Disusun Oleh :
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memeberikan rahmat, taufik, hidayah, dan
inayahnya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah “Akuntansi Syariah ”.
Makalah ini dapat terselesaikan karena bantuan dari beberapa pihak, sehingga kami ucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
Ibu Juliani Lisma Sari, SE Ak, MM, CA selaku Dosen pembimbing mata kuliah Akuntansi
Syariah, STIE DR. KHEZ Muttaqien Semester VI, tahun ajaran 2020 / 2021.
Makalah penelitian ini tentunya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mohon
saran dan kritik yang membangun, sehingga makalah ini dapat lebih baik lagi. Kami juga
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul................................................................................................
Kata Pengantar............................................................................................2
Daftar Isi........................................................................................................3
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang .........................................................................................4
B. Rumusan Masalah ....................................................................................4
C. Tujuan Penelitian......................................................................................4
Bab II Pembahassan
A. Akad Sharf..........................................................................................5
B. Akad Wadiah......................................................................................8
C. Akad Al Wakalah.............................................................................14
D. Akad Alkafalah.................................................................................16
Daftar Pustaka
3
BAB I
(PENDAHULUAN)
A. Latar Belakang
Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang berbasis Syariah Islam. Secara makro
bank syariah memposisikan dirinya sebagai pemain aktif daam mendukung dan memainkan
kegiatan investassi di masyarakat untuk melakukan di sekitar nya. Di satu sisi bank syariah
mendororng dan mengajak masyarakat untuk ikut aktif berinvestasi melalui berbagai
produknya, sedangkan di sisi lain bank syariah aktif untuk melakukan investasi di
masyarakat. Selain itu, secara mikro bank syariah merupakan lembaga keuangan yang
menjamin seluruh aktifitas operasinya, termasuk produk dan jasa keuagan yan g ditawarkan,
telah sesuai dengan prinsip islam. Berbeda dengan produk dan jasa keuangan bank
konvensional, produk dan jasa keuangan bank syariah tidak terlepas dari jenis akad yang
digunakan.
Akad atau transaksi yang berhubungan dengan kegiatan usaha bank syariah dapat di
golongkan ke dalam transaksi untuk mencari keuntungan (tijarah) dan transaksi tidak untuk
mencari keuntungan (tabarru’). Akad dari tanskasi tijarah yaitu: Mudarabahah, salam,
istishna, ijarah, ijarah wa iqtina, ujr, sharf, mudharabah, musharakah, muzara’ah, musaqah,
mukhabarah. Sedangkan tabarru’ yaitu: wasi’ah yad dhamamah, qardh,qarddhul hasan,
wakalah,kafalah,hiwalah,rahn,hibah, waqf, shadaqah, hadiah. Namun yang akan dibahas
dalam makalah ini yaitu memperjelas tentang akad Sharf, Wadiah, Al Wakalah, dan Al
Kafalah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Akad Sharf, Wadiah, Al Wakalah, dan Al Kafalah?
2. Bagaimana Perbedaan jenis akad Akad Sharf, Wadiah, Al Wakalah, dan Al Kafalah dan
penerapannya?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui yang dimaksud dengan Akad Sharf, Wadiah, Al Wakalah, dan Al Kafalah.
2. Mengetahui Perbedaan jenis akad Akad Sharf, Wadiah, Al Wakalah, dan Al Kafalah dan
penerapannya.
