Anda di halaman 1dari 18

SUMBER HUKUM ISLAM

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


WORLDVIEW ISLAM SYARI’AH

Dosen Pengampu:
Al-Ustadz Abdul Wahid, M.Ag.

Oleh:
442023611088 / Fayshal Karan Athilla
422021611008 / Akhmad Furqon Mubarok
.
KELAS AI
PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
TAHUN 2023 – 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa
ada halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak Al-Ustadz Abdul Wahid,
M.Ag. sebagai dosen pengampu mata kuliah Worldview Islam Syari’ah yang
telah membantu memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah
ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa
yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Ponorogo, 25 Desember 2023

Fayshal Karan Athilla


NIM: 442023611088

2
DAFTAR ISI

Hlm
COVER…………………………………………………………………… 1
KATA PENGANTAR……………………………………………………. 2
BAB I: PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………. 4
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………… 4
1.4 Tujuan Penulisan ………………………………………………….......... 5
BAB II: PEMBAHASAN 6
2.1 Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam……….................................... 6
2.2 Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam....….…………………................. 8
2.3 Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam ….……………………………….. 10
2.4 Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam…………………………………... 12
BAB III: PENUTUP 16
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………... 16
3.2 Saran……………………………………………………………………. 16
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 17

3
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sumber hukum Islam merupakan landasan utama yang menentukan
normanorma hukum yang mengatur kehidupan umat Islam. Latar belakang
pemahaman dan pengembangan sumber hukum Islam dapat ditelusuri dari periode
awal sejarah Islam hingga masa kini. Sumber-sumber utama hukum Islam terdiri
dari Al-Qur'an, kitab suci umat Islam yang dianggap sebagai firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Selain itu, Hadistt, yaitu perkataan,
perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad, menjadi sumber hukum kedua yang
sangat penting. Ijma (konsensus) dan qiyas (analogi) juga menjadi sumber hukum
yang diakui dalam tradisi hukum Islam. Seiring dengan perkembangan zaman,
ijtihad (penalaran hukum) juga dianggap sebagai sumber hukum yang relevan
untuk menghadapi perubahan kontekstual dan situasional. Kombinasi dari sumber-
sumber ini menciptakan kerangka hukum Islam yang komprehensif, mencakup
aspek-aspek kehidupan sehari-hari, moralitas, ekonomi, sosial, dan politik. Sumber
hukum Islam mencerminkan upaya untuk memberikan pedoman kepada umat
Islam dalam menjalani kehidupan mereka sesuai dengan ajaran agama Islam yang
dianggap sebagai panduan sempurna untuk kehidupan manusia.

1.2 Rumusan Masalah


Dalam rangka yang ada diatas, maka kami menelusuri rumusan masalah
yang terkumpul menjadi berikut:
a. Bagaimana cara memahami dan menginterpretasi ayat-ayat Al-Qur'an?
b. Bagaimana menilai keadilan dan keabsahan sanad (rantai perawi) hadistt?
c. Bagaimana ijma' (kesepakatan umat Islam) dibentuk dan diakui dalam
hukum Islam?

4
d. Bagaimana penerapan qiyas (analogi) dalam menanggapi
isu-isu kontemporer?

1.3 Tujuan Penulisan


Maka dari itu, makalah ini dibuat dengan bertujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui cara memahami dan menginterpretasi ayat-ayat Al-
Qur’an
b. Untuk mengetahui dalam menilai keadilan dan keabsahan sanad (rantai
perawi) hadistt
c. Untuk mengetahui pembentukan ijma’ (kesepakatan umat islam) dalam
hukum islam
d. Untuk mengenal penerapan qiyas (analogi) dalam menanggapi isu-isu
kontemporer?

5
BAB II PEMBAHASAN

Sejarah sumber hukum Islam mencerminkan perjalanan panjang evolusi


norma-norma hukum dalam tradisi Islam. Al-Qur'an, sebagai kitab suci, menjadi
pijakan utama hukum Islam dan disusun secara resmi pada masa khalifah Utsman
bin Affan. Pada masa awal Islam, hadistt juga menjadi sumber hukum penting yang
terus dikumpulkan dan disusun oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW,
menciptakan dasar bagi pemahaman ajaran Islam. Konsep kesepakatan umat Islam
atau ijma' mulai berkembang pada abad ke-8 M, memungkinkan pemikiran
bersama dan kesepakatan para ulama untuk mengatasi isu-isu hukum yang
kompleks. Sementara itu, penggunaan qiyas atau analogi sebagai metode hukum
juga mulai dipahami dan diterima sebagai sumber hukum yang sah pada periode
ini. Dalam sejarah Islam, mazhab-mazhab hukum, seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i,
dan Hambali, memberikan kerangka kerja interpretatif yang memperkaya dan
mendalamkan pemahaman terhadap sumber-sumber hukum utama. Sejak itu,
sumber-sumber hukum Islam terus berkembang melalui ijtihad, yaitu usaha
intelektual untuk memahami dan menafsirkan hukum Islam, sehingga terus relevan
dengan perubahan zaman. Meskipun sumber-sumber hukum utama tetap tidak
berubah, adaptasi terhadap konteks sosial dan lingkungan terus menjadi bagian
integral dalam pengembangan hukum Islam.

2.1 AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM1 A. Pengertian Al-


Qur’an
Secara bahasa, al-Qur’an merupakan bahasa Arab artinya "bacaan" atau
"sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Term al-Qur’an adalah bentuk kata benda

1 Ridwan M, Umar M.H, Ghafar A. “SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM DAN


IMPLEMENTASINYA (Kajian Deskriptif Kualitatif Tentang Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’)”
Journal of Islamic
Studies, 2021, hlm. 31-33

6
dari kata kerja qara'a yang memiliki arti membaca. Hal ini sejalan dengan pendapat
Subhi Al-Salih bahwa al- Qur’an itu artinya “bacaan”, asal kata “qara‟a”. Kata al-
Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf‟ul yaitu maqru‟ (dibaca)
(Soenarjo,dkk., 1971).

Secara terminologi, al-Qur’an diartikan sebagai kalam Allah diturunkan


pada Muhammad SAW, dari surat al-Fatihah dan berakhir dengan an-Nass.
Berdasarkan penjelasan definisi di atas, dapat sebutkan bahwa hanya kalam Allah
SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. saja yang disebut al-
Qur’an. Kalam Allah SWT. yang diturunkan kepada Rasul lainnya bukanlah al-
Qur’an, tetapi ia memiliki nama tersendiri diantaranya kitab Taurat yang
diturunkan kepada Nabi Musa AS. atau Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi
Isa AS

B. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum


Al-Qur’an diturunkan menjadi pegangan bagi mereka yang ingin mencapai
kebgaian dunia dan akhirat. Tidak diturunkan untuk satu umat dalam satu abad
saja, tetapi untuk seluruh umat dan untuk sepanjang masa, karena itu luas
ajaranajarannya adalah melingkupi seluruh umat manusia.
Al-Qur’an dijadikan sumber hukum Islam mengindikasikan bahwa agama
Islam menghendaki agar sifat-sifat yang termaktub dalam ajaran dan kenetuan yang
mengatur perilaku manusia dalam al-Qur’an diterapkan dalam waktu dan kondisi
yang tepat. Misalnya dikehendaki keutamaan sifat pemaat, tetapi juga diwaktu
tertentu dikehendaki pula ketentuan hukum dilaksanakan dengan tegas. Sifat
pemberi maaf, tidak menggampangkan tindak kejahatan mudah dilakukan tetapi
menghendaki manusia agar bersifat jujur dan berani menerangkan yang benar.
AlQur’an menghendaki manusia agar selalu berbuat baik, sekalipun terhadap orang
yang pernah berbuat jahat kepadanya. Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk tetap

7
suci, tetapi tidak dikebiri. Manusia harus berbakti kepada Allah ta‟ala, tetapi
tidaklah menjadi rahib atau pertapa. Manuasia harus berendah hati, tetapi jangan
melupakan harga diri. Manusia dapat menggunakan hal-haknya, tanpa mengganggu
hak-hak orang lain. Manusia diwajibkan mendakwahkan agama dengan jalan
hikmah dan kebijaksanaan.
Demikian hal di atas merupakan sekedar contoh ajaran-ajaran Islam yang
termuat dalam al-Qur’an. Kesemuanya diatur dalam ayatayat al-Qur’an secara rinci
dan jelas. Untuk itu hendaklah umat Islam berusaha untuk memahaminya. Al-
Qur’an menjadi petunjuk bagi manusia yang bertakwa, yaitu mereka yang
memelihara diri dari siksaan Allah ta‟ala dengan mengikuti segala perintah-Nya,
serta menjauhi segala larangan-Nya.

2.2 HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM2 A. Pengertian Hadits


Hadits ialah suatu perkataan atau berita. Hadits ialah suatu perkataan,
informasi dari Rasulullah SAW. Sedangkan al-Sunnah merupakan jalan hidup yang
dilewati atau di jalani atau suatu yang telah dibiasakan. Sunnah Rasul ialah yang
biasa dijalankan dalam kebiasaan hidup Rasulullah berupa seperti perkataan dan
perbuatan serta persetujuan Rasul. Hal ini senada dengan pendapat Musthafa ash-
Shiba’i bahwa kata sunnah artinya jalan terpuji. Sunnah adalah segala perkataan,
perbuatan, taqrir, sifat fisik, atau akhlaq yang ditinggalkan Rasul, serta perilaku
kehidupan baik sebelum diangkat menjadi Rasul (seperti mengasingkan diri yang
beliau lakukan di Gua Hira’) atau setelah kerasulan beliau. Adapun menurut
“Ulama’ Fiqh”, Sunnah merupakan segala sesuatu yang datang dari Nabi yang
bukan fardlu dan tidak wajib (ash-Shiba’i, tt).

2 Ridwan M, Umar M.H, Ghafar A. “SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM DAN


IMPLEMENTASINYA (Kajian Deskriptif Kualitatif Tentang Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’)”
Journal of Islamic
Studies, 2021, hlm. 36

8
B. Hadist Sebagai Sumber Hukum
Hadits atau Sunnah merupakan sumber hukum Islam kedua memiliki
peranan yang penting setelah al-Qur’an. Hadits merinci keumuman paparan
ayatayat al-Qur’an, karena al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat
Islam

diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih
lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan. Hadits juga berfungsi antara lain
menjadi penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang belum jelas atau menjadi
penentu hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an. Adapun al-Sunnah dibagi dalam
empat macam, yakni:

1. Sunnah Qouliyyah ialah segala perkataan Rasulullah SAW


2. Sunnah Fi’liyyah ialah semua perbuatan Rasulullah SAW
3. Sunnah Taqririyyah ialah penetapan dan penngakuan dari
Rasulullah SAW terhadap pernyataan maupun perbuatan orang lain
4. Sunnah Hammiyah sesuatu yang sudah direncanakan untuk
dikerjakan tetapi tidak sampai dikerjakan

C. Fungsi Hadits
Hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam memiliki fungsi sebagai
berikut:
1. Menegaskan atau menjelaskan lebih jauh ketentuan yang dijelaskan
dalam al-Qur’an. Contohnya dalam al-Qur’an menjelaskan ayat
berkaitan dengan shalat tetapi tata cara dalam pelaksanaanya
diuraikan dalam Sunnah.
2. Sebagai penjelas dari isi al-Qur’an. Dalam al-Qur’an manusia
diperintahkan oleh Allah mendirikan shalat. Namun tidak dijelaskan
tentang jumlah raka’at, cara pelaksanaannya, rukun, dan syarat

9
dalam mendirikan shalat. Maka fungsi Sunnah menjelaskan dan
memberikan contoh jumlah raka’at dalam setiap shalat, cara dan
rukun sampai pada syarat syah mendirikan shalat.
3. Menambahkan atau mengembangkan suatu yang tak ada atau masih
samar-samar mengenai ketentuannya dalam al-Qur’an. Misalnya
larangan Nabi untuk mengawini seorang perempuan dengan
bibinya.
Larangan sebagian itu tidak ada dalam al-Qur’an. Tetapi jika dilihat
hikmah dari larangannya jelas bahwa mencegah rusaknya bahkan
terputusnya hubungan silaturahim kerabat dekat yang merupakan
perbuatan tak disukai dalam agama Islam.
Pada prinsipnya posisi hadits terhadap al-Qur’an berfungsi sebagai
penjelas, penafsir, dan perinci terhadap hal-hal yang masih bersifat global. Namun
demikian, hadits juga bisa membentuk hukum tersendiri mengenai hal yang tidak
ada dalam al-Qur’an.

2.3 IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM3 A. Pengertian Ijma’


Ijma' ditinjau dari segi bahasa berarti sepakat, setuju, sependapat (Abd.
Aziz, 1988 : 28). Adapun menurut istilah, Ijma' ialah kesepakatan seluruh ulama
mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah Saw
atas suatu hukum syara' (Az Zuhaili, 1986 ; 490).
Menurut Khallaf (1994 : 64) Ijma' adalah kesepakatan semua mujtahidin di
antara ummat Islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW atas
hukum syar'i mengenai suatu kejadian/kasus
Dari beberapa pendapat mengenai definisi ijma', pada prinsipnya mereka
sependapat bahwa:
1. Ijma’ dapat terjadi dengan kesepakatan para mujtahid
2. Adanya permasalahan yang tidak terdapat dalam nash qot’i

3 Syafi’ie, Drs. Zakaria. “IJMA SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM (Kajian tentang Kehujjahan Ijma'
dan
Pengingkarannya)” Journal of Islamic Studies, 1997, hlm. 29-33

10
3. Terjadi pada masa tertentu
Dengan demikian, ijma’ dipandang tidak sah, jika:
1. Ada yang tidak menyutujui
2. Hanya ada seorang mujtahid
3. Tidak ada kebulatan yang nyata
4. Sudah jelas terdapat dalam nash

B. Ijma’ Sebagai Sumber Hukum


Apabila rukun ijma' yang empat itu telah terealisir maka hukum yang telah
disepakati itu menjadi undang-undang syara yang harus diikuti dan tidak boleh
ditentang. Ia merupakan hujjah atau dalil dalam pembinaan hukum Islam. Bagi
mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan keputusan itu sebagai objek
ijtihadnya, karena hukum yang telah ditetapkan mengenai suatu kejadian dengan
ijma' adalah hukum syara secara pasti, tidak ada jalan untuk menentangnya atau
menghapusnya.
Adapun bukti kehujjahan ijma’ adalah:
Pertama, dalam al-Qur'an Surat an-Nisa ayat 59 Allah memerintahkan
untuk taat kepada ulil amri. Lafadz Amri adalah hal-hal keadaan dan ia adalah
umum. Ulil Amri duniawi adalah para raja, pemrimimpin dan penguasa. Sedang
Ulil Amri agamawi adalah para mujtahid atau ahli fatwa agama. Ibnu Abbas
menafsiri ulil amri dengan ulama. Yang jelas Ijma' memiliki kekuatan hukum.
Artinya ayat di atas menunjukkan wajib mematuhi hukum yang di-sepakati oleh
seluruh ulama mujtahid atau masa.
Kedua, bahwasanya suatu hukum yang telah disepakati oleh pendapat
semua mujtahid ummat Islam, pada hakekatnya hukum ummat Islam. Hal ini
sebagaimana hadits nabi sebagai berikut:

11
Artinya: “Tidaklah berkumpul ummatku untuk melakukan kesalahan”

Artinya: “Apa-apa yang menurut pendapat kaum muslimin baik, maka ia


baik (pula) disisi Allah”

Jika ijma' itu diwujudkan, maka ia harus disandarkan kepada dalil. Dan bila
dalil yang menjadi sandaran itu qoth'i, maka hal yang mustahil menurut adat, jika
dalil itu disembunyikan. Karena bagi ummat Islam tidaklah tersembunyi bagi
mereka dalil syar'i yang qoth'i sampai mereka memerlukan kembali kepada
mujtahid. Dan jika ijma'nya adalah berupa dalil dzonni, tentu mustahil menurut
adat (kebiasaan).
Ijma', karena dalil dzonni tidak bisa tidak, tentu menjadi objek
pertentangan. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Siapa yang mengaku adanya
ijma', dia itu adalah pendusta” (Khalaf, 1994 : 70-71).

2.5 QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM4 A. Pengertian Qiyas


Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra‟yu untuk menggali hukum
syara‟ dalam hal-hal yang nash al-Qur‟an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya
secara jelas. Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra‟yu, yaitu
penggunaan ra’yu yang masih merujuk kepada nash dan penggunaan ra‟yu secara
bebas tanpa mengaitkannya kepada nash. Bentuk pertama secara sederhana disebut
qiyas, meskipun qiyas tidak menggunakan nash secara langsung, tetapi karena
merujuk kepada nash, maka dapat dikatakan bahwa qiyas juga menggunakan nash
walaupun tidak secara langsung.

4 Muslimin, E. “QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM” Journal of Islamic Studies, 2019, hlm.
244-
249

12
Sedang mengenai definisinya menurut ulama ushul fiqh, qiyas berarti
menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang
ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya
kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya (Abdul Wahab Khallaf, 2002:
74). Para ulama Hanabilah berpendapat bahwa illat merupakan suatu sifat yang
berfungsi sebagai pengenal suatu hukum. Sifat pengenal dalam rumusan definisi
tersebut menurut mereka sebagai suatu tanda atau indikasi keberadaan suatu
hukum. Misalnya, khamer itu diharamkan karena ada sifat memabukkan yang
terdapat dalam khamer.

B. Qiyas Sebagai Sumber Hukum


Tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat
dijadikan dalil syara‟ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang
membolehkan mujtahid menetapkan hukum syara‟ di luar yang ditetapkan oleh
nash. Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas
sebagai dalil hukum syara‟.
Tentang perbedaan pendapat mengenai kedudukan qiyas, dikalangan ahli
fiqih terbagi menjadi tiga kelompok seperti berikut:
Pertama, Kelompok Jumhur, yang menggunakan qiyas sebagai dasar
hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya dalam Qur‟an, hadits, pendapat
sahabat dan ijma‟ ulama. Kelompok ini menggunakan qiyas dengan tidak
berlebihan. Kedua, kelompok Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, kelompok ini
menolak qiyas secara penuh dan tidak mengakui illat nash, juga tidak berusaha
mengetahui sasaran dan tujuan nash, termasuk mengungkap alasan-alasan guna
menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Ketiga, kelompok
yang memperluas penggunaan qiyas, mereka berusaha menggabungkan dua hal

13
yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduanya, bahkan menerapkan qiyas
sebagai pembatas keumuman alQur’an dan hadits.

C. Rukun Qiyas
1. Ashl, menurut ahli ushul fiqh, merupakan obyek yang telah
ditetapkan hukumnya oleh ayat al-Qur‟an, hadits Rasulullah atau
Ijma‟.
2. Far’u (cabang), adalah sesuatu yang tidak ada nashnya menurut
Muhammad Abu Zahrah seperti wisky dalam kasus diatas.
3. Hukum Ashl, hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash atau
ijma‟ yang akan diberlakukan kepada far’u
4. Illat, suatu sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukum

D. Syarat Qiyas
1. Hendaklah hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum
dinasakhkan artinya hukum yang tetap berlaku
2. Asal serta hukumnya sudah ada ketentuannya menurut agama
artinya sudah ada menurut ketegasan al-Qur‟an dan hadits.
3. Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula pada qiyas,
artinya hukum asal itu dapat diberlakukan pada qiyas.
4. Tidak boleh hukum furu‟ (cabang) terdahulu dari hukum asal,
karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illatnya
(sebab).
5. Hendaklah sama illat yang ada pada furu‟ dengan illat yang ada
pada asal.
6. Hukum yang ada pada furu‟ hendaklah sama dengan hukum yang
pada asal. Artinya tidak boleh hukum furu‟ menyalahi hukum asal.

14
7. Tiap-tiap ada illat ada hukum dan tidak ada illat tidak ada hukum,
artinya illat itu selalu ada.
8. Tidak boleh illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan
agama, artinya tidak boleh menyalahi kitab dan sunnah.

E. Macam-Macam Qiyas
Qiyas dapat dibagi menjadi beberapa segi dalam hal ini dapat dibagi tiga
yaitu sebagai berikut:
1. Qiyas Awlawi, qiyas yang berlakunya hukum pada furu‟ lebih kuat
dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan illat pada
furu‟. Sebagai contoh meng-qiyas-kan keharaman memukul orang
tua kepada ucapan “uf” (berkata kasar) terhadap orang tua dengan
illat menyakiti. Ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

Artinya: “…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada


keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka Perkataan yang mulia” (QS. Al-Isra‟: 23)
Keharaman pada perbuatan memukul lebih kuat daripada keharaman pada
ucapan “uf”, karena sifat menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dari
yang terdapat pada ucapan “uf”.
2. Qiyas Musawi, qiyas yang berlakunya hukum pada furu‟ sama
keadaannya dengan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan
illatnya sama. Umpamanya meng-qiyaskan membakar harta anak
yatim kepada memakannya secara tidak pantas dalam menetapkan
hukum haramnya. Firman Allah yang artinya: “Dan berikanlah
kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan
kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya

15
tindakantindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang
besar.” Baik membakar harta anak yatim atau memakannya secara
tidak patut adalah sama-sama merusak harta anak yatim.
3. Qiyas Adwan, qiyas yang berlakunya hukum pada furu‟ lebih lemah
dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas
tersebut memenuhi persyaratan. Umpamanya meng-qiyas-kan apel
kepada gandum dalam menetapkan berlakunya riba bila
dipertukarkan dengan barang yang sejenis. Illatnya bahwa ia adalah
makanan. Memberlakukan hukum riba pada apel lebih rendah
daripada berlakunya hukum riba pada gandum karena illatnya lebih
kuat.

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembahasan mengenai sumber hukum Islam menunjukkan
kompleksitas dan kedalaman dalam konstruksi hukum Islam yang mencakup
AlQur'an, Hadis, Ijma', dan Qiyas. Al-Qur'an, sebagai sumber utama, memberikan
panduan utama bagi umat Muslim, sementara Hadis memberikan konteks dan
interpretasi lebih lanjut. Kesepakatan umat Islam (Ijma') dan analogi (Qiyas)
memperkaya kerangka hukum Islam dengan respons fleksibel terhadap isu-isu
baru. Mazhab-mazhab hukum memberikan kerangka interpretatif yang beragam,
mencerminkan adanya pluralitas dalam pandangan hukum Islam. Sejarah sumber
hukum Islam mencerminkan adaptabilitasnya terhadap perubahan zaman, dan
ijtihad sebagai upaya pemikiran kritis terus memainkan peran penting. Dalam
keseluruhan, sumber-sumber hukum Islam bukan hanya mengatur aspek hukum,

16
tetapi juga mencerminkan nilai-nilai, etika, dan moralitas Islam yang mendalam,
menciptakan landasan hukum yang holistik bagi umat Muslim.

3.2 SARAN
1. Perdalam pemahaman tentang metode ijtihad dalam konteks perkembangan
hukum Islam kontemporer.
2. Telusuri perbandingan antara hukum Islam dan hukum positif dalam hal
hak asasi manusia.
3. Kaji prinsip-prinsip hukuman dalam hukum pidana Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Karim
Ridwan M, Umar M.H, Ghafar A. “SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM DAN
IMPLEMENTASINYA (Kajian Deskriptif Kualitatif Tentang Al-Qur’an,
Sunnah, dan Ijma’)” Journal of Islamic Studies, 2021

Syafi’ie, Drs. Zakaria. “IJMA SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM (Kajian


tentang Kehujjahan Ijma' dan Pengingkarannya)” Journal of Islamic
Studies, 1997

Muslimin, E. “QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM” Journal of Islamic


Studies, 2019

17
18

Anda mungkin juga menyukai