pertama) (2) “Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat
kebiasaan karena suatu kemaslahatan.” Ibnu Subki menjelaskan bahwa
definisi yang pertama tidak terjadi perdebatan karena yang terkuat di
antara dua qiyas harus didahulukan. Sedangkan definisi kedua ada pihak
yang menolaknya. Alasannya, apabila dapat dipastikan bahwa adat istiadat
itu baik karena berlaku seperti pada masa Nabi atau sesudahnya, dan tanpa
ada penolakan dari nabi atau dari yang lainnya, tentu ada dalil
pendukungnya, baik dalam bentuk nash maupun ijma‟. Dalam bentuk
seperti ini adat harus diamalkan secara pasti. Namun bila tidak terbukti
kebenarannya, maka cara tersebut tertolak secara pasti.
35
2. Menurut Ibnu ‘Arabi bahwa istihsan adalah meninngalkan ketetapan dalil
dengan cara mengecualikan dan meringankan, karena ada perhitungan
yang menentangnya dia dalam sebagain, dari ketetapannya.
36
PANDANGAN ULAMA MENGENAI ISTIHSAN
1. Imam Syafii
Imam syafi’i dengan tegas menolak istihsan karena dipandangnya
sebagai penepatan hukum berdasarkan keinginan dan mencari yang enak saja,
tanpa rujukan pada nas atau keluar dari nas.
37
kaidah “al-dharuratu tubihu al mahdhurat” yaitu kondisi darurat memperbolehkan
sesuatu yang dilarang, seperti diperbolehkannya bermuammalah dengan bank
konvensional apabila suatu wilayah baelum terdapat kantor atau jaringan syariah.
2. ISTIHAB
Dari sudut pandang etimologi, istishab berasal dari kata sahiba yang
menunjukkan makna “menyertai”. Adapun dari sudut pandang terminologi, istishab
telah didefinisikan oleh para ulama dengan rangkaian kata yang berbeda namun
memiliki maksud yang sama. Berikut beberapa definisi Istishab yang dikemukakan
oleh mereka.
2. Al-Ghazaliy
Istihab berarti tetap berpegang teguh dengan dalil akal atau dalil shar’i,
bukan karena tidak mengetahui adanya dalil, melainkan karena
mengetahui tidak adanya dalil yang merubahnya setelah berusaha keras
mencari.
38
3. ‘Abd al-‘Aziz al-Bukhariy,
Istishab adalah Menyatakan tetap adanya sesuatu pada sesi kedua
karena sesuatu tersebut memang ada pada sesi partama.
4. Menurut Khallaf
Istishab adalah: Menetapkan suatu hukum yang telah ada dalilnya
sejak dahulu sampai sekarang sampai dengan adanya dalil lain yang
merubahnya.
Dari beberapa definisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Istishab adalah
menggunakan hukum yang sudah ada sampai adanya hukum lain yang mengubahnya,
bila hukum yang sudah ada menyatakan hukum ithbat (penetapan), maka hukum
ithbat itu tetap berlaku sampai adanya dalil yang merubahnya. Begitu pula
sebaliknya, bila hukum yang sudah ada menetapkan hukum nafy (peniadaan), maka
hukum nafy itu tetap berlaku sampai dengan adanya dalil yang merubahnya.
Dalam hal ini, urutan penggunaan Istishab tergantung pada ragam sumber
hukum yang mu‘tabar (sah) menurut para mujtahid. Orang yang menilai bahwa
sumber hukum yang mu‘tabar hanya tiga saja, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’
maka dia memposisikan Istishab pada urutan keempat, sedangkan orang yang menilai
bahwa sumber hukum yang mu‘tabar adalah empat, yaitu al-Qur’an, alSunnah, Ijma’
dan Qiyas maka dia memposisikan Istishab pada urutan kelima. Begitu pula orang
yang menilai bahwa Maslahah Mursalah dan ‘Urf sebagai sumber hukum yang sah
juga, maka dia baru akan menggunakan Istishab setelah itu semua.