4
BAB II
(PEMBAHASAN)
AKAD SHARF, WADIAH, AL WAKALAH, AL KAFALAH
Akad ASH-SHARF
1. Menurut Al-quran
Dalam Al-quran tidak ada penjelasan mengenai jual beli sharf itu sendiri, melainkan hanya
menjelaskan dasar hukum jual beli pada umumnya yang terdapat dalam surat Al-Baqarah
ayat 275, yaitu:
ْ ُبِأَنَّهُ ْم قَال الَّ ِذينَ يَأْ ُكلُونَ ال ِّربَا الَ يَقُو ُمونَ إِالَّ َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي يَتَخَ بَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمنَ ْال َمسِّ َذلِك
وا إِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل الرِّ بَا َوأَ َح َّل
ُ
ْ ا َد فَأوْ لَـئِكَ أtَهّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا فَ َمن َجاءهُ َموْ ِعظَةٌ ِّمن َّربِّ ِه فَانتَهَ َى فَلَهُ َما َسلَفَ َوأَ ْم ُرهُ إِلَى هّللا ِ َو َم ْن ع
َ
ِ َّ َحابُ النtص
اtَار هُ ْم فِيه
٢٧٥﴿ َ﴾خَالِ ُدون
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),
Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”
5
2. Menurut Al-Hadis
Para Fuqaha mengatakan bahwa kebolehan melakukan praktek sharf didasarkan pada
sejumlah hadis nabi yang antara lain pendapat :
a. Dari Ubadah bin Shamit r.a Nabi SAW. Berkata, “Emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam,
hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima. Apabila berlainan jenisnya boleh
kamu jual kehendakmu asal tunai.”
b. Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW. Bersabda, “(boleh menjual) emas dengan emas
setimbang, sebanding, dan perak dengan perak setimbang sebanding” (H.R Ahmad, Muslim
dan Nasa’i)
c. Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, (Boleh menjual) tamar dengan tamar, gandum dengan
gandum, sya’ir dengan sya’ir, garam dengan garam, sama sebanding, tunai dengan tunai.
Barang siapa menambah atau minta tambah maka telah berbuat riba, kecuali yang berlainan
warnanya” (H.R Muslim)
d. Dari Abu Bakrah r.a Nabi SAW. Melarang (menjual) perak dengan perak, emas dengan
emas, kecuali sama. Dan Nabi menyuruh kami membeli perak dengan emas sesuka kami dan
membeli emas dengan perak kami pula” (H.R Bukhari-Muslim).
3. Menurut Ijma
Ulama sepakat bahwa akad Sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu, yaitu :
a. pertukaran tersebut harus dilaksanakan secara tunai (spot) artinya masing-masing pihak
harus menerima atau menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan.
b. Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial, yaitu transaksi
perdagangan barang dan jasa antar bangsa.
c. Harus dihindari jual beli bersyarat, misalnya A setuju membeli barang dari B haru ini
dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu dimasa yang akan datang.
d. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu
menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
e. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau jual beli tanpa hak
kepemilikan.
Rukun dari akad sharf yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu :
1. Pelaku akad, yaitu ba’I (penjual) adalah pihak yang memiliki valuta untuk dijual, dan
musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akan membeli valuta
2. Objek akad, yaitu sharf (valuta) dan si’rus sharf (nilai tukar)
3. Shighah yaitu ijab dan qabul
Sedangkan syarat dari akad sharf, yaitu :
a. Valuta (sejenis atau tidak sejenis) apabila sejenis, harus ditukar dengan jumlah yang
sama. Apabila tidak sejenis, pertukaran dilakukan sesuai dengan nilai tukar
b. Waktu penyerahan (spot)
Batasan-batasan pelaksanaan valuta asing yang juga didasarkan dari hadits-hadits yang
dijadikan dasar bolehnya jual beli valuta asing. Batasan-batasan tersebut adalah :
1. Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersil, yaitu transaksi
perdagangan barang dan jasa antar bangsa, bukan dalam rangka spekulasi.
6
2. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu
menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
Dalam hal perdagangan mata uang asing ini, Imam al-Subki sebagaimana dikutip Sura’i
mengatakan bahwa pendapat yang populer pada mazhab Syafi’I adalah boleh hukumnya
melakukan transaksi dengan mata uang dirham yang tengah berlaku walaupun ditukar dengan
dirham biasa, sedangkan dirham sebagai mata uang negara yang mempunyai cap, maka
transaksi semacam ini dibolehkan. Kemudian ia berkata berlakunya transaksi dengan
mempertukarkan mata uang yang tidak sejenis tidaklah ada halangannya, asalkan secara
tunai, Namun demikian apakah diperbolehkan mempertukarkan mata uang yang sama
namanya tetapi berbeda negara yang memilikinya seperti dinar Marokko dengan dinar
Maghribi. Dalam hal ini Imam al-Subki tidak menemukan adanya riwayat yang melarang
tetapi pendapat yang terkuat adalah membolehkannya. Dari pernyataan di atas dapat
dipahami bahwa tukar menukar uang yang satu dengan uang yang lain diperbolehkan. Begitu
pula memperdagangkan mata uang asalkan nama dan mata uangnya berlainan atau nilainya
saja yang berlainan, namun harus dilakukan secara tunai.
