Anda di halaman 1dari 34

4C ESY Kel.

2
SUMBER FUNDAMENTAL HUKUM EKONOMI ISLAM
Disusun untuk memenuhi tugas:
Mata Kuliah: Ushul Fikih Ekonomi dan Keuangan
Dosen Pengampu: Ahmad Hanafi, S.E.I., M.E

Oleh:

SALAHUDIN
NIM: 21141205
M. RIDWANNOR KHARYSMY
NIM: 2114120529

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2023/2024 M
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wa taala atas segala limpahan


Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini yang berjudul Sumber Fundamentalis Hukum
Ekonomi Islam dengan tepat waktu.
Pada kesempatan kali ini izinkan penulis untuk menyampaikan rasa terima
kasih kepada bapak Ahmad Hanafi, S.E.I., M.E selaku dosen pembimbing mata
kuliah Ushul Fikih Ekonomi dan Keuangan dan semua pihak yang membantu
kami dalam penyelesaian makalah ini. Harapan kami dengan adanya makalah ini
bisa menjadi sesuatu yang sangat bermanfaat bagi kita semua, khususnya para
mahasiswa/mahasiswi Ekonomi Syariah dan semua pihak pada umumnya.
Terlepas dari hal tersebut, kami menyadari dalam penulisan makalah ini,
terdapat banyak kekurangan baik dalam penulisan, isi maupun bahasa. Maka
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari para pembaca. Akhir
kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semoga dapat
menjadi sumber rujukan yang menambah wawasan pemikiran. Amin Yaa Robbal
A’lamin.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Palangka Raya, 13 Maret 2023

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................2
D. Metode Penelitian............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Al-Qur’an dan Hadist sebagai Sumber Hukum Ekonomi Islam.....................3
B. Qath’i dan Zhonniy dalam Al-Qur’an kaitannya dengan ijtihad ekonomi
Islam...............................................................................................................5
C. Dalil-dalil yang diperselisihkan keabsahannya...............................................9
D. Ayat dan Hadist Ekonomi.............................................................................15
BAB III PENUTUP..............................................................................................18
A. Kesimpulan....................................................................................................18
B. Saran..............................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mu’amalah memuat aturan-aturan dalam
konteks hubungan sesama manusia dalam
maknanya yang luas. Aspek mu’amalah ini
dalam Alquran dan Hadis, tidak diatur secara
rinci, melainkan diungkap dengan menyebut
garis-garis besarnya saja. Jika menggunakan
penelitian Abdul Wahab Khallaf, yang termasuk
dalam bagian mu’amalah adalah : 1. Hukum-
hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga
(al-ahwal al- syakhshiah) yang terdiri dari 70
ayat. 2. Hukum Perdata terdiri dari 70 ayat
(ahkam Madniyah), 3. Hukum Pidana terdiri dari
30 ayat (ahkam al-Jinayah). 4. Hukum Acara
terdiri dari 13 ayat (ahkam al-Murafa’at). 5.
Hukum Peradilan terdiri dari 10 ayat (ahkam al-
qada’), 6.Hukum Tata Negara terdiri dari 25 ayat
(ahkam al-Dauliyah). 7. Hukum Ekonomi terdiri
dari 10 ayat (ahkam al-Iqtisadiyah wa al-
Maliyah).1
Al-Quran merupakan sumber ekonomi
Islam. Alquran tidak memuat secara rinci dan
eksplisit tentang masalah-masalah ekonomi.
Tidak ada penjelasan tentang sistem ekonomi di
dalamnya. Kedua, sebagai sumber nilai, pesan
Alquran tentang ekonomi dapat dielaborasi
bahkan dikontekstualisasikan dengan persoalan
ekonomi kontemporer. Apa yang dilakukan oleh
1
Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi (Bandung: Citapustaka Media Perintis,
2012), h. 2.

1
ulama-ulama terdahulu sesungguhnya adalah
upaya untuk mengkonstruksi ekonomi Islam
yang berlandaskan Alquran dan Hadis. Ketiga,
kendati Alquran hanya memuat nilai-nilai etis
moral, namun ayat-ayat tersebut cukup untuk
menginspirasi para ulama dan pakar untuk
memformulasikan apa yang disebut dengan
sistem ekonomi Islam yang vis to vis berhadapan
dengan sistem ekonomi kapitaslis dan sosialis.
Keempat, bangunan ekonomi Islam itu, dengan
segala kelenturan dan fleksibilitasnya, tetaplah
harus berpijak pada asas-asas ekonomi Islam itu
sendiri, seperti asas tauhid, asas keadilan, asas
kenabian dan asas keakhiratan. Asas-asas itu
sendiri diderivasikan dari ayat-

2
2

ayat Alquran Al-Karim dan hadis-hadis Nabi


SAW.2
Oleh karena itu Al-Qur’an dan juga hadist
menjadi sumber fundamental bagi ummat untuk
menentukan suatu hukum yang sedang terjadi.
Termasuk pada kegiatan ekonomi di masyarakat
Al-Qur’an dan Hadist menjadi rujukan utama
sebelum kemudian disandarkan kepada ijma’
ataupun ‘uruf.

B. Rumusan Masalah
Dari pembahasan latar belakang di atas maka
dapat diambil sebuah rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana Al-Qur’an dan Hadist menjadi
sumber hukum ekonomi Islam?
2. Apa kaitannya Qath’i dan Zhonniy dalam Al-
Qur’an dengan ijtihad ekonomi Islam?
3. Apa saja dalil-dalil yang diperselisihkan
keabsahannya?
4. Apa saja ayat dan Hadist ekonomi?

