Anda di halaman 1dari 64

MAKALAH

SUMBER-SUMBER EKONOMI ISLAM


Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Syariah
Dosen Pengampu: Ahmad Zubaidi, MA

Disusun Oleh

Wulan Kurniasari (11180840000009)


Usi Nendisa (11180840000037)
Muhammad Teddy Prasetya (11180840000050)
Anisah Safilah (11180840000118)

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Puja dan puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah ilmiah tentang penalaran. Makalah ini telah kami susun secara maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat melancarkan pembuatan
makalah ilmiah ini. Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari hal tersebut, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan
baik dari penyusunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran agar kami dapat memperbaiki kesalahan dari makalah
ilmiah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat menjadi alat untuk menambah
wawasan dan pengetahuan pembaca, serta pedoman untuk kami dalam mempelajari
materi ini dengan lebih baik. Kami juga memohon maaf apabila dalam makalah ini
terdapat perkataan yang tidak berkenan.

Ciputat, 14 Sembtember 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .....................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................2
1.3 Tujuan .................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sumber yang Disepakati …………......................................................3

1. Al- Quran...............................................................................................3

2. Hadits ……………………………………………………………………..6

3. Ijma’ ………………………………………………………………………13

4. Qiyas …………………………………………………………………….18

2.2 Sumber yang Diperselisihkan……………….....................................35

1. Istihsan ……………………………………………………………………35

2. Istihab …………………………………………………………………….38

3. Urf ………………………………………………………………………..40

4. Maslahah Mursalah …………………………………………………….44

5. Sya’ru Man Qablana …………………………………………………….49

6. Sadadz Dzariah …………………………………………………………..51

iv
BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan …………………………………………………………….57

3.2 Saran …………………………………………………………………...57

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………58


BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Islam sebagai agama yang diridhoi Allah swt untuk manusia mengatur semua
aspek kehidupan, baik dari segi sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Islam
merupakan agama yang sempurna, sebagaimana dinyatakan surat al-Maidah ayat 3.
Islam sebagai agama yang sempurna di dalamnya terdapat sistem dan konsep yang
relevan dengan kehidupan sehari-hari. Kesempurnaan Islam sebagaimana al-Maidah
ayat 3 dilengkapi dengan sistem dan konsep ekonomi, suatu sistem yang dapat
digunakan sebagai panduan dalam menjalan kegiatan ekonomi. Ekonomi Islam
merupakan konsekuensi logis dari kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah
dipahami secara kaffah dan komprehensif oleh umatnya, sehingga dalam menjalankan
kegiatan ekonomi seorang umat Islam harus sesuai dengan sistem dan konsep dalam
Islam.

Ekonomi Islam merupakan suatu ilmu dan praktek kegiatan ekonomi


berdasarkan agama Islam yakni ajaran yang sesuai dan tidak bertentangan dengan Al-
Quran dan hadits. Sebagai ajaran yang komprehensif hukum ekonomi Islam dibangun
atas dasar kaidah ushul fiqh muammalah, qawa’id fiqh dan falsafah hukum Islam
dimana segala sesuatu yang dilarang dalam Islam adalah haram. Dengan memahami
konsep, sistem, dan prinsip ekonomi Islam, seorang ekonom muslim akan
menghindari segala transaksi yang mengandung riba, maisir, dan gharar (spekulasi),
menghindari segala kegiatan ekonomi yang merugikan orang lain, menekankan aspek
keadilan daripada efisiensi, dan berupaya mewujudkan kesejahteraan sosial yang
didukung oleh zakat dan amal sholeh lainnya. Dalam menetapkan hukum ekonomi
dalam Islam para ahli menggunakan dua sumber hukum Islam sebagai dalil dalam
menetapkan hukum ekonomi Islam.

1
2. Rumusan masalah
a. Apa saja sumber-sumber ekonomi dari sumber hukum yang disepakati?
b. Apasaja sumber-sumber ekonomi Islam yang berasal dari sumber yang
diperselisihkan?

3. Tujuan
a. Mengetahui sumber-sumber ekonomi dari sumber hukum yang disepakati.
b. Mengetahui sumber-sumber ekonomi dari sumber hukum yang
diperselisihkan.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

SUMBER-SUMBER HUKUM EKONOMI ISLAM

Dalam hukum ekonomi Islam, kita menggunakan dua sumber hukum Islam,
yaitu sumber yang disepakati dan sumber hukum yang diperselisihkan. Di bawah ini
akan dijelaskan secara rinci sumber hukum yang disepakati dan sumber hukum yang
diperselisihkan

2.1 Sumber-Sumber yang Disepakati

1. Al-Quran

Al-Quran adalah sumber pertama dan utama bagi ekonomi islam, didalamnya
dapat kita temui hal ihwal yang berkaitan dengan ekonomi dan juga terdapat hukum-
hukum dan undang-undang diharamkannya riba, dan diperbolehkanya jual beli yang
terdapat pada surat Al-Baqarah: 275

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri


melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka

3
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusanya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba) maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya.

Sumber hukum Islam yang abadi dan asli adalah kitab suci Al-Quran, Al-
Quran tidak hanya memberi tuntunan dalam keagamaan saja, Al-Quran juga
menjelaskan aturan dalam bidang social, politik, bahkan juga dalam bidang ekonomi.
Al-Quran memberikan hukum-hukum ekonomi yang sesuai dengan tujuan dan cita-
cita ekonomi islam itu sendiri. Al-Quran memberi hukum-hukum ekonomi yang
dapat menciptakan kestabilan dalam perekonomian itu sendiri. Dalam Al-Quran surat
Ar-Ruum: 39 yang berbunyi

Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
maka (yang akan berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).”

Riba termasuk satu dari tujuh perbuatan yang membinasakan. Orang-orang


yang memakan riba hanya akan berdiri sebagaimana orang-orang yang kesurupan
setan, seorang pengusaha muslim akan lebih menjaga dirinya agar tidak terjerumus
dalam kubangan riba, dan mereka adalah orang yang paling jauh dengan aktivitas
yang berhubungan dengan riba melalui berbagai bentuk transaksi haram.

4
Larangan riba juga disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah: 278 yang
berbunyi

Artinya: “Hai orang-orang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan


sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”

Contoh lain seperti perintah mencatat atau pembukuan yang baik dalam
masalah utang-piutang, Allah ungkapkan di surat Al-Baqarah: 282

Artinya: “Wahai orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskanya....”

Hendaklah kamu menuliskannya adalah adanya dokumentasi dan saksi karena


dokumentasi tanpa saksi tidak bisa dijadikan hujjah. Allah mensyariatkan
dokumentasi dan saksi untuk menjaga harta. Tidak diriwayatkan dari sahabat, tabiin
dan fuqaha bahwa mereka tegas/keras dalam dokumentasi dan saksi bahkan hutang
piutang dan jual beli di antara mereka tanpa dokumentasi dan saksi. Ini menunjukkan
bahwa perintah itu adalah anjuran.

Dan contoh terakhir adalah perintah menepati dan menghormati janji pada
surat Al-Maidah: 1

5
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. Yang demikian itu
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
dan Allah berfirman, "Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggung jawabanya.” (QS. Al-Isra: 34.)

Demikianlah perintah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk


senantiasa menjaga, memelihara, dan melaksanakan janjinya. Hal ini mencakup janji
seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji hamba dengan hamba, dan
janji atas dirinya sendiri seperti nadzar.

Di samping ayat-ayat tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi ayat-ayat


Al-Quran yang membahas tentang masalah ekonomi dan keuangan baik secara mikro
maupun makro, terutama tentang prinsip-prinsip dasar keadilan dan pemerataan, serta
berupaya selalu siap untuk memenuhi transaksi ekonomi yang dilakukan selama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

2. HADITS

Hadis secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi


Islam istilah hadis berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain
Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuann yang berhubungan dengan
hukum syara’. Namun pada saat ini kata hadis mengalami perluasan makna, sehingga
disinonimkan dengan Sunnah, maka bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan,
ketetapan, maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan
ataupun hukum.

Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran
dalam islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya

6
merupakan satu kesatuan. Al-qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak
memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu kehadiran
hadis, sebagi sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan keumuman isi Al-
Qur’an tersebut. Allah SWT menurunkan Al-Qur’an bagi umat manusia agar dapat
dipahami oleh manusia, maka Rasulullah SAW diperintahkan untuk menjelaskan
kandungan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadisnya. Oleh
karena itu, fungsi hadis Rasulullah SAW sebagai penjelas Al-Qur’an itu bermaca-
macam.

Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi hadis:

1. Bayan at – Taqrir
Bayan taqrir bisa juga disebut bayan tak’id dan bayan al-isbat, yaitu hadis
yang berfungsi untuk memperkukuh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an.

2. Bayan at – Tafsir
Hadis berfungsi untuk memberikan perincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan
persyaratan/batasan (taqyid) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih
bersifat umum.
3. Bayan at – Tasyri’
Yaitu, mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati
dalam Al-Qur’an.
4. Bayan an – Nasakh
Dalil syara’ yang dapat menghapus ketentuan yang telah ada, karena
datangnya kemudian.

HADIS-HADIS EKONOMI

a. Ikhtikar (Penimbunan Barang)

7
Pedagang dilarang melakukan ikhtikar dengan tujuan spekulasi, sehingga ia
mendapatkan keuntungan besar diatas keuntungan normal. Larangan ikhtikar ini
terdapat dalam hadits rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Tarmidzi ::

Dari Ma’mar bin Abdullah bin Fadhlah, katana, Aku mendengar Rasulullah
SAW bersabd, “Tidak melakukan ikhtikar kecuali orang yang bersalah (berdosa)”
(HR. Tarmizi)

Suatu kegiatan masuk dalam kategori ikhtikar apabila terdapat tiga unsur berikut:

1. Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock


atau menggunakan entry barriers.
2. Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum
munculnya kelangkaan.
3. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum
komponen 1 dan 2 dilakukan.

Dalam terminologi Islam, penimbunan harta seperti emas, perak dan lainnya
disebut ikhtinaz, sementara penimbunan barang-barang seperti makanan dan
kebutuhan sehari-hari disebut dengan ikhtikar. Penimbunan barang dan pencegahan
peredarannya di dalam kehidupan masyarakat sangat dicela oleh Al-Qur’an, seperti
yang di firmankan Allah SWT di dalam surah at – Taubah ayat 34-35 yang artinya :
“(34) Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang alim
Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan bathil, dan
mereka mengalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka, (bahawa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (35) Pada hari dipanaskan
emas perak itu di dalam neraka jahannam, lalu dibakarnya dahi mereka, lamung dan

8
punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu
simpan itu”

Pada masa kekhalifahannya, “Umar bin Khatab mengeluarkan sebuah


peringatan keras terhadap segala praktik penimbunan barang-barang yang menjadi
kebutuhan masyarakat. Dia tidak membolehkan seorangpun dari kaum muslimin
untuk membeli barang-barang sebanyak-banyaknya dengan niatan untuk dia timbun.

