Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KAIDAH-KAIDAH AKUNTANSI AYARIAH


Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah :
“Akuntansi Syariah”

Dosen Pengampu :
“Sukamto, M.E.I.”

Disusun Oleh :
NURIN HANUM W. N.

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA


(STAIM)
NGLAWAK – KERTOSONO – NGANJUK
2018

i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala Puji Syukur teruntuk Ilahi Rabbi, shalawat dan salam semoga
senantiasa terlimpah atas Rasulullah SAW. Seluruh keluarga, kerabat, dan
sahabatnya. Aamiin.
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena
akhirnya kami dapat meyelesaikan makalah yang berjudul “KAIDAH-KAIDAH
AKUNTANSI SYARIAH” tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini kami
ucapkan banyak terima kasih kepada Pak Sukamto, M.E.I. selaku dosen
pengampu mata kuliah AKUNTANSI SYARIAH yang telah banyak memberikan
bimbingan dan pengarahan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan yang
mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk
memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif
dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya. Dan kami berharap makalah yang sederhana ini bermanfaat, terutama
bagi yang membutuhkannya.
Akhirnya, semoga Allah meridhoi kegiatan penyusunan makalah ini dan
memberikan manfaat bagi kita semua yang membacanya.

Nglawak, 28 Maret 2018


Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 1
C. Tujuan .............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2
A. Pengertian “Kaidah” Menurut Ushul Fiqih Islam ........................... 2
B. Pengertian Kaidah Akuntansi Dalam Konsep Islam ....................... 4
C. Sifat-Sifat Kaidah Akuntansi Menurut Konsep Islam ..................... 8
D. Persamaan dan Perbedaan antara Kaidah Akuntasi Islam dan
Kaidah Akuntansi Konvensional ................................................... 16
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 19
A. Kesimpulan .................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah dan istilah akuntansi dalam konvensional tidak umum lagi
untuk sebagian orang, namun bagaimana dalam syariah islam?, kaidah dalam
akuntansi syariah di gunakan untuk menemukan hukum-hukum yang
berpegang Nas yaitu Al-baqarah 282, akuntansi islam sudah ada sejak zaman
Rosulullah untuk perhitungan zakat dan instalansi pemerintahan dan lain-lain,
di akuntansi konvensional sendiri mengklaim lukas paciolo dari italia sebagai
bapak akuntansi yang pertama memukakan metode akuntansi. Tentunya walau
demikian pastilah terdapat perbedaan baik dalam kaidah maupun istilahnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kaidah Akuntasai Syariah itu?
2. Bagaimana ciri-ciri Akuntasi Syariah?
3. Bagaimana pembagian Kaidah-kaidah akuntasi?
4. Apa Persamaan dan Perbedaan Kaidah Akuntasi Islam dengan Kaidah
Konvensonal ?
5. Apa istilah-istilah yang di gunakan dalam Akuntasi Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang pengertian kaidah Akuntasai Syariah
2. Untuk mengetahui tentang ciri-ciri Akuntasi Syariah
3. Untuk mengetahui tentang pembagian Kaidah-kaidah akuntasi
4. Untuk mengetahui tentang Persamaan dan Perbedaan Kaidah Akuntasi
Islam dengan Kaidah Konvensonal
5. Untuk mengetahui tentang istilah-istilah yang di gunakan dalam
Akuntasi Islam

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian “Kaidah” Menurut Ushul Fiqih Islam
1. Arti Kata Kaidah Menurut Ilmu Ushul Fiqih
Menurut ulama ushul fiqih, “kaidah” ialah persoalan-persoalan
umum yang semua unsurnya mengandung hukum-hukum bagi bagian-
bagian persoalan yang banyak. Kaidah-kaidah ini digunakan untuk
memahami dan menyimpulkan hukum-hukum syar’i praktis dari dalil-
dalil yang terperinci.1
Sebagai contoh, kaidah al-Amru lil-Ijabi artinya bahwa “perintah
itu wajib”. Kaidah ini digunakan untuk menentukan hukum-hukum
syar’i praktis yang wajib, seperti pada firman Allah yang artinya “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman”. (al-Baqarah:278).
Disini, Allah memerintahkan kepada kita untuk meninggalkan
riba. Perintah ini adalah suatu hukum, bahwa meninggalkan riba itu
adalah wajib. Begitu juga dengan kaidah an-Nahyu lit-Tahrim (larangan
itu adalah untuk pengharaman) dalam menentukan hukum syar’i praktis
terhadap persoalan-persoalan yang dilarang. Seperti firman Allah yang
arinya: “.... dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari
utangnya.......” (al-Baqarah:282).
Disini, Allah melarang kita mengurangi sesuatu pada
penghitungan. Ini berarti bahwa mengurangi hak orang lain itu dilarang.
Dalam meletakan kaidah-kaidah itu dengan
metode istiqra’i (penyimpulan), yaitu penyimpulan hukum-hukum syar’i
dan demikian pula dengan illat-illat hukum serta hikmah
pensyariatannya. Para ulama ushul selalu menggunakan uslub-uslub
bahasa Arab dan keterangan-keterangan syar’i (hukum Islam).