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas maka dapat
diketahui bahwa tujuan dari penulisan makalah ini
yaitu:
1. Untuk mengetahui Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber hukum ekonomi
Islam
2. Unruk mengetahui kaitannya Qath’i dan Zhonniy dalam Al-Qur’an dengan
ijtihad ekonomi Islam
3. Untuk mengetahui dalil-dalil yang diperselisihkan keabsahannya

2
Ibid., h. 10.
3

4. Untuk mengetahui ayat dan Hadist ekonomi

D. Metode Penelitian
Penulisan makalah ini menggunakan metode
literatur kajian pustaka library research terhadap
buku-buku yang berhubungan dengan tema
makalah yang dibuat, dan juga bersumber dari
jurnal, artikel, dan e-book yang berkaitan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Qur’an dan Hadist sebagai Sumber Hukum Ekonomi Islam
Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT. yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.
secara mutawatir melalui malaikat Jibril dari
mulai surat Al-Fatihah diakhiri surat An-Nas dan
membacanya merupakan ibadah. Al-Qur’an
merupakan dasar hukum ekonomi Islam yang
abadi dan asli, dan merupakan sumber serta
rujukan yang pertama bagi syari'at Islam, karena
di dalamnya terdapat kaidah-kaidah yang bersifat
global beserta rinciannya.3 Sebagaimana firman
Allah surat an-Nisa [4] ayat 80:

‫َمْن ُّيِط ِع الَّر ُسْو َل َفَق ْد َاَطاَع الّٰل َهۚ َو َمْن َتَو ّٰلى‬

‫َفَم ٓا َاْرَس ْلٰن َك َعَلْيِه ْم َح ِف ْيًظا‬


Artinya: “Barang siapa mentaati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah mentaati Allah”.
Ayat di atas menyatakan bahwa al-Qur'an
menjelaskan hukum-hukum syara’ itu secara
keseluruhan, karena penjelasan-penjelasan as-
Sunnah berasal dari Al-Qur'an. Al-Qur'an sebagai
sumber pokok bagi semua hukum Islam telah
menjelaskan dasar-dasar hukum, seperti
memerintahkan kepada manusia agar memenuhi
janji (perikatan) dan menegaskan halalnya jual
beli beserta haramnya riba.4
Banyak ayat menyebutkan berbagai
3
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Alih Bahasa Saefullah Ma’sum, dkk (Jakarta: PT.
Pustaka Firdaus, 1994), h,121.
4
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bukan Bintang, 1986), h.
57.

3
macam kebutuhan hidup manusia, baik yang
primer (basic needs) maupun yang sekunder.
Seperti kebutuhan pangan, yang diindikasikan
dengan menyebutkan pemberian rizki Allah
berupa buah-buahan, binatang ternak, ikan laut,
air susu, kebutuhan pakaian dan perumahan.
Semua itu merupakan kebutuhan manusia berupa
sandang, pangan dan papan.
Al-Qur'an tidak saja mengatur hubungan
antara manusia dengan sesamanya, akan tetapi
mengatur pula hubungan antara penciptanya. Al-
Qur'an juga bertujuan untuk menciptakan
keseimbangan antara hubungan kehidupan

4
4

spiritual dan material. Dan memerintahkan kepada


manusia agar percaya pada hari kebangkitan
kembali, hari kiamat dan ganjaran atau hukuman.
Jadi Al-Qur'an tidak hanya merincikan
tentang pentingnya menyusun dan memelihara
hubungan erat dengan Tuhan tetapi juga
menjelaskan semua yang mungkin diperlukan
untuk memenuhi kehidupan sosial yang lengkap.
Al-Qur'an tampil sebagai dokumen yang sejak
awal mulanya hingga terakhir berusaha memberi
penekanan pada semua ketegangan moral yang
perlu bagi perbuatan manusia kreatif. Pusat
perhatian Al-Qur'an adalah manusia dan
perbaikannya. Untuk itu sangatlah penting bagi
sesorang untuk bekerja dalam kerangka
ketegangan-ketegangan tertentu yang sebenarnya
telah terciptakan Tuhan dalam dirinya.
As- Sunnah atau sering disebut juga al-
Hadits mempunyai arti yang sama, yaitu segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW.baik berupa ucapan, perbuatan
maupun takrirnya. Kalaupun ada perbedaan sangat
tipis sekali, as-Sunnah yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. saja,
sedang Al-Hadits disandarkan bukan saja kepada
Nabi Muhammad SAW. akan tetapi kepada para
sahabat Nabi. As-Sunnah merupakan sumber
hukum yang kedua setelah Al-Qur'an, dasar pokok
as-Sunnah sebagai sumber hukum5, sebagaimana
firman Allah surat an-Nisa [4] ayat 59:

5
Hasbi As-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),
h. 25.
5

..... ‫ٰٓيَاُّيَه ا اَّلِذ ْيَن ٰاَمُنْٓو ا َاِط ْيُعوا الّٰل َه َو َاِط ْيُعوا‬

‫الَّر ُسْو َل‬


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul-Nya”.
Kedudukan as-Sunnah terhadap Al-Qur'an,
sebagaimana dirumuskan dalam tiga hal, yaitu:6
1. Sunnah berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham, merinci ayat
yang mujmal.
2. Sunnah menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan
pokoknya telah ditetapkan dengan nash al-Qur'an. Seperti sunnah
datang dengan membawa hukum-hukum tambahan yang
menyempurnakan ketentuan pokok tersebut.
3. Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam
Al-Qur'an.
Seperti dalam masalah mu’amalat, yaitu
al-Qur'an memerintahkan untuk memenuhi janji
(perikatan). Hal ini perikatan mana yang sah dan
yang halal serta perikatan yang haram dan yang
tidak harus dipenuhi, disini as-Sunnah berperan
untuk menjelaskannya.

B. Qath’i dan Zhonniy dalam Al-Qur’an kaitannya dengan ijtihad ekonomi


Islam
Seluruh ayat Al Quran itu adalah qathi'
(pasti) dari pihak da- tangnya, tetapnya dan
nukilannya itu dari Rasulullah kepada kita.
Artinya kita dapat memastikan dan memutuskan
bahwa setiap nash Al Quran yang dibacakan orang
itu, nashnya itu sendiri yang diturunkan Allah
kepada Rasulnya. Oleh Rasul yang ma'shum itu
6
Ibid., Zahrah, Ushul Fiqh, Alih Bahasa Saefullah Ma’sum, dkk, h. 161.
6