Menurut al – Maududi, larangan terhadap penimbunan makanan, disamping


untuk memberikan pelayanan pada tujuan-tujuan tertentu ia juga bertujuan untuk
mengeliminasi kejahatan “black market” (pasar gelap) yang biasanya muncul seiring
dengan adanya penimbunan tersebut. Rasulullah SAW ingin membangun sebuah
pasar yang dimana terdapat penetapan harga yang adil dan masuk akal bisa muncul
dan berkembang sebagai hasil dari adanya kompetisi yang terbuka.

b. Hadis Larangan Jual Beli Najasy

Najasy adalah suatu praktik dagang dimana seseorang pura-pura menawar


barang yang didagangkan dengan maksud hanya untuk menaikkan harga, agar orang
lain bersedia membeli dengan harga itu, Ibnu ‘Umar r.a. berkata: “Rasulullah SAW
melarang keras praktik jual beli najasy”. Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda: “janganlah kamu sekalian melakukan
penawaran barang tanpa maksud untuk membeli” (HR. Tirmidzi).

Transaksi najasy diharamkan dalam perdagangan karena si penjual menyuruh


orang lain memuji barangnya atau menawar degan harga yang lebih tinggi, agar orang
lain tertarik pula untuk membelinya. Si penawar sendiri tidak bermaksud untuk
benar-benar membeli barang tersebut. Ia hanya ingin menipu orang lain yang benar-
benar ingin membeli yang sebelumnya orang ini telah melakukan kesepakatan dengan
penjual. Akibatnya, terjadi permintaan palsu (false demand). Tingkat permintaan
yang terjadi tidak dhasilkan secara alamiah.

9
c. Hadis Larangan Jual Beli Talaqqi Rukban dan Hadir Libad

Praktik talaqqi rukban ini adalah suatu perbuatan seseorang dimana dia
mencegat orang-orang yang membawa barang dari desa dan membeli barang itu
sebelum tiba di pasar. Rasulullah SAW melarang praktik semacam ini dengan tujuan
untuk mencegah terjadinya kenaikan harga. Rasulullah memerintahkan suplai barang-
barang hendak dibawa langsung ke pasar. Hingga para peyuplai barang dan para
konsumen bisa mengambil manfaat dari adanya harga yang sesuai dan alami.

Hal ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah SAW “melarang menyongsong (mencegat) pedagang sebelum tiba di
pasar/talaqqi rukban”(HR. Bukhari). Substansi dari larangan jual beli talaqqi rukban
ini adalah ketidak-adilan tindakan yang dilakukan oleh para pedagang kota yang tidak
menginformasikan harga yang sesungguhnya terjadi di pasar. Pedagang itu sengaja
mencari keuntungan yang lebih dengan cara mengelabui para petani desa karena
membeli barangnya dengan harga di bawah dari harga pasar sesungguhnya.

Praktik perdagangan hadir libad juga sangat potensial untuk melambungkan


harga dan sangat dilarang Rasulullah SAW. Praktik ini mirip dengan talaqqi rukban,
dimana seseorang menjadi penghubung atau makelar dari orang-orang yag datang
dari perkampungan dengan konsumen yang hidup di kota. Makelar itu kemudian
menjual barang-barang yang dibawa oleh orang-orang desa kepada orang kota dan
mengambil keuntungna yang besar. Rasulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas r.a. bersabda:

”Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah bersabda : Janganlah kalian


mencegat rombongan dagang (sebelum sampai di pasar), dan jangan pula sebagian
kalian membeli barang yang dibeli orang lain (sedang ditawar), dan janganlah
melebihkan harga tawaran barang (yang sedang ditawar orang lain, dengan maksud
menipu pembeli), dan janganlah orang kota membeli buat orang desa. Janganlah
kalian menahan susu dari unta dan kambing (yang kurus dengan maksud menipu

10
calon pembeli). Maka siapa yang memebeli setelah itu, maka dia punya hak pilih, bila
dia rela maka diambilnya dan bila dia tidak suka dikembalikannya dengan menambah
satu sha’ kurma”.

Ada beberapa syarat yang ditetapkan ulama yang menyebabkan jual beli
semacam ini menjadi terlarang, yaitu : Pertama, barang yang dijual adalah barang
yang umumnya dibutuhkan oleh banyak orang. Jika barang yang dijual tidak terlalu
dibutuhkan banyak orang, maka tidak termasuk dalam larangan. Kedua, jual beli yang
dimaksud adalah untuk harga saat itu. Adapun jika harganya dibayar secara
berangsur, maka tidak masalah. Ketiga, orang desa tersebut tidak mengetahui harga
barang yang dijual ketika sampai di kota. Jika ia mengetahuinya maka tidak masalah.

d. Konsumsi Islam

Konsumsi adalah suatu kegiatan manusia yang secara langsung menggunakan


barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya dengan tujuan untuk memperoleh
kepuasan yang berakibat mengurangi ataupun menghabiskan nilai guna suatu barang
atau jasa. Islam adalah agama yang ajarannya mengatur segenap perilaku manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah konsumsi,
Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi
yang membawa manusia berguna bagi kemashlahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam
mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah ini akan
membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.

 Prinsip Konsumsi dalam Islam

Menurut Manan, ada 5 prinsip konsumsi dalam Islam, yaitu :

1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti ganda megenai mencari rizki yang halal dan
tidak dilarang hukum.
2. Prinsip Kebersihan

11
Makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun
menjijikan sehingga merusak selera.

3. Prinsip Kesederhanaan
Mengatur perilaku manusia mengenai makan dan minum yang tidak
berlebihan.
4. Prinsip Kemurahan Hati
Dengan menaati perintah islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita
memakan dan meminum halal.
5. Prinsip Moralitas
Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan
dan menyatakan terima kasih kepadanya setelah makan.

 Tujuan Konsumsi

Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berusaha dengan baik. Islam
juga memerintahkan agar harta dikeluarkan untuk tujuan yang baik dan bermanfaat.
Disadari atau tidak sesungguhnya pola konsumsi dan gaya hidup kita cenderung
merugikan sendiri. Dimulai dari pemenuhan kebutuhan pokok (primer), sandang,
pangan, dan papan. Islam memberikan arahan yang sangat indah dengan
memperkenalkan konsep israf (berlebih-berlebih) dalam membelanjakan harta dan
tabzir. Islam memperingatkan agar jangan sampai terlena dalam berlomba-lomba
mencari harta (Q.S. at-takaatsur). Islam membentuk pribadi yang beriman, bertaqwa,
bersyukur dan menerima. Pola hidup konsumtif tidak selayaknya dilakukan oleh
pribadi yang beriman dan bertaqwa. Gaya hidup yang cocok adalah simple living
(hidup sederhana) dalam pengertian yang benar secraa syar’i.

Islam mengajarkan kita dalam pengeluaran agar mengutamakan kebutuhan


pokok, sehingga sesuai dengan tujuan syariat. Untuk mencegah agar kita tidak
terlanjur ke gaya hidup mewah, islam mengharamkan segala pembelanjaan yang tidak

12
mendatangkan mafaat, baik manfaat material maupun spiritual. Apalagi melakukan
pembelanjaan untuk barang-barang yang dibenci oleh Allah SWT, juga pembelian
yang mengarah pada perbuatan bid’ah dan kebiasaan buruk. Islam mengajarkan
kepada kita sikap pertengahan dalam mengeluarkan harta, tidak berlebihan dan tidak
pula kikir.

 Dasar Hukum Perilaku Konsumen

Sumber yang berasal dari hadist Rasul, yang artinya : Abu Said Al-Chodry r.a
berkata : Ketika kami dalam berpergian bersama Nabi SAW, mendadak datang
seseorang berkendaraan, sambil menoleh ke kanan ke kiri seolah-olah mengharapkan
bantuan makanan, maka Nabi SAW bersabda ; “Siapa yang mempunyai kelebihan
kendaraan harus di bantukan pada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan siapa yang
mempunyai kelebihan bekal harus dibantukan pada orang yang tidak berbekal.”
Kemudian Rasulullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan hingga kita merasa
seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan hajatnya. (H.R.
Muslim)

3. IJMA’

Suatu ketika, ‘Ali bin Abi Thalib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang
kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur’an dan as-
Sunnah, maka Rasulullah menjawab: ”Kumpulkan orang-orang yang berilmu
kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah.” Dalam riwayat lain
Rasulullah menyatakan, "Umat ku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan"
dalam pernyataan Rasulullah ini tersirat makna bahwa apabila umatnya telah
melakukan kesepakatan tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian,
maka kesepakatan itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan
kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta. Pernyataan
Rasulullah inilah yang kemudian hari menjelma ijma' salah satu sumber hukum

13
dalam Islam. Selain itu Allah swt telah mengisyaratkan bahwa Ijma’ dapat digunakan
sebagai sumber hukum dalam Islam sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an yang
artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan
ulil amri diantara kamu ." (an-Nisa': 59). Salah satu contoh nyata dalam aplikasi Ijma’
adalah pengangkatan khalifah sepeninggalan Rasullah s.a.w.

Ijma’ secara etimologi berarti ‫ االتفاق‬yang berarti kesepakatan. Ada juga yang
mengatakan; ‫ االعداد‬yang berarti mengumpulkan dan ada juga yang mengatakan; ‫العزم‬
seperti yang terdapat dalam penafsiran ayat 71 surat Yunus ‫فأجمعوا أمركم وشركاءكم‬.
Ijma’ secara terminolgi didefinisikan oleh beberapa ahli diantaranya : (1) Al Ghazali :
Ijma’ yaitu kesepakatan umat Muhammad Saw secara khusus atas suatu urusan
agama (2) Al Amidi : Ijma’ adalah kesepakatan ahlul halli wal ‘aqdi atau para ahli
yang berkompoten mengurusi umat dari umat Nabi Muhammad pada suatu masa atau
hukum suatu kasus. (3) Al-tufi : Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari umat
Islam pada zamannya tentang problematika agama. (4) Al-Nazam : Ijma’ adalah
setiap perkatan yang memiliki argumentasi meskipun hanya satu qaul.

Dari pengertian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan penting yaitu ijma'
merupakan hasil dari berbagai proses argumentasi yang dieksposisikan oleh para
mujtahid pada masanya setelah meninggalnya nabi Muhammad SAW baik dengan
perkataan maupun perbuatan. Adapun yang memiliki legalitas ber ijma' adalah orang-
orang yang professional dalam bidang syari'ah. Hal ini disebabkan oleh dua alasan;
Pertama, ijma' merupakan landasan hukum yang wajib untuk diikuti dan tercela jika
ditinggalkan. Kedua, ijma' terkadang menentukan hukum satu perkara dan
menafsirkan teks-teks wahyu, menganalogikannya (ta'wil) atau mencari alasan (ta'lil)
hukum dari teks (nas).

Kehujjahan ijma’ sebagai sumber hukum Islam didasarkan pada QS An-Nisa


ayat 114 yang artinya “Dan barang siapa yang menetang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka

14
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan
ia ke neraka jahannam” dan QS An Nisa ayat 59 ” Hai orang-orang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu.” Firman Allh Swt
diperkuat oleh Hadits Riwayat Tirmidzi, Daud dan Ahmad Bin Hambal ‘Ummati la
tajtami’u ’alal khata’ (Umatku tidak akan melakukan kesepakatan yang salah).
Ummati la tajtami’u ’aladholalah (Umatku tidak akan melakukan kesepakatan
terhadap sesuatu kesesatan).