1 Syekh Abdul Wahab Khallaf, Usul Fiqh Islam, (Dar al-Kalam, 1980), cet II hlm.13

2
Diantara kaidah-kaidah global yang penting dalam fiqih Islam
adalah:2
a. Perintah itu menunjukan kepada wajib
b. Larangan itu menunjukan kepada haram
c. Al-am ialah yang tersusun semua unsurnya secara pasti
d. Mutlak adalah menunjukan atas unsur yang umum tanpa ikatan
Sementara itu, kaidah-kaidah kulli (global) yang dipakai oleh
ulama fiqih adalah kaidah-kaidah selektif yang akan diterapkan pada
bagian-bagian dalil kulli (global) untuk mencapai hukum syar’i praktis
yang dapat digunakan di bidang-bidang berikut:3
a. Untuk memahami nash-nash syar’i dalam mengetahui hukum-hukum
yang dikandungnya, dan juga untuk mengetahui rahasia-rahasia yang
masih tersembunyi didalamnya serta apa-apa yang dibatalkan ketika
terjadi ta’arud(kintradiksi) antara satu nash dan nash yang lain.
b. Untuk menarik hukum dengan qiyas, istihsan atau yang lainnya
ketika tidak ada nash yang menjelaskan hukumnya.
c. Untuk memahami apa-apa yang telah disimpulkan oleh para imam
mazhab yang empat dan para mujtahid yang lain, dengan
pemahaman yang benar serta membandingkan antara mazhab-
mazhab mereka dalam beberapa masalah yang berbeda.
Kaidah-kaidah ushul fiqih yaitu sebagai alat atau sarana yang
dapat membantu ahli fiqih atau orang yang menetapkan hukum untuk
memelihara kemaslahatan umum dan konsisten dengan batas-batas
ajaran Ilahi dalam menetapkan hukum. Juga dapat membantu seorang
hakim untuk berlaku adil di pengadilan dan menetapkan hukum-hukum
secara benar dengan tidak terbatas pada nash-nash dan hukum-hukum
syar’i.4

2 Husein Syahatah, Pokok-pokok Pikiran Akuntansi Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana,
2001) hlm.65
3 Ibid, hlm.64-65.
4 Ibid, hlm.66.

3
B. Pengertian Kaidah Akuntansi Dalam Konsep Islam
1. Pengertian Kidah Akuntasi dalam Konsep Islam
Kaidah akuntansi dalam konsep Islam dapat didefinisikan sebagai
dasar-dasar hukum yang berlaku dan permanen, yang disimpulkan dari
sumber-sumber hukum Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh
seorang akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis,
pengukuran, pemaparan maupun penjelasan. Juga untuk menjadi pijakan
dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa, apakah peristiwa itu
sesuai dengan hukum-hukum syariat Islam atau tidak.5
Kaidah-kaidah tersebut juga dianggap sebagai ukuran atau standar
yang bisa membantu dalam memahami suatu kejadian atau peristiwa
yang telah terjadi. Kaidahsyumuliah (universalitas) juga dapat membantu
pencatatan dalam memastikan terjadinya setiap peristiwa keuangan dan
ekonomi.
Dalil-dalil kaidah akuntansi diambilkan dari sumber-sumber fiqih
Islam, yaitu sebagai berikut:
a. Al-Qur’an, yaitu kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw untuk dijadikan undang-undang yang mengatur
manusia disegala bidang.
b. Sunnah Nabawiyyah, yaitu apa-apa yang berasal dari Rasulullah saw
baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang dianggap sebagai
uswah dan panutan.
c. Ijma, yaitu yang berasal dari kesepakatan para ulama dan imam-
imam mujtahid yang terpercaya pada masa setelah wafatnya
Rasulullah saw.
d. Qiyas, yaitu persamaan suatu peristiwa tertentu yang tidak
mempunyai nash, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits Nabi serta
ijtihad para ulama dengan peristiwa lain yang memiliki
kesamaan illat (alasan hukum)