disampaikan kepada umatnya. Tanpa doa


perubahan dan tidak pernah bertukar letak. Rasul
itu adalah ma'sum (suci dari dosa). Apabila ada
surat diturunkan kepadanya baik satu atau
beberapa ayat lalu disampaikannya kepada
sahabat-sahabatnya. Dibacakannya kepada mereka
itu, lalu dituliskan oleh penulis-penulis wahyu.7
Berjuta-juta jumlah orang Islam menempati
benua yang berbeda-beda selama empat belas
abad, membaca Al Quran itu bagus. Tidak
berbeda pribadi dari pribadi, bangsa dari bangsa.
Tidak menambah dan tidak mengurangi. Tidak
berubah dan bertukar-tukar atau susunannya
diteliti kembali. Benarlah janji Allah yang
berbunyi: Kami yang menurunkan Al Quran itu
dan Kami pula yang memeliharanya. Adapun
nash-nash Al Quran itu, bila ditinjau dari pihak
menunjukan apa yang dikandungnya itu
merupakan hukum maka dapat dibagi atas dua
bagian yaitu:8
- Nash Qathi.
- Nash dzan.
Nash qathi' yaitu dalil yang menunjukkan arti
yang dapat difahami dengan jelas. Tidak
mengandung ta'wil dan tidak ada lapangan untuk
memahamkan artinya itu selain dari itu.9
Al-Qur’an yang diturunkan secara
mutawattir, dari segi turunnya berkualitas qath’i
(pasti benar). Akan tetapi, hukum-hukum yang
dikandung Al-Quran adakalanya bersifat qath'i

7
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 33.
8
Ibid., h. 34.
9
Ibid., h. 35.
7

dan adakalanya bersifa zhanni (relatif benar).


Ayat yang bersifat qath'i adalah lafal-lafal
yang mengandung pengertian tunggal dan tidak
bisa dipahami makna lain darinya. Ayat-ayat
seperti ini, misalnya, ayat-ayat waris, hudud dan
kaffarat. Contohnya, firman Allah dalam surat
An-Nisa' ayat 11:10

‫ُيْو ِص ْيُك ُم الّٰل ُه ِفْٓي َاْو اَل ِد ُك ْم ِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُاْلْنَثَيْيِن ۚ َفِاْن ُكَّن ِنَس ۤاًء َفْو ق اْثَنَتْيِن‬
‫ِح ٍد‬ ‫ِه ِل‬ ‫ِح‬ ‫ِا‬
‫َفَلُه َّن ُثُلَثا َما َتَر َك ۚ َو ْن َك اَنْت َو ا َد ًة َفَلَه ا الِّنْص ُف ۗ َو َاِلَبَو ْي ُك ِّل َو ا ِّم ْنُه َم ا الُّس ُد ُس‬
‫َ ِم َّم ا َتَر َك ِاْن َك اَن َله َو َلٌد‬
Artinya: "Allah mensyariatkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak- anakmu. Yaitu,
bagian seorang anak lelaki sama dengan dua
bagian anak perempuan, dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua orang, maka
bagi mereka dua per tiga dari harta yang
ditinggalkan, dan jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh separuh harta." (QS.
An-Nisa': 11).

Contoh lain adalah surat An-Nur ayat 2:

... ‫َالَّز اِنَيُة َو الَّز اِنْي َفاْج ِلُد ْو ا ُك َّل َو اِح ٍد ِّمْنُه َم ا ِم اَئَة َج ْلَد ٍة‬
Artinya "Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari
keduanya seratus kali dera...“ (QS. An-Nur: 2).
Dalam kaffarah sumpah Allah berfirman:

... ‫َفَمْن َّلْم َيِج ْد َفِص َياُم َثٰل َثِة َاَّيام‬...


Artinya:..... maka berpuasa selama tiga hari ......
(QS. Al-Maidah: 89).11
Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat di
atas, bagian waris, seratus kali dera bagi orang
yang melakukan zina, dan puasa tiga hari untuk
10
Khairul Uman, Ushul Fiqih 1 (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 52.
11
Ibid., h. 53.
8

kaffarat sumpah, menurut para ulama ushul fiqih


mengandung hukum yang qath'i dan tidak bisa
dipahami dengan pengertian lain. Adapun ayat-
ayat yang mengandung hukum zhanni adalah
lafal-lafal yang dalam Al-Quran mengandung
pengertian lebih dari satu dan memungkinkan
untuk ditakwilkan. Misalnya, lafal musytarak
(mengandung pengertian ganda) yaitu kata quru'
yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 228.
Kata quru' merupakan lafal musytarak yang
mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh
sebab itu, apabila kata quru' diartikan dengan suci,
sebagaimana yang dianut ulama Syafi'iyah adalah
boleh (benar), dan jika diartikan dengan haid juga
boleh (benar) sebagaimana yang dianut ulama
Hanafiyah
Contoh lain adalah firman Allah dalam
surat Al-Maidah ayat 38:
‫ِك‬ ‫ّٰل ِه ّٰل‬ ‫ًۢء ِب‬ ‫ِد‬
‫َو الَّس اِر ُق َو الَّس اِر َقُة َفاْقَطُعْٓو ا َاْي َيُه َم ا َجَز ۤا َم ا َك َس َبا َنَك ااًل ِّم َن ال ۗ َو ال ُه َعِز ْيٌز َح ْيٌم‬

Artinya: "Laki-laki yang mencuri dan perempuan


yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan (QS. Al-Maidah: 38).
Kata tangan dalam ayat ini mengandung
kemungkinan yang dimaksudkan adalah tangan
kanan atau tangan kiri, di samping juga
mengandung kemungkinan tangan itu hanya
sampai pergelangan saja atau sampai siku.
Penjelasan untuk yang dimaksud dengan
tangan ini ditentukan dalam hadis Rasulullah
SAW Kekuatan hukum kata-kata yang seperti
9

quru dalam ayat pertama dan tangan pada ayat


kedua, menurut para ulama ushul fiqih bersifat
zhanni (relatif benar). Oleh sebab itu, para
mujtahid boleh memilih pengertian yang terkuat
menurut pandangannya serta yang didukung oleh
dalil lain.12
Al-Quran sebagai sumber utama hukum
Islam menjelaskan hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya dengan cara:
1. Penjelasan rinci (juz'i) terhadap sebagian hukum-hukum yang
dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan masalah akidah, hukum
waris, hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana hudud, dan
kaffarat Hukum-hukum yang rinci ini, menurut para ahli ushul fiqih
disebut sebagai hukum ta'abbudi yang tidak bisa dimasuki oleh logika.
2. Penjelasan Al-Quran terhadap sebagian besar hukum-hukum itu bersifat
global (kulli), umum, dan mutlak, seperti dalam masalah shalat yang
tidak dirinci berapa kali sehari dikerjakan, berapa rakaat untuk satu kali
shalat, apa rukun dan syaratnya. Demikian juga dalam masalah zakat,
tidak dijelaskan secara rinci benda- benda yang wajib dizakatkan,
berapa nisab zakat, dan berapa kadar yang harus dizakatkan. Untuk
hukum-hukum yang