APLIKASI IJMA’ DALAM EKONOMI ISLAM

Harus diakui bahwa dinamika realitas masyarakat melahirkan berbagai hal


baru, termasuk juga hal-hal yang bersinggungan dengan agama. Lahirnya ijma' adalah
bagian dari tuntutan perkembangan itu, dan sebagai jawaban terhadap beberapa
persoalan hingga menemukan solusi yang selalu senafas dengan agama. Hal ini
karena Islam selalu sinkron dengan karakter kehidupan manusia secara khusus, dan
senantiasa senyawa dengan tabi'at alam secara umum.

Di era kontemporer saat ini, potret ijma' dapat dijumpai dalam forum-forum
ilmiah seperti Majma’ a-Fiqh al-Islami, Majma’ Nuhuts al-Islamiyah, Dar al-Ifta’ dan
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia. Sebagian dari aplikasi ijma'
dalam problematika ekonomi syari’ah dan bisnis keuangan sebagai berikut:

1. Ijma' Haramnya Bunga Bank

Menurut Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) Nomor 01 tahun 2004 yang
berbunyi: Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba; 1. Bunga (interest/fa’idah)
adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang
diper-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil
pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan
pada umumnya berdasarkan persentase; 2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa
ٌ
imbalan (‫ )ب عوض‬yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran (‫)زادة األجل‬
yang diperjanjikan sebelumnya, inilah yang disebut riba nasi’ah; Kedua: Hukum

15
Bunga (Interest); 1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba
yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian,
praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram
hukumnya; 2. Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan
oleh bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya
maupun dilakukan oleh individu; Ketiga: Bermu’amalah dengan lembaga keuangan
konvensional; 1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan
syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang
didasarkan kepada perhitungan bunga; 2. Untuk wilayah yang belum ada kantor
/jaringan lembaga keuangan syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di
lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.

Kesepakatan tentang haramnya bunga bank ini, jauh sebelum keluarnya fatwa
MUI telah diputuskan status hukumnya adalah haraman, sebagaimana ditetapakan
pada Konsul Kajian Islam dunia tahun 1965, Majma’ Buhuts al Islamiyah tahun
1965, Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1970, Majma’ al-Fiqh
al-Islamy, 1985, Fatwa Mufti Negara Mesir tahun 1989, Bahstsul Masaail Muktamar
NU 1937 dan beberapa fotum ilmiah lainnya.

2. Reksadana Konvensional, Haram Menurut Ijma' Ulama’

Reksadana adalah sebuah wahana dimana masyarakat dapat menginvestasikan


dananya dan pengurusnya atau fund manager dana itu diinvestasikan ke portofolio
efek. Reksadana merupakan jalan keluar bagi para pemodal kecil yang ingin ikut serta
dalam pasar modal dengan modal minimal yang relatif kecil dan risiko yang sedikit.
Dalam reksadana konvensional terdapat hal-hal yang bertentangan dengan syariah
baik dalam segi akad, operasi, investasi, transaksi maupun pembagian keuntungan.
Namun demikian dalam reksadana konvensional tersebut terdapat pula mu'amalah
yang dibolehkan dalam Islam seperti jual beli dan bagi hasil (mudharabah/qirad).
Dalam hubungan ini terdapat kemaslahatan seperti memajukan perekonomian, saling

16
memberi keuntungan diantara para pelakunya, meminimalkan risiko dalam pasar
modal dan sebagainya.

Dalam praktik reksadana konvensional, masih banyak terdapat unsur-unsur


yang bertentangan dengan koridor syariah Islam. Baik dalam tataran akad, aplikasi
investasi ataupun prinsip pembagian hasil. Diantara karakteristik praktik reksadana
konvensional adalah sebagai berikut: a). Pengeloalaannya tanpa memperhatikan
prinsip syari’ah; b).Efek yang menjadi portofolio investasi pada seluruh efek yang
diperbolehkan; c). Tidak mekanisme pembersihan kekayaan non-halal; d). Tidak ada
Dewan Pengawas Syari’ah (DPS); e). Perjanjian/ akad masih konvensional dalam
artian tidak berdasarkan syari’ah. Jadi, kesimpulan hukum reksadana konvensional
haram menurut ijma' ulama’.

Sebagai solusinya, para ulama’ menawarkan konsep reksadana syari’ah.


Sebgaimana disebutkan dalam Fatwa Dewan Syar’ah Nasional MUI, Nomor:
20/DSN-MUI/IV/2001 bahwa reksadana syari'ah adalah reksadana yang beroperasi
menurut ketentuan dan prinsip syari'ah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal
sebagai pemilik harta (sahib al - mal/rabb al - mal) dengan manajer investasi sebagai
wakil shahib al - mal , maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahib al - mal
dengan pengguna investasi.

3. Ijma' Tentang Keharaman Asuransi Konvensional

Asuransi yang disebut juga pertanggungan, yaitu perjanjian antara dua pihak
atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan dederita tertanggung; yang
timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Asuransi konvensional adalah usaha
asuransi yang dijalankan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.

17
Majelis Ulama’ Fiqh pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada tanggal
10 Sya’ban 1398 M, di Mekkah di pusat Rabithah al-Alam al-Islami meneliti
persoalan asuransi dengan berbagai jenisnya yang bermacam-macam, setelah
sebelumnya menelaah tulisan para ulama dalam persoalan tersebut, dan juga setelah
melihat keputusan Majelis Kibar al-Ulama’ di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan
kesepuluh di kota Riyadh tanggal 14/1/97M, dengan SK No. 55, tentang haramnya
asuransi berbasis bisnis dengan berbagai jenisnya.

4. QIYAS

Qiyas secara etimologi berarti mengukur, membandingkan sesuatu dengan


sesuatu yang lain, didefinisikan oleh para ahli hukum Islam dengan menyamakan
hukum cabang kepada hukum asal, karena sama alasannya. Meskipun al-Syafi’i
memberikan makna yang sama antara al-qiyas dan al-ijtihad, namun terlihat bahwa
al-qiyas adalah bagian dari praktik al-ijtihad.

Secara metodologi dan operasional, Qiyas merupakan upaya menghubungkan


satu peristiwa dengan peristiwa lain yang memiliki justifikasi hukum dengan melihat
adanya persamaan kausa hukum (‘illat). Dengan adanya persamaan kausa inilah,
maka kasus yang pertama itu ditetapkan dan diberikan ketentuan hukumnya. Imam
Syafi’i sebagai perintis pertama metode Qiyas ini membuat kualifikasi ketat terhadap
unsur-unsur yang ada pada qiyas. Baginya Qiyas dapat berlaku dan memiliki
kekuatan hukum yang valid jika keempat syaratnya terpenuhi yaitu ashl, hukm ashl,
furu’ dan ‘illat.

Dalam sketsa pemikiran hukum dikenal bahwa Qiyas (Analogical Reasoning)


merupakan suatu metode penetapan hukum yang menempati posisi keempat dalam
kerangka pemikiran hukum (Ushul Fiqh).Menurut Imam Syafi’i Qiyas berlaku dan

18
karenanya memiliki kekuatan hukum yang sah jika keempat syarat dan ketentuan
dipenuhi.

Allah SWT berfirman:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-
Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (an-Nisâ’: 59)

Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT


memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-
Qur’an dan al-Hadits. Jika tidak ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits hendaklah
mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan
hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan al-Hadits, yaitu dengan
menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur’an
dan al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan
melakukan qiyas.
Qiyas merupakan mashodirul ahkam yang keempat setelah Al-Qur’an, As-
Sunnah dan ijma’. Yakni cara mengishtinbatkan suatu hukum dengan cara
menganalogikan antara dua hal yang memiliki kesamaan illat tetapi yang satu belum
ada ketentuan hukumnya dalam nash.

“Qiyas adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk makna yang sesuai
dengan khabar yang sudah ada dalam al-Qur’an dan sunnah”.

19
Adapun cara mengoperasionalkan qiyas ini yakni dimulai dengan
mengeluarkan hukum yang ada pada kasus yang disebutkan dalam nash, setelah itu
kita teliti illatnya. Selanjutnya kita cari dan teliti illat yang ada pada kasus yang tidak
disebutkan dalam nash, sama ataukah tidak. Jika sudah diyakini bahwa illat yang ada
dalam kedua kasus tersebut ternyata sama maka kita menggunakan ketentuan hukum
pada kedua kasus itu berdasarkan keadaan illat. Dasar hukum Qiyas sebagai dasar
hujjah, ialah Al Qur’an, Al Hadits, perbuatan para sahabat dan akal.
Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa
unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur berikut:
1. Ashal (asal); yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi ukuran
atau tempat menyerupakan/ menqiyaskan. Dalam istilah ushul
disebut ashal (‫ )االصل‬atau maqis ‘alaih (‫ )المقيس عليه‬atau musyabbah bih ( ‫مشبه‬
‫)به‬.
2. Far’ (cabang); yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yang
diserupakan atau yang diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-
far’u (‫ )الفرع‬atau al-maqis (‫ )المقيس‬atau al-musyabbah (‫)المشبه‬.
3. Hukum ashal (‫ ;)حكم االصل‬yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok
yang kemudian akan menjadi hukum pula bagi cabang.
4. Illat (‫ ;)العلة‬yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya atau
suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far’.

PENGERTIAN DAN KONSEP MONEY CHANGER

Money changer bisa disebut sebagai “pedagang uang” atau pedagang valuta
asing. Para pedagang valuta asing ini memanfaatkan kegiatan perdagangan
internasional dalam bekerja. Tukar menukar uang dalam Islam adalah al-Sarf (money
changer). Dimana seacara ushul fiqih bisa di artikan sebagai jual beli alat bayar
(emas dengan emas, perak dengan perak, dan mata uang ) dengan alat bayar sejenis
atau beda jenis. Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam pertukaran

20
uang, dalam kasus pertukaran uang (al-Sarf), hukum yang berlaku antara lain : Harus
sama nilai nominalnya, (jika uangnya sama).

Money changer sendiri berkaitan dengan istilah pasar uang (money market).
Dimana pasar uang sendiri adalah mekanisme untuk memperdagangkan dana jangka
pendek, yaitu dana berjangka dengan waktu kurang dari satu tahun. Fungsi dan tujuan
utama dari pasar uang adalah untuk mempertemukan para pemilik dana dengan pihak
yang membutuhkan dana. Money changer adalah tempat pertukaran atau jual beli
mata uang asing yang konsepnya secara langsung atau secara kasat mata (bisa
dipegang, diraba, dan diterawang) uangnya.Pada intinya kegiatan dalam money
chenger adalah kegiatan penukaran mata uang dengan mengambil keuntungan dari
jasa tersebut.

Prinsip kerja money changer sendiri adalah nilai tukar antara mata uang
negara satu dengan yang lainnya tidaklah selalu sama. Hal ini bergantung pada
mekanisme pasar internasional. Apabila mata uang suatu negara selalu digunakan
dalam transaksi internasional, maka nilai tukarnya akan semakin kuat, begitu juga
sebaliknya, apabila mata uang suatu negara jarang digunakan dalam transaksi
internasional, maka nilai tukarnya semakin lemah.