39
PEMBAGIAN ISTIHAB
1. Istihab terhadap perkara hukum yang tetap dihasilkan dari ijma’ yang dalam
perkembangannya berpotensi memicu timbulnya perselisisan.
2. Kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi secara akal
dalam kontek hukum-hukum syara’
3. Penetapan berlakunya hukum yang menyatakan bolehnya asal segala sesuatu.
Kemudian selain itu marketing, sewa menyewa, dan bursa saham menurut
istihab adalah boleh, sebab belum ada dalil yang melarangmya.
3. ‘URF
‘Urf atau disebut juga adat menurut definisi ahli ushul fiqh adalah:
ت َعلَ ْي ِه أ ُ ُم ْو ُر ُه ْم
ْ س فِى ُم َعا َم ََل ِت ِه ْم َوا ْستَقَا َم
ُ َما ِإ ْعت َا دَهُ النَّا
40
Menurut istilah ahli syara tidak ada perbedaan di antara ‘urf dan adat. Maka
‘urf yang bersifat perbuatan adalah saling pengertian manusia tentang jual beli
dengan pelaksanaan tanpa shighot yang diucapkan. Sedangkan ‘urf yang bersifat
ucapan adalah saling mengerti mereka tentang kemutlakan lafal al walad( ) الو لدatas
anak laki-laki bukan anak perempuan, dan juga saling mengerti mereka agar tidak
mengitlakkan lafal al lahm ( )اللحمyang berarti daging atas al samak( )السمكyang
bermakna ikan tawar. Jadi ‘urf adalah terdiri dari saling pengertian manusia atas
perbedaan tingkatan mereka, keumumannya dan kekhususannya.
Dalil mengenai dijadikannya Adat dan ‘Urf sebagai bagian dari dalil hukum
Islam diantaranya adalah firman Allah Ta'ala:
Urf menurut Iam Ghazali merupakan: “Keadaan yang sudah ditetapkan pada
diri manusia,dibenarkan oleh akal dan diterima pula oleh tabiat sehat”.
Macam-macam Urf
41
tanpa ucapan meminta atau memberi, tidak dianggap sebagai
pencurian.
Menurut ulama’ ushul, ada beberapa syarat bahwa ‘urf dapat dijadikan dalil
menetapkan hukum, antara lain:
a) ‘Urf itu harus berlaku secara umum, artinya ‘urf tersebut terjadi pada sebagian
besar kasus yang terjadi ditengah-tengan masyarakat dan keberlakuannya
dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut;
42
b) ‘Urf telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat ketika hukum yang
akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, ‘urf yang akan dijadikan
sandaran lebih dahulu muncul daripada kasus yang akan ditetapkan
hukumnya.
c) ‘Urf tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu
transaksi.
d) ‘Urf tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang
dikandung oleh nash itu tidak bisa diterapkan. Penerimaan ‘urf sebagai dalil
jika persoalan tersebut tidak diatur dalam nash.
e) ‘Urf bernilai maslahah dan dapat diterima oleh akal
Pada umumnya ‘urf yang sudah memenuhi syarat dapat diterima secara
prinsip. Golongan Hanafiah menempatkannya sebagai dalil dan mendahulukan atas
qiyas, yang disebut istihsan ‘urf. Golongan Malikiah menerima ‘urf terutama ‘urf
penduduk Madinah dan mendahulukannya dari hadits yang lemah. Demikian pula
berlaku dikalangan Syafi’iyah dan menetapkannya dalam sebuah kaidah: “Setiap
yang datang padanya syara’ secara mutlak dan tidak ada ukurannya dalam syara’ atau
bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf”.
Para ulama sepakat bahwa ‘Urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama
tidak bertentangan dengan syara. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan
mereka bahwa amal ulama Madinah dapat di jadikan hujjah, demikian ulama
Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujah.