‫ِباْلَبِّيٰن ِت َو الُّز ُبِۗر‬

‫ِا‬
‫َو َاْنَز ْلَنٓا َلْيَك الِّذ ْك َر‬
‫ِلُتَبِّيَن ِللَّناِس َم ا ُنِّز َل‬
‫ِا‬
‫َلْيِه ْم َو َلَعَّلُه ْم‬

‫َيَتَف َّك ُر ْو َن‬


Artinya "Dan Kami turunkan kepada engkau

12
Ibid., h. 54.
10

(Muhammad) Al-Quran agar dapat engkau


jelaskan kepada mereka apa-apa yang diturunkan
Allah pada mereka... (QS. An-Nahl: 44).13
Hikmah yang terkandung dalam hal
terbatasnya hukum-hukum rinci yang diturunkan
Allah melalui Al-Quran, menurut para ahli ushul
fiqih adalah agar hukum-hukum global dan umum
tersebut dapat mengakomodasi perkembangan dan
kemajuan umat manusia di tempat dan zaman
yang berbeda, sehingga kemaslahatan umat
manusia senantiasa terayomi oleh Al-Quran.
Persoalan yang muncul dalam kaitannya
dengan keterbatasan ayat- ayat Al-Quran yang
bersifat rinci dan global itu adalah terjadinya
pertentangan antara pernyataan Al Quran yang
menyebutnya sebagai syariat yang telah sempurna
(QS. Al-Maidah ayat 3, QS An-Nahl ayat 89, dan
QS. Al-An'am ayat 38) dengan kenyataan bahwa
hukum- hukum yang dikandung Al-Quran, baik
yang secara rinci maupun global dan umum.
Dalam hubungan ini, para ulama ushul fiqih
menyatakan bahwa hukum-hukum global dan
umum yang dikandung Al-Quran telah
memberikan kaidah-kaidah, kriteria-kriteria
umum, dan dasar-dasar yang penting dalam
pengembangan hukum Islam karena suata undang-
undang bukan hanya harus bersifat singkat, padat,
tetapi juga fleksibel Apabila Al-Quran
menurunkan seluruh peraturannya secara rinci,
maka menurut para ahli ushul fiqih, justru akan
membuat Al Quran itu bersifat terbatas dan tidak

13
Ibid., h. 55.
11

bisa mengayomi perkembangan dan kemajuan


umal manusia. Oleh sebab itu, kaidah-kaidah dan
kriteria kriteria umum yang diungkapkan Al-
Quran menjadi penting artinya dalam
mengantisipasi perkembangan dan kemajuan umat
manusia di segala tempat dan zaman Berkaitan
dengan hal ini, para ahli ushul figih menyatakan
bahwa kesempurnaan kandungan Al-Quran itu
dapat dirangkum dalam tiga hal berikut:
1. Teks-teks rinci (juz'i) yang dikandung Al-Quran.
2. Teks-teks global (kulli) yang mengandung berbagai kaidah dan kriteria
umum ajaran-ajaran Al-Quran. Dalam hal ini, Al-Quran menyerahkan
sepenuhnya kepada para ulama untuk memahaminya sesuai dengan
tujuan-tujuan yang dikehendaki syara' serta sejalan dengan
kemaslahatan umat manusia di segala tempat dan zaman
3. Memberikan peluang kepada sumber-sumber hukum Islam lainnya
untuk menjawab persoalan kekinian melalui berbagai metode yang
dikembangkan para ulama, seperti melalui Sunah Rasul, ijma', qiyas,
istihsan, maslahah, istishab, 'urf, dan dzari'ah. Semua metode ini telah
diisyaratkan Al-Quran.
Dengan ketiga unsur ini, maka seluruh
permasalahan hukum dapat dijawab dengan
bertitik-tolak kepada hukum rinci dan kaidah-
kaidah umum Al-Quran itu sendiri. Di sinilah,
menurut ulama ushul fiqih, letak kesempurnaan
Al-Quran bagi umat manusia.14

C. Dalil-dalil yang diperselisihkan keabsahannya


Berdasarkan sudut pandang kesepakatan
ulama, klasifikasi sumber hukum fiqh dibedakan
menjadi 3 (tiga) macam yaitu :

14
Ibid., h. 56.
12

a. Sumber hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama, dalam hal ini
adalah Alquran dan Sunah.
b. Sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas (jumhur) ulama, yang
menempati kedudukan ini selain Alquran dan Sunah, adalah ijmak dan
qiyas.
c. Sumber hukum yang menjadi perdepatan para ulama. Yang menempati
kedudukan ini adalah ‘urf (kebiasaan), istish-hab (pemberian hukum
berdasarkan keberadaannya pada masa lampau), istihsan (anggapan
baik tentang suatu), mashlahah mursalah (penetapan hukum
berdasarkan prinsip kemaslahtan bersama). Berikut akan diuraikan
dalil-dalil hukum syarak yang diperselisihkan oleh para ulama.15
1. Istihsan
Istihsan ini telah menjadi perdebatan
serius di antara ulama ushul fiqh. Istihsan
menurut bahasa berarti menganggap
sesuatu itu baik, sedangkan menurut istilah
isitihsan adalah berpalingnya seorang
mujtahid dari penggunaan qiyas yang jaly
(nyata) kepada qiyas yang khafy (samar)
atau dari hukum kulli (umum) kepada
hukum istitsnai (pengecualian) karena ada
dalil yang menurut logika
membenarkannya. Menurut ahli ushul fiqh
yang lain, istihsan adalah satu dalil yang
keluar dari pemikiran seorang mujtahid
yang menetapkan kerajihan qiyas khafy
dari pada qiyas jaly, atau mendahulukan
ketentuan hukum yang khusus (juz’y) dari
ketentuan umum (kully)”. Dengan
demikian istihsan ialah berpaling dari
qiyas khafi atau dari hukum kulli menuju