Untuk memperkuat nilai tukar mata uang suatu negara, negara tersebut harus
menjual banyak barang keluar negeri, agar pembeli dari negara lain menukarkan mata
uangnya kedalam mata uang negara penjual tersebut. Dalam hal ini pedagang valuta
asing berperan sebagai perantara jual beli internasional dengan menyediakan jasa
penukaran mata uang asing

QIYAS DALAM SISTEM MONEY CHANGER

Tukar menukar secara istilah adalah kegiatan saling memberikan sesuatu


dengan menyerahkan barang. Pengertian ini sama dengan pengertian yang ada dalam

21
jual beli dalam Islam, yaitu saling memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan. Istilah lain yang digunakan tukar menukar uang dalam Islam adalah al-
Sarf (money changer). Pengertian al-Sarf secara bahasa adalah memindah dan
mengembalikan, sedangkan secara istilah fuqaha adalah, jual beli alat bayar (emas
dengan emas, perak dengan perak, dan mata uang ) dengan alat bayar sejenis atau
beda jenis. Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam pertukaran uang,
dalam kasus pertukaran uang (al-Sarf), hukum yang berlaku antara lain:

a) Harus sama nilai nominalnya, jika uangnya sama, misalnya rupiah


dengan rupiah.
b) Harus kontan/cash, jika uangnya berbeda, seperti dolar Amerika
dengan rupiah, dan sebagainya. Dan hal-hal yang dapat menimbulkan
riba adalah jika seseorang menjual benda yang mungkin
mendatangkan riba menurut jenisnya seperti seseorang menjual salah
satu dari dua macam mata uang, emas dan perak dengan yang sejenis
atau bahan makanan seperti beras dengan beras, gabah dengan gabah
dan lainnya maka disyaratkan: a. Sama nilainya (tamasul) b. Sama
ukurannnya menurut syara’, baik timbangannya, takarannya maupun
ukurannya, c. Sama-sama tunai (taqabut) di majlis akad. Berikut ini
termasuk riba pertukaran: a. Seseorang menukar langsung uang kertas
Rp. 10.000,00 dengan uang Rp. 9.950,00 uang Rp. 50,00 tidak ada
imbangannya atau tidak tamasul, maka uang Rp.50,00 adalah riba. b.
Seseorang meminjamkan uang sebesar Rp.100.000,00 dengan syarat
dikembalikan ditambah 10 % dari pokok pinjaman, maka 10 % dari
pokok pinjaman adalah riba.
c) Seseorang menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter beras
dolog. Maka pertukaran tersebut adalah riba sebab beras harus ditukar
dengan beras sejenis dan tidak boleh dilebihkan salah satunya. Jalan

22
keluarnya ialah beras ketan dijual terlebih dahulu dan uangnya
digunakan untuk membeli beras dolog

Kegiatan transaksi money changer dianalogikan dengan pertukaran gandum


dan barang sejenis pada masa Rasulullah SAW, yang transaksinya dilakukan dengan
tunai.

 Hadith Nabi riwayat Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi SAW. bersabda:

”(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan


gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam
(dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya
berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai”.

 Hadits Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id alKhudri, Nabi s.a.w. bersabda:

“Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan
janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual
perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan

23
sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak
tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.”

 Hadist Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani,

“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian


yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum
muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

 Dalam hadis lain disebutkan, dari Abu Minhal, ia berkata, "Saya bertanya
kepada al-Bara' bin 'Azib dan Zaid bin Arqam tentang al-sharf (jual beli
uang), maka mereka berkata: Pada zaman Rasulullah SAW kami adalah
pedagang dan kami bertanya kepada Rasulullah SAW tentang al-sharf itu.
Beliau bersabda: Jika dilakukan dengan cara tunai maka tidak apa-apa dan
jika dilakukan penundaan (ditangguhkan penyerahan salah satu uang tersebut)
maka tidak boleh." (HR Bukhari).

Jika pertukaran itu dalam mata uang yang sama, nilainya harus sama dan tidak
boleh ada yang dilebihkan. Misalnya, rupiah dengan rupiah maka nilai nominalnya
harus sama, tidak boleh menukar Rp 1.000 dengan Rp 1.100 karena itu termasuk riba
yang disebut dengan riba al-fadhl.Sedangkan, jika mata uangnya berbeda, seperti
rupiah dengan dolar AS, hanya disyaratkan transaksi itu harus tunai dan ada serah
terima antara pembeli dan penjual pada saat transaksi.

24
Transaksi money changer atau jasa-jasa money changer skala internasional
yang menggunakan nilai kurs, pada praktiknya sudah sesuai dengan prinsip syariah.
Karena transaksinya berdasarkan on the spot (tunai) dan mata uang yang hendak
ditukarkan telah dikonversi pada mata uang yang ingin ditukar dengan menggunakan
kurs, sehingga nilai nominalnya sama.

Namun permasalahan timbul jika kita menggunakan jasa money changer


dengan motif menukarkan uang rupiah pecahan. Biasanya kita menggunakan jasa
perbankan untuk menukar uang rupiah pecahan. Beberapa perbankan menggunakan
biaya atas pertukaran pecahan uang rupiah yang dilakukan oleh nasabah. Misal,
nasabah menukarkan uang dengan nominal Rp. 1000.000,- lalu pihak bank
memberikan pecahan rupiah pada nasabah sejumlah Rp. 950.000,-. Biaya yang
dikenakan atas pertukaran uang tersebut sebesar Rp. 50.000,-. Jelas ini adalah bentuk
riba, karena nilai nominalnya tidak sama. Dalam alasan apapun hal ini tidak
dibenarkan. Untuk menghindari hal semacam ini, kita hendaknya menggunakan jasa
bank yang berstatus devisa, agar nilai tukar mata uang yang kita tukarkan tidak turun.

Kita juga dapat melihat kasus yang sama terkait penukaran nilai mata uang
banyak di jumpai ketika peristiwa menjelang hari raya idul fitri. Dimana sejumlah
orang menukarkan uangnya yang berpecahan besar menjadi pecahan kecil dengan
jumlah yang sama. Namun,kerap kali kita temui ketika penukar menukarkan uangnya
ada biaya yang harus dibayarkan kepada orang yang akan ditukarkan. Hal ini dinilai
menguntungkan sebab, para pemilik pecahan kecil tersebut mendapatkan keuntungan
dari hasil jasa tukar uang tersebut. Rata-rata dijual dengan tambahan 10%. Jika
uangnya 100 ribu, maka harus bayar 110 ribu. Atau 100 ribu ditukar dengan 90 ribu
receh.

Transaksi semacam ini jelas terindikasi riba fadhl. Riba Fadl merupakan jenis
riba kedua,yaitu riba yang dilibatkan pada transaksi pembelian dari tangan ke tangan
dan penjualan komoditas. Ia meliputi semua transaksi di tempat yang melibatkan

25
pembayaran konstan di satu pihak dan pengiriman komoditas segera di lain pihak.
Uang kertas masuk barang ribawi, sebagaimana dipandang oleh kalangan ulama
Malikiah dan Syafiiah. Menurut mereka, ‘illah (logika) keharaman pada emas dan
perak adalah digunakan sebagai mata uang -alat tukar- (al-tsamaniah) dan uang
kertas pada masa sekarang ini digunakan memang sebagai mata uang. Bahkan
menurut kalangan ulama Hanafiah, semua yg dapat ditakar dan ditimbang adalah
barang ribawi, tidak boleh ada perbedaan dalam pertukaran barang sejenis di
dalamnya. Secara umum dapat disimpulkan uang masuk ke dalam cakupan riba fadl.

Larangan terhadap riba fadl dimaksudkan unutk menjamin keadilan dan


membuang semua bentuk eksploitasi melalui pertukaran “yang tidak adil” dan
menutup semua pintu belakang riba karena, menurut syariah islam, apa pun yang
berfungsi sebagai sarana untuk melakukan hal hal terlarang,ia juga dilarang.

Sebagian kalangan berpendapat, bahwa tukar uang receh ini dapat


dikategorikan ke dalam akad wakalah bil ajr (perwakilan dengan upah) atau ijarah
(suatu pekerjaan dengan upah). Dengan asumsi, bahwa si penawar jasa penukaran
adalah wakil, dan si pembeli (penukar) adalah muwakkil. Sehingga dibolehkan ada
tambahan pada penukaran uang sejenis yg diposisikan sebagai upah kepada wakil.
Menurut penulis, hal ini tidak tepat. Karena dalam akad wakalah, upah haruslah jelas
di awal akad, tidak boleh berubah setiap waktu. Bahkan sebagian ulama tidak
membolehkan pakai persentase, harus memakai nominal yg jelas. Adapun dalam
konteks ini, si penawar jasa penukaran bisa saja menjual kepada satu pelanggan
dengan keuntungan 10% dari jumlah yg dimaksud, dan kepada pelanggan lainnya
dengan keuntungan yg lebih besar atau lebih kecil dari 10%. Hukum supply and
demand bekerja dalam hal ini.

Uang sebagai alat penukar dan alat penyimpanan kekayaan tidak diragukan
lagi telah menimbulkan hukum permintaan dan penawaran uang yang dikendalikan
oleh bunga yang berfungsi sebagai harga uang.

26
Dari hadits Ubadah bin Shamit mensyaratkan transaksi antara mata uang yang
sama harus sama nilai dan nominalnya. Sedangkan, hadis Umar al-Faruq
mensyaratkan transaksi antara mata uang yang sama itu harus tunai. Sedangkan,
transaksi antara mata uang yang berbeda boleh tidak sama, tetapi harus tunai.
Sedangkan, transaksi antara uang dan barang itu tidak termasuk dalam kedua hadis
tersebut di atas. Oleh karena itu, tidak diharuskan tunai dan sama. Hal yang menjadi
referensi adalah kesepakatan kedua belah pihak.

Kaidah yang berlaku tersebut di atas, itu juga sesuai


dengan maqashid syariah, bahwa mata uang seperti rupiah, dolar, dan sebagainya
adalah alat tukar, bukan komoditas. Uang seharusnya menjadi alat tukar yang
menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan pelaku pasar dan
masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, menukar rupiah dengan rupiah nyaris
tidak diperbolehkan kecuali tunai dan sama nominalnya.

Pada prinsip syariah prakterk jual beli valuta asing dapat dianalogikan dan
dikategorikan dengan pertukaran anatar emas dan perak atau dikenal dalam
termonologi fiqih denga istilah ( al-sharf) yang disepakati para ulama tentang
keabsahannya. Aktivitas perdagangan valuta asing, harus sesuai dengan norma-norma
syariah, antara lain harus terbebas dari unsur riba, maisir, gharar. Karena itu
perdagangan valas harus memperhatikan batasan sebagai berikut ;

1. Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot), artinya masing-


masing pihak harus menerima/menyerahkan masing-masing mata uang pada
saat yang bersamaan.
2. Motif pertukaran adalah untuk kegiatan bisnis sektor riil, yaitu transaksi
barang dan jasa, bukan dalam rangka spekulasi.
3. Harus dihindari jual beli bersyarat. Misalnya, si A setuju membelinya kembali
pada tanggal tertentu di masa mendatang.

27
4. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak uang diyakini mampu
menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
5. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau dengan kata lain,
tidak dibenarkan jual beli tanpa hak kepemilikan (ba’i al-fudhuli).
6. Hukum asal jual beli adalah halal

1. Hukum asal jual beli adalah halal.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,


ِّ ‫ٱَّللُ ۡٱلبَ ۡي َع َوح ََّر َم‬
‫ٱلربَ ٰوا‬ َّ ‫َوأ َ َح َّل‬

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (al-
Baqarah: 275)

2. Perbedaan kurs mata uang antara satu negara dan negara lain dianggap oleh
para ulama sebagai perbedaan jenis, layaknya perbedaan jenis emas dan
perak.