Imam Syafi’I terkenal dengan qaul qodim dan qaul jadidahnya. Ada suatu kejadian
tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau berada di Makkah
(qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal itu
mwnunjukkan bahwa ketiga madzab itu berhujjah dengan ‘urf
43
Sesuai dengan Firman Allah :
Yang menurut Al Qarafy bahwa setiap yang diakui adat, ditetapkan hokum
menurutnya, karena zohir ayat ini. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam
Ahmad dan Abdullah bin Mas’ud :
Yang menunjukkan bahwa hal yang sudah berlaku menurut adat kaum
muslimin dan dipandangnya baik adalah pula baik di sisi Allah.
4. MASLAHAH MURSAHAH
Menurut bahasa, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah dibakukan
ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata maslahat, yang berarti mendatangkan
kebaikan atau yang membawa kemanfaatan (manfa’ah) dan menolak kerusakan
(mafsadah) Karena pada hakikatnya syari’at diturunkan di dunia ini hanya untuk
kemaslahatan manusia (innama unzilati syari’atu litahqiqi mashalihil anam).
Menurut bahasa aslinya kata maslahah berasal dari kata salaha, yasluhu, salahan, صلح
صلحا, يصلح, artinya sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat. Sedang kata mursalah
44
artinya terlepas bebas, tidak terikat dengan dalil agama (Alqur’an dan al-Hadits) yang
membolehkan atau yang melarangnya.
Al-mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi dalam bentuk tsulasi
dengan tambahan huruf “alif” di pangkalnya yaitu arsala. Secara etimologi artinya
terlepas, bebas (muthliqoh) (Yunus, 1973). Kata terlepas dan bebas bila dikaitkan
dengan kata mashlahah. Maksudnya ialah “terlepas atau bebas dari keterangan yang
menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan”. Maslahah mursalah terdiri dari
dua kata yang hubungan keduanya dalam bentuk sifat-mausuf, atau dalam bentuk
khusus yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari al-maslahah.
1) Al-Ghazali
Apa-apa (maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk
nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memerhatikannya.
2) As-Syaukani
3) Ibnu Qudamah
Maslahah yang tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan
tidak pula yang memerhatikannya
45
Maslahah yang selaras dengan tujuan syari’ (pembuat hukum) dan tidak ada
petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau
penolakannya.
Berdasarkan definisi tentang maslahah mursalah di atas, jika dilihat dari segi
redaksi nampak adanya perbedaan, tetapi dilihat dari segi isi pada hakikatnya ada satu
kesamaan yang mendasar, yaitu menetapkan hukum dalam halhal yang sama sekali
tidak disebutkan dalam Alqur’an maupun as-Sunnah, dengan pertimbangan untuk
kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia yang bersendikan pada asas menarik
manfaat dan menghindari kerusakan. Hakikat dari maslahah mursalah adalah sesuatu
yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan (jalbul
mashalih au manfa’ah) atau menghindarkan keburukan (dar’ul mafasid) bagi
manusia. Semua hal yang baik menurut akal idealnya selaras dengan tujuan syariah
(maqashid syari’ah) dalam menetapkan hukum, walaupun tidak ada petunjuk syara’
secara khusus yhang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang
mengetahuinya.
Dumping adalah penjualan komoditas di pasar luar negeri pada tingkat harga
yang lebih rendah dari harga wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang
46
lebih rendah daripada tingkat harga pasar domestiknya. Praktik dumping merupakan
praktik yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor praktik dumping akan
menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industry barang sejenis dalam negeri,
dengan terjadinya banjir barang-barang dari ekspoktir yang harganya jauh lebih
murah daripada barang dalam negeri, yang pada akhirnya akan membunuh pasar
barang dan kebangkrutan perusahaan domestik.
Dumping adalah praktik trading yang bisa merusak mekanisme pasar. Ada
berbagai macam akibat yang ditimbulkan dari praktik dumping ini, antara lain produk
sejenis dalam negeri akan kalah saing, karena harga produk luar negeri lebih murah.