5 Ibid.67

4
e. Uruf (alat kebiasaan) yaitu apa-apa yang telah dikenal dan terbiasa
dikalangan masyarakat, dengan syarat tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip hukum Islam6.
2. Ciri-Ciri Kaidah Akuntansi dalam Konsep Islam
Kaidah akuntansi dalam konsep Islam mempunyai keistimewaan
khusus, seperti diterangkan berikut ini:7
a. Keistimewaan dari segi akidah dan akhlak
Islam merupakan agama kesatuan antara ibadah dan
muamalah, diantara akidah dan syariat dan antara dunia dan
akhirat. Karena itu, didalam Islam seorang akuntan harus memiliki
iman yang kuat karena semua transaksi dan perputaran uang yang
dicatatnya itu, baik pemasukan mauoun pengeluaran dan juga
laporan-laporan keuangan yang diberikannya kepada pelaku-
pelaku transaksi, itu adalah milik Allah SWT. Ini ditegaskan Allah
SWT dalam firman-Nya yang artinya: “.....dan nafkahkanlah
sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya.....” (al-Hadiid:7)
Jadi, seorang akuntan ketika membuat catatan, penelitian
atau membuat laporan harus memastikan bahwa perputaran uang
itu berjalan sesuai dengan hukum Allah. Ia tidak boleh menuruti
saja keinginan si pemilik harta, yang bisa menimbulkan kemarahan
Allah karena memalsukan keterangan atau hanya untuk meraih
keuntungan duniawi. Seorang akuntan juga harus percaya bahwa ia
akan dibangkitkan di Hari Kiamat untuk diminta keterangan serta
mempertanggungjawabkan amal perbuatannya di hadapan Allah
dan sekkaligus menerima balasannya.
Keistimewaan ini telah terwujud pada periode pertama
Islam, seperti kesadaran umat Islam untuk mengeluarkan zakat
serta pembukuan kegiatan baitulmal. Semua ini terwujud karena

6 Loc.cit, hlm.21.
7 Husein Syahatah, Ibid, hlm.68-71.

5
pimpinan umat Islam waktu itu percaya bahwa seorang yang alim
adalah orang yang memiliki dua sifat yaitu amanah dan kuat. Salah
satu sebab gagalnya salah satu akuntan memberi informasi-
informasi yang jujur bagi administrasi keuangan adalah lemahnya
aspek akidah dan akhlak para akuntan itu.
b. Keistimewaan karena mengombinasikan antara subjek-subjek
yang permanen (tetap) dan yang tathawwur (yang
berkembang)
Kaidah-kaidah dasar akuntansi yang berasal dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah, tidak bisa diubah atau diganti sebab tidak
kontradiktif dengan waktu maupun tempat bahkan juga dengan
situasi apapun. Hanya saja, aturan rinci dan prosedurnya bisa saja
mengalami perubahan dan berkembang sesuai dengan penggantian
waktu dan tempat. Contohnya, Allah menyuruh kita untuk
membukukan semua transaksi dan diperkuat dengan beberapa
orang saksi. Maka kaidahnya akan berbunyi “al- kitabah al-
muqtarinah bisy-syuhud” (pembukuan yang disertai saksi-saksi).
Tetapi selanjutnya Islam memberikan kebabasan bagi para
mujtahid untuk menentukan cara-cara pembukuan dan persaksian
serta peraturan-peraturan yang bisa berbeda, tergantung pada
waktu dan tempat.
Dengan demikian ijtihad para akuntan muslim berada dalam
batas penyusunan aturan-aturan akuntansi, penentuan metode-
metode dan penetapan prosedur-prosedur yang semuanya harus
didasarkan pada kaidah-kaidah yang telah diistimbatkan dari
sumber-sumber fiqih Islam yang bersifat kinstan dan stabil.
Dengan dasar ini, tampak bahwa aspek-aspek implementasi dari
konsep akuntansi dalam Islam mempunyai keistimewaan yaitu
fleksibel dan dinamis.
c. Keistimewaan bentuknya yang sistematis dan universal