Ketika terjadi tukar-menukar mata uang yang berbeda jenis, terjadi perbedaan
nilai mata uang (kurs). Akan tetapi, transaksi tersebut wajib taqabudh
yadan bi yadin, karena jenis mata uang yang ditukar adalah sesama benda riba
yang transaksi tukar-menukarnya harus secara taqabudh; sebagaimana
disebutkan dalam hadits,

“Jika jenisnya berbeda, berjual-belilah antara jenis tersebut sesuai kehendak


kalian selama dilakukan tunai dari tangan ke tangan.” (HR. Muslim, dari
Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu)

28
Dengan memperhatikan beberapa batasan tersebut, terdapat beberapa tingkah
laku perdagangan valas yang harus diperhatikan :

1. Ekonomi syariah menghindari dan melarang perdagangan tanpa penyerahan


(future non delivery trading atau margin trading).
2. Ekonomi syariah melarang tegas jual beli valas untuk kepentingan spekulasi.
3. Harus dihindari jual beli valas, baik dalam bentuk spot maupun forward.
4. Ekonomi syariah juga melarang transaksi swap. Berjanji untuk menukar mata
uang asing dengan mata uang setempat pada waktu tertentu dan dengan harga
yang ditetapkan, hukumnya jaiz.

Pertukaran mata uang atau jual beli valas untu kebutuhan sektor riil, baik
transaksi barang maupun jasa, hukumnya boleh (jaiz) menurut hukum Islam. Namun,
bila motifnya untuk spekulasi, sebagaimana yang banyak terjadi saat ini, maka
hukumnya haram.

Uang bukan komuditas. Dalam ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadikan
sebagai komoditas, namun dalam perdagangan valuta, yang secara jelas, telah
dijadikan sebagai komoditas. Menurut Taqiyuddin An-Nabhani dalam buku An-
Nizham al –Iqtishadi al-Islami, mengatakan bahwa uang adalah standar nilai pada
barang dan jasa (199-297). Demikian pula Thahir Abdul Muhsin Sulaiman dalam
buku ‘ Ilajul Musykilah al-Iqtishadi bil Islam, memandang uang sebagai medium
of exchange.

Pakar ekonomi Islam sepakat, bahwa perdagangan spekulasi valuta telah


menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian dunia dan senantiasa mengancam
ekonomi banyak negara. Oleh karena itu praktik spekulasi valas harus
dilarang.Menurut ekonomi Islam, transaksi valas hanya dibenarkan apabila digunakan
untuk kebutuhan sektor riel, seperti membeli barang untuk kebutuhan import,

29
berbelanja atau membayar jada di luar negeri, sebagaimana yang dibutuhkan para
jamaah haji, dan sebagainya.

Perdagangan valas dalam kegiatan spekulasi adalah sebuah transaksi maya


(semu), karena padanya tidak terdapat jual beli sektor riil. Dalam perdagangan valas,
yang diperjualbelikan adalah uang itu sendir, bukan barang atau jasa.

Dalam transaksi maya, tidak ada sektor riil (barang atau jasa) yang
diperjualbelikan. Mereka hanya memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang
untuk tujuan spekulasi. Selisih dan tambahan (gain) yang diperoleh dan jual beli itu
termasuk kepada riba. Karena gain itu diperoleh bighairi ‘iwadhin, yakni tanpa ada
sektor riil yang dipertukarkan, kecuali mata uang itu sendiri.Tegasnya, gain (harga
beli lebih besar dari harga jual) yang diperoleh dalam perdagangan valas adalah riba.
Pelarangan riba yang secara tegas terdapat dalam Al-Qur’an (QS. 2 : 275-279), pada
hakikatnya, merupakan pelarangan terhadap transaksi maya. Firman Allah, “Allah
menghalalkan jual beli (sektor riil), dan mengharamkan riba (transaksi maya).

Dampak Spekulasi Perdagangan Valas

a) Perdagangan valas menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian suatu


negara, antara lain menimbulkan ketidakstabilan nilai tukar mata uang.
Sehingga menggusarkan para pengusaha dan masyarakat umum, malah
kegiatan jual-beli valas cenderung mendorong jatuhnya nilai uang rupiah,
karena para spekulan sengaja melakukan rekayasa pasar agar nilai mata uang
suatu negara berfluktuasi secara tajam.
Bila nilai rupiah anjlok, maka secara otomatis, rusaklah ekonomi Indonesia
yang ditandai dengan naiknya harga barang-barang atau terjadinya inflasi
secara tajam. Sedangkan inflasi adalah realitas ekonomi yang tidak diinginkan
ekonomi Islam.

30
Akibat lain adalah goncang dan ambruknya perusahaan yang tergantung pada
bahan impor yang pada gilirannya mengakibatkan kesulitan operasional dan
sering menimbulkan PHK di mana-mana. Demikian pula, suku bunga
perbankan menjadi tinggi, APBN harus direvisi karena disesuaikan dengan
dollar. Defisit APBN pun semakin membengkak secata tajam.
Demikianlah keburukan jatuhnya nilai mata uang rupiah yang dipicu oleh
permainan spekulasi valas. Berdasarkan dampak negatif itu, perdagangan
valas untuk kepentingan spekulasi, amat dilarang dalam Islam.

b) Dampak lain transaksi maya dalam perekonomian ialah terjadinya


ketidakseimbangan arus moneter dengan arus finansial. Realitas
ketidakseimbangan arus moneter dan arus barang/jasa tersebut, mencemaskan
dan mengancam ekonomi berbagai negara.
Dalam ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar, bukanlah variabel yang
dapat ditentukan begitu saja oleh pemerintah sebagai variabel eksogen. Dalam
ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar ditentukan di dalam perekonomian
sebagai variabel endogen, yaitu ditentukan oleh banyaknya permintaan uang
di sektor riel. Atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama
banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian.
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial dan sektor riel. Inilah perbedaan
konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, jelas memisahkan
antara sektor finansial dan sektor riel.
Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, khususnya negara-negara
berkembang (terparah Indonesia). Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi
menggunakan uang untuk kepentingan sektor riil, tetapi untuk kepentingan
spekulasi mata uang.
Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara,
khususnya negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu,

31
jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di
sektor riil.
Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi
mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang
mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen
yang tepat, biasanya satu peristiwa politik yang minimbulkan ketidakpastian.
permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah menguat.
Penguatan rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para
spekulan.
Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan
melepaskan rupiah sekaligus dalam jumlah besar. Pasar akan kebanjiran
rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan meraup
keuntungan dari selisih harga harga beli dan harga jual. Makin besar
selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain.

c) Perdagangan mata uang (valas) secar signifikan menimbulkan kerawanan


krisis bagi suatu negara. Karena itulah, maka konferensi tahunan Asociation of
Muslim scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis
ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah
perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan
sektor riil.
Dengan demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar.
Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar dijauhkan dari segala
transaksi yang mengandung riba, termasuk transaksi maya di pasar uang.
Gejala decopling, sebagaimana digambarkan di atas, disebabkan, karena alat
tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang
diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang
memperoleh gain (tambah selisih harga jual dan harga beli). Meskipun bisa

32
berlaku sebaliknya, yakni orang yang bisa mengalami kerugian milyaran dolar
AS.

Kesimpulan Qiyas dalam Ekonomi Islam

1. Pada dasarnya jual beli valas dibolehkan, bila jual beli itu dimaksudkan
untuk kebutuhan transaksi sektor riil (barang dan jasa), misalnya untuk
membayar barang-barang yang diimport kepada eksportir luar negeri atau
untuk berpergian dan belanja di luar negeri.
2. Perdagangan valas untuk kepentingan spekulasi adalah haram, karena
mengandung unsur riba dan maysir, serta menimbulkan dampak negatif
(mudharat) bagi perekonomian masyarkat umum (maslahat ‘ammah).
Kerena itu alasan-alasan itu, umat Islam harus menghindarinya.Spekulasi
valas artinya, seseorang membeli uang asing hanya untuk
memperoleh gain (selisih) harga beli dan harga jual. Seseorang spekulan
membeli mata uang asing, misalnya dolar, ketika harganya turun dan
melepaskannya ketika harga naik dan begitulah seterusnya.Selisih harga
beli dan harga jual menjadi keuntungan spekulan. Selisih yang diperoleh
tanpa ada ‘iwadh atau transaksi sektor riil adalah riba. Sedangkan
kemungkinan dan ketidakpastian nilai tukar mata uang yang berakibat
bagi kerugian dan keuntungan si spekulan tergolong kepada judi.
3. Perlu ditegaskan kembali bahwa dalam perdagangan
valas, gain yang diperoleh adalah riba, karena gain itu bukan hasil
kegiatan bisnis sektor barang atau jasa, tetapi hasil pertukaran mata uang
semata.
4. Perdagangan valas telah menjadikan uang sebagai komoditas dan kegiatan
ini disebut dengan transaksi maya, karena dalam kegiatan bisnis ini terjadi
perputaran arus uang dalam jumlah besar, tetapi tidak ada kegiatan sektor
riilnya (bai’ barang dan jasa). Padahal menurut ekonomi Islam, fungsi

33
uang tidak boleh sebagai komoditas.Dalam ekonomi Islam, segala bentuk
transaksi maya dilarang. Bila transaksi ini dibolehkan, maka pasar uang
akan tumbuh jauh lebih cepat daripada pertumbuhan pasar barang dan
jasa. Pertumbuhan yang tidak seimbang ini akan menjadi sumber krisis
dan bencana seperti yang terjadi sekarang ini, sebab uang telah dijadikan
sebagai komoditas yang diperdagangkan secara spekulatif.\
5. Perdagangan valas telah memicu secara signifikan bagi kejatuhan rupiah.
Sedangkan kejatuhan rupiah berarti kehancuran ekonomi suatu negara
atau rakyat umum

34
B. DALIL- DALIL YANG DIPERSELISIHKAN

1. ISTIHSAN

Istihsan secara etimologi merupakan bentuk masdar dari ‫ اسرحس‬yang berarti


menganggap baik sesuatu atau mengira sesuatu itu baik. Abu Hanifah tetap
menggunakan arti lughawi sebagai dasar pemakaian istihsan yaitu ‫( اسرحس‬astahsin)
berarti saya menganggap baik. Arti lain dari istihsan adalah mengikuti sesuatu yang
lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk diikuti karena memang disuruh untuk
itu. Dari pengertian secara etimologi tersebut, maka tergambar adanya sesorang yang
telah menghadapi dua hal yang keduanya baik, akan tetapi ada hal yang
mendorongnya untuk meninggalkan satu diantaranya dan menetapkan untuk diambil
yang satunya karena dianggap lebih baik untuk diamalkan.

Adapun pengertian istihsan menurut istilah, ada beberapa definisi yang


dirumuskan oleh beberapa ahli ushul:

1. Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu : (1) “Beralih dari
penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat dari padanya.”
(qiyas pertama) (2) “Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat
kebiasaan karena suatu kemaslahatan.” Ibnu Subki menjelaskan bahwa
definisi yang pertama tidak terjadi perdebatan karena yang terkuat di
antara dua qiyas harus didahulukan. Sedangkan definisi kedua ada pihak
yang menolaknya. Alasannya, apabila dapat dipastikan bahwa adat istiadat
itu baik karena berlaku seperti pada masa Nabi atau sesudahnya, dan tanpa
ada penolakan dari nabi atau dari yang lainnya, tentu ada dalil
pendukungnya, baik dalam bentuk nash maupun ijma‟. Dalam bentuk
seperti ini adat harus diamalkan secara pasti. Namun bila tidak terbukti
kebenarannya, maka cara tersebut tertolak secara pasti.

