Anda di halaman 1dari 5

KONSEP MEMELIHARA HARTA KEKAYAAN Memelihara harta bertujuan agar harta yang dimiliki oleh manusia diperoleh dan

digunakan sesuai dengan syariah sehingga harta yang dimiliki halal dan sesuai dengan keinginan pemilik mutlak dari harta kekayaan tersebut yaitu Allah SWT. Anjuran Bekerja atau Berniaga Islam menganjurkan manusia utuk bekerja atau berniaga, dan menghindar kegiatan meminta-minta dalam mencari harta kekayaan. Manusia memerlukan harta kekayaan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk untuk memenuhi sebagian perintah Allah seperti infak, zakat, pergi haji, dan sebagainya. Konsep Kepemilikan Harta Harta yang baik harus memenuhi dua kriteria, yaitu diperoleh dengan cara yang sah dan benar (legal and fair), serta dipergunakan dengan dan untuk hal yang baik-baik di jalan Allah SWT. Allah SWT adalah pemilik mutlak segala sesuatu yang ada di dunia ini (QS 57:2), sedangkan manusia adalah wakil (khalifah) Allah di muka bumi ini yang diberi kekuasaan untuk mengelolanya. Manusia yang diberi amanah (titipan), harus mampu mengelola harta titipan tersebut sesuai dengan keinginan pemilik mutlak atas harta kekayaan yaitu Allah SWT. Untuk itu Allah telah menetapkan ketentuan syariah sebagai pedoman manusia dalam memperoleh dan membelanjakan atau menggunakan harta kekayaan tersebut, dan dihari akhir nanti manusia akan diminta pertanggungjawabannya. Kepemilikan harta kekayaan oleh manusia terbatas pada kepemilikan kemanfaatannya selama masih hidup di dunia, dan bukan keemilikan secara mutlak. Saat dia meninggal, kepemilikan tersebut berakhir dan harus didistribusikan kepada ahi warisnya, sesuai ketentuan syariah. Penggunaan dan Pendistribusian Harta Islam mengatur setiap aspek kehidupan ekonomi penuh dengan pertimbangan moral. Dalam penngunaan harta, manusia tidak boleh mengabaikan kebutuhannya di dunia, tetapi disisi lain juga harus cerdas dalam menggunakan hartanya untuk mencari pahala akhirat. Ketentuan syariah ang berkaitan dengan penggunaan harta, antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. Tidak boros dan tidak kikir. Memberi infak dan shadaqah. Membayar zakat sesuai dengan ketentuan. Memberi pinjaman tanpa bunga. Meringankan kesulitan orang yang berutang.

Perolehan Harta

Memperoleh harta adalah aktivitas ekonomi yang masuk dalam kategori ibadah muamalah (mengatur hubungan manusia dengan manusia). Kaidah fikih dari muamalah adalah semua halal dan boleh dilakukan kecuali yang diharamkan atau dilarang dalam AlQuran dan As-Sunah. Hukum dasar muamalah adalah boleh, karena tidak mungkin Allah SWT menciptakan segala sesuatu dan menundukkannya bagi manusia kalau akhirnya semua itu diharamkan atau dilarang. Harta dikatakan halal dan baik apabila niatnya benar, tujuannya benar dan cara atau sarana untuk memperolehnya juga benar, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Islam tidak memisahkan ekonomi dengan agama sehingga manusia tetap harus merujuk kepada ketentuan syariah dalam beraktivitas ekonomi terasuk dalam memperoleh harta kekayaan. Konsekuensinya, manusia dalam bekerja, berbisnis, ataupun berinvestasi dalam rangka mencari rezeki (harta) harus memilih bidang yang halal walaupun dari sudut pandang (ukuran) keduniaan memberikan keuntungan yang lebih sedikit dibandingkan dengan bidang yang haram. Perhitungan untung atau rugi harus berorientasi jangka panjang, yaitu mempertimbangkan perhitungan untuk kepentingan akhirat, karena kehidupan di dunia hanya sementara dan kehidupan yang kekal adalah kehidupan akhirat.