6
Islam secara konseptual merupakan sistem kerja dan aturan
hidup yang komplet dan sistematis. Menolak satu bagiannya berarti
menolak keseluruhan Islam. Ementara konsep akuntansi Islam
merupakan bagian dari konsep ekonomi Islam, dan konsep
ekonomi Islam itu merupakan bagian dari konsep Islam secara
keseluruhan.
Aturan-aturan akuntansi dalam konsep Islam saling
melengkapi dalam upayanya mencapai tujuan. Unsur-unsur ini
harus diimplementasikan secara bersama dan tidak boleh hanya
menerapkan satu bagian atau beberapa bagian dengan
meninggalkan unsur-unsur lain. Beberapa kaidah dari konsep
akuntansi konvensional telah gagal diimplementasikan pada
lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan Islam. Akibatnya,
banyak karyawan lembaga itu berada dalam kesulitan besar karena
ada kontradiksi dengan kaidah-kaidah hukum Islam, serta tidak ada
keseragaman dengan konsep islam. Nilai-nilai dan tatakrama
masyarakat islami.
d. Keistimewaan dengan Unsur Logika (Mantik)
Kita tahu bahwa kebanyakan keidah muamalah keuangan
dan non keuangan adalah mantik (rasional) yang sesuai dengan
aksioma akal, seperti pada kaidah wajib mencatat muamalah,
kesaksian terhadap pencatatan dan generalisasi pencatatan semua
aspek muamalah. Tidak mungkin ada satu undang-undang
akuntansi pun tanpa logika. Inilah sebab adanya beberapa
kesamaan antara konsep kaidah-kaidah akuntansi islami dan
konsep kaidah-kaidah akuntansi konvensional. Juga tidak satupun
halangan syar’i untuk menggunakan pengalaman masyarakat
selama pengalaman tersebut sesuai dan sejalan dengan syariat
islam. Jadi jelaslah bahwa konsep akuntansi islam memiliki nilai-
nilai spesifik, antara lain nilai syar’i, stabil, permanen, objektif,
unifersal, sesuai untuk diterapkan dan rasional.

7
C. Sifat-Sifat Kaidah Akuntansi Menurut Konsep Islam
1. Kaidah Independensi jaminan Keuangan (financial)
Perusahaan kendaknya mempunyai sifat yang jelas dan terpisah
dari si pemilik perusahaan yang di sebut juga “kesatuan Ekonomi (Al-
wihdah al-iqtishadiah)”.8 Walaupun banyak perbedaan mengenai kaidah
ini oleh sebagian ulama fiqh, amun Hukum nash al-qur’an maupun
sunnah tidaklah mempersulit kita malah sebaliknya memudahkan
kita, penerapan jaminan keuangan oleh perusahaan yang di lakukan
tergantung pada perusahaan tersendiri seperti adanya asuransi kesehatan,
asuransi jiwa, jaminan mengeluarkan zakat dan lainnya yang berkonotasi
pada jaminan keuangan. Jaminan keuangan sendiri terdapat ketentuan
yaitu:
a. Pada perusahaan perorangan, kaidah yang mengkaitkan jaminan
keuangan bagi si pemegang dengan jaminan keuangan bagi
perusahaan itu dapat di terapkan ketika menutupi kewajiban-
kewjiban terhadap orang lain, atau ketika menghitung zakat pada
akhir tahun.9 Seperti kita berinvestasi berarti kita mengeluarkan
suatu jaminan untuk hak-hak orang lain yaitu zakat.
b. Untuk perusahaan-perusahaan non-perorangan, suatu perusahaan
memiliki karakteristik tertentu yaitu selagi tidak ada hukum syara’i
yang melarangnya.10dalam perdagangan, islam mengajarkan etika
kita dalam bertransaksi antara penjual dan pembeli salah satunya
yang mana kesepakatan keduanya di perioritaskan agar mencapai
kemaslahatan.
firman Alloh yang artinya :”…kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu….”(an-
Nisaa:29).
juga hadit rosulullah yang artinya :” mukmin itu (dalam urusan
mereka) menurut syarat yang telah mereka sepakati, kecuali satu

8 Ibid, hlm.73
9 Ibid, hlm.75
10 Ibid, hlm.75

8
syarat, yaitu menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal”.
c. Untuk urusan wakaf dan otoritas (kekuasaan untuk bertindak),
dalam organisasi pemimpin di anggap sebagai wakil dari pemilik
yang memiliki pertanggung jawaban sesuai aturan yanlg berlaku
dengan menerapkan jaminan financial. 11 dalam bisnis otoritas bagi
pemimpin sangant penting untuk masalah wakof dan seorang
akuntasi yang membantu membatasi dan menghitungnya.
2. Kaidah kesinambungan aktivitas
Untuk mejamin keseinambungan (kontinuitas) aktivitas suatu
perusahaan dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang buruk
di masa mendatang.12 Keseinambungan pada kehidupan yang di
anjurkan dalam islam memberikan gambaran dalam sistem mudharabah
pada perusahaan untuk menantisipasi kesalahan-kesalahan yang
mungkin terjadi dan bisa mengatasinya agar tidak berdampak buruk
pada masa mendatang. Misalnya suatu akuntan akan
memperkirakan keuntungan perkiraan yang tidak pasti(zhanni)
sampai haul ayang mana perusahaan wajib member zakat 2.5% yang itu
juga di sepakati para ulama.
3. Kaidah Hauliah (pentahunan) Anggaran
Secara bahasa, haul berarti satu tahun sempurna, jamaknya
ialah ahwal. Dalam konteks akutansi islam yang di maksud haul ialah
membagi perputaran perusahaan dalam waktu tertentu, perhitungan haul
sangat di perlukan untuk menentukan dan, menghitung jumlah zakat
mal.13 Para ulama telah menerapkam kaidah haul untuk persiapan
perhitungan akhir dan pusat keuangan perdagangan, dan perusahaan-
perusahaan untuk perhitungan zakat. Yang mana dalam kaidah ini kita
akan mengetahui input dan output di suatu perusahaan, mengetahui
keuangan, mengetahui kelebihan dan kekurangan anggaran dan lain-lain.