Aktivitas perdagangan valuta asing, harus sesuai dengan norma-norma syari’ah, antara lain
harus terbebas dari unsur riba, maisir, gharar. Karena itu perdagangan valas harus
memperhatikan batasan sebagai berikut :
a. Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot), artinya masing-masing pihak
harus menerima/menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan.
b. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau dengan kata lain, tidak
dibenarkan jual beli tanpa hal kepemilikan.
c. Penukaran harta atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang
dilakukan antara kedua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka
sama suka.
d. Rukun dan syarat jual beli harus sempurna jika tidak maka dianggap batal.
e. Serah-terima dilakukan secara langsung dan tunai.
Islam mengakui perubahan nilai mata uang asing dari waktu kewaktu secara sunnatullah
(mekanisme pasar). Bila perubahan itu terlalu tinggi, maka campur tangan pemerintah
diperlukan untuk menjaga kestabilitas mata uang, karena Islam menginginkan terciptanya
stabilitas kurs mata uang. Transaksi jual beli valuta asing pada umumnya diselenggarakan
dipasar valuta asing, money changer, bank devisa dan perusahaan bisnis valas. Perdagangan
valas menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian suatu negara, anta lain menimbulkan
ketidak stabilan nilai tukar mata uang. Sehingga menggusarkan para pengusaha dan
masyarakat umum, malah kegiatan jual beli valas cenderung mendorong jatuhnya nilai mata
uang, karena para spekulah sengaja melakukan rekayasa pasar agar nilai mata uang suatu
negara berfluktuasi secara tajam. Bila nilai mata uang anjlok, maka secara otomatis, rusaklah
suatu negara tersebut dengan ditandai dengan naiknnya harga barang-barang atau terjadinya
inflasi secara tajam. Sedangkan inflasi adalah realitas ekonomi yang tidak diinginkan dalam
ekonomi Islam.
Akibat lainnya adalah goncang dan ambruknya perusahaan yang tergantung pada bahan
impor yang pada gilirannya mengakibatkan kesulitan operasional dan sering menimbulkan
PHK dimana-mana. Demikian pula, suku bunga pinjaman perbankan menjadi tinggi. APBN
harus direvisi karena disesuaikan dengan dolar. Defisit APBN pun semakin membengkak
7
secara tajam. Demikianlah keburukan jatuhnya nilai mata uang rupiah yang dipicu oleh
permintaan spekulasi dan mata uang yang berfluktuasi secara liar, amat dilarang dalam Islam.
Saat dijual :
*jika harga beli valas lebih besar dari pada harga jual
**jika harga beli valas lebih kecil dari pada harga jual
Untuk tujuan laporan keuangan diakhir periode, aset moneter (piutang dan utang) dalam
satuan valuta asing akan dijabarkan dalam satuan rupiah dengan menggunakan nilai kurs
tengah Bank Indonesia pada tanggal laporan keuangan. Jurnal penyesuaian :
Jika nilai kurs tengah BI lebih kecil dari nilai kurs tanggal trasaksi:
Jika nilai kurs tengah BI lebih besar dari nilai kurs tanggal transaksi:
AKAD WADIAH
8
lain didepannya dan pihak lain menerimanya kemudian langsung pergi maka ini yang disebut
menggunakan isyarat/tersirat.Terms yang perlu kamu ketahui yang berkaitan dengan
akad wadi’ah adalah sebagai berikut:
Dalil yang menghadirkan akad ini adalah dari QS. Al-Baqarah: 283 yang artinya, “Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya.” Juga diperkuat oleh hadist Nabi SAW, “Tunaikanlah amanah kepada orang
yang mengamanahkan kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang
mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani
dalam Al Irwaa’ 5/381). Dikarenakan praktiknya akad wadiah dalam perbankan syariah
merupakan salah satu bentuk tabungan. Maka rujukan atas fatwa yang terkait
dengan wadiah adalah Fatwa DSN MUI No: 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang tabungan.