KONSEP AKAD/KONTRAK/TRANSAKSI Akad dalam bahasa Arab al-aqd, jamaknya al-uqud, berarti ikatan atau mengikat (al-rabth). Menurut terminolgi hukum Islam, akad adalah pertalian antara penyerahan (ijab) dan penerimaan (qabul) yang dibenarkan oleh syariah, yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Pengertian lainnya mengenai akad adalah kesepakatan dua belah pihak atau lebih yang menimbulkan kewajiaban hukum yaitu konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam kesepakatan tersebut. Jenis-jenis Akad 1. AKAD TABARRU (gratuitous contract) adalah perjanjian yang merupakan transaksi yang tidak ditujukan untuk memperoleh laba (transaksi nirlaba), dan bertujuan untuk tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Dalam akad tabarru, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya karena ia hanya mengharapkan imbalan dari Allah SWT dan bukan dari manusia. Namun, tidak mengapa bila pihakyang berbuat kebaikan tersebut meminta sekadar menutupi biaya yang ditanggung atau dikeluarkan untuk dapat melakukan akad tabarru tersebut sepanjang tidak mengambil laba dari akad tabarru tersebut. Ada tiga bentuk akad tabarru: a. Meminjamkan Uang

Meminjamkan uang termasuk akad tabarru karena tidak boleh melebihkan pembayaran atas pinjaman yang kita berikan, karena setiap kelebihan tanpa iwad adalah riba. Ada minimal tiga pinjaman, yaitu: 1) Qardh merupakan pinjaman yang diberikan tanpa mensyaratkan apapun, selain mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu. 2) Rahn merupakan pinjaman yang mensyaratkan suatu pinjaman dalam bentuk atau jumlah tertentu. 3) Hiwalah adalah bentuk pinjaman dengan cara mengambil alih piutang dari pihak lain. b. Meminjamkan Jasa Meminjamkan jasa berupa keahlian atau keterampilan. Tiga jenis pinjaman jasa: 1) Wakalah, memberikan pinjaman berupa kemampuan kita saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain. 2) Wadiah, merupakan bentuk turunan wakalah , dimana pada akad ini telah dirinci atau didetailkan tentang jenis pemeliharaan dan penitipan. Sehingga selama pemberian jasa tersebut kita juga bertindak sebagai wakil dari pemilik barang. 3) Kafalah, juga merupakan bentuk turunan dari wakalah, dimana pada akad ini terjadi atas wakalah bersyarat (contingent wakalah) c. Memberikan Sesuatu 1) Waqaf, merupakan pemberian dan penggunaan pemberian yang dilakukan untuk kepentingan umum dan agama, serta pemberian itu tidak dapat dipindahtangankan. 2) Hibah dan shadaqah, merupakan pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain. 2. AKAD TIJARAH (compensational contract) merupakan akad yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan. Akad tijarah terdiri dari: a. Natural Uncertainty Contract: merupakan kontrak yang diturunkan dari teori pencampuran, dimana pihak yang bertransaksi saling mencampurkan aset yang mereka miliki menjadi satu, kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Oleh sebab itu, kontrak jenis ini tidak memberikan imbal hasil yang pasti, baik nilai imbal hasil (amount) maupun waktu (timing). Contoh yang termasuk dalam kontrak ini adalah musyarakah termasuk di dalamnya mudharabah, muzaraah, musaqah, dan mukhabarah. b. Natural Certainty Contract: merupakan kontrak yang diturunkan dari teori pertukaran, dimana kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimiliknya, sehingga objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti tentang jumlah (quantity), mutu (quality), harga (price), dan waktu penyerahan (time delivery). Dalam kondisi ini secara tidak langsung kontrak jenis ini akan memberikan imbal hasil yang tetap dan pasti karena sudah diketahui ketika akad. Contoh akad ini, antara lain: akad jual beli ( baik penjualan tunai, penjualan tangguh, salam dan istishna) maupun akad sewa (ijarah dan IMBT).

Rukun dan Syarat Akad Rukun dan syarat sahnya suatu akad ada tiga, yaitu: 1. Pelaku, yaitu para pihak yang melakukan akad (penjual dan pembeli, penyewa dan yang menyewa, karyawan dan majikan, shahibul maal dan mudharib, mitra dengan mitra dalam musyarakah, dan lain sebagainya). Untuk pihak yang melakukan akad harus memenuhi syarat yaitu orang yang merdeka, mukalaf, dan orang yang sehat akalnya. 2. Objek akad merupakan sebuah konsekuensi yang harus ada dengan dilakukannya suatu transaksi tertentu. Objek jual beli adalah barang dagangan, objek mudharabah dan musyarakah adalah modal dan kerja, objek sewa-menyewa adalah manfaat atas barang yang disewakan dan seterusnya. 3. Ijab kabul, merupakan kesepakatan dari para pelaku dan menunjukkan mereka saling ridha. Tidak sah suatu transaksi apabila ada salah satu pihak yang terpaksa melakukannya, sehingga akad dapat menjadi batal. Bila terdapat penipuan (tadlis), paksaan (ikhrah) atau tidak terjadi ketidaksesuaian objek akad karena kesemuanya ini dapat menimbulkan ketidakrelaan salah satu pihka maka akad dapat menjadi batal walaupun ijab kabul telah dilaksanakan.