11 Ibid, hlm.76
12 Ibid, hlm.76
13 Ibid, hlm.78

9
4. Kaidah pembukuan lagsung dan lengkap dengan Tanggal, Bulan
dan Tahun.
Kaidah ini telah di terapkan pada kantor pemerintahan pertama
islam, yang di dasarkan firman alloh Q.S Al-baqarah 282 pada lafaz
“uktubuhu” yang menunjukan pengertian pembukuan, dan lafaz “ila
ajalin musamma” yang menunjukkan suatu tanggal tertentu.14 An-
Nuwairi berkata: “ suatu yang pertama kali di kerjakan oleh seorang juru
tulis ialah membuat catatan berupa daftar atau angenda harian untuk
kegiatan hariannya, kemudian menuliskan di sana : hari, tanggal, bulan,
dan tahun pemakaian dan menuliskan semua perubahan yang terjadi di
kantornya, seperti jumlah barang yang masuk, keluar, di
pinjamkan/disewakan, dibeli, dijual, yang di tukarkan dan lain
sebagainya. Juga, perubahan dalam jumlah ongkos/sewa atau jaminan
kerusakan serta urain-uraian lainnya.
Dari uraian di atas pentingnya sistem pencataan yang benar dalam
kegiatan operasional yang di tulis sedetail mungkin untuk membantu dan
mempermudah perusahaan dalam kegiatan operasionalnya sehingga
mengetahui keadaan naik atupun turun, rugi atau laba dan lain-lain.
Aplikasi kaidah ini bisa kita lihat pada pembukuan dalam baitulmal.
5. Kaidah pembukuan yang di serta penjelasan atau penyaksian
Objek.
Kaidah ini atas dasar Q.S Al-baqarah 282, ayat yang menekankan
pada fungsi aspek legalitas religi dari kesaksian dalam pencataan hutang
dan piutang. Dalam fiqh islam kaidah ini di sebut pencataan dengan
kesaksian. Kaidah ini bisa di tunjukkan untuk baitulmal dengan tujuan :
a. Media pencatatan dalam surat-surat atau faktur baitulmal;
b. Media memindahkan informasi dari suatu tempat ke tempat lain;
c. Media untuk kebebasan tanggungan orang bertansaksi dengan
baitulmal.

14 Ibid, hlm.60

10
Seperti gambaran pada umumnya seorang pedagang dan pembeli
dalam transaksi utang-piutang tidak di dokumentasi atau adanya saksi
maka pastinya akan merugikan khususnya pedagang manakala seorang
yang meminjam lupa, apalagi dalam perusahaan besar kaidah ini sangat
di butuhkan. Dalam dokumen sendiri harus mencatat sedetail mungkin
dan pentingnya seorang saksi agar tidak terjadi mudharat. Tujuan kaidah
ini agar terjaga hak-hak orang lain. Di antara dokumen penting yang
terdapat di baitulmal yaitu :15
a. Asy-syahid (keterangan), yaitu suatu dokumen intern yang
berfungsi untuk memawa data-data/informasi dari tempat ke
tempat lain dalam baitulmal.
b. Risalah humul (surat bawaan), yaitu surat dokumen yang
membawa data-data atau informasi dari suatu kantor ke kantor
lain.
c. Al-bara-ah (bukti bebas atau lunas) yaitu sebuah dokumen yang
di berikan kepada seseorang yang telah memembayar atau
menyerahkan sesuatu kepada baitulmal, naik berupa uang
maupun barang.
6. Kaidah Pertambahan Laba dalam Produksi, serta Keberadaannya
dalam Jual Beli
Didalam fikih Islam, laba itu dianggap sebagai perkembangan
pada harta pokok yang terjadi dalam masa haul, baik setelah harta itu
diubah dari barang menjadi uang maupun belum berubah. Artinya baik
harta itu telah dicairkan dengan jual beli dari barang ke uang atau belum,
maupun harta itu masih tetap dalam bentuk barang karena belum terjadi
proses jual beli.
Adapun untuk penghitungan zakat mal, tidaklah perlu untuk
menunggu pencairan harta itu. Memang, laba akan lebih jelas dengan
adanya jual beli, tetapi yang menjadi patokan penghitungan zakat itu
ialah pada penentuan nilai atau harga, bukan dengan nyata laba dengan