15
Moh Bahrudin, Ilmu Ushul Fiqh (Lampung: Aura, 2019), h. 62.
13

yang dikecualikan karena ada dalil yang


lebih kuat.16
Sebagai contoh istihsan ialah, bahwa
secara prinsip hokum sysarak melarang
mengadakan perikatan dan
memperjualbelikan barang-barang yang
belum ada pada saat perikatan terjadi.
Tetapi kemudian syarak memberikan
rukhshah, diperkenankan menjalankan
salam, yaitu jual beli dengan cara
pembayaran terlebih dahulu (DP),
sedangkan barangnya dikirim kemudian.
Demikian pula hokum syarak
memperbolehkan istishna’, yakni memesan
untuk dibuatkan sesuatu atau jeal beli
indent.
2. Istish-hab
Pengertian istish-hab menurut bahasa
ialah membawa atau menemani. Al-
Asnawy (w. 772H) berpendapat bahwa
pengertian istish-hab adalah penetapan
(keberlakukan) hukum terhadap suatu
perkara di masa berikutnya atas dasar
bahwa hukum itu telah berlaku
sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal
yang mengharuskan terjadinya perubahan
atas hukum tersebut. Atau menetapkan
suatu hukum sebelumnya, sehingga
hukumyang baru merubahnya.17
Istish-hab pada dasarnya bukanlah
untuk menetapkan suatu hkum yang
16
Ibid., h. 63.
17
Ibid., h. 64.
14

barumelainkan untuk melanjutkan


berlakunya hokum yang telah ada
sebelumnya. Dengan kata lain, istish-hab
merupakan akhir dalil syar’i yang menjadi
tempat kembali seorang mujtahid untuk
mengetahui hukum sesuatu yang
dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu,
maka para ahli ilmu ushul fiqh
berpendapat bahwa sesungguhnya
istishhab merupakan jalan terakhir rujukan
fatwa. Ia adalah pemberlakuan hukum atas
sesuatu dengan hukum yang telah ada
sebelumnya, sepanjang tidak ada dalil
yang merubahnya. Sebagai contoh adalah
status hukum oang yang mafqud, yakni
orang yang bepergian dalam jangka waktu
yang lama, tanpa ada kabar dan berita,
tanpa diketahui rimbanya. Dengan
menggunakan dalil istish-hab, maka si
mafqud harus dianggap masih hidup,
memberlakukan hukum yang telah ada, di
mana sewaktu pergi si mafqud masih
hdiup dan hingga terakhir waktu tidak ada
bukti yang sah dan meyakinkan tentang
meninggalnya si mafqud tersebut.
Ketetapan hokum yang demikian semata-
mata untuk menolak status kematiannya
dengan segala konsekuensi hukum yang
menyertainya, seperti membagi waris harta
benda miliknya, diputus perjanjian sewa
menyewanya atau diputus cerai isterinya.18

18
Ibid., h. 66.
15

3. ‘Urf
‘Urf menurut bahasa berarti
mengetahui, kemudian dipakai dalam arti
sesuatu yang yang diketahui, dikenal,
diangap baik dan diterima oleh pikiran
yang sehat. Sedangkan menurut ulama
ushul fiqh, ‘urf adalah sesuatu yang yang
telah dibiasakan oleh manusia, secara terus
menerus dikerjakan dalam jangka waktu
yang lama, atau ada perkataan atau istilah
yang disepakati memiliki pengertian
khusus dan tidak terdengar asing bagi
mereka.19
Kehujjahan ’urf , di mana para ulama
berpendapat bahwa ‘urf yang shahih saja
yang dapat dijadikan dasar pertimbangan
mujtahid maupun para hakim untuk
menetapkan hukum atau keputusan. Ulama
Malikiyah banyak menetapkan hukum
berdasarkan perbuatan-perbautan
penduduk Madinah. Berarti menganggap
apa yang terdapat dalam masyarakat dapat
dijadikan sumber hukum dengan ketentuan
tidak bertentangan dengan syarak. Imam
al-Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan
qaul jadidnya, karena melihat pratik yang
belaku pada masyarakat Baghdad dan
Mesir yang berlainan. Sedangkan ‘urf fasid
tidak dapat diterima , hal itu jelas karena
bertentangan dengan nash maupun
ketentuan umum nash.

19
Ibid., h. 67.
16

4. Mashlahah Mursalah
Mashlahah mursalah terdiri dari dua
kata yaitu mashlahat dan mursalah.
Pengertian mashlahah secara etimologi
adalah upaya mengambil manfaat dan
menghilangkan mafsadat/madharat. Dari
sini dapat dipahami, bahwa mashlahah
mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat (
‫ابي‬OO‫ ) إج‬dan menjauhkan madharat (‫لبي‬OO‫س‬
)Terkadang mashlahah ini ditinjau dari
aspek ijab-nya sajadan menjadi qorinah
menghilangkan mafsadat. Seperti pendapat
fuqaha bahwasanya “ menghilangkan
mafsadat didahulukan dalam menegakan
maslahat”20
Mengenai kehujahan mashalih al-
mursalah, mayoritas ulama berpendapat,
bahwasannya mashlahah mursalah adalah
hujjah syar’iyyah yang dapat dijadikan
sebagai dasar pembentukan hukum, dan
bahwasannya kejadian yang tidak ada
hukumnya dalam nash atau ijmak atau
qiyas, ataupun isthisan, disayriatkan
kepadanya hukum yang dikehendaki oleh
kemaslahatan umum. Pembentukan hukum
atas dasar kemaslahatan ini tidak boleh
ditangguhkan sampai ada bukti pengakuan
dari syarak”.Akan tetapi ada juga ulama
yang menolak mengenai kehujahan
mashlahah mursalahdi antaranya adalah
ulama Zhahiriyah, Syiah, Syafi’iyah dan