TRANSAKSI YANG DILARANG Adanya hal-hal yang dilarang daam ibadah muamalah dikarenakan beberapa sebab antar lain dapat membantu timbulnya perbuatan maksiat, adanya unsur penipuan, adanya unsur menzalimi pihak yang bertransaksi, dan sebagainya. Setiap transaksi bisnis harus didasarkan kepada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak dan tidak bathil yaitu tidak ada pihakyang menzalimi dan dizalimi. Hal yang termasuk transaksi yang dilarang adalah sebagai berikut 1. Semua aktivitas bisnis terkait dengan barang dan jasa yang diharamkan Allah 2. Riba 3. Penipuan 4. Perjudian 5. Gharar (Transaksi yang Mengandung Ketidakpastian) 6. Ikhtikar (Penimbunan Barang) 7. Monopoli 8. Bai an Najsy (Rekayasa Permintaan) 9. Suap 10. Taalluq (Penjualan Bersyarat) 11. Bai al inah (Pembelian Kembali oleh Penjual dari Pihak Pembeli) 12. Talaqqi al-rukban

PRINSIP SISTEM KEUANGAN SYARIAH Konsep sistem keuangan syariah diawali dengan pengembangan konsep ekonomi Islam. Pengembangan konsep ekonomi Islam dimulai pada tahun 1970-an dengan membicarakan isu-isu ekonomi makro. Pihak yang terlibat dalam diskusi tersebut adalah para ekonom dan juga para ahli fikih. Mereka yakin bahwa konsep ekonomi Islam harus didukung oleh sistem yang bersifat praktis yaitu sistem keuangan syariah dengan mencari suatu sistem yang dapat menghindari riba bagi muslim. Pada akhirnya, muncul sistem kerja sama untuk membagi laba rugi yang diperoleh dari kegiatan usaha. Filosofi sistem keuangan syariah bebas bunga (larangan riba) tidak hanya melihat interaksi antara faktor produksi dan perilaku ekonomi seperti yang dikenal pada sistem keuangan konvensional, melainkan juga harus menyeimbangkan berbagai unsur etika, mora sosial, dan dimensi keagamaan untuk meningkatkan pemerataandan keadilan menuju masyarakat yang sejahtera secara menyeluruh. Melalui sistem kerja sama bagi hasil maka akan ada pembagian risiko. Risiko yang timbul dalam aktivitas keuangan tidak hanya ditanggung penerima modal atau pengusaha saja tetapi juga akan diterima oleh pemberi modal. Pemberi modal maupun penerima modal harus berbagi risiko secara adil dan proporsional sesuai dengan kesepakatan bersama. Dalam sistem keuangan syariah pemberi dana lebih dikenal sebagai investor daripada kreditor, oleh karena itu pemberi modal juga harus menanggung risiko yang biasanya sesuai dengan modal yang dtanamkan. Sebagi investor, pemberi modal tidak hanya memberikan pijaman saja lalu menerima pengembalian pinjaman dari hasil aktivitas perdagangan. Akan tetapi, antara investor dan pengusaha secara bersama-sama bertanggung jawab atas kelancaran aktivitas perdagangan untuk mencapai tingkat pengembalian yang optimal. Prinsip-prinsip sistem keuangan Islam yang diatur dalam Al-Quran dan As-Sunah, sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pelarangan Riba Pembagian Risiko Tidak Menganggap Uang sebagai Modal Potensial Larangan Melakukan Kegiatan Spekulatif Kesucian Kontrak Aktivitas Usaha Harus Sesuai Syriah

Prinsip keuangan syariah mengacu kepada prinsip rela sama rela (antaraddin minkum), tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi (la tazhlimuna wa la tuzhlamun), hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi al dhaman), dan untung muncul bersama risiko (al ghunmu bi al ghurmi)

Anda mungkin juga menyukai