35
2. Menurut Ibnu ‘Arabi bahwa istihsan adalah meninngalkan ketetapan dalil
dengan cara mengecualikan dan meringankan, karena ada perhitungan
yang menentangnya dia dalam sebagain, dari ketetapannya.

3. Menurut al-Bazdawi bahwa istihsan ialah meninggalkan keharusan


menggunakan qiyas dan berpindah kepada qiyas yang lebih kuat atau
men-takhsish qiyas dengan dalil yang lebih kuat dari qiyas tadi.

4. Menurut An-Nasafy bahwa istihsan adalah meninggalkan suat qiyas


menuju kepada qiyas yang lebih kuat atau atau dalil yang berlawanan dari
qiyas jalli.

Dari definisi di atas mengandung arti bahwa seorang mujtahid semestinya


menetapkan hukum dengan berpedoman kepada dalil yang ada yang bersifat umum.
Namun karena dalam keadaan tertentu mujtahid melihat karena adanya kemaslahatan
yang bersifat khusus, maka dalam menetapkan hukum tidak berpedoman kepada dalil
umum yang ada, tetapi menggunakan kemaslahatan atau kepentingan yang bersifat
khusus. Dapat diambil kesimpulan bahwa istihsan adalah meninggalkan suatu hukum
yang telah ditetapkan oleh syara’ dan menetapkan hukum lain karena ada dalil yang
lebih cocok dan lebih kuat menurut jiwa orang yang melakukan ijtihad. Baik dengan
cara meninggalkan qiyas jali dan mengambil qiyas khafi sebagai sandaran hukum,
atau menetapkan suatu hukum dengan cara mengambil permasalahan yang sifatnya
juz’i dari permasalahan yang sifatnya kulli. Oleh karena itu jelaslah bahwa istihsan
tetap dibangun berdasarkan dalil-dalil yang kuat, bukan berdasarkan hawa nafsu
belaka.

36
PANDANGAN ULAMA MENGENAI ISTIHSAN

1. Imam Syafii
Imam syafi’i dengan tegas menolak istihsan karena dipandangnya
sebagai penepatan hukum berdasarkan keinginan dan mencari yang enak saja,
tanpa rujukan pada nas atau keluar dari nas.

2. Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanbaliyah


Istihsan yang digunakan oleh Imam Hanafi adalah bukan istihsan yang
menyalahi nas atau qiyas tetapi merupakan bagian dari qiyas. Imam Hanafi
memutuskan menggunakan istihsan sebab hal itu dekat dengan tujuan syara’.
Istihsan yang digunakan Imam Hanafi adalah seperti yang disampaikan Abu
Al-Hasan al-Kurkhi : “Seorang mujtahid berpaling terhadap suatu masalah
yang menyimpang dari ketetapan hukum yang ditetapkan kepada masalah
yang serupa karena ada alasan-alasan yang lebih kuat yang mengendaki kita
dari hukum pertama”.
Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanbaliyah yang mengatakan
bahwa istihsan adalah dalil syara’ dengan alasan bahwa istihsan yang
ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap kasus-kasus dan hukum-hukum
yang ternyata bahwa penggunaan qiyas adalah menerapkan yang umum atau
dalil yang kulli yang kadang kala dalam beberapa kasus menyebabkan
hilangnya kemashlahatan manusia, karena kasus tersebut memiliki
kekhususan tersendiri.

APLIKASI ISTIHSAN DALAM EKONOMI DAN KEUANGAN ISLAM

Dalam perkembangannya, istihsan banyak dipakai dalam konsep ekonomi


syariah. Banyak akad-akad yang ditetapkan dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis
Ulama’ Indonesia (MUI) memiliki konsep darurat. Dalam DSN banyak ditemukan

37
kaidah “al-dharuratu tubihu al mahdhurat” yaitu kondisi darurat memperbolehkan
sesuatu yang dilarang, seperti diperbolehkannya bermuammalah dengan bank
konvensional apabila suatu wilayah baelum terdapat kantor atau jaringan syariah.

Seseorang dititipi barang harus mengganti barang yang dititipkan kepadanya


apabila digunakan untuk membiayai hidupnya. Apabila seorang anak menitipkan
barang kepada ayahnya kemudian barang tersebut digunakan ayahnya untuk
membiayai hidupnya, maka berdasarkan istihsan si ayah tidak wajib menggantinya,
karena ia mempunyai hak menggunakan harta anaknya untuk keperluan membiayai
hidupnya.

2. ISTIHAB

Dari sudut pandang etimologi, istishab berasal dari kata sahiba yang
menunjukkan makna “menyertai”. Adapun dari sudut pandang terminologi, istishab
telah didefinisikan oleh para ulama dengan rangkaian kata yang berbeda namun
memiliki maksud yang sama. Berikut beberapa definisi Istishab yang dikemukakan
oleh mereka.

1. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah


Istihab adalah menetapkan keberadaan sesuatu yang sudah ada
sebelumnya dan meniadakan keberadaan sesuatu yang memang tidak ada
sebelumnya.

2. Al-Ghazaliy
Istihab berarti tetap berpegang teguh dengan dalil akal atau dalil shar’i,
bukan karena tidak mengetahui adanya dalil, melainkan karena
mengetahui tidak adanya dalil yang merubahnya setelah berusaha keras
mencari.

38
3. ‘Abd al-‘Aziz al-Bukhariy,
Istishab adalah Menyatakan tetap adanya sesuatu pada sesi kedua
karena sesuatu tersebut memang ada pada sesi partama.
4. Menurut Khallaf
Istishab adalah: Menetapkan suatu hukum yang telah ada dalilnya
sejak dahulu sampai sekarang sampai dengan adanya dalil lain yang
merubahnya.

Dari beberapa definisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Istishab adalah
menggunakan hukum yang sudah ada sampai adanya hukum lain yang mengubahnya,
bila hukum yang sudah ada menyatakan hukum ithbat (penetapan), maka hukum
ithbat itu tetap berlaku sampai adanya dalil yang merubahnya. Begitu pula
sebaliknya, bila hukum yang sudah ada menetapkan hukum nafy (peniadaan), maka
hukum nafy itu tetap berlaku sampai dengan adanya dalil yang merubahnya.

Istishab berbeda dengan sumber hukum lainnya yaitu al-Qur’an, al-Sunnah,


Ijma’ dan Qiyas. Keempat sumber hukum tersebut mampu mencetus hukum baru,
sedangkan Istishab tidak mencetus hukum baru, melainkan sebagaimana yang telah
diterangkan di atas, Istishab hanya menetapkan hukum asal yang telah ada yang
berlandaskan dalil, baik berupa nafy maupun ithbat . Oleh karena itu Istishab di
tempuh oleh para mujtahid sebagai alternatif terakhir dalam menentukan hukum.

Dalam hal ini, urutan penggunaan Istishab tergantung pada ragam sumber
hukum yang mu‘tabar (sah) menurut para mujtahid. Orang yang menilai bahwa
sumber hukum yang mu‘tabar hanya tiga saja, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’
maka dia memposisikan Istishab pada urutan keempat, sedangkan orang yang menilai
bahwa sumber hukum yang mu‘tabar adalah empat, yaitu al-Qur’an, alSunnah, Ijma’
dan Qiyas maka dia memposisikan Istishab pada urutan kelima. Begitu pula orang
yang menilai bahwa Maslahah Mursalah dan ‘Urf sebagai sumber hukum yang sah
juga, maka dia baru akan menggunakan Istishab setelah itu semua.

39
PEMBAGIAN ISTIHAB

1. Istihab terhadap perkara hukum yang tetap dihasilkan dari ijma’ yang dalam
perkembangannya berpotensi memicu timbulnya perselisisan.
2. Kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi secara akal
dalam kontek hukum-hukum syara’
3. Penetapan berlakunya hukum yang menyatakan bolehnya asal segala sesuatu.

APLIKASI ISTIHAB DALAM EKONOMI ISLAM

Sebagaimana pengertian istihab di atas, bahwasanya istihan adalah


menggunakan hukum yang sudah ada sampai hukum lain mengubahnya. Salah satu
aplikasi istihab dalam ekonomi Islam adalah jual beli. Hal in dibuktikan dengan bukti
sejarah bahwa rasulullah saw dan juga paman, serta kakeknya adalah tokoh yang
menjalankan kegiatan ekonomi, yakni jual beli. Kemudian begitu Nabi Muhammad
saw menjadi seorang rasul, turunlah ayat yang menjelaskan tentang kehalalan jual
beli dan keharaman riba (Al-Baqarah 257).

Kemudian selain itu marketing, sewa menyewa, dan bursa saham menurut
istihab adalah boleh, sebab belum ada dalil yang melarangmya.

3. ‘URF

‘Urf atau disebut juga adat menurut definisi ahli ushul fiqh adalah:

‫ت َعلَ ْي ِه أ ُ ُم ْو ُر ُه ْم‬
ْ ‫س فِى ُم َعا َم ََل ِت ِه ْم َوا ْستَقَا َم‬
ُ ‫َما ِإ ْعت َا دَهُ النَّا‬

Artinya: “Sesuatu yang sudah dibiasakan oleh manusia dalam pergaulannya


dan telah mantap dalam urusan-urusannya”.

40
Menurut istilah ahli syara tidak ada perbedaan di antara ‘urf dan adat. Maka
‘urf yang bersifat perbuatan adalah saling pengertian manusia tentang jual beli
dengan pelaksanaan tanpa shighot yang diucapkan. Sedangkan ‘urf yang bersifat
ucapan adalah saling mengerti mereka tentang kemutlakan lafal al walad( ‫ ) الو لد‬atas
anak laki-laki bukan anak perempuan, dan juga saling mengerti mereka agar tidak
mengitlakkan lafal al lahm ( ‫ )اللحم‬yang berarti daging atas al samak(‫ )السمك‬yang
bermakna ikan tawar. Jadi ‘urf adalah terdiri dari saling pengertian manusia atas
perbedaan tingkatan mereka, keumumannya dan kekhususannya.

Dalil mengenai dijadikannya Adat dan ‘Urf sebagai bagian dari dalil hukum
Islam diantaranya adalah firman Allah Ta'ala:

َ‫ض َع ِن ْال َجا ِهلِين‬ ِ ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوأْ ُم ْر ِب ْالعُ ْر‬


ْ ‫ف َوأَع ِْر‬
“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. QS Al-A'raf: 199.”

Urf menurut Iam Ghazali merupakan: “Keadaan yang sudah ditetapkan pada
diri manusia,dibenarkan oleh akal dan diterima pula oleh tabiat sehat”.

Macam-macam Urf

Adapun pembagian ‘Urf sebagaimana dikemukakan oleh Amir Syarifuddin


sebagai berikut:
Ditinjau dari segi perbuatan, ‘urf dibagi menjadi dua:
1. ‘Urf Qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan
kata-kata atau ucapan. Seperti kata waladun dalam Q.S. al-
Nisa’ [4]: 11-12 yang mencakup anak laki-laki dan anak
perempuan, sebagaimana digunakan dalam tradisi orang Arab.
2. ‘Urf Fi’li, yaitu kebiasaan yang dilakukan dalam perbuatan.
seperti kebiasaan mengambil sebatang rokok milik teman

41
tanpa ucapan meminta atau memberi, tidak dianggap sebagai
pencurian.