15 Ibid, hlm.83

11
jual beli. Jadi berdasarkan ini proses penilaian barang yang belum cair
dihitung pada akhir haul (tahun), juga didasarkan pada jumlah tambahan
dari harta itu, kemudian digabung dengan laba rill. Hal ini didasarkan
pada hadits Rasulullah “Jika kamu memetik hasil (mengambil
keuntungan), ambilah, tetapi tinggalkan sepertiganya. Jika tidak kamu
tinggalkan (yang sepertiga itu), tinggalkanlah seperempatnya.” (HR.
Ahmad dan Ibnu Majah). Kaidah inilah yang dipakai untuk menentukan
dan mengukur standar zakat mal.
Adapun di dalam syirkah-syirkah mudharabah yang bersifat
sementara, para ulama berpendapat bahwa penghitungan zakat harus
berdasarkan laba rill yang sudah ada, jadi disyaratkan cairnya dana
(mal), karena masa aktif perusahaan itu biasanya relatif pendek seperti
transaksi jual beli.
7. Kaidah Penilaian Uang berdasarkan Emas dan Perak
Kaidah ini menunjukan pentingnya menilai aktivitas-aktivitas
ekonomi dan mengesahkan atau menegaskannya dalam surat
berdasarkan kesatuan moneter, yaitu emas dan perak dengan
memposisikan keduanya sebagai nilai terhadap barang-barang serta
ukuran untuk penentuan harga dan sekaligus sebagai pusat harga.
8. Prinsip Penentuan Nilai atau Harga Berdasarkan Nilai Tukar
Rupiah yang Sedang Berlaku
Penentuan nilai ditunjukkan untuk memberikan batasan dan
ukuran terhadap hasil-hasil usaha, dan menjelaskan sentral keuangan
untuk proyek-proyek yang kontinu, baik proyek-proyek pribadi maupun
perseroan, berdasarkan nilai tukar yang berlaku. Maksudnya, harga jual
biasa setelah memisahkan biaya-biaya penjualan, distribusi, dan biaya-
biaya administrasi.16 Kaidah ini berasal dari pendapat jumhur ulama,
yaitu “tidak ada laba kecuali setelah menyisihkan modal pokok yang
sebenarnya.”

16 Ibid, hlm. 88.

12
Implementasi kaidah ini adalah untuk memelihara keselamatan
dan keutuhan modal pokok untuk perusahaan dari segi tingginya volume
proses penukaran barang dan kemampuan barang itu untuk berkembang
dan menghasilkan laba.
Penerapan kaidah ini sangat jelas dalam mengukur dan
menghitung zakat barang perdagangan. Di dalam kitab al-Amwal
karangan Abu Ubaid bin Salam, ada beberapa pendapat ulama, yang di
antaranya Maimun bin Mahran yang berkata, “ jika telah sampai waktu
kewajiban mengeluarkan zakat kepada kamu, perhatikanlah barang-
barang yang kamu miliki seperti uang atau barang dan nilainya barang
itu dengan nilai uang. Yang termasuk utang yang bisa kamu bayar,
hitunglah dan bayarkanlah utang itu dengan uang-uang itu, kemudian
zakatilah jumlah yang tinggal.” Jadi, penetapan nilai itu berdasarkan
harga realitas di pasar dan pada harga jual beli darurat, atau dalam
keadaan banjir pasar (barang) ataupun pasar lesu.
Sebagian ahli fiqih mengatakan bahwa kadang-kadang dibolehkan
menentukan nilai berdasarkan biaya-biaya pada masa lalu dengan syarat
tidak pada barang-barang yang akan dizakati.
9. Prinsip Perbandingan dalam Penentu Laba
Prinsip ini ditunjukan untuk menghitung dan mengukur laba dan
rugi pada perusahaan mudharabah yang kontinu, serta penentuan
aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya yang menghendaki perbandingan
antara biaya-biaya dan uang masuk selama periode waktu yang bisa saja
satu tahun atau juga masa keaktifan mudharabah.
Yang dimaksud dengan biaya-biaya di atas adalah pengorbanan
finansial dalam upaya mencapai atau mendapatkan uang masuk
(income). Oleh karena itu, biaya-biaya itu dalam fiqih Islam dapat dibagi
sebagai berikut.17
1. Biaya yang ada pengganti (imbalan), yang disebut biaya biasa.