20
Ibid., h. 68.
17

Ibnu Hajib dari kalangan Malikiyah dan


mereka berpendapat bahwa mashlahah
mursalah tidak memiliki bukti syar’i yang
membuktikan terhadap pengakuan syarak
terhadapnya maupun pembatalannya, dan
oleh karena itu tidak dapat dijadikan
sebagai dasar pembentukan hukum.21
Adapun terhadap kehujahan
mashlahah al-mursalah, pada prinsipnya
jumhur ulama menerimanya sebagai salah
satu alasan dalam menetapkan hukum
syarak, sekalipun dalam penerapan dan
penempatan syaratnya, mereka berbeda
pendapat. Ulama Hanafiyyah mengatakan
bahwa untuk menjadikan mashlahah al-
mursalah sebagai dalil disyaratkan
mashlahah tersebut berpengaruh pada
hukum. Artinya, ada ayat, hadis atau ijmak
yang menunjukkan bahwa sifat yang
dianggap sebagai kemaslahatan itu
merupakan ‘illat (motif hukum) dalam
penetapan suatu hukum, atau jenis sifat
yang menjadi motivasi hukum tersebut
dipergunakan oleh nash sebagai motif
suatu hukum. Ulama Malikiyah dan
Hanabilah menerima mashlahah mursalah
sebagi dalil dalam menetapkan hukum,
bahkan mereka dianggap sebagai ulama
fiqh yang paling banyak dan luas
menerapkannya.
5. Syar’u Man Qablana

21
Ibid., h. 69.
18

Syar’u man qablana adalah syariat


yang dibawa para Rasul terdahulu,
sebelum diutus nabi Muhammad saw. yang
menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti
syariat nabi Ibrahim AS, syariat nabi Musa
AS , syariat nabi Daud AS, syariat nabi Isa
AS dan lain sebaginya. Pada syariat yang
diperuntukkan oleh Allah swt. bagi umat-
umat terdahulu, mempunyai asas yang
sama dengan syariat yang diperuntukkan
bagi umat Muhammad saw. sebagaimana
dinyatakan pada firman Allah Swt.22

‫َش َر َع َلُك ْم ِّم َن الِّد ْيِن َم ا َو ّٰص ى ِبه ُنْو ًح ا َّو اَّلِذ ْٓي‬
‫َاْو َح ْيَنٓا ِاَلْيَك َو َم ا َو َّصْيَنا ِبٓه ِاْبٰر ِه ْيَم َو ُمْو ٰس ى‬
‫َو ِع ْيٰٓس ى َاْن َاِقْيُم وا الِّد ْيَن َو اَل َتَتَفَّر ُقْو ا ِفْيِۗه‬
Artinya : “Dia telah mensyariatkan
bagi kamu tentang apa yang telah
diwasiatkan Nya kepada Nuh dan apa telah
kami wahyukan kepadamu dan apa yang
telah kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. (QS.Al-syura[42]:13).

Adapun pendapat golongan lain,


menurut mereka dengan adanya syariat
Nabi Muhammad saw., maka syariat
sebelumnya dinyatakan mansukh atau
tidak berlaku lagi hukumannya. Mengenai
bentuk kedua , para ulama tidak
menjadikannya sebagai dasar hujjah,
sedang untuk pertama ulama yang
menjadikannya sebagai hujjah, selama
tidak bertentangan dengan syariat Nabi
22
Ibid., h. 70.
19

Muhammad saw.
6. Sadd al-dzari’ah
Sadd al-dzari’ah terdiri atas dua
perkara yaitu sadd dan dzari’ah. Sadd
berarti penghalang, hambatan atau
sumbatan, sedang dzari’ah berarti jalan
atau perantara. Maksudnya, menghambat
atau mengahalangi atau menyumbat semua
jalan yang menuju kepada kerusakan atau
maksiat.23
Tujuan penetapan hukum syarak
secara sad al-dzari’ah ialah untuk
memudahkan tercapainya kemaslahatan
atau jauhnya kemungkinan terjadinya
kerusakan atau terhindarnya diri dari
kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini
sesuai dengan tujuan umum syariat
menetapkan perintah-perintah, baik yang
dapat dilaksanakan secara langsung dan
ada pula yang tidak dapat dilaksanakan
secara langsung, semua perlu ada hal yang
dikerjaka sebelumnya.24
7. Qaul shahaby
Ketika Rasulullah saw. masih hidup,
seluruh persoalan hukum yang muncul
atau timbul dalam masyarakat langsung
ditanyakan para sahabat kepada Rasul dan
Rasulullah memberikan jawaban dan
penyelesainnya. Namun setelah Rasulullah
saw. meninggal dunia, maka para sahabat
yang tergolong ahli dalam mengistinbatkan
23
Ibid., h. 72.
24
Ibid., h. 73.
20

hukum, telah berusaha dengn sungguh-


sungguh untuk memecahkan persoalan
tersebut, sehingga kaum muslimin dapat
beramal sesuai denganm fatwa-fatwa
sahabat itu. Selanjutnya fatwa-fatwa
sahabat ini diriwayatkan oleh tabi’in,
tabi’it-tabi’in dan orang-orang yang
sesudahnya seperti para perawi hadis.
Pendapat ulama mengenai qaul sahabi
dapat dijelaskan bahwa ada 2 (dua) macam
pendapat sahabat yang dapat dijadikan
hujjah, yaitu :25
a. Pendapat sahabat yang diduga keras
bahwa pendapat tersebut sebenarnya
berasal dari Rasulullah saw., karena
pikiran tidak atau belum dapat
menjangkaunya,
b. Pendapat sahabat yang tidak ada
sahabat lain yang menentangnya
seperti pendapat tentang bahwa
nenek mendapat seperenam (1/6)
harta waris, yang dikemukakan oleh
Abu Bakar dan tidak ada sahabat lain
yang tidak sependapat dengannya.
Pendapat yang tidak disetujui oleh
sahabat yang lain tidak dapat dijadikan
hujjah, pendapat ini dianut oleh golongan
Hanafiah, Malikiyah, Hanabilah dan
sebagian Syafi’iyah dan didahulukan dari
qiyas. Bahkan Ahmad bin Hanbal
mendahulukan qaul sahabi dari hadis