Perbedaan ‘Urf dengan ijma’

‘Urf terbentuk oleh kesepakatan mayoritas manusia terhadap suatu perkataan


atau perbuatan, berbaur di dalamnya orang awam dan kaum elite, yang melek dan
buta huruf, mujtahid dan bukan mujtahid. Sedangkan ijma hanya terbentuk dengan
kesepakatan mujtahid saja terhadap hukum syara’ yang amali, tidak termasuk di
dalamnya selain mujtahid baik kelompok pedagang, pegawai atau pekerja saja.

‘Urf terwujud dengan persepakatan semua orang dan kesepakatan sebagian


terbesarnya, di mana keinginan beberapa orang tidak merusak terjadinya ‘urf.
Sedangkan ijma hanya terwujud dengan kesepakatan bulat seluruh mujtahid kaum
muslimin di suatu masa trejadinya peristiwa hukum, penolakan seorang atau beberapa
orang mujtahid membuat ijma itu tidak terjadi.

‘Urf yang dijadikan landasan ketentuan hokum apabila berubah membuat


ketentuan hukumnya berubah pula tidak mempunyai kekuatan hokum seperti yang
berlandaskan nash dan ijma/ sedangkan ijma shaikh yang dijadikan landasan
ketentuan hukum ,kekuatan hukum yang berdasarkan naskh dan tidak ada lagi
peluang untuk berijtihad terhadap ketentuan hukum yang ditetapkan ijma

Syarat Pengamalan Adat

Menurut ulama’ ushul, ada beberapa syarat bahwa ‘urf dapat dijadikan dalil
menetapkan hukum, antara lain:

a) ‘Urf itu harus berlaku secara umum, artinya ‘urf tersebut terjadi pada sebagian
besar kasus yang terjadi ditengah-tengan masyarakat dan keberlakuannya
dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut;

42
b) ‘Urf telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat ketika hukum yang
akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, ‘urf yang akan dijadikan
sandaran lebih dahulu muncul daripada kasus yang akan ditetapkan
hukumnya.
c) ‘Urf tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu
transaksi.
d) ‘Urf tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang
dikandung oleh nash itu tidak bisa diterapkan. Penerimaan ‘urf sebagai dalil
jika persoalan tersebut tidak diatur dalam nash.
e) ‘Urf bernilai maslahah dan dapat diterima oleh akal

Kedudukan ‘Urf sebagai Dalil Hukum Syara’

Pada umumnya ‘urf yang sudah memenuhi syarat dapat diterima secara
prinsip. Golongan Hanafiah menempatkannya sebagai dalil dan mendahulukan atas
qiyas, yang disebut istihsan ‘urf. Golongan Malikiah menerima ‘urf terutama ‘urf
penduduk Madinah dan mendahulukannya dari hadits yang lemah. Demikian pula
berlaku dikalangan Syafi’iyah dan menetapkannya dalam sebuah kaidah: “Setiap
yang datang padanya syara’ secara mutlak dan tidak ada ukurannya dalam syara’ atau
bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf”.

Dasar Hukum ‘Urf

Para ulama sepakat bahwa ‘Urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama
tidak bertentangan dengan syara. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan
mereka bahwa amal ulama Madinah dapat di jadikan hujjah, demikian ulama
Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujah.
Imam Syafi’I terkenal dengan qaul qodim dan qaul jadidahnya. Ada suatu kejadian
tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau berada di Makkah
(qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal itu
mwnunjukkan bahwa ketiga madzab itu berhujjah dengan ‘urf

43
Sesuai dengan Firman Allah :

ِ ‫ُخ ِذ ْالعَ ْف َو َوأْ ُم ْر بَا ْلعُد‬


)199 ‫ْف (اال عراف‬

Yang menurut Al Qarafy bahwa setiap yang diakui adat, ditetapkan hokum
menurutnya, karena zohir ayat ini. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam
Ahmad dan Abdullah bin Mas’ud :

َ ‫سنًا فَ ُه َو ِع ْندَهللاِ اَ ْم ٌر َح‬


‫س ٌن‬ َ ‫ َما َرا ُه ال ُمس ِّل ُمونَ َح‬.

Yang menunjukkan bahwa hal yang sudah berlaku menurut adat kaum
muslimin dan dipandangnya baik adalah pula baik di sisi Allah.

APLIKASI ‘URF DALAM EKONOMI ISLAM


Beberapa kegiatan ekonomi yang bersumber dari ‘urf yaitu : Jual beli urbun,
jual beli mut’ah, waralaba MLM syariah, Penerapan mata uang dinar dan dirham
dalam sejarah, proses qabath hissi transaksi valas 2x24 jam, diskonto dan factoring,
bursa berjangka indeks, call money dengan sistem bunga, dan masih banyak lagi
kegiatan ekonomi yang didasarkan pada ‘urf.

4. MASLAHAH MURSAHAH

Menurut bahasa, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah dibakukan
ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata maslahat, yang berarti mendatangkan
kebaikan atau yang membawa kemanfaatan (manfa’ah) dan menolak kerusakan
(mafsadah) Karena pada hakikatnya syari’at diturunkan di dunia ini hanya untuk
kemaslahatan manusia (innama unzilati syari’atu litahqiqi mashalihil anam).
Menurut bahasa aslinya kata maslahah berasal dari kata salaha, yasluhu, salahan, ‫صلح‬
‫صلحا‬, ‫يصلح‬, artinya sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat. Sedang kata mursalah

44
artinya terlepas bebas, tidak terikat dengan dalil agama (Alqur’an dan al-Hadits) yang
membolehkan atau yang melarangnya.

Al-mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi dalam bentuk tsulasi
dengan tambahan huruf “alif” di pangkalnya yaitu arsala. Secara etimologi artinya
terlepas, bebas (muthliqoh) (Yunus, 1973). Kata terlepas dan bebas bila dikaitkan
dengan kata mashlahah. Maksudnya ialah “terlepas atau bebas dari keterangan yang
menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan”. Maslahah mursalah terdiri dari
dua kata yang hubungan keduanya dalam bentuk sifat-mausuf, atau dalam bentuk
khusus yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari al-maslahah.

Berikut ini beberapa definisi mashlahah mursalah dari para ulama :

1) Al-Ghazali

Apa-apa (maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk
nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memerhatikannya.

2) As-Syaukani

Maslahah yang tidak diketahui apakah syari’ menolaknya atau


memperhitungkannya

3) Ibnu Qudamah

Maslahah yang tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan
tidak pula yang memerhatikannya

4) Yusuf Hamid al-Alim

Apa-apa (maslahah) yang tidak ada petunjuk syara’ tidak untuk


membatalkannya, juga tidak untuk memerhatikannya

5) Jalaluddin Abd ar-Rahman

45
Maslahah yang selaras dengan tujuan syari’ (pembuat hukum) dan tidak ada
petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau
penolakannya.

Berdasarkan definisi tentang maslahah mursalah di atas, jika dilihat dari segi
redaksi nampak adanya perbedaan, tetapi dilihat dari segi isi pada hakikatnya ada satu
kesamaan yang mendasar, yaitu menetapkan hukum dalam halhal yang sama sekali
tidak disebutkan dalam Alqur’an maupun as-Sunnah, dengan pertimbangan untuk
kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia yang bersendikan pada asas menarik
manfaat dan menghindari kerusakan. Hakikat dari maslahah mursalah adalah sesuatu
yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan (jalbul
mashalih au manfa’ah) atau menghindarkan keburukan (dar’ul mafasid) bagi
manusia. Semua hal yang baik menurut akal idealnya selaras dengan tujuan syariah
(maqashid syari’ah) dalam menetapkan hukum, walaupun tidak ada petunjuk syara’
secara khusus yhang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang
mengetahuinya.

Abdul Wahab Kallaf menyatakan bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa


maslahah mursalah adalah hujjah syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan
hukum yang tidak ada hukumnya di Al-Quran, hadits, ijma’, qiyas, ataupun istihsan
disyarri’atkan kepada hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Namun,
dalam hal ini banyak juga yang menolah maslahah mursalah sebagai salah satu
sumber hukum. Perlu diperhatikan bahwa pembentukan hukum maslahah mursalah
tidak boleh ditangguhkan samoai ada bukti syara, yang jelas.

APLIKASI MASLAHAH MURSALAH DALAM EKONOMI

1. Larangan dumping dalam penjualan suatu produk, karena maslahah produsen

Dumping adalah penjualan komoditas di pasar luar negeri pada tingkat harga
yang lebih rendah dari harga wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang

46
lebih rendah daripada tingkat harga pasar domestiknya. Praktik dumping merupakan
praktik yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor praktik dumping akan
menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industry barang sejenis dalam negeri,
dengan terjadinya banjir barang-barang dari ekspoktir yang harganya jauh lebih
murah daripada barang dalam negeri, yang pada akhirnya akan membunuh pasar
barang dan kebangkrutan perusahaan domestik.

Dumping adalah praktik trading yang bisa merusak mekanisme pasar. Ada
berbagai macam akibat yang ditimbulkan dari praktik dumping ini, antara lain produk
sejenis dalam negeri akan kalah saing, karena harga produk luar negeri lebih murah.
Dalam jangka panjang tentunya akan berakibat oada pemutusan hubungan kerja
besar-besaran karena perusahaan dalam negeri harus menghemat biaya operasional
agar dapat bersaing dengan produk luar negeri, atau efek yang lebih parah lagi adalah
tutupnya perusahaan alam negeri, karena produksi menurun dan barang kurang
diminati dipasaran. Itulah yang membuat alasan agama Islam melarang oraktik
dumping demi kemaslahatan produsen, dan munculnya banyak mudharat.

2. Mengadakan pengadilan niaga syariah

Pengadilan agama sebagaimana yang dimaksud oleh undang-undang nomor 7


tahun 1989 tentang peradilan agama, pada awalnya adalah lembaga yang memiliki
kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqoh. Seiring
perkembangan ekonomi yang cukup pesat khususnya dalam bidang hukum Islam,
maka kewenangan pengadilan agama pun mengalami perluasan dalam menangani
masalah ekonomi syariah. Pasal 49 Undang-Undaang Nomor 3 tahun 2006 yang
mengatur tentang peradilan agama, yaitu :

47
“pengadilan agama bertugas dan berwenang, memeriksa, memutuskan, dan
menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang :
a) Perkawinan;
b) Waris;
c) Wasiat;
d) Hibah;
e) Wakaf;
f) Zakat;
g) Infak;
h) Sedekah; dan
i) Ekonomi Syariah.

3. Larangan spekulasi forex

Usaha spekulatif adalah bentuk usaha yang pada hakikatnya merupakan gejala
untuk membeli suatu barang dengan harga murah, kemudian menjualnya lagi dengan
harga mahal pada waktu selanjutnya. Seseorang yang melakukan spekulatif dalam
perdagangan biasanya akan mengharapkan fluktuasi harga yang tinggi di pasar.
Apabila harga masa depan diharapkan lebih tinggi daripada harga sekarang, maka
pembeli spekulatif membeli suatu komoditi dengan menjualnya di masa depan.
Sebaliknya, jika harga di masa depan lebih rendah maka spekulan akan menjual
komoditi tersebut saat ini untuk menghindari kerugian di masa depan. Islam melarang
praktik spekulasi sebagaimana hadits rasulullah saw tentang haramnya menumpuk
harta.

