Disusun oleh:
Desi Arianti 2351020031
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkah dan limpahan rahmatnya kami dapat
menyusun makalah ini dengan judul “SUMBER SUMBER AJARAN HUKUM ISLAM”, tak
lupa shalawat serta salam selalu kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun tujuan
dari penyusunan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah “METODE STUDY
ISLAM”.
Kami menyadari, bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata sempurna baik
segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karna itu, kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca guna menjadi acuan agar bisa menjadi yang
lebih baik lagi dimasa mendatang.
Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk
perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
I.A. LATAR BELAKANG
Sumber hukum dalam agama Islam yang paling utama dan pokok dalam menetapkan hukum
dan memecah masalah dalam mencari suatu jawaban adalah al-Qur’an dan al-Hadis. Sebagai
sumber paling utama dalam Islam, alQur`an merupakan sumber pokok dalam berbagai hukum
Islam. Al-Qur’an sebagai sumber hukum isinya merupakan susunan hukum yang sudah lengkap.
Selain itu juga al-Qur`an memberikan tuntunan bagi manusia mengenai apa-apa yang seharusnya
ia perbuat dan ia tinggalkan dalam kehidupan kesehariannya.
Sedangkan al-Hadis merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Disamping
sebagai sumber ajaran Islam yang secara langsung terkait dengan keharusan mentaati Rasulullah
Saw, juga karena fungsinya sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan al-Qur’an
mujmal, mutlak, amm dan sebagainya.
Al-Qur’an merupakan hidayah Allah yang melengkapi segala aspek kehidupan manusia.
Sumber paling utama dalam Islam adalah al-Qur’an, yang merupakan sumber pokok bagi aqidah,
ibadah, etika, dan hukum. al-Qur’an merupakan sumber primer karena tidak lepas dari apa yang
dikandung oleh alQur’an itu sendiri. Di dalam al-Qur’an sendiri di jelaskan segala sesuatu yang
berkenaan dengan segala kebutuhan manusia demi kelangsungan hidupnya. Meskipun al-Qur’an
itu bukanlah ilmu pengetahuan dan bukan pula ilmu filsafat.
Dalam al-Qur’an Allah Swt. berfirman, “Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Q.S. al-Ma’idah/5:44). Ayat tersebut
mendorong manusia, terutama orang-orang yang beriman agar menjadikan al-Qur’an sebagai
sumber hukum dalam memutuskan suatu perkara, sehingga siapa pun yang tidak menjadikannya
sebagai sumber hukum untuk memutuskan perkara, maka manusia dianggap tidak beriman.
Hukum-hukum Allah Swt. yang tercantum di dalam al-Qur’an sesungguhnya dimaksudkan untuk
kemaslahatan dan kepentingan hidup manusia itu sendiri. Allah Swt. sebagai Pencipta manusia
dan alam semesta Maha Mengetahui terhadap apa yang diperlukan agar manusia hidup damai,
aman, dan sentosa.
1
I.B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
I.C. TUJUAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
1. Pengertian Alquran
Menurut bahasa, kata al-Qur'an adalah bentuk isim masdar dari kata “qaraa” yang berarti
membaca yaitu kata “qur-a-nan” yang berarti yang dibaca. Demikian pendapat Imam Abu Hasan
Ali bin Hazim. Penambahan huruf alif dan lam atau al, pada awal kata menunjuk pada
kekhususan tentang sesuatu yang dibaca, yaitu bacaan yang diyakini sebagai wahyu Allah swt.
Sedang penambahan huruf alif dan nun pada akhir kata menunjuk pada makna suatu bacaan yang
paling sempurna. Kekhususan dan kesempurnaan suatu bacaan tersebut berdasar pada firman
Allah swt. sendiri yang terdapat dalam QS. alQiyamah/75: 17-18 dan QS. Fushshilat/41: 3.
Artinya:”Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab untuk kaum
yang mengetahui”. (QS. Fushshilat/41: 3)
Al-Qur'an adalah firman Allah swt. yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada nabi
dan rasul terakhir dengan perantaraan Jibril a.s.yang tertulis dalam mushaf dan sampai kepada
kita dengan mutawattir (bersambung).
Al-Qur'an adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammmad saw. untuk memberi
hidayah kepada manusia dan menjelaskan mana jalan yang benar dan harus dijalani yang dibawa
oleh Jibril a.s. dengan lafaz dan maknanya.
Al-Qur'an adalah firman Allah swt. yang berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. untuk dipahami dan selalu diingat, disampaikan secara mutawatir
(bersambung), ditulis dalam satu mushaf yang diawali dengn surat al-Fatihah dan diakhiri
dengan surat alNaas.
3
d. Menurut Ulama Ushul
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dan kalau
bukan kalam Allah dan tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. maka tidak dinamakan
al-Qur’an, melainkan Zabur, Taurat, atau Injil. Bukti bahwa al-Qur’an sebagai kalam Allah swt.
adalah kemukjizatan yang terkandung di dalamnya dari struktur bahasa, isyarat-isyarat ilmiah,
dan informasi masa depan yang diungkapkan semua bisa dibuktikan secara ilmiah.
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
dan ulul amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya” (Q.S An-Nisa : 59)
Hal ini diperkuat oleh dialog Nabi dengan Mu’az bin Jabal ketika diutus ke Yaman.
Kebanyakan hukum yang ada dalam al-Qur’an bersifat umum (kulli), tidak membicarakan soal-
soal yang kecil-kecil (juz’i), artinya tidak satu persatu suatu masalah dibicarakan. Karena itu, al-
Qur’an memerlukan penjelasan lebih lanjut dan hadis merupakan penjelasan utama bagi al-
Qur’an. Adapun al-Qur’an hanya memuat pokok-pokok yang meliputi semua persoalan yang
berhubungan dengan urusan dunia dan akhirat. Syari’at Islam telah sempurna dengan turunnya
al-Qur’an. Allah berfirman dalam QS. al-Maidah/5: 3 sebagai berikut:
Artinya:”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku -cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Maidah/5: 3).
Hukum-hukum mengenai salat, zakat, jihad dan urusan-urusan ibadah lainnya yang
terkandung dalam al-Qur’an masih bersifat umum, maka yang menjelaskannya ialah hadis.
Demikian pula untuk urusan muamalat seperti pernikahan, kisas, hudud, dan lain-lain.
Menurut Imam Ghazali, ayat-ayat al-Qur’an yang berisi tentang hukum ada 500 ayat, dan
terbagi kepada dua macam, yaitu: ayat yang bersifat ijmali (global) dan ayat yang bersifat tafsili
(detil). Ayat-ayat alQur’an yang berisi tentang hukum itu disebut dengan ayat al-ahkam. Dasar
bahwa kedudukan al-Qur’an merupakan satu-satunya sumber yang pertama dan paling utama
dalam hukum Islam adalah firman Allah dalam QS. al-Maidah/5: 49.
4
Artinya:"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu". (QS. al-Maidah/5: 49). 1
ُ ياُأيُّهاُالَذِينُُآمنُواُلُُتسألُواُعنُُأشياءُإِنُتُبدُُل ُكمُُت
سؤ ُكم
Artinya:"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-
hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu". (QS. al-Maidah/5:101).
Contoh kasus dalam cara ini adalah pengharaman khamar yang ditetapkan dalam tiga proses:
1
Imam ‘Ali Bin Muhammad Al-amidi, Al-Ihkam Fi Usul al-Ahkam, (Cairo: Dar Al-Hadis, t, th) jilid 1, h. 17.
5
ُانُفاجتنِبُو ُهُُلعلَ ُكمُُتُف ِل ُحون
ُِ لُالشَيط
ُِ ابُواألزل ُُمُ ِرجسُُ ِمنُُعم ُُ ياُأيُّهاُالَذِينُُآمنُواُإِنَماُالخم ُُرُوالميس
ُُ ِرُواألنص
Artinya:"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka, jauhilah perbuatan- perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan". (QS. al-Maidah/5:
90).2
Ketiga macam ibadah tersebut dipandang sebagai pokok dasar Islam, sesudah iman. Hukum-
hukum dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan ibadah bersifat tetap atau tidak
berubah.
Berbagai hukum dan peraturan yang berhubungan dengan masyarakat (muamalah) dapat
dirumuskan melalui pemikiran yang didasarkan pada kemaslahatan dan kemanfaatan yang
merupakan jiwa agama. Atas dasar kemaslahatan dan kemanfaatan ini, hukum-hukum dapat
disesuaikan dengan kondisi tempat dan waktu.