Dalam jangka panjang tentunya akan berakibat oada pemutusan hubungan kerja
besar-besaran karena perusahaan dalam negeri harus menghemat biaya operasional
agar dapat bersaing dengan produk luar negeri, atau efek yang lebih parah lagi adalah
tutupnya perusahaan alam negeri, karena produksi menurun dan barang kurang
diminati dipasaran. Itulah yang membuat alasan agama Islam melarang oraktik
dumping demi kemaslahatan produsen, dan munculnya banyak mudharat.
47
“pengadilan agama bertugas dan berwenang, memeriksa, memutuskan, dan
menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang :
a) Perkawinan;
b) Waris;
c) Wasiat;
d) Hibah;
e) Wakaf;
f) Zakat;
g) Infak;
h) Sedekah; dan
i) Ekonomi Syariah.
Usaha spekulatif adalah bentuk usaha yang pada hakikatnya merupakan gejala
untuk membeli suatu barang dengan harga murah, kemudian menjualnya lagi dengan
harga mahal pada waktu selanjutnya. Seseorang yang melakukan spekulatif dalam
perdagangan biasanya akan mengharapkan fluktuasi harga yang tinggi di pasar.
Apabila harga masa depan diharapkan lebih tinggi daripada harga sekarang, maka
pembeli spekulatif membeli suatu komoditi dengan menjualnya di masa depan.
Sebaliknya, jika harga di masa depan lebih rendah maka spekulan akan menjual
komoditi tersebut saat ini untuk menghindari kerugian di masa depan. Islam melarang
praktik spekulasi sebagaimana hadits rasulullah saw tentang haramnya menumpuk
harta.
48
6. Larangan ghabn dalam harga penjualan
Syar’u Man Qablana adalah hukum-hukum Allah yang dibawa oleh para
Nabi/Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw. dan berlaku untuk umat mereka pada
zaman itu. Dalam kaitannya dengan syariat islam, maka dapat dikatakan bahwa
syariat adalah hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang didalamnya
terdapat berbagai aturan yang diperuntukan bagi manusia. Pada prinsipnya, syariat
yang diperuntukan Allah SWT bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama
dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Diantara asas yang sama itu adalah
yang berhubungan dengan konsep ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan
ancaman Allah SWT. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang
berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
49
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan
jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih.”
Ayat ini merupakan kritikan Allah SWT terhadap kaum yahudi yang tetap
melakukan riba padahal telah dilarang oleh Allah SWT. Larangan melakukan riba
ditujukan juga bagi kaum nasrani dan kaum muslimin, karena pesan syariah yang
dibawa Rasulullah SAW., merupakan pesan nabi-nabi sebelumnya. QS. Asy-Syura,
(42):13 :
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat
berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”
50
6. SADDU DZARI’AH
51
KEDUDUKAN SADD ADZ-DZARI’AH
Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd adz-
dzari’ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbath al-
hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd adz-
dzari’ah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam
menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang
tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di
kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai
pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Imam
al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwar
al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq. Begitu pula Imam asy-Syathibi (w. 790 H) yang
menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwafaqat.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain,
kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai metode istinbath pada kasus
tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam
Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang seseorang
mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan
menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang
dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang
dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh
siapapun.
52
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka
yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-
lafzh). Sementara sadd adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan
yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang
kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adz-dzariah adalah semata-mata
produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-
dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu
mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang
Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh
orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi,
maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd
adz-dzari’ah).
2. Sunah
53
َسلَّ َم إِ َّن ِم ْن أ َ ْكبَ ِر ْال َكبَائِ ِر أ َ ْن ي
َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َ ِسو ُل هللا ُ ي هللاُ َع ْن ُه َما قَا َل قَا َل َر
َ ض ِ ّللاِ ب ِْن َع ْم ٍرو َر َّ َع ْن َع ْب ِد
سب أَبَاهُ َو َي ُ َالر ُج ِل فَي َّ الر ُج ُل أَبَا َّ سب َّ ُْف يَ ْلعَن
ُ َالر ُج ُل َوا ِلدَ ْي ِه قَا َل ي َ سو َل هللاِ َو َكي َّ َْلعَن
ُ الر ُج ُل َوا ِلدَ ْي ِه قِي َل يَا َر
ُسب أ ُ َّمه
ُ
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi
konsep sadd adz-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari
Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum
dalam konteks sadd adz-dzari’ah.