Ulama Hanafiyah hanya memberikan satu rukun pada akad wadiah yaitu adanya ijab dan
qabul (shighat), seperti sebuah kalimat, “aku titipkan padamu, barang ini tolong dijaga, aku
letakkan ini untuk titipan kepadamu dll”. Lalu, barang atau harta seperti apa yang bisa
dititipkan? Barang atau harta yang dapat dititipkan adalah barang yang dapat disimpan.
Barang yang tidak dapat disimpan seperti burung yang terbang di udara atau benda yang jatuh
di dalam air tentunya tidak dapat dititipkan. Selain itu kehalalan benda perlu menjadi
pertimbangan. Artinya, barang atau harta yang sifatnya haram tidak dapat dititipkan.
Dalam mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah memiliki tambahan syarat yaitu barang yang
dititipkan adalah barang yang memiliki nilai atau qimah sehingga dapat dipandang
sebagai maal. Contohnya anjing yang dapat dimanfaatkan sebagai penjaga rumah. Apabila
benda tersebut tidak memiliki nilai seperti anjing yang tidak dapat dimanfaatkan maka barang
yang dititipkan menjadi tidak sah. Sedangkan jumhur Ulama menetapkan 4 rukun atas akad
titipan yaitu :
9
Syarat Akad Wadiah
Ulama Hanafiyah mensyarat kedua belah pihak harus berakal, tidak boleh anak kecil yang
belum berakal, orang gila, orang mabuk, hilang akal dll. Akan tetapi tidak disyaratkan harus
baligh secara umur. Anak kecil diperbolehkan untuk melakukan akad titipan dengan adanya
akal pada dirinya sebagaimana diperbolehkannya anak kecil melakukan akad perdagangan
jual beli. Meskipun dalam hal ini jual beli yang diperbolehkan adalah jual beli yang tidak
menuntut adanya syarat dan ketentuan yang sulit untuk dipahami oleh anak kecil.
Adapun jumhur ulama’ mensyaratkan kepada kedua belah pihak (penitip dan yang dititipi)
sebagaimana dalam agensi (wakalah) yaitu baligh, berakal dan mumayiz. Terkait dengan
barang yang dititipkan harus berupa properti atau barang yang mampu untuk diberikan secara
fisik. Barang titipan tidak bisa berupa hewan yang kabur, ikan di laut, burung di udara atau
barang lain yang tidak mampu dijangkau atau dipindahtangankan.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa penjagaan barang dapat dilakukan oleh orang dalam
tanggunganya semisa istri, anak, pembantu ataupun orang yang diberi upah untuk menjaga
barang tersebut. Akan tetapi tidak diperbolehkan kepada keluarga atau tanggungungan yang
baru seperti istri yang belum lama dinikahi, pembantu atau pegawai yang baru saja menjadi
karyawan.
Adapun ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa penjagaan barang harus dilakukan sendiri oleh
orang yang dititipi, dia tidak diperkenankan untuk meninggalkan barang kepada siapapun
biarpun kepada istri dan anak, terkecuali atas ijin dari penitip. Hal ini didasari bahwa amanat
yang diberikan atau kepercayaan yang diberikan oleh penitip hanya diberikan kepada
seseorang saja yang mana dia tidak bisa memberikan kepercayaan tersebut kepada orang lain.
Maka ketika orang yang dititipi melanggar amanat, maka dia harus menjamin barang
titipannya. Alasan yang valid diperkenankan seperti sakit atau dalam bepergian. Semua
Ulama Madzhab setuju bahwa sebuah ibadah sunnah bagi yang dititipi, dan mendapatkan
pahala atasnya, sesunggguhnya barang titipan adalah amanah bukanlah tanggungan atau
jaminan. Sesugguhnya jaminan tidak diwajibkan atas orang yang dititipi kecuali ada unsur
kesengajaan dan kecerobohan.
Berlandaskan hadith Nabi: “Orang yang dititipi yang tidak melampaui batas maka tidaklah
baginya jaminan” Hadist lain menyebutkan, “Tidaklah ada jaminan kepada orang yang
diberi amanah”. Hal ini dalam pandangan Hanafi: menyertakan penjaminan dalam akad
amanah (kepercayaan) adalah batil. Ketika si pemilik meminta barang titipannya dan ternyata
hilang, maka hal tersebut menjadi kewajiban pihak yang dititipi untuk menjaminnya.