Dalam muqaddimah kitab Fiqih Shalat karya Ibnu Qayyim al-Jauzi (2011), Syekh
Muhammad Syaltut menjelaskan bahwa terdapat dua metode untuk menjelaskan hukum-hukum
yang termaktub di dalam alQur’an. Pertama, mayoritas ayatnya berisi tentang tuntunan perintah
dan larangan yang redaksinya tidak diawali dengan pertanyaan. Bentuknya terkadang diawali
dengan seruan dengan menyebut ciri seperti ciri keimanan. Tujuannya adalah membuat mereka
2
Dr. Wahbah zuhaili, Usul Al-fikih Al-islami, (Damaskus: Dar Al-fikri, 1986) cet.1, h. 415.
6
mendengar seruan itu, lalu mengajak mereka untuk beramal dan menjalankan hukum-hukum
yang telah ditetapkan sebagai konsekuensi dari keimanan. Misalnya, QS. al-Baqarah/2: 178:
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh”. (QS. alBaqarah/2: 178)
Kedua, diawalai dengan pertanyaan. Yaitu ayat-ayat yang diawali dengan pertanyaan
seseorang. Baik itu sebagai jawaban terhadap masalah yang sebelumnya belum pernah dijelaskan
di mana orang-orang membutuhkan penjelasan hukum Allah dan bertanya kepada Rasulullah.
Atau ayat-ayat yang diturunkan sebagai jawaban atas satu masalah yang sebelumnya pernah
dijelaskan, akan tetapi di kalangan manusia terdapat perbedaan pemahaman sehingga dibutuhkan
penjelasan secara detail. Misalnya, QS. al-Baqarah/2: 186:
Dari segi terperinci atau tidaknya ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, Muhammad Abu Zahrah
menjelaskan sebagai berikut:
a) Ibadah
Ayat-ayat hukum mengenai ibadah dikemukakan dalam al-Qur’an dalam bentuk mujmal
(global) tanpa memerinci tata cara melakukannya (kaifiat), seperti perintah shalat, zakat, haji,
puasa. Kewajiban shalat ditegaskan, namun syarat dan rukunnya tidak disinggung sama sekali.
Demikian pula halnya dengan haji, zakat, dan puasa. Dalam hal ini untuk menjelaskannya
dilimpahkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. dengan sunahnya.
b) Kafarat (Denda)
Kafarat adalah semacam denda yang bermakna ibadah, karena merupakan penghapus bagi
sebagian dosa. Ada tiga bentuk kafarat yang disinggung dalam al-Qur’an, yaitu:
7
Kafarat Zihar.
Zihar adalah ucapan seorang suami kepada istrinya: “Engkau bagiku bagaikan punggung
ibuku.” Istri yang sudah di-zihar tidak boleh digauli oleh suaminya kecuali setelah membayar
kafarat, yaitu memerdekakan seorang hamba sahaya, dan jika tidak didapati, makawajib puasa
dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu, maka dengan memberi makan 60 orang miskin.
Kafarat karena melanggar sumpah yaitu memberi makan atau pakaian kepada 10 orang fakir
miskin, atau memerdekakan seorang hamba sahaya, dan jika tidak didapati maka puasa tiga hari.
Kafarat seseorang yang membunuh orang mukmin karena tidak sengaja, di samping wajib
membayar diat (denda), ia juga wajib membayar kafarat dengan memerdekakan seorang hamba
sahaya (budak) yang beriman, dan jika tidak didapati, maka ia berpuasa dua bulan berturut-turut.
Tiga bentuk kafarat di atas secara terperinci dijelaskan dalam al- Qur'an, dan kemungkinan
adanya ijtihad hanya pada segi-segi yang belum dijelaskan dan belum diperinci dalam al-Qur'an
dan sunah.
c) Hukum Muamalat
Dalam bidang ini al-Qur'an hanya menjelaskan prinsip-prinsip dasar, seperti larangan
memakan harta orang lain secara tidak sah dan keharusan adanya rela sama rela, seperti
dijelaskan dalam firman Allah QS. al-Nisa/4: 29.
َُ ُن
ُّللا َُ لُأنُُت ُكونُُتِجارةُُعنُُتراضُُ ِمن ُكمُُولُُتقتُلُواُانفُس ُكمُُ ِإ
ُ َ لُ ِإ ِ يأيُّهاُالَذِينُُآمنُواُلُُتأ ُكلُواُأموال ُكمُُبين ُكمُُ ِبالب
ُِ اط
كانُُبِ ُكمُُر ِحي ًما
Artinya:"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (QS. al-Nisa/4: 29)
d) Hukum Keluarga
Hukum keluarga ini mencakup bidang-bidang rumah tangga dan mawaris. Dalam hal ini al-
Qur'an berbicara relatif lebih terperinci dibandingkan dengan bidang-bidang yang lain. Secara
8
detail al-Qur'an menjelaskan hukum pernikahan. 3 Misalnya, wanita yang haram dinikahi
diungkap dalam QS. al-Nisa/4:23.
ُُتُوأ ُ َمهت ُ ُك ُُمُالَتِيُأرضعن ُكمُِ خُِوبنتُُُاألُخ ُ ُح ِرمتُُعلي ُكمُُأ ُ َم ُهت ُ ُكمُُوبنت ُ ُكمُُوأخوت ُ ُكمُُوعمت ُ ُكمُُو ُخلت ُ ُكمُُوبنتُُُاْل
َُ الرضاع ُِةُوأ ُ َمهتُُُنِسابِ ُكمُُوربَائِبُ ُك ُُمُالَتِيُفِيُ ُح ُجو ُِر ُكمُُ ِمنُُيُسابِ ُك ُُمُالَتِيُدخلتُمُُبِ ِه
ُنُفإِنُُلَمُُت ُكونُوا َ ُُوأخوت ُ ُكمُُ ِمن
َُ ُن
ُّللا َُ ِلُماُقدُُسلفُُإ ُِ لُأبنا ِب ُك ُُمُالَذِينُُ ِمنُُأصال ِب ُكمُُوأنُُتجم ُعواُبينُُاألختي
ُ َ نُ ِإ ُُ ِنُفالُُ ُجناحُُعلي ُكمُُوحالب َُ دخلتُمُُ ِب ِه
وراُر ِحي ًما ً ُكانُُغف
Artinya:" Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmuyang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara- saudara bapakmu yang perempuan; saudara-
saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang laki- laki;
anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu- ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. An-Nisa/4:23)
Nash-nash al-Qur'an seluruhnya bersifat qath'i (pasti) dari segi kehadirannya, ketetapannya,
dan periwayatannya dari Rasulullah saw. kepada kita. Maksudnya, kita memastikan bahwa setiap
nash al-Qur'an yang kita baca itu adalah hakekat nash al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah
kepada Rasul-Nya. Kemudian Rasul yang maksum itu menyampaikannya kepada umatnya tanpa
ada perubahan dan tidak pula ada penggantian. Lantaran maksumnya Rasulullah saw., maka
ketika turun surat atau ayat disampaikannya oleh beliau kepada para sahabat dan dibacakan
untuk ditulis (ada pula yang menulis untuk dirinya sendiri) serta untuk dihafal dan dibaca saat
mendirikan salat. Meraka juga beribadah dengan cara membaca pada setiap saat. Akan tetapi,
hukum-hukum yang dikandung al-Qur'an ada kalanya bersifat qath'i dan ada kalanya bersifat
zanni.
Adapun nash-nash al-Quran itu dari segi dalalahnya terhadap hukum- hukum yang
dikandungnya, maka ia terjadi menjadi dua bagian, yaitu:
Istilah qath'i dan zhanni masing masing terdiri atas dua bagian, yaitu yang menyangkut al-
tsubut (kebenaran sumber) dan al-dalalah (kandungan makna). Tidak terdapat perbedaan
pendapat dikalangan umat Islam menyangkut kebenaran sumber al-Qur'an. Semua bersepakat
3
Imam Muhammad Abu Zahrah, usul Al-fikih, (Cairo: Dar Al- tiba’ah Al-Muhammadiyah) h. 69.
9
meyakini bahwa redaksi ayat-ayat al-Qur'an yang terhimpun dalam mushaf dan dibaca kaum
muslim di seluruh penjuru dunia adalah sama tanpa sedikit perbedaan dengan yang diterima Nabi
Muhammad saw. dari Allah melalui Malaikat Jibril.