17 Ibid, hlm. 90.

13
2. Biaya yang tidak ada penggantinya, yang disebut kerugian, atau
kerusakan.
Yang dimaksud dengan uang masuk di sini adalah harga
penjualan selama periode waktu tertentu. Jadi, perbedaan anatara biaya
dengan uang masuk dianggap sebagai pertumbuhan dan perkembangan,
yang mana pertumbuhan ini juga terbagi ke dalam tiga hal berikut.
a. Laba, yaitu bentuk perkembangan yang terjadi dari praktik
atau aktivitas biasa.
b. Ghallah, yaitu yang menunjukkan adanya pertambahan
pada barang yang akan dijual (laba marginal).
c. Faidah, yaitu perkembangan dalam suplai barang yang
dimiliki, yang dalm teori akuntasi positif disebut
keuntungan dari penjualan barang modal (laba mayor).
Kaidah ini telah dipraktikkan pada masa awal berdirinya negara
Islam di banyak bidang, seperti waqaf, syirkah mudharabah, dan pada
perhitungan zakat mal. Untuk menentukan keuntungan dalam
perusahaan mudharabah adalah dengan membandingkan pendapatan-
pendapatan dari mudharabah dengan biaya-biayanya, dan kelebihannya
adalah laba atau keuntungan yang dibagidi antara si pemilik modal dan
pekerja.
Kaidah “perbandingan” ini juga dipakai untuk menentukan kadar
zakat perdagangan, yaitu dengan membandingkan sirkulasi modal
dengan sirkulasi modal dengan passiva (kekurangan), dan yang
menunjukkan perbedaan modal pokok murni yang akan dikenai zakat
setelah ditambahkan dengan laba dan juga uang-uang yang didapat.
Kaidah ini juga dipakai untuk menentukan perubahan-perubahan pada
jaminan atau tanggungan para pedagang, yaitu dengan membandingkan
hak-hak murni seorang pedagang pada awal usahanya dengan hak-hak di
akhir usahanya.18

18 Ibid, hlm. 91.

14
Kaidah ini juga dipakai pada baitul mal, yang mana
membandingkan pendapat dengan biaya-biaya yang keluar untuk
mengetahui kelebihan dan kekurangan. Di dalam anggaran zakat mal,
perbandingan terdapat pada jumlah zakat mal dan pihak-pihak
yang berhak menerimanya.
10. Prinsip Muwa’amah (Keserasian) antara Pernyataan dan
Kemaslahatan
Teori akuntansi Islam menganggap perlu untuk menjelaskan
hasil-hasil aktivitas ekonomi, begitu juga sentral keuangan untuk
kesatuan ekonomi yang ditujukan untuk para pemiliknya dan pihak-
pihak yang berkepentingan , karena ini termasuk hak-hak si pemilik
modal, si pkerja, dan pihak interatif di dalamnya serta masyarakat
Islam.19
Berdasarkan keterangan di atas, seorang akuntan muslim harus
menjelaskan keterangan-keterangan yang telah dipublikasikan secara
wajar, yaitu sesuai dengan kesanggupan dan situasi serta juga dengan
metode yang bisa melindungi kemaslahatan dan tidak memudharatan. Di
sisi lain seorang akuntan harus konsisten dengan kejujuran dan amanah
dalam memaparkan informasi-informasi akunting, dan menghindari
pemalsuan atau merahasiakan sesuatu serta berbuat curang atau
pemalsuan karena semua itu bukanlah akhlak seorang muslim.
Di dalam kesatuan ekonomi hendaklah dibandingkan antara
statmen informasi di suatu sisi dan kemaslahatan pihak-pihak tertentu di
sisi lain, seperti orang yang menanam modal, menanam saham,
karyawan atau pekerja, pihak-pihak yang ikut interaksi di dalamnya,
serta lembaga-lembaga pemerintahan, yang mana suatu kemaslahatan
tidak mungkin menzalimi kemaslahatan yang lain. Tidak ada ukuran
yang jelas untuk menentukan tingkat kejelasan yang diperlukan.