25
Ibid., h. 75.
21

mursal dan hadis dha’if. Al-Syaukani


menganggap pendapat sahabat itu seperti
pendapat para mujtahid yang lain, tidak
wajib umat Islam mengikutinya.26

D. Ayat dan Hadist Ekonomi


a. Ayat Al-Qur’an
1. Tukar Menukar
a) Jual Beli
 Perintah mencari nafkah : QS. Al-
Baqarah(2) Ayat 28227
 Perdagangan di darat QS. Al-
Fiil(106) Ayat 228
 Perdagangan di laut QS. Al-
Baqarah(2) Ayat 16429
 Etika jual beli QS. Al-An’Am(6)
Ayat 152, QS. As-Syu’ara(26) Ayat
181-18330
 Riba QS. Al-Baqarah(2) Ayat 275
dan 278
 Sewa menyewa QS. Al-Qashash(28)
Ayat 27, QS. Al-Kahfi(18) Ayat 94
 Utang pinjaman QS. Al-Baqarah(2)
Ayat 280 dan 282, QS. As-Syura(42)
Ayat 4131
2. Sumbangan32
 Wasiat QS. Al-Baqarah(2) Ayat 180

26
Ibid., h. 76.
27
Mardani, Ayat-Ayat Dan Hadis Ekonomi Syariah (Depok: Rajagrafinfo Persada, 2022),
h. 2.
28
Ibid., h. 3.
29
Ibid., h. 6.
30
Ibid., h. 10-11.
31
Ibid., h. 12-33.
32
Ibid., h. 34.
22

 Sedekah QS. Al-Baqarah(2) Ayat


195, 254, dan 266
3. Pembebasan QS. Al-Baqarah(2) Ayat
220, QS. An-Nisa’(4) Ayat 333
4. Pembatasan QS. An-Nisa’(4) Ayat 5 dan
634
5. Pengukuhan35
 Gadai(Borg) QS. Al-Baqarah(2) Ayat
283
 Kafalah QS. Yusuf(12) Ayat 72
6. Ganti rugi QS-An-Nisa’(4) Ayat 3036
7. Wakalah (Perwakilan) QS. Al-Kahfi(18)
Ayat 1937
8. Wadi’ah (Barang titipan) QS. Al-
Imran(3) Ayat 7538
9. Bekerja QS. Al-Jumur’ah(62) Ayat 10
b. Hadits
1. Jual Beli

‫َعْن َرُسْو ِل اِهلل َص لّى اُهلل َعلْيه َو َس َّلَم َأَّنه َقاَل‬


‫ِإَذا َتَباَيَع الَّر ُج َالِن ِم ْنُه َم ا ِباْلِخ َياِر َم اَلْم َيَتَفَّر َقا‬
‫َو َك اَنا َج ِم ْيًعا َأو ُيَخ ِّيُر َأَح ُد ُه َم ا اآلَخ َر َفَتَباَيَعا‬
‫َعَلى َذِلَك َفَق ْد َو َج َب اْلَبْيع َو ِإْن َتَفَّر َقا َبْع د‬
‫َأْن َيَتَباَيَع اَو َلْم َيْتُر ك َو اِح ٌد ِم ْنُه َم ا اْلَبْيَع َفَق ْد‬
‫َو َج َب اْلَبْيُع‬
Artinya: Dari Abdullah bin Umar ra, dari
Rasukullah SAW. , beliau bersabda,
“Jika ada dua orang saling berjual beli,
33
Ibid., h. 73.
34
Ibid., h. 78.
35
Ibid., h. 81-82.
36
Ibid., h. 82.
37
Ibid., h. 83.
38
Ibid., h, 85.
23

maka masing-masing di antara keduanya


mempunyai hak pilih selagi keduanya
belum berpisah, dan keduanya sama-
sama mempunyai hak, atau salah seorang
di antara keduanya memberi pilihan
kepada yang lain”. Beliau bersabda, “Jika
salah seorang di antara keduanya
memberi pilihan kepada yang lain, lalu
keduanyamenetapkan jual beli atas dasar
pilihan itu, maka jual beli menjadi
wajib”. (HR. Bukhari-Muslim) 39
2. Salam

‫َعْن َعْبِد الَّلِه ْبِن َعَّباس َقاَل َقِد َم الَّنِبُّي َص َّلى‬


‫الَّله َعَلْيِه َو َس َّلَم اْلَم ِد يَنَة َو ُه ْم ُيْس ِلُف ْو َن ِفى‬
‫ِق‬
‫ال مار الَّس َنَة َو الَّس نتين والثالث َفَق اَل َمْن‬
‫َأ َل ِفي ِر ْل ِل ِفي َك ٍل ُلوٍم‬
‫ْي َم ْع‬ ‫ْس َف َتْم َف َيْس ُف‬
‫ٍن ُل ٍم ِإَلى َأ ٍل ُل ٍم‬
‫َج َم ْع ْو‬ ‫َو َو ْز َم ْع ْو‬
Artinya: Dari Abdullah bin Abbas ra. ,
dia berkata Rasulullah SAW. tiba di
Madinah, sedang orang-orang bisa
melakukan salaf dalam buah-buahan
selama setahun, dua tahun dan tiga tahun.
Makabeliau bersabda, “Siapa melakukan
salaf dalam sesuatu, maka hendaklah dia
melakukan dengan timbangan tertentu,
takaran tertentu dam sampai waktu
tertentu”. (HR. Bukhari-Muslim) 40
3. Rahn (Gadai)

‫َعْن َعاِئَش َة َر ِض َي الَّلُه َعْنَه ا َأَّن الَّنِبُّي َص َّلى‬


‫الَّلُه َعَلْيِه َو َس َّلَم اْش َتَر ى َطَعاًم ا ِم ْن َيُه وِد ي‬
‫ِإَلى َأ ٍل َهَنُه ِد ًعا ِم ِد يٍد‬
‫ْر ْن َح‬ ‫َج َو َر‬
Artinya: Dari Aisyah ra., bahwa
Rasulullah SAW., pernah membeli bahan
makanan dari seorang Yahudi dan beliau
menggadaikan baju perang dari besi”.