Al-Qur'an jelas qath'iy al-tsabut. Hakikatnya merupakan salah satu dari apa yang dikenal
dengan istilah ma'lum min al-din bi al-dharurah (sesuatu yang sudah sangat jelas, aksomatik,
dalam ajaran agama). Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, bahkan diyakini bahwa hal
ini telah memasuki lapangan teologi, artinya pengingkaran qath'i al-tsubutnya al- Qur'an akan
membawa sejumlah konsekuensi teologis. Namun demikian, dari sisi al-dalalah, ayat al-Qur'an
ada yang qath'i dan ada pula yang zanni. Yang menjadi persoalan adalah yang menyangkut
kandungan makna redaksi ayat ayat al-Qur'an ini.
Nash atau ayat yang bersifat qath'i adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal
dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Adapun menurut definisi Prof. Abdul Wahhab
Khallaf dalil qath'i ialah suatu teks yang menunjukkan pada makna tertentu yang dapat dipahami
darinya, tidak ada kemungkinan untuk dita'wilkan, dan tidak ada peluang untuk memahami
makna selain dari makna tekstualnya. Dalil-dalil qath'i dapat dipahami begitu saja dan penolakan
terhadapnya berarti bentuk kekufuran. Misalnya, masalah akidah, seperti keyakinan terhadap
surga dan neraka, serta yaumul hisab, adalah masalah-masalah agama yang tidak dapat dibantah
lagi kepastiannya sehingga kita tidak punya alasan untuk tidak meyakininya. 4 Misalnya, firman
Allah swt. dalam QS. al-Nisa/4: 12:
Ayat ini adalah qath'i dalalahnya bahwa bagian suami (bila ditinggal mati istri) adalah
seperdua atau separuh, tidak bisa lainnya (yakni yang lain dari seperdua) atau dipahami dengan
versi lain. Firman Allah dalam QS. al- Nur/24: 2.
Kata "seratus kali" tidak mengandung kemungkinan takwil atau pemahaman lain. Dengan
demikian, ayat ini bersifat qath'i al-dalalah maksudnya bahwa had zina itu seratus kali dera, tidak
lebih, dan tidak kurang. Sedangkan ayat yang mengandung hukum zanni adalah lafaz-lafaz yang
dalam al-Qur'an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan.
Nash yang zanni dilalahnya yaitu nash yang menunjukkan suatu makna yang dapat ditakwil atau
4
Al-anshory Muhammad Bin Nizhomuddin, Fawatih Al-rohmut, (Beirut: Dar Kutub Al-ilmiyah, 2002) cet. 1.jilid 2
h.3.
10
nash yang mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafaznya musytarak (homonim)
maupun karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah
isyarat-nya, iqtidha-nya dan sebagainya. Misalnya, QS. al-Baqarah/2: 228.
Lafadz quru' dalam bahasa Arab adalah musytarak (satu kata memiliki dua arti atau lebih). Di
dalam ayat tersebut bisa berarti bersih (suci) dan kotor (masa haid) pada nash tersebut
memberitahukan bahwa wanita- wanita yang ditalak harus menunggu tiga kali quru'. Dengan
demikian, akan timbul dua pengertian yaitu tiga kali bersih atau tiga kali kotor. Jadi, adanya
kemungkinan itu, maka ayat tersebut tidak dikatakan qath'i karena itu, dalam hal ini para imam
mujtahid berbeda pendapat tentang masa menunggu (iddah) bagi wanita yang dicerai, ada yang
mengatakan tiga kali bersih dan ada yang mengatakan tiga kali haid. Allah swt. berfirman dalam
QS. al-Maidah/5:3.
سنةُسيئةُفلهُوزرهاُووزرُمنُعملُبها
ُ ُسنُسُنةُُحسنةُُفل ُهُُأج ُرهاُوأج ُُرُمنُُع ِملُُبِهاُومنُسُن
ُ ُُمن
Artinya:" Barangsiapa melakukan sunah (perjalanan, perbuatan) yang biak, maka ia akan
memperoleh pahala (perbuatannya)nya dan pahala orang-orang melakukannya, dan barangsiapa
5
Dr. Muhammad Said Mansur, Al-adillah Al-‘aqliyah wa ‘Alaqotuhu Bi An-naqliyah ‘inda Al-usuliyyin, (Al-
khurthum: Ad-dar As-sudaniyah Lilkutub,2000) cet.1 h.513
11
yang melakukan sunah (perjalanan, perbuatan) yang buruk, maka ia juga akan memperoleh dosa
(perbuatannya) dan dosa orang-orang yang melakukannya. (H.R. Muslim)
Dalam hadis lain dengan redaksi yang berbeda Nabi saw. bersabda.
ُمنُسنُفيُاإلسالمُسنةُحسنةُفلهُأجرهاُوأجرُمنُعملُبهاُبعدهُمنُغيرُأنُينقصُمنُأجورهمُشيءُومن
سنُفيُاإلسالمُسنةُسيئةُفلهُوزرهاُووزرُمنُعملُبها
Artinya:"Barangsiapa melakukan sunah yang biak dalam Islam, maka ia akan memperoleh
pahala (perbuatannya)nya dan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa menguranginya
sedikit pun, dan barangsiapa melakukan sunah yang buruk dalam Islam, maka ia juga akan
memperoleh dosa (perbuatannya) dan dosa orang-orang yang mengikutinya". (H.R. Muslim).
Jadi, secara etimologis, setiap orang yang memulai sesuatu, kemudian hal itu dilakukan oleh
orang-orang sesudahnya, maka orang itu dikatakan. melakukan sunah. Sunah menurut ahli usul
seperti yang dikemukakan oleh al-Amidi adalah apa-apa yang datang dari Rasulullah saw.
berupa dalil-dalil syariat, yang bukan dibaca (maksudnya bukan al-Qur'an) dan bukan mu'jizat.
Sementara menurut ulama fikih, sunah adalah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi saw. dan
hukumnya tidak fardu dan tidak wajib, yakni hukumnya sunah.
Sunah yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah sunah menurut pengertian ulama hadis,
yakni sunah yang menurut mayoritas ulama merupakan sinonim dari hadis, yaitu:
أقوالُالنبيُصلىُهللاُعليهُوسلمُوأفعالهُوتقريراتهُوصفاتهُالخلقيةُوالخلقيةُسواءُكانتُقبلُالبعثةُأمُبعدها
Artinya:"Ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani), atau tingkah laku
Nabi saw., baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya".
2. Macam-macam Sunah
a. Sunah Qauliyah
Sunah Qauliyah adalah bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw., yang berisi berbagai tuntunan dan petunjuk syarak, peristiwa-peristiwa, baik
yang berkenaan dengan aspek akidah, syariah maupun akhlak. Dengan kata lain, sunah qauliyah
yaitu sunah Nabi saw. yang hanya berupa ucapan saja, baik dalam bentuk pernyataan, anjuran,
perintah cegahan maupun larangan. Pada bagian sunah ini cakupan informasinya lebih cenderung
pada persoalan yang berkaitan dengan pembinaan hukum agama atau bisa juga berupa penjelasan
tentang makna-makna yang terkandung dalam ayat al- Qur'an.
Dilihat dari tingkatan, sunah qauliyah menempati urutan pertama yang berarti kualitasnya
lebih tinggi daripada kualitas sunah fi'liyah maupun taqririyah. Contoh sunah qauliyah adalah
hadis tentang doa Nabi Muhammad saw., kepada orang yang mendengar, menghafal, dan
menyampaikan ilmu.
12
ُّللاُُامرأُُس ِمعُُ ِم َماُحدِيثًاُفحفِظ ُهُُحتَىَُ ُُصر
َ لُن ُُ ّللاُُعلي ُِهُوسلَمُُيقُو
َُ ُّللاُِصلَى َُ ُُسول ُ نُثابِتُُقالُُس ِمعتُُُر ُِ عنُُزي ُِدُب
ُلُفِق ُِهُليسُُ ِبف ِقي ُِه)ُروا ُهُُأبود ُاود
ُِ ام
ِ لُفِق ُِهُ ِإلىُمنُُهُوُُأفق ُهُُ ِمن ُهُُو ُربَُُح
ُِ ام
ِ ) يُب ِلغ ُهُُف ُربَُُح
Artinya:"Dari Zaid bin sabit ia berkata, "saya mendengarkan Rasulullah saw, bersabda:
"Semoga Allah memperindah orang yang mendengar hadist dariku lalu menghafal dan
menyampaikannya kepada orang lain, berupa banyak orang yang menyampaikan ilmu kepada
orang yang lebih berilmu, dan berapa banyak pembawa ilmu yang tidak berilmu." (HR. Abu
Dawud).