Ada lima kondisi yang dapat menyebabkan akad wadiah menjadi terputus:
10
1. Pengembalian barang oleh orang yang dititipi kepada penitip baik diminta atapun
tidak.
2. Meninggalnya orang yang dititipi ataupun penitip
3. Salah satu dalam keadaan koma berkepanjangan, atau menjadi gila atapun stress
dalam beberapa waktu dan hal ini merusak akad titipan tersebut.
4. Ketika terjadi “hajr” atau legal restriction yang terjadi pada penitip seperti hilang
kompetensi, dan pada pihak orang yang dititipi bangkrut atau pailit, maka akad titipan
terputus
5. Ketika pihak yang dititipi mentransfer kepemilikan barang titipan kepada pihak lain,
seperti dijual, ataupun diberikan sebagai hadiah.
Dari skema tersebut, akad wadiah amanah tergambar pada proses yang lebih sederhana.
Yaitu pihak penitip akan memberikan barang untuk dititipkan. Namun, sebagai jasa atas
penyimpanan maka penitip memberikan bayaran. Ini biasanya terjadi di Bank Syariah pada
produk save deposit box
11
Kalau dari uang yang diputarkan pada akad wadiah dhamanah dan bank mendapatkan
keuntungan apakah keuntungan itu harus dibagikan? Nah, sebagaimana yang dijelaskan
sebelumnya kalau pada akad wadiah, bank tidak memiliki hak untuk memberikan bonus.
Tetapi, umumnya Bank memberikan keuntungan tersebut sebagai hadiah/bonus untuk
nasabah secara sukarela dan dalam islam hal tersebut diperbolehkan. Bila dilihat dari skema
di atas maka barang/aset yang ditipkan diputar oleh bank pada suatu usaha yang kemudian
dari usaha tersebut menghasilkan keuntungan yang diperuntukan khusus untuk bank.
Keputusan bank untuk memberikan bonus atau tidak maka itu tergantung dari kebijakan bank
itu sendiri.
Pada era kontemporer saat ini, akad wadiah tidak hanya diterapkan pada produk bank yang
sifatnya tabungan tetapi juga terhadap produk yang lain yang memudahkan seseorang untuk
bertransaksi. Apakah produk tersebut? Produk tersebut adalah e-money. Secara sederhana, e-
money adalah sistem uang elektronik yang mengkonversi uang kertas yang dimiliki masuk ke
dalam sistem e-money yang berbentuk kartu. Siapa yang tidak tahu tentang kartu multifungsi
ini? Kartu yang sudah lazim di kebanyakan orang terutama bagi mereka yang tidak terbiasa
membawa uang tunai terlalu banyak. Mereka akan mengkonversi uang mereka ke dalam
kartu e-money. Terlebih buat mereka yang berkendara menggunakan transportasi umum
seperti kereta yang tentunya akan lebih efisien ketika menggunakan e-money. Namun, apakah
kartu e-money itu diperbolehkan?
Terlepas dari pro-kontra yang ada terkait penggunaan kartu e-money, Ustadz Oni Sahroni
dalam bukunya Fikih Muamalah Kontemporer: Membahas Ekonomi Kekinian menjelaskan
bahwa kartu e-money secara syariah diperbolehkan. Hal ini juga mengacu pada fatwa DSN
No:116/DSN-MUI/IX/2017 tentang uang elektronik syariah karena dilihat dari maslahat yang
hadir dengan adanya kartu e-money. Salah satu akad yang digunakan pada akad e-
money adalah akad wadiah. Akad ini terjadi antara penerbit e-money dengan pengguna
kartu e-money. Adapun akad yang terjadi antara penerbit e-
money dengan merchant adalah ijarah, ju’alah dan wakalah bil ujrah.