19 Ibid, hlm. 92.

15
D. Persamaan dan Perbedaan antara Kaidah Akuntasi Islam dan Kaidah
Akuntansi Konvensional
Kita telah tahu bahwa konsep akuntansi Islam itu didasarkan pada
kaidah-kaidah pokok yang permanen yang diistinbathkan dari sumber-sumber
fiqih Islam. Kaidah-kaidah ini memiliki karakteristik khusus yang
membedakannya dari kaidah akuntansi konvensional. Berikut ini
perbandingan antara kedua kaidah tersebut secara ringkas.20
1. Segi Persamaan
a. Prinsip persamaan pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit
ekonomi.
b. Prinsip hauliah (penahunan) dengan prinsip periode waktu atau tahun
pembukuan keuangan.
c. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal.
d. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip
perbandingan incomedengan cost (biaya).
e. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan
perusahaaan.
f. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
2. Segi Perbedaan
a. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara
menentukan nilai harga atau harga untuk melindungi modal pokok.
Mereka juga belum menentukan (hingga sekarang) apa yang
dimaksud dengan modal pokok (kapital atau ra’sul-maal).
b. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua
bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar
(aktiva lancar). Adapun dalam konsep akuntansi Islam, barang-
barang pokok itu dibagi menjadi: harta berupa uang (cash) dan
harta berupa barang (stok). Harta berupa barangpun dibagi menjadi
barang milik dan barang dagang.

20 Ibid, hlm. 93.

16
c. Menurut konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang-
barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari
segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran
dan penentuan nilai atau harga, atau sebagai sumber harga atau
nilai.
d. Konsep akuntansi konvensional mempraktikkan teori pencadangan
dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam
penghitungan, serta menyepelekan laba-laba yang masih bersifat
mungkin. Adapun konsep Islam sangat memperhatikan hal-hal itu
dengan cara penentuan nilai/harga dengan berdasarkan pada nilai
tukar yang berlaku serta membentuk cadangan-cadangan untuk
kemungkinan-kemungkinan bahaya dan resiko.
e. Konsep akuntansi konvensional menerapkan prinsip laba universal,
yang mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga
uang-uang haram lainnya. Adapun konsep Islam dibedakan antara
laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal
pokok) serta transaksi. Juga, wajib menjelaskan pendapatn-
pendapatan kotor/haram jika ada dan berusaha menghindarinya
serta menyalurkannya pada tempat-tempat yang telah ditentukan
oleh para ulama fiqih. Laba ini tidak boleh dibagi untuk mitra
usaha atau dicampurkan pada modal pokok.
f. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya
ada ketika adanya jual beli, sedangkan konsep Islam memakai
kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan
pertambahan pada nilai tukar, baik yang telah terjual maupun yang
belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk
menyatakan laba dan laba itu tidak boleh dibagi kecuali setelah
nyata laba itu diperoleh.
g. Konsep akuntansi Islam lahir dari masyarakat Islam, ekonomi
Islam, teori akuntansi Islam, kemudian Praktek Akuntansi Islam.
Sedangkan sistem yang kita alami saat ini adalah sistem dengan

17
struktur masyarakat kapitalis, ideologi kapitalis, ekonomi kapitalis,
teori akuntansi kapitalis, praktek Akuntansi kapitalis.21

21 Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2004) hlm 151-152

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut ulama ushul fiqih, “kaidah” ialah persoalan-persoalan umum
yang semua unsurnya mengandung hukum-hukum bagi bagian-bagian
persoalan yang banyak. Kaidah-kaidah ini digunakan untuk memahami dan
menyimpulkan hukum-hukum syar’i praktis dari dalil-dalil yang terperinci.
Ciri-ciri Akuntasi Syariah:
f. Keistimewaan dari segi akidah dan akhlak
g. Keistimewaan karena mengombinasikan antara subjek-subjek yang
permanen (tetap) dan yang tathawwur (yang berkembang)
h. Keistimewaan bentuknya yangg sistematis dan universal
Kaidah-kaidah Akuntasi Syariah:
a. Kaidah Independensi jaminan Keuangan (financial)
b. Kaidah kesinambungan aktivitas
c. Kaidah Hauliah (pentahunan) Anggaran
d. Kaidah pembukuan lagsung dan lengkap dengan Tanggal, Bulan dan
Tahun.
e. Kaidah pembukuan yang di serta penjelasan atau penyaksian Objek.
f. Kaidah Pertambahan Laba dalam Produksi, serta Keberadaannya
dalam Jual Beli
g. Kaidah Penilaian Uang berdasarkan Emas dan Perak
h. Prinsip Penentuan Nilai atau Harga Berdasarkan Nilai Tukar Rupiah
yang Sedang Berlaku
i. Prinsip Perbandingan dalam Penentu Laba

19
DAFTAR PUSTAKA
Syahatah, Husein. Pokok-pokok Pikiran Akuntansi Islam. Jakarta: Akbar Media
Eka Sarana. 2001.
Syafri Harahap, Sofyan. Akuntansi Islam, Jakarta : Bumi Aksara.2004.
Wahab Khallaf,Abdul. Usul Fiqh Islam. T.tp. Dar al-Kalam. 1980.

20

Anda mungkin juga menyukai