Termasuk sunah qaualiyah juga adalah hadis yang beliau sabdakan dalam berbagai
kesempatan dengan berbagai maksud. Dari hadis-hadis itu lahirlah hukum syarak. Misalnya,
hadis-hadis beliau berikut ini.
لُضررُولُضرار
Artinya:"Tidak boleh menimpakan bahaya terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain".
(H.R. Ibnu Majah) Hadis Nabi saw. yang lain.
هوُالطهورُماؤهُالحلُميتته
Artinya:"Laut itu airnya menyucikan dan halal bangkainya". (H.R. Bukhari dan Muslim).
b. Sunah Fi'liyyah
Sunah fi'liyah adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
Sunah filiyah juga dapat dipahami sebagai sunah Nabi saw. yang berupa perbuatan Nabi yang
diriwayatkan oleh para sahabat mengenai soal-soal ibadah dan lain-lain seperti melaksanakan
salat, manasik haji, memutuskan suatu perkara berdasarkan saksi dan sumpah, dan sebagainya.
Kualitas sunah fi'liyah menduduki tingkat kedua setelah sunah qauliyah. Salah satu contoh sunah
fi'liyah adalah hadis tentang tata cara salat di atas kendaraan, yaitu:
c. Sunah Taqririyah
Sunah taqririyah adalah sunah yang berupa ketetapan Nabi Muhammad saw. terhadap apa
yang datang atau dilakukan para sahabatnya. Dengan kata lain, sunah taqririyah, yaitu sunah nabi
saw. yang berupa penetapan Nabi saw. terhadap perbuatan para sahabat yang diketahui Nabi
saw., tidak menegurnya, bahkan Nabi saw. cenderung mendiamkannya. Beliau membiarkan
13
suatu perbuatan yang dilakukan para sahabatnya tanpa memberikan penegasan apakah beliau
membenarkan atau menyalahkan. Contoh sunah taqririyah:
Pada suatu hari Nabi Muhammad saw. disuguhi makanan di antaranya daging dab. Beliau
tidak memakannya, sehingga Khalid bin Walid bertanya, "Apakah daging itu haram ya
Rasulullah?" Beliau menjawab: "Tidak, akan tetapi daging itu tidak terdapat di negeri kaumku,
karena itu aku tidak memakannya." Khalid bin Walid berkata, lalu aku pun menarik dan
memakannya sementara Rasulullah saw., melihat ke arahku. Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Sa'id Al-Khudri ra. ia berkata: "Pernah ada dua orang bepergian dalam sebuah
perjalanan jauh dan waktu salat telah tiba, sedang mereka tidak membawa air, lalu mereka
berdua bertayamum dengan debu yang bersih dan melakukan salat. Kemudian keduanya
mendapati air (dan waktu salat masih ada), lalu salah seorang dari keduanya mengulangi salatnya
dengan air wudu dan yang satunya tidak mengulangi. Mereka menemui Rasulullah saw. dan
menceritakan hal itu. Maka beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi salatnya: 'Kamu
sesuai dengan sunah dan salatmu sudah cukup'. Beliau juga berkata kepada yang berwudu dan
mengulangi salatnya: 'Bagimu pahala dua kali' (HR. al-Darimi).6
Pembagian sunah yang banyak diketahui oleh banyak umat Islam terutama yang belajar ilmu
hadis ialah sunah dibagi menjadi sunah qauliyyah, sunah fi'liyyah, dan sunah taqririyyah.
Sementara pembagian sunah ke dalam sunah tasyri 'iyyah dan ghair tasyriiyyah belum banyak
diketahui oleh mayoritas umat Islam, padahal masalah ini tidak kalah penting dari jenis-jenis
sunah yang lain. Secara sederhana, tasyri'iyyah dan ghair tasyri'iyyah adalah pembagian Sunah
qauliyyah dan fi'liyyah. Jadi, ulama membagi ucapan dan perbuatan Nabi menjadi dua; ucapan
atau perbuatan yang mengandung konsekuensi hukum (wajib, sunah, makruh, ataupun haram)
dan ucapan atau perbuatan yang tidak mengandung konsekuensi hukum. Yang pertama disebut
tasyri'iyyah dan yang kedua dinamakan ghair tasyri'iyyah.
Imam al-Haramain dalam hal ini membagi tindakan Nabi menjadi dua macam. Tindakan
pertama adalah tindakan yang mengandung nilai ibadah dan tindakan kedua adalah tindakan
yang tidak mengandung nilai ibadah. Tindakan yang mengandung nilai ibadah pun juga terbagi
menjadi dua, yaitu: tindakan ibadah yang khusus dilakukan oleh Nabi seperti tindakan
melakukan puasa wishal (puasa terus-menerus tanpa sahur dan berbuka) dan menikahi
perempuan lebih dari empat, sehingga perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan oleh umatnya.
6
Sahal Abdul Fattah, ‘itab al-Rosul fi al-Qur’an, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2004), h.43 dan 54.
14
Tindakan ibadah selanjutnya adalah tindakan yang bukan khusus untuk Nabi, sehingga umat
beliau pun bisa melakukan ibadah tersebut.
Pembagian tindakan Nabi saw. menurut Imam al-Haramain tersebut menunjukkan bahwa
tidak semua tindakan Nabi menjadi sumber hukum dan mengikat. Tindakan Nabi yang dimaksud
adalah tindakan Nabi yang merupakan refleksi dari kemanusiaan Nabi. Tindakan inilah yang
kemudian. oleh al-Qardhawi dimasukkan sebagai sunah gairu tasyri'iyah menurut istilah. ulama
kontemporer, meskipun para ulama sebelumnya tidak menamakannya dengan istilah tersebut.
Tokoh yang termasuk memberikan perhatian terhadap penjelasan sunah tasyrï'iyyah dan
ghairu tasyri'iyyah dan memberikan istilah tersebut adalah Syaikh Mahmud Syaltut. Ia mengutip
dari tulisan al-Dahlawi, Rasyid Ridha, dan al-Qarafi serta dari selain mereka.
Adapun yang termasuk sunah tasyriiyyah di antaranya adalah sesuatu yang merupakan bagian
dari syariat, baik yang umum ('amm) maupun yang khusus (khass). Syariat yang umum itu
seperti hal-hal yang disampaikan Nabi saw. dalam kapasitasnya sebagai nabi, seperti
menjelaskan yang mujmal dari al-Qur'an, men-takhshis yang 'aam, memberikan batasan (taqyid)
terhadap yang muthlaq atau menjelaskan urusan ibadah, halal, haram, akidah, akhlak dan yang
berkaitan dengannya. Ini adalah syariat umum yang harus dijalankan sampai hari kiamat. Jika
syariat itu berupa hal yang dilarang, maka harus dijauhi oleh manusia, dan pelarangan tersebut
hanya bergantung (tawaqquf) kepada ilmu dan kemampuan menjangkaunya. Sedangkan syariat
yang khusus adalah syariat yang muncul dari Nabi dalam kapasitas menjadi pemimpin politik
dan pemegang kekuasaan peradilan, maka hukumnya adalah syariat khusus yang tidak dapat
dilakukan setiap orang melainkan orang itu memiliki kapasitas pemimpin politik maupun
pemegang kekuasaan peradilan. Sedangkan yang termasuk sunah gairu tasyriiyah diantaranya
adalah:
- Sesuatu yang merupakan cara memenuhi kebutuhan manusiawi seperti makan, minum,
tidur, berjalan, saling mengunjungi, mendamaikan di antara dua pihak dengan cara-cara
yang umum, memberikan pertolongan, dan tawar-menawar dalam jual beli.
- Sesuatu yang merupakan hasil pengalaman dan kebiasaan pribadi atau sosial, seperti yang
ada dalam urusan-urusan pertanian, medis dan ukuran memanjangkan, dan memendekkan
pakaian.
- Sesuatu yang merupakan aturan di dalam urusan manusia dengan memperkirakan situasi
dan kondisi tertentu, seperti pembagian tentara- tentara sesuai medan cara peperangan,
mengatur pasukan, persembunyian, penyerangan, pelarian, memilih tempat singgah, dan
lain- lain dari hal-hal yang disandarkan kepada petunjuk situasi dan kondisi serta
pengalaman tertentu. Setiap sesuatu yang diambil dari tiga hal pertama tersebut, bukanlah
syariat yang berkaitan dengan tuntutan melakukan atau meninggalkan. Itu hanyalah
15
sebagian dari urusan-urusan manusia yang dilakukan Rasul sebagai manusia, bukan
syariat dan bukan pula sumber syariat. 7
Terkait dengan sunah gairu tasyriiyyah ini, al-Qardhawi tidak menjelaskan secara definitif. la
hanya memberikan uraian bahwa sunah ghairu tasyri'iyah menurut ulama terdahulu dikenal
dengan istilah laisa bi sunah. Artinya, ketika ulama kontemporer menyebut sunah ghairu
tasyri'iyah, hal ini sama halnya istilah laisa bi sunah yang digunakan oleh ulama sebelumnya.