12
Contoh Jurnal Akad Wadiah untuk Pemilik Barang
Pada saat menyerahkan barang (menerima tanda terima penitipan barang) dan membayar
biaya penitipan (menerima tanda terima pembayaran):
Pada saat menerima barang (mengeluarkan tanda terima barang) dan penerimaan pendapatan
penitipan (membuat tanda terima pembayaran):
Pada saat menyerahkan barang dan menerima pembayaran kekurangan pendapatan penitipan
13
AL WAKALAH
Wakalah merupakan akad pelimpahan kekuasaan dari satu pihak kepada pihak lainnya, untuk
melakukan suatu kegiatan tertentu. Akad ini akan dilakukan apabila seseorang tidak sempat
untuk melakukan suatu pekerjaan sehingga ia membutuhkan orang lain untuk
mengerjakannya.
Islam membolehkan kegiatan pelimpahan kekuasaan dari satu pihak kepada pihak lain untuk
bertindak sebagai penggantinya, berikut dalil yang membolehkannya.
Surah al-Kahfi ayat 19
Ayat ini menceritakan tentang perwakilan atau Wakalah yang dilakukan oleh anggota
Ashabul Kahfi, di mana salah satu anggotanya diwakilkan oleh yang lainnya untuk pergi ke
pasar dengan membawa uang perak yang dimilikinya untuk mencari makanan yang baik agar
bisa dikonsumsi oleh anggota yang lainnya.
Syarat-syarat Akad Wakalah
Barang atau urusan yang akan diwakilkan haruslah merupakan bagian dari hak dan
kekuasaan pewakil, bukan merupakan barang atau pekerjaan orang lain.
Pewakil dan yang menerima wakilan harus baligh dan berakal.
Hal yang diwakilkan harus jelas agar pihak yang menerima wakilan dapat
mengerjakan atau melanjutkan dengan benar.
14
Ijab dan qabul (ijab dari pewakil untuk menunjukkan kerelaannya dalam mewakilkan
sesuatu dan qabul dari penerima wakilan untuk menunjukkan kerelaannya dalam
menerima hal yang diwakilkan kepadanya).
Pada saat menerima imbalan tunai (tidak berkaitan dengan jangka waktu)
Pada saat diterima pendapatan untuk jangka waktu dua tahun dimuka
15
AL KAFALAH
Landasan Syari'ah
Dasar hukum untuk akad kafalah ini dapat dilihat di dalam al-Qur'an, al-Sunnah dan
kesepakatan para ulama, sebagai berikut:
1. Al-QUR’AN
Allah SWT. berfirman: "Penyeru-penyeru itu berkata "Kami kehilangan piala raja,
dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan aku menjamin terhadapnya."( surat Yusuf (12): 72)
2. AS-SUNNAH
Jabir r.a. menceritakan: “Seorang laki-laki telah meninggal dunia dan kami telah
memandikannya dengan bersih kemudian kami kafani, lalu kami bawa kepada Rasulullah
SAW. Kami bertanya kepada beliau: "Apakah Rasulullah akan menshalatkannnya?".
Rasulullah bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjuwab: "Ya, dua dinar."
Rasulullah kemudian pergi dari situ. Berkatalah Abu Qatadah : "Dua dinar itu tanggung
jawabku." Karenanya, Rasulullah SAW. bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menunaikan
hak orang yang memberi hutang dan si mayit akan terlepas dari tanggung jawabnya."
Rasulullah lalu menshalatkannya. Pada keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu
Qatadah tentang dua dinar itu dan dijelaskan, bahwa ia telah melunasinya. Rasulullah SAW.
bersabda: "Sekarang kulitnya telah sejuk." (H.R. Bukhari).
Rasulullah SAW. bersabda: "Hutang itu harus ditunaikan, dan orang yang
menanggung itu harus membayarnya." (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi dan dishakhihkan oleh
Ibnu Hibban).
IJMA’ ULAMA
Para ulama madzhab membolehkan akad kafalah ini. Orang-orang Islam pada masa
Nubuwwah mempraktekkan hal ini bahkan sampai saat ini, tanpa ada sanggahan dari seorang
ulama-pun. Kebolehan akad kafalah dalam Islam juga didasarkan pada kebutuhkan manusia
dan sekaligus untuk menegaskan madharat bagi orang-orang yang berhutang .