3. Kaidah Fikih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-
dzari’ah adalah:
َ ب ْال َم
.ِصا ِلح ِ دَ ْر ُء ْال َمفَا ِس ِد أ َ ْولَى ِم ْن َج ْل
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan
(maslahah)
54
4. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka
mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal
tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka
mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan
tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm al-
Mûqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan
mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu
untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah
membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang
dengan pelarangan yang telah ditetapkan.”
MACAM-MACAM ADZ-DZARI’AH
55
Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar
akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah
mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa
menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar
akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang
dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
56
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pilar ekonomi Islam adalah moral. Sumber hukum ekonomi islam adalah
Quran, hadis, ijma’, qiyas, dan beberapa sumber hukum Islam lainnya yang relevan,
sehingga dapat dijamin bahwa sistem dan konsep ekonomi yang berada pada
ekonomi Islam adalah sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah swt dan diajarkan
oleh Nabi SAW.
3.2 Saran
57
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim
Chapra M Umer,2000. Sistem Moneter Islam.Jakarta : The Islamic Foundation
Lathif, Nahrowi. 2009. Penghantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum Positif dan
Hukum Islam. Lembaga Penelitian UIN Jakarta Ciputat Jakatra Selatan
Mardani.(2015). Hukum Sistem Ekonomi Islam. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.
Mufid, Moh. 2018. Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer: dari Teori ke
Aplikasi. Jakarta. Prenadamedia Group.
Tadjoedin Achmad Ramzy, Mustapha Nik, Dumairy dkk.1992. Berbagai Aspek
Ekonomi Islam.Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogyakarta
Universitas Yudharta Pasuruan, Mahasiswa Ekonomi Islam Semester Dua, 2012.
Pengantar Ekonomi Islam. Malang. Kurnia Advertising.
JURNAL
H, Dharmawati. (2011). “Istihsan dan Pembaruan Hukum Islam”. Al-Fikr, 15(1),
165. Retrieved from http://journal.uin-alauddin.ac.id
Habibullah, Eka Sakti. (2017) “Pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam SyafiI
tentang Istihsan”. Al-Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, 454.
Retreived from https://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id
Kadenun. (2018). “Istihsan Sebagai Sumber dan Metode Hukum Islam”. Qolamuna,
10(2), 91. Retreived from https://schoolargoogle.com/-ejournal.kopertais4.or.id
58
Misbahuzzulam. (2013). “Istihab; Sejarah Dan Posisinya”. Al-majaalis jurnal dirasat
islamiyah. 1(1). 109-112. Retrieved from
https://schoolargoogle.com/ejournal.stdiis.ac.id
Yazid, I.(2017).”Analisis Teori Syar’u Man Qablana”. Al Maslihah Jurnal Hukum
dan Pranata Sosial Islam.
Zainil ghulam. 2018. “Aplikasi Ijma’ Dalam Praktik Ekonomi Syariah”. Iqtishoduna
7(1),109-111
WEBSITE
http://asysyariah.com/hukum-jual-beli-mata-uang-dan-nasihat-para-ulama/
http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/ekonomi/article/view/257/pdf_156
https://beiperbankan.blogspot.com/2012/06/qiyas-sebagai-sumber-hukum-
ekonomi.html
https://prezi.com/w85f0dleiqzx/sumber-ekonomi-islam/
https://tafsirq.com/fatwa/dsn-mui/jual-beli-mata-uang-al-sharf
https://tafsirweb.com/
https://uangindonesia.com/hukum-tukar-menukar-mata-uang-asing-atau-jual-beli-
valas-menurut-islam/
59