Sedangkan laisa bi sunah berarti sunah yang tidak ditujukan sebagai penetapan hukum dan tidak
harus diikuti. Oleh karena itu, sunah ghairu tasyri'iyah juga diartikan sebagai sunah yang tidak
menjadi sumber hukum dan tidak wajib diikuti.
Diyakini bahwa al-Qur'an adalah wahyu Allah swt. yang disusun langsung redaksinya oleh
Allah swt., sedangkan Malaikat Jibril sekedar penyampai wahyu tersebut kepada Nabi saw. tanpa
ada perubahan sedikitpun. Wahyu tersebut kemudian disampaikan oleh Nabi saw. kepada
umatnya yang terlebih dahulu ditulis oleh sekretaris beliau yang ditugasi khusus menulis dengan
disaksikan oleh beberapa sahabat untuk menjaga kemurnian wahyu Allah swt. tersebut. Selain
ditulis, wahyu tersebut sekaligus dihafal oleh para sahabat yang mempunyai kemampuan hafalan
yang luar biasa dengan restu Nabi saw. kemudian disampaikan secara mutawatir (melalui
sejumlah orang dinilai mustahil mereka berbohong). Atas dasar ini al-Qur'an dinilai qath'iy
(mempunyai nilai ketetapan yang otentik tanpa ada perubahan sedikitpun).
Sunah pada umumnya disampaikan melalui hafalan orang perorang (oleh para sahabat). Hal
ini karena Nabi saw. melarang menuliskannya, kecuali wahyu Allah swt. Oleh sebab itu, bisa
didapati redaksi sunah/hadis yang tampak berbeda satu dengan yang lain walaupun mengandung
7
Bazroh Jamhar, Konsep Maslahat dan Aplikasinya dalam penetapan Hukum Islam,(Semarang: PPs. IAIN
Walisingo,2012), cet. 1, h. 5.
16
makna yang sama. Di samping itu, walaupun para ulama ahli hadis (muhadditsin) ada yang
menulisnya tetapi hafalan andalan utama mereka. Dalam sejarahnya, sunah/hadis baru mulai
ditulis dan dikumpulkan untuk diuji dan diteliti tingkat kesahihannya baru dimulai satu abad
setelah Nabi saw. wafat. Oleh karena sunah/hadis dari aspek redaksinya merupakan hasil dari
hafalan sahabat dan tabi'in, maka otentisitasnya adalah zhanny, yaitu atas sangkaan tertentu
tergantung dari tingkat hafalan para sahabat dan tabi'in. Karenanya, wajar bila sunah ditempatkan
pada posisi kedua setelah al-Quran dalam tingkatan sumber pokok ajaran Islam. 8
Adapun beberapa fungsi sunah terhadap al-Qur'an dalam penetapan hukum antara lain adalah:
Suatu perbuatan yang sudah ditetapkan hukumnya berdasarkan al- Qur'an kemudian
dikuatkan penetapannya oleh sunah. Dengan demikian, hukum peristiwa tersebut ditetapkan oleh
dua sumber yakni al-Qur'an sebagai sumber pertama dan sunah sebagai sumber kedua (penguat).
Misalnya salat, zakat, puasa, dan haji telah ditetapkan hukumnya di dalam al-Qur'an. Salat dan
zakat ditetapkan pada QS. al-Nisa/4: 77, puasa pada QS. al-Baqarah/2: 183, dan haji pada QS.
Ali Imran/3: 97). Kemudian perbuatan-perbuatan tersebut dikuatkan kewajibannya oleh
Rasulullah saw. dalam sabda beliau ketika berwawancara dengan Malaikat Jibril.
8
Muhammad Abu Zahrah,Muhadhoroh fi Tarikh Al-mazahib Al-fiqhiiyah, cairo: Mathba’ah al-Madani, t.th), h.25-
27.
17
b. Memberikan Keterangan (Bayan) terhadap Ayat-ayat al-Qur'an Penjelasan sunah
terhadap al-Qur'an ada 3 macam, yakni:
Ayat tersebut masih mujmal. Kemudian Rasulullah saw. memberikan keterangan lebih detail
terkait waktu-waktu salat, jumlah rakaatnya, syarat-syarat dan rukun-rukunnya, dengan cara
mempraktikkan salat lalu setelah itu bersabda kepada para sahabat:
Demikian juga dalam kewajiban berzakat dan pergi haji, Allah berfirman secara mujmal
kemudian Rasulullah saw. menjelaskan macam- macam dan besarnya harta yang dizakatkan dan
menjelaskan cara-cara menjalanlkan ibadah haji.
Misalnya al-Qur'an membolehkan kepada orang yang akan meninggal berwasiat atas harta
peninggalannya berapa saja dengan tidak dibatasi maksimalnya, dalam firman-Nya dalam QS.
al-Nisa/4: 12:
Kemudian Rasulullah saw. memberikan batasan maksimal wasiat yang diperkenankan dalam
salah satu wawancaranya dengan Sa'ad bin Abi Waqqash yang meminta agar diperkenankan
berwasiat 2/3 harta peninggalannya. Setelah permintaan wasiat sebesar itu ditolak oleh beliau,
minta diperkenankan wasiat ½ harta peninggalannya dan setelah permintaan yang akhir ini
18
ditolak pula, lalu minta diperkenankan 1/3 hartanya. 9 Rasulullah saw. mengizinkan 1/3 ini,
katanya:
Misalnya Allah berfirman secara umum tentang keharaman makan bangkai (binatang yang
tidak disembelih dengan nama Allah) dan darah dalam firman-Nya pada QS. al-Maidah/5: 3:
Demikian juga dalam masalah pusaka-mempusakai antara anak dan kedua orang tuanya
disebutkan secara umum oleh Tuhan dalam firman- Nya:
ً ثُماُتركناُصدق ُة
ُُ اءُلُُنُور ُُ نح
ُِ نُمعا ِشرُُاألن ِبي
Artinya:"Kami, khususkan para Nabi, tidak dapat diwarisi. Apa yang kami tinggalkan adalah
sebagai sedekah". (HR. Muttafaq alaih). Perkataan anak dalam ayat tersebut juga dilukiskan
9
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 1998), h. 12
19
secara umum dengan lafaz "awladukum" (anak-anakmu). Kemudian anak tersebut dikhususkan
oleh Nabi Muhammad saw. kepada anak yang dapat mewarisi. Sedang anak yang tidak berhak
mempusakai harta orang tuanya, misalnya karena ia membunuh orang tuanya, dikeluiarkan dari
pengertian umum itu, 10 mengingat sabda Rasulullah:
ُِ لُ ِمنُُالمقتُو
ُلُشيء ُِ ِلُاليسُُ ِللقات
Artinya:"Tidak ada hak bagi si pembunuh mempusakai harta peninggalan orang yang dibunuh
sedikitpun. (HR. al-Nasa'i).
Misalnya beliau menetapkan hukum haramnya binatang buas yangbertaring dan burung yang
berkuku kuat seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
ُِ اعُِوعنُُ ُك
ُلُذِيُمخلبُمن ُ سب ُِ هللاُُعلي ُِهُوسلَمُُعنُُ ُك
َ لُذِيُتابُُ ِمنُُال ُ ُلُّللاَُ ُِصلَى
ُُ نُعبَاسُُقالُُنهىُرسُو
ُِ عنُُاب
الطيري
Artinya:"Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah saw. Melarang memakan setiap binatang
yang bertaring dari golongan binatang buas dan setiap binatang yang berkuku kuat dari golongan
burung". (HR. Muslim).
Rasulullah saw. juga mengharamkan seorang laki-laki mengawini wanita yang sepersusuan,
karena mengawini wanita yang sesusuan itu adalah sama dengan mengawini wanita yang satu
nasab.
Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. itu adakalanya atas ilham dari Allah dan
adakalanya hasil ijtihad beliau sendiri. Biarpun dari hasil ijtihad sendiri, tetapi karena dasar yang
dipergunakan berijtihad itu adalah jiwa dan dasar perundang-undangan yang umum dalam al-
Qur'an, maka mustahillah ia bertentangan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh al-
Qur'an.