16
Rukun Dan Syarat Kafalah
Adapun rukun kafalah sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa lileratur fikih terdiri
atas:
1. Pihak penjamin/penanggung (kafil), dengan syarat baligh (dewasa), berakal sehat,
berhak penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan rela (ridha)
dengan tanggungan kafalah tersebut.
2. Pihak yang berhutang (makful 'anhu 'ashil), dengan syarat sanggup menyerahkan
tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.|
3. Pihak yang berpiutang (makful lahu), dengan syarat diketahui identitasnya, dapat
hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat.
4. Obyek jaminan (makful bih), merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang
(ashil), baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan, bisa dilaksanakan oleh pejamin,
harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang tidak mungkin hapus kecuali setelah
dibayar atau dibebaskan, harus jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya, tidak
bertentangan dengan syari'ah (diharamkan).
Mengenai siapa orang-orang yang dapat ditanggung, para ulama fikih menyatakan, bahwa
pada dasarnya setiap orang dapat menerima jaminan/tanggungan tersebut. Mereka hanya
berbeda pendapat mengenai orang yang sudah wafat (mati) yang tidak meninggalkan harta
warisan. Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi'i, hal yang demikian boleh ditanggung.
Alasannya adalah dengan berpedoman pada Hadis tersebut di atas tentang ketidaksediaan
Nabi SAW. menshalatkan jenazah karena meninggalkan sejumlah hutang. Sedangkan Imam
Hanafi menyatakan tidak boleh, dengan alasan bahwa tanggungan tersebut tidak berkaitan
sama sekali dengan orang yang tidak ada. Berbeda halnya dengan orang yang pailit. Jumhur
fuqaha' juga berpendapat tentang bolehnya memberikan tanggungan kepada orang yang
dipenjara atau orang yang sedang dalam keadaan musafir. Tetapi Imam Abu Hanifah tidak
membolehkannya.
Obyek Tanggungan
Mengenai obyek tanggungan, menurut sebagian besar ulama fikih, adalah harta. Hal ini
didasarkan kepada Hadis Nabi SAW: “Penanggung itu menanggung kerugian.” Sehubungan
dengan kewajiban yang harus dipenuhi oleh penanggung adalah berupa harta, maka hal ini
dikategorikan menjadi tiga hal, sebagai berikut:
1. Tanggungan dengan hutang, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi
tanggungan orang lain. Dalam masalah tanggungan hutang, disyaratkan bahwa
hendaknya, nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi
tanggungan/jaminan dan bahwa barangnya diketahui, karena apabila tidak diketahui,
maka dikhawatirkan akan terjadi gharar.
2. Tanggungan dengan materi, yaitu kewajiban menyerahkan materi tertentu yang
berada di tangan orang lain. Jika berbentuk bukan jaminan seperti 'ariyah (pinjaman)
atau wadi 'ah (titipan), maka kafalah tidak sah.
3. Kafalah dengan harta, yaitu jaminan yang diberikan oleh seorang penjual kepada
pembeli karena adanya risiko yang mungkin timbul dari barang yang dijual- belikan.
Macam-macam Kafalah
17
1. Kafalah bi al-mal, adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang. Bentuk
kafalah ini merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada
para nasabahnya dengan imbalan/fee tertentu.
2. Kafalah bi an-nafs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal ini, bank dapat
bertindak sebagai Juridical Personality yang dapat memberikan jaminan untuk tujuan
tertentu.
3. Kafalah bi at-taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin pengembalian barang
sewaan pada saat masa sewanya berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan
oleh bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan, leasing
company. Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan, dan pihak bank
diperbolehkan memungut uang jasa/fee kepada nasabah tersebut.
4. Kafalah al-munjazah, adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu dan untuk
tujuan/kepentingan tertentu. Dalam dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan
bentuk performance bond (jaminan prestasi).
5. Kafalah al-mu’allaqah, Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-
munjazah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula.