39
Ibid., h. 103-104.
40
Ibid., h. 130.
24

(HR. Bukhari-Muslim) 41
4. Hawalah
‫َة ِض الَّلُه َعْنُه َأَّن وَل الَّلِه‬ ‫ِب‬
‫َرُس‬ ‫َعْن َأ ي ُه َر ْيَر َر َي‬
‫ِن‬ ‫ِه‬
‫َص َّلى الَّله َعَلْي َو َس َّلَم َقاَل َم ْطُل اْلَغ ِّي ُظْلٌم‬
‫ِل‬
‫َفِإ َذا َأْتَبَع َأَح ُد ُك ْم َعَلى َم ٍّي َفْلَيْتَبْع‬
Artinya: Dari Abu Hurairah ra., bahwa
Rasulullah SAW., bersabda, “Penundaan
pembayaran utang oleh orang kaya
adalah kedzaliman. Jika salah seorang di
antara kalian diminta untuk mengalihkan
utang kepada orang kaya, maka
hendaklah dia menerimanya”. (HR.
Bukhari-Muslim) 42
5. Ghasab

‫َعْن َعاِئَش َة َر ِض َي الَّلُه َعْنَه ا َأَّن الَّنِبَّي َص َّلى‬


‫ِق ِش ِم‬ ‫ِه‬
‫الَّلُه َعَلْي َو َس َّلَم َقاَل َمْن َظَلَم يَد ْبٍر َن‬
‫ِض‬ ‫ِم‬
‫اَأْلْر ِض ُطوَقُه ْن َس ْبِع َأَر يَن‬
Artinya: Dari Aisyah ra., bahwa
Rasulullah SAW., bersabda,
“Barangsiapa mendzalimi tanah orang
lain walau seukuran satu jengkal, maka
dia dikalungi dengan tujuh bumi”. (HR.
Bukhari-Muslim) 43

41
Ibid., h. 140.
42
Ibid., h. 142.
43
Ibid., h. 149.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik
sebuah kesimpulan yaitu sebagai berikut
1. Al-Qur'an tidak hanya merincikan
tentang pentingnya menyusun dan
memelihara hubungan erat dengan Tuhan
tetapi juga menjelaskan semua yang mungkin
diperlukan untuk memenuhi kehidupan sosial
yang lengkap. Al-Qur'an tampil sebagai
dokumen yang sejak awal mulanya hingga
terakhir berusaha memberi penekanan pada
semua ketegangan moral yang perlu bagi
perbuatan manusia kreatif. Pusat perhatian
Al-Qur'an adalah manusia dan perbaikannya.
Untuk itu sangatlah penting bagi sesorang
untuk bekerja dalam kerangka ketegangan-
ketegangan tertentu yang sebenarnya telah
terciptakan Tuhan dalam dirinya.
As- Sunnah atau sering disebut juga al-
Hadits mempunyai arti yang sama, yaitu
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW.baik berupa ucapan,
perbuatan maupun takrirnya. Kalaupun ada
perbedaan sangat tipis sekali, as-Sunnah yaitu
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW. saja, sedang Al-Hadits
disandarkan bukan saja kepada Nabi
Muhammad SAW. akan tetapi kepada para
sahabat Nabi. As-Sunnah merupakan sumber
hukum yang kedua setelah Al-Qur'an, dasar

18
pokok as-Sunnah sebagai sumber hukum.
2. Seluruh ayat Al Quran itu adalah
qathi' (pasti) dari pihak da- tangnya, tetapnya
dan nukilannya itu dari Rasulullah kepada
kita. Artinya kita dapat memastikan dan
memutuskan bahwa setiap nash Al Quran
yang dibacakan orang itu, nashnya itu sendiri
yang diturunkan Allah kepada Rasulnya. Oleh
Rasul yang ma'shum itu disampaikan kepada
umatnya. Tanpa doa perubahan dan tidak
pernah bertukar letak. Rasul itu adalah
ma'sum (suci dari dosa). Apabila ada surat
diturunkan kepadanya baik satu atau beberapa
ayat lalu disampaikannya kepada sahabat-
sahabatnya. Dibacakannya kepada mereka itu,
lalu dituliskan oleh penulis-penulis wahyu

19
19

3. Dalil yang diperselisihkan


keabsahannya antara lain dalil yang
bersumber dari Istihsan, Istish-hab, ‘Urf,
Mashlahah-Mursalah, Syar’u Man Qablana,
Sadd al-Dzari’ah. Qaul Shahabi.
4. Ayat dan Hadits yang membahas
mengenai muamalah termasuk ekonomi
syariah cukup banyak dibahas. Beberapa
contohnya ialah pada QS. Al-Baqarah(2)
Ayat 282, QS. Al-Fiil(106) Ayat 2, QS. Al-
Baqarah(2) Ayat 164, QS. Al-An’Am(6) Ayat
152, QS. As-Syu’ara(26) Ayat 181-183.

B. Saran
Sebagai mahasiswa ekonomi syariah
sepatutnya kita mengetahui dasar hukum pada
ekonomi syariah baik itu dari Al-Qur’an maupun
Hadits. Keberadaan sumber ini menjadi acuan kita
sebagai umat muslim dalam bertransaksi ataupun
melaksanakan kegiatan muamalah sehari-hari.
Jika penerapan hukum Islam dapat terlaksana
maka keberlangsungan hidup di dunia dan akhirat
akan menjadi berkah.
DAFTAR PUSTAKA
As-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits. Jakarta: Bulan Bintang,
1991.
Bahrudin, Moh. Ilmu Ushul Fiqh. Lampung: Aura,
2019.
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum
Islam. Jakarta: Bukan Bintang,
1986.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta:
Rineka Cipta, 2005.
Mardani. Ayat-Ayat Dan Hadis Ekonomi Syariah.
Depok: Rajagrafinfo Persada,
2022.
Tarigan, Azhari Akmal. Tafsir Ayat-ayat Ekonomi.
Bandung: Citapustaka Media
Perintis, 2012.
Uman, Khairul. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka
Setia, 1998.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, Alih Bahasa
Saefullah Ma’sum, dkk.
Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994.

Anda mungkin juga menyukai