1. Pengertian Ijma’
Ijmak secara etimologi berasal dari kata ajma'a yujmi'u ijma'an dengan isim maful mujma
yang memiliki dua makna. Pertama, ijmak bermakna tekad yang kuat. Oleh karena itu, jika
10
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Academia dan Tazaffa, 2012), h. 190
20
dikatakan "ajma'a fulan 'ala safar", berarti bila ia telah bertekad kuat untuk bepergian dan telah
menguatkan niatnya, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Yunus/10:71.
ُشركاءُُ ُكم
ُ فاج ِمعُواُأمر ُكمُُو
Artinya: "Karena itu bulatkanlah kumpulkan para sahabat dan ia lakukan musyawarah untuk
menemukan solusi atas suatu masalah dan menetapkan hukumnya.
Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti hal/keadaan atau urusan yang
bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja,
kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para
mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu
ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan
dipatuhi oleh kaum muslimin.11
11
Suharsimi Arikonto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), Cet. 11, h.
236
21
Artinya:"Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itudan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-
buruk tempat kembali". (QS. al-Nisa/4: 115)
Pada ayat ini Allah swt. melarang untuk menyakiti/menentang Rasulullah dan melarang
membelot/menentang jalan yang disepakati kaum mukminin. Imam Syafi'i ketika ada yang
menanyakan kepadanya dasar bahwa kesepakatan para ulama bisa dijadikan dasar hukum, ia
menunda jawaban atas pertanyaan orang tersebut hingga tiga hari. Beliau mengulang-ulang
hafalan al-Qur'an hingga menemukan ayat ini.
b. Dalil Sunah
ُُمنُُرأيت ُ ُموُه ُُفارقُُالجماع ُِةُأوُُ ُي ِري ُدُُأنُُ ُيف ِرقُُبينُُأ ُ َم ُِةُ ُمح َمدُُصلَىُّللاَُ ُُعلي ُِهُوسلَمُُوأم ُرهُمُُج ِميعُُفاقتُلُو ُه
ّللاُِمعُُالجماع ُِة َُ ِ كائِنًاُمنُُكانُُفإ
َُ ُُنُيد
Siapa saja yang kalian pandang meninggalkan jama'ah atau ingin memecah belah umat
Muhammad saw. sedangkan dalam perkara tersebut mereka sepakat, maka bunuhlah ia siapapun
gerangannya, karena sesungguhnya tangan Allah bersama jama'ah. (HR. Ibnu Hibban)
Dalil di atas meskipun berbicara mengenai pemberontak pemerintahan yang sah, namun ia
menjadi bukti betapa kuatnya pengaruh ijmak dalam Islam.
c. Dalil Logika
Secara logika dapatlah dikatakan bahwa ijmak umat Islam bisa saja salah dan bisa saja benar.
Jika benar maka tak pelak ia merupakan dalil. Namun, jika salah, maka mungkin mereka semua
salah sedang mereka adalah sebaik-baik umat manusia? Artinya, jika umat Islam telah sepakat,
maka kebenaran pasti terdapat.
Setiap ijmak yang ditetapkan menjadi hukum syarak, harus dilakukan dan disesuaikan dengan
asal-asas pokok ajaran Islam. Oleh karena itu, setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah
mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad,
serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad menggunakan nash, maka ijtihadnya
tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya,
jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nash pun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya,
22
maka dalam berijtihad, ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam. Oleh karena
itu, ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti kiyas, istihsan, dan sebagainya.
Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah
dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan hadis, karena semuanya
dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti
ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid
yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan. 12
3. Rukun Ijmak
Adapun rukun ijmak sebagaimana definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid
dalam suatu masa atas hukum syarak. Rukun ijmak terdiri dari empat hal:
Tidak cukup ijmak dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang
saja di suatu masa. Suatu kesepakatan (ijmak) harus dilakukan lebih dari satu orang yang
pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
b. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syarak dalam suatu masalah
dengan melihat negeri, jenis, dan kelompok mereka.
Andai yang disepakati atas hukum syarak hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak
saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu al-sunnah, mujtahid Syiah, maka secara syarak kesepakatan
khusus ini tidak disebut ijmak. Ijmak tidak terbentuk, kecuali dengan kesepakatan umum dari
seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
c. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat
dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syarak) dari suatu peristiwa yang
terjadi pada masa itu.
Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid
yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan.
Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan
perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum
yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah
keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
d. Ijmak hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya
terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang
demikian belum mencapai derajat ijmak. Ijmak yang demikian belum dapat dijadikan
sebagai hujah syari'ah.
12
Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh Jilid 1: Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian, (Jakarta: Prenada
Media, 2003), h. 335-336
23
Apabila keempat rukun ijmak atas telah terpenuhi, maka hukum yang disepakati tersebut
menjadi aturan syarak yang wajib diikuti dan tidak boleh mengingkarinya. Selanjutnya, para
mujtahid sesudahnya tidak boleh lagi menjadikan hukum yang sudah disepakati itu menjadi
garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijmak dengan hukum syar'i yang
qath'i dan tidak dapat dihapus.
4. Macam-macam Ijmak
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijmak terdiri atas:
Ijmak Bayani
Ijmak bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik
berupa ucapan maupun tulisan. Ijmak bayani disebut juga ijmak sarih, ijmak qauli atau ijmak
hakiki.
Ijmak Sukuti
Ijmak sukuti yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat
dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap
suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijmak
seperti ini disebut juga ijmak i'tibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijmak, dapat dibagi kepada:
ljmak Qath'i,
ljmak qath'i yaitu hukum yang dihasilkan ijmak itu adalah qath'i, diyakini benar terjadinya,
tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan
berbeda dengan hasil ijmak yang dilakukan pada waktu yang lain.
ljmak Zanni
ljmak zanni yaitu hukum yang dihasilkan ijmak itu zanni, masih ada kemungkinan lain bahwa
hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain
atau dengan hasil ijmak yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fikih terdapat pula beberapa macam ijmak yang dihubungkan dengan masa
terjadi dan tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijmak-ijmak itu adalah:
Ijmak Sahabat, yaitu ijmak yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw.
Ijmak Khulafaur Rasyidin, yaitu ijmak yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali. Tentu hal ini hanya dapat dilakukan pada masa keempat orang itu
hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal ijmak
tersebut tidak dapat dilakukan lagi.
Ijmak Shaikhan, yaitu ijmak yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
24
Ijmak Ahli Madinah, yaitu ijmak yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijmak ahli
Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut mazhab Maliki, tetapi
mazhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
Ijmak Ulama Kufah, yaitu ijmak yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab
Hanafi menjadikan ijmak ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam. 13
Bentuk-bentuk ijmak ini meskipun disebut ijmak bila dikaitkan dengan rukun ijmak, maka
hakekatnya tidak dapat disebut ijmak, karena rukun- rukunnya tidak terpenuhi. Ijmak seperti ini
lebih tepat bila disebut sebagai ijtihad jama'i (kolektif), yakni hasil ijtihad dari sekelompok orang
seperti hasil ijtihad yang dikeluarkan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Kedua, sesuatu yang tidak wajib mendahulukan pekerjaan di atas sam'u. Misalnya, bolehnya
melihat Allah, ampunan Allah kepada orang-orang yang berdosa, dan lainnya yang bisa
diketahui setelah mendengarkan wahyu. Ijmak dalam hal ini menjadi hujah karena hal itu boleh
diketahui setelah adanya syarak dan ijmak termasuk dalil syarak, maka boleh menetapkan hukum
itu dengan ijmak. Adapun persoalan-persoalan dunia, seperti mengatur tentara, perang,
pembangunan, industri, pertanian, dan lainnya dari kemaslahatan dunia, maka ijmak tidak
menjadi hujah karena ijmak dalam masalah itu tidak lebih banyak dari sabda Nabi dan sabda
Nabi hanya menjadi hujah dalam ijmak syarak, bukan pada kemaslahatan dunia.
6. Obyek Ijmak
Obyek ijmak ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an
dan hadis, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadah ghairu mahdhah (ibadat
yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah swt.) bidang muamalah, bidang kemasyarakatan,
atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi, tetapi tidak ada dasarnya dalam
al-Qur'an dan hadis. Dasarnya adalah firman Allah swt. dalam OS. al-Nisa/4: 59.
13
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur'an (Yogyakarta: Itqan Publising, 2014), hal. 36.
25
Artinya:"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunah), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".
Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti hal/keadaan atau urusan yang
bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja,
kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para
mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu
ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan
dipatuhi oleh kaum muslimin. 14
Para ulama usul fikih berpendapat bahwa qiyas ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau
peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian
atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada
persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas yaitu menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan
hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan
kesatuan illat antara keduanya. Jadi, suatu Qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini
bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum
suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu, tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang
akan melakukan Qiyas ialah mencari apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk
menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang
dimaksud barulah dilakukan Qiyas. Dengan demikian, qiyas itu penerapan hukum analogi
terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum
yang sama pula.
Sebagian besar ulama sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar'i dan termasuk sumber
hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu
14
Muhammad Ali ash-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Qur'an (Makkah: Nasyru Ihsan, 2003), hal. 46.
26
masalah baik dengan nash maupun ijmak dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara
analogi dengan persamaan illat, maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum
syar'i.15
Di antara ayat al-Qur'an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah dalam
QS. al-Hasyr/59: 2:
ُُلُالخي ُِرُماُظننتُمُُأنُيخ ُر ُجواُوظنُّواُأنَ ُهمُ َماُ ِنعت ُ ُهم ُِ ِير ِهمُُ ِأل َو
ِ بُ ِمنُد ُِ هُوُُالَذِيُأخرجُُالَذِينُُكف ُرواُ ِمنُُأه
ُِ لُال ِكت
ُّ ُثُلمُُيحت ِسبُواُوقذفُُفِيُقُلُوبِ ِه ُُم
ُالرعبُُيُخ ِربُونُُبُيُوت ُهمُبِأيدِي ِهمُُوأيدِي ُُ ّللاُُ ِمنُُحي
َُ ُّللاُِفأت ُه ُُم
َُ ُُصون ُهمُ ِمن
ُ ُح
ص ُِر
ُ ال ُمؤ ِمنِينُُفاعتبِ ُُرواُيأو ِليُاألب
Artinya:"Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-
kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka bahwa mereka
akan keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan
mereka dari (siksa) Allah. Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang
tidak mereka sangka-sangka. Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka, lalu mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang
mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran Hai orang-orang yang
mempunyai wawasan". (QS. al-Hasyr/59: 2).
Dapat diketahui dari ayat di atas bahwa Allah memerintahkan kepada kita untuk mengambil
pelajaran. Kata iktibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang
lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka
menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan, karena dua
kata tadi iktibar dan qiyas memiliki pengertian melewati dan melampaui.Ayat yang lain adalah
firman Allah dalam QS. al-Nisa/4: 59.
15
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur'an (Yogyakarta: Itqan Publising, 2014), hal. 37.
27
Ayat ini menjadi landasan hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan kembali kepada Allah
dan rasul-Nya merupakan perintah untuk menyelidiki tanda-tanda kecenderungan yang
dikehendaki Allah dan rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh melalui pencarian illat hukum yang
merupakan tahapan dalam metode istinbat hukum dengan qiyas.
Abdul Wahab Khallaf menyebutkan alasan pengambilan dalil ayat di atas sebagai dalil qiyas,
yakni bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk
mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan dan dipertentangkan di antara mereka
kepada Allah dan Rasulul-Nya jika mereka tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur'an
maupun Sunnah. Sedangkan mengembalikan dan merujukkan permasalahan kepada Allah dan
rasul adalah mencakup semua cara dalam mengembalikan permasalahan itu. Artinya, bahwa
menyamakan peristiwa yang tidak memiliki nas dengan peristiwa yang sudah ada nasnya
dikarenakan adanya kesamaan illat, maka hal tersebut termasuk kategori "mengembalikan
permasalahan kepada Allah dan Rasul-Nya" sebagaimana dalam kandungan ayat di atas.
b. Sunah
Rasulullah saw bersabda kepada Muadz bin Jabal ketika ia diutus ke negeri Yaman:
Maksud hadis di atas adalah karena Rasul menyetujui Muadz untuk berijtihad dalam
memutuskan hukum yang tidak ditemukan nashnya dalam al-Quran dan sunah. Adapun ijtihad
adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan suatu hukum, termasuk di antaranya
adalah qiyas.16
3. Kedudukan Qiyas
Sikap ulama mengenai qiyas ini tidak tunggal. Ada pro dan kontra di kalangan mereka.
Setidaknya dalam hal ini terdapat tiga kelompok ulama sebagai berikut:
16
Nor Kandir, Al-Qur'an Sumber Segala Ilmu (Pustaka Al-Mandiri, 2016), hal. 10-11.
28
- Kelompok jumhur. Mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang
tidak jelas nashnya, baik dalam al-Qur'an, hadis, pendapat sahabat maupun ijmak ulama.
- Mazhab Zahiriyah dan Syiah Imamiyah yang sama sekali tidak menggunakan qiyas.
Mazhab Zahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran
dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu
kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya
dari teks nash semata.
- Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas yang berusaha berbagai hal karena
persamaan illat/sebab. Bahkan, dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini
menerapkan qiyas sebagai pentakhshish dari keumuman dalil al-Qur'an dan hadis.
4. Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat bagian:
a. Asal (Pokok)
Asal yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya (al-maqis alaihi). Para fuqaha
mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan
kepadanya (al-maqis 'alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai
pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Imam al-Amidi
dalam Al-Mathbu mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa
diketahui (hukumnya) sendiri.
Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyas dari minuman keras adalah dengan menempatkan
minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharamannya, karena suatu bentuk dasar tidak
boleh terlepas dan selalu dibutuhkan. Dengan demiklian, maka al-aslu adalah objek qiyas, di
mana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.
b. Furu' (Furuk/Cabang)
Furuk yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya (al- magis), karena tidak terdapat
dalil nash atau ijmak yang menjelaskan hukumnya.
c. Hukum Asal
Hukum asal yaitu hukum syar'i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Atau
hukum syar'i yang ada dalam nash atau ijmak, yang terdapat dalam al-ashlu.
d. Illat
Illat adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.
Ada satu terma dalam qiyas yang hampir sama maknanya dengan illat yaitu hikmah. Hikmah
29
adalah tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai dari penetapan hukum tertentu, sementara illat
adalah sesuatu yang jelas dan terukur yang mempengaruhi ada atau tidaknya hukum tertentu. 17
Dengan demikian hikmah tidak bisa mempengaruhi ada atau tidaknya hukum berbeda dengan
illat. Contohnya, hukum-hukum syara' yang berlaku pada safar (perjalanan yang memenuhi
syarat hukum) seperti bolehnya menjama' dan mengqashar solat dan berbuka puasa dan lain.
Hukum-hukum ini berlaku disebabkan oleh illat yaitu adanya safar atau perjalanan itu sendiri.
Tapi hikmah dari penetapan safar sebagai sebab yang bisa mempengaruhi adanya hukum seperti
jama' dan qasar adalah untuk menghilangkan adanya kesulitan dari orang yang melakukan
perjalanan. Nah, disini dapat dipahami bahwa kesulitan itu sendiri tidak dapat mempengaruhi ada
atau tidaknya hukum jama' dan qasar karena kesulitan itu tidak bisa diukur berbeda dengan
perjalanan yang bisa dilihat dengan jelas dan terukur. Dengan demikian, orang tidak boleh
menjadikan kesulitan yang dia alami untuk misalnya menjama' dan mengqasar solat kalau dia
tidak melakukan perjalanan.
5. Macam-macam Qiyas
Dilihat dari segi kekuatan illat dalam furuk dibanding dengan yang ada dalam ashal, qiyas
dibagi menjadi 3 macam yaitu: qiyas aulawi, qiyas musawi, dan qiyas adna. Adapun uraiannya
adalah sebagai berikut:
- Qiyas Aulawi
Qiyas aulawi adalah qiyas yang illat pada furuk lebih kuat daripada illat yang terdapat pada
asal. Misalnya qiyas larangan memukul orang tua dengan larangan menyakitinya atau berkata
"uh" kepada mereka. Larangan memukul lebih kuat atau perlu diberikan dibandingkan dengan
larangan berkata "ah" yang terdapat pada nash;
لَ ُهماُأُفُفُإلُتقُل
Artinya:"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"".
(QS. al-Isra/17: 23). b. Qiyas Musawi
Qiyas musawi adalah qiyas yang setara antara illat pada furuk dengan illat pada asal dalam
kepatutannya menerima ketetapan hukum. Misalnya mengiyaskan budak perempuan dengan
budak laki-laki dalam menerima separuh hukuman.