Adiwarman A. Karim memberikan keterangan tentang upah atas jasa kafalah ini yang ia
kemukakan dengan mengawali sebuah pertanyaan: "Bolehkah si penjamin mengambil upah
atas jasanya itu?" Kemudian ia menjelaskan bahwa, ulama kontemporer, seperti Mustafa
Abdullah al-Hamsyari yang mengutip pendapat Imam Syafi'i, berpandangan bahwa
pemberian uang (fee) kepada orang yang ditugaskan untuk mengadukan suatu masalah
kepada raja tidak dapat dianggap sebagai uang sogok (riswah), tetapi dianggap sebagai upah
(ju'alah), dan hukumnya sebagai ganjaran lelah atau biaya perjalanannya. Ulama lain, Abdu
al-Sai' al-Misri mengatakan, bahwa seorang penanggung/penjamin haruslah mendapatkan
upah sesuai dengan pekerjaannya sebagai penjamin. Pendapat ini membuka peluang
dimasukkannya pertimbangan besarnya risiko yang dipikul oleh si penjamin dalam
memperhitungkan upahnya
Apabila orang yang ditanggung tidak ada (pergi atau menghilang), maka kafil berkewajiban
menjamin sepenuhnya. Dan ia tidak dapat keluar dari kafalah, kecuali dengan jalan
memenuhi hutang yang menjadi beban 'ashil (orang yang ditanggung). Atau dengan jalan,
bahwa orang memberikan pinjaman (hutang) -dalam hal ini bank- menyatakan bebas untuk
kafil, atau ia mengundurkan diri dari kafalah. la berhak mengundurkan diri, karena memang
itu haknya. Adapun yang menjadi hak orang/bank (sebagai makful lahu) menfasakh akad
kafalah dari pihaknya. Karena hak menfasakh ini adalah hak makful lahu. Dalam hal orang
yang ditanggung melarikan diri, sedangkan ia tidak mengetahui tempatnya, maka si
penanggung tidak wajib mendatangkannya, tetapi apabila ia mengetahui tempatnya, maka ia
wajib mendatangkannya, dan si penanggung diberikan waktu yang cukup untuk keperluan
tersebut.
18
Penerapan Kafalah Dalam Perbankan Syariah
Sebagaimana dimaklumi, bahwa kafalah (bank garansi) adalah jaminan yang diberikan bank
atas permintaan nasabah untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak lain apabila nasabah
yang bersangkutan tidak memenuhi kewajibannya. BG merupakan fasilitas non dana ( Non
Funded Facility ) yang diberikan Bank berdasarkan akad Kafalah bil Ujrah. Bank akan
menerbitkan BG sejumlah nilai tertentu yang dipersyaratkan oleh pihak penerima jaminan
yang merupakan klien/mitra bisnis/ counter part dari Nasabah Bank untuk kepentingan
transaksi / proyek tertentu yang akan dijalankan oleh Nasabah Bank. Penggunaan dan macam
Bank Garansi:
1. Diberikan kepada pemborong atau kontraktor untuk mengerjakan proyek
2. Diberikan untuk menjamin pembayaran (dapat berupa Standby L/C )
Sedangkan Bank Garansi yang umum digunakan dalam rangka proyek, untuk mendukung
usaha konstruksi, adalah:
1. Bid Bond / Tender Bond atau jaminan saat mengikuti tender
2. Advance Payment Bond atau jaminan uang muka
3. Performance Bond atau jaminan pelaksanaan selama masa konstruksi
4. Retention Bond atau jaminan pemeliharaan pasca konstruksi
Bank dalam pemberian garansi ini, biasanya meminta setoran jaminan sejumlah tertentu
(sebagian atau seluruhnya) dari total nilai obyek yang dijaminkan. Di samping itu, bank
memungut biaya sebagai ju'alah dan biaya administrasi.
19
BAB III
(PENUTUP)
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada bnyak sekali akad-akad yang
terdapat pada bank syariah yang memiliki kaitanya dengan produk atau kegiatan bank
syariah, dari kegiatan penyimpanan,penyaluran, dan jasa, semuanya memiliki akd-akadnya
tersendiri, dari akad-akad tersebut memiliki berbagai rukun an syarat yang harus dipenuhi
agar sesuai dengan hukum-hukum islam yang berlaku.
20
DAFTAR PUSTAKA
http://makalahqw.blogspot.com/2016/11/makalah-pengertian-ash-sharf.html
https://qazwa.id/blog/akad-wadiah/
https://www.ekituntas.com/2019/04/pengertian-landasan-hukum-rukun-dan_9.html
21