4. Larangan kartel dan monopoli, karena untuk memelihara kemaslahatan


konsumen
5. Intervensi harga saat distorasi pasar

48
6. Larangan ghabn dalam harga penjualan

5. SYAR’U MAN QABLANA

Syar’u Man Qablana adalah hukum-hukum Allah yang dibawa oleh para
Nabi/Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw. dan berlaku untuk umat mereka pada
zaman itu. Dalam kaitannya dengan syariat islam, maka dapat dikatakan bahwa
syariat adalah hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang didalamnya
terdapat berbagai aturan yang diperuntukan bagi manusia. Pada prinsipnya, syariat
yang diperuntukan Allah SWT bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama
dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Diantara asas yang sama itu adalah
yang berhubungan dengan konsep ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan
ancaman Allah SWT. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang
berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.

Islam telah memiliki syariat yang lengkap dengan tujuan kemaslahatan


umatnya. Kemaslahatan agama menjadi prioritas utama. Yang meliputi akidah,
ibadah, hukum-hukum, aturan-aturan yang telah disyariatkan untuk mengatur
hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan manusia dengan yang lainnya.
Kemaslahatan terhadap harta meliputi perintah bekerja dan berusaha mendapatkan
rezeki yang halal dengan berbagai aktivitas muamalah. Baik itu dengan berdagang,
berbisnis, maupun bekerja sebagai karyawan, buruh, guru, dan lainnya.
Mengharamkan bekerja dengan cara yang dilarang seperti mencuri, khianat,
mengambil hak orang lain dengan cara batil, korupsi, riba dan lain-lain.

Dalam al-qur’an kaum muslimin diperingatkan untuk mematuhi larangan


memungut bunga. Jika tidak, mereka akan mendapatkan nasib yang buruk
sebagaimana yang dialami kaum yahudi. QS. An-Nisa (4):161 :

49
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan
jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih.”

Ayat ini merupakan kritikan Allah SWT terhadap kaum yahudi yang tetap
melakukan riba padahal telah dilarang oleh Allah SWT. Larangan melakukan riba
ditujukan juga bagi kaum nasrani dan kaum muslimin, karena pesan syariah yang
dibawa Rasulullah SAW., merupakan pesan nabi-nabi sebelumnya. QS. Asy-Syura,
(42):13 :

“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat
berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”

50
6. SADDU DZARI’AH

Kata sadd adz-dzari’ah (‫ )سد الذريعة‬merupakan bentuk frase (idhafah) yang


َ ) dan adz-dzari’ah (‫)الذَّ ِر ْي َعة‬. Secara etimologis,
terdiri dari dua kata, yaitu sadd (‫سد‬
kata as-sadd (‫ )السَّد‬merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari ‫سدًّا‬ ُ ‫سدَّ َي‬
َ ‫سد‬ َ . Kata as-
sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lubang.
Sedangkan adz-dzari’ah (‫ )الذَّ ِر ْيعَة‬merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang
berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-
dzari’ah (‫ )الذَّ ِر ْيعَة‬adalah adz-dzara’i (‫)الذَّ َرائِع‬. Karena itulah, dalam beberapa kitab usul
fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang
digunakan adalah sadd adz-dzara’i.
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan
kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski
suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu
merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus
mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-
Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan
namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-
dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada
sesuatu yang dilarang (mamnu’). Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd
adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan
yang terlarang. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara
tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-
dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada
dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain
yang dilarang.

51
KEDUDUKAN SADD ADZ-DZARI’AH

Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd adz-
dzari’ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbath al-
hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd adz-
dzari’ah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam
menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang
tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di
kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai
pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Imam
al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwar
al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq. Begitu pula Imam asy-Syathibi (w. 790 H) yang
menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwafaqat.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain,
kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai metode istinbath pada kasus
tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam
Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang seseorang
mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan
menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang
dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang
dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh
siapapun.

52
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka
yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-
lafzh). Sementara sadd adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan
yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang
kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adz-dzariah adalah semata-mata
produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.

DASAR HUKUM SADD ADZ-DZARI’AH


1. Alquran

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah


selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. al-An’am:
108).

Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-
dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu
mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang
Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh
orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi,
maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd
adz-dzari’ah).

2. Sunah

53
َ‫سلَّ َم إِ َّن ِم ْن أ َ ْكبَ ِر ْال َكبَائِ ِر أ َ ْن ي‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫ي هللاُ َع ْن ُه َما قَا َل قَا َل َر‬
َ ‫ض‬ ِ ‫ّللاِ ب ِْن َع ْم ٍرو َر‬ َّ ‫َع ْن َع ْب ِد‬
‫سب أَبَاهُ َو َي‬ ُ َ‫الر ُج ِل فَي‬ َّ ‫الر ُج ُل أَبَا‬ َّ ‫سب‬ َّ ُ‫ْف يَ ْلعَن‬
ُ َ‫الر ُج ُل َوا ِلدَ ْي ِه قَا َل ي‬ َ ‫سو َل هللاِ َو َكي‬ َّ َ‫ْلعَن‬
ُ ‫الر ُج ُل َوا ِلدَ ْي ِه قِي َل يَا َر‬
ُ‫سب أ ُ َّمه‬
ُ

Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:


“Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki
melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci
maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas
mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”

Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi
konsep sadd adz-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari
Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum
dalam konteks sadd adz-dzari’ah.

3. Kaidah Fikih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-
dzari’ah adalah:
َ ‫ب ْال َم‬
.ِ‫صا ِلح‬ ِ ‫دَ ْر ُء ْال َمفَا ِس ِد أ َ ْولَى ِم ْن َج ْل‬
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan
(maslahah)

Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah


turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena
itulah, sadd adz-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa
dipahami, karena dalam sadd adz-dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus
dihindari.

54
4. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka
mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal
tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka
mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan
tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm al-
Mûqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan
mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu
untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah
membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang
dengan pelarangan yang telah ditetapkan.”

MACAM-MACAM ADZ-DZARI’AH

Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim


mengklasifikasikan adz-dzari’ah menjadi empat macam, yaitu:
1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan
kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang
bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan
ketidakjelasan asal usul keturunan.
2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau
dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara
untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan
yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-
tahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang
mengakibatkan muncul unsur riba.
3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja
untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya
keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja.

55
Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar
akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah
mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa
menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar
akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang
dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.

Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi


membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi
jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya
menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau
hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan
tetangga.
2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi
orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala
tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain
adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui
bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
3. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan,
seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan
jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.

Dapat disimpulkan bahwa dalam saddu al-zai’ah penetapan hukumnya selalu


menekankan pada keutamaan manfaat dan menghindari kemufsadatan. Hal ini untuk
mengantisispasi sikap hidup yang tidak terpuji ditengah masyarakat.

56
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tujuan ekonomi Islam yaitu untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di


akhirat (falah) melalui suatu tata kehidupan yang baik. Dalam konteks ekonomi,
tujuan fallah dijabarkan dalam beberapa tujuan antara lain : (1) mewujudkan
kemashlahatan ummat, (2) mewujudkan keadilan dan kemerataan pendapatan, (3)
membangun peradaban yang luhur, dan (4) menciptakan kehidupan yang seimbang
dan harmonis.

Pilar ekonomi Islam adalah moral. Sumber hukum ekonomi islam adalah
Quran, hadis, ijma’, qiyas, dan beberapa sumber hukum Islam lainnya yang relevan,
sehingga dapat dijamin bahwa sistem dan konsep ekonomi yang berada pada
ekonomi Islam adalah sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah swt dan diajarkan
oleh Nabi SAW.

3.2 Saran

Kewajiban merealisasikan konsep falah pada dasarnya adalah kewajiban


seluruh pelaku ekonomi, khususnya ekonom muslim. Demi tercapainya tujuan falah
maka ekonomi Islam perlu diaplikasikan dalam kegiatan ekonomi sedini mungkin.

57
DAFTAR PUSTAKA

A, Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta: Kencana, 2010

Al-Quranul Karim
Chapra M Umer,2000. Sistem Moneter Islam.Jakarta : The Islamic Foundation

Izzan, Tanjung. 2006. Referensi Ekonomi Syariah:Ayat-Ayat Al-Quran yang


Berdimensi Ekonomi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Kasmir.2012. Bank & Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Rajawali Press

KONSEP QIYAS DALAM TRANSAKSI EKONOMI MONEY CHANGER Anni Muslimah


Purnamawati Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan

Lathif, Nahrowi. 2009. Penghantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum Positif dan
Hukum Islam. Lembaga Penelitian UIN Jakarta Ciputat Jakatra Selatan
Mardani.(2015). Hukum Sistem Ekonomi Islam. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.
Mufid, Moh. 2018. Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer: dari Teori ke
Aplikasi. Jakarta. Prenadamedia Group.
Tadjoedin Achmad Ramzy, Mustapha Nik, Dumairy dkk.1992. Berbagai Aspek
Ekonomi Islam.Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogyakarta
Universitas Yudharta Pasuruan, Mahasiswa Ekonomi Islam Semester Dua, 2012.
Pengantar Ekonomi Islam. Malang. Kurnia Advertising.

JURNAL
H, Dharmawati. (2011). “Istihsan dan Pembaruan Hukum Islam”. Al-Fikr, 15(1),
165. Retrieved from http://journal.uin-alauddin.ac.id

Habibullah, Eka Sakti. (2017) “Pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam SyafiI
tentang Istihsan”. Al-Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, 454.
Retreived from https://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id

Kadenun. (2018). “Istihsan Sebagai Sumber dan Metode Hukum Islam”. Qolamuna,
10(2), 91. Retreived from https://schoolargoogle.com/-ejournal.kopertais4.or.id

58
Misbahuzzulam. (2013). “Istihab; Sejarah Dan Posisinya”. Al-majaalis jurnal dirasat
islamiyah. 1(1). 109-112. Retrieved from
https://schoolargoogle.com/ejournal.stdiis.ac.id
Yazid, I.(2017).”Analisis Teori Syar’u Man Qablana”. Al Maslihah Jurnal Hukum
dan Pranata Sosial Islam.
Zainil ghulam. 2018. “Aplikasi Ijma’ Dalam Praktik Ekonomi Syariah”. Iqtishoduna
7(1),109-111

WEBSITE

http://asysyariah.com/hukum-jual-beli-mata-uang-dan-nasihat-para-ulama/

http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/ekonomi/article/view/257/pdf_156

https://beiperbankan.blogspot.com/2012/06/qiyas-sebagai-sumber-hukum-
ekonomi.html

https://prezi.com/w85f0dleiqzx/sumber-ekonomi-islam/
https://tafsirq.com/fatwa/dsn-mui/jual-beli-mata-uang-al-sharf

https://tafsirweb.com/
https://uangindonesia.com/hukum-tukar-menukar-mata-uang-asing-atau-jual-beli-
valas-menurut-islam/

59

Anda mungkin juga menyukai