ُِتُ ُِمنُُالعذاب
ُِ فُماُعلىُال ُمحصن َُ احشةُُفعلي ِه
ُُ نُنِص ِ نُفإِنُأتينُُ ِبف ِ ُ فإِذاُأ
َُ حص
Artinya:"Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji
(zina), maka (hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan
merdeka (yang tidak bersuami)". (QS. al-Nisa/4: 25).
17
Abu Yasid, "Hubungan Simbiotik al-Qur'an dan Hadis dalam Membentuk Diktum-Diktum Hukum,"
JurnalTsaqafah 7, 1 (2011): hal. 141.
30
Contoh lainnya, hukum memakan harta anak yatim secara aniaya sama hukumnya dengan
membakarnya. Dari segi illat, keduanya pada hakikatnya sama-sama bersifat melenyapkan
kepemilikan harta anak yatim Allah berfirman:
يرا
ً اراُوسيصلونُُس ِع
ً طونُِ ِهمُُن ُ ُنُالَذِينُُيأ ُكلُونُُأموالُُاليتى
ُ ُظل ًماُإِنَماُيأ ُكلُونُُفِيُب َُ ِإ
Artinya:"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka)". (QS. al- Nisa/4: 10).
- Qiyas Adna
Qiyas adna adalah qiyas yang illat pada furuk lebih rendah daripada illat yang terdapat pada
asal. Misalnya, mengiyaskan haramnya perak bagi laki-laki dengan haramnya laki-laki memakai
emas. Yang menjadi illatnya adalah untuk berbangga- bangga. Bila menggunakan perak merasa
bangga apalagi menggunakan emas akan lebih bangga lagi. Dilihat dari segi kejelasan yang
terdapat pada hukum, qiyas dibagi menjadi 2 macam, yaitu: qiyas jali dan qiyas khafi. Adapun
uraiannya adalah sebagai berikut:
Qiyas Jali
Qiyas jalli adalah qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum asal.
Nash tidak menetapkan illatnya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh terhadap perbedaan
antara nash dengan furuk. Misalnya mengiyaskan budak perempuan dengan budak laki-laki dan
mengiyaskan setiap minuman yang memabukkan dengan larangan meminum khamar yang sudah
ada nashnya.
Qiyas Khafi
Adalah qiyas yang illatnya tidak terdapat dalam nash. Misalnya, mengiyaskan pembunuhan
menggunakan alat berat dengan pembunuhan menggunakan benda tajam.
Dilihat dari segi persamaan furuk dengan asal, qiyas dibagi menjadi 2 macam yaitu: qiyas
syabah dan qiyas ma'na. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut:
Qiyas Syabah
Qiyas syabah adalah qiyas yang furuknya dapat diqiyaskan dengan dua asal atau lebih, tetapi
diambil asal yang lebih banyak persamaannya dengan furuk. Misalnya, zakat profesi yang dapat
diqiyaskan dengan zakat perdagangan dan pertanian.
31
Qiyas Ma'na
Qiyas ma'na adalah qiyas yang furuknya hanya disandarkan pada asal yang satu. Jadi, korelasi
antara keduanya sudah sangat jelas. Misalnya, mengiyaskan memukul orang tua dengan
perkataan "ah" seperti yang ada dalam nash pada penjelasan sebelumnya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka secara keseluruhan macam-macam qiyas tersebut ada tujuh
yaitu: qiyas aulawi, qiyas musawi, qiyas adna, qiyas jali, qiyas khafi, qiyas syabah, dan qiyas
ma'na.18
Dalam banyak kasus hukum tidak terkecuali isu hukum kontemporer, ulama banyak
menggunakan qiyas sebagai pendekatan hukum atau sebagai metode istinbat hukum. Ada
beberapa isu kontemporer yang ditetapkan hukumnya berdasarkan pendekatan qiyas. Misalnya,
ulama kontemporer menetapkan haramnya mengonsumsi narkoba karena memiliki kesamaan
sifat dengan khamar yakni merusak akal; mengharamkan bunga bank karena memiliki kesamaan
dengan riba yang diharamkan oleh Allah dalam al-Quran; mengharamkan mengonsumsi
minuman beer dan minuman semacamnya karena kesamaan sifat dengan khamar yakni
memabukkan; haramnya tindak pidana korupsi juga dapat dianalogikan kepada haramnya
mencuri yang sudah dijelaskan hukum haramnya dalam al-Qur'an dan sunah dan berbagai
macam contoh penerapan qiyas lainnya dalam penetapan hukum, baik contoh klasik maupun
contoh-contoh kontemporer. Berdasarkah kenyataan tersebut dapat dipahami bahwa pendekatan
qiyas merupakan metode istinbat hukum yang sangat relefan bagi pengembangan hukum Islam
terutama dalam menghadapi isu-isu dan masalah-masalah kontemporer. 19
18
Eva Iryani, "Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia," Jurnal Ilmiah: Universitas Batanghari Jambi 17,
2 (2017): hal. 25-26.
19
Nawir Yuslem, Ulunul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Dewi, 1998), hal. 46,
32
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sumber ajaran islam ada empat
macam, yaitu Al-qur'an, hadits dan ijma’ dan qiyas. Al-qur'an sebagai sumber hukum Islam yang
pertama yaitu Al-qu'an berisi tentang semua kehidupan yang ada di alam, perintah, akidah dan
kepercayaan, akhlak yang murni, mengenai syari'at dan hukum dan sebagai petunjuk umat Islam.
Sedangkan Hadits itu sebagai sumber ajaran islam karena dalam Dalil al-qur'an mengajarkan kita
untuk mempercayai dan menerima apa yang telah disampaikan oleh Rasul untu dijadikan sebagai
pedoman hidup.
Selain itu dalam hadits juga terdapat pertnyataan bahwa berpedoman pada hadits itu wajib,
bahkan juga terdapat dalam salah satu pesan Rasulullah berkenaan menjadikan hadist sebagai
pedoman hidup setelah Al-qur'an sebagai sumber yang pertama. Ijtihad sebagai sumber ajaran
karena melalui konsep ijtihad, setiap peristiwa baru akan didapatkan ketentuan hukumnya Dari
pemaparan makalah kami tersebut kita tahu bahwa sumber ajaran islam sangat penting sebagai
pedoman hidup, untuk itu hendaknya apabila kita melenceng dari salah satu sumber ajaran
tersebut, maka akan menjadikan hal yang fatal
B. SARAN
Demikian makalah ini telah kami selesaikan dengan baik meskipun masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami dengan sangat terbuka menerima saran maupun kritik dari
pembimbing maupun pembaca. Harapan kami, dengan adanya makalah ini kita semua dapat
mengetahui dan lebih memahami tentang “SUMBER SUMBER AJARAN HUKUM ISLAM” .
Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini, kembali lagi pada sifat manusia
tempatnya salah maka kami memohon maaf kepada pembimbing dan pembaca, serta kepada
Allah swt, kami mohon ampun. Semoga makalah ini dapat menambah ilmu wawasan bagi kita
semua, Aamiin.
33
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah Imam Muhammad. (1991). usul Al-fikih. Cairo: Dar Al- tiba’ah Al-Muhammadiyah
Al-anshory Muhammad Bin Nizhomuddin. (2002). Fawatih Al-rohmut. Beirut: Dar Kutub Al-
Ilmiyah. cet. 1.jilid 2.
Ali Imam Bin Muhammad Al-amidi. (2000). Al-Ihkam Fi Usul al-Ahkam. Cairo: Dar Al-Hadis.
jilid 1.
Arikonto Suharsimi. (1998). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1998
Ash-Shabuni Muhammad Ali. (2003). al-Tibyan fi Ulum al-Qur'an. Makkah: Nasyru Ihsan.
Bisri Hasan. (2003). Model Penelitian Fiqh Jilid 1: Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh
Penelitian. Jakarta: Prenada Media.
Fattah Sahal Abdul. (2004). ‘itab al-Rosul fi al-Qur’an. Damaskus: Dar al-Qalam.
Iryani Eva. (2017). "Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia," Jurnal Ilmiah:
Universitas Batanghari Jambi. Vol. 17. No. 2.
Jamhar Bazroh. (2012). Konsep Maslahat dan Aplikasinya dalam penetapan Hukum Islam.
Semarang: PPs. IAIN Walisingo.
Kandir Nor. (2016). Al-Qur'an Sumber Segala Ilmu. Jakarta : Pustaka Al-Mandiri.
Mudzhar M. Atho. (1998). Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta:
Pusataka Pelajar.
Nasution Khoiruddin. (2012). Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Academia dan Tazaffa.
34