Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH AL QURAN DAN SUNNAH

Disusun guna memenuhi tugas pada


Mata kuliah : Pendidikan Agama Islam
Dosen : Anis Trianawati, S.Pd.I., M.Pd.I.

Disusun oleh :
Sandy Alif Rizqiawan 2022340035
Muhammad Bayu Widura 2022330021
Zahrotun Nisa 2022520066
Misnandani 2022560076
Rafid Ali 2022330035

UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGA DEWI


T.A. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit, bumi, beserta isinya yang telah
menganugrahkan rahmat dan pertolongan- Nya.Hanya kepada Allah lah kami beriman dan
hanya kepada Allah lah kami beribadah. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah
limpahkan kepada Nabi akhirul zaman Nabi Muhammad Saw yang telah membawa manusia
dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti yang dirasakan saat ini.
Disusunya makalah ini, ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas Pendidikan Agama
Islam dalam proses perkuliahan semester ganjil yang sedang berlangsung. Dengan dosen
pengampu Anis Trianawati, S.Pd.I., M.Pd.I.
Adapun isi dari makalah ini membahas tentang ”Al-Qur‟an dan As-Sunnah”. Dan
segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasan tersebut.
Penyusun menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penyusun telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai
dengan baik dan oleh karenanya, penyusun dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka
menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya, penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun
sendiri khususnya, dan umumnya untuk pembaca sekalian. Terima kasih.

Malang, 22 Oktober 2022

Penyusun,

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1

C. Tujuan ......................................................................................................................... 1

D. Metode ........................................................................................................................ 1

BAB 2 PEMBAHASAN ........................................................................................................ 2

Al-Qur‟an dan As-Sunah .................................................................................................... 2

1. Al-Qur‟an .................................................................................................................... 2

a. Pengertian Al-Qur‟an .............................................................................................. 2

b. Ayat-ayat Makiyyah dan Madaniyyah .................................................................... 3

c. Hukum-hukum yang Terkandung dalam Al-Qur‟an ............................................... 4

d. Al-Qur‟an dalam Menetapkan Hukum .................................................................... 5

e. Al-Qur‟an Dalil Qath‟i dan Zhanni. ........................................................................ 8

f. Al-Qur‟an Dalil Kully dan Juz‟i............................................................................ 10

2. Sunah ............................................................................................................................ 11

1. Pengertian Sunah ...................................................................................................... 11

2. Kehujahan Sunah dan Pandangan Ulama Mazhab terhadap Hadits Ahad ............... 11

3. Kehujjahan Hadits Ahad ....................................................................................... 12

4. Persyaratan Hadits Ahad yang Disepakati Para Imam Madzhab .......................... 12

5. Sebab-sebab Perbedaan Pendapat dan Kedudukan Hadits Ahad dengan Qiyas ... 14

6. Dilalah (petunjuk) Sunah ...................................................................................... 14

7. Kedudukan Sunah terhadap Al-Qur‟an ................................................................. 15

8. Sebagai Musyar‟i (pembuat syari‟at) .................................................................... 16

9. Dalil Keabsahan Sunnah sebagai Sumber Hukum ................................................ 16

BAB III PENUTUP ............................................................................................................. 17

iii
a. Kesimpulan ............................................................................................................... 17

b. Saran ......................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 18

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam merupakan agama yang paling kompleks dalam menyelesaikan semua
masalah. Dalam Islam semua masalah yang ada ataupun permasalahan yang akan
datang dapat diselesaikan dengan cara yang sistematis. Dalam Islam, sumber hukum
yang paling utama dan pertama adalah Al-Qur‟an. Al-Qur‟an merupakan sumber
hukum Islam yang sudah pasti kebenarannya, karena Al-Qur‟an merupakan wahyu
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara Malaikat Jibril dan
dijaga keutuhannya oleh Allah sampai Hari Akhir datang.
Selain Al-Qur‟an menjadi sumber hukum Islam yang pertama, Islam juga
mempunyai sumber hukum Islam yang lain, sumber hukum itu adalah As-Sunnah.
As-Sunnah merupakan segala perilaku Rasulullah yang berkaitan dengan hukum, baik
berupa ucapan, perbuatan ataupun pengakuan. As-Sunnah dalam ilmu Ushul Fiqh
merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur‟an. As-Sunnah juga
berfungsi sebagai penjelas dari Al-Qur‟an, dan juga As-Sunnah adalah jawaban
apabila kita tidak menemukan suatu kepastian dalam Al-Qur‟an.
Oleh karena itu, kita dalam menyelesaikan semua permasalahan yang ada dan
permsalahan yang akan datang, maka kita harus menggunakan sumber hukum Islam
yang telah Allah berikan kepada kita, baik itu Al-Qur‟an maupun As-Sunnah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Al-Qur‟an dan As-Sunnah
2. Apa saja hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah
3. Bagaimana Al-Qur‟an dan As-Sunnah dalam menetapkan hukum
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Al-qur‟an As-sunnah
2. Untuk mengetahui hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur‟an dan As-
Sunnah
3. Untuk mengetahui Al-Qur‟an dan As-Sunnah dalam menetapkan hukum
D. Metode
Metode dalam penulisan ini adalah dengan kajian pustaka. Dimana penulis
menggunakan buku dan literatur-literatur yang berhubungan dengan judul makalah

1
BAB II
PEMBAHASAN
Al-Qur’an dan As-Sunah

Sumber Hukum Islam menurut Effendi (2009, p. 77) adalah Al-Qur‟an dan Sunnah
Rasulullah. Dua sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya
merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Ada juga dalil-dalil lain selain Al-
Qur‟an dan Sunnah seperti qiyas, istihsan dan istishlah, tetapi tiga dalil tersebut terakhir ini
hanya sebagai dalil pendukung yang hanya merupakan alat bantu untuk sampai kepada
hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah.
1. Al-Qur’an
a. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur‟an dalam kajian Ushul Fiqh merupakan objek pertama dan utama pada
kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Al-Qur‟an menurut bahasa berarti
“bacaan” dan menurut istilah Ushul Fiqh Al-Qur‟an berarti “kalam (perkataan) Allah yang
diturunkan-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan
bahasa Arab serta dianggap beribadah membacanya.”
Al-Qur‟an telah mewajibkan ittiba‟ dan menaati hukum-hukum dan peraturan-
peraturan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW (Rahman, 1974, p. 61). Dalam
beberapa ayat antara lain: Al-Hasyr ayat 7
ۤ
‫السبِْي ِِۙل‬ ِ ْ ‫اّلل َع هلى ر ُس ْولِوٖ ِم ْن اَ ْى ِل الْ ُق هرى فَلِ هلّ ِو ولِ َّلر ُس ْوِل ولِ ِذى الْ ُقرهٰب والْيَ ت ههمى والْم هس ِك‬
َّ ‫ْي َوابْ ِن‬ َ َ َ ْ َ َ َ ‫ه‬
ُّ َ َ‫َمآ اَف‬
‫ء‬ ‫ا‬
ۚ
‫ه‬ ْۗ ِ ِ ۤ ِ
‫الر ُس ْو ُل فَ ُخ ُذ ْوهُ َوَما نَ ههى ُك ْم َعْنوُ فَانْتَ ُه ْوا َواتَّ ُقوا‬
َّ ُ‫م‬‫ك‬ُ ‫ى‬ ‫ه‬
‫ت‬ ‫ا‬ ‫ا‬
ٓ ‫م‬
َ َ ْ ‫ْي ْاَلَ ْغنيَاء مْن ُك‬
‫و‬ ‫م‬ َ ْ َ‫َك ْي ََل يَ ُك ْو َن ُد ْولَةً ۢ ب‬
ِ ‫اّلل َش ِديْ ُد الْعِ َق‬ ِ ‫ه‬
‫اب‬ َّ‫اّللَ ْۗا َّن ه‬
ّ
Artinya : “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah,
untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-
orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-
orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan

2
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (QS.
Al-Hasyr [59] : 7)
Al-Qur‟an mulai diturunkan di Makkah, tepatnya di Gua Hira pada tahun 611 M, dan
berakhir di Madinah pada tahun 633 M, dalam jarak waktu kurang lebih 22 tahun beberapa
bulan. Ayat pertama diturunkan adalah ayat 1 sampai dengan ayat 5 Surat Al-„Alaq:
ِۙ ِ‫ ا‬۲ ‫اَلنْسا َن ِمن علَ ٍۚق‬ ۚ
‫ الَّ ِذ ْي َعلَّ َم ِِبلْ َقلَ ِِۙم ٗ َعلَّ َم‬۳ ‫ك ْاَلَ ْكَرُم‬ ‫ب‬
‫ر‬
ُّ ‫و‬
َ ََ َ ْ
‫أ‬
‫ر‬ ‫ق‬
ْ ِ
َ ْ َ َ َ َ َ‫ك الَّذ ْي َخل‬
ْ ‫ق‬‫ل‬
َ ‫خ‬ ۱ ‫ق‬ ِ ِ‫اِقْ رأْ ِِبس ِم رب‬
َ َّ ْ َ
ْۗ ِْ
٘ ‫اَلنْ َسا َن َما ََلْ يَ ْعلَ ْم‬
Artinya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-„Alaq [96] :1-5)
Sedangkan tentang ayat yang terakhir diturunkan ulama berbeda pendapat, dan dari
sekian pendapat ulama, pendapat yang dipilih oleh Jalaluddin As-Suyuti (w.911 H) seorang
ahli ilmu Al-Qur‟an, dalam kitanbya al-Itqam fi ulum Al-Qur‟an yang dinukilnya dari Ibnu
Abbas adalah ayat 281 Surat Al-Baqarah:

ٍ ‫اّللِ ُُْۗثَّ تُ َو هّّف ُك ُّل نَ ْف‬ ِِِ


ࣖ‫ت َوُى ْم ََل يُظْلَ ُم ْو َن‬
ْ َ‫س َّما َك َسب‬ ّ‫َواتَّ ُق ْوا يَ ْوًما تُ ْر َجعُ ْو َن فْيو ا ََل ه‬
Artinya : “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu
kamu semua dikembalikan kepada Allah. kemudian masing-masing diri diberi
Balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka
sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).(QS. Al-Baqarah [2] : 281).

b. Ayat-ayat Makiyyah dan Madaniyyah


Al-Qur‟an turun dalam dua periode, yaitu pertama periode Mekkah sebelum
Rasulullah hijrah ke Madinah dan ayat diturunkan pada periode ini dikenal dengan ayat-ayat
Makkiyah, dan periode kedua setelah Rasulullah hijrah ke Madinah yang dikenal dengan
ayat-ayat Madaniyah. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah pada umumnya yang menjadi
inti pembicaraannya adalah tentang masalah-masalah keyakinan (Aqidah), dalam rangka
meluruskan keyakinan umat di masa Jahiliyah dan menanamkan ajaran Tauhid. Untuk sampai
kepada Aqidah yang benar ayat-ayat Makkiyah mendorong umat manusia untuk
menggunakan akal yang sehat untuk memikirkan alam nyata disekitarnya sebagai bukti atas
wujud dan kekuasaan-Nya. Misalnya firman Allah:

3
ِ
‫ت‬ َ ‫اْلبِ ِل َكْي‬
ْ ‫ف ُخل َق‬ ِْ ‫أَفَ ََل يَنظُرو َن إِ ََل‬
ُ
ِ ‫السم ِاء َكي‬
‫ت‬ َ ْ َ َّ ‫َوإِ ََل‬
ْ ‫ف ُرف َع‬
ِ ُ‫اْلِب ِال َكيف ن‬
‫ت‬
ْ َ‫صب‬ َ ْ َ ْ ‫َوإِ ََل‬
‫ت‬ ِ ِ ‫َوإِ ََل ْاْل َْر‬
ْ ‫ف ُسط َح‬
َ ‫ض َكْي‬
Artinya : “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, dan
langit, bagaimana ia ditinggikan? dan gunung-gunung bagaimana ia
ditegakkan? dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. Al-Ghasiyyah [88] :
17-20).
Di samping itu ayat-ayat Makkiyah juga berbicara tentang kisah umat-umat masa
lampau sebagai pelajaran bagi umat Nabi Muhammad SAW. Dalam masalah hukum belum
banyak ayat-ayat hukum diturunkan di Mekah kecuali beberapa hal, antara lain kewajiban
menjaga kehormatan (faraj) kecuali terhadap pasangan suami istri seperti firman Allah:

‫ فَ َم ِن‬ٙ ۚۚ ‫ْي‬ۡ ‫والَّ ِذ ۡين ى ۡم لِفر ۡوِج ِه ۡم ح ِفظ ۡو ِۙن ٘ اََِّل ع هلٓى ا ۡزو ِاج ِه ۡم ا ۡو ما مل ك ۡت ا ۡۡيان ه ۡم فاِنَّه ۡم غ ۡي ر مل ۡوِم‬
َ َُ ُ َ ُ َ ُ ُ َ َ َ ََ َ َ ََ َ َُ ‫ه‬ ُُ ُ َ َ
ۡ
ٚ ۚۚ ‫ك ُى ُم ال هع ُد ۡو َن‬
َ ‫ك فَاُوهلِٕٓى‬
ِ ۡ
َ ‫اب تَ غهى َوَرآءَ هذ ل‬
Artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam
hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu[995] Maka mereka
Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mu‟minun [23] : 5-7)

c. Hukum-hukum yang Terkandung dalam Al-Qur’an


Al-Qur;an sebagai petunjuk hidup (Effendi, 2009, p. 92) secara umum mengandung
tiga ajaran pokok:
1. Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan Aqidah (keimanan) yang membicarakan
tentang hal-hal yang wajib diyakini, seperti masalah tauhid, masalah kenabian,
mengenai kitab-Nya, Malaikat-Nya, hari kemudian dan sebagainya yang
berhubungan dengan doktrin „akidah.
2. Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akhlak, yaitu hal-hal yang harus
dijadikan perhiasan diri oleh mukalaf berupa sifat-sifat keutamaan dan

4
menghindarkan diri dari hal-hal yang membawa kepada kehinaan (doktrin
akhlak).
3. Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan
amal perbuatan mukalaf (doktrin syari‟ah/fikih). Dari hukum-hukum amaliyah
inilah timbul dan berkembangnya ilmu fikih. Hukum-hukum amaliyah dalam Al-
Qur‟an terdiri dari dua cabang, yaitu hukum-hukum ibadah yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah, dan hukum-hukum mu‟amalat yang mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan bidang ibadah dan bidang al-Ahwal al-
Syakhsyiyah (ihwal perorangan atau keluarga) disebut lebih terperinci di banding dengan
bidang-bidang hukum yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memerlukan
bimbingan lebih banyak dari Allah dalam hal beribadah dan pembinaan keluarga. Banyak
manusia yang menyekutukan Allah, ini perlu diluruskan dan ditegur, sedang keluarga
merupakan unsur terkecil dalam masyarakat dan akan member warna terhadap yang lainnya.

d. Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum


Kebijakan Al-Qur‟an (Rosidin & Abdurahman, 2012, p. 76) dalam menetapkan
kebijakan hukum menggunakan prinsip:
1. Memberikan kemudahan dan tidak menyulitkan
ِۚ ‫ُكتِب علَ ۡي ُك ۡم اِ َذا حضر اَح َد ُكم ۡالم ۡوت اِ ۡن تَرَك خ ۡي را ۖ ۚۚ لا ۡلو ِِيَّةُ لِ ۡلوالِ َد ۡي ِن و ۡاَلَ ۡق ربِ ْۡي ِِب ۡلم ۡعر ۡو‬
‫ ِۚ َحقِّا‬ َُ َ َ َ َ َ ََ َ ُ َ ُ َ ََ َ َ َ
ٔٛٓ ٖ‫ْي‬ ۡ ‫على ۡالمت َِّق‬
َ ُ ََ
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2] : 180).

Dijumpai dalam Al-Qur‟an hukum-hukum yang bersifat Azimah (kemestian) dan


hukum rukhshah (keringanan), misalnya kewajiban untuk shaum, dan dalam keadaan sakit,
bepergian boleh buka dan meng-qada-nya, mengqasar shalat dari empat menjadi dua rakaat,
bertayamum sebagai ganti air untuk berwudhu, makan makanan yang terlarang dalam
keadaan darurat.
2. Menyedikitkan Tuntutan

5
ۡ ۡ ‫ۤي اي ها الَّ ِذ ۡين اهمن ۡوا َل ت ۡس ل ۡوا ع ۡن ا ۡشيآء اِ ۡن ت ۡبد ل ك ۡم تس ۡؤك ۡم ۚۚ واِ ۡن ت ۡس ل ۡوا ع ۡن ها ِح‬
‫ْي يُنَ َّزُل ال ُق ۡراه ُن تُ ۡب َد‬
َ َ َ َُ َ َ ُ ُ َ ُ َ َ ُ َ َ َ َ َُ َ َ ُ َ َ َ َُّ ‫ه‬
ۡ ‫ه‬
ٔٓٔ ‫اّللُ َغ ُف ۡوٌر َحلِ ۡي ٌم‬
ّ‫اّللُ َعن َها ٖ َو ه‬
ّ ‫لَ ُكم ٖ َع َفا‬
ۡ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu)
hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu
menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan
kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Maidah [5] :101)

Selain itu ayat Al-Qur‟an yang berjumlah 6342 ayat (menurut sebagaian pendapat)
hanya sekitar 500 ayat saja yang berkaitan dengan hukum. Bahkan sebagaian pendapat
menyebutkan kurang dari 500 ayat. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur‟an menyedikitkan
tuntutan. Demikian juga misalnya: perintah zakat, hanya bagi orang yang mampu saja, ibadah
haji juga hanya bagi orang yang istitha saja.

3. Bertahan dalam Menerapkan Hukum


Hal ini ditujukan dengan beberapa contoh. Haramnya minuman keras dan perjudian
proses larangannya sampai tiga kali.
Allah swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 219 yang berbunyi :
ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ
ِ ‫ك َع ِن اۡلَ ۡم ِر َوال َم ۡي ِس ِرٖ قُ ۡل فِ ۡي ِه َمآ اُِثٌ َکبِ ۡي ٌر َّوَمنَافِ ُع لِلن‬
ٖ ‫َّاس َواِۡثُُه َمآ اَکبَ ُر ِم ۡن نَّفعِ ِه َما‬ ۡ ۡ
َ َ‫۞ يَس َلُون‬
ِۙ ۡ ِ‫وي ۡس َلُ ۡونَك ما َذا ي ۡن ِف ُق ۡو َنٖ قُ ِل ۡالع ۡفوٖ َك هذل‬
ٕٜٔ ‫ت لَ َعلَّ ُک ۡم تَتَ َف َّك ُر ۡو َن‬
ِ ‫اَل هي‬
‫اّللُ لَ ُك ُم ه‬
‫ْي ّه‬ ِ ‫ب‬
ُ ّ َُ َ‫ي‬ ‫ك‬ ََ ُ َ َ ََ
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi
dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu
apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu
berfikir.” (QS. Al-Baqarah [2] : 219).

Allah swt berfirman dalam surat An-nisa ayat 43 yang berbunyi :

6
ۡ ۡ ۤ
‫الص هلوَة َواَن تُ ۡم ُس َك هارى َح هّّت تَ ۡعلَ ُم ۡوا َما تَ ُق ۡولُ ۡو َن َوََل ُجنُبًا اََِّل َعابِ ِر ۡى َسبِ ۡي ٍل‬ ۡ
َّ ‫يه اَيُّ َها الَّ ِذي َن اه َمنُ ۡوا ََل تَقَربُوا‬
ۡ ۡ ۤ ۡ ۡ ۡ
‫َح هّّت تَغتَ ِسلُ ۡوا ٖ َواِن ُكن تُ ۡم َّم ۡر هضى اَ ۡو َع هلى َس َف ٍر اَ ۡو َجآءَ اَ َح ٌد ِّمن ُك ۡم ِّم َن الغَآ ِٕٮ ِط اَ ۡو هل َم ۡستُ ُم النِّ َسآءَ فَلَ ۡم‬

ٖٗ ‫اّللَ َكا َن َع ُف ِّوا َغ ُف ۡوًرا‬ ِ ۡ ِۡ ۡ ۡ ِ ۡ ۡ ۡ ۡ ِ ‫ََِتد ۡوا مآء ف ت يمم ۡوا‬


ّ‫ِعي ًدا طَيِّبًا فَام َس ُحوا بِ ُو ُجوى ُكم َواَيدي ُكم ٖ ا َّن ه‬ َ ُ َّ َ ََ ً َ ُ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu
saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi
Maha Pengampun”. (QS. An-Nisa [4]: 43)
Allah swt berfirman dalam surat Al-maidah ayat 90 yang berbunyi :
ۡ ‫عم ِل الش َّۡي هط ِن ف‬
‫اجتَنِبُ ۡوهُ لَ َعلَّ ُك ۡم‬ ‫س ِّم ۡن‬‫ج‬ۡ ‫و ۡالم ۡي ِسر و ۡاَل ۡنصاب و ۡاَل ۡزَلم ِر‬ ۡ ۤ ۤ
‫هٰيَيُّ َها الَّ ِذ ۡي َن اه َمنُ ۡوا اََِّّنَا اۡلَ ۡم ُر‬
َ ََ ٌ ُ ََ َ ُ َ َ َ ُ َ َ
ۡ
ٜٓ ‫تُفلِ ُح ۡو َن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.” (QS. Al-Maidah [5]: 90)
Dari ayat-ayat diatas jelas tahapan-tahapan dalam mengharamkan khamar dan maisir.
Dalam ayat 219 Al-Baqarah hanya disebutkan bahwa dosa minum khamar dan bermaisir
lebih besar daripada manfaatnya. Kemudian dikuatkan kembali dalam surat An-Nisa : 43
tidak boleh mendekati shalat jika mabuk. Akhirnya diharamkan dalam surat Al-Maidah : 90.
4. Al-Qur‟an Memberikan Hukum Sejalan dengan Kemaslahatan Manusia.
Hal ini dibuktikan dengan seringnya Al-Qur‟an menyebutkan sebab atau illat hukum.
Misalnya tentang adanya pengaturan harta. Disebut bahwa pengaturan tersebut dimaksudkan
agar harta itu tidak hanya berputar di antara orang yang kaya saja. Juga dalam hal tidak boleh
mencela berhala:

7
َّ‫ك َزيَّنَّا لِ ُك ِّل اَُّم ٍة َع َملَ ُه ۡم ُُث‬ ِ‫وََل تَسبُّوا الَّ ِذ ۡين ي ۡدع ۡو َن ِم ۡن د ۡو ِن هاّللِ فَيسبُّوا هاّلل ع ۡد ۢوا بِغَ ۡ ِۡي ِع ۡل ٍم ٖ َك هذل‬
َ ً َ َّ ُ َ ّ ُ ُ ََ ُ َ
ٔٓٛ ‫اِ هَل َرّّبِِ ۡم َّم ۡرِجعُ ُه ۡم فَيُنَ بِّئُ ُه ۡم ِِبَا َكانُ ۡوا يَ ۡع َملُ ۡو َن‬
Artinya : “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-
An‟am [6] : 108)

Dalam ayat ini ada larangan memaki-maki berhala, karena bila kita memaki berhala,
merekapun akan memaki-maki Allah. Al-Isra ayat 32

ٖٕ ‫اح َشةً ٖ َو َسآءَ َسبِ ۡي ًَل‬ ِّ ‫َوََل تَ ۡقربُوا‬


ِ َ‫الز هٰٓن اِنَّوٖ َكا َن ف‬
َ
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra [17] : 32)

Dalam ayat tersebut dilarang mendekati perbuatan yang akan mendorong pada zina.
Zina itu termasuk pada perbuatan yang keji dan menuju pada kehancuran akhlak manusia.
Oleh karena itu dalam hukum Islam tindak pidana zina bukan delik aduan akan tetapi delik
biasa.

e. Al-Qur’an Dalil Qath’i dan Zhanni.


Al-Qur‟an yang diturunkan secara mutawatir dari segi turunnya berkualitas Qath‟i
(pasti benar) akan tetapi, hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur‟an ada kalanya
bersifat Qath‟i dan ada kalanya bersifat zhanni (relative benar).
Ayat yang bersifat Qath‟i adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan
tidak bisa dipahami makna lain darinya. Ayat-ayat seperti misalnya: ayat-ayat waris, hudud,
kaffarat. Contoh dalam kaffarat sumpah:

8
ۡ ۡ
ِ‫اخ ُذ ُك ۡم ِِبَا َع َّق ْد ُُّّتُ اَلَ ۡۡيَا َن ۚ فَ َكفَّارتُوٖ ۤۚ اِط َع ُام َع َشرة‬ ِ ‫اخ ُذ ُكم هاّلل ِِبللَّ ۡغ ِو ِ ّۡۤف اَۡۡيَانِ ُك ۡم وهل ِك ۡن يُّؤ‬
ِ
َ َ َ َ ُّ ُ ‫ََل يُ َؤ‬
ِ َ‫م هس ِك ْۡي ِم ۡن اَ ۡوس ِط ما تُ ۡطعِم ۡو َن اَ ۡىلِ ۡي ُك ۡم اَ ۡو كِ ۡسوتُه ۡم اَ ۡو َ َۡت ِرۡي ر رقَب ٍة ٖ فَم ۡن ََّۡل ََِي ۡد ف‬
‫صيَ ُام ثَ هلثَِة اََّٰيٍم ٖ هذ‬ َ ََ ُ َُ ُ َ َ َ َ
ۡ
ٜٛ ‫اّللُ لَ ُك ۡم اه هيتِوٖ لَ َعلَّ ُك ۡم تَش ُك ُر ۡو َن‬ ِ ۡ ۡ ۤۡ ۡ ۡ ۡ ِ ۡ ۡ ‫لِك َكف‬
ّ‫ْي ه‬ َ ‫َّارةُ اَۡيَانِ ُكم ا َذا َحلَفتُم ٖ َواح َفظُوا اَۡيَانَ ُكم ٖ َك هذل‬
ُ ِّ َ‫ك يُب‬ َ َ
Artinya : “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah
memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu
berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang
demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah
kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan
jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-
Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”(QS. Al-Maidah [5] : 89)

Adapun ayat-ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam Al-
Qur‟an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk dita‟wilkan.
Misalnya lafal musytarak (mengandung pengertian ganda) yaitu lafal quru yang terdapat
dalam surat Al-Baqarah ayat 228.
ۡ ۡ ۡ ۡ
‫ّف اَ ۡر َح ِام ِه َّن اِن ُك َّن‬ ‫ت يَتَ َر بَّ ۡص َن ِِبَ ۡن ُف ِس ِه َّن ثَ هلثَةَ قُ ُرۡٓوٍء ٖ َوََل ََِي ُّل ََلُ َّن اَن يَّكتُ ۡم َن َما َخلَ َق ّه‬
ٓۡ ِ ُ‫اّلل‬ ‫ه‬
ُ ُ ‫َو‬
‫ق‬ َّ
‫ل‬ َ‫ط‬‫م‬ ‫ال‬
ۡ ۡ ِ ‫ِ ِِ ِۡ ه‬ ۡ ِۡ ۡ ِ
‫ك اِن اََر ُادۡٓوا اِ ِۡ ََل ًحا ٖ َوََلُ َّن ِمث ُل الَّ ِذ ۡى‬ َ ‫ل‬ ‫ذ‬ ‫ّف‬ ‫ن‬ ‫ى‬ ‫د‬‫ر‬‫ب‬ ‫ق‬
ُّ ‫ح‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ه‬ ‫ت‬
َّ ّ َ َ َ َّ ُ ُ ُ ُ َ ‫ل‬
َ‫و‬ ۡ ‫اَل ِخ ِرٖ وب ع‬ ‫ه‬ ‫يُ ۡؤِم َّن ِِب هّّلل َواليَ وم‬

ٕٕٛ ‫اّللُ َع ِزۡي ٌز َح ِك ۡي ٌم‬ ‫ ِۚ َولِ ِّلر َج ِال َعلَ ۡي ِه َّن َد َر َجةٌ ٖ َو ّه‬ ِ ‫علَ ۡي ِه َّن ِِب ۡلم ۡعر ۡو‬
َُ َ
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'[142]. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai

9
satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2] : 228).

Kata quru di atas merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci
dan haid. Oleh karena itu, apabila kata quru diartikan dengan suci sebagaimana yang dianut
ulama Syafiyyah adalah boleh. Dan jika diartikan denganhaid juga boleh sebagaimana yang
dianut ulama Hanafiyah.

f. Al-Qur’an Dalil Kully dan Juz’i


Al-Qur‟an sebagai sumber utama hukum Islam (Rosidin & Abdurahman, 2012, p. 81)
menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara:
1. Penjelasan rinci (zuj‟i) terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya,
seperti yang berkaitan dengan masalah Aqidah, hukum waris, hukum-hukum yang
terkait dengan masalah pidana, hudud, dan kaffarat. Hukum-hukum yang rinci ini,
menurut para ahli Ushul Fiqh sebagai hukum taabbudi yang tidak bisa dimasuki
oleh logika.
2. Penjelasa Al-Qur‟an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu bersifat global,
umum, dan muthlaq, seperti dalam masalah shalat yang tidak dirinci berapa kali
sehari dikerjakan, berapa rakaat untuk satu kali shalat, apa hukum dan syaratnya.
Demikian juga dalam masalah zakat, tidak dijelaskan secara rinci benda-benda
yang wajib dizakati, berapa nisab zakat, dan berapa kadar yang harus dizakatkan.
Untuk hukum-hukum yang bersifat global, umum, dan muthlaq ini, Rasulullah
saw melalui sunnahnya bertugas menjelaskan dan membatasinya. Hal inilah yang
diungkapkan Al-Qur‟an dalam surat An-Nahl:44

ٗٗ ‫َّاس َما نُِّزَل اِلَ ۡي ِه ۡم َولَ َعلَّ ُه ۡم يَتَ َف َّك ُر ۡو َن‬


ِ ‫ْي لِلن‬ِ ِ‫الزب ِرٖ واَ ۡن ۡزلن ۤا اِلَ ۡيك ال ِّذ ۡكر ل‬ ِ ۡ
َ ّ َُ َ َ َ َ َ ُُّ َ ّ َ ‫ِِب‬
‫ب‬ ‫ت‬ ‫و‬ ‫هت‬‫ن‬ِ‫ي‬ ‫ب‬ ‫ل‬
Artinya : “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu
Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (QS. An-Nahl [16] :
44 ).

10
2. Sunah
1. Pengertian Sunah
Menurut (Rachmat Syafe'i, 2010, pp. 59-67) mengatakan bahwa dilihat secara
etimologi (bahasa) sunah merupakan jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang
senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk.
Makna tersebut bisa ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :
Artinya : “Barangsiapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam maka
ia menerima pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkan.” (HR. Muslim).
Secara terminologi (istilah), pengertian sunah bisa dilihat dari tiga disiplin ilmu :
1. Ilmu hadits, para ahli hadits mengidentikkan sunah dengan hadits, yaitu segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik perkataan, perbuatan,
maupun ketetapannya.
2. Ilmu Ushul Fiqh, menurut ulama ahli Ushul Fiqh, sunah adalah segala yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan,
yang berkaitan dengan hukum.
3. Ilmu Fiqh, pengertian sunah menurut para ahli fiqh hampir sama dengan pengertian
yang dikemukakan oleh para ahli Usuhul Fiqh. Akan tetapi, istilah sunah dalam fiqh
juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu perbuatan yang
akan mendapatkan pahala apabila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.

2. Kehujahan Sunah dan Pandangan Ulama Mazhab terhadap Hadits Ahad


Para ulama sepakat bahwa hadits sahih itu merupakan sumber hukum, namun
mereka berbeda pendapat dalam menilai kesahihan suatu hadits. Sebagian ulama hadits
menyaepakati bahwa dilihat dari segi sanad, hadits itu terbagi dalam mutawatir dan ahad,
sedangkan hadits ahad itu terbagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu masyhur, „aziz, dan
gharib. Namun menurut Hanafiyah, hadits itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu
mutawatir, masyhur, dan ahad.
Semua ulama telah menyepakati kehujjahan hadits mutawatir, namun mereka
berbeda pendapat dalam menghukumi hadits ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan dari
Rasulullah SAW oleh seorang, dua orang atau jamaah, namun tidak mencapai derajat
mutawatir.

11
3. Kehujjahan Hadits Ahad
Para ulama telah sepakat tentang kehujjahan hadits ahad jika benar dan yakin berasal
dari Rasulullah SAW dan telah disepakati oleh para sahabat, tabi‟in dan para ulama
setelahnya.
Pernyataan di atas telah disepakati oleh para ulama dari semua golongan, kecuali
golongan mu‟tazilah. Pendapat kaum mu‟tazilah tersebut bisa dipandang sebagai pendapat
yang keliru, karena mereka telah mengingkari berbagai ketetapan yang berkembang dan
sesuai dengan Al-Qur‟an. Mereka juga telah mengingkari kesepakatan para sahabat dan
para ulama yang menerima hadits ahad dan mengamalkannya apabila benar-benar datang
dari Rasulullah SAW.

4. Persyaratan Hadits Ahad yang Disepakati Para Imam Madzhab


Para Imam Madzhab telah disepakati tentang keharusan mengamalkan hadits ahad
dengan syarat berikut :
1. Perawi hadits sudah mencapai usia baligh dan berakal
2. Perawi harus muslim, karena bila tidak muslim, tidak bisa dipercaya hadits tersebut
benar-benar dari Rasulullah SAW
3. Perawi haruslah orang yang adil, yakni orang yang senantiasa bertakwa dan menjaga
dari perbuatan-perbuatan tercela.
4. Perawi harus betul-betul dhabit terhadap yang diriwayatkannya, dengan mendengar
dari Rasulullah, memahami kandungannya, dan benar-benar menghapalnya.
Persyaratan di atas disepakati oleh para Imam Madzhab ada yang memberikan
persyaratan-persyaratan tambahan lainnya.
a. Madzhab Imam Hanafi
Menurut ulama Hanafiyah, hadits ahad dapat diterima apabila memenuhi tiga
persyaratan lain selain persyaratan di atas :
a. Perbuatan perawi tidak menyalahi riwayatnya itu. Berdasarkan hal ini, ulama
Hanafiyah tidak membasuh bejana yang dijilat anjing sebanyak tujuh kali seperti yang
ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah yang berbunyi :
Artinya : “Sucinya wadah salah satu di antara kamu jika dijilat anjing, dengan
mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.
Mereka membasuhnya sebanyak tiga kali sebab Abu Hurairah (perawi) sendiri hanya
membasuhnya tiga kali, sedangkan jumhur tetap membasuhnya sebanyak tujuh kali.
Demikian pula masalah wali dalam nikah.
12
b. Riwayat itu (kandungan hadits) bukan hal yang umum terjadi dan layak diketahui oleh
setiap orang, seperti menyentuh kemaluan Karena hal yang demikian diketahui dan
diriwayatkan oleh orang banyak. Dengan demikian, hadits mengenai hal tersebut
dipandang syaz (ganjil). Oleh sebab itu, menurut ulama Hanafiyah menyentuh
kemaluan (zakar) tidak membatalkan wudhu. Selain itu, mengeraskan membaca
bismillah pada surat Al-Fatihah ketika shalat dan mengangkat tangan ketika ruku‟
dalam shalat tidak diharuskan.
c. Riwayat hadits itu tidak menyalahi qiyas selama perawinya tidak faqih. Di antara para
perawi yang tidak faqih menurut mereka adalah Abu Hurairah, Salman Al-Farisi, dan
Anas Ibnu Malik.

b. Madzhab Imam Maliki


Imam maliki menerima hadits ahad selama tidak bertentangan dengan amalan ulama
Madinah. Karena menurut Imam Malik, amalan ulama Madinah merupakan riwayat dari
Rasulullah SAW. Riwayat jamaah dari jamaah lebih utama daripada riwayat satu orang
dari satu orang (hadits ahad). Berdasarkan hal itu, mereka tidak menerima khiyar majlis,
karena bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku di Madinah.

c. Madzhab Imam Syafi’i


Madzhab Asy-Syafi‟i dalam menerima hadits ahad mensyaratkan empat syarat yaitu :
1. Perawinya tsiqat dan terkenal shidiq
2. Perawinya cerdik dan memahami isi hadits yang diriwayatkannya
3. Periwayatannya dengan riwayat bi al-lafzi bukan riwayat bi al-makna
4. Periwayatannya tidak menyalahi hadits ahl al-Ilmi. (Al-Amidi, I 1968:178).
Kalau kita perhatikan, persyaratan Asy-Syafi‟i tersebut sebenarnya hanya merupakan
persyaratan kesahihan suatu hadits pada umumnya, yaitu sahih sanad dan muttasil. Oleh
sebab itu Imam Syafi‟i menerima hadits ahad, apabila sanadnya sahih dan bersambung,
tanpa mensyaratkan syarat lain, seperti ulama di atas. Hadits mursal tidak diterima, kecuali
ada beberapa syarat tertentu.
Ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam menerima hadits ahad tidak mensyaratkan
sesuatu pun, kecuali harus sahih sanad-nya seperti Asy-Syafi‟i. Bahkan ia menerima hadits
mursal, namun lebih mendahulukan fatwa sahabat daripada hadits da‟if. (Ibnu Qadamah, I:
281 dan Ibnu Qayyim, I:30).

13
5. Sebab-sebab Perbedaan Pendapat dan Kedudukan Hadits Ahad dengan Qiyas
Penyebab perbedaan pendapat dari hadits ahad, di antaranya adalah perbedaan dalam
menentukan persyaratan perawi hadits. Adapun tentang persayaratan perawi yang dapat
diterima riwayatnya, ada yang disepakati dan ada juga yang diperselisihkan oleh para
ulama. Di antara persyaratan yang diperselisihkan oleh para ulama adalah ma‟ruf dan
majhul perawi.
Yang ma‟ruf pun terbagi menjadi dua yaitu : Pertama : yang ahli di bidang fiqh,
kedua : yang tidak ahli di bidang fiqh.
Hadits riwayat pertama dapat dijadikan hujjah dan didahulukan bila bertentangan
dengan qiyas, kecuali menurut pendapat Imam Malik, yang mendahulukan qiyas daripada
hadits ahad. Sedangkan hadits riwayat kedua (yang tidak faqih) menurut jumhur ulama,
masih tetap dapat diterima, baik hadits itu sejalan dengan qiyas maupun menyalahi qiyas.
Akan tetapi, menurut Hanafiyah dan Malikiyah, hadits riwayat kedua ini tidak dapat
diterima. (Al-Bukhari, I : 377).
Sehubungan dengan masalah ini, Abu Hasan Al-Basari lebih jauh menjelaskan
bahwa hadits ahad yang bertentangan dengan qiyas itu, apabila illat yang ada dalam qiyas
itu mansusah (diperkuat) dengan nash qath‟i, maka mereka sepakat tentang wajibnya
mengamalkan qiyas tersebut, karena nash atas illat tersebut bagaikan nash atas hukumnya.
Sedangkan apabila illat-nya itu mansusah dengan nash zhanni, maka mereka sepakat,
wajib mengamalkan hadits ahad, sebab hadits itu secara tegas (sarih) menunjukkan suatu
hukum (Al-Basari, II, 1983 : 263).
Menurut jumhur ulama hadits, Asy-Syafi‟i dan Al-Karakhi, kefaqihan seorang rawi
tidaklah menjadi syarat dalam mendahulukan hadits pada qiyas.
Adapun perawi majhul apabila diriwayatkan oleh ulama salaf dan mereka
menguatkan atas kesahihan haditsnya, maka ia dipandang sebagai perawi yang ma‟ruf dan
haditsnya dapat diterima. Sebaliknya, apabila tidak, maka haditsnya tertolak.
6. Dilalah (petunjuk) Sunah
Ditinjau dari segi petunjuknya, hadits sama dengan Al-Qur‟an, yaitu bisa qath‟iah
dilalah dan bisa zhanniyah dilalah. Demikian juga dari segi tsubut, ada yang qath‟i dan ada
yang zhanni. Kebanyakan ulama menyepakati pembagian tersebut, namun dalam
aplikasinya berbeda-beda.
Dalam kaitannya antara nisbat As-Sunah terhadapa Al-Qur‟an, para ulama telah
sepakat bahwa As-Sunah berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan
juga sebagai penguat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan As-
14
Sunah terhadap Al-Qur‟an apabila As-Sunah itu tidak sejalan dengan zhahir ayat Al-
Qur‟an.
7. Kedudukan Sunah terhadap Al-Qur’an
Sunah merupakan sumber kedua setelah Al-Qur‟an. Karena sunah merupakan
penjelas dari Al-Qur‟an, maka yang yang dijelaskan berkedudukan lebih tinggi daripada
yang menjelaskan. Namun demikian, kedudukan Sunah terhadap Al-Qur‟an sekurang-
kurangnya ada tiga hal berikut ini :
a. Sunah sebagai ta‟kid (penguat) Al-Qur‟an
Hukum Islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-Qur‟an dan Sunah. Tidak
heran kalau banyak sekali sunah yang menerangkan tentang kewajiban zakat,
puasa, larangan musyrik, dan lain-lain.
b. Sunah sebagai penjelas Al-Qur‟an
Sunah adlah penjelasa (bayanu tasyri‟) sesuai dengan firman Allah surat An-Nahl
[16] ayat 44 :
ِ َّ‫الزب ُِرٖ َوا َ ۡنزَ ۡلن َۤا اِلَ ۡيكَ الذّ ِۡك َر ِلتُبَيِّنَ ِللن‬
٤٤ َ‫اس َما نُ ِ ّز َل اِلَ ۡي ِه ۡم َولَعَلَّ ُه ۡم يَت َ َف َّك ُر ۡون‬ ِ ‫بِ ۡالبَيِّ ٰن‬
ُّ ‫ت َو‬
Artinya : “Telah kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir.”
(QS. An-Nahl [16] : 44).
Diakui bahwa umat Islam tidak mau menerima Sunah, padahal dari mana
mereka mengetahui bahwa shalat Zhuhur itu empat raka‟at, Magrib tiga raka‟at, dan
sebagainya kalau bukan dari sunah. Maka jelaslah bahwa sunah itu berperan penting
dalam menjelaskan maksud-maksud yang terkandung dalam Al-Qur‟an, sehingga dapat
menghilangkan kekeliruan dalam memahami Al-Qur‟an.
Penejelasan sunah terhadap Al-Qur‟an dapat dikategorikan menjadi tiga bagian :
1. Penjelasan terhadap hal yang global, seperti yang diperintahkannya shalat dalam Al-
Qur‟an tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan
shalat lainnya. Maka hal itu dijelaskan oleh sunah sebagaimana sabda Rsulullah
SAW : Artinya : “Shalatlah kamu semua, sebagaimana kamu melihat saya shalat.”
2. Penguat secara mutlaq. Sunah merupakan penguat terhadap dalil-dalil umum yang
ada dalam Al-Qur‟an.
3. Sunah sebagai takhsis terhadap dalil-dalil Al-Qurán yang masih umum.

15
8. Sebagai Musyar’i (pembuat syari’at)
Sunah tidak diragukan lagi merupakan pembuat syari‟at dari yang tidak ada dalam
Al-Qur‟an, misalnya diwajibkannya zakat fitrah, disunahkan aqiqah, dan lain-lain. Dalam
hal ini, para ulama berbeda pendapat :
1. Sunah itu memuat hal-hal yang baru yang belum ada dalam Al-Qur‟an.
2. Sunah tidak memuat hal-hal baru yang tidak ada dalam Al-Qur‟an, tetapi hanya
memuat (Rachmat Syafe'i, 2010)hal-hal yang ada landasannya dalam Al-Qur‟an.

9. Dalil Keabsahan Sunnah sebagai Sumber Hukum


Al-Qur‟an memerintahkan kaum muslimin untuk menaati Rasulullah SAW
seperti dalam ayat :
ِ‫الرس ۡوَل واُ ِوَل ۡاَلَ ۡم ِر ِم ۡن ُك ۡم ۚۚ فَاِ ۡن تَنَاز ۡعت ۡم ِ ّۡف َش ۡى ٍء فَرُّد ۡوه اِ ََل هاّلل‬ ‫ا‬
‫و‬ ‫ع‬ ‫ي‬ۡ ‫ۤي اي ها الَّ ِذ ۡين اهمن ۡۤوا ا ِط ۡي عوا هاّلل وا ِط‬
ّ ُ ُ َُ َ ُ َّ ُ ََ َّ ُ َ ُ َ َ َ َُّ ‫ه‬
ۡ ۡ ِۡ ۡ ِ ۡ ‫والرس ۡوِل اِ ۡن ك ۡن ت ۡم ت ۡؤِمن‬
ٜ٘ ‫ك َخ ۡي ٌر َّواَ ۡح َس ُن ََت ِو ۡي ًَل‬ َ
ِ‫اَل ِخ ِر ٖ هذ ل‬
‫ه‬ ‫م‬‫و‬ ‫ي‬ ‫ال‬‫و‬ ‫ه‬
‫ّلل‬ ِ
‫ِب‬
ََ ّ َ ُ ُ ُُ ‫ن‬ ‫و‬ ُ َّ َ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa [4] : 59).
Ada juga yang menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah SAW terdapat keteladanan
yang baik sebagaimana firman Allah swt :
ۡ ۡ
ٕٔ ٖ ‫اّللَ َكثِ ۡي ًرا‬ ‫لََق ۡد َكا َن لَ ُك ۡم ِ ّۡف َر ُس ۡوِل ّه‬
‫اّللِ اُ ۡس َوةٌ َح َسنَةٌ لِّ َم ۡن َكا َن يَ ۡر ُجوا ّه‬
‫اّللَ َواليَ ۡوَم ه‬
‫اَل ِخَر َوذَ َكَر ّه‬
Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab [33] : 21).
Bahkan dalam ayat yang lain Allah memuji Rasulullah SAW sebagai seorang yang agung
akhlaknya :

ٗ ‫َّك لَ َع هلى ُخلُ ٍق َع ِظ ۡي ٍم‬ ِ


َ ‫َوان‬
Artinya : “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-
Qalam [68] : 4)

16
Disamping itu, Allah menilai bahwa orang yang menaati Rasulullah adalah sama
dengan menaati Allah seperti dalam ayat :
ۡ ۡ ۤ ‫ۚ ۡ ه‬ ۡ
ٛٓ ٖ ‫هك َعلَ ۡي ِه ۡم َح ِف ۡيظًا‬ ‫ل‬ ‫اع ّه‬
َ ‫اّللَ ۚ َوَمن تَ َوَّل فَ َما اَر َس‬
‫ن‬ َ ‫ط‬
َ ‫ا‬
َ ‫د‬ ‫الر ُس ۡوَل فَ َق‬ ۡ
َّ ‫َمن يُّ ِط ِع‬
Artinya : “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan
Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisa [4] : 80)

BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Al-Qur‟an merupakan firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril yang
diawali dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Dengan demikian Al-Qur‟an
merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama dibandingkan dengan sumber
hukum Islam yang lainnya. Sedangkan As-Sunnah merupakan segala sesuatu yang datangnya
dari diri Rasulullah SAW baik ucapan, perbuatan dan tingkah laku beliau. Dengan demikian
As-Sunnah disebut sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur‟an.
Adapun hukum-hukum yang terkandung didalam Al-Qur‟an diantaranya mengenai
aqidah, akhlaq, dan juga perbuatan-perbuatan amaliyah. Begitupun dengan As-Sunnah tidak
jauh berbeda dengan Al-Qur‟an hukumnya karena apabila tidak dijelaskan hukum dalam Al-
Qur‟an maka akan dijelaskan dalam As-Sunnah. Sehingga hukumnya saling berkaitan antara
Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
Al-Qur‟an dan As-Sunnah dalam menetapkan hukum yaitu untuk memudahkan,
menyedikitkan tuntutan, bertahan dalam menerapkan hukum, Al-Qur‟an memberikan hukum
Sejalan dengan kemaslahatan manusia.

b. Saran
Makalah yang kami buat sangat jauh dari sempurna, maka dari itu Kritik dan saran yang
membangun kami tunggu agar ada perbaikan di kemudian harinya .

17
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, S. (2009). USHUL FIQH. Jakarta: KENCANA.


Rachmat Syafe'i, M. (2010). Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Rahman, F. (1974). Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: ALMA 'ARIF.
Rosidin, D., & Abdurahman, R. (2012). USHUL FIQH. Bandung: Pendidikan Bahasa Arab.

18

Anda mungkin